• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 5 IDENTITAS TERITORIAL DAN RESISTENSI MASYARAKAT HATUNURU - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Identitas Teritorial: Studi tentang Identitas Teritorial di Negri Hatunuru

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB 5 IDENTITAS TERITORIAL DAN RESISTENSI MASYARAKAT HATUNURU - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Identitas Teritorial: Studi tentang Identitas Teritorial di Negri Hatunuru"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

IDENTITAS TERITORIAL DAN RESISTENSI

MASYARAKAT HATUNURU

Bab ini merupakan temuan empirik lain. Fokus utama bagian ini adalah memberi deskripsi dan melakukan analisa terhadap resistensi yang terjadi di Hatunuru.Resistensi ini lebih kepada upaya dalam mencegah pembukaan perkebunan kelapa sawit di Kecamatan Taniwel Timur, Kabupaten Seram Bagian Barat (SBB). Masyarakat Hatunuru menggunakan identitas teritorial sebagai landasan melakukan resistensi.

Munculnya Identitas Perlawanan di Hatunuru

Tahun 2014 silam, Pemerintah Kabupaten SBB merencanakan membuka perkebunan kelapa sawit di Kecamatan Taniwel Timur. Rencana ini merupakan hasil kesepakatan sepihak antara Pemerintah Kabupaten SBB dan pihak investor28. Rencana sepihak ini akhirnya

menuai penolakan oleh “Persekutuan Adat Sapalewa Batai”29. Atas

penolakan itu, rencana sepihak Bupati SBB kemudian diberhentikan. Masih pada tahun yang sama, rencana ini digulirkan kembali. Namun, kali ini para raja dalam Kecamatan Taniwel Timur dilibatkan dalam pertemuan yang digelar di Hotel Aston (sekarang Hotel Natsepa). Per-temuan yang dihadiri para raja, Bupati Kabupaten SBB, Camat, dan investor itu adalah untuk menentukan lokasi pembibitan kelapa sawit. Alhasil dari pertemuan tersebut, Hatunuru kemudian ditunjuk sebagai area pembibitan kelapa sawit, dan diproyeksikan untuk dibangun

28

Penulis tidak mengetahui dengan pasti siapa yang disebut sebagai investor, dikarenakan masyarakat Hatunuru juga tidak mengetahui siapa investor tersebut.

29

(2)

usahaan kelapa sawit di Hatunuru30. Melalui salah satu media massa,

Bupati Kabupaten SBB menjelaskan tentang pembukaan kebun kelapa sawit ini telah disepakati oleh para raja di Kecamatan Taniwel Timur. Bupati Kabupaten SBB memberi penjelasan terkait per-kebunan kelapa sawit yang telah disetujui oleh DPRD SBB dalam master plan, dan segera mungkin dilaksanakan untuk kebutuhan ma-syarakat31.

Sementara di Hatunuru, caretaker raja Hatunuru menjelas-kan bahwa, kelapa sawit akan dialokasikan pada wilayah-wilayah yang tidak pernah terjamah oleh aktivitas masyarakat Hatunuru dan atau tidak mengganggu sumber nafkah masyarakat Hatunuru32.

Berdasarkan instruksi tentang pembukaan perkebunan kelapa sawit oleh Bupati SBB, maka masyarakat Hatunuru kemudian melakukan perlawanan. Dua hal yang menjadi alasan kuat masyarakat Hatunuru melakukan perlawanan adalah; (1) rencana yang tidak diketahui masyarakat Hatunuru; (2) referensi masyarakat Hatunuru.

Masyarakat Hatunuru Tidak Mengetahui

Ketidaktahuan masyarakat Hatunuru terkait rencana untuk membuka perkebunan kelapa sawit yang telah digulirkan kembali oleh para elite SBB, adalah alasan masyarakat Hatunuru melakukan per-lawanan. Ketidaktahuan ini adalah karena masyarakat Hatunuru tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan. Raja Hatunuru (almarhum) yang mengikuti pertemuan tersebut, tidak melakukan komunikasi secara sistemik dengan masyarakat Hatunuru atau tidak ada sosialisasi yang dijalankan oleh perusahaan kelapa sawit di Hatunuru. Masyarakat Hatunuru baru mengetahui hal tersebut melalui informasi salah seorang tokoh masyarakat Hatunuru yaitu, Izak Latualia. Izak Latualia menuturkan bahwa, ia mengetahui hal tersebut ketika hendak kembali ke Hatunuru dalam perjalanan pulang dari Taniwel menuju Hatunuru. Ia dicegat oleh para elite SBB untuk sekedar mempertanyakan status tanah milik Perusahaan Apituley yang mengalami kebangkrutan oleh sebab kredit macet. Status tanah tersebut telah dikembalikan kepada masyarakat Hatunuru, karena hanya disewakan. Kemarahan Izak

30

Hasil wawancara dengan EA, 3 Juni 2015

31

Harian Siwalima, edisi September 2014

32

(3)

Latualia mencapai klimaks, ketika para elite SBB mengatakan bahwa mereka hendak melakukan eksekusi lahan, dan alat untuk melakukan eksekusi sedang dalam perjalanan dari Ambon menuju ke Hatunuru. Izak Latualia menolak secara terbuka, kemudian setibanya di Hatunuru, ia menghimpun masyarakat Hatunuru dan melakukan pertemuan di kediamannya. Alhasil pertemuan tersebut, masyarakat Hatunuru kemu-dian sepakat melakukan perlawanan. Berdasarkan hasil wawancara ma-syarakat kaget dan sangat marah karena tidak mengetahui hal tentang rencana untuk membuka perkebunan kelapa sawit, berikut penulis sajikan beberapa penggalan wawancara dengan masyarakat Hatunuru.

Katong kira proyek ni akang su stop. Tau-taunya dong kase jalan akan kombali (Kami mengira proyek ini telah diberhentikan. Tetapi mereka menjalanakannya kembali) (IL, 20 Mei 2015)

Dong (para elite SBB) seng bilang apa-apa tentang sawi ni par katong. Katong seng tau kata sawi ni akang mau jalang di Hatunuru (Mereka tidak mengatakan hal tentang sawit kepada kami. Kami juga tidak mengetahui bahwa sawit akan dijalankan di Hatunuru (BM, 28 Mei 2015)

Raja sa yang tau, barang antua iko pertemuan. Katong seng tau akang (Kepala desa saja yang mengetahui hal ini, karena beliau mengikuti pertemuan.Kami tidak mengetahuinya) (PL, 3 Juni 2015).

(4)

dimaksud (Coase dalam Rogers, 2008). Hal ini agar mampu mencegah eksternalitas negatif, yang pada dasarnya selalu menjadi pekerjaan rumah melalui pendekatan industrial di negara-negara berkembang.

Ketidaktahuan masyarakat Hatunuru dirasakan penulis adalah sebagai kesan untuk menutupi dan melakukan eksekusi secara terselubung oleh para elite SBB. Berangkat pada pernyataan raja dalam pertemuan tersebut bahwa masyarakat Hatunuru juga telah bersedia, tetapi tidak dalam kenyataanya. Masyarakat Hatunuru tidak pernah mengatakan bahwa mereka bersedia melepas lahan mereka demi untuk kelancaran perkebunan kelapa sawit. Masyarakat Hatunuru malah baru mengetahuinya ketika lahan hendak dieksekusi. Sejalan dengan ini, Hardjasoemantri (1998 dalam Litaay, 2014) menggunakan empat alasan utama masyarakat harus dilibatkan adalah supaya; (1) memberi penge-tahuan kepada pemerintah agar mampu melihat masalah tertentu; (2) untuk meningkatkan kesediaan masyarakat untuk menerima keputusan dan mengurangi potensi konflik; (3) untuk menyediakan perlindungan hukum dari potensi sengketa di masa mendatang akibat dari perbedaan pendapat; (4) untuk mendemokratisasikan pengambilan keputusan.

Dalam kenyataan bahwa masyarakat tidak mengetahui akan hal itu, maka penulis mengestimasikan bahwa identitas perlawanan di Hatunuru kemudian terbentuk oleh sebab tidak dilibatkannya masyarakat Hatunuru sebagai decision maker dan policy maker. Oleh Gramsci (1971), resistensi ini hadir karena komunitas lebih berkenan pada komunitas yang “kontra hegemoni”. Di Hatunuru sendiri, penulis menemukan bahwa, kontra hegemoni hadir sebagai respon atas komunikasi yang tidak dilakukan secara sistemik antara raja dan masyarakat Hatunuru maupun para elite SBB dan masyarakat Hatunuru. Oleh karena itu, identitas teritorial lebih berkenan pada kekuasaan masyarakat Hatunuru secara institusi atau berupa aturan main dalam hak-hak kepemilikan hutan menjadi basis resistensi. Klaim-klaim di Hatunuru lebih bermuatan warisan, dengan kata lain hutan adalah warisan yang diberikan oleh leluhur.

Referensi Masyarakat Hatunuru

(5)

pada dua hal yaitu, pengalaman masyarakat Hatunuru sebagai buruh perusahaan, dan berikut adalah pengalaman identitas lain di negri

Latea. Pertama, referensi grup berdasar pada pengalaman menjadi buruh perusahaan, dan dirasakan masyarakat Hatunuru sangatlah sulit. Beberapa masyarakat menceritakan pengalaman mereka sebagai buruh, dan apabila ingin menjadi buruh maka lahan mereka tidak akan hrus disewakan dengan harga yang rendah, juga gaji yang didaptkan sangtlah sedikit. Selain itu, masyarakat merasakan terjajah di negri

sendiri. Mereka tidak ingin hal yang sama kembali terulang di Hatunuru. Memang menurut mereka pada saat itu, perekonomian di Hatunuru menjadi lebih baik. Memang sempat timbul wacana terkait perekrutan karyawan perusahaan sawit ini akan memprioritaskan masyarakat Hatunuru. Namun, mereka mengatakan bahwa hal yang sama telah mereka dengar dari perusahaan yang lama, dan hasilnya tidak sejalan dengan ekspektasi masyarakat Hatunuru. Dengan demikian, mereka melakukan penolakan berdasar pada referensi mereka sebagai buruh di masa lalu.

(6)

Memori kolektif di Hatunuru hadir melalui pengalaman grup, pengalaman ini membentuk referensi grup berkenan pada penolakan oleh sebab pengalaman sendiri dan pengalaman komunitas lain. Sehingga ada kesan, identitas teritorial yang hadir melalui pengalaman grup menjadi kekuatan dalam membangun ideologi penolakan berdasar pada referensi masyarakat Hatunuru. Selain itu, referensi masyarakat Hatunuru adalah hadir dalam wajah kosmologi yang menganggap hutan sebagai “dapur”. Bagi masyarakat Hatunuru, hutan sebagai “dapur” berkenan pada korelasi budaya, ekonomi, ekologi, kelem-bagaan, dan sosial. Dengan demikian, muncul kolaborasi referensi di Hatunuru tentang kelapa sawit yang akan memberi efek negatif. Efek negatif yang dimaksud yaitu, keterancaman modal teritorial sebagai hutan yang akan berdampak identitas teritorial, yang mengarahkan pada kemiskinan endemik. Keterancaman identitas teritorial ini secara mendasar berkaitan dengan dua hal yaitu, sumber nafkah dan pemaknaan hubungan alam dan manusia, manusia dan manusia.

Alasan-alasan di atas menjadi kekuatan dalam melakukan resistensi berdasar pada identitas perlawanan demi melindungi teritorial mereka. Sebagaimana studi yang dilakukan oleh Paasi (2011), wilayah dan kekuasaan merupakan faktor konstruksi identitas. Paasi mendorong pemaknaan konteks kedaerahan melalui sejarah, adalah kekuatan maupun perbandingan sebagai basis perlawanan.

Gambar 5.1. Resistensi Berbasis Identitas

Identitas Legitimasi Identitas Perlawanan

Resistensi Hutan hendak

dirampas, tanpa melibatkan masyarakat Hatunuru

dalam pengambilan keputusan. Terbentuk karena

referensi grup yaitu pengalaman kolektif

dan memori kolektif.Selain itu,

(7)

Tabel di atas, dibuat oleh penulis sejalan dengan pandangan Castells (2010). Identitas legitimasi di Hatunuru terjadi karena, referensi masyarakat Hatunuru terhadap kasus kelapa sawit yang menimpah negri Latea, sekaligus memori kolektif yang hadir oleh pengalaman kolektif pada masa lampau terkait pengalaman mereka sebagai buruh perusahaan. Hal berikut, hutan merupakan warisan yang membentuk identitas teritorial sebagai masyarakat yang memaknai hutan sebagai ruang hidup. Ruang hidup itu berkenan pada fungsi hutan sebagai sumber nafkah, sehingga kesan identitas legitimasi ini menjadi identitas perlawanan yang hadir oleh sebab diabaikannya mereka sebagai pembuat keputusan, dan tidak dilibatkan dalam program pembangunan oleh para elite Kabupaten SBB. Resistensi hadir sebagai bentuk penolakan terhadap kebijakan ekonomi luar masyarakat Hatunuru. Dengan demikian, identitas perlawanan di Hatunuru terbentuk sebagai upaya mencegah, dan melindungi, juga respon kolektif terhadap kekecawaan oleh kebijakan top-down. Oleh karena itu, resistensi merupakan upaya yang diberlakukan untuk melindungi identitas teritorial dari keterancaman.

Dominasi Elite SBB versus Identitas Teritorial

(8)

menemui pihak lainnya. Hal ini terjadi di Hatunuru, Bupati SBB hanya menghadirkan raja Hatunuru tanpa menghadirkan tokoh-tokoh adat sebagaimana kepala soa di Hatunuru.

Masyarakat Hatunuru sebagai saniri negri33 adalah pemegang

keputusan, dan bukan raja. Keputusan mereka ini adalah mutlak, dan tidak dapat diganggu gugat. Dengan demikian, masyarakat Hatunuru menggunakan tiga strategi dalam melakukan perlawanan yaitu, kekuasaan, etika, dan solidaritas sebagai nilai-nilai lokal di Hatunuru yang harus diperhitungkan.

Sasi Adat Sebagai Resistensi Berbasis Identitas Teritorial

Kekuasaan di dalam negri Hatunuru merupakan milik soa, dan bukan raja sebagai otoritas teritinggi di Hatunuru. Soa sebagai himpunan identitas yang memiliki kesamaan asal-usul, memainkan peran signifikan dalam resistensi ini. Kekuasaan soa, adalah hadir melalui klaim-klaim atas hutan yang merupakan milik mereka sebagai sumber nafkah tiap-tiap mata rumah dalam soa itu, juga sebagai warisan. Bertolak pada pernyataan informan dari luar masyarakat Hatunuru, penulis melihat bahwa kekuasaan di Hatunuru menjadi dasar kuat untuk melawan para elite SBB.

Orang Hatunuru pung tanah basar di Matapa ini. Kalo dong bilang seng bisa bangun perusahaan, ya katong tetap iko dong (Orang Hatunuru memiliki tanah besar di Matapa. Kalau mereka bilang tidak bisa membuka perkebunan kelapa sawit, ya kami harus mengikuti) (OM, 30 Mei 2015)

Pengalaman di masa lalu yang hadir sebagai memori kolektif melalui penuturan sejarah secara lisan yang diwariskan lintas generasi memberi jaminan bahwa, kekuasaan di Hatunuru adalah harga mati dalam hal kepemilikan lahan. Hal ini sejatinya adalah karena ekspansi yang dilakukan sejak zaman perang saudara di Pulau Seram pada masa lampau. Berkenan pada pandangan Foucault (1998) yang memberi kesan kekuasaan tidak selamanya bersifat top-down, tetapi juga

bottom-up. Kekuasaan dari bawah ini menjadi modal perlawanan

berdasar pada integrasi ideologi di Hatunuru maupun masyarakat luar

33

(9)

Hatunuru. Integrasi ideologi ini hadir dari dalam Hatunuru melalui klaim tentang kepemilikan, dan hutan adalah dibernarkan milik masyarakat Hatunuru sejalan dengan hierarki adat mengenai hak-hak kepemilikan berdasar pada soa. Ideologi dari luar identitas Hatunuru menaruh perhatian pada kekuasaan masyarakat Hatunuru yang notabene adalah kaum tersohor di Kecamatan Taniwel Timur.

Dengan demikian, dominasi elite SBB menjadi lemah karena secara institusi, baik PERDA Provinsi Maluku maupun UU Nomor 32 Tahun 2004, memberi jaminan bagi kepengaturan budaya lokal dalam sistem pemerintahan desa. Mengingat, sebelum berdirinya negri, terlebih dahulu soa hadir sebagai kumpulan identitas-identitas yang menjalankan pemerintahan independen, kemudian membentuk klaim-klaim terkait hak-hak kepemilikan berdasar pada ekspansi pada masa perang saudara di Seram. Oleh karena itu, penting memahami masyarakat Hatunuru bukan melalui otoritas tertinggi di Hatunuru sebagai raja, melainkan memahami regulasi melalui struktur sosial-adat yang lebih memiliki kekuasaan di Hatunuru sebagai soa. Pada akhirnya, resistensi berbasis kekusaan ini terbentuk bukan saja melalui pandangan masyarakat Hatunuru bahwa hutan adalah milik mereka, tetapi juga masyarakat lain yang turut membenarkan argumentasi masyarakat Hatunuru. Sebagaimana dikemukakan oleh Briggs (2005), terkait pengetahuan lokal sebagaimana adat adalah tantangan bagi pembangunan yang berdasar pada faktor ekstetnal.

Sebagaimana terus penulis kemukakan bahwa, hutan sejatinya dalam kosmologi masyarakat Hatunuru dianggap sebagai “dapur”. “Dapur” merupakan warisan yang dimiliki untuk melakukan kegiatan berkenan pada makan, minum, dan memberdayakan. Kesan “dapur” sebagai hutan mencitrai kehidupan masyarakat Hatunuru dalam melakukan perlawanan. Hal ini bertolak pada dua alasan pertama, yaitu nilai dan kepercayaan. Nilai ini hadir sebagai etika tentang pelestarian hutan, sedangkan kepercayaan lebih bermuatan pemaknaan yang kontekstual menyangkut superioritas hutan yang transenden.

(10)

lintas generasi di Hatunuru melalui penuturan lisan dalam mitos terciptanya Danau Tapala, masyarakat Hatunuru memandang hutan dalam dua pemahaman yaitu, berkat dan bencana. Berkat memberi muatan lokal bagi terbentuknya identitas teritorial sebagai identitas resistensi karena hutan adalah berkat yang leluhur sediakan untuk dikelola dan sebagai sumber hidup. Sementara hubungannya dengan bencana adalah melalui ketakutan akan terjadi bencana alam apabila hutan mengalami pengrusakan, dan itu dinilai sebagai murkah leluhur.

Dengan demikian, tipologi identitas teritorial masyarakat Hatunuru ini dapat penulis katakan sebagai masyarakat topophilia

(lihat Roca, 2012). Beery et al (2015) menggunakan kajian topophilia

sebagai kesatuan teritorial yang menghubungkan manusia dan alam, dan atau hubungan manusia dengan alam yang bukan manusia. Oleh karena itu, identitas teritorial melalui religio-magis-kosmis merupakan hal yang mendorong masyarakat Hatunuru melakukan resistensi. Resistensi dilakukan atas dasar kecintaan akan perjuangan leluhur melalui penghormatan dalam wujud pelestarian hutan, agar tidak teritimpa musibah.

Sasi adat merupakan komponen keberlanjutan di Hatunuru. Esensi sasi adat sendiri lebih kepada penutupan wilayah, misalnya disebutkan Evans et al (1996) tentang sasi sebagai penutupan wilayah terrestrial (darat) dan sumber daya laut. Selain itu, Patra dan Arifin (dalam Evans et al, 1996) menyebut sasi sebagai manajemen lokal. Di Hatunuru sendiri melakukan sasi adat adalah membentuk hubungan sosial-ekologi melalui pelestarian alam, hubungan ekonomi-ekologi melalui penutupan SDA sampai pada masa panen tiba, dan religio-kosmis menyangkut hubungan kepercayaan lokal terkait hutan dapat mendatangkan bencana sebagai murkah leluhur (suprakultural), dan untuk itu harus dilindungi.

(11)

dilanggar. Dalam keterkaitannya dengan resistensi, Cox (1993) melihat resistensi hadir melalui upaya-upaya melakukan boikot sebagai resistensi non-kekerasan. Bagi penulis, sasi adalah upaya para pemboikot di Hatunuru. Mereka tidak ingin bekerja sama dengan para elite SBB, karena berkaitan dengan keberlanjutan sumber nafkah yang terancam. Selain itu, penulis juga melihat hal ini sebagai modal politik masyarakat Hatunuru secara komunal, dan modal manusia secara personal. Dua modal ini saling terkoneksi melalui tindakan, termanifestasi dalam sasi. Modal politik di Hatunuru melalui sasi adalah upaya dalam mematahkan kebijakan para elite SBB, sementara modal manusia berkenan pada pengetahuan lokal mengenai sasi sebagai upaya perlawanan secara simbolik yang pantang untuk dilanggar. Oleh karena itu, sasi adat digunakan sebagai implementasi kebijakan masyarakat Hatunuru yang mencegah kebijakan para elite SBB.

Sumber: Facebook, Elifas Tomix Maspaitella, diunggah tanggal 3 Agustus 2015 Gambar 5.2 Sasi Adat Sebagai Simbol Perlawanan

(12)

mendiskusikan hal-hal yang berkenan pada pengrusakan hutan, dan keterancaman sumber nafkah. Kerkvliet (2009) melihat ini sebagai politik resmi, karena ada upaya mendiskusikan secara komunal antar masyarakat resistor guna menghindari, menerapkan, menolak kebijakan terkait alokasi sumber daya. Sasi bukan menjadi perlawanan sehari-hari, tetapi lebih kepada politik resmi yang berdasar pada pengetahuan lokal dalam memperjuangkan teritorial di Hatunuru.

Resistensi Berbasis Solidaritas

Resistensi terjadi karena sumber nafkah terintimidasi oleh sebab dominasi para elite SBB. Ketika sumber nafkah hilang, maka tidak ada lagi kehidupan saling memberdayakan. Ditambah pula dengan kehidupan masyarakat Hatunuru sebagai petani lahan kecil terancam, karena mereka hidup dalam pola subsisten. Selain itu, mereka tidak ingin menjadi buruh perusahaan kelapa sawit. Menurut masyarakat, mereka sudah nyaman dengan kehidupan seperti ini, dan apabila pembangunan dijalankan baiknya menggunakan sumber daya di Hatunuru sebagai prioritas utama. Penulis menyimpulkan pandangan mereka terkait resistensi, adalah agar esensi petani hutan tidak hilang, dan hutan tetap menjadi rekan mereka dalam melakukan aktivitas sehari-hari.

Dengan demikian, resistensi hadir sebagai upaya dalam mempertahankan solidaritas di Hatunuru. Resistensi juga merupakan tindakan kolektif yang hadir berbasis solidaritas antar petani. Resistensi bukan bersifat sehari-hari, tetapi lebih kepada kelompok yang merasa identitas teritorialnya terancam, dan saling berintegrasi secara komunal untuk menolak kebijakan para elite SBB. Sejalan dengan ini, Tilly (1978) menyebutnya sebagai social forces.

(13)

penerimaan ini adalah untuk mencegah tindakan konversi hutan yang lebih destruktif dan melindungi sumber nafkah masyarakat Hatunuru baik petani kapitalis maupun petani lahan kecil atau sebagai satu komunitas petani Hatunuru.

Peraturan-Peraturan Menteri Kehutanan No. P. 49/2008 yang sekarang telah diganti dengan P. 89/2014, tentang hutan desa mendefinisikan desa sebagai kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.34

Analisis

Pada akhirnya, kekuasaan, religio-kosmis yang membentuk etika, dan solidaritas menjadi nilai-nilai teritorial dalam melakukan perlawanan terhadap para elite SBB. Kekuasaan hadir melalui kekuasaan adat atau kekuasaan bottom-up yang masyarakat Hatunuru kumandangkan sejalan dengan legitimasi hutan yang dibenarkan secara internal maupun eksternal bahwa soa-soa di Hatunuru adalah sebagai pemegang kebijakan atas hutan. Religio-magis-kosmis membentuk etika pelestarian hutan berkenan pada hubungan alam dan manusia, membentuk topophilia35 di kalangan masyarakat Hatunuru, dan

menjauhkan mereka dari bencana alam berangkat pada paham tradisional. Solidaritas menjadi begitu kuat sebagai social-forces yang menghindari keterancaman identitas teritorial melalui kebijakan para elite SBB. Dengan demikian, resistensi di Hatunuru ini merupakan politik tradisional (lihat Kerkvliet, 2009) dan bukan sebagai resistensi sehari-hari (lihat Scott, 1989) yang kerap terselubung. Hal ini karena ada kebijakan sehari-hari melalui kekuasaan adat, etika yang lahir sebab religio-magis-komis, dan solidaritas, menjadi kebijakan yang membentuk perlawanan tidak lagi terselubung, tetapi lebih frontal. Sasi kemudian hadir sebagai upaya perlawanan simbolik merepresentasikan kekuasaan masyarakat Hatunuru, etika pelestarian

34

http://www.worldagroforestry.org/sea/Publications/files/policybrief/PB0095-15.pdf

35

(14)

hutan, keberlanjutan ekonomi, solidaritas, aturan-aturan yang tidak boleh dilanggar (kelembagaan), religio-kosmis (topophilia).

Intervensi NGO

Intervensi NGO ini sendiri hadir adalah melalui Angkatan Muda Protestan Maluku (AM GPM)36, dalam hal ini Pegurus Besar

diketuai oleh, Pendeta Elifas Maspaitella (saat itu). Berikut juga Ikatan Mahasiswa Makina-Uli (MAULI)37 sebagai kaum akademisi lokal yang

berdomisili di Ambon. Berikut pula salah seorang alumni UKSW yaitu, Pendeta Maryo Mandjaruni (saat itu sedang vicaris). Mereka ini kemudian membentuk sebuah gerakan yang diberi nama, Gerakan SaveNusaIna (selanjutnya penulis singkat GSNI).

GSNI sendiri merupakan salah satu gerakan perpanjangan tangan dari Gerakan Save Maluku yang saat itu tengah melakukan advokasi bagi masyarakat di Kepulauan Aru, terkait kebijakan pembangunan perusahaan tebu di sana. GSNI merupakan gerakan kontrol sipil dalam hal melakukan advokasi untuk mencegah logging

yang mendegradasi hutan tropis di Pulau Seram, yang pada keyataannya telah rusak oleh PT. Djayanti Group sejak tahun 1972. Pengrusakan itu pun terjadi tahun 2006 di Seram Utara melalui perkebunan sawit oleh PT. Nusa Ina Group. Bagi GSNI kelapa sawit bukanlah komoditas yang tepat di Maluku38.

Bergabungnya NGO merupakan inisiatif masyarakat Hatunuru ketika Sidang GPM Klassis Taniwel berlangsung pada tahun 2015. Saat itu, ada salah seorang masyarakat Hatunuru selaku Majelis Jemaat Hatunuru-Matapa menyampaikan keluhan masyarakat Hatunuru pada forum. Memang pada saat itu, sedang membahas tentang ekologi di Taniwel Timur. Dengan penuh tanggung jawab, pihak GPM Klassis

36

AM GPM merupakan organisasi intra GPM yang berorientasi pada pengembangan pemuda di Maluku. AM GPM berbasis pada pemberdayaan, resolusi konflik, dan mitra Pemerintah Maluku dalam penetapan kebijakan-kebijakan publik.

37

MAULI merupakan organisasi yang dibentuk oleh relasi kesamaan identitas sebagai Mahasiswa Taniwel Timur.Saat ini, mereka bedomisili di Ambon sebagai akademisi.

38

(15)

Taniwel menjanjikan akan melakukan advokasi bagi masyarakat Hatunuru terhadap perkebunan kelapa sawit yang hendak direalisasikan. Sejalan dengan ini, Kerkvliet (2009) menyebutnya sebagai politik advokasi yaitu, merekrut pihak lain untuk sama-sama mengecam tindakan yang tidak relevan dengan konteks masyarakat. Sementara perekrutan ini juga dilihat sebagai tahapan

bureaucratization atau birokratisasi yaitu, menggunakan tenaga

terampil yang memiliki kompetensi dalam mengubah alur perlawanan menjadi lebih terorganisir (lihat Diani dan De La Porta, dalam Christiansen, 2009).

Promosi Identitas Teritorial Melalui Media Online

Masyarakat Hatunuru adalah masyarakat yang mampu mengorganisir resistensi maupun membuka peluang bagi pem-bangunan. Hal ini hadir melalui perekrutan tenaga terampil sebagai-mana AM GPM dan MAULI yang turut memberi dukungan bagi resis-tensi di Hatunuru. Melalui media online, resistensi kemudian berubah fungsi sebagai ajang promosi teritorial. Pada awalnya, hal ini dilaku-kan untuk mencari dukungan melalui jumlah masyarakat Maluku yang menuliskan slogan #SaveNusaIna. Penulis melihat ada kemiripan dengan studi Turner (2013) yaitu, menjaring dukungan melalui jumlah

followers di internet daripada melakukan kampanye maupun orasi

yang tidak menghasilkan apa-apa. Ketiadaan kampanye maupun orasi memberi GSNI yang di dalamnya terdapat masyarakat Hatunuru memiliki nuansa perlawanan yang sangat intelektual dan elegan.

Penulis melihat, muncul dua identitas yang menjadi landasan promosi sejalan dengan pandangan Bassand dan Guindani (1982, dalam Filimon et al, 2014) yaitu, identitas defensif dan ofensif.

Gambar 5.3. Skema Promosi Identitas Secara Online

Promosi Secara Online

Identitas Defensif

Pembangunan Berkelanjutan Tradisional

Identitas Ofensif

Konsep Pembangunan Baru

(16)

Identitas defensif lebih menginginkan pertanian yang tradisional, berbasis pengetahuan lokal, maupun kontekstual. Sumber nafkah dipertaruhkan sebagai ajang promosi teritorial. Promosi sumber nafkah adalah sebagai strategi keberlanjutan. Berbicara mengenai sumber nafkah maka tidak dapat dilepaskan oleh eksistensi modal yaitu, modal sosial, modal finansial, modal manusia, modal alam, maupun modal fisik (lihat Messer dan Townsley, 2003). Dengan demikian, keberlanjutan sumber nafkah adalah hal yang penting untuk diproritaskan guna menjadi warisan kelak. Warisan ini termanifestasi sebagai identitas teritorial dalam hal; (1) solidaritas antar petani hutan dan kepercayaan antar petani hutan; (2) hutan sebagai modal alam maupun fisik. Atas dasar itu, identitas defensif kemudian dijadikan sebagai basis promosi identitas teritorial.

Peluang promosi adalah ajang masyarakat Hatunuru untuk memperkenalkan identitas teritorial sebagai sumber daya lokal. Pollice (2003) memberi hubungan antara identitas dan promosi, dan

Kotak 5.2. Identitas Ofensif

Peluang pembangunan di Hatunuru adalah hadir melalui identitas ofensif. Mereka selain melakukan promosi untuk melindungi, tetapi juga promosi untuk membangun. Gagasan pembangunan dari sekian banyak informan di Hatunuru, erat kaitannya dengan pengembangan pariwisata Tapala maupun SDA lainnya (minus sagu dan umbi-umbian). Mereka menginginkan ada perhatian pada pengembangan lokal dan bukan memaksakan diri pada perekonomian yang asing bagi mereka.

Kotak 5.1. Identitas Defensif

(17)

hubungan ini diwakili oleh kemampuan mereka untuk mempromosi-kan sumber daya wilayah, juga ditambah dengan strategi pem-bangunan. Sebagaimana dilakukan masyarakat Hatunuru bahwa pen-ting melakukan pengembangan Tapala dan SDA lainnya sebagai strategi ekonomi di Hatunuru sebagaimana kakao, kelapa, maupun kayu putih adalah sangat efektiv daripada memaksakan diri untuk hidup dalam ekonomi kelapa sawit. Sejalan dengan itu, oleh Ife dan Tesoriero (2014) konsep tersebut dilihat sebagai konsep perekonomian masyarakat yang konservatif yaitu, industri lokal maupun pariwisata. Memang esensi identitas ofensif berujung pada pembangunan yang lebih inovatif, tetapi bagi penulis identitas ofensif dalam konteks masyarakat Maluku adalah bersifat mempertahankan tradisi tetapi ada pembangunan. Sebagai contoh, adalah ekonomi pasar kaget di Hatunuru hadir sebagai ekonomi konservatif.

Kolaborasi identitas defensif dan ofensif juga dinilai sebagai kolaborasi gerakan sosial baru dan lama. Gerakan sosial baru lebih kepada upaya perlawanan berbasis online, dan mengangkat kasus hak asasi manusia, dan juga keadilan sosial di Hatunuru, maupun ekonomi dan dampak ekologi. Gerakan sosial lama di Hatunuru hadir melalui perlawanan simbolik, ancaman terbuka terkait membakar alat-alat berat, dan paham-paham tradisional (bandingkan dengan Singh, 2010). Berikut adalah beberapa dokumentasi melalui internet yang penulis sajikan dalam menggambarkan situasi perlawanan yang lebih frontal, terorganisir, dan elegan.

Sumber :https://www.youtube.com/watch?v=CGU5nuxeDOY

(18)

Sumber :https://www.youtube.com/watch?v=9dhUyCjUcrk

Gambar 5.5. Penolakan Kelapa Sawit Oleh Salah Seorang Tokoh Masyarakat

Sumber :https://www.youtube.com/watch?v=6LmMb1TAwPk

Gambar 5.6. Penolakan Kelapa Sawit Oleh Salah Seorang Masyarakat

Sumber :https://www.youtube.com/watch?v=dgHijO8kKuo

Gambar 5.7. Penolakan Kaum Perempuan39

39

(19)

Beberapa penggalan screenshoot video di atas, penulis ambil melalui Youtube. Video ini dibuat dan diupload oleh Pendeta Maryo Mandjaruni, sebagai salah satu aktivis gerakan yang notabene sedang dalam masa vicaris kala itu. Dalam video-video ini, pernyataan bervariasi disampaikan oleh masyarakat Hatunuru. Pada gambar pertama membicarakan tentang penolakan dan ada unsur mempromosikan sumber daya teritorial. Gambar kedua, ada penolakan yang difokuskan pada kebertahanan hutan sebagai sumber daya ekonomi. Sementara gambar ketiga, salah seorang masyarakat memberikan pandangannya agar kelapa sawit tidak dijalankan karena ia tidak ingin menjadi buruh pabrik di negri sendiri. Pada gambar keempat perlawanan juga dilakukan oleh kaum perempuan di Hatunuru, mereka meredefinisi posisi mereka dalam perlawanan sebagai kaum petani hutan, yang dalam kehidupan sehari-hari adalah sebagai agen ekonomi di Hatunuru. Hartini (2012) dalam studinya melihat perubahan yang harus perempuan lakukan adalah supaya nantinya mereka memiliki bargaining power, baik dalam lingkup domestiknya maupun masyarakat. Pemberdayaan perempuan selanjutnya dikatakan oleh Hartini (2012) adalah dengan melibatkan mereka dalam upaya pengambilan kebijakan. Dengan demikian, perempuan di Hatunuru adalah identitas perlawanan yang melakukan redefinisi diri sebagai kaum perempuan yang berdaya, dan tidak lalu mengikuti kebijakan para elite SBB, tetapi turut dalam resistensi demi melindungi identitas proyek lokal sebagai papalele.

Analisis Identitas Teritorial dan Resistensi

Resistensi memberi kontribusi sebagai kebijakan untuk mencegah ekonomi luar, tetapi juga menjadi kebijakan untuk

(20)

melakukan pembangunan di Hatunuru yang lebih terpadu. Hal ini terbukti oleh promosi sumber daya teritorial melalui internet yang di satu sisi, resistensi adalah sebagai upaya keberlanjutan sumber nafkah. Namun, di sisi lain, resistensi adalah juga sebagai upaya dalam membentuk nilai-nilai ekonomi melalui promosi, dan bersumber pada nilai-nilai teritorial sebagaimana solidaritas petani hutan dan etika lingkungan. Dengan melakukan resistensi maka sumber nafkah dapat menemui titik keberlanjutan bukan dari segi ekonomi semata melainkan juga melalui hubungan sosial, lingkungan bahkan kelembagaan.

Gambar 5.8. Hubungan Kosmologi dan Sumber Nafkah Dalam Resistensi Sebagai Identitas Teritorial

Keberlanjutan sebagai basis resistensi, bertolak pada gaya hidup masyarakat Hatunuru. Gaya hidup itu dikenal dalam kaitannya dengan kekhasan sebagai petani hutan. Keberlanjutan sumber nafkah dan keberlanjutan gaya hidup adalah penting untuk diprioritaskan. Sejalan dengan ini, Roca (2012) melihatnya sebagai identitas teritorial berbasis

landscape dan lifestyle. Memang dalam pandangan Roca, landscape

Kosmologi

Resistensi

Nafkah

Hutan Sebagai

“Dapur”

Pembentukan Nilai-Nilai

(21)

dikaitkan pada pilihan tentang penataan ruang, dan pilihan itu di Hatunuru berdasar pada konsensus bersama yang memilih bertahan pada pertanian sebagaimana sedia kala. Sementara lifestyle adalah bagaimana hubungan relasional alam dan manusia, juga manusia dalam kehidupan sosial dipertahankan melalui pertanian yang konservatif (petani hutan). Dengan demikian, hubungan sumber nafkah dan resistensi hanya berfokus pada sustainability di Hatunuru, berdasar pada; (1) keberlanjutan ekonomi (kendati semi-subsisten); (2) keberlanjutan sosial (hubungan petani yang menjunjung solidaritas); (3) keberlanjutan ekologi (hutan) dan; (4) keberlanjutan kelembagaan (hak-hak milik berdasar pada soa).

Demikian juga, kosmologi di Hatunuru yang bermuatan nilai-nilai teritorial. Pembentukan nilai-nilai-nilai-nilai teritorial berdasar pada eksistensi hutan sebagai “dapur”. Pada masa pra-resistensi, masyarakat Hatunuru hidup berdasar pada hierarki adat dalam hal kepemilikan lahan, tetapi memiliki dependensi terhadap sesama (petani yang saling bergantung pada petani lain), dan ketika resistensi berjalan, nilai-nilai teritorial dengan sendirinya menjadi basis resistensi itu. Pembentukan nilai-nilai teritorial dalam perlawanan berdasar pada; (1) kekuasaan soa

yang melegitimasi hak-hak kepemilikan, dan memiliki wewenang dalam kepengaturan fungsionalisme hutan sebagai sumber daya ekonomi; (2) etika pelestarian hutan yang sejatinya berdasar pada kepercayaan kosmis terkait superioritas hutan yang dapat mendatangkan bencana, tetapi di sisi lain dipandang sebagai berkat; (3) solidaritas mekanik yang terbina di Hatunuru antar petani hutan memberi jaminan bagi pemberdayaan masyarakat Hatunuru. Ketiga hal ini membentuk nilai-nilai berkaitan dengan resistensi melalui kekuasaan soa, kepercayaan hutan yang lebih kosmis, dan solidaritas sebagai social forces. Sasi adat kemudian menjadi representasi ketiga hal itu, berkaitan dengan kekuasaan, etika lingkungan, solidaritas.

(22)

hutan memiliki aturan; (4) hutan adalah modal ekonomi; (5) hutan adalah warisan yang siap diwariskan untuk generasi berikutnya.

Mangapa katong orang Hatunuru bilang, hutan itu dapor. Karena ketika katong pi pagi, sorenya katong pulang deng sagu, ikan, deng sayor dari Tapala. (Mengapa kami orang Hatunuru mengatakan, hutan itu “dapur”.Karena ketika kami pergi pagi, sorenya kami membawa pulang sagu, ikan, dan sayur dari Tapala. (IL, 20 Mei 2015)

Pengalaman Resistensi Sebagai Upaya Penyusunan Program

Pembangunan di Hatunuru Berdasar pada Identitas

Teritorial

Berangkat pada pengalaman resistensi di Hatunuru maka adalah penting menggunakan strategi-strategi dalam penyusunan program pembangunan. Strategi-strategi ini pada dasarnya menggunakan konsep-konsep kebijakan sebagaimana dijelaskan di bawah ini.

Konsep Administrator

Konsep ini berangkat pada studi Kaifeng Yang (2006) dengan melihat bagaimana administrator sebagai mediasi pembangunan berbasis integrasi kebijakan antar institusi. Menurut Yang (2006), adalah penting memilih administrator yang memiliki kompetensi, loyalitas, dan dedikasi bagi pengembangan pedesaan. Yang (2006) memberi pandangan terkait dua institusi yaitu, institusi lokal dan eksternal dalam satu komponen pembangunan berbasis kebijakan lokal dan eksternal, dan saling melengkapi guna terciptannya pembangunan yang sejalan dengan konteks.

(23)

sebut pro dan kontra hegemoni. Pemerintah Hatunuru mendapat tekanan untuk merealisasikan janji, tetapi Gereja menentang hal itu dan mendukung masyarakat Hatunuru melakukan resistensi.

Penting membangun gagasan administrator di Hatunuru adalah dirasakan baik, agar mampu mewujudkan pembangunan yang berdasar pada kebutuhan, dan paling penting agar hubungan Hatunuru dan Pemerintah Kabupaten SBB tetap terjaga dengan harmonis. Mengingat telah ada kesenjangan dalam tubuh lokal maupun luar komunitas antara masyarakat Hatunuru dan Pemerintah Hatunuru, Gereja dan Pemerintah maupun masyarakat Hatunuru dan Pemerintah Kabupaten SBB. Dengan demikian, administrator ini erat kaitannya dengan policy maker atau sewaktu-waktu menjadi ajang politik resmi dalam hal menghindari, mengubah, menetapkan, dan menolak hal-hal yang berkaitan dengan alokasi sumber daya (Yang, 2006; Kerkvliet, 2009).

Penting Melakukan Internalisasi

Resistensi terjadi karena lemahnya internalisasi di Hatunuru. Sebagaimana Coase (dalam Rogers et al, 2008) memberikan pandanganya tentang internalisasi yang identik dengan negosiasi maupun pengambilan keputusan. Memang pada kenyataaanya, masyarakat Hatunuru tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan. Hal ini mendorong upaya perlawanan sebagai protes atas keputusan sepihak yang sewaktu-waktu menimbulkan eksternalitas negatif.

(24)

pada identitas mereka(Chambers,2013; Hardjasoemantri, 1998 dalam Litaay, 2014; Finley, 2010).

Identitas Teritorial Sebagai Basis Pembangunan

Berangkat pada pengalaman resistensi di Hatunuru, identitas teritorial terbentuk karena keberlanjutan dan nilai-nilai, dan hal tersebut menjadi landasan resistensi. Keberlanjutan ekonomi, ekologi, budaya, maupun sosial merupakan alasan utama resistensi sendiri terjadi di Hatunuru. Selain itu, nilai-nilai sebagaimana kekuasaan lokal, etika pelestarian lingkungan, dan solidaritas petani menjadi satu set kebijakan masyarakat Hatunuru dalam melakukan perlawanan berbasis identitas teritorial.

Penting melakukan pembangunan adalah juga dengan melihat komponen modal teritorial dan identitas di Hatunuru maupun Taniwel Timur secara umum. Hal-hal yang penting untuk diberlakukan adalah, menggunakan esensi integrasi sosial bukan saja dengan masyarakat Hatunuru tetapi juga masyarakat luar Hatunuru guna memanfaatkan identitas teritorial sebagai identitas regional dalam hal; (1) hubungan sosial, di dalamnya terkandung modal sosial melalui hubungan tenaga kerja yang saling memberdayakan antar petani di Taniwel Timur melalui pertanian yang sedapat mungkin mampu dikomersialisasikan; (2) ekonomi, di dalamnya muncul peran masyarakat Taniwel Timur sebagai traditional market society yang saling mendukung, agar kegagalan pasar tidak terjadi melainkan keberagaman SDA di Taniwel Timur dijadikan prioritas ekonomi sebagai kekuatan identitas teritorial; (3) ekologi, di dalamnya ada nuansa penerimaan komunal di Taniwel Timur terkait kepercayaan lokal dalam melestarikan alam; (4) budaya, di dalamnya terkandung keberagaman sumber nafkah lokal yang patut untuk dikolaborasikan menjadi identitas teritorial di Taniwel Timur yang padat karya; (5) kelembagaan, di dalamnya memberi nuansa saling menghargai kebiasaan antar masyarakat di Taniwel Timur, dan melihat SDA sebagai milik bersama yang patut untuk dilindungi dan dikelola bersama guna membentuk identitas teritorial.

(25)

desa melalui Local Action Group (LAGs). LAGs memberi jaminan kepada masyarakat dalam hal pengambilan keputusan yang demokratis secara bottom-up, kemudian melakukan kerja sama dengan governance

Gambar

Gambar 5.1. Resistensi Berbasis Identitas
Gambar 5.2  Sasi Adat Sebagai Simbol Perlawanan
Gambar 5.3. Skema Promosi Identitas Secara Online
Gambar 5.4. Pernyataan Sikap Menolak Kelapa Sawit
+3

Referensi

Dokumen terkait

Pengambilan contoh darah ikan untuk diuji titer antibodi, total leukosit, dan hematokrit ikan dilakukan saat sebelum vaksinasi, 7 hari setelah.. vaksinasi, dan 7 hari

ditunjukan testee terhadap materi atau bahan yang diujikan. Pengolahan dan pengubahan skor mentah hasil tes hasil belajar menjadi nilai standar. Ada dua hal penting yang harus

[r]

Kantor yang berhasil menciptakan kesan yang baik merupakan promosi secara tidak langsung, dan sebagai hasilnya dapat menambah relasi / hubungan

Right for being treated equally before the law is human rights guaranted by UUD 1945. Such guarantee can be materialized if there is a space, chance, and equal power to access the

Menurut pendapat Sulistyawati (2011), selama kehamilan horman estrogen dan progesterone menginduksi perkembangan alveoli dan duktus laktiferus didalam payudara,

Bencana alam banjir menempati urutan teratas dari segi kejadian yaitu sebanyak 3.450. kejadian, banjir tidak dapat dicegah, namun hanya dapat dikendalikan dan

Berdasarkan hasil evaluasi pembelajaran tematik di SDN Kemasan I Surakarta, peneliti dapat menyimpulkan bahwa kegiatan pembelajaran yang dilaksanakan oleh siswa dan guru pada