• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kehujjahan Al Qur an Qath I dan Zhanni

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Kehujjahan Al Qur an Qath I dan Zhanni"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

Kehujjahan Al- Qur’an : Qath’I dan Zhanni, Ikhtilaf Qira’at dan Ikhtilaf Ulama Tentang Kedudukan Qira’at Syazzah dan Kaidah-Kaidah Terkait Dengan Al-Qur’an A. Pendahuluan

Ushul fiqh menurut ulama syafi’iyyyah adalah mengetahui dalil-dalil fiqh secara global dan cara menggunakannya serta mengetahui keadaan orang yang menggunakannya atau mujtahid. Sedangkan menurut jumhur ulama yang terdiri dari ulama Hanafiyyah, Malikiyyah, dan Hanabilah, ushul fiqh adalah mengetahui kaidah-kaidah kulli (umum) yang dapat digunakan untuk mengistinbathkan hukum-hukum syara’ yang bersifat amaliah melalui dalil-dalilnya yang rinci.

Objek kajian ushul fiqh ini adalah dalil-dalil yang digunakan dalam menggali hukum syara’ seperti kehujjahan Al- Qur’an yang akan dibahas didalam makalah ini. Ushul fiqh juga mencarikan jalan keluar dari dalil yang secara zhahir dianggap bertentangan seperti pertentangan ayat dengan ayat, hadits dengan hadits dan hadits dengan pendapat akal. Pembahasan ijtihad dan para mujtahidnya juga menjadi objek kajian ushul fiqh, dan yang paling penting adalah pembahasan tentang hukum syara’ serta bagaimana menggunakan kaidah-kaidah dalam mengistinbathkan hukum.

Seperti yang disebutkan diatas bahwa yang menjadi objek pembahasan dalam makalah ini adalah Al-Qur’an yang merupakan sumber dan dalil hukum Islam yang utama dan paling pertama. Sumber berarti suatu tempat dimana kita merujuk daripadanya tentang segala sesuatu, dan Al-Qur’an adalah sumber utama dalam menetapkan hukum. Selain membahas Al-Qur’an itu sendiri, kita akan mulai dengan membahas kehujjahan Al-Qur’an dan melihat ayat-ayatnya yang termasuk qath’i dan yang zhanni.

(2)

B. Pengertian & Keistimewaan Al-Qur’an

Al- Qur’an adalah kalam Allah yang diturunkan melalui perantaraan malaikat jibril ke dalam kalbu Rasulullah saw.dengan menggunakan bahasa arab dan disertai dengan kebenaran agar dijadikan hujjah (argumentasi) dalam hal pengakuannya sebagai rasul, dan agar dijadikan sebagai dustur (undang-undang) bagi seluruh umat manusia, disamping merupakan amal ibadah jika membacanya. AL-Qur’an itu ditadwinkan di antara dua ujung yang dimulai dari surat Al-Fatihah dan ditutup dengan surat An-Nas, dan sampai kepada kita secara tertib dalam bentuk tulisan maupun lisan dalam keadaan utuh atau terpelihara dari perubahan dan pergantian, sekaligus dibenarkan oleh Allah di dalam firman-Nya :1

Artinya : Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan Sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya

Ayat ini memberikan jaminan tentang kesucian dan kemurnian Al Quran selama-lamanya. Al-Qur’an dinukilkan secara mutawatir, kemutawatiran Al-Qur’an terjadi dari generasi ke generasi. Pertama kali Nabi menghapal dan membacakan Al-Qur’an dihadapan malaikat Jibril sebelum Jibril meninggalkan dunia, lalu para sahabat beliau menghapalnya, sebagaimana yang disampaikan oleh Nabi, kemudian diteruskan oleh para Tabi’in, meskipun Al-Qur’an pada masa sahabat telah ditulis dalam mushaf, namun hal ini tidak mengurangi semangat para tabi’in dalam menghapalnya dan menerimanya langsung dari para sahabat. Menghapal Al-Qur’an terus berlanjut sampai masa sekarang kita ini. Maka dari itu, setiap muslim percaya, bahwa apa yang dibaca dan didengarnya sebagai Al-Qur’an tidak berbeda sedikitpun dengan apa yang pernah dibaca oleh Rasulullah saw. dan yang didengar serta dibaca oleh para sahabat Nabi.2

Al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab Quraisy, tidak dapat disangkal bahwa ayat-ayat al-Qur’an tersusun dengan kosakata bahasa arab, kecuali beberapa kata yang masuk dalam pembedaharaannya akibat akulturasi, bahasa arab termasuk rumpun bahasa semit, sama dengan bahasa ibrani, aramaik, suryani, kaldea, dan babylonia. Kata-kata bahasa arab pada dasarnya

1 Abdul Wahhab Kalaf, ‘Ilm Ushul Fiqh, (Kairo : Maktabah Al-Da’wah al- Islamiyyah, 1956) hal.23

(3)

mempunyai dasar tiga huruf mati yang dapat dibentuk dengan berbagai bentuk. Kata لاق (qala) misalnya, yang berarti “berkata” terambil dari huruf ق(qaf),و (wawu), dan ل(lam). Sedangkan kata ملك(kalam) yang berarti “pembicaraan” walaupun terdiri dari empat huruf yaitu ك(kaf), ل(lam), ا(alif), dan م(mim) namun sebenarnya asalnya hanya terdiri dari tiga huruf, yakni kecuali ا (alif) pada huruf-huruf diatas.3

C. Kehujjahan Al-Qur’an

Argumentasi yang menunjukkan bahwa Al-Qur’an adalah hujjah bagi umat manusia, dan hukum-hukum di dalam Al-Qur’an merupakan undang-undang yang wajib dipatuhi, ialah karena Al-Qur’an diturunkan Allah dengan jalan qath’I yang kebenarannya tidak bisa diragukan. Kemudian, alasan yang menunjukkan bahwa Qur’an itu datang dari Allah ialah mukjizat Al-Qur’an yang mampu menundukkan yang manusia tidak mungkin mampu menirunya. 4 Oleh Karena itu Al-Qur’an wajib menjadi life of guide bagi umat manusia sampai akhir zaman, dan manusia wajib mengikuti segala perintah dan meninggalkan larangan yang tertulis di dalam Al-Qur’an. Selain itu kebenaran Al-Qur’an yang menerangkan bahwa Al- Qur’an benar-benar datang dari Allah swt banyak dijelaskan didalam ayat-ayatnya. Seperti firman Allah dalam surah Al-Baqarah ayat 2, dan An- Nahl ayat 89 :

Artinya : Kitab (Al Quran) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa.

Artinya :….. dan Kami turunkan kepadamu Al kitab (Al Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.

Para Ulama Ushul Fiqh dan lainnya sepakat menyatakan bahwa Al-Qur’an itu merupakan sumber utama hukum Islam yang diturunkan Allah dan wajib diamalkan, dan seorang mujtahid tidak dibenarkan menjadikan dalil lain sebagai hujjah sebelum membahas dan meneliti ayat-ayat Al-Qur’an. Apabila hukum permasalahan yang ia cari tidak ditemukan dalam Al-Qur’an, maka

(4)

barulah mujtahid tersebut menggunakan dalil lain. Ada beberapa alasan yang dikemukakan ulama Ushul Fiqh tentang kewajiban berhujjah dengan Al- Qur’an diantaranya adalah :5

1. Al- Qur’an itu diturunkan kepada Rasulullah saw. Diketahui secara mutawatir, dan ini memberi keyakinan bahwa Al- Qur’an itu benar-benar datang dari Allah melalui malaikat Jibril kepada Muhammad saw. Yang dikenal sebagai orang yang paling dipercaya.

2. Banyak ayat yang menyatakan bahwa Al- Qur’an itu datangnya dari Allah, diantaranya surat Ali Imran ayat 3 :

Artinya : Dia menurunkan Al kitab (Al Quran) kepadamu dengan sebenarnya; membenarkan kitab yang telah diturunkan sebelumnya dan menurunkan Taurat dan Injil. 3. Mukjizat Al- Qur’an juga merupakan dalil yang pasti akan kebenaran al-Qur’an itu

datangnya dari Allah swt. Mukjizat Al-Qur’an bertujuan untuk menjelaskan kebenaran Nabi saw.yang membawa risalah dengan suatu perrbuatan yang di luar kebiasaan umat manusia. Mu’jizat Al- Qur’an menurut para ahli Ushul Fiqh dan tafsir terlihat ketika ada tantangan dari berbagai pihak untuk menandingi Al- Qur’an itu sendiri sehingga para ahli sastra Arab di mana dan kapan pun tidak bisa menandinginya.

Seluruh nash- nash Al-Qur’an itu bersifat qath’I jika dilihat dari segi turunnya, ketetapannya dan dinukilkannya dari Rasulullah kepada kita, yang berarti memastikan bahwa setiap nash Al-Qur’an yang kita baca adalah sama dengan nash Al-Qur’an ketika Allah turunkan kepada Rasul-Nya, dan disampaikan kepada Rasulullah yang ma’shum kepada umatnya tanpa perubahan dan pergantian. Berbagai umat muslim sejak 14 abad yang lalu sampai sekarang, seluruhnya membaca Al-Qur’an tanpa ada perselisihan di antara mereka, baik secara individu atau kelompok kebangsaan. Di antara mereka tidak da yang menambah dan mengurangi, atau mengubah dan mengganti atau menyusun dengan cara sendiri.

Pada masa-masa awal pembentukan hukum Islam hingga munculnya imam-imam mazhab tidak terdapat istilah qath’i dan zanni di dalam Alquran, sunnah, qaul sahabat dan qaul tabi’in. Istilah yang mungkin sepadan dengan itu ada dalam konteks ilmu tafsir, yakni ayat-ayat muhkam dan ayat-ayat mutasyabih. Kategorisasi ayat kepada qath’i dan zanni merupakan teori para ulama ushul fiqh. Belum jelas siapa yang pertama kali memperkenalkan kategorisasi ini.

(5)

Namun karena teori ini tidak pernah digugat, dugaannya adalah karena kemiripannya dengan kategori muhkam dan mutasyabih yang termaktub di dalam Alquran. Cukup menarik bahwa pada era para imam mazhab tidak ditemukan istilah qath’i dan zanni di dalam literatur yang dapat dirujuk sebagai teori yang mereka kembangkan. Kenyataan ini seolah-olah menunjukkan bahwa kategorisasi ini muncul jauh setelah era imam mazhab dan semakin menguatkan dugaan sebagai hasil pemikiran ulama usul fiqih belakangan.6

Menurut terminologi, kata qath’i dan zhanni dapat di lihat atau di rujuk pada dua aspek; aspek pertama al subut atau al wurud yang menunjukkan dari eksistensi sumber hukum (otentisitas dan validitasnya), dan kedua, aspek dalalah yang menunjukkan indikasi sumber hukum eksistensi yang bersifat pasti, maka sumber hukum tersebut di sebut qath’i al-subut/ qath’i al wurud, sedangkan apabila hukum tersebut eksistensinya tidak bersifat pasti, maka sumber hukum tersebut disebut zhanni al subut/ zhanni al-wurud.7 Dalam ushul fiqh, istilah qath’i-zhanni di gunakan untuk menyatakan tingkat kekuatan suatu dalil atau nas. Kata qath’i adalah sinonim dengan kata-kata daruri, yakin, pasti, absolut atau mutlak sedangkan kata zhanni adalah sinonim dengan kata hadari, yaitu dugaan, relative atau nisbi

Al- Qur’an yang diturunkan secara mutawatir, dari segi turunnya berkualitas qath’I (pasti benar). Akan tetapi, hukum-hukum yang dikandung Al- Qur’an adakalanya bersifat qath’I dan adakalanya bersifat zhanni (relative benar). Ayat yang bersifat qath’I adalah lafal-lafal yang mengandung pengertian tunggal dan tidak bisa dipahami makna lain darinya. Ayat seperti ini misalnya ayat-ayat waris, hudud, dan kaffarat. Seperti yang terdapat didalam firman Allah swt.An-nur ayat 2 :

Artinya : Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, Maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera

Adapun ayat-ayat yang mengandung hukum zhanni adalah lafal-lafal yang dalam Al-Qur’an mengandung pengertian lebih dari satu dan memungkinkan untuk dita’wilkan. Misalnya

(6)

kata quru’ (Al-Baqarah : 2) merupakan lafal musytarak yang memiliki dua arti yaitu suci dan haid. Pada nash tersebut memberitahukan bahwa wanita-wanita yang ditalak harus menunggu tiga kali quru’. Dengan demikian akan timbul dua pengertian, yaitu tiga kali bersih atau tiga kali kotor. Adanya kemungkinan itu, maka ayat tersebut tidak dikatakan qath’I. nash ini diartikan Suci menurut ulama Syafi’iyah, dan diartikan haid oleh ulama Hanafiyyah.

Contoh lain dalam surah Al- Maidah ayat 5 :

Artinya : Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan

Kata tangan dalam ayat ini mengandung kemungkinan yang dimaksud adalah tangan kanan atau tangan kiri, disamping itu juga mengandung kemungkinan tangan itu hanya sampai pergelangan tangan saja atau sampai siku. Penjelasan yang dimaksud dengan tangan ini ditentukan dalam hadis Nabi saw. Kekuatan hukum kata-kata yang seperti ini, quru’ dalam ayat pertama dan tangan dalam ayat kedua, menurut ulama ushul fiqh bersifat zhanni (relative benar)

Maka dari itu bila dilihat dari keseluruhan ayat-ayat Al-Qur’an, banyak mengandung bermacam-macam dilalah hukum, antara lain :

1. Terkadang suatu ayat mengandung satu perintah yang jelas dan tegas, akan tetapi tidak dijelaskan caranya. Seperti firman Allah yang berbunyi :

Dirikanlah Shalat… (QS.Al-baqarah : 43)

(7)

2. Terkadang suatu ayat mengandung suatu perintah yang jelas tentang tempatnya, akan tetapi tidak dijelaskan mengenai batasnya seperti firman Allah tentang tayamum yang berbunyi

Usaplah wajah kamu dan tangan kamu ( QS. An Nisaa:43)

Perintah ayat tersebut jelas tentang tempatnya, yakni wajah dan tangan, akan tetapi batas wajah dan tangan tidak dijelaskan.

Al-Qur’an diakui sebagai Nash Qath’i, yakni Qath’i Al- Wurud. Sedang dilalahnya belum tentu qath’i. kalau yang dilalahnya dzhanni jelas wilayah ijtihad. Bahkan yang dilalahnya qath’i saja ada yang bersifat istinbati, ada yang bersifat tatbiqi. Kalau yang istinbati benar-benar tidak boleh di ijtihadi seperti haramnya babi. Sedang yang bersifat tatbiqi seperti pencuri potong tangann boleh diijtihadi sebagaimana umar tidak melakukan hukum potong tangan pada masa paceklik.

D. Ikhtilaf Qira’at

Dalam kitab-kitab Ulum Al- Qur’an, ditemukan pengertian Qira’at (ةءارق ) secara etimologis adalah bentuk masdhar dari (أرق ) yang artinya bacaan. Sedangkan secara terminologis, terdapat berbagai ungkapan atau redaksi yang dikemukakan oleh para ulama sehubungan dengan pengertian qira’at ini. Ulama-ulama tersebut diantara lain yaitu : 8

1) Imam al-Zarkasyi. Qira’at yaitu perbedaan lafal-lafal al-Qur’an, baik menyangkut huruf-hurufnya maupun cara pengucapan huruf-huruf tersebut, seperti takhfif, tasydid, dan lain-lain

2) Dimyathi. Qira’at yaitu suatu ilmu untuk mengetahui cara pengucapan lafal-lafal Al-Qur’an, baik yang disepakati maupun di-ikhtilaf-kan oleh para ahli Qira’at, seperti : hafz (membuang huruf), isbat (menetapkan huruf), tahrik (memberika harakat), taskin (memberi tanda sukun), fashl (memisahkan huruf), washl (menyambung huruf), ibdal (menggantikan huruf atau lafaz tertentu), dan lain-lainnya yang diperoleh melalui indrea pendengaran.

3) Muhammad Ali al- Shabuni. Qira’at yaitu suatu mazhab tertentu dalam cara pengucapan Al- Qur’an, dianut oleh salah seorang imam Qira’at yang berbeda dengan mazhab lainnya, berdasarkan sanad-sanad yang bersambung sampai kepada Rasulullah SAW.

(8)

Ilmu qira’at yang benar (ilmu seni baca Al- Qur’an secara tepat) diperkenalkan oleh Nabi Muhammad saw.sendiri, suatu praktik (sunnah) yang menunjukkan tata cara bacaan setiap ayat. Aspek ini juga berkaitan dengan kewahyuan Al-Qur’an:teks Al-Qur’an telah diturunkan dalam bentuk ucapan lisan dan dengan mengumumkannya secara lisan pula. Berarti Muhammad saw.secara otomatis menyediakan teks dan cara pengucapannya pada umatnya. Kedua-duanya haram untuk bercerai. Penyebab utama munculnya banyak multiple bacaan, menurut Jeffery adalah kekurangan tanda titik dalam mushaf utsmani berarti merupakan peluang bebas bagi pembaca memberi tanda sendiri sesuai dengan konteks makna yang ia pahami.9

Berikut ini adalah macam-macam qira’at yaitu ragam qira’at yang dapat diterima sebagai qira’at Al- Qur’an, yaitu

1. Qira’at Sab’at yaitu tujuh versi qira’at yang dinisbatkan kepada para imam qira’at yang berjumlah tujuh orang, yaitu ibn amir, ibn kasir, ashim, Abu Amr, Hamzah, Nafi’, dan al- Kisa’i. Qira’at sab’at dikenal di dunia Islam pada akhir abad kedua Hijriah, dan dibukukan pada akhir abad ketiga Hijriah di Baghdad oleh seorang ahli qira’at bernama Ibn Mujahid Ahmad ibn Musa ibn Abbas. Dengan demikian, ragam qira’at sab’at itu ada tujuh macam, yaitu : 10

a. Qira’at Ibn ‘Amir berpengaruh terhadap makna atau maksudnya, dan bisa juga tidak. Sementara perbedaan qira’at yang berkaitan dengan teknik pengucapan lafaz berdasarkan lahjat atau dialek kebahasaan, tidak akan mempengaruhi makna dan maksudnya. Qira’at sab’at ini diriwayatkan secara mutawatir dari para imam qira’at, sementara kemutawatirannya dari Nabi saw.masih perlu dipertanyakan karena sanad-nya merupakan riwayat perorangan

9 MM. Al- A’zami, The History The Qur’anic Text from Revelation to Compilation

(9)

yang tidak mencapai derajat mutawatir. Namun hal ini tidak menafikan dan mengurangi derajat kemutawatiran qira’at sab’at.

2. Qira’at Syazzat

Yang dimaksud dengan qira’at syazzat dalam bahasa ini adalah sebagai dikemukakan oleh sebagian ulama yaitu qira’at yang sanad-nya shahih, sesuai dengan kaidah bahasa arab, akan tetapi menyalahi rasm al-mushhaf. Qira’at ini dapat diterima eksistensinya namun par a ulama tidak mengakui qur’aniyyat (kequranan). Pada dasarnya setiap qira’at yang tidak memenuhi persyaratan yang tiga, yaitu sanad-nya shahih, sesuai dengan kaidah bahasa arab, tidak menyalahi rasm al-mushhaf, tergolong kepada qira’at syazzat. Adapun factor yang menyebabkan adanya qira’at syazzat tersebut antara lain adalah karena diantara para antara para sahabat Nabi saw.ada yang memiliki mushhaf-musshaf pribadi yang ditulis sendiri oleh mereka,khusus buat kepentingan pribadi mereka masing-masing.

Didalam qira’at syazzat ini terdapat ayat-ayat al-Qur’an yang telah dinaskh atau manshuk bacaannya, maka didalam qira’at mereka ada ayat yang tidak tergolong kepada al-Qur’an. Banyak ulama berpendapat tidak boleh membaca qira’at syazzat baik didalam atau diluar shalat. Namun ada juga yang berpendapat boleh membacanya asal tidak dibaca didalam shalat.

Qira’at Syazzat dibagi dalam 5 macam, sebagai berikut :11

1. Ahad, yaitu Qir’at yang sanadnya shahih tetapi tidak sampai mutawatir dan menyalahi rasam Usmani atau kaidah bahasa Arab

2. Syaz, yaitu Qira’at yang tidak mempunyai salah satu dari rukun yang tiga 3. Mudraj, yaitu Qira’at yang ditambah dengan kalimat lain yang merupakan

tafsirnya.

4. Maudu’ yaitu Qira’at yang dinisbahkan kepada orang yang mengatakannya (mengajarkannya) tanpa mempunyai asal usul riwayat qiraat sama sekali 5. Masyhur, yaitu Qira’at yang sanadnya shahih tetapi tidak mencapai derajar

mutawatir serta sesuai dengan kaidah tata bahasa Arab dan Rasam Usmani.

(10)

E. Kedudukan Qira’at Syazzat

Perbedaan pendapat ulama dalam hal berhujjah dengan qira’at syazzah yang sanadnya shahih dan sesuai dengan kaidah bahasa Arab, namun menyalahi rasm al- mushhaf. Contohnya yang terdapat didalam surah Al- Maidah ayat 89.

Artinya : Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja, Maka kaffarat (melanggar) sumpah-sumpah itu, ialah memberi Makan sepuluh orang miskin, Yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak. barang siapa tidak sanggup melakukan yang demikian, Maka kaffaratnya puasa selama tiga hari. yang demikian itu adalah kaffarat sumpah-sumpahmu bila kamu bersumpah (dan kamu langgar). dan jagalah sumpahmu. Demikianlah Allah menerangkan kepadamu hukum-hukum-Nya agar kamu bersyukur (kepada-Nya).

(11)

Mas’ud yaitu Menurut mereka walaupun riwayat tersebut tidak diriwayatkan secara mutawatir, namun menempati kedudukan sebagai hadis ahad, bahkan masyhur, yang dapat dijadikan sebagai hujjah.

Begitu juga dengan ayat tentang mengganti puasa ramadhan di bulan yang lain, didalam Al- Qur’an mutlak disebutkan (Al-Baqarah ayat 183) bahwa mengganti puasa tidak harus secara berturut-turut, namun dalam Qira’at Ubayy

disebutkan dalam hal ini ulama Hanafiyyah berpendapat

wajib bagi seseorang mengganti puasanya secara berturut-turut.

Adapun beberapa kaidah ushul fiqh yang terkait dengan Al- Qur’an, kaidah-kaidah itu diantara adalah :12

1. Al- Qur’an merupakan dasar dan sumber utama hukum Islam, sehingga seluruh sumber hukum atau metode istinbat hukum harus mengacu kepada kaida umum yang dikandung Al- Qur’an.

2. Dalam memahami kandungan Al- Qur’an maka seorang mujtahid dituntut untuk mengetahui sebab-sebab turunnya ayat yang ingin dikajinya didalam Al- Qur’an.

3. Dalam memahami kandungan hukum dalam Al- Qur’an, mujtahid juga dituntuk mengerti adat istiadat orang Arab, baik yang berkaitan dengan perkataan maupun perbuatan, karena dengan tidak memahami hal ini akan mengakibatkan kerancuan dalam memahami.

F. Kesimpulan

Al- Qur’an adalah kalam Allah yang diturunkan melalui perantaraan malaikat jibril ke dalam kalbu Rasulullah saw.dengan menggunakan bahasa arab dan disertai dengan kebenaran agar dijadikan hujjah (argumentasi) dalam hal pengakuannya sebagai rasul, dan agar dijadikan sebagai dustur (undang-undang) bagi seluruh umat manusia, disamping merupakan amal ibadah jika membacanya. AL-Qur’an itu ditadwinkan di antara dua ujung yang dimulai dari surat Al- Fatihah dan ditutup dengan surat An-Nas, dan sampai kepada kita

(12)

secara tertib dalam bentuk tulisan maupun lisan dalam keadaan utuh atau terpelihara dari perubahan dan pergantian.

Al- Qur’an yang diturunkan secara mutawatir, dari segi turunnya berkualitas qath’I (pasti benar). Akan tetapi, hukum-hukum yang dikandung Al- Qur’an adakalanya bersifat qath’I dan adakalanya bersifat zhanni (relative benar). Ayat yang bersifat qath’I adalah lafal-lafal yang mengandung pengertian tunggal dan tidak bisa dipahami makna lain darinya. Sedangkan ayat-ayat yang mengandung hukum zhanni adalah lafal-lafal yang dalam Al-Qur’an mengandung pengertian lebih dari satu dan memungkinkan untuk dita’wilkan.

Perbedaan qira’at yang berkaitan dengan substansi lafaz atau kalimat, bisa berpengaruh terhadap makna atau maksudnya, dan bisa juga tidak. Sementara perbedaan qira’at yang berkaitan dengan teknik pengucapan lafaz berdasarkan lahjat atau dialek kebahasaan, tidak akan mempengaruhi makna dan maksudnya. Pada dasarnya setiap qira’at yang tidak memenuhi persyaratan yang tiga, yaitu sanad-nya shahih, sesuai dengan kaidah bahasa arab, tidak menyalahi rasm al-mushhaf, tergolong kepada qira’at syazzat.

Qira’at syazzat ini tidak bersifat mutawatir dan bukan merupakan Al- Qur’an, qira’at ini memiliki sanad yang shahih dan sesuai kaidah bahasa Arab namun menyalahi rasm mushhaf usmani yang hanya diakui eksistensinya sebagai qira’at Al-Qur’an. Maka dari itu qira’at syazzat tidak sah jika dibaca didalam shalat. Kedudukan Qira’at ini juga memiliki dampak dalam istinbath hukum.

DAFTAR PUSTAKA

Al- A’zami, MM., The History The Qur’anic Text from Revelation to Compilation Terj.Sohirin dkk, Jakarta : Gema Insani 2005

Al Rasyid, Harun, Al- Qur’an dan Pengaruh Dialek Kedaerahan, Medan : Perdana Mulya Sarana 2012

(13)

Hasanuddin AF, Perbedaan Qira’at Dan Pengaruhnya Terhadap Istinbath Hukum Dalam Al-Qur’an, Jakarta : PT.RajaGrafindo Persada 1995

Khallaf, Abdul Wahhab,‘Ilm Ushul Fiqh, Kairo : Maktabah Al-Da’wah al- Islamiyyah 1956 Mardani, Ushul Fiqh, Jakarta : PT RajaGrafindo Persada 2013

Shihab, M. Quraish, Mukjizat Al-Qur’an Bandung : Mizan, 1997

Referensi

Dokumen terkait

Meskipun ada teori dalam Ushul fiqh yang menyatakan bahwa setiap perintah menunjukkan wajib untuk dilaksanakan, tetapi praktiknya ada pernyataan-pernyataan ( qarinah )

Seorang ulama sufi Nasruddin Khasr mengatakan bahwa penafsiran nas al- Qur’ an yang hanya melihat lahirnya, merupakan badan atau pakaian akidah sehingga diperlukan

Perkosaan dalam Islam memang tidak diatur secara detail dalam Al-qu’ran, namun para ulama telah sepakat bahwa pelaku perkosaan dikenakan hukuman hadd bagi wanita yang di perkosa

Para ulama sepakat bahwa seorang pemimpin wajib mengatur seluruh aspek kehidupan manusia berdasarkan syariat Allah, baik dalam bidang politik, ekonomi, sosial, budaya,

Empat ulama Madhab sepakat bahwa perkawinan keduanya(pasangan zina) itu sah dan boleh silelaki bersenggama dengannya sebagaimana layaknya orang yang tidak berzina

Al-Qur‟an adalah kitab suci umat Islam yang diturunkan oleh Allah swt. kepada Nabi Muhammad saw. sebagai salah satu mukjizat kerasulannya. Al- Qur‟an merupakan

pada Anak Usia Dini di RA Perwanida Slawi Kabupaten Tegal, Nadwa”.. Jadi Al-Qur‟an adalah wahyu yang diturunkan oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW dengan melalui

Jumhur ulama sepakat bahwa jika tarjih sudah dilakukan maka dalil yang rajah atau yang dikuatkan wajib diamalkan dengan alasan bahwa hal tersebut telah ditempuh dan diamalkan para