• Tidak ada hasil yang ditemukan

Quartier Des Enfant Rouges Anak Muda Dru

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Quartier Des Enfant Rouges Anak Muda Dru"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

Quartier Des Enfant Rouges:

Anak Muda, Drugs, dan Kota yang Kosmopolitan

Gilang Saputro

ABSTRAK

Makalah ini merupakan analisis film pendek Quartier Des Enfant Rouges yang ditulis dan disutradari oleh Olivier Assays (2006) dengan menggunakan perspektif ruang dan kebudayaan anak muda (Youth Culture). Isu mengenai anak muda dan ruang dalam makalah ini berfokus analisis plot dan tokoh Liz sebagai represntasi kaum muda yang dikonstruksi di dalam ruang di mana film berlangsung, yaitu kota Paris, Arrondissment 3 sebagai ruang kosmopolitan. Assays mencoba untuk menggambarkan subjek anak muda Liz dalam ruang yang kosmopolitan yang memiliki kecenderungan untuk keluar dari batas interaksi yang ekonomistik. Dalam model interaksi semacam itu, subjek keluar dari batasan-batasan yang melibatkan ras dan isu lain yang digambarkan sebagai stereotipe dalam identitas anak muda yang identik dengan drugs, pestadan cinta.

Kata Kunci: Ruang, Anak Muda, Drugs, Pesta, Cinta.

Upaya untuk memahami gambaran yang kontras dalam kondisi anak muda

kontemporer saat ini merupakan kajian utama dalam kebudayaan anak muda (Youth

Culture). Isu utama yang berkembang seringkali adalah gambaran sterotipical anak

muda sebagai subjek yang memiliki waktu luang, pemberontak, dan pelbagai isu-isu

yang berkaitan dengan kepanikan moral (moral panic) drugs, seks bebas, tindak

kriminal dll. Kondisi tersebut menjadi semacam generalisasi terhadap kondisi

kebudayaan anak muda. yang dalam kenyataannya, keadaan itu perlu untuk dilihat

dalam konteks historis. Dengan kata lain, diperlukan penglihatan terhadap ruang dan

waktu dan bagaimana isu anak muda tersebut muncul dalam penggambaran kondisi

kebudayaan yang berkembang. Dalam konteks itu, interaksi menjadi menjadi penting,

dan bagaimana pola interaksi tersebut terjadi dalam konteks ruang yang spesifik.

Isu mengenai kehidupan anak muda lengkap dengan kebudayaannya yang khas itu

kemudian pada Quartier Des Enfant Rouges yang ditulis dan disutradari oleh Olivier

(2)

Cool Places1, tempat di mana anak muda menjalani kehidupan dengan problematika

yang khas, yang dalam keadaan itu kebudayaan anak muda itu terbentuk. Selain itu,

narasi dalam film yang mengembangkan tema mengenai anak muda dan drugs menjadi

pokok dalam makalah ini. Dengan kata lain dua persoalan yang penting untuk dilihat

adalah bagaimana pola interaksi antar subjek terjadi dalam melibatkan pelbagai unsur

dalam relasi sosial; ras, gender dan bagaimana drugs menjadi bagian dari representasi

anak muda dalam kaitannya dengan Paris sebagai kota yang kosmopolit.

Makalah ini akan membahas persoalan tersebut dalam asumsi bahwa film

Quartier Des Enfant Rouges, memosisikan subjek anak muda sebagai suatu persoalan

yang diangkat dalam kehidupan kota yang kosmopolit dan interaksi antar subjek yang

tidak ekonomistik. Selain itu, pencitraan dan konstruksi identitas anak muda dalam film

ini cenderung stereotypical, sebagai pengonsumsi drugs dan “pemberontak” terhadap

nilai-nilai yang moralistik.

Quartier Des Enfant Rouges: Anak Muda dalam Kota yang Kosmopolit

Menampilkan kota dalam film, juga dengan aspek-aspek lain berupa penceritaan

subjek dan relasinya dengan kompleksitas persoalan di dalam kota sebagai ruang

memunculkan pelbagai persoalan yang secara umum terjadi dalam pengimajinasian

kota. Menampilkan kota dengan demikian juga berupaya untuk memahami ruang dalam

kondisi yang lain, ada reduksi, penambahan, untuk pemosisian subjek. Subjek dalam hal

ini pun dalam kondisi cultural yang khas, yaitu subjek Youth. Anak muda dengan

demikian dapat dipahami dalam posisinya di dalam suatu ruang. Berkaitan dengan hal

tersbut, Quartier Des Enfant Rouges (Child Red Distric) “Child Red” dapat dipahami

sebagai makna lain dari pemberontakan. Dalam representasi anak muda sebagai

pemberontak. Pengertian tersebut berakitan dengan youth dimana dalam distric (Kota)

anak muda tersebut melalukan aktivitas “pemberontakan” itu. Arrondissment 3 dalam

hal ini akan ditempatkan sebagai kota kosmopolitan.









1

(3)

Kwame Anthony Appiah menjelaskan kosmopolitanisme sebagai, "Not

Globalization; Not Multiculturalism", kosmopolitanisme adalah ekspresi kosmopolitan,

yakni warga kosmos. Kosmos mengacu pada dunia, semesta yang harmonis. Kaum

kosmopolit berpendapat bahwa adanya kelompok-kelompok fundamental dalam

komunitas-komunitas hanya akan menimbulkan sifat parokial yang mengarah kepada

chaos, yakni semesta yang kacau. Menurut Apiah, setidaknya terdapat dua hal yang

paling mendasar dari kosmopolitanisme, yaitu pertama, kewajiban kita terhadap yang

lain seharusnya melampaui golongan kita, dan kita seharusnya mengambil nilai-nilai

tidak hanya dari kehidupan manusia secara biologis, tapi juga kehidupan manusia secara

utuh. 2 Perkotaan, dengan mengacau pada pengertian tersebut juga dapat dikatakan

sebagai kosmopolitanisme saat masyarakat yang berada di dalamnya merupakan

percampuran dari berbagai macam etnik dan ras. Tetapi hal tersebut tidak secara kaku

kemudian dapat dikatakan sebagai kota kosmopolitan sebab kota yang masuk dalam

kriteria kosmopolitan adalah adanya milieus pencampuran sosial dan budaya dan

hibriditas yang melintasi batas komunal. Hal itulah yang terlihat pada Arrondissment 3.

Arrondissment 3 sebagai ruang dimana film ini dilakukan penting untuk dilihat

dalam film ini maupun beberapa film lain dari Paris Jetaime yang dalam produksinya

memanfaat beberapa distrik di Paris sebagain kota kosmopolit. Paris dan Arrondissment

3 secara umum merefleksikan suatu tempat yang sarat historis: Kuil Orde misterius

Ksatria Templar, istana dan bangunan-bangunan yang luhung, The Carnavelet Musée

sebagai bagian dari kemegahan abad ke 18. Wilayah Arondisemen 3 berada dalam lima

sector yang berbeda. Seperti pada bagian selatan dan barat berpusat pada Quartier de

l'Horloge. Sejarah ditulis merujuk pada nama jalan dan batu di bagian populer Paris,

dengan rue du Temple, rue des Arsip dan rue Vieille du Temple menyediakan arteri

utama dari bank sungai ke Place de La République, melewati melalui Square du Temple,

semua mengungkapkan bahwa ini adalah tempat markas Paris Orde misterius Ksatria

Templar. Pada abad ketujuh belas dan kedelapan belas, yaitu sebuah istana-bangunan

mulia kampanye (ingat dengan nama jalan seperti rue de Montmorency) mendorong

lebih lanjut ke utara ke wilayah yang kini menjadi 3 dan pedagang, dan bagian selatan

arondisemen berisi beberapa contoh terbaik di Marais. The Carnavelet , istana megah

yang sekarang rumah-rumah museum Paris dan Hôtel de Saint-Aignan (merek Museum 







2

(4)

baru Yahudi Hidup dan Budaya) dikembalikan ke kemegahan abad kedelapan belas,

yang menegaskan era keemasan Arrondissement 3. Hal lain yang penting dilihat adalah

terdapat “Chinatown” sejak 1920 di sepanjang Rue du Temple. Perdagangan di wilayah

ini didominasi oleh pedagang besar Cina dan Arab yang kokoh bertahan meskipun ada

upaya untuk memindahkannya.

Wilayah ini dikatakan sulit untuk anak-anak. Meskipun sebagai wilayah

kosmopolitan dimana terdapat perbagai ras, dengan Arab, Cina, dan komunitas Yahudi,

terdapat komunitas gay di Marais, dan komunitas berpengaruh yang kaya, berselera

mode dan seni yang tinggi. Mereka bersama-sama dalam menjalankan bisnis, namun

tampaknya tidak semua menghargai satu sama lain. Selain itu, perumahan sebagai

prioritas sosial hampir tidak ada. Hal itu menambah ketimpangan sosial di daerah

tersebut. Kejahatan juga meningkat dalam beberapa tahun terakhir3.

Keterangan tersebut memperlihatkan bagaimana Arrondissement 3 diposisikan

sebagai suatu ruang kosmopolitan. Ulrich Beck menjelaskannya kondisi kosmopolitan

sebagai kondisi resiko yang ironis dalam modernitas:

What is ‘cosmopolitan’ about the cosmopolitan moment? Risk society’s cosmopolitan moment means, the conditio humana of the irreversible non-excludability of the distant and alient other. Global risks tear down national boundaries and jumble together the native with the foreign. The distant other is becoming the inclusive other - not through mobility but through risk. Everyday life is becoming cosmopolitan: human beings must find the meaning of life in the exchange with others and no longer in the encounter with like. We are all trapped in a shared global space of threats – without exit. This may inspire highly conflicting responses, to which renationalization, xenophobia, etc., also belong. One of them incorporates the recognition of others as equal and different, namely, normative cosmopolitanism. World risk society forces us to recognize the plurality of the world which the national outlook could ignore. Global risks open up a moral and political space that can give rise to a civil culture of responsibility that transcends borders and conflicts. The traumatic experience that everyone is vulnerable and the resulting responsibility for others, also for the sake of one’s own survival, are the two sides of the belief in world risk4.









3

Sulit untuk mencari keterangan tentang distrik ini dalam keadaan faktualnya yang suram dalam citra yang serupa yang ditampilkan pada film. Citra Paris sebagai lokasi wisata utama memosisikan media dalam kepentingan tersebut. Informasi dalam bagian ini dirangkum sepenuhnya dari http://www.howto.co.uk/abroad/living-in-paris, diakses pada 16 Mei 2011.

4

(5)

Meminjam pengertian Ulrich Beck, mengenai pengertian kosmopolitan dan kondisi

kosmopolitan dalam menjelaskan kota sebagai ruang yang diangkat oleh film dapat

dipahami dalam penempatan kondisi kemanusiaan yang tidak terjamah dan terasing

dalam resiko global yang meruntuhkan batas-batas yang nasional, asli bercampur

dengan yang internasional yang satu dengan lainnya menjadi inklusif yang dihasilkan

bukan berdasarkan perpindahan namun lebih sebagai suatu resiko. Kehidupan

sehari-hari menjadi kosmopolitan dimana manusia harus menemukan makna hidup dalam

pertukaran dengan orang lain tidak dalam perjumpaan satu dengan yang lain. dalam

kondisi itu subjek terjebak dalam ruang global lengkap dengan ancamannya tanpa bisa

keluar. Pengakuan orang lain menjadi penting. Masyarakat dunia memaksa subjek

mengakui pluralitas dan mengabaikan hal yang bersifat nasional. Resiko global pun

membuka ruang moral dan politik yang dapat menimbulkan tanggung jawab budaya

sipil yang melampaui batas dan konflik. Keadaan tersebut menciptakan kondisi yang

traumatis, di mana setiap orang rentan untuk menghasilkan tanggung jawab untuk orang

lain, yang di sisi lain adalah untuk kepentingan dan kelangsungan hidup diri sendiri.

Dengan kata lain, sesuai dengan penjelasan di atas, subjek dalam film yaitu Liz

(Artis Amerika) dirinya tidak hanya bekerja, namun menjadi masyarakat Paris itu

sendiri, dan aktivitasnya secara individu serta interaksi dengan subjek lain, jelas tidak

dapat dikatakan sebagi representasi subjek yang esensial dalam ke khasan Perancis dan

Arrondissement 3. Hal itu dikarenakan, sebagai ruang kosmopolitan apa yang esensial

dan nasional sudah tampak saling bertukar dengan yang internasional. Kondisi

kemanusiaan pun dengan demikian mengalami situasi yang terasing, di mana subjek di

dalamnya terjebak dan tidak bisa keluar. Kondisi subjek Liz dengan demikian pun hanya

dapat dimaknai dalam interaksinya dengan orang lain yang berbeda baik ras, gender,

kelas, bukan hanya dalam bentuk perjumpaan melainkan bagaimana dirinya mengalami

pertukaran kondisi dan memungkinan perbauran. Hal inilah yang dapat menjadi kunci

dari bagaimana relasi antar subjek dapat dipahami dalam ruang Arrondisment 3 yang

kosmopolit. Kondisi ruang dalam keadaan factualnya dalam film ditampilkan dalam dua

sisi, Paris yang glamour, sekaligus Paris yang problematik dalam ruang yang lain

(6)

*Keterangan Capture (Cp.) , Kota dalam film: Cp.1 (MS) menunjukan suasan jalanan kota malam yang glamour dan romantik, Cp.2 (CU) ruang di dalam kota, area dimana komunitas ‘Night party’ dan lokasi interaksi antar subjek dengan kelompok dimulai. Cp.3 (ELS-HA) Paris yang Indah, glamor dan temaram, Cp.4. (MS) masyarakat dalam Mekanisme disiplin, jalanan, paris yang glamour.

Liz, Interaksi Subjek Kosmopolitan

Liz sebagai pemeran utama dalam film secara sederhana digambarakan dalam

Plot besar subjek yang bertransaksi dengan subjek lain. Liz sebagai perempuan

Amerika yang berprofesi sebagai aktris film. Dirinya sedang menjalani syuting film

sejarah. Motif profesi ini bisa dilihat sebagai bagaimana generasi muda kosmopolit

memilih dan menjalanai profesi. Syuting film sejarah pun dapat dimaknai sebagai

pemosisian Paris dan Arrondismennt 3 yang dalam bangunannya cocok untuk hal

semacam itu. Kota sebagai sejarah sebagai hal yang sudah ada di luar keadaan factual.

Adapun keadaan factual adalah yang digambarkan pada kehidupan yang dialami oleh

tokoh Liz itu sendiri. Dalam sela-sela kesibukannya dirinya menjalani aktivitas pesta

malam, menggunakan drugs5 dan dalam kepentingan untuk mengkonsumsi itulah dirinya

bertemu dengan Ken sebagai pengedar. Pertemuan antara Liz dan Ken yang sebelumnya

terbatas pada hubungan transaksi yang bersifat ekonomistik diberi makna yang lain,

interaksi keduanya kemudian oleh Liz dibawa ke situasi yang lebih. Dalam interkasi









5

(7)

yang kedua inilah cerita dibangun. Secara rinci peristiwa dalam film adalah sebagai

berikut:

1. Jalan raya kota malam hari, suasana lengang orang-orang terlihat ingin menyebrangi jalan. Jalanan pun Nampak sepi.

2. Ken muncul tergesa dengan alamat ditangannya dan mencari Liz untuk mengirim pesanan barang, pintu dibuka oleh seorang perempuan, terlihat di dalam ruangan sedang banyak berkumpul, pesta tertutup muda-mudi. 3. Liz dan Ken bertemu dan segera berjalan menuju ATM, Lis mengambil

uang. Saat mengambil uang, ken mencoba mendekatkan telapak tangannya seperti ingin meraba, namun tidak terjadi kontak, Liz tidak sadar akan hal itu.

4. Uang Liz terlalu banyak dan tidak ada kembali, Ken menyarankan untuk menukarkan uang ke kafe bar. Mereka berbincang, tentang profesi Liz sebagai artis, pembicaraan menjadi lebih akrab. Liz memberikan nomor telepon, begitu sebaliknya.

5. Transaksi antara Ken dan Liz, Ken memberikan barang dalam bungkusan kecil, “sangat kuat”. Barang itu sejenis drugs.

6. Liz bersama teman-temannya di suatu ruangan menghisap drugs yang

dicampurkan ke dalam rokok/ganja.

7. Liz di ruang ganti artis sambil merokok dan menerima telepon yang sebetulnya tidak boleh dilakukan, menanyakan waktu apakah banyak waktu untuknya. Seorang lelaki mengetuk pintu, mungkin produser. 8. Liz kembali ke Trailer setelah bekerja, menelopon Ken. Memesan

diantarkan pesanannya oleh Ken. Sebetulnya Liz ingin bertemu dengan Ken dan Ken menyanggupinya.

9. Lelaki lain dating, dia diutus Ken, Da mengtatakan Ken mengantar barang ke pelanggan yang lain. Lelaki itu mencuri jam tangan di atasa meja dekat pintu Trailer. Liz kecewa.

10. Kota dalam jarak jauh muncul dalam pemandangan malam yang gemerlapan namun sepi

Dalam Cosmopolitanism persoalan interaksi, dalam perspektif J. Macgregor

Wise dipahamai sebagai:

To grasp and affirm the notion of cosmopolitanism as orientation towards the Other does not deny one’s connections to family, friends, community, culture, or nations. It is not to deny all these process of identity. But it does mean that we shouldn’t fetishize these to the detriment of all else, elevating these above all else. Pride and sense of belonging to family, community, culture, and nation are important, but I always worry when they become all important.6









6

(8)

Pernyataan tersebut menunjukan bahwa dalam mendefinisikan identitas sebagai bagian

interaksi memang penting untuk melihat relasi subjek dengan teman, keluarga,

komunitas, kebudayaan atau bangsa sebagai proses konstruksi identitas. Tapi tidak

berarti identitas ini dapat dilihat sebagai sesuatu yang obsesif dan merugikan subjek

lainnya.

Kebanggaan terhadap identitas menjadi suatu hal yang dikhawatirkan dalam

kosmopolitanisme. Identitas diangkat sebagai sesutau yang tidak terlalu penting inilah

yang menjadi ide dalam film. Liz yang berasal dari Amerika, mampu berbahasa

Perancis, dalan kelas sosial yang lebih tinggi dalam kaitannya sebagai artis, berinteraksi

dengan Ken, pengedar Narkoba yang dalam sterotype tubuhnya mungkin berasal dari

Algeria bukan hanya dalam mekanisme interaksi ekonomistik antara penjual dan

pembeli, melainkan ke dalam interaksi yang lebih intim. Hal itu dapat terlihat dalam

Plot. Suasana yang berajarak itu sebetulnya juga ditampilkan dalam adegan ketika Ken

seolah “menyentuh” punggung Liz dengan tangganya dari belakang tanpa ada kontak

tubuh memperlihatkan hubungan itu. Yang dalam perkembangan narasi, interaksi di

bawa ke situasi yang lebih intim, keluar dari batas-batas kelas, profesi, ras maupun

(9)

*Keterangan Capture 1-6 interaksi pemeran utama Liz: Cp.1: Awal Liz bertemu dengan Ken motif interaksi adalah transaksi drugs, Cp.2: Ken yang “menyentuh” Liz, Cp.3: Interaksi kea rah yang lebih intim, Cp.4 dan 5. Liz dalam interaksi dengan komunitas pesta nya. Cp. 6. Liz berinteraksi dengan lelaki pengedar lain.

Identitas Liz selain dalam keterangan sebelumnya di atas, juga sebagai anak

muda yang menjalani aktivitas malam dengan pesta dan mengkonsumsi drugs. Dirinya

yang berprofesi sebagai artis bertemu dengan komunitasnya dalam pesta, dalam pesta

itu, pelbagai identitas subjek lain dimunculkan, subjek perempuan dan lelaki dalam

tampilan fashion dan dari etnis lain. Dalam Cp.3 terlihat dua subjek dari etnis lain, satu

perempuan dari timur (Asia) dan lelaki yang juga tampak gelap dalam interaksi saling

berbagi drugs dalam pesta. Pesta menjadi pencirian dari kebudayaan anak muda, dalam

pesta itu terjadi perbauran satu dengan lainnya, sama seperti pada film ini, perbauran itu

diperlihatkan dalam berbagai gambaran subjek yang beragam, baik seks, fashion

maupun ras.

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat diketahui bahwa identitas Liz tidak lagi

menjadi penting dalam kota yang kosmopolit. Dirinya meskipun menunjukkan identitas

Negara asalnya, namun dalam pola interaksinya menunjukkan bahwa interaksi pada

praktiknya menembus batas-batas identitas satu subjek dengan lainnya. Tidak

dihiraukannya profesi, dan identitas subjek lain berdasarkan penannda identitasnya

menunjukkan bahwa pembauran tercapai dalam suatu kebudayaan anak muda. Dalam

keadaan itu identitas “perancis” yang esensial tidak lagi menjadi penting. Dirinya hanya

menjadi ruang dimana pertemuan antar identitas berlangsung dan mengkonstruksi

identitas yang hybrid. Di dalamnya terjadi bukan hanya pertemuan melainkan

pertukaran satu identitas dengan identitas lainnya. Liz berharap pada Ken, tapi tidak

sebaliknya. Hal itu secara luas dianalogikan dalam cinta. Dimana posisi subjek saling

bertukar satu dengan lainnya seolah dalam mekanisme yang terjadi begitu saja. Namun

jauh daripada itu, keterhubungan subjek yang satu dengan lainnya (Liz dan Ken) dalam

cinta adalah bentuk dari penyangkalan terhadap mekanisme interaksi yang ekonomistik

(10)

Hashish, Drugs, dan Kebudayaan Anak Muda

Jenis drugs yang ditampilkan dalama film adalah Hashish. Bentuk dasar ganja

yang diproduksi dengan mengumpulkan dan mengompresi trikoma, bahan yang paling

kuat dari tanaman ganja. Trichomes bagian pada tanaman ganja yang menghasilkan

resin lengket. Hal itu berkaitan dengan Marijuana sebagai bentuk campuran hijau, coklat

atau abu-abu kering, dari sobekan daun, batang, biji dan bunga dari tanaman Cannabis.

Ada lebih dari 200 nama untuk ganja termasuk pot, herbal, ganja, reefer, rumput, gulma,

ganja, Mary Jane, boom, gangster dan kronis. Sinsemilla, ganja dan minyak hash

merupakan bentuk ganja yang lebih kuat. Hashi biasanya dihisap sebagai rokok (disebut

sendi atau paku) atau dalam pipa atau bong7. Drugs dalam pembahasan ini diberikan

fokus yang lebih karena menjadi bagian dari pengidentifikasian kebudayaan anak muda

dalam artian yang stereotypical.

Konsumsi drugs muncul diakibatkan pelbagai dari faktor baik individual,

cultural maupun konstitusional. Drugs secara problematic kemudian diidentikan dengan

anak muda, terkait dengan rokok, dan alkohol8. Berbagai analisis tentang drugs dan

penggunanannya oleh anak muda banyak menunjukan berbagai simpulan, seperti

konsumi lelaki lebih besara dibandingkan dengan perempuan.9 Simpulan tersebut

berbeda dengan film yang justru menempatkan perempuan Liz sebagai subjek utama

pengonsumsi drugs, namun keadaan itu tidak ditampilkan dalam situasi yang moralistic

dan penghakiman subje anak muda dalam situasi yang salah. Adengan Liz dan

teman-temannya dalam pesta menunjukkan pengonsumsian drugs sebagai hal yang biasa dan

ttidak hiperbolis dalam justufikasi negatif, keadaan itu ditampilakn dalam situasi yang

normal lengkap dengan backsound musik folk perancis yang juga menunjukkan

kesenangan atau dalam situasi yang akrab dan menyenangkan satu dengan lainnya

dalam pertukaran dari tangan ke tangan Hashi, pada satu subjek ke subjek lainnya (menit

2).

Persoalan lain yang penting ditampilkan dalan film ini berkaitan dengan drugs









7

Informasi mengenai Hashi dirangkum berdasarakan keterangan pada http://www.drugs.com. Diakses pada 16 Mei 2011.

8

Persoalan drugs dan anak muda secara komprehensip, lihat Martin Plant dan Moria Plant, Risk-Takers: Alcohol, Drugs, Sex and Youth, London, Routledge, 2003. Dalam buku ini diperlihatkan bagiaimana beberapa point yang disebut, diposisikan sebagai persoalan yang diakibatkan oleh pelbagai hal, termasuk bagimana sikap, pandangan dan cara untuk mengatasinya.

9

(11)

adalah mekanisme pasar yang memosisikan penjual dan pembeli dalam situasi yang

biasa tidak seperti kriminal. Drugs diantarkan dengan cara pemesanan melalui

komunikasi nirkabel menggunakan telepon seluler kemudian diantarkan. Pembeli dan

penjula dalam film ini pun digambarakan sebagai anak muda, Liz, Ken dan Lelaki lain

dalam usia yang tidak terlihat ada jarak usia yang terlalu jauh. Penjual yaitu Ken, dan

Lelaki dalam tampilan fisiknya seperti Arab, diestimasikan dari Algeria menunjukan

bahwa kaum Imigran masih mendominasi dalam citraannya sebagai pekerja dan

pemasok drugs. Pekerjaan ini didominasi oleh lelaki yang dalam citraann yang negatif,

terlihat dalam adegan ketika Ken mencoba menyentuh yang juga dalam hal ini dapat

dimaknai sebagai percobaan tindak kriminal (menit 1) ataupun pada adegan ketika kurir

pengganti Ken yang mencuri jam tangan di tempat Liz (Menit 4). Hal itu menunjukkan

bagimana kaum imigran dalam film ini masih dicitrakan sebagai subjek yang asing dan

‘pengganggu” namun di sisi lain diterima keadaanya sebagai pihak yang juga layak

(12)

*Keterangan Capture 1-6: Cp. 1 dan 2: Liz, perempuan dan sekaligus konsumen drugs. Cp. 3-4: dua lelaki Algerian, pemasok drugs. Cp.5-6: Imigran sebagai kriminal (tangan).

Keterkaitan penggunaan drugs, kaum muda, dan aktivitasnya serta konstruksi subjek

imigran di atas menujukan bagaimana stereotype masih digunakan sebagai penanda

identias subjek dalam film ini.

Penutup

Pencitraan kaum muda sebagai subjek dalam identitas yang selalu dikaitakan

dalam situasi yang buruk secara moral, drugs, pesta dan pemberontak perlu dilihat dalam

keterkaitannya dalam suatu rentang histories yang khas yang melibatkan ruang di mana

anak muda ini dikonstruksi identitasnya. Ide tersebutlah yang diangkat dalam Quartier

Des Enfant Rouges karya Oliver Assays melalui narasi dan kehidupan yang dialami

tokoh Liz sebagai subjek yang hidup dan menjalaninya di Arrondissment 3, satu dari

banyak distrik di Paris yang dijadikan sebagai setting dalam film-film pendek yang

tergabung dalam Paris Je T’aime.

Arrondissment 3 dalam film digambarkan sebagai kota yang kosmopolit. Di

dalamnya individu dalam keragaman identitasnya saling berbaur satu dengan lainnya.

Pola interaksi tersebut salah satunya diperlihatkan melalui identitas tokoh Liz yang

mencoba keluar dari interaksi yang ekonomistik dengan Ken dalam kepentingan untuk

membeli dan mengkonsumsi drugs. Interkasi antara Liz dan Ken ini pun tidak hanya

dilihat sebagai interaksi antar subjek, tetapi juga dapat dilihat bagaimana identitas satu

dengan lainnya yang melibatkan isu gender, ras dan kelas dapat terwakili oleh interaksi

antar subjek tersebut.

Sebagai simpulan, film Quartier Des Enfant Rouges, pun memosisikan subjek

anak muda sebagai suatu persoalan yang diangkat dalam kehidupan kota yang

kosmopolit, pencitraan dan konstruksi identitas anak muda pun dalam film ini cenderung

stereotypical. Anak muda dalam problematikanya dihadapkan pada persoalan yang ada

dan harus dihadapi dalam kota yang kosmopolit di mana identitas yang esensial sudah

tidak mampu lagi dipertahankan dalam posisinya menghadapi keragaman identitas dan

nilai-nilai yang saling bertemu dan bertukar yang mempertimbangkan pelbagai aspek di

dalamnya termasuk cinta. Subjek Liz, adalah subjek kosmopolitan itu sendiri, yang

harus terus menjalani hidup di dalam kota yang kosmopolit sendirian tanpa ada

(13)

Daftar Pustaka

Appiah, Kwame Anthony. 2006. Cosmopolitanism: Ethics in a World of Strangger.

New York: Norton.

Beck, Ulrich. 2008. “Risk Society’s ‘Cosmopolitan Moment’” Makalah Lecture at Harvard University November 2008.

Plant Martin, Moria Plant. 2003. Risk-Takers: Alcohol, Drugs, Sex and Youth. London:

Routledge.

Skelton Tracey dan Gill Valentine. (ed.) 1998. Cool Places: Geography of Youth

Culture. London: Routledge.

Wise, J. Macgregor. 2008. Cultural Globalization: A User’s Guide. UK: Blacwell

Publishing.

http://www.howto.co.uk/abroad/living-in-paris, diakses pada 16 Mei 2011.

http://www.drugs.com. Diakses pada 16 Mei 2011.

Referensi

Dokumen terkait

- Nodul dingin bila penangkapan yodium nihil atau kurang dibandingkan sekitarnya. Hal ini menunjukkan fungsi yang rendah. - Nodul panas bila penangkapan yodium lebih

Di Dusun Tempayak, Desa Sukakarya, Kecamatan Marau, gedung Gereja pertama dibangun pada tahun 1971, dengan bentuk yang masih sangat sederhana. Kemudian, pada tahun

Kendala yang paling utama dihadapi adalah surat itu terkadang tidak bersamaan dengan barang bukti yang dimintakan, jadi sering kali surat permintaan dari penyidik

1) Dapat membantu memberikan informasi khususnya kepada para orang tua, akan pentingnya penanganan anak secara tepat dalam perkembangan moralnya. 2) Bagi mahasiswa,

Hasil dari penelitian ini adalah aplikasi Virtual Tour Monumen Mandala Makassar yang dapat menjadi media penyampaian informasi sejarah Pembebasan Irian Barat.. Aplikasi ini

3sfiksia neonatorum adalah keadaan bayi yang tidak dapat  bernafas spontan dan teratur, sehingga dapat meurunkan A2 dan makin meningkatkan GA2 yang menimbulkan

Jika auditor selalu ditekan dengan adanya anggaran waktu yang cepat maka auditor akan bertindak terburu-buru dan tidak hati-hati atas pemeriksaan bukti-bukti yang

Kinerja keuangan adalah gambaran setiap hasil ekonomi yang mampu di raih oleh perusahaan perbankan pada periode tertentu melalui aktivitas-aktivitas perusahaan