• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN - Peran Koordinasi Badan Pelaksana Penyuluhan Dan Ketahanan Pangan dalam Peningkatan Aksesibilitas Pangan bagi Daerah Rawan Pangan di Kabupaten Serdang Bedagai

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN - Peran Koordinasi Badan Pelaksana Penyuluhan Dan Ketahanan Pangan dalam Peningkatan Aksesibilitas Pangan bagi Daerah Rawan Pangan di Kabupaten Serdang Bedagai"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang

Ketahanan Pangan merupakan isu yang sangat krusial di Indonesia maupun di

dunia internasional. Masalah ketahanan pangan telah menjadi ancaman yang

menakutkan bagi dunia saat ini. Hal ini disebabkan karena masalah pangan

merupakan masalah penentu hidup matinya seseorang. Setiap orang dapat bertahan

hidup hanya karena adanya makanan yang di konsumsi. Dan sungguh sangat

mengerikan jika kebutuhan akan pangan tidak dapat dipenuhi maka akan

mengakibatkan busung lapar dan pada akhirnya menuju pada kematian. Hal inilah

yang membuat masalah ketahanan pangan menjadi sangat penting untuk diperhatikan

dan diselesaikan.

Dunia internasional telah menyadari pentingnya masalah ketahanan pangan.

Masalah ketahanan pangan telah diperbincangkan oleh dunia internasioanal pada

tahun 1974 dengan diadakannya konferensi pangan dunia untuk pertama kalinya. Hal

ini tentu didorong oleh kekuatiran dari pemimpin-pemimpin negara di dunia

internasional akan ketahanan pangan. Krisis pangan yang melanda beberapa negara di

benua Afrika dan Asia memberikan sinyal ancaman bagi dunia internasional. Lebih

(2)

dan ditambah dengan peningkatan jumlah penduduk yang tak terkendali. Kesadaran

dan kekuatiran tersebut pada akhirnya mendorong terselenggaranya konferensi

pangan internasional. Atas dasar permasalahan tersebut, kemudian Thomas R.

Malthus mencetuskan Revolusi hijau untuk menjawab permasalahan pangan Global.

Revolusi hijau pada waktu itu menjadi sebuah gerakan bersama dari setiap Negara di

dunia untuk meningkat produktivitas pertanian mereka melalui pengembangan dan

penelitian pertanian serta modernisasi pertanian dengan menggunakan teknologi

canggih dalam pertanaian.

Namun Paradigma ketahanan pangan telah gagal mencapai target dalam

menurunkan angka kelaparan dunia. Berdasarkan laporan Organisasi Pangan Dunia

(FAO) pada 17 September 2014, angka kelaparan mencapai 805 juta jiwa. Jumlah ini

jauh meleset dari target World Food Summit pada tahun 1996, yang saat itu

menggadang-gadang konsep ketahanan pangan akan mampu mengurangi setengah

angka kelaparan dunia pada tahun 2015, yakni dari 1,0145 milyar juta jiwa menjadi

507,25 juta jiwa. Laporan FAO itu juga menyampaikan bahwa angka kelaparan

negara dunia berkembang masih pada angka 790,7 juta jiwa. Dengan kata lain satu

dari sembilan orang di dunia atau satu dari delapan orang di Negara-negara

berkembang tidak mempunyai pangan cukup untuk aktif dan hidup sehat. Hal ini

tentu kembali membuat kekuatiran bagi dunia dan harus menempatkan masalah

ketahanan pangan sebagai suatu permasalahan yang harus diselesaikan sebelum

semakin menjadi kompleks.

Di Indonesia, lahirnya otonomi daerah mendesak terjadinya perubahan pola

(3)

masa orde baru yang lebih sentralistik, kini berubah menjadi desentralistik. Hal ini

sesuai dengan semangat reformasi dan otonomi daerah yang saat ini kerap di

dengungkan. Lahirnya undang-undang no 22 tahun 1999 dan kemudian direvisi

dengan undang-undang no 32 tahun 2004 merupakan sebuah landasan hukum adanya

penyelenggaraan otonomi daerah di Indonesia. Penyelenggaraan otonomi daerah

yang diharapkan melalui undang-undang no 32 tahun 2004 tidak dapat berjalan

dengan baik karena belum adanya peraturan pemerintah yang mengatur kewenangan

antara pusat dan daerah. Namun pada tahun 2007 lahirlah Peraturan pemerintah no.

38 yang memperjelas kewenangan antara pusat dan daerah. Di dalam Peraturan

pemerintah tersebut menegaskan adanya penyerahan 31 urusan yang di serahkan

kepada daerah. Sementara yang termasuk sebagai kategori urusan wajib terdapat 26

urusan yang wajib ditangani oleh pemerintahan daerah dan terdapat 8 urusan sebagai

urusan pilihan. Salah satu dari 26 urusan wajib yang menjadi kewenangan

pemerintahan daerah adalah Ketahanan pangan. Inilah yang menjadi dasar hukum

perubahan pola sistem kebijakan ketahanan pangan Indonesia.

Kebijakan ketahanan pangan pada masa orde baru yang berpola Top-Down

sebenarnya berhasil memacu peningkatan produksi pangan. Sejak tahun 1980-an

kondisi ketahanan pangan Indonesia cukup menjanjikan, karena besarnya perhatian

pemerintah di sektor pertanian. Dengan melaksanakan revolusi hijau pada masa

pemerintahan orde baru sebagaimana yang diterapkan dibannyak negara agraris

lainnya di dunia Indonesia berhasil mencapai swasembada pangan. Kebijakan

proteksi diterapkan dalam sektor pertanian dengan pemberian subsidi bibit, pupuk,

(4)

instansi yang memiliki tugas strategis untuk mengatasi masalah ketahanan pangan,

bergerak dengan menyediakan pasar bagi produk-produk pertanian dan menetapkan

harga bagi para petani. Kemudian Bulog mendistribusikan kewenangannya melalui

KUD Koperasi Unit Desa) yang ditempatkan di level pedesaan. KUD merupakan

lumbung bagi stok cadangan yang digunakan ketika stok pangan nasional menipis.

Pemerintah berusaha menjaga tingkat harga pangan tetap dapat dibeli oleh rakyat

banyak. Kebijakan ini jelas merupakan kebijakan yang sangat sentralistik. Sistem

kebijakan ketahanan pangan yang begitu sentaralistik nyatanya dapat berhasil pada

masa orde baru.

Namun adanya semangat otonomi daerah dengan lahirnya UU pemerintah

daerah yang memberikan kewenangan kepada daerah untuk mengurus rumah

tangganya sendiri. Semangat inilah yang pada akhirnya mengkritik kebijakan

ketahanan pangan masa orde baru yang dianggap gagal. Peran aktif pemerintah pusat

pada masa orde baru dianggap telah mengubah perilaku masyarakat hingga selalu

tergantung pada program pemerintah serta mengurangi kreatifitas dan

kemandiriannya. Tidak hanya itu, kebijakan ketahanan pangan yang sentralistik dan

berpola Top-Down ini juga diklaim sebagai penyebab terjadinya penyeragaman

pembangunan hingga tak mampu merespon masalah dan kebutuhan masyarakat yang

bergam antar daerah. Atas alasan-alasan tersebut maka kebijakan ketahanan pangan

yang sentralistik dan berpola Top-Down di ubah sesuai dengan kebijakan desentralis

yang berpola Bottom-Up sesuai dengan UU pemerintahan daerah.

Adanya penyerahan tugas dan kewenangan kepada daerah untuk mengurusi

(5)

peraturan pemerintah ini memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk

membentuk badan ketahanan pangan daerah yang mempunyai tugas untuk

menyediakan pangan bagi setiap rumah tangga. Melalui pembentukan badan

ketahanan pangan daerah ini maka setiap pemerintah daerah dituntut untuk dapat

mengetahui potensi pangan di daerahnya serta mampu mengelolanya agar mampu

menyediakan pangan secara berkelanjutan. Pemerintah daerah diberikan keleluasaan

untuk mempergunakan sumber dayanya untuk menciptakan ketahanan pangan di

daerahnya. Sebagai mana kritik yang di lontarkan pada masa orde baru yang terkesan

sangat sentralistik dan pemerintah pusat dianggap tidak mengerti persoalaan dan

potensi daerah. Maka pada kebijakan Desentralisasi pangan ini seharusnya mampu

membuktikan kebenaran dari kritik yang pernah dilontarkan tersebut.

Kebijakan desentralisasi hampir 16 tahun berjalannya sejak dikeluarkannya

UU No.22 tahun 1999 dan lebih jelas lagi sudah 8 tahun sejak dikeluarkannya PP

No.38 tahun 2007 tidak menunjukkan tanda-tanda yang membaik dari kebijakan

desentralisasi pangan. Walaupun demikian pemerintah republik Indonesia dapat

mencukupi kebutuhan pangan Indonesia dengan kebijakan impor pangan. Kecukupan

pangan dalam negeri melalui kebijakan impor tentunya telah dilakukan dengan

perhitungan yang matang antara produksi dalam negeri dan kebutuhan konsumsi

pangan nasional. Namun pada kenyataannya pemenuhan kebutuhan tersebut dengan

menekankan pada ketersediaan pangan nasional tentu tidak dapat dijadikan tolak ukur

sebuah ketahanan pangan nasional. Terbukti dengan masih adanya kasus-kasus

kelaparan di beberapa daerah di Indonesia yang bisa menjadi indikasi kuat bahwa

(6)

Lebih lagi di Kabupaten Serdang Bedagai, kabupaten ini telah berhasil

mencapai Swasembada beras dan menjadi lumbung pangan Provinsi Sumatera Utara.

Hal ini tentu akan menjadi sebuah prestasi yang membanggakan bagi perangkat

daerah di Kabupaten ini. Namun ada hal yang perlu untuk diwaspadai, angka

kemiskinan yang ada di Serdang Bedagai jika melihat data dari BPS Kabupaten

Serdang Bedagai dengan menggunakan komponen Garis Kemiskinan (GK), yang

terdiri dari Garis Kemiskinan Makanan (GKM) dan Garis Kemiskinan Bukan

Makanan (GKBM) Sangat tinggi. Tercatat sebanyak 10.61% tahun 2008, 9.51%

tahun 2009 dan 10.59% tahun 2010 jumlah pernduduk Kabupaten Serdang Bedagai

yang masih hidup dalam kemiskinan. Hal ini tentu harus menjadi perhatian

pemerintah. Di dalam kondisi kelimpahan pangan tetapi masih ada warga

masyarakatnya yang masih hidup dalam kemiskinan berdasarkan garis k emiskinan

makanan dan garis kemiskinan non makanan yang ditetapkan oleh BPS kabupaten

Serdang Bedagai.

Selain itu berdasarkan hasil data dari badan pelasksana penyuluhan dan

ketahanan pangan kabupaten serdang bedagai terdapat 3 kecamatan yang

digolongkan sebagai daerah rawan pangan. Badan Pelaksana penyuluhan dan

ketahanan pangan kabupaten Serdang Bedagai menetapkan indikator penetapan

daerah rawan pangan dengan melihat potensi pertanian dan jumlah penduduk di

kecamatan tersebut. Apabila suatu kecamatan tersebut memiliki potensi pertanian dan

dibandingkan dengan jumlah penduduknya, kecamatan tersebut surplus pangan maka

ditetapkan sebagai kecamatan yang aman akan pangan, dan sebaliknya. Namun yang

(7)

daerah yang tidak memiliki potensi pertanian, tetapi lebih mengedepankan

perkebunan, jasa ataupun sektor usaha lainnya selain pertanian. Sebagaimana dengan

yang di tetapkan oleh badan pelaksana penyuluhan dan ketahanan pangan sebagai

daerah rawan pangan, tentu bagaimana peranan pemerintah utamanya badan

penyuluhan dan ketahanan pangan untuk meningkatkan akses pangan bagi daerah

tersebut. Hal inilah akan di ungkap oleh peneliti melalui penelitian yang berjudul

“bagaimana Peran koordinasi Badan Pelaksana Penyuluhan dan Ketahanan Pangan dalam peningkatan Aksesibilitas pangan di daerah rawan pangan kabupaten Serdang

bedagai.”

I.2. Fokus Permasalahan

Penelitian ini memiliki fokus masalah yang menjadi batasan peneliti dalam

melakukan penelitian. Peneliti melakukan fokus masalah yang akan diteliti karena

begitu banyak teori dalam ilmu sosial dengan persepsi yang berbeda-beda sehingga

perlu dilakukan fokus masalah agar menjadi acuan bagi peneliti dalam melakukan

penelitian di lapangan.

Dalam penelitian ini, peneliti ingin mengetahui bagaimana Peran Koordinasi

Badan Pelaksana Penyuluhan dan Ketahanan Pangan dalam Peningkatan

Aksesibilitas Pangan di daerah rawan pangan Kabupaten Serdang Bedagai?

I.3. Rumusan Permasalahan

Untuk dapat memudahkan penelitian ini selanjutnya dan supaya peneliti dapat

terarah dalam menginterpretasikan fakta dan data dalam pembahasannya. Masalah

(8)

pertanyaan terhadap dirinya tentang hal hal yang akan dicari jawabnya melalui

kegiatan penelitian.

Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan, maka permasalahan yang

menjadi perhatian penulis dalam penelitian ini adalah: “bagaimana Peran Koordinasi Badan Pelaksana Penyuluhan dan Ketahanan Pangan dalam Peningkatan

Aksesibilitas Pangan di daerah rawan pangan Kabupaten Serdang Bedagai.

I.4. Tujuan Penelitian

Di dalam usulan/rancangan penelitian, apapun format penelitian yang

digunakan (deskriptif eksplanasi, studi kasus, survei eksperimen), juga perlu secara

tegas dan jelas merumuskan tujuan penelitian yang hendak dihasilkan. Tujuan

Penelitian ini ialah untuk menjawab perumusan masalah yang telah dikemukakan

sebelumnya, yakni untuk mengetahui bagaimana Peran Koordinasi Badan Pelaksana

Penyuluhan dan Ketahanan Pangan dalam Peningkatan Aksesibilitas Pangan di

daerah rawan pangan Kabupaten Serdang Bedagai?

I.5. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat penelitian ini ialah:

1. Manfaat secara ilmiah, penelitian ini bermanfaat untuk menambah pengetahuan

serta mengembangkan kemampuan berpikir melalui penulisan karya ilmiah

dibidang ilmu Administrasi Negara serta Kebijakan Publik.

2. Manfaat secara praktis, penelitian ini diharapkan bermanfaaat dapat memberikan

(9)

3. Manfaat secara akademis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi

baik secara langsung maupun tidak langsung bagi kepustakaan Departemen Ilmu

Administrasi Negara.

I.6. Sistematika Penulisan

BAB I : PENDAHULUAN

Bab ini memuat latar belakang masalah dan perumusan masalah,

tujuan penelitian, manfaat penelitian,

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini memuat kerangka teori, defenisi konsep dan sisitematika

penelitian.

BAB III : METODE PENELITIAN

Bab ini memuat bentuk penelitian, lokasi penelitian, informan

penelitian , teknik pengumpulan data dan teknik analisa data.

BAB IV : DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN

Bab ini berisikan gambaran umum lokasi penelitian, sejarah singkat

lokasi penelitian dan gambaran umum mengenai instansi tempat

penelitian.

(10)

Bab ini berisikan hasil data yang diperoleh dari lapangan dan atau

berupa dokumen yang akan di analisis serta berisikan tentang uraian

data- data yang diperoleh setelah melaksanakan penelitian

BAB VI : PENUTUP

Bab ini memuat kesimpulan dan saran- saran yang diperoleh dari

hasil peneliti

Referensi

Dokumen terkait

By considering arbitrary source–receiver configurations, compressional primary reflections can be imaged into time or depth-migrated seismic sections so that the migrated

capability of ground penetrating radar GPR applications without degradation of resolving power. The radar has the unique capability to employ a short gate at each frequency step

Namun demikian nilai kuat tekan kayu jati (53,95 N/mm 2 ) lebih tinggi dibandingkan nilai kuat tekan bambu laminasi variasi satu (31,47 N/mm 2 ) dan variasi dua

(1) Daerah j ang mel iput i Daerah Karesidenan Semarang, Pat i, Pekal ongan, Banj umas, Kedu, dan Surakart a dit et apkan mendj adi Propinsi Dj awa Tengah.. Pasal

pembelajaran untuk pencapaian yang lebih baik di masa mendatang.. Metode dakwah yang diterapkan di Ponpes Agro Nuur El-Falah, Pulutan, Sidorejo, Kota Salatiga Tahun 2017. Jurusan

Tulislah sanksi apabila ada warga sekolah yang melanggar Tata tertib. Minta tanda tangan guru

dalam tradisi magibung tersebut perlu adanya pembelajaran berbasis budaya, terutama budaya lokal dalam upaya pembentukan karakter masyarakat yang berbasis kearifan

PENGOLAHAN MUSIK TETABUHAN NUSANTARA DALAM “RHYTHM SAWAH” KARYA GILANG RAMADHAN.. Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu