SEJARAH PERKEMBANGAN GEREJA PROTESTAN DI
INDONESIA BAGIAN BARAT (GPIB) JEMAAT BETHESDA
MARAU (IMPLIKASINYA TERHADAP KEHIDUPAN
MASYARAKAT) 1970-2012
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan
Program Studi Pendidikan Sejarah
Oleh :
SISKA PRILINGGA NIM : 091314036
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH
JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA
i
SEJARAH PERKEMBANGAN GEREJA PROTESTAN DI
INDONESIA BAGIAN BARAT (GPIB) JEMAAT BETHESDA
MARAU (IMPLIKASINYA TERHADAP KEHIDUPAN
MASYARAKAT) 1970-2012
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan
Program Studi Pendidikan Sejarah
Oleh :
SISKA PRILINGGA NIM : 091314036
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH
JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA
iv
PERSEMBAHAN
Skripsi ini saya persembahkan kepada :
1. Tuhan Yesus Kristus yang telah memberikan berkat dan rahmat-Nya kepada saya, sehingga saya dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini,
2. Kedua orang tuaku terkasih, Bapak Soter Christianto dan Ibu Sonya Plorensia, yang telah membesarkanku dengan penuh kasih sayang, membimbingku dengan penuh kesabaran, dan selalu memotivasiku untuk terus belajar,
3. Kedua adikku terkasih, Feni Febriani Priska dan Triska Prigia, yang telah menjadi motivasiku untuk segera menyelesaikan skripsi ini,
4. Jemaat GPIB Bethesda Marau yang telah memberikan ijin kepada saya untuk menulis Sejarah Gereja GPIB Bethesda Marau.
v
MOTTO
Aku mau membuka mulut mengatakan amsal, aku mau mengucapkan teka teki dari zaman purbakala, yang telah kami dengar dan kami ketahui, dan yang
diceritakan kepada kami oleh nenek moyang kami. (Mazmur 78:2-3)
“Jas Merah” Jangan sekali-kali melupakan sejarah, tapi jangan juga sekali- kali meratapi sejarah, karena yang seharusnya kita lakukan adalah belajar dari
sejarah.
(Soekarno – Dian Pradana – Siska Prilingga)
Tak ada kesulitan yang tak terkalahkan. Bahkan kesulitan yang bersifat khayalan pun bisa diatasi dengan berfikir yang benar.
viii
ABSTRAK
SEJARAH PERKEMBANGAN GEREJA PROTESTAN DI INDONESIA BAGIAN BARAT (GPIB) JEMAAT BETHESDA MARAU
(IMPLIKASINYA TERHADAP KEHIDUPAN MASYARAKAT) 1970-2012
Siska Prilingga Universitas Sanata Dharma
2015
Tujuan skripsi ini adalah untuk mendeskripsikan tiga permasalahan pokok, yaitu : 1) Konteks sosio-historis masyarakat di wilayah pelayanan GPIB Jemaat Bethesda Marau; 2) Tahap-tahap perkembangan GPIB Jemaat Bethesda Marau; 3) Implikasi dari kehadiran GPIB Jemaat Bethesda Marau terhadap kehidupan masyarakat.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian historis, dengan menggunakan pendekatan sosial budaya. Metode penulisan yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif-analitis.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa : 1) Suku Dayak Kendawangan tinggal di wilayah Kecamatan Marau. Kehidupan sosial-budaya masih mengikuti adat istiadat nenek moyang, dan secara ekonomi mengandalkan hasil hutan. 2) Tahap-tahap perkembangan GPIB Jemaat Bethesda Marau : periode masuknya injil di wilayah Kecamatan Marau (1970-1985), masa persiapan pelembagaan (1986-1990), masa pelembagaan (1991), dan masa Gereja Dewasa (1991-2012). 3) Implikasi hadirnya GPIB Jemaat Bethesda Marau : dibangunnya sekolah SMP Kristen Siloam Marau, upacara adat perkawinan dilakukan setelah adanya pemberkatan perkawinan di Gereja, dan terlaksananya program kerja GPIB : pengobatan gratis dan terbentuknya kelompok-kelompok usaha tani kelapa sawit.
ix
ABSTRACT
A HISTORY OF DEVELOPMENT OF THE BETHESDA PROTESTANT CHURCH IN WESTERN PART OF INDONESIA (GPIB BETHESDA) IN MARAU (IMPLICATION FOR THE LIFE OF COMMUNITY) 1970-2012
SiskaPrilingga Sanata Dharma University
2015
The purpose of this undergraduate thesis is to describe three main problems in the ministry of the Bethesda Protestant Church in Western Part of Indonesia (Bethesda Church) in Marau, West Borneo: 1) Socio-historical context of society in the service area of Bethesda Church; 2) Developmental stages of Bethesda Church; 3) Implication of the presence of Bethesda Church in the life of community in Marau.
This study uses the method of historical research with socio-cultural approach. Moreover, the method of writing in this research is descriptive-analytical.
The results of this study are: 1) Dayak Kendawangan tribe lives in Marau. The socio-cultural life of Dayak people still follows the tradition of the elders, and economically rely on forest products. 2) Stages of development in Bethesda Church: the period of the entry of the gospel in Marau (1970-1985), the preparation period of institutionalization (1986-1990), the period of institutionalization (1991), and the period of full-fledged Church (1991-2012). 3) The implication of the presence of Bethesda Church in Marau include the establishment of the Siloam Christian Junior High School in Marau, traditional wedding ceremony performed after the blessing of the marriage in the Church and the implementation of the programs of Bethesda Church such as free treatment and the formation of groups of palm plantation farmers.
x
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan berkat dan rahmat-Nya, sehingga saya dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Sejarah Perkembangan Gereja Protestan di Indonesia bagian Barat (GPIB) Jemaat Bethesda Marau (Implikasinya terhadap Kehidupan Masyarakat) 1970-2012”. Skripsi ini disusun untuk memenuhi persyaratan meraih gelar Sarjana Pendidikan di Universitas Sanata Dharma, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Jurusan Ilmu Pengetahuan Sosial, Program Studi Pendidikan Sejarah.
Penulis menyadari bahwa penyusunan skripsi ini tidak mungkin dapat diselesaikan jika tanpa bantuan dari berbagai pihak. Maka pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada :
1. Bapak Johanes Eka Priyatma, M.Sc, Ph.D., selaku Rektor Universitas Sanata Dharma yang telah memberikan kesempatan untuk belajar dan mengembangkan kepribadian penulis.
2. Bapak Rohandi, Ph.D., selaku Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
3. Bapak Indra Darmawan, S.E, M.Si, selaku Ketua Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial Universitas Sanata Dharma.
4. Ibu Dra. Theresia Sumini, M.Pd., selaku Ketua Program Studi Pendidikan Sejarah Universitas Sanata Dharma yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.
5. Bapak Drs. B. Musidi, M.Pd, selaku dosen pembimbing yang telah dengan sabar membimbing, memberikan banyak pengarahan dan masukkan, serta saran selama proses penulisan dan penyusunan skripsi ini.
6. Seluruh dosen dan pihak sekretariat Program Studi Pendidikan Sejarah, yang telah memberikan dukungan dan bantuan selama penulis menyelesaikan studi di Universitas Sanata Dharma.
xii
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii
HALAMAN PENGESAHAN ... iii
HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv
HALAMAN MOTTO ... v
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ... vii
ABSTRAK ... viii
ABSTRACT ... ix
KATA PENGANTAR ... x
DAFTAR ISI ... xii
DAFTAR LAMPIRAN ... xiv
BAB I PENDAHULUAN ... 1 A. Latar Belakang ... 1 B. Rumusan Masalah ... 8 C. Tujuan Penulisan ... 9 D. Manfaat Penulisan ... 9 E. Tinjauan Pustaka ... 10 F. Landasan Teori... 13 G. Metodologi Penelitian ... 18 H. Sistematika Penulisan ... 26
BAB II KONTEKS SOSIO-HISTORIS MASYARAKAT DI WILAYAH PELAYANAN GPIB JEMAAT BETHESDA MARAU ... 28
A. Letak Geografis Kecamatan Marau... 28
B. Asal-Usul Masyarakat di Wilayah Kecamatan Marau... ... 29
C. Agama dan Kepercayaan Asli Masyarakat di Wilayah Pelayanan GPIB Jemaat Bethesda Marau. ... 31
D. Kehidupan Sosial-Budaya Masyarakat di Wilayah Pelayanan GPIB Jemaat Bethesda Marau ... 34
xiii
E. Mata Pencaharian Masyarakat di wilayah Pelayanan GPIB
Jemaat Bethesda Marau ... 36
BAB III TAHAP-TAHAP PERKEMBANGAN GPIB JEMAAT BETHESDA MARAU ... 38
A. Masuknya Injil di Wilayah Kecamatan Marau (1970-1985) ... 38
1. Periode Datangnya Para Penginjil dan Berdirinya Sekolah ... 38
2. Gereja Protestan Marau menjadi bagian dari Gereja Protestan di Indonesia bagian Barat ... 45
B. Masa Persiapan Pelembagaan (1986-1990)... 47
1. Pra Pelembagaan ... 47
2. Kegiatan Pendewasaan ... 48
C. Masa Pelembagaan (1991) ... 52
D. Masa Gereja Dewasa (1991-2012) ... 54
BAB IV IMPLIKASI KEHADIRAN GPIB JEMAAT BETHESDA MARAU TERHADAP KEHIDUPAN MASYARAKAT ... 58
A. Bidang Pendidikan ... 59 B. Bidang Sosial ... 61 C. Bidang Budaya ... 62 D. Bidang Kesehatan ... 64 E. Bidang Ekonomi ... 65 BAB V PENUTUP ... 67 DAFTAR PUSTAKA ... 70 LAMPIRAN ... 75
xiv
DAFTAR LAMPIRAN
Silabus ... 75
Rencana Pelaksanaan Pembelajaran ... 80
Arsip-arsip Gereja ... 105
Nama-nama dan foto Ketua Majelis Jemaat GPIB Bethesda Marau ... 118
Daftar nama responden dan foto ... 119
1 BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Gereja Protestan di Indonesia bagian Barat (GPIB) merupakan salah satu
Gereja perintis Pekabaran Injil di pedalaman Kalimantan Barat, khususnya di
wilayah Kecamatan Marau, Kabupaten Ketapang. Berdasarkan sejarahnya, GPIB
lahir dari latar belakang Gereja Belanda. Semula, sebelum menjadi Gereja
Mandiri, GPIB adalah bagian dari Gereja Protestan Indonesia (GPI) yang dulunya
bernama “Indische Kerk”1 sebagaimana telah disetujui dan diputuskan melalui
Surat Keputusan Wakil Tinggi Kerajaan di Indonesia tertanggal 1 Desember 1948
No 2.2 Itulah sebabnya GPIB selaku cabang dari GPI tidak memiliki latar
belakang historis yang berpangkal pada kegiatan Zending secara langsung,3
melainkan terbentuknya GPIB ini sebagai hasil usaha dari GPI untuk manyatukan
jemaat-jemaatnya yang ada di Indonesia bagian Barat, yang tidak terjangkau oleh
Gereja-Gereja yang ada di Indonsia bagian Timur seperti Gereja Masehi Injili
Minahasa (GMIM), Gereja Protestan Maluku (GPM), dan Gereja Masehi Injili
Timor (GMIT).
GPIB sebagai Gereja yang berdiri sendiri dalam lingkungan GPI, diresmikan
pada tanggal 31 Oktober 1948, yang pada waktu itu bernama “De Protestantsche
1
Sopater Sularso, dkk, Gereja dan Kontekstualisasi, Jakarta, Pustaka Sinar Harapan, 1998, hlm. 15.
2 Situs resmi GPIB, http://id.m.wikipedia.org/wiki/Gereja_Protestan_di _Indonesia_bagian_Barat,
diakses tanggal 14 April 2014.
3
http://immanueldepok.info/info-tentang-pembinaan-katekisasi-gpib/konteks-gereja/299-materi-32-mengenal-gpib-secara-singkat-dan-jelas, diakses tanggal 14 April 2014.
Kerk in Westelijk Indonesie”.4 Teologi Gereja ini didasarkan pada ajaran
Reformasi dari Yohanes Calvin, seorang Reformator Perancis. Pengaruh Calvin
ini terlihat jelas pada sistem pemerintahan yang dianut oleh GPIB, yaitu sistem
“Presbiterial-Sinodal”.
Ketika pertama kali terbentuk pada tahun 1948, GPIB mempunyai 7 buah
Klasis (kini disebut Mupel atau Musyawarah Pelayanan) dengan 53 Jemaat, yaitu:
1. Klasis Jabar (Jawa Barat), meliputi 9 Jemaat : Jakarta, Tanjung Priok, Jatinegara, Depok, Bogor,Cimahi, Bandung, Cirebon, dan Sukabumi. 2. Klasis Jateng (Jawa Tengah), meliputi 6 Jemaat : Semarang, Magelang,
Yogyakarta, Cilacap, Nusakambangan, dan Surakarta.
3. Klasis Jatim (Jawa Timur), meliputi 12 Jemaat : Madiun, Kediri, Madura, Surabaya, Mojokerto, Malang, Jember, Bondowoso, Banyuwangi, Singaraja, Denpasar, dan Mataram.
4. Klasis Sumatra, meliputi 7 Jemaat : Sabang, Kotaraja, Medan, Pematang Siantar, Padang, Telukbayur, dan Palembang.
5. Klasis Bangka dan Riau, meliputi 4 Jemaat : Tanjung Pinang, Pangkal Pinang, Muntok, dan Tanjungpandan.
6. Klasis Kalimantan, meliputi 8 Jemaat : Singkawang, Pontianak, Banjarmasin, Samarinda, Balikpapan, Tarakan, Sanga-sanga, dan Kotabaru.
7. Klasis Sulawesi, meliputi 7 Jemaat : Makassar, Pare-pare, Watansopeng, Raha, Palopo, Bone, dan Malino.5
Dengan jumlah warga Jemaat GPIB pada saat itu sekitar 10% dari jumlah anggota
GPI yang pada tahun 1973 berjumlah 720.000 warga GPI.
Dalam sejarah perkembangannya, GPIB sebagai salah satu Gereja Mandiri
dari lingkungan Gereja Protestan Indonesia (GPI), memiliki tantangan untuk
mengubah tradisi yang telah tertanam di dalam kehidupan GPIB, yang mana
Gereja dianggap sebagai Gereja Pejabat atau Gereja Pendeta, sehingga
memunculkan persepsi bahwa yang boleh melayani di Gereja dan Jemaatnya
4 Thomas van den End, Sejarah Gereja di Indonesia 2 1860-sekarang : Ragi Cerita, Jakarta, BPK
Gunung Mulia, 1987, hlm. 54.
5
hanyalah Pendeta atau para Pejabat. Hal inilah yang membuat GPIB pada
masa-masa awal kemandiriannya mengalami kesulitan di dalam menggerakkan warga
jemaatnya untuk ikut serta di dalam pelayanan. Maka, untuk mengatasi persoalan
yang sedang dihadapi Gerejanya, GPIB merancang suatu program baru yang
diharapkan dapat membuka wawasan berpikir warga jemaat serta
pejabat-pejabatnya. Maka pada tahun 1960, melalui Sidang Sinode VI di Gadog, Jawa
Barat, dibahaslah mengenai “pemahaman ekklesiologis GPIB dan kehadiran yang
Missioner”. Melalui pembahasan ini, ditekankan bahwa Gereja itu ada karena
panggilanNya dan oleh karenanya Gereja harus hidup sedemikian rupa sehingga
Injil diberitakan dan diterjemahkan dalam berbagai bentuk untuk membaharui
masyarakat, baik secara struktural maupun secara fungsional. Maksud GPIB
dalam hal ini adalah supaya Gereja dan warga masyarakat bersama-sama
membangun masa depannya. Maka, melalui Sidang Sinode ke VI ini,
diproklamirkan bahwa GPIB adalah Gereja yang Missioner dan seluruh wilayah
pelayanan GPIB adalah sasaran Pekabaran Injil. Pada perkembangan selanjutnya,
konsep Jemaat Missioner6 inilah yang menjadi kunci penting dalam upaya
konsolidasi pelayanan dan organisasi GPIB, serta memberikan arah baru bagi Tata
Gereja GPIB, tanpa meninggalkan sistem “Presbiterial-Sinodal”.7
Pemahaman tentang Jemaat Missioner, dilaksanakan GPIB melalui berbagai
bentuk kegiatan seperti : pembinaan jemaat dan para pejabat, serta melaksanakan
berbagai proyek Pekabaran Injil di desa-desa. Usaha Pekabaran Injil ini
6 Situs Resmi GPIB, GPIB Menuju Jemaat Yang Missioner,
http://www.gpib.org/artikel/gpib-menuju-jemaat-yang-misioner, diakses tanggal 12 Februari 2014.
7
dilaksanakan oleh GPIB di beberapa daerah seperti di Banten Selatan, Subang,
Comal, Kerinci, Lampung, Riau, Bangka, Kalimantan Barat, Timur dan Selatan,
serta Banyuwangi. Dalam usaha pelaksanaan Pekabaran Injil tersebut, GPIB
mengadakan kerja sama dengan badan-badan pelayanan Pekabaran Injil seperti
OMF tahun 1963, YPPII Batu Malang tahun 1964, dan ZNHK tahun 1968.8
Di Kalimantan Barat, khususnya di wilayah pedalaman Kalimantan Barat,
GPIB hadir dengan menggandeng Yayasan Pelayanan Pekabaran Injil Indonesia
(YPPII) Batu Malang, Jawa Timur. YPPII Batu Malang ini dijadikan sebagai
wadah dari pelayanan Pekabaran Injil yang akan dilaksanakan oleh
mahasiswa-mahasiswa praktikan dari Institut Injil Indonesia Batu Malang. Ada 2 alasan
mengapa wilayah Kalimantan Barat dijadikan sebagai salah satu tempat
dilaksanakannya Pekabaran Injil. Alasan pertama adalah karena secara historis,
sejak semula Kalimantan Barat itu merupakan wilayah pelayanan dari Gereja
Protestan di Indonesia bagian Barat (GPIB). Alasan kedua merupakan alasan
teologis yang berkaitan dengan konsep “Jemaat Missioner”, di mana Misi Gereja
adalah untuk memberitakan firman, yang dilaksanakan dalam bentuk Pemberitaan
Injil ke berbagai wilayah, dan salah satu wilayah yang dijadikan sebagai pusat
Pekabaran Injil adalah wilayah Kalimantan Barat.
Semula, sebelum kegiatan penginjilan dilaksanakan di pedalaman
Kalimantan Barat, pada tahun 1968 Rektor Institut Injil Indonesia bersama YPPII
Batu Malang Jawa Timur mengadakan kunjungan ke Jemaat GPIB “Siloam”
8
Pontianak9, Kalimantan Barat. Maksud dari dilaksanakannya kunjungan tersebut
adalah untuk mencari informasi mengenai wilayah pedalaman Kalimantan Barat,
sekaligus mengajak Jemaat GPIB “Siloam” Pontianak untuk bersama-sama melaksanakan kegiatan penginjilan di pedalaman Kalimantan Barat. Maksud
tersebut mendapat respon yang cukup baik, sehingga tak lama setelah itu, kegiatan
penginjilan di pedalaman Kalimantan Barat pun mulai dilaksanakan.10
Pada tahun 1970, para penginjil tersebut memulai perjalanan mereka. Para
penginjil yang dikirim oleh Institut Injil Indonesia Batu Malang Jawa Timur ini
berada di bawah pimpinan Bapak SA. Kelly yang pada saat itu merupakan salah
satu mahasiswa senior Institut Injil Indonesia Batu Malang. Para penginjil ini
mulai memasuki pedalaman Kalimantan Barat melalui kota Pontianak, untuk
kemudian melanjutkan perjalanan mereka ke Kabupaten Ketapang. Setibanya di
Kabupaten Ketapang, mereka bertemu dengan Jemaat GPIB “Ebenhezer”
Ketapang (dulu disebut Gereja Ketapang karena merupakan satu-satunya Gereja
Kristen Protestan yang ada di Ketapang namun belum memiliki nama).11 Jemaat
GPIB “Ebenhezer” Ketapang pada saat itu juga menerima pelayanan dari para
penginjil utusan dari Institut Injil Indonesia Batu Malang, dan dari Jemaat GPIB
“Ebenhezer” Ketapang jugalah para penginjil ini mendapatkan informasi mengenai Marau (Kecamatan Marau). Para penginjil memasuki daerah Marau
melalui jalur Pesaguan–Pengancing–Tumbang Titi, baru kemudian tiba di Marau
9
Jemaat GPIB “Siloam” Pontianak merupakan salah satu dari 53 Jemaat GPIB pada saat pertama kali terbentuk tahun 1948.
10 Wawancara dengan Pendeta Urbanus Latudasan, tokoh Penginjil tahun 1970-an, 1 Oktober
2013.
11 Majelis Jemaat GPIB Ebenhezer Ketapang, Sejarah Gereja GPIB EBENHEZER Ketapang,
(Kecamatan Marau).12 Setibanya di Marau, para penginjil pun mulai membuka
pos-pos pelayanan. Mereka mulai mengajarkan tentang agama Protestan kepada
masyarakat sekitar, dan ternyata hal tersebut bisa diterima dengan cukup baik oleh
masyarakat yang bertempat tinggal di wilayah Kecamatan Marau tersebut,
terutama masyarakat yang ada di Dusun Tempayak Desa Sukakarya, tempat di
mana pos pelayanan pertama kali dibuka di wilayah Kecamatan Marau.13 Adanya
penerimaan yang baik dari masyarakat setempat membuat agama Protestan terus
mengalami perkembangan yang signifikan.
Perkembangan agama Protestan di wilayah Kecamatan Marau pun semakin
pesat, terlebih setelah dibangunnya Sekolah Menengah Pertama (SMP Kristen
Siloam Marau) pada tahun 1972. Selain sekolah, dibangun pula Asrama Propeka
yang diperuntukkan bagi anak-anak sekolah, di mana pada awal dibukannya,
Asrama Propeka ini berhasil menampung kurang lebih sekitar 70 anak-anak
sekolah yang bersekolah di SMP Kristen Siloam Marau.14 Sedangkan gedung
gerejanya sendiri sudah dibangun sejak tahun 1971,15 tak lama setelah para
penginjil tiba di Marau (Kecamatan Marau).
GPIB “Bethesda” Marau yang semula bernama GPIB “Siloam” Marau ini
pertama kali dibangun pada tahun 1971. Gedung gereja pertama dibangun dengan
bentuk yang masih sangat sederhana. Luas bangunan gedung gerejanya kurang
12
Idem.
13 Wawancara dengan tokoh penginjil tahun 1970-an dan alumni Institut Injil Indonesia Batu
Malang Jawa Timur, Pendeta Urbanus Latudasan, 1Oktober 2013.
14 Majelis Jemaat GPIB Ebenhezer Ketapang, op. cit., hlm. 59.
15 Wawancara dengan tokoh penginjil tahun 1970-an dan alumni Institut Injil Indonesia Batu
lebih sekitar 4 x 6 meter.16 Gedung gereja ini merupakan gedung gereja pertama
yang dibangun di wilayah Kecamatan Marau. Letak gedung gereja ini berada di
Dusun Tempayak Desa Sukakarya. GPIB “Bethesda” Marau yang berhasil
didewasakan pada tanggal 25 Agustus 199117 ini adalah Gereja induk bagi
Gereja-Gereja Protestan yang berada di wilayah Kecamatan Marau dan sekitarnya.
Sebagai Gereja Dewasa dan Mandiri, GPIB “Bethesda” Marau mempunyai daerah
pelayanan yang berada di 3 Kecamatan, yakni Kecamatan Marau, Kecamatan
Manis Mata, dan Kecamatan Jelai Hulu, yang terdiri dari 23 Pos Pelkes
(Pelayanan dan Kesaksian), dengan jumlah kepala keluarga 925 KK, serta jumlah
jiwa sebanyak 2.972 Jiwa.18
Peneliti memilih judul “Sejarah Perkembangan Gereja Protestan di
Indonesia bagian Barat (GPIB) Jemaat Bethesda Marau (Implikasinya terhadap kehidupan masyarakat) 1970-2012” sebagai obyek penelitiannya,
alasannya adalah selain untuk menceritakan kembali melalui media tulisan
tentang sejarah perkembangan GPIB Jemaat “Bethesda” Marau yang ternyata
selama ini belum banyak diketahui oleh warga jemaat GPIB “Bethesda” Marau
secara khusus dan umat GPIB secara umum, juga untuk melihat makna dari
hadirnya GPIB Jemaat Bethesda Marau di tengah-tengah kehidupan masyarakat di
wilayah Kecamatan Marau.
16 Wawancara dengan Majelis Jemaat GPIB Bethesda Marau, Penatua Soter, 25 Juli 2013. 17 Arsip Jemaat GPIB Bethesda Marau, Laporan keadaan pos-pos Pelkes GPIB Bethesda Marau,
1991.
18
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang penulisan yang telah dikemukakan di atas, maka
penulis mengajukan beberapa pokok permasalahan, sebagai berikut :
1. Bagaimanakah konteks sosio-historis masyarakat di wilayah pelayanan GPIB
Jemaat Bethesda Marau?
2. Bagaimanakah tahap-tahap perkembangan GPIB Jemaat Bethesda Marau?
3. Bagaimanakah implikasi dari kehadiran GPIB Jemaat Bethesda Marau
terhadap kehidupan masyarakat sekitar?
Persoalan pertama, membahas letak geografis Kecamatan Marau, asal-usul
masyarakat, agama dan kepercayaan asli masyarakat, kehidupan sosial-budaya
masyarakat, serta mata pencaharian masyarakat di wilayah pelayanan GPIB
Jemaat Bethesda Marau.
Persoalan kedua, membahas tahap-tahap perkembangan GPIB Jemaat
Bethesda Marau, yaitu periode masuknya Injil di wilayah Kecamatan Marau
(1970-1985), masa persiapan pelembagaan (1986-1990), masa pelembagaan
(1991), dan masa Gereja dewasa (1991-2012).
Persoalan ketiga, membahas pengaruh kehadiran GPIB Jemaat Bethesda
Marau terhadap kehidupan masyarakat sekitar dalam berbagai bidang kehidupan,
C. Tujuan Penulisan
Tujuan dari diadakannya penulisan Sejarah Gereja ini adalah sebagai
berikut:
1. Untuk memaparkan latar belakang kehidupan sosial masyarakat di wilayah
pelayanan GPIB Jemaat Bethesda Marau.
2. Untuk menguraikan tahap-tahap perkembangan GPIB Jemaat Bethesda
Marau.
3. Untuk memaparkan implikasi dari kehadiran GPIB Jemaat Bethesda Marau
terhadap kehidupan masyarakat sekitar.
D. Manfaat Penulisan
Manfaat dari diadakannya penulisan Sejarah Gereja ini adalah sebagai
berikut:
1. Bagi Pengembangan Ilmu Pengetahuan
Penulisan sejarah Gereja ini diharapkan mampu memberikan sumbangan
ilmu pengetahuan mengenai sejarah Gereja Protestan di Indonesia bagian
Barat, serta mampu melihat lebih mendalam mengenai pengaruh kehadiran
Gereja di tengah kehidupan masyarakat.
2. Bagi Gereja-Gereja di Indonesia
Gereja dapat berefleksi dan mengevaluasi kehadirannya di tengah-tengah
masyarakat, untuk selanjutnya menentukan langkah-langkah strategis dalam
mewujudkan aksi nyata demi mewujudkan masyarakat yang lebih berdaya
3. Bagi GPIB Jemaat Bethesda Marau
Penulisan sejarah Gereja ini dapat menjadi sarana bagi jemaat GPIB
untuk memperoleh gambaran yang cukup mendalam tentang perkembangan
GPIB Jemaat Bethesda Marau, serta menjadi dokumen historis tertulis
pertama yang akan menjadi sumbangsih bagi penulisan Sejarah GPIB Jemaat
Bethesda Marau pada khususnya dan data Jemaat GPIB pada umumnya.
4. Bagi Pengembangan Diri
Penelitian dan penulisan sejarah Gereja ini diharapkan dapat menambah
pengetahuan penulis mengenai sejarah Gereja Protestan di Indonesia bagian
Barat secara umum, serta sejarah GPIB Jemaat Bethesda Marau secara khusus.
Selain itu, melalui penulisan sejarah ini, penulis dapat belajar menulis sejarah
dan menganalisis setiap permasalahan yang terjadi, agar kelak bisa menjadi
guru serta menjadi penulis sejarah yang bisa dibanggakan.
E. Tinjauan Pustaka
Dalam penulisan Sejarah Gereja dengan judul “Sejarah Perkembangan
Gereja Protestan di Indonesia bagian Barat (GPIB) Jemaat Bethesda Marau
(Implikasinya Terhadap Kehidupan Masyarakat) 1970-2012” ini, peneliti
menggunakan beberapa buku sebagai acuan untuk menganalisis berbagai
permasalahan yang akan dipecahkan. Beberapa diantaranya adalah :
Sejarah Gereja Protestan di Indonesia bagian Barat (GPIB) 1948-1990,
ditulis oleh Pdt. H. Ongirwalu, M. Th. Buku ini berisi tentang kisah perjalanan
sampai tahun 1990. Selain itu, dijelaskan pula mengenai perjuangan GPIB untuk
keluar dari keadaan yang lama yang berhubungan dengan warisan-warisan Gereja
Protestan Indonesia (GPI), dan memasuki keadaan yang baru, yaitu untuk
menemukan diri sebagai satu Gereja Mandiri di tengah pergumulan masyarakat.
Menurut buku ini, periodisasi sejarah GPIB dibagi ke dalam 3 periode : periode
pertama (1948-1970) disebut sebagai Konsolidasi, periode kedua (1970-1982)
disebut Masa Pembangunan (konsep Jemaat Missioner), periode ketiga
(1982-1990) adalah Masa Kemandirian GPIB, dalam arti bahwa GPIB bukan hanya
mandiri dalam daya dan dana, tetapi juga merumuskan visi dan misinya mengenai
hakekat hidup dan pelayanannya sebagai Gereja.
Sejarah Gereja di Indonesia, ditulis oleh Dr. Th. Muller Kruger, diterbitkan
di Jakarta tahun 1966 oleh BPK Gunung Mulia. Buku ini berisi tentang
penanaman dan perkembangan Gereja di Indonesia sejak zaman Portugis hingga
kemunduran VOC (Verenigde Oost-Indische Compagnie). Di dalamnya termuat
permulaan Gereja pada zaman Portugis, penyebaran Gereja di Indonesia pada
zaman VOC, Gereja Protestan Indonesia (GPI) “Indische Kerk” sebagai
pengganti Gereja VOC, dan persebaran Gereja di berbagai wilayah, termasuk
wilayah Kalimantan Barat. Menurut buku ini, penginjilan di Kalimantan Barat
telah dimulai sekitar tahun 1839, di mana “American Board of Commissioner for
Foreign Missions” memulai usaha Pekabaran Injil di Pontianak dan sekitarnya,
namun karena kesulitan bahasa mengakibatkan usaha tersebut dihentikan (1850).
Baru pada tahun 1906, Pekabaran Injil Methodis dimulai kembali di Pontianak, di
di Singapura yang berhasil dalam proses penginjilan, sehingga jumlah
orang-orang Kristen mulai berlipat ganda. Tempat pekerjaannya ialah di Singkawang,
Pontianak, dan Pemangkat.
Sejarah Gereja di Indonesia 2 1860-sekarang (Ragi Cerita), ditulis oleh Dr.
Thomas van den End, diterbitkan di Jakarta tahun 1987 oleh BPK Gunung Mulia.
Buku ini menjelaskan tentang sejarah Gereja Protestan di Indonesia, Gereja
Protestan di Indonesia bagian Barat, Pekabaran Injil dan persebaran Gereja di
banyak pulau di Indonesia, termasuk di pulau Kalimantan, dan pengaruh Gereja
bagi kehidupan masyarakat. Menurut buku ini, antara tahun 1839-1850 sudah
terdapat tenaga zending dari Amerika di daerah Kalimantan Barat, tetapi usaha
mereka tidak membawa hasil yang nyata, sehingga dihentikan. Pada tahun 1906,
“Board of Foreign Missions of the Methodist Episcopal Church” di Amerika, yang telah bekerja di Serawak, menangani Pekabaran Injil di kalangan orang Cina
di Pontianak dan sekitarnya. Karya ini meluas dengan cepat, sehingga pada tahun
1922, karya Pekabaran Injil tersebut telah mencakup orang Dayak di daerah
tersebut. Tetapi pada tahun 1928, Zending Methodist menarik diri dari
Kalimantan (dan Jawa). Usaha Pekabaran Injil di Kalimantan Barat diserahkan
kepada Gereja Protestan Indonesia (GPI), yang meneruskannya dalam kerjasama
Basler Mission.
Sejarah Perkembangan Iman Dari Awal Sampai Dengan Masa Kini dan
Sejarah Perkembangan Iman di Indonesia, ditulis oleh Christ Verhaak, tahun
1987 di Yogyakarta, penerbit Pradnyawidya. Buku ini berisi tentang sejarah
kemerdekaan, hingga masa Konsili Vatikan II dan sesudahnya. Di dalam buku ini,
Verhaak menjelaskan bahwa tonggak sejarah perkembangan iman di Indonesia
sudah dimulai pada saat VOC dibubarkan pada tahun 1799. Kebebasan beragama
mulai diberikan oleh pemerintah penjajah dalam hal ini Negara Belanda yang
pada saat itu menggantikan kedudukan VOC di Indonesia. Dari sinilah,
Gereja-Gereja di Indonesia terus mengusahakan perkembangan dengan melakukan
berbagai macam hal mulai dari membuat suatu persepakatan resmi mengenai
pemisahan Gereja dengan Negara, hingga melaksanakan pewartaan dan
penghayatan iman di seluruh wilayah Nusantara yang menghasilkan berbagai
macam karya kehidupan baik dalam bidang pengajaran agama, pendidikan di
sekolah-sekolah, kesehatan, maupun pelayanan kepada masyarakat. Walaupun
mengalami banyak kesulitan, namun Gereja di Indonesia tidak pernah menyerah
dan terus berkembang untuk menjadi Gereja yang dewasa dan mandiri.
F. Landasan Teori
1. Sejarah
Kata “sejarah” berasal dari bahasa Arab, yaitu syajara yang berarti terjadi,
syajarah yang berarti pohon, syajarah an-nasab berarti pohon silsilah.19 Menurut
bahasa Arab, sejarah sama artinya dengan sebuah pohon yang terus berkembang
dari tingkat sederhana, ke tingkat yang lebih maju.
Dalam bahasa Inggris, kata “sejarah” (history)20 berarti masa lampau umat
19 Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah, Yogyakarta, PT Bentang Pustaka, 1995, hlm. 1. 20
manusia. Sedangkan dalam bahasa Jerman, kata “sejarah” (geschichte) berarti sesuatu yang telah terjadi.21 Dengan demikian, sejarah tidak dapat dipisahkan dari
kehidupan manusia dan bahkan berkembang sesuai dengan perkembangan
kehidupan manusia dari tingkat yang sederhana ke tingkat yang lebih modern.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia yang ditulis oleh W.J.S
Poerwadarminta, sejarah mengandung tiga pengertian : Pertama, sejarah berarti
silsilah atau asal usul. Kedua, sejarah berarti kejadian dan peristiwa yang
benar-benar terjadi pada masa lampau. Ketiga, sejarah berarti ilmu pengetahuan atau
uraian tentang kejadian atau peristiwa yang benar-benar terjadi pada masa
lampau.22
2. Perkembangan
Menurut Kamus Terbaru Bahasa Indonesia, perkembangan adalah perihal
berkembang.23 Berkembang berarti mekar terbuka atau membentang, menjadi
besar, luas, dan banyak, serta menjadi bertambah sempurna dalam hal
kepribadian, pikiran, pengetahuan, dan sebagainya.
Dalam “Dictionary of Psychology (1971) dan The Penguin Dictionary of
Prychology (1988)”, Perkembangan diartikan sebagai tahapan-tahapan perubahan
yang progresif yang terjadi dalam rentang kehidupan manusia dan organisme
21 Louis Gottschalk, Mengerti Sejarah, Jakarta, Yayasan Penerbit Universitas Indonesia, 1975,
hlm. 27.
22 W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka, 1966, hlm.
208-209.
23
lainnya tanpa membedakan aspek-aspek yang terdapat dalam diri organisme
tersebut.
Neil. J. Salkind dalam bukunya “Teori-teori perkembangan Manusia”
menyatakan bahwa “Perkembangan (development) adalah serangkaian perubahan
yang bergerak maju dalam pola yang terukur sebagai hasil interaksi antara faktor
biologis dan lingkungan”.24
Selain itu, Elizabeth B. Hurlock dalam bukunya “Psikologi Perkembangan”
juga menyatakan bahwa istilah perkembangan berarti serangkaian perubahan
progresif yang terjadi sebagai akibat dari proses kematangan dan pengalaman.25
Maka dapat disimpulkan bahwa perkembangan adalah serangkaian
perubahan yang terjadi secara sistematis, progresif, dan berkesinambungan, yang
terjadi dalam diri individu sebagai hasil dari interaksi.
3. Gereja
Istilah gereja berasal dari bahasa Portugis yaitu igreja, yang berarti kawanan
domba yang dikumpulkan oleh gembala. Dalam pemakaiannya saat ini, kata
igreja merupakan bentuk terjemahan dari bahasa Yunani yaitu kyriake, yang
berarti sebutan bagi orang-orang yang menjadi milik Tuhan. Artinya, mereka yang
percaya dalam iman yang sungguh kepada Yesus Kristus sebagai Juru Selamat.
Dalam bahasa Yunani, ada suatu kata lain yang berarti “gereja” yaitu “ekklesia” yang berarti mereka yang dipanggil.
24 Neil J. Salkind, Teori-teori perkembangan manusia : Sejarah Kemunculan, Konsepsi Dasar,
Analisis Komparatif dan Aplikasi, Bandung, Nusamed, 2009, hlm. 4.
25 Elizabeth B. Hurlock, Psikologi perkembangan : suatu pendekatan sepanjang rentang
Thomas van den End dalam bukunya yang berjudul “Harta Dalam Bejana”
mendefinisikan Gereja sebagai persekutuan orang yang dipersatukan dalam
Kristus, dibimbing oleh Roh Kudus dalam ziarah mereka menuju Kerajaan Bapa,
dan yang telah menerima warta keselamatan untuk disampaikan kesemua orang.26
Dalam Kamus Terbaru Bahasa Indonesia, Gereja diartikan sebagai tempat
ibadah orang Kristen.27 Gereja dengan huruf awal “g” dan bukan “G” dapat
dimengerti sebagai suatu gedung (rumah) tempat berdoa dan melakukan upacara
agama (Kristen).28
Dalam lingkup GPIB, Gereja diartikan sebagai persekutuan orang percaya,
sebagai umat yang terpanggil dan dihimpun oleh Allah Bapa, keluar dari
kegelapan menuju kepada Yesus Kristus yang adalah terang dunia.29
4. Jemaat
Kata “Jemaat” adalah kata serapan dari bahasa Arab. Menurut Kamus
Terbaru Bahasa Indonesia, Jemaat adalah himpunan umat.30 Maka dapat
disimpulkan bahwa kata Jemaat yang dimaksudkan dalam judul skripsi ini adalah
himpunan umat yang dipanggil keluar untuk menjadi murid Kristus.
5. Implikasi
Implikasi dapat kita temukan artinya dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
26
Thomas van den End, Harta Dalam Bejana, Jakarta, BPK Gunung Mulia, hlm. 7.
27 Tim Reality, op. cit., hlm. 260.
28 W.J.S. Poerwadarminta, op. cit., hlm. 318.
29 Majelis Sinode GPIB, Pokok-pokok Kebijakan Umum Panggilan dan Pengutusan Gereja
(PKUPPG) Buku II, Jakarta, Majelis Sinode GPIB, 2010, hlm. 6.
30
yang bermakna keterlibatan atau keadaan terlibat, yang termasuk atau tersimpul
yang disugestikan, tetapi tidak dinyatakan.31 Arti luasnya ialah mempunyai
hubungan keterlibatan, kepentingan umum / kepentingan pribadi sebagai anggota
masyarakat.
Jadi, penulis mengambil kesimpulan bahwa yang dimaksud implikasi dalam
judul skripsi ini adalah mengenai pengaruh yang dimunculkan dari hadirnya
agama Protestan, khususnya Gereja Protestan di Indonesia bagian Barat (GPIB)
Bethesda Marau terhadap kehidupan masyarakat di lingkungan sekitar tempat di
mana Gereja tumbuh dan berkembang.
6. Masyarakat
Dalam bahasa Inggris, masyarakat disebut society, asal katanya socius yang
berarti kawan. Istilah “masyarakat” berasal dari bahasa Arab, yaitu syirk, artinya bergaul. Para ahli seperti Maclver, J.L.Gillin dan J.P.Gillin berpendapat bahwa
masyarakat merupakan suatu kesatuan hidup manusia yang berinteraksi menurut
suatu sistem adat-istiadat tertentu, yang bersifat berkelanjutan dan terikat oleh
suatu rasa identitas bersama.32
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, masyarakat diartikan sebagai
sehimpunan manusia yang hidup bersama dalam suatu tempat dengan
ikatan-ikatan aturan tertentu.33
31 Suharso, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Semarang, Widya Karya, 2011, hlm. 178.
32 Munandar Soelaeman, Ilmu Sosial Dasar : Teori dan Konsep Ilmu Sosial, Bandung, PT Eresco,
1986, hlm. 26.
G. Metodologi Penelitian
Metodologi didefinisikan sebagai ilmu atau kajian tentang metode.34
Metode adalah cara atau prosedur untuk mendapatkan objek. Metode juga
dikatakan sebagai cara untuk berbuat atau mengerjakan sesuatu dalam suatu
sistem yang terencana dan teratur. Jadi, metode selalu erat hubungannya dengan
prosedur, proses, atau teknik yang sistematis untuk melakukan penelitian disiplin
tertentu. Hal ini dimaksudkan untuk mendapatkan objek penelitian.35
Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan Sejarah Gereja dengan
judul “Sejarah Perkembangan Gereja Protestan di Indonesia bagian Barat (GPIB) Jemaat Bethesda Marau (Implikasinya terhadap kehidupan masyarakat)
1970-2012”, mencakup lima tahapan penelitian, yaitu ; pemilihan topik, heuristik (pengumpulan sumber), verifikasi (kritik sejarah atau keabsahan sumber),
interpretasi (analisis dan sintesis), dan historiografi (penulisan).36
1) Pemilihan Topik
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pemilihan topik, yaitu ;
kedekatan emosional, kedekatan intelektual, dan rencana penelitian.37 Dalam
melaksanakan penelitian, peneliti dapat menggunakan beberapa acuan pertanyaan
seperti ; a) where, menunjuk pada daerah mana yang menjadi objek penelitian, b)
when, menunjuk pada batasan waktu yang dipilih, c) who, menunjuk pada siapa
saja yang terlibat didalamnya, d) what, menunjuk pada apa yang dilakukan oleh
34 Suhartono W. Pranoto, Teori dan Metodologi Sejarah, Yogyakarta, Graha Ilmu, 2010, hlm. 11. 35 Idem.
36 Kuntowijoyo, op. cit., hlm. 90. 37
pelaku, e) why, menunjuk pada pertanyaan mengapa pelaku melakukan perbuatan
itu, dan f) how, menunjuk pada pertanyaan bagaimana terjadinya peristiwa itu.38
Penulisan Sejarah Gereja ini dilakukan oleh peneliti karena adanya
kedekatan emosional dan intelektual antara peneliti dengan topik penelitian yang
berjudul “Sejarah Perkembangan Gereja Protestan di Indonesia bagian Barat (GPIB) Jemaat Bethesda Marau (Implikasinya terhadap kehidupan masyarakat)
1970-2012”. Dalam hal ini, kedekatan emosional peneliti dapat diketahui dari
ketertarikan peneliti terhadap topik penelitian, yang mana objek penelitiannya
berada di lingkungan di mana peneliti tumbuh dan besar di sana. Selain itu, orang
tua peneliti yang juga merupakan pejabat Gereja, memberikan kemudahan kepada
peneliti untuk memperoleh data. Sedangkan kedekatan intelektual peneliti dapat
dilihat melalui ketertarikan peneliti terhadap buku-buku bacaan yang berkaitan
dengan objek penelitian, seperti Sejarah Gereja Protestan di Indonesia bagian
Barat (GPIB) 1948-1990, yang ditulis oleh Pendeta H. Ongirwalu, M. Th.
2) Heuristik (Pengumpulan Sumber)
Sumber (sumber sejarah disebut juga data sejarah; bahasa inggris datum
bentuk tunggal, data bentuk jamak; bahasa inggris datum berarti pemberian) yang
dikumpulkan harus sesuai dengan jenis sejarah yang akan ditulis. Sumber menurut
bahannya, dibagi menjadi dua, yaitu tertulis dan tidak tertulis, atau dokumen dan
artifact. Sedangkan menurut urutan penyampaiannya, sumber sejarah dibagi
38 Yoel Febriantoro, “Sejarah Gereja Kristen Injili Indonesia di Bengko, Rejang Lebong, Bengkulu
1983-2008 : Mengembala di Tengah Lebatnya Rimba Sumatra”, Skripsi Sarjana Pendidikan, Perpustakaan USD, Yogyakarta, 2013, hlm. 23.
kedalam sumber primer dan sumber sekunder. Sumber sejarah disebut primer bila
disampaikan oleh pelaku sejarah atau saksi mata, misalnya catatan rapat, daftar
anggota organisasi, dan arsip-arsip laporan seseorang. Sedangkan sumber
sekunder menurut ilmu sejarah ialah yang disampaikan oleh bukan saksi mata.39
Sumber sekunder ini merupakan sumber pendukung dari sumber utama (sumber
primer).
Dalam penelitian ini, penulis mengumpulkan data-data penelitian melalui :
a) Studi Kepustakaan
Studi kepustakaan dilakukan oleh penulis untuk menjaring data primer
dan data sekunder melalui perpustakaan-perpustakaan, media massa, dan
arsip-arsip dari instansi-instansi yang berkaitan dengan permasalahan. Dalam
hal ini, peneliti mengumpulkan data-data dari dokumen arsip milik kantor
Gereja Protestan yang beralamat di Dusun Tempayak, Desa Sukakarya,
Kecamatan Marau, Kabupaten Ketapang, Provinsi Kalimantan Barat.
Arsip-arsip Gereja ini meliputi Laporan Keadaan Pos-Pos Pelkes GPIB “Bethesda”
Marau tahun 1991, Surat Keputusan Majelis Sinode GPIB tentang
Pelembagaan Jemaat GPIB “Bethesda” Marau – Kalimantan Barat tahun
1991, dan Surat Keputusan Majelis Sinode GPIB tentang Pengangkatan
Penatua dan Diaken selaku anggota-anggota Majelis Jemaat GPIB
“Bethesda” Marau masa tugas 1988-1992.
Selain itu, penulis juga menggunakan buku-buku yang relevan dengan
topik yang diajukan, seperti buku Sejarah Gereja GPIB “Ebenhezer”
39
Ketapang dan buku Sejarah Gereja Protestan di Indonesia bagian Barat
(GPIB) 1948-1990 yang ditulis oleh Pendeta H. Ongirwalu, M. Th.
b) Wawancara
Wawancara merupakan proses pengumpulan data secara lisan, dengan
cara melakukan tanya jawab dengan orang-orang yang terkait dengan topik
penelitian. Dalam hal ini, wawancara dilakukan terhadap informan yang terdiri
dari para penginjil, para pendeta, pejabat-pejabat Gereja (Penatua/Diaken),
serta masyarakat setempat yang berada di wilayah obyek penelitian. Pelaku
penginjilan yang berhasil diwawancarai oleh penulis terdiri dari dua orang,
yaitu Pendeta Urabanus Latudasan (69 tahun), Bapak Yonatan A. Kabu (65
tahun). Kedua orang ini merupakan para penginjil yang berasal dari Institut
Injil Indonesia Batu Malang, Jawa Timur. Selain kedua orang penginjil ini,
penulis juga berhasil mewawancarai masyarakat setempat yang menerima
penginjilan dan juga pernah menjabat pejabat Gereja GPIB “Bethesda” Marau,
yaitu Bapak Kimtia (72 tahun) dan Bapak Kristianto Persen (72 tahun).
c) Observasi
Observasi dilakukan dengan jalan mengadakan pengamatan secara
langsung terhadap obyek penelitian sejarah40, yaitu gedung gereja GPIB
“Bethesda” Marau. Dari hasil observasi ini, diketahui bahwa terdapat dua bangunan gedung gereja. Bangunan gedung gereja pertama berukuran 5 x 10
meter, dibangun pada tahun 1976. Bangunan gedung gereja pertama ini
40 Wariso RAM, dkk, Pemukiman Sebagai Kesatuan Ekosistem Daerah Kalimantan Barat,
sekarang berfungsi sebagai gedung serba guna. Bangunan gedung gereja
kedua berukuran 10 x 22 meter, berfungsi sebagai tempat ibadah. Gedung
gereja ini terdiri dari ruang konsistori (Kantor Gereja) dan ruang ibadah.
Selain itu, dibelakang bangunan gedung gereja juga terdapat bangunan gedung
SMP Kristen Siloam Marau yang dibangun pada tahun 1972. SMP ini juga
merupakan hasil dari kegiatan penginjilan.
3) Verifikasi (Kritik Sumber atau Keabsahan Sumber)
Setelah sumber-sumber yang diperlukan dalam penelitian berhasil
dikumpulkan, langkah berikutnya adalah melakukan kritik sumber. Tujuan dari
kritik sumber ini adalah untuk mengetahui kebenaran informasi atau untuk
menguji otentisitas dan kredibilitasnya. Kritik sumber terdiri dari dua macam,
yaitu kritik ekstern (autentisitas / keaslian sumber) dan kritik intern (kredibilitas /
kebiasaan dipercayai).41 Kritik ekstern, dilakukan dengan cara meneliti data dalam
dokumen yang akan digunakan, melalui pemakaian bahasa, corak penulisannya,
dan lain sebagainya. Kritik intern, dilakukan dengan cara membandingkan
berbagai sumber untuk mendapatkan data yang jelas dan lengkap.
Dalam penelitian ini, sumber primer yang digunakan oleh penulis adalah
dokumen arsip, hasil wawancara, dan hasil observasi. Dokumen arsip yang
merupakan Surat Keputusan dari Majelis Sinode GPIB yang beralamat di Jl.
Merdeka Timur No. 10 Jakarta Pusat ini dibuat pada tahun 1991, dan bentuk
tulisannya pun terlihat masih kaku, yaitu masih menggunakan mesin ketik lama.
41
Sedangkan dari hasil wawancara yang dilakukan, apa yang disampaikan oleh para
informan dengan yang ada di dalam buku, memiliki banyak kesamaan, seperti
data tentang kedatangan para penginjil, proses pelembagaan dan tanggal
pelembagaan. Jadi, bisa dibuktikan bahwa sumber yang digunakan oleh penulis
ini adalah asli dan dapat dipercaya. Selain itu, dari hasil observasi yang penulis
lakukan, dengan melihat bentuk bangunan-bangunan, baik itu gedung gereja,
sekolah, maupun pastori (rumah tempat tinggal pendeta), terlihat jelas perbedaan
antara bangunan lama dan bangunan baru, seperti dari segi bahan bangunan,
bentuk, dan ukuran bangunan tersebut.
4) Interpretasi (Anlisis dan Sintesis)
Interpretasi merupakan suatu langkah yang ditempuh oleh peneliti dalam
menafsirkan fakta-fakta yang telah diuji dan menganalisis sumber-sumber supaya
dapat menghasilkan suatu fakta yang kebenarannya dapat dipercaya. Dalam
interpretasi terdapat dua kegiatan pokok yang harus dilalui, yaitu analisis yang
berarti menguraikan, dan sintesis yang berarti menyatukan data atau fakta-fakta
yang telah dikumpulkan.42
Dalam interpretasi ini, analisis dilakukan karena kadang-kadang sebuah
sumber bisa mengandung beberapa kemungkinan. Oleh karenanya data-data yang
telah berhasil dikumpulkan seperti dokumen arsip, hasil wawancara, dan hasil
observasi, setelah melalui kritik sumber, kemudian dianalisis untuk bisa
menemukan fakta-fakta sejarah. Demikian juga ketika penulis melakukan analisis
42
terhadap sumber-sumber yang berkaitan dengan Sejarah Perkembangan GPIB
Jemaat “Bethesda” Marau, ditemukan fakta-fakta sejarah yang membuktikan bahwa GPIB Jemaat “Bethesda” Marau ini mengalami perkembangan dan berhasil dilembagakan menjadi Gereja Dewasa dan Mandiri pada 25 Agustus
1991.
Setelah melalui proses analisis dan menemukan fakta-fakta bahwa telah
terjadi perkembangan, maka proses selanjutnya adalah menyatukan data-data atau
fakta-fakta yang telah dikumpulkan, untuk kemudian menjadi sebuah bentuk
generalisasi konseptual.
5) Pendekatan dan Penulisan Sejarah (Historiografi)
Dalam penulisan sejarah, sebuah pendekatan menjadi satu hal yang sangat
penting, karena hasil penulisan sejarah yang baik sangat ditentukan oleh jenis
pendekatan yang dipakai. Pengertian pendekatan dalam penelitian sejarah adalah
pola pikir atau cara pandang dari penulis terhadap suatu kejadian atau peristiwa
sejarah dari sudut tertentu. Pendekatan diperlukan sebagai cara pandang penulis
atau sejarawan untuk memandang suatu peristiwa atau kejadian. Pendekatan akan
membantu sejarawan dalam menentukan berbagai ilmu sosial mana yang perlu
digunakan dan dimensi-dimensi yang tepat diungkapkan dalam penulisan.
Pada penelitian kali ini, pendekatan yang digunakan oleh penulis adalah
sangatlah penting,43 maka secara kronologi penulis akan menguraikan tahap-tahap
perkembangan Gereja Protestan di Indonesia bagian Barat (GPIB) Jemaat
Bethesda Marau. Melalui pendekatan sosial, penulis menganalisa hubungan sosial
Gereja, baik di dalam maupun di luar lingkungan Gereja. Sedangkan melalui
pendekatan budaya, penulis berusaha mendapatkan gambaran yang tepat
mengenai pengaruh Gereja terhadap budaya daerah.
Historiografi sendiri adalah proses penyusunan fakta-fakta sejarah dan
berbagai sumber yang telah diseleksi dalam sebuah bentuk penulisan sejarah.
Berikut adalah langkah-langkah yang dilakukan penulis dalam proses penulisan
hasil penelitian sejarah, yaitu :
(1) Mengumpulkan data hasil penelitian
(2) Membuat laporan sementara secara bertahap
(3) Membuat garis besar laporan hasil penelitian
(4) Menyusun hasil penelitian
(5) Editing
Penyajian penelitian dalam bentuk tulisan terdiri dari tiga bagian, yaitu :
a) Pengantar
Dalam pengantar, harus dikemukakan permasalahan, latar belakang,
historiografi dan pendapat-pendapat kita tentang tulisan orang lain,
pertanyaan-pertanyaan yang akan dijawab melalui penelitian, teori dan konsep
yang dipakai, dan sumber-sumber sejarah.
43
b) Hasil Penelitian
Profesionalisme penulis tampak dalam pertanggungjawaban. Tanggung
jawab terletak dalam catatan dan lampiran. Setiap fakta yang ditulis harus
disertai data yang mendukung.
c) Simpulan
Dalam simpulan, dikemukakan generalization dari yang telah diuraikan
dalam bab-bab sebelumnya, dan social significance penelitian yang peneliti
lakukan.44
H. Sistematika Penulisan
Skripsi yang berjudul “Sejarah Perkembangan Gereja Protestan di
Indonesia bagian Barat (GPIB) Jemaat Bethesda Marau (Implikasinya terhadap Kehidupan Masyarakat) 1970-2012” ini menggunakan sistematika
penulisan sebagai berikut :
Bab I merupakan pendahuluan yang terdiri dari latar belakang masalah,
rumusan masalah, tujuan penulisan, manfaat penulisan, tinjauan
pustaka, landasan teori, metodologi penelitian, dan sistematika
penulisan.
Bab II menguraikan tentang letak geografis Kecamatan Marau, asal-usul
masyarakat, agama dan kepercayaan asli masyarakat, kehidupan
sosial-budaya masyarakat, serta mata pencaharian masyarakat di
wilayah pelayanan GPIB Jemaat Bethesda Marau.
44
Bab III memaparkan tentang tahap-tahap perkembangan GPIB Jemaat
Bethesda Marau, yaitu periode masuknya Injil di wilayah
Kecamatan Marau (1970-1985), masa persiapan pelembagaan
(1986-1990), masa pelembagaan (1991), dan masa gereja dewasa
(1991-2012).
Bab IV menguraikan tentang pengaruh kehadiran GPIB Jemaat Bethesda
Marau terhadap kehidupan masyarakat sekitar dalam berbagai
bidang kehidupan, yaitu dalam bidang pendidikan, sosial, budaya,
kesehatan, dan ekonomi.
Bab V merupakan bab penutup yang memuat kesimpulan dari bab II, III,
28 BAB II
KONTEKS SOSIO-HISTORIS MASYARAKAT DI WILAYAH PELAYANAN GPIB JEMAAT BETHESDA MARAU
A. Letak Geografis Kecamatan Marau
Marau merupakan sebuah kecamatan yang terletak di wilayah Kabupaten
Ketapang, Provinsi Kalimantan Barat.44 Kecamatan Marau ini memiliki
batas-batas wilayah, di sebelah Utara berbatas-batasan dengan Kecamatan Tumbang Titi, di
sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Air Upas, di sebelah Barat
berbatasan dengan Kecamatan Kendawangan, dan di sebelah Timur berbatasan
dengan Kecamatan Jelai Hulu. Luas wilayah Kecamatan Marau kurang lebih
sekitar . Berdasarkan data tahun 2011, jumlah penduduk di
Kecamatan Marau sebanyak 12.297 jiwa.45 Kecamatan Marau memiliki 10 desa,
yaitu Desa Karya Baru, Desa Runjai Jaya, Desa Sukakarya, Desa Belaban, Desa
Randai, Desa Riam Batu Gading, Desa Batu Payung Dua, Desa Batan Sari, Desa
Pelanjau Jaya, dan Desa Rangkung.46 Masing-masing desa ini terdiri dari
beberapa dusun yang jumlah keseluruhannya sebanyak 32 dusun.47 Desa
Sukakarya terdiri dari 3 dusun, yaitu Dusun Awatan, Dusun Tempayak, dan
Dusun Batu Menang.48 Di Dusun Tempayak inilah agama Protestan pertama kali
44
http://id.wikipedia.org/wiki/Marau,_Ketapang, diakses tanggal 11 November 2013.
45
Pemerintah Daerah Kabupaten Ketapang, Kecamatan Marau dalam angka 2012, Ketapang, Badan Pusat Statistika dan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Ketapang, 2012, hlm. 119.
46 Ibid., hlm. 4. 47
Ibid., hlm. 23.
48 Pemerintah Kabupaten Ketapang Kecamatan Marau Desa Sukakarya, Peraturan Desa
Sukakarya Kecamatan Marau Kabupaten Ketapang Tentang Rencana Pembangunan jangka Menengah Desa 2011-2015, Ketapang, 2011, hlm. 10.
diperkenalkan kepada masyarakat yang ada di wilayah Kecamatan Marau.
Sebelum terjadinya pemekaran di wilayah Kecamatan Marau, Dusun Tempayak
ini belum memiliki nama, namun karena lokasinya dekat dengan Desa Marau
(sekarang Kecamatan Marau), maka penduduk yang ada di Dusun Tempayak ini
terhitung sebagai bagian dari penduduk Desa Marau. Masyarakat yang saat ini
tinggal di wilayah Kecamatan Marau terdiri dari berbagai suku, yaitu suku Dayak,
Melayu, Batak, Toraja, Flores, Timor, Tionghoa, Jawa, Bugis dan Madura.49
B. Asal-Usul Masyarakat di Wilayah Kecamatan Marau
Berbicara mengenai asal-usul masyarakat di wilayah Kecamatan Marau,
tentunya tidak dapat dilepaskan dari proses terbentuknya Kecamatan Marau.
Marau dibentuk menjadi sebuah kecamatan pada tahun 1987.50 Tidak dapat
dijelaskan secara rinci bagaimana proses pembentukannya, hal ini dikarenakan
minimnya data-data mengenai wilayah Kecamatan Marau. Namun, berdasarkan
hasil wawancara dengan masyarakat yang ada di wilayah Kecamatan Marau,
didapatlah informasi mengenai Kecamatan Marau bahwa pada awal terbentuknya,
Kecamatan Marau ini hanya terdiri dari beberapa desa, seperti Desa Marau, Desa
Penyiuran, Desa Riam Kusik, Desa Batu Perak, dan Desa Carik.51 Secara umum,
masyarakat yang mendiami desa-desa di wilayah Kecamatan Marau ini adalah
masyarakat yang berasal dari suku bangsa Dayak dan suku bangsa Melayu. Untuk
menjelaskan suku bangsa mana yang pertama kali mendiami wilayah Kecamatan
49
Ibid., hlm. 11.
50 Wawancara dengan masyarakat di wilayah Kecamatan Marau, Bapak Kristianto Parsin, 7 Juli
2013.
Marau, penulis menggunakan konsep masuknya penduduk asli di wilayah
Kalimantan Barat berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh beberapa
sejarahwan asli Indonesia, yang mana hasil penelitian tersebut mereka tulis dalam
sebuah buku yang berjudul “Sistem Gotong Royong dalam Masyarakat Pedesaan
Daerah Kalimantan Barat”.
Secara kronologis, jika dilihat dari asal-usul suku-suku bangsa di
Kalimantan Barat, suku bangsa pertama yang mendiami wilayah ini adalah suku
bangsa Dayak, baru kemudian muncul suku bangsa Melayu. Semula, nama suku
bangsa Dayak ini belum dikenal sebagai suku bangsa Dayak seperti sekarang,
nama ini baru muncul setelah mereka (suku bangsa Dayak) terdesak ke daerah
pedalaman oleh pendatang baru (suku bangsa Melayu). Di daerah Kalimantan
Barat sendiri, mula-mula mereka mendiami daerah pantai dan tepian sungai
Kapuas. Kemudian karena terdesak oleh kaum pendatang, mereka terpaksa
menyingkir ke daerah pedalaman dan hulu sungai. Oleh karena itulah mereka
dikenal sebagai orang hulu yang menurut istilah setempat adalah orang Dayak
(dayak artinya hulu atau darat) dan terciptalah nama suku Dayak. Suku bangsa
yang mendesak mereka ke daerah hulu atau ke daerah pedalaman tersebut ialah
suku bangsa Melayu yang sekarang mendiami daerah pantai baik pantai laut
maupun tepian sungai-sungai besar (Sungai Kapuas).52
Dari apa yang telah dikemukakan di atas, maka dapat diambil kesimpulan
bahwa masyarakat pertama yang mendiami wilayah Kecamatan Marau adalah
masyarakat yang berasal dari suku bangsa Dayak. Masyarakat suku Dayak yang
52 Pandil Sastrowardoyo, dkk, Sistem Gotong Royong dalam Masyarakat Pedesaan Daerah
Kalimantan Barat, Jakarta, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Proyek Inventarisasi dan
mendiami wilayah Kecamatan Marau menamai diri mereka sebagai masyarakat
suku Dayak Kendawangan. Nama suku ini diambil dari nama sebuah sungai yang
ada di daerah tempat tinggal mereka, yaitu Sungai Kendawangan. Jadi orang
Dayak Kendawangan adalah orang Dayak yang berdomisili di hulu Sungai
Kendawangan. Masyarakat Dayak Kendawangan inilah yang pada perkembangan
selanjutnya menerima pengajaran mengenai agama Protestan di wilayah
Kecamatan Marau.
C. Agama dan Kepercayaan Asli Masyarakat di Wilayah Pelayanan GPIB Jemaat Bethesda Marau
Masyarakat di wilayah Kecamatan Marau sekarang menganut tiga agama,
yaitu agama Islam, agama Katolik, dan agama Protestan. Menurut penuturan para
narasumber yang berhasil diwawancarai, dari ketiga agama tersebut, agama
Protestan adalah agama terakhir yang diperkenalkan di wilayah Kecamatan
Marau. Pada saat penginjilan masuk ke wilayah Kecamatan Marau, sebagian
masyarakat yang ada di beberapa desa di wilayah Kecamatan Marau telah
mengenal dua agama, yaitu agama Islam dan agama Katolik. Agama Islam
sebagian besar dianut oleh masyarakat yang berasal dari suku bangsa Melayu,
sedangkan agama Katolik dianut oleh masyarakat yang berasal dari suku bangsa
Dayak. Tidak diketahui dengan pasti alasan mengapa masyarakat di sekitar
Kecamatan Marau tidak dengan cepat mendapatkan pengaruh dari kedua agama
yang telah dulu hadir di wilayah tersebut, padahal jarak antara desa yang satu
kehadiran kedua agama ini bisa memberi pengaruh besar bagi kepercayaan
masyarakat sekitar. Namun, hal ini mungkin saja terjadi karena disebabkan oleh
beberapa faktor : Pertama, berasal dari dalam masyarakat itu sendiri, yaitu sistem
kepercayaan atau adat lokal masyarakat setempat yang masih sangat kuat bisa saja
menjadi kendala masuknya agama Islam dan Katolik di daerah tersebut. Kedua,
berasal dari luar masyarakat itu sendiri, seperti tidak adanya para pelaku utama
penyebaran agama yang sudah dikenalkan di daerah tersebut. Hal ini
dimungkinkan terjadi karena jarak dari kota Kabupaten ke wilayah Kecamatan
Marau sangat jauh (jika menggunakan kendaraan bermotor, maka waktu yang
diperlukan kurang lebih 6-7 jam). Selain itu belum tersedianya alat transportasi
darat dan keadaan alam yang masih berupa hutan rimba, juga bisa menjadi
kendala-kendala utama terhambatnya pelaksanaan kegiatan-kegiatan Misi Katolik
dan Mubalig-Mubalig Islam.
Di wilayah Kecamatan Marau, agama Protestan diperkenalkan oleh para
penginjil yang berasal dari Institut Injil Indonesia Batu Malang, Jawa Timur.
Agama ini diperkenalkan pada masyarakat suka Dayak di wilayah Kecamatan
Marau yang belum mengenal agama. Semula, sebelum mengenal agama
Protestan, masyarakat suku Dayak ini adalah masyarakat Animis. Animisme
merupakan suatu faham yang memandang bahwa semua benda-benda yang ada di
alam semesta ini, baik itu gunung, hutan, lautan, sungai, maupun pohon-pohon
besar, semuanya itu dipercaya mempunyai roh yang dapat mempengaruhi
kehidupan manusia. Pada umumnya, roh-roh itu mempunyai sifat jahat yang
kemauannya dan memujanya. Misalnya “roh padi”, masyarakat Dayak yang berada di wilayah Kecamatan Marau ini sangat menghormati roh padi. Mereka
percaya bahwa padi harus disimpan secara baik di tempat yang terhormat. Jika
tidak, rohnya akan pergi dan tidak akan datang lagi, dan ini berarti bahwa pada
tahun-tahun mendatang, tanaman padi tidak akan berhasil ditanam.53 Oleh karena
itu, untuk menghormati roh padi tersebut, masyarakat suku Dayak yang berada di
wilayah Kecamatan Marau ini membuat Jurung54 sebagai tempat menyimpan
padi.
Selain roh padi, roh nenek moyang juga sangat dihormati oleh masyarakat
setempat. Roh nenek moyang yang baik dianggap sebagai dewata yang menjadi
pesuruh dari Jubata atau Tuhan. Roh-roh ini dapat dipanggil dan diminta tolong
untuk menyampaikan permohonan kepada Jubata. Mereka percaya bahwa roh
yang terlantar karena tidak dimuliakan, seperti tidak diberi makan, tidak pernah
diundang ke pesta dan sebagainya akan menjadi roh yang jahat dan akan
mengacau kehidupan manusia.55 Oleh karenanya, masyarakat suku Dayak yang
ada di wilayah Kecamatan Marau yang pada saat itu belum mengenal agama,
sering sekali mengadakan upacara-upacara adat demi untuk menghormati roh-roh
nenek moyang. Selain itu, masyarakat suku Dayak juga telah mengenal agama
suku, yaitu agama Kaharingan.56 Ini merupakan kepercayaan asli suku bangsa
Dayak. Kaharingan berasal dari kata haring yang artinya hidup. Kaharingan ini
53 Kasim Taha, dkk, Upacara Tradisional Daerah Kalimantan Barat, Jakarta, Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan Proyek Inventarisasi dan Kebudayaan Daerah, 1985, hlm. 17.
54
Jurung adalah tempat menyimpan padi bagi masyarakat suku Dayak.
55 Kasim Taha, dkk., op. cit., hlm. 17.
56 Wawancara dengan tokoh penginjil tahun 1970-an dan alumni Institut Injil Indonesia Batu
telah ada sejak awal penciptaan, yaitu sejak awal Ranying57 Hatalla58
menciptakan manusia. Sejak adanya kehidupan, Ranying Hatalla telah mengatur
segala sesuatunya untuk menuju jalan kehidupan ke arah kesempurnaan yang
kekal dan abadi.59 Dalam Kaharingan, diyakini bahwa setiap orang dalam
kehidupannya mempunyai tugas dan misi tertentu. Misi utama Kaharingan ialah
mengajak manusia menuju jalan yang benar dengan berbakti dan
mengagung-agungkan Ranying Hatalla dalam setiap sikap dan perbuatan.60 Namun,
masyarakat di Kecamatan Marau tidak terlalu tahu tentang agama Kaharingan,
pemahaman mereka tentang agama tersebut hanya sampai pada tahap pengenalan
bahwa agama Kaharingan adalah agama asli masyarakat suku Dayak. Hal ini
mungkin terjadi karena tidak adanya usaha pewarisan agama suku dari para
tua-tua kepada anak-anaknya, sehingga agama Kaharingan pun perlahan tapi pasti
mulai menghilang dari kehidupan masyarakat suku Dayak. Sampai pada
masuknya agama-agama seperti agama Islam, Katolik dan Protestan, agama
Kaharingan benar-benar menjadi asing di antara masyarakat suku Dayak yang
berada di wilayah Kecamatan Marau, hingga akhirnya agama ini tidak lagi dikenal
bahkan lenyap dari kehidupan masyarakat di wilayah tersebut.
D. Kehidupan Sosial-Budaya Masyarakat di Wilayah Pelayanan GPIB Jemaat Bethesda Marau
57 Ranying artinya Maha Tunggal, maha Agung, Maha Mulia, Maha Jujur, Maha Lurus, Maha
Kuasa, Maha Tahu, Maha Suci, Maha Pengasih dan Penyayang, Maha Adil, Maha Kekal Abadi, Maha Mendengar.
58
Hatalla artinya Maha Pencipta.
59 Tjilik Riwut, Maneser Panatau Tatu Hiang Menyelami kekayaan Leluhur, Palangka Raya,
Pusakalima, 2003, hlm. 478.