DENGAN USIA PERKAWINAN 5-15 TAHUN DEMI MENJAGA KEUTUHAN PERKAWINAN DI PAROKI HATI KUDUS TUHAN YESUS
GANJURAN, BANTUL, DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA
S K R I P S I
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan
Program Studi Ilmu Pendidikan Kekhususan Pendidikan Agama Katolik
Oleh:
Florentina Puji Hastriyani NIM: 101124060
PROGRAM STUDI ILMU PENDIDIKAN KEKHUSUSAN PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK
JURUSAN ILMU PENDIDIKAN
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA 2015
i
DENGAN USIA PERKAWINAN 5-15 TAHUN DEMI MENJAGA KEUTUHAN PERKAWINAN DI PAROKI HATI KUDUS TUHAN YESUS
GANJURAN, BANTUL, DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA
S K R I P S I
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan
Program Studi Ilmu Pendidikan Kekhususan Pendidikan Agama Katolik
Oleh:
Florentina Puji Hastriyani NIM: 101124060
PROGRAM STUDI ILMU PENDIDIKAN KEKHUSUSAN PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK
JURUSAN ILMU PENDIDIKAN
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA 2015
iv
Skripsi ini kupersembahkan kepada:
v
“Untuk segala sesuatu ada masanya, untuk apa pun di bawah langit ada waktunya”
viii
Judul skripsi ini adalah PERWUJUDAN JANJI PERKAWINAN PADA PASANGAN SUAMI ISTRI DENGAN USIA PERKAWINAN 5-15 TAHUN DEMI MENJAGA KEUTUHAN PERKAWINAN DI PAROKI HATI KUDUS TUHAN YESUS GANJURAN, BANTUL, DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA. Janji perkawinan belum begitu dihidupi oleh pasutri dengan usia perkawinan 5-15 tahun di Paroki Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran Bantul Daerah Istimewa Yogyakarta. Bertolak dari kenyataan itulah maka skripsi ini dimaksudkan untuk membantu para keluarga madya untuk bisa mewujudkan janji perkawinan yang merangkum seluruh proses hidup perkawinan. Persoalan pokok dalam skripsi ini adalah belum dihidupinya janji perkawinan oleh keluarga madya. Oleh karena itu dibutuhkan sebuah penelitian yang bisa mengungkapkan fakta mengenai sejauh mana janji perkawinan pada pasutri tersebut sudah dihidupi. Penelitian yang dilakukan dalam skripsi ini dimaksudkan untuk mengetahui sejauh mana pasutri melihat sejauh mana janji perkawinan dihidupi oleh keluarga madya tersebut melalui penelitian, untuk tindak lanjutnya akan dipilih program pendampingan yang sesuai dengan kondisi pasutri.
Perkawinan merupakan sebuah ikatan yang luhur antara laki-laki dan perempuan dengan melibatkan Tuhan. Pelaksanaan perkawinan di Indonesia mengikuti tata cara agama yang dianut oleh masing-masing orang sehingga tata pelaksanaannya pun beragam. Dalam perkawinan Katolik, perkawinan identik dengan diucapkannya janji perkawinan. Janji perkawinan memuat 3 pokok janji yakni yang pertama setia dalam suka dan duka, untung dan malang serta sehat maupun sakit, yang kedua mencintai dan menghormati pasangan seumur hidup dan yang ketiga mendidik anak-anak yang dipercayakan Tuhan secara Katolik. Tuhan sendirilah yang memeteraikan janji tersebut sehingga dalam perkawinan Katolik tidak ada perceraian sebab yang dipersatukan oleh Tuhan tidak bisa diceraikan manusia. Oleh sebab itu, suami ataupun istri memiliki perannya sendiri-sendiri untuk saling melengkapi satu sama lain.
Hasil akhir menunjukkan bahwa pasutri dengan usia perkawinan 5-15 tahun di Paroki Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran masih kurang baik dalam mewujudkan janji perkawinannya. Walaupun hasil akhir menunjukkan bahwa secara umum mereka lebih banyak yang berusaha mewujudkan, namun kebanyakan persentasenya masih kurang dari 50%. Hasil ini berarti harus dijawab dengan sebuah program pendampingan pasutri yang sesuai dengan keadaan yang mereka alami. Sebenarnya paroki sudah mengusahakan sebuah pendampingan keluarga yakni dengan rekoleksi, namun pendampingan tersebut kurang tepat melihat jumlah pasutri tersebut terlalu banyak dan kesibukan mereka yang beragam.
Mengingat hal itu, penulis menyumbangkan suatu program katekese bagi pasutri dengan usia perkawinan 5-15 tahun di Paroki Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran Daerah Istimewa Yogyakarta.
ix
This thesis entitles THE REALIZATION OF MARRIAGE VOWS FOR
MARRIAGE COUPLES IN THEIR 5-15 YEAR OF MARRIAGE FOR BUILDING THEIR MARRIAGE UNITY AT SACRED HEART OF JESUS’ PARISH, GANJURAN, YOGYAKARTA. For the newly married couple, marriage vows are still in the process of growing and maturing. Based on this situation, this thesis aims to help the newly married couple to strengthen their marriage vows. The core problem addressed in this thesis is the fact that the marriage vows among the newly marriage couples are not fully realized and actualized in their daily life. Therefore, there is a need for a thorough research which can enclose the facts on this problem. The research conducted in this thesis is meant for achieving the data of the newly married couples’ perspective on the marriage vow that they have professed during the holy matrimony. Further, this thesis also proposes an appropriate model for them.
Marriage is a holy union between a man and a women in God’s present. Marriage in Indonesia follows the religious rites of the couples. In Catholic marriage, marriage is identically related to the profession of marriage vows. Marriage vows have three promises. First, to promise to be a faithful couple in in good times and in bad, in sickness and in health. Second, to love and honor the bride all the days of my life. Third, to raise the children entrusted by God Himself in a Catholic way.
The final result of the research shows that married couple in their 5-15 year of marriage are still struggling to realize their marriage vows in the daily life. Those who are successfully realizing their marriage vows are less than 50 percent. It means that a supportive program is undeniably needed to help them. The parish have been working on this problem by giving accompaniment through recollection. However, this program does not give a satisfying result due to the lack of people who attend this program. Not many couples interest in this program as well.
Seeing this fact, the writer wants to contributeby giving a catechetical program for the married couple in their 5-15 years of marriage at Sacred Heart Parish, Ganjuran Yogyakarta.
x
Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala berkat dan
kasih-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul
PERWUJUDAN JANJI PERKAWINAN PADA PASANGAN SUAMI-ISTRI DENGAN USIA PERKAWINAN 5-15 TAHUN DEMI MENJAGA KEUTUHAN PERKAWINAN DI PAROKI HATI KUDUS TUHAN YESUS GANJURAN, BANTUL, DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA.
Penyusunan skripsi ini berawal dari keprihatinan penulis akan perwujudan
janji perkawinan pada pasutri dengan usia perkawinan 5-15 tahun di Paroki Hati
Kudus Tuhan Yesus Ganjuran. Bertolak dari keprihatinan tersebut, penulis
menyusun skripsi ini dengan maksud agar tingkat perwujudan janji perkawinan
pada pasutri dengan usia perkawinan 5-15 tahun di Paroki Hati Kudus Tuhan
Yesus dapat diketahui dan penulis dapat merekomendasikan jenis pendampingan
yang sesuai berdasarkan situasi konkrit pasutri.
Penulis sungguh berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi para pasutri
terutama pasutri dengan usia perkawinan 5-15 tahun di Paroki Hati Kudus Tuhan
Yesus Ganjuran demi menjaga keutuhan perkawinan melalui perwujudan janji
perkawinan dalam kehidupan perkawinannya.
Skripsi ini berhasil diselesaikan karena peran serta banyak pihak yang
dengan tulus mengulurkan tangannya untuk membantu baik secara langsung
ataupun tidak langsung. Penulis yakin, kemurahan hati banyak pihak yang telah
xi
bantuan yang telah diterima penulis dalam bentuk apapun, penulis menyampaikan
ucapan terimakasih. Ucapan terimakasih ini khususnya penulis sampaikan kepada:
1. Drs. F.X. Heryatno Wono Wulung, S.J., M.Ed. selaku Kaprodi Ilmu
Pendidikan Kekhususan Pendidikan Agama Katolik Universitas Sanata
Dharma Yogyakarta yang telah memberikan kemudahan dan dukungan pada
penulis dalam menyelesaikan skripsi.
2. Dr. C.B. Kusmaryanto, S.C.J. selaku dosen pembimbing skripsi yang sungguh
sabar, selalu memberikan semangat serta memberikan sumbangan pemikiran
yang sangat berguna bagi penulis dalam menyelesaikan skripsi.
3. Drs. Sumarno Ds., S.J., M.A. selaku dosen pembimbing akademik dan dosen
penguji kedua yang telah dengan senang hati memberikan banyak masukan
yang membangun dan sangat bermanfaat.
4. P. Banyu Dewa H.S., S.Ag., M.Si. selaku dosen penguji yang ketiga yang
berkenan memberikan motivasi dalam penulisan skripsi.
5. Segenap staf dosen dan karyawan prodi IPPAK yang telah memberikan
semangat kepada penulis sehingga penulisan skripsi dapat berjalan lancar.
6. Ibuku tercinta yang dengan sabar menemaniku, mendoakanku, memberikan
semangat dan menjadi tempat mencurahkan segala suka maupun dukaku.
7. Romo Herman Yoseph Singgih Sutoro, Pr selaku Romo Paroki Hati Kudus
Tuhan Yesus Ganjuran yang telah memberikan kesempatan kepada penulis
untuk melakukan penelitian di paroki serta berkenan memberikan masukan
xiii
Halaman
HALAMAN JUDUL ... i
HALAM PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii
HALAMAN PENGESAHAN ... iii
HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv
MOTTO ... v
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi
PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ... vii
ABSTRAK ... viii
ABSTRACT ... ix
KATA PENGANTAR ... x
DAFTAR ISI ... xiii
DAFTAR SINGKATAN ... xviii
BAB I. PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang Penulisan ... 1
B. Rumusan Masalah ... 7 C. Tujuan Penulisan ... 8 D. Manfaat Penulisan ... 8 1. Manfaat Teoritis ... 8 2. Manfaat Prakris ... 9 E. Metode Penulisan ... 9 F. Sistematika Penulisan ... 10
BAB II. JANJI PERKAWINAN PASUTRI ... 13
A. Perkawinan ... 13
1. Perkawinan Secara Umum ... 13
2. Perkawinan Katolik ... 14
3. Tujuan Perkawinan ... 16
4. Ciri-ciri Hakiki Perkawinan... 18
xiv
a. Perkawinan sakramen ... 22
b. Perkawinan non sakramen ... 23
B. Janji Perkawinan ... 24
1. Rumusan Janji Perkawinan ... 24
2. Makna Janji Perkawinan ... 27
a. Setia dalam untung dan malang, dalam suka dan duka, di waktu sehat dan sakit, dengan segala kekurangan dan kelebihan ... 27
b. Selalu mencintai dan menghormati sepanjang Hidup ... 30
c. Bersedia menjadi Bapak/Ibu yang baik serta mendidik anak-anak yang dipercayakan Tuhan secara Katolik ... 32
C. Perwujudan Janji Perkawinan ... 33
1. Arti Perwujudan Janji Perkawinan ... 34
2. Arah Perwujudan Janji Perkawinan ... 35
a. Menyadari, menghayati serta menghidupi peran sebagai seorang suami ataupun istri ... 35
b. Membangun komunikasi yang baik antara suami-istri ... 39
c. Menjadi anugerah bagi pasangan ... 40
3. Tujuan Perwujudan Janji Perkawinan ... 43
4. Pentingnya Usaha Perwujudan Janji Perkawinan ... 45
a. Faktor intern ... 45
b. Faktor ekstern ... 46
5. Manfaat Perwujudan Janji Perkawinan ... 47
D. Keutuhan Keluarga ... 48
1. Pengertian Utuh ... 48
2. Pengertian Keutuhan Keluarga ... 49
BAB III. PASANGAN SUAMI ISTRI DENGAN USIA PERKAWINAN 5-15 TAHUN DIPAROKI HATI KUDUS TUHAN YESUS GANJURAN ... 50
xv
2. Letak Geografis Paroki ... 57
3. Situasi Umum Umat Paroki ... 58
a. Situasi sosial ... 58
b. Situasi relasional ... 58
c. Situasi ekonomi ... 59
4. Pembagian Wilayah dan Lingkungan ... 60
5. Gambaran Umum mengenai keluarga dengan Usia Perkawinan 5-15 Tahun ... 62
B. Metodologi Penelitian ... 63
1. Penelitian ... 63
2. Latar Belakang Penelitian ... 64
3. Tujuan Penelitian ... 64
4. Jenis Penelitian ... 65
5. Metode Penelitian ... 65
6. Instrumen Penelitian ... 66
7. Responden Penelitian... 67
8. Tempat dan Waktu Penelitian ... 68
9. Variabel ... 68
C. Hasil Penelitian ... 69
1. Janji Perkawinan ... 70
2. Pasutri dengan Usia Perkawinan 5-15 Tahun di Paroki Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran ... 75
3. Keutuhan Perkawinan ... 79
D. Kesimpulan Hasil Penelitian... 81
1. Perwujudan Janji Perkawinan ... 80
2. Pasutri dengan usia perkawinan 5-15 tahun di Paroki Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran ... 85
3. Keutuhan Perkawinan ... 88
E. Refleksi Kritis Perwujudan Janji Perkawinan pada Pasutri dengan Usia Perkawinan 5-15 Tahun di Paroki Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran ... 90
xvi
a. Kebebasan Memilih Pasangan dan Rasa Cinta
terhadap Pasangan ... 90
b. Kesetiaan dalam Untung dan, Suka dan Duka, Sehat Maupun Sakit ... 92
c. Kesatuan antara Suami-istri ... 94
d. Perwujudan Cinta dan Menghormati Pasangan ... 95
e. Menjadi Orangtua yang Baik ... 97
2. Pasutri dengan Usia Perkawinan 5-15 tahun di Gereja Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran ... 99
a. Kebiasaan Pasutri di rumah ... 99
b. Kebiasaan Pasutri di Lingkungan ... 102
c. Kebiasaan Pasutri di Paroki ... 102
F. Keutuhan Perkawinan ... 103
1. Hubungan antar Keluarga ... 103
2. Perhatian untuk Mengutamakan Keluarga... 104
BAB. IV USULAN PROGRAM PENDAMPINGAN KELUARGA KATOLIK PAROKI HATI KUDUS TUHAN YESUS GANJURAN ... 106
A. Latar Belakang Penyusunan Program ... 106
B. Katekese ... 107
C. Usulan Program ... 108
D. Rumusan Tema dan Tujuan ... 110
E. Penjabaran Program ... 111
F. Contoh Pelaksanaan Program Pendampingan Pasutri dengan Usia Perkawinan 5-15 Tahun di Paroki HKTY Ganjuran Bantul ... 114 1. Identitas... 114 2. Pemikiran dasar ... 115 3. Pengembangan langkah-langkah ... 116 BAB. V PENUTUP ... 128 A. Kesimpulan ... 128 B. Saran ... 130
xvii
2. Bagi para Pendamping Keluarga di Paroki Hati Kudus
Tuhan Yesus Ganjuran ... 131
a. Keterlibatan secara umum ... 132
b. Keterlibatan secara khusus ... 132
3. Bagi Romo Paroki... 133
a. Keterlibatan secara umum ... 133
b. Keterlibatan secara khusus ... 133
4. Bagi Para Pasutri dengan Usia Perkawinan 5-15 Tahun .. 134
DAFTAR PUSTAKA ... 135
LAMPIRAN ... 137
Lampiran 1: Surat Permohonan Ijin Penelitian pada Romo Paroki ... (1)
Lampiran 2: Surat Permohonan Ijin Penelitian pada Ketua Lingkungan ... (2)
Lampiran 3: Surat Bukti Melaksanakan Penelitian ... (3)
Lampiran 4: Pedoman Wawancara dengan Ketua Dewan Paroki ... (4)
Lampiran 5: Rangkuman Hasil Wawancara dengan Ketua Dewan Paroki ... (5)
Lampiran 6: Contoh Kuesioner untuk Penelitian ... (7)
Lampiran 7: Contoh Hasil Kuesioner ... (10)
Lampiran 8: Kumpulan Lagu... (13)
xviii
A. Singkatan Kitab Suci
Seluruh singkatan Kitab Suci dalam skripsi ini mengikuti Kitab Suci
Perjanjian Baru: dengan Pengantar dan Catatan Singkat (Dipersembahkan
kepada Umat Katolik Indonesia dan Ditjen Bimas Katolik Departemen
Agama Republik Indonesia dalam rangka PELITA IV). Ende: Arnoldus,
1984/1985, hal. 8.
B. Singkatan Dokumen Resmi Gereja
CT : Catechesi Tradendae, Anjuran Apostolik Paus Yohanes
Paulus II kepada uskup, klerus, dan segenap umat beriman
tentang katekese masa kini, 16 Oktober 1979.
FC : Familiaris Consortio, Anjuran Apostolik Paus Yohanes
Paulus II kepada para uskup, klerus, dan segenap umat
beriman seluruh Gereja Katolik tentang peranan Keluarga
Kristen dalam dunia modern, 22 November 1981.
GS : Gaudium et Spes, Konstitusi Pastoral Konsili Vatikan II
tentang Gereja di Dunia Dewasa Ini, 7 Desember 1965.
KHK : Kitab Hukum Kanonik (Codex Iuris Canonici), diundangkan
oleh Paus Yohanes Paulus II tanggal 7 Desember 1983.
xix
Youcat : Youcat Indonesia-Katekismus Populer, disahkan oleh Paus Benedictus XVI, tahun 2010. Dokumen asli diteritkan tahun
2010, R.D. Yohanes Dwi Harsanto, dkk. (Penerjemah).
C. Singkatan Lain
Art : Artikel
CB : Carolus Boromeus CU : Credit Union Dll : Dan lain-lain
DPA : Dosen Pembimbing Akademik Dr : Doktor
Hal : Halaman
HKTY : Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran Ir : Insinyur
Kan : Kanon
KAS : Keuskupan Agung Semarang KB : Keluarga Berencana
KBBI : Kamus Besar Bahasa Indonesia KK : Kepala Keluarga
Km : Kilo meter
xx Pasutri : Pasangan suami-istri
PHK : Pemutusan Hubungan Kerja PNS : Pegawai Negri Sipil
POLRI : Kepolisian Republik Indonesia PPK : Pedoman Pastoral Keluarga Rm : Romo
SD : Sekolah Dasar SJ : Serikat Jesus
SMA : Sekolah Menengah Atas Sr : Suster
St : Santo/Santa
TNI : Tentara Nasional Indonesia UU : Undang-undang
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penulisan
Perkawinan dapat dilihat secara umum maupun secara khusus, secara
umum KWI (2011, 6) mengatakan “Perkawinan adalah ikatan lahir-batin antara
seorang laki-laki dan seorang perempuan sebagai suami istri dengan tujuan
membentuk keluarga, melahirkan anak, membangun hidup kekerabatan yang
bahagia dan sejahtera”. Perkawinan juga dapat dilihat secara khusus melalui kacamata agama-agama yang ada. Secara Kristiani perkawinan merupakan sebuah
konsensus atau kesepakatan. Selain itu perkawinan adalah salah satu wujud
panggilan umat beriman Kristiani yang berasal dari Allah sendiri. Melalui
perkawinan, seorang laki-laki dan seorang perempuan dipersatukan. Pemahaman
ini selaras dengan arti dari kesepakatan perkawinan dalam KHK, kan. 1057 §2
yang mengatakan bahwa “Kesepakatan perkawinan adalah tindakan kehendak
dengannya seorang laki-laki dan seorang perempuan saling menyerahkan diri dan
menerima untuk membentuk perkawinan dengan perjanjian yang tak dapat ditarik
kembali”. Maka di dalam perkawinan ini terdapat janji yang mengikat dan mempersatukan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan. Janji yang
mengingkat seorang laki-laki dan seorang perempuan ini tidak dapat diputuskan
karena melalui janji ini seorang laki-laki dan seorang perempuan dipersatukan
suka dan duka, untung dan malang, sehat maupun sakit serta menerima
kekurangan dan kelebihan pasangan; mencintai dan menghormati seumur hidup;
menjadi ayah/ibu yang baik untuk anak-anak yang dipercayakan oleh Tuhan
dengan mendidik anak secara Katolik.
Janji perkawinan bersifat mengikat seumur hidup sehingga tidak selesai
begitu saja ketika seorang laki-laki dan seorang perempuan mengucapkannya saat
saling menerimakan sakramen perkawinan ataupun saat pemberkatan perkawinan.
Janji ini terus melekat pada suami-istri sampai selama-lamanya. Karena janji ini
terus melekat, maka harus selalu dihidupi dalam penyelenggaraan hidup
perkawinan sepasang suami-istri. Untuk menghidupi janji perkawinan inilah yang
tidak mudah, karena jika sebuah perkawinan diibaratkan seperti sebuah bahtera
pasti akan ada banyak badai dan gelombang yang melandanya. Oleh sebab itulah,
maka perkawinan merupakan sebuah komitmen yang sangat penting (Smalley,
2008: 11).
Banyaknya badai yang melanda sebuah bahtera rumah tangga sangat
berpengaruh terhadap penghayatan ataupun pemaknaan terhadap janji perkawinan
yang pernah diucapkan sewaktu saling menerimakan sakramen
perkawinan/pemberkatan perkawinan. Ada fase-fase/masa-masa dalam
perkawinan berdasarkan usia perkawinan yang sudah dijalani. Pasutri (pasangan
suami-istri) yang belum lama berumah tangga (0-5 tahun) biasanya berada dalam
fase/masa romantis dengan cinta yang masih berkobar. Usia perkawinan antara
0-5 tahun berdasarkan materi kursus persiapan perkawinan berada dalam masa yang
tangga yang dapat terlihat, antara lain: semua hal dalam rumah tangga dikerjakan
secara bersama-sama, hal buruk/sifat buruk yang dimiliki sebisa mungkin tidak
ditampakkan, semua masalah dapat diselesaikan dengan cepat, setiap hari bercinta
dan bermesraan, berusaha menjadikan pasangan sesuai dengan yang diinginkan,
selalu saling memahami kekurangan apapun yang dimiliki pasangan. Berbeda
dengan pasutri yang usia perkawinannya berada pada tahun ke-6 hingga ke-25,
pada masa ini pasutri biasanya masuk pada fase kekecewaan hingga kebosanan.
Pasutri dengan usia perkawinan 6-25 tahun harus benar-benar merefleksikan
segala yang dialami dan selalu berpedoman pada janji perkawinan yang mereka
ucapkan karena ketika tidak bisa bersikap bijaksana sebagai seorang suami
maupun istri, bahtera rumah tangga yang telah dibangun bisa hancur menabrak
karang dan karam. Sedangkan pasutri yang berada pada usia perkawinan di atas
25 tahun biasanya sudah masuk dalam masa berhasil mengatasi situasi yang
kurang baik (KWI, 2011: 77-78).
Janji perkawinan selalu berlaku dalam situasi dan kondisi apapun,
termasuk dalam kondisi perkawinan yang sedang mengalami surut. Janji
perkawinan menuntun setiap pasangan suami-istri dalam menghidupi
perkawinannya. Keegoisan yang terbangun di saat masing-masing pribadi masih
lajang sering dibawa dan diterapkan dalam situasi hidup berumah tangga yang
tentu saja tidak tepat. Hal-hal semacam inilah yang sering menjadi bibit-bibit
perpecahan dalam kesatuan antara suami dan istri. Salah satu upaya untuk
mengatasinya adalah dengan membangun sikap mau mengerti dan mau menerima
rela hati merupakan salah satu upaya terhindar dari konflik (Tim Pusat
Pendampingan Keluarga “Brayat Minulyo” KAS, 2007: 75).
Janji perkawinan diibaratkan seperti kerangka dalam menulis sebuah
karangan dan kerangka dalam membangun sebuah bangunan. Ketika seorang
penulis menulis di luar kerangka yang telah dibuat, maka tulisan tersebut tidak
akan menjadi indah. Sama halnya seorang tukang bangunan yang hendak
membangun sebuah rumah, ketika ia membangun rumah itu di luar kerangkanya,
maka rumah itu tidak akan kokoh. Dalam sebuah perkawinan, janji adalah
kerangka yang menjadi gambaran dalam menjalani sebuah perkawinan. Perubahan
zaman yang sangat cepat mengakibatkan pola hidup juga berubah. Di zaman yang
serba modern dan cepat ini mengakibatkan gaya hidup instan menjadi gaya hidup
yang “ngetren” dan banyak dianut oleh masyarakat modern. Zaman yang semakin
canggih ini membawa berbagai macam tantangan zaman dan mempengaruhi
tingkah laku banyak orang termasuk di dalamnya pasutri yang membina biduk
perkawinan. Hal ini selaras dengan yang ada dalam FC, art.4 yang berbunyi:
Perlu ditambahkan refleksi lebih lanjut yang secara khas penting bagi masa kini. Tidak jarang berbagai ide dan pemecahan soal yang menarik sekali, tetapi dengan kadar yang berbeda-beda mengeruhkan kebenaran tentang pribadi manusia serta martabatnya, disajikan kepada pria maupun wanita zaman sekarang, sementara mereka secara tulus dan mendalam mencari jawaban soal-soal harian yang penting berkenaan dengan hidup pernikahan dan keluarga mereka. Kerap kali pandangan-pandangan itu didukung oleh koordinasi media komunikasi sosial yang besar dampak-pengaruhnya dan cukup “meyakinkan”, tetapi secara halus membahayakan kebebasan dan kemampuan menilai secara obyektif.
Tantangan zaman yang ada saat ini tidak secara nyata menampakkan diri namun
menempel dalam hal-hal yang kelihatannya baik dan dengan cerdik mengambil
kelihatannya benar. Ketika seseorang tidak dapat mengendalikan diri dan hanyut
dalam tantangan-tantangan zaman tersebut maka akan menyebabkan kehidupan
seseorang tidak akan mendalam lagi dan akan mempengaruhi seluruh aspek
kehidupannya, termasuk kehidupan perkawinannya.
Dari hasil observasi dapat diketahui bahwa Paroki HKTY (Hati Kudus
Tuhan Yesus Ganjuran) adalah sebuah paroki yang besar, tidak hanya wilayahnya
namun juga jumlah umatnya sangat besar. Di antara jumlah umat yang besar ini,
sebagian besar di antaranya memilih panggilan hidup berumah tangga. Paroki Hati
Kudus Tuhan Yesus Ganjuran merupakan sebuah Paroki yang umatnya sudah
bergaya hidup modern dan rentan terseret dalam tantangan zaman sehingga pada
akhirnya bisa membawa dampak yang negatif pada kehidupan perkawinan
terlebih perkawinan yang masuk dalam fase/masa yang banyak mengalami
kekecewaan serta kebosanan. Akibat yang lebih buruk lagi dapat mengakibatkan
keretakan ataupun kehancuran dalam hidup perkawinan. Berdasarkan observasi
yang dilakukan dapat diketahui adanya gejala perilaku pasutri dengan usia
perkawinan 5-15 tahun yang bisa menjadi bibit-bibit permasalahan hidup berumah
tangga dan mengancam keutuhan perkawinan. Gejala perilaku ini misalnya seperti
tidak pernah pergi ke gereja bersama, sibuk dengan masing-masing pekerjaan,
tidak adanya waktu makan bersama, dll. Usia perkawinan ini (6-15 tahun) masuk
dalam fase/masa krisis, sedangkan secara khusus usia perkawinan 5 tahun di
Paroki HKTY masuk dalam masa peralihan dari masa romantis menuju masa
krisis. Gereja (khususnya sebagai katekis ataupun calon katekis) mempunyai tugas
bahwa “Semua orang beriman Kristiani sesuai dengan kedudukan khasnya, harus
mengerahkan tenaganya untuk menjalani hidup yang kudus dan memajukan
perkembangan Gereja serta pengudusannya yang berkesinambungan”. Dari pernyataan tersebut dapat diketahui bahwa setiap orang beriman Kristiani pada
dasarnya memiliki tanggung jawab yang tidak mudah untuk selalu menjalani
hidup yang kudus dan memajukan perkembangan Gereja serta pengudusannya. Ini
berarti kekhasan kedudukan setiap orang beriman Kristiani apapun itu harus
dihidupi dan dibawa serta diarahkan untuk perkembangan Gereja. Kekhasan
kedudukan setiap umat beriman Kristiani ini menyangkut segala profesi yang
dijalani termasuk sebagai seorang katekis maupun calon seorang katekis. Sebagai
calon seorang katekis berarti harus mampu menghayati dan menghidupi
panggilannya. Cara untuk menghidupi panggilan ini bermacam-macam salah
satunya dengan terlibat dalam perkembangan Gereja. Hal yang mendesak
berdasarkan pengamatan yang dilakukan adalah adanya gejala-gejala perilaku
pasutri (5-15 tahun) yang perlu mendapatkan perhatian khusus.
Berpijak dari pemikiran inilah, perhatian khusus bagi pasutri yang usia
perkawinannya 5-15 tahun harus segera diwujudkan secara nyata. Untuk
mewujudkan perhatian ini tidaklah mudah terlebih untuk menentukan perhatian
apa yang paling tepat bagi mereka karena gambaran kehidupan perkawinan
mereka terlebih dalam menghayati janji perkawinan belum bisa dilihat dengan
pasti. Untuk melihat gambaran perkawinan pasutri dengan usia perkawinan 5-15
tahun ini diperlukan sebuah penelitian. Melalui skripsi ini diharapkan ada sebuah
dilakukan pasutri dengan usia perkawinan 5-15 tahun di Paroki HKTY yang
selama ini sudah terjadi sehingga perhatian pada pasutri dengan usia perkawinan
5-15 tahun bisa segera diwujudkan atau bisa lebih ditingkatkan dan disesuaikan
dengan kebutuhan mereka sehingga keutuhan perkawinan akan tercapai. Keutuhan
perkawinan inilah yang membawa kebahagiaan dalam hidup berkeluarga. Oleh
karena itu penulis mengangkat judul skripsi PERWUJUDAN JANJI PERKAWINAN PADA PASANGAN SUAMI-ISTRI DENGAN USIA
PERKAWINAN 5-15 TAHUN DEMI MENJAGA KEUTUHAN
PERKAWINAN DI PAROKI HATI KUDUS TUHAN YESUS GANJURAN, BANTUL, DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka masalah dalam hal ini dapat
diidentifikasikan sebagai berikut:
1. Apa yang dimaksud dengan janji perkawinan?
2. Bagaimana kehidupan pasutri dengan usia perkawinan 5-15 tahun di Paroki
HKTY Ganjuran?
3. Bagaimana usaha pasutri dengan usia perkawinan 5-15 tahun di Paroki HKTY
Ganjuran dalam mewujudkan janji perkawinan?
4. Kegiatan seperti apa yang dapat membantu pasutri dengan usia perkawinan
5-15 tahun di Paroki HKTY Ganjuran dalam mewujudkan janji perkawinan
C. Tujuan Penulisan
Tujuan yang hendak dicapai dari penelitian ini berdasarkan judulnya
“Perwujudan Janji Perkawinan pada Pasangan Suami-Istri dengan Usia Perkawinan 5-15 Tahun Demi Menjaga Keutuhan Perkawinan di Paroki Hati
Kudus Tuhan Yesus Ganjuran, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta” yaitu:
1. Mendalami maksud janji perkawinan
2. Menggambarkan bagaimana kehidupan pasutri dengan usia 5-15 tahun di
Paroki HKTY Ganjuran.
3. Menggambarkan sejauh mana perwujudan janji perkawinan serta
mengidentifikasi masalah-masalah yang terjadi pada pada pasutri dengan usia
perkawinan 5-15 tahun di Paroki HKTY Ganjuran.
4. Memberikan usulan program yang berupa kegiatan pendampingan pada
pasutri dengan usia perkawinan 5-15 tahun di Paroki HKTY Ganjuran agar
pasutri dengan usia perkawinan 5-15 tahun (keluarga madya) semakin mampu
mewujudkan janji perkawinan mereka.
D. Manfaat Penulisan
1. Manfaat Teoristis
Hasil penelitian mengenai “Perwujudan Janji Perkawinan pada Pasangan Suami-Istri dengan Usia Perkawinan 5-15 Tahun demi Menjaga Keutuhan
Perkawinan di Paroki Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran, Bantul, Daerah
mengenai penghayatan janji perkawinan pada pasutri, khususnya pasutri dengan
usia perkawinan 5-15 tahun.
2. Manfaat Praktis
a. Menambah wawasan dan pengetahuan bagi penulis tentang pentingnya
perwujudan janji perkawinan dalam hidup berumah tangga.
b. Membantu pasutri (khususnya pasutri dengan usia perkawinan 5-15 tahun)
yang berada dalam Paroki HKTY Ganjuran untuk menyadari pentingnya
mewujudkan janji perkawinan dalam hidup berumah tangga.
c. Memberikan sumbangan pada Paroki HKTY Ganjuran agar para penggembala
umat di sana dapat memiliki gambaran mengenai program yang sesuai untuk
pendampingan pasutri dengan usia perkawinan 5-15 tahun.
E. Metode Penulisan
Dalam tugas akhir ini penulis menggunakan metode penulisan
deskriptif-analisis. Teknis dalam penggunaan metode ini pertama-tama penulis hendak
mendalami perkawinan secara Katolik beserta janji yang diucapkan, lalu menggali
perwujudan janji perkawinan pada pasutri dengan usia perkawinan 5-15 tahun di
Paroki HKTY Ganjuran. Penulis ingin mengetahui sejauh mana janji perkawinan
itu diwujudkan oleh pasutri dan hambatan-hambatan apa sajakah yang sering
ditemui dalam mewujudkan janji perkawinan terutama pada pasutri dengan usia
perkawinan 5-15 tahun di Paroki HKTY Ganjuran. Setelah itu, berpedoman pada
yang menjawab kebutuhan pasutri dengan usia perkawinan 5-15 tahun di Paroki
HKTY Ganjuran, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta sesuai dengan keadaan
dan kesibukannya.
F. Sistematika Penulisan
Untuk memperoleh gambaran yang lebih jelas mengenai skripsi yang
hendak ditulis, maka penulis membagi pokok-pokok tulisan sebagai berikut:
Bab I berisi Pendahuluan yang terdiri dari Latar Belakang Masalah,
Rumusan Masalah, Tujuan Penulisan, Manfaat Penulisan, Metode Penulisan, dan
Sistematika Penulisan.
Bab II menguraikan tentang Janji Perkawinan yang di dalamnya terdiri
dari lima bagian yaitu yang pertama adalah Perkawinan, diuraikan lagi menjadi
Perkawinan secara Umum, Perkawinan Katolik, Tujuan Perkawinan, Ciri-ciri
Hakiki Perkawinan, Hakikat Perkawinan, Perkawinan yang Sakramen dan Non
Sakramen. Kedua adalah Janji Perkawinan, diuraikan lagi menjadi Rumusan Janji
Perkawinan, Makna Janji Perkawinan. Ketiga adalah Perwujudan Janji
Perkawinan, diuraikan lagi menjadi Arti Perwujudan Janji Perkawinan, Arah
Perwujudan Janji Perkawinan, Tujuan Perwujudan Janji Perkawinan, Pentingnya
Usaha Mewujudkan Janji Perkawinan, Manfaat Mewujudkan Janji Perkawinan.
Keempat adalah Keutuhan Keluarga, diuraikan lagi menjadi Keutuhan, Keutuhan
Keluarga.
Bab III menguraikan tentang Pasangan Suami-istri dengan Usia
dari lima bagian, yang pertama adalah Paroki Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran
Yogyakarta, diuraikan lagi menjadi Sejarah Paroki, Letak Geografis Paroki,
Situasi Umum Umat Paroki, Pembagian Wilayah dan Lingkungan, Gambaran
Umum mengenai Pasutri dengan Usia Perkawinan 5-15 Tahun. Kedua adalah
Hasil Penelitian, diuraikan lagi menjadi Penelitian, Latar Belakang Penelitian,
Tujuan Penelitian, Jenis Penelitian, Metode Penelitian, Instrument Penelitian,
Responden Penelitian, Tempat dan Waktu Pelaksanaan, Variabel. Ketiga adalah
Hasil Penelitian, diuraikan lagi menjadi Janji Perkawinan, Pasutri dengan Usia
Perkawinan 5-15 Tahun di Paroki Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran, dan
Keutuhan Perkawinan. Keempat adalah Kesimpulan Hasil Penelitian, diuraikan
lagi menjadi Janji Perkawinan, Pasutri dengan Usia Perkawinan 5-15 Tahun di
Paroki Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran, dan Keutuhan Perkawinan. Kelima
adalah Refleksi Kritis Perwujudan Janji Perkawinan Pada Pasutri dengan Usia
Perkawinan 5-15 Tahun di Paroki Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran Janji
Perkawinan, diuraikan lagi menjadi Perwujudan Janji Perkawinan, Pasutri dengan
Usia Perkawinan 5-15 Tahun di Paroki Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran dan
Keutuhan Perkawinan.
Bab IV berisi tentang Usulan Program Pendampingan Keluarga Katolik
Paroki Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran yang terbagi dalam enam bagian.
Pertama adalah Latar Belakang Penyusunan Program, kedua adalah Katekese,
ketiga adalah Usulan Program, keempat adalah Rumusan Tema dan Tujuan,
Pendampingan Pasutri dengan usia perkawinan 5-15 tahun di Paroki Hati Kudus
Tuhan Yesus Ganjuran Bantul Yogyakarta.
Bab VI berisi tentang Penutup yang terdiri dari tiga bagian, yang pertama
adalah Kesimpulan. Kedua adalah Saran yang masih dibagi lagi menjadi Bagi
Para Pendamping, Keluarga pada Umumnya, Bagi Para Pendamping Keluarga di
Paroki Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran, Bagi Romo Paroki, Bagi Para
Pasangan Suami-istri dengan Usia Perkawinan 5-15 Tahun. Ketiga adalah
BAB II
JANJI PERKAWINAN PASUTRI
A. Perkawinan
1. Perkawinan secara Umum
Secara umum perkawinan bertujuan menyatukan dua pribadi untuk
membentuk sebuah keluarga baru yang bahagia dan juga sejahtera. Hal senada
dengan UU NO.1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN yang berbunyi
“Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami-istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Hal ini berarti perkawinan secara umum dilihat sebagai ikatan lahir batin (persatuan) antara pria
dan seorang wanita dalam segala segi kehidupannya baik secara lahir ( kelihatan)
ataupun batin (tidak kelihatan). Kesatuan ini juga menerangkan kesatuan seluruh
pribadi dan seluruh hidup. Dari pernyataan ini juga dapat kita lihat dengan jelas
bahwa di Negara Indonesia hanya mengakui perkawinan yang dilangsungkan
antara seorang laki-laki dan seorang perempuan serta tidak mengakui adanya
perkawinan homogen antara sesama jenis kelamin. Perkawinan di Indonesia juga
akan menjadi sah bila dilangsungkan berdasarkan tata cara agama pelaku
perkawinan (Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, Kong Hu Chu). Bahagia dan
kekal berarti tujuan dari perkawinan itu adalah kebahagiaan dan sifat dari
perkawinan itu adalah kekal/seumur hidup. Arti kekal lebih luas lagi sebenarnya
2. Perkawinan Katolik
Sejak kapankah perkawinan itu ada di dalam Gereja Katolik? Pertanyaan
ini memiliki jawaban yang tidak sederhana karena kita harus melihat kembali
kisah penciptaan dalam Kitab Kejadian Kitab Suci Perjanjian Lama. Dari kisah
penciptaan Kej 2:21-22 ditulis:
Lalu TUHAN Allah membuat manusia itu tidur nyenyak; ketika ia tidur, TUHAN Allah mengambil salah satu rusuk dari padanya, lalu menutup tempat itu dengan daging. Dan dari rusuk yang diambil TUHAN Allah dari manusia itu, dibangun-Nyalah seorang perempuan, lalu dibawa-Nya kepada manusia itu.
Dari perikop tersebut dapat diambil sebuah kesimpulan bahwa dari sejak semula
laki-laki dan perempuan diciptakan sebagai satu daging. Perempuan diciptakan
dari tulang rusuk laki-laki sehingga memang ada kesatuan antara laki-laki dan
perempuan. Kesatuan itulah yang membuat laki-laki dan perempuan saling
membutuhkan. Tuhan Allah menciptakan perempuan sebagai patner yang
seimbang untuk laki-laki. Laki-laki dan perempuan saling melengkapi dalam
melaksanakan kehidupan sesuai dengan kodradnya yang khas, fungsi ini sama
dengan fungsi kesatuan antara laki-laki dengan perempuan dalam perkawinan
Katolik yang kita kenal saat ini. Bedanya jika kesatuan antara laki-laki dan
perempuan dalam kisah penciptaan lebih difungsikan sebagai teman dalam
melaksanakan kehidupan yang paling mendasar (mempertahankan hidup dan
merawat ciptaan Tuhan), sedangkan kesatuan antara seorang laki-laki dan seorang
perempuan saat ini mencakup segala segi kehidupan yang lebih luas sesuai dengan
perkembangan zaman (di dalamnya mencakup kewajiban mendidik anak dan
Perkawinan merupakan sebuah kesepakatan, hal ini selaras dengan KHK,
kan. 1057 § 2 “Kesepakatan perkawinan adalah tindakan kehendak dengannya
seorang laki-laki dan seorang perempuan saling menyerahkan diri dan menerima
untuk membentuk perkawinan dengan perjanjian yang tak dapat ditarik kembali”. Jadi jelaslah bahwa perkawinan merupakan sebuah kesepakatan yang di dalamnya
terdapat penyerahan diri antara seorang laki-laki dan seorang perempuan serta
sikap terbuka untuk saling menerima kehadiran pasangan seluruhnya tanpa syarat
dalam hidup perkawinan dengan perjanjian yang tidak dapat dibatalkan
lagi/ditarik lagi. Perjanjian ini tidak dapat ditarik kembali sebab menyangkut 3
pihak yakni seorang laki-laki, seorang perempuan dan Allah sendiri yang menjadi
pengikat perjanjian tersebut. Karena alasan ini pula perkawinan Katolik
merupakan sebuah proses yang panjang mulai dari masa persiapan, pelaksanaan
hingga pasca perkawinan. Hal ini juga senada dengan yang ada dalam GS, art. 48
yang berbunyi:
Allah sendirilah penyelenggara perkawinan yang dilengkapi dengan berbagai nilai dan tujuan …. Cinta kasih suami istri yang sejati diangkat sebagai sakramen dalam cinta kasih ilahi dan dipimpin serta diperkaya oleh daya penyelamat Kristus dan karya keselamatan Gereja, agar suami istri diantar kepada Allah untuk mendapatkan kasih karunia dan kekuatan dalam tugas luhur sebagai ayah dan ibu.
Jadi penyelenggara perkawinan adalah Allah sendiri, perkawinan yang didasari
cinta kasih ini oleh Allah diangkat dalam cinta kasih yang ilahi, cinta kasih yang
ilahi adalah cinta kasih yang paling tinggi dan sempurna. Dalam perkawinan
Katolik, Kristus sendirilah yang memimpin dan menuntun perkawinan. Dia
melengkapi celah-celah dalam perkawinan, selain daya Kristus, karya
jawaban yang luhur manusia terhadap panggilan Allah. Dari sejak dahulu
perkawinan merupakan sebuah hal yang sakral dan harus selalu dihayati dan
dihidupi. Banyak perikop di dalam Kitab Suci yang berbicara mengenai
perkawinan. Dalam Injil Yoh 15:9-12, ada sebuah pesan inti yang sangat baik
yakni “Inilah perintah-Ku, yaitu supaya kamu saling mengasihi, seperti Aku telah
mengasihi kamu”. Kasih sangat dekat dengan hubungan suami-istri dalam
perkawinan. Kasih pulalah yang menjadi dasar bagi kehidupan orang Kristiani.
Selain Injil Yohanes masih ada banyak perikop lain yang berbicara mengenai
perkawinan.
Perkawinan Katolik memiliki kekhasan yang menyebabkannya berbeda
dengan perkawinan pada umumnya. Kekhasan ini adalah perkawinan Katolik
diteguhkan dalam tata-peneguhan kanonik (forma canonica) dan perkawinan
Katolik merupakan sebuah sakramen.
3. Tujuan Perkawinan
Sebuah hal dilakukan pasti memiliki sebuah tujuan tertentu. Misalnya saja
sebuah organisasi dibangun dengan merumuskan tujuan organisasi yang hendak
dicapainya dan yang menjadi alasan mengapa organisasi tersebut ada. Hal ini
tidak berbeda dengan sebuah perkawinan. Perkawinan diselenggarakan karena ada
tujuan tertentu yang hendak dicapai. KHK, kan. 1055 mengatakan bahwa:
§1. Perjanjian (feodus) perkawinan, dengannya seorang laki-laki dan seorang perempuan membentuk antara mereka persekutuan (consortium)
seluruh hidup, yang menurut ciri kodratinya terarah pada kesejahteraan suami-istri (bonum coniugum) serta kelahiran dan pendidikan anak, antara orang-orang yang dibabtis, oleh Kristus Tuhan diangkat ke martabat sakramen.
Jadi pada intinya, perkawinan itu memiliki tiga tujuan yang utama yakni
kesejahteraan suami-istri (bonum coniugum), terbuka terhadap keturunan
(prokreasi) serta pendidikan anak. Bonum coniugum atau kesejahteraan
suami-istri dapat tercapai jika masing-masing pribadi menghargai dan menempatkan
pasangan hidup sebagai patner cinta kasih dalam mewujudkan keluarga yang baik
dan harmonis. Kesejahteraan suami istri ini berlandaskan cinta kasih yang
semakin hari hendaknya semakin diteguhkan dan semakin dipupuk agar tumbuh
subur. Menjadi suami-istri berarti menjadi satu pribadi sehingga hendaknya
masing-masing pribadi bisa menjadi belahan jiwa bagi pasangannya. Bonum
prolis adalah kelahiran baru/terbuka terhadap keturunan. Dalam sebuah
perkawinan Katolik, suami-istri memiliki tugas yang luhur untuk melestarikan
kehidupan dengan terbuka terhadap kelahiran baru. Terbuka terhadap keturunan
inilah yang menjadi alasan utama Gereja menolak alat kontrasepsi dalam wujud
apapun. Gereja hanya melegalkan KB alamiah berdasarkan siklus alami
perempuan. Tujuan perkawinan dalam Gereja Katolik tidak berhenti pada
kelahiran baru. Perkawinan yang terbuka bagi kelahiran manusia baru tersebut
harus pula disertai dan dilanjutkan dengan pendidikan anak sebab keluarga adalah
tempat yang pertama dan utama dalam mendidik anak. Sebelum anak berinteraksi
dengan dunia luar, ia berinteraksi terlebih dahulu dengan keluarganya. Keluarga
merupakan instansi pendidikan non formal yang memberikan jati diri pada anak
untuk dibawa hingga mati. Keluargalah yang paling banyak membentuk pribadi
dan kualitas pribadi seorang anak. Sebuah keluarga yang menanamkan nilai kasih
akan dibagikannya pada setiap pergaulannya. Hal tersebut juga berlaku untuk
sikap-sikap negatif yang mungkin dibentuk oleh keluarga pada seorang anak.
4. Ciri-ciri Hakiki Perkawinan
Perkawinan Katolik adalah sebuah perkawinan yang khas terlebih dilihat
dari ciri-ciri hakikinya. Kekhasan inilah yang membedakan perkawinan Katolik
dengan perkawinan lain dan menyebabkan perkawinan Katolik tidak bisa
dibandingkan dengan perkawinan lain. Kekhasan perkawinan Katolik ini
diungkapkan dalam KHK, kan.1056 yang berbunyi “Ciri-ciri hakiki (proprietates)
perkawinan ialah unitas (kesatuan) dan indissolubilitas (sifat
tak-dapat-diputuskan), yang dalam perkawinan kristiani memperoleh kekukuhan khusus atas
dasar sakramen". Jadi, ciri-ciri perkawinan Katolik adalah unitas dan
indissolubilitas. Ciri-ciri perkawinan ini bisa dijabarkan kembali menjadi
monogami, tak terceraikan dan terbuka bagi keturunan. Monogami artinya
perkawinan hanya bisa dilakukan oleh seorang laki-laki dan seorang perempuan
saja. Perkawinan yang monogami berarti jumlah suami/istri hanya satu selama
kurun waktu perkawinan (sampai salah satu suami/istri meninggal). Perkawinan
monogami menjaga keutuhan cinta dan tidak pernah membagi-baginya. Selain
tidak membagi-bagi cinta, perkawinan monogami juga mencerminkan kesetaraan
martabat antara laki-laki dan perempuan. Tak terceraikan menggambarkan cinta
kasih Allah kepada umat-Nya yang berlangsung terus menerus sampai selamanya.
Sifat tak bisa diceraikan ini juga dapat dilihat sebagai kekhasan perkawinan
Hubungan suami-istri juga harus berpolakan sama seperti hubungan
Kristus dengan Gereja-Nya. Hal ini senada dengan perikop Kitab Suci dalam Ef
5:22-23 yang berbunyi:
Hai isteri, tunduklahkepada suamimu seperti kepada Tuhan, karena suami adalah kepala isteri sama seperti Kristus adalah kepala jemaat. Dialah yang menyelamatkan tubuh. Karena itu sebagaimana jemaat tunduk kepada Kristus, demikian jugalah isteri kepada suami dalam segala sesuatu. Hai suami, kasihilah isterimu sebagaimana Kristus telah mengasihi jemaat dan telah menyerahkan diri-Nya baginya..
Suami diibaratkan seperti Kristus yang harus terus menerus mengasihi jemaat.
Istri diibaratkan sebagai jemaat yang harus menghormati suaminya seperti jemaat
yang harus menghormati Kristus yang terlebih dahulu mencintainya. Hubungan
Kristus dengan jemaat yakni hubungan yang didasarkan pada cinta kasih yang
terus menerus tanpa terputus hingga maut memisahkan sehingga dalam
perkawinan Katolik tidak mengenal kata cerai. Perkawinan merupakan salah satu
panggilan luhur terhadap tugas menjaga kelangsungan hidup. Suami-istri
dipanggil oleh Allah untuk saling bekerjasama menciptakan kehidupan baru yang
membawa harapan bagi kelangsungan dunia. Alasan ini pulalah yang
menyebabkan Gereja Katolik dengan keras menolak aborsi, sebab kehidupan baru
mestinya dipelihara. Ciri-ciri perkawinan ini menunjuk pada semua jenis
perkawinan sakramen ataupun bukan sakramen.
5. Hakikat Perkawinan
Perkawinan Katolik pada intinya atau hakikatnya adalah persatuan seluruh
hidup antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang berpegang pada
kebahagiaan serta kesejahteraan bersama. I Ketut Adi Hardana dalam Persiapan
Kursus Perkawinan (2010: 10) menuliskan beberapa inti/hakikat dalam
perkawinan, yaitu:
Perkawinan adalah sebuah perjanjian. Istilah perjanjian atau kesepakatan mau membarui istilah hukum: “kontrak”. Kata “Perjanjian” dipilih karena lebih bernuansa rohani yang mengingatkan akan perjanjian antara Allah dan manusia yang bernuansa cinta kasih.
Bentuk perkawinan: perkawinan adalah persekutuan seluruh hidup antara pria dan wanita. Persekutuan seluruh hidup ini menyangkut: kesatuan hati dan perasaan walaupun mereka adalah dua pribadi yang berbeda; tempat tinggal, artinya tinggal di rumah yang sama; kesatuan ekonomi atau keuangan, artinya penghasilan dan pendapatan antara suami-istri disatukan dan dikelola secara bersama demi kesejahteraan seluruh keluarga; kesatuan badan yang diungkapkan dalam hubungan seks antara suami-istri.
Subyek yang mengadakan perkawinan itu adalah seorang pria dan seorang wanita yang sungguh-sungguh; artinya pria dan wanita yang normal, baik secara fisik maupun psikis. Karena itu, Gereja Katolik menolak mengakui keabsahan perkawinan antara dua orang yang sesama jenis atau antara orang yang melakukan pergantian kelamin.
Dasar dari sebuah perkawinan adalah cinta kasih yang tampak dalam persetujuan bebas dari kedua calon mempelai. Secara yuridis, persetujuan bebas itu menjadi prasyarat dari sebuah perjanjian perkawinan yang sah.
Tujuan dari sebuah perkawinan: kebahagiaan bersama suami-istri dan keluarga dalam seluruh aspek hidupnya serta kelahiran dan pendidikan anak.
Dalam Gereja Katolik, hakikat perkawinan dipahami secara lebih mendalam sebagai Sakramen yaitu ikatan cinta mesra dalam hidup bersama antara suami dan istri yang diadakan oleh Sang Pencipta dan dilindungi dengan hukum-hukum-Nya yang menampakkan cinta kasih Allah kepada umat-Nya (GS, 48).
Berdasarkan beberapa hakikat perkawinan yang ditulis oleh Timotius I
Ketut Adi Hardana tersebut, dapat disimpulkan beberapa hal sehubungan dengan
hakikat/inti perkawinan. Perkawinan pada masa lalu diistilahkan sebagai sebuah
kontrak antara seorang laki-laki dan seorang perempuan. Istilah kontrak saat ini
diganti dengan istilah janji dengan alasan lebih bernuansa rohani, selain alasan
Lama maupun Perjanjian Baru sehingga kita dapat dengan baik mengistilahkan
kata janji tersebut dalam perkawinan terlebih janji dalam perkawinan tidak jauh
berbeda dengan istilah janji dalam Alkitab yang melibatkan Allah sebagai
pengikat janji. Perkawinan merupakan sebuah bentuk persekutuan seluruh hidup
dan seumur hidup. Dalam perkawinan segala sisi yang ada pada seorang laki-laki
maupun seorang perempuan tidak terkecuali melebur menjadi satu dan
membentuk persekutuan hidup bersama yang hanya dapat dipisahkan oleh Allah
dengan adanya maut. Gereja Katolik tidak mendiskriminasi pribadi yang
memiliki kelainan seksual seperti homoseksual melainkan justru menerima dan
memberikannya tempat. Sikap mau menerima pribadi yang memiliki kelainan
homoseksual bukan berarti setuju serta menerima perkawinan sesama jenis
ataupun perkawinan yang dilangsungkan oleh seorang laki-laki dan perempuan
namun salah satunya sudah melakukan operasi pergantian kelamin. Gereja Katolik
menolak karena sudah melanggar keluhuran ciptaan Tuhan dan kodrat sebagai
seorang laki-laki maupun seorang perempuan. Ada berbagai ketentuan yang
mengawali sebuah perkawinan, salah satu yang mutlak adanya unsur kebebasan
yang dimiliki masing-masing pribadi sebelum melangsungkan perkawinan.
Keterpaksaan menjadikan perkawinan yang dilangsungkan secara Katolik menjadi
tidak sah (Rubiyatmoko, 2011: 80).
Perjanjian dalam perkawinan juga memiliki tujuan dalam melangsungkan
kehidupan bersama, tujuan dari perkawinan secara umum adalah kesejahteraan
pasangan dan pendidikan anak. Ada 7 (tujuh) sakramen dalam Gereja Katolik dan
Sakramen jika dilangsungkan antara laki-laki dan perempuan yang telah dibabtis
secara Katolik atau dilangsungkan antara laki-laki dan perempuan yang salah
satunya dibabtis secara Katolik dengan orang yang pembabtisannya diterima
secara Katolik atau dilangsungkan antara laki-laki dan perempuan yang
pembabtisannya diterima secara Katolik, sehingga dalam perkawinan Katolik ada
2 (dua) jenis perkawinan, yakni perkawinan yang sakramen dan yang non
sakramen (KWI, 2011: 8-10).
6. Perkawinan yang Sakramen dan Non Sakramen
Perkawinan dalam Gereja Katolik dibedakan menjadi dua, yakni
perkawinan yang sakramen dan yang bukan sakramen (non sakramen).
a. Perkawinan sakramen
Perkawinan disebut sakramen apabila dilangsungkan oleh dua orang yang
dibabtis hal ini selaras dengan yang ada dalam KHK, kan. 1055§ 2 “Karena itu
antara orang-orang yang dibabtis, tidak ada kontrak perkawinan sah yang tidak
sendirinya sakramen”. Jadi perkawinan yang dilangsungkan antara laki-laki dan
perempuan yang telah dibabtis secara Katolik atau dilangsungkan antara laki-laki
dan perempuan yang salah satunya dibabtis secara Katolik dengan orang yang
pembabtisannya diterima secara Katolik atau dilangsungkan antara laki-laki dan
perempuan yang pembabtisannya diterima secara Katolik secara langsung
diangkat menjadi sakramen. Perkawinan yang sakramen menjadi gambaran dari
pengambilan bagian dalam persatuan kasih abadi antara Kristus dengan
lainnya. Sakramen Perkawinan bukan diterima dari Imam atau dari pelayan Gereja
serta siapapun itu, namun Sakramen Perkawinan saling diterimakan oleh pasangan
melalui janji perkawinan yang mereka ucapkan. Janji perkawinan juga merupakan
janji yang diucapkan kepada Allah dan juga Injil Suci.
b. Perkawinana non sakramen
Perkawinan non sakramen adalah perkawinan yang dilakukan antara
seorang yang dibabtis secara Katolik dan yang tidak dibabtis. Perkawinan non
sakramen bisa dilangsungkan dalam Gereja Katolik dan sah. Hal ini selaras
dengan yang ada dalam KWI (2011: 8-10) yang mengatakan bahwa “Secara
yuridis perkawinan antara seorang yang dibabtis secara Katolik adalah sah jika
diteguhkan dengan forma canonica (di depan pejabat Gereja Katolik dan dua
orang saksi), namun bukanlah sakramen”. Karena salah satu pasangan tidak
dibabtis maka tidak bisa disebut saling menerimakan sakramen”. Jadi jelaslah ada
perbedaan antara perkawinan orang yang keduanya dibabtis secara Katolik dan
hanya salah satu yang dibabtis secara Katolik. Perkawinan yang dilangsungkan
antara seorang laki-laki dan perempuan yang keduanya dibabtis secara Katolik
akan membawa dampak sakramen pada perkawinannya, sedangkan perkawinan
yang dilangsung antara seorang laki-laki dan perempuan yang hanya salah satunya
saja yang dibabtis secara Katolik maka perkawinan tersebut bukanlah sakramen.
Namun yang perlu diingat adalah kedua perkawinan tersebut sah karena
diteguhkan di depan pejabat Gereja Katolik dan dua orang saksi. Jadi jelas bahwa
B. Janji perkawinan
1. Rumusan Janji Perkawinan
Janji perkawinan memiliki rumusan yang di dalamnya memperlihatkan
kesediaan untuk menjadi satu bukan hanya satu daging namun satu roh hal ini
selaras dengan rumusan yang direkomendasikan oleh Komisi Liturgi Keuskupan
Se-Regio Jawa Plus Tanjungkarang (2009: 17) yang berbunyi:
MP: Di hadapan imam, para saksi dan seluruh umat yang hadir di sini, saya … MP memilih engkau … MW menjadi istri saya.
Saya berjanji setia kepadamu dalam untung dan malang, di waktu sehat dan sakit. Saya mau mengasihi dan menghormatimu sepanjang hidup saya.
MW: Di hadapan imam, para saksi dan seluruh umat yang hadir di sini saya, … MW memilih engkau MP menjadi suami saya.
Saya berjanji setia kepadamu dalam untung dan malang, di waktu sehat dan sakit. Saya mau mengasihi dan menghormatimu sepanjang hidup saya.
Pada intinya, dalam janji perkawinan ada 3 janji pokok. Janji yang pertama
ialah janji untuk setia dalam untung dan malang, dalam suka dan duka, di waktu
sehat dan sakit, dengan segala kekurangan dan kelebihan. Janji yang kedua adalah
selalu mencintai dan menghormati sepanjang hidup. Janji yang ketiga yang selalu
melekat pada kedua janji tersebut dan sering dilupakan oleh pasutri adalah
bersedia menjadi Bapak/Ibu yang baik serta mendidik anak-anak yang
dipercayakan Tuhan secara Katolik. Saat ini banyak sekali orang tua yang
mempercayakan seluruh pendidikan anaknya pada sekolah tempat mereka belajar.
Rumusan kalimat perjanjian dalam perkawinan dikembangkan
berdasarkan/bersumber dari Kitab Perjanjian Lama bukan sekedar karangan
spontanitas dari manusia. Oleh karena itu memiliki makna yang mendalam.
merumuskan akar kata dalam janji perkawinan dengan membandingkannya
dengan Kitab Hos 2:18-19 dalam sebuah tabel:
Janji Perkawinan (sekarang)
Janji Allah-Israel (Hosea 2:18-19) di hadapan imam, para
saksi dan saudara-saudari yang hadir,
Aku akan mengikat perjanjian bagimu… Aku akan menjadikan saya (nama) menyatakan dengan
tulus ikhlas bahwa engkau (nama) mulai sekarang menjadi suami/istri saya
engkau isteriKu untuk
selama-lamanya
Saya berjanji akan setia kepadamu baik dalam untung dan malang, dalam suka dan duka, di waktu sehat maupun sakit
dan Aku akan menjadikan engkau
IsteriKu dalam keadilan dan
kebenaran, dalam kasih setia dan kasih sayang.
Aku akan menjadikan engkau istri-Ku dalam kesetiaan
Saya berjanji akan menjadi ayah/ibu yang baik bagi anak-anak yang akan dipercayakan Tuhan kepada saya, dan saya akan mendidiknya menjadi orang katolik yang setia
Sehingga engkau akan mengenal TUHAN
Dari tabel tersebut dapat kita ketahui bahwa rumusan kata dalam janji
perkawinan berakar dari Kitab Hos 2:18-19. Janji tersebut merupakan janji yang
diucapkan oleh Allah sendiri untuk orang Israel. Hal tersebut berarti bahwa
tidaklah mengada-ada bila perkawinan disebut sebagai sebuah sakramen karena
berasal dari Allah sehingga janji perkawinan memuat kesakralan yang mengikat
seumur hidup sebab Allah adalah Allah yang setia terhadap janji-Nya. Ketika janji
perkawinan sudah diucapkan maka membawa dampak kesetiaan pula dalam
pemenuhannya. Dari kitab Hosea ini, terlebih ketika dilihat dalam ayat
sebelumnya yakni Hos 2:17, nampak Allah memang telah mengikat perjanjian
kepada Israel dan menjadikannya istri-Nya. Allah telah menjanjikan
bermacam-“berak ar” dari”
macam hal untuk mensejahterakan istri-Nya dan untuk melindungi serta
membahagiakan istri-Nya. Perjanjian yang dilakukan oleh Allah ini juga memiliki
saksi yakni bintang-bintang di padang, burung-burung di udara serta
binatang-binatang melata di bumi. Dalam ikatan perjanjian ini juga ada sebuah komunikasi
yang baik yang diibaratkan Allah dengan Aku akan mendengarkan langit dan
langit akan mendengarkan bumi. Rumusan perjanjian dalam Kitab Suci Perjanjian
Lama juga akan banyak ditemukan dalam Kitab-Kitab lain, misalnya dalam Yeh
16:60,62; Yes 54:6-8; dan lain-lain.
Dalam seluruh perjanjian Allah kepada Israel, Tuhan Allah menjadikan
Israel sebagai istri-Nya dan mengasihinya sepanjang waktu. Allah selalu setia
terhadap janji-Nya itu dan terus mengasihi istri-Nya dengan nyata lewat
pertolongan-Nya serta lewat belah kasih-Nya yang selalu memaafkan kesalahan
Israel walaupun berulang kali Israel berselingkuh dari diri-Nya. Rumusan janji
perkawinan adalah inti dari sakramen perkawinan dan ketika laki-laki serta
perempuan mengucapkan janji tersebut maka saat itu juga seorang laki-laki
menyerahkan dirinya sebagai suami kepada istrinya dan seorang perempuan
menyerahkan dirinya sebagai istri kepada suaminya (Agung Prihartanta, 2009:
84). Penyerahan diri ini tidak bisa ditarik kembali dan berlaku untuk seumur
hidup karena sifat perjanjian ini sama dengan sifat perjanjian Kristus dengan
mempelai-Nya yakni Gereja. Oleh sebab itu perkawinan di dalam Gereja Katolik
tidak dapat diceraikan. Hal ini jugalah yang menjadi salah satu alasan mengapa
proses perkawinan dalam Gereja Katolik sangat mendetail sehingga prosesnya
2. Makna Janji Perkawinan
Kesatuan antara perkawinan bukan hanya soal “kontrak” atau janji saja
(Iman Katolik, 1996: 436). Perkawinan melebihi makna kata kontrak ataupun janji
namun dalam Gereja Katolik sekarang menggunakan istilah janji yang lebih
mendalam tafsirannya daripada kontrak.
a. Setia dalam untung dan malang, dalam suka dan duka, di waktu sehat dan
sakit, dengan segala kekurangan dan kelebihan
Kesetiaan dalam janji ini maknanya bukan hanya untuk tidak melirik
pria/wanita lain. Setia di dalam janji ini maknanya lebih luas yakni setia untuk
berpartisipasi dalam setiap perasaan dan keadaan pasangan. Menjadi suami-istri
artinya menanggapi panggilan untuk saling menyempurnakan. Bila pasangan
cerewet, pelupa, tidak bisa masak maka tetap harus diterima dan dicintai (Didik
Bagiyowinadi 2006: 25). Ketika seseorang berbisnis, dia akan sangat senang
ketika memperoleh keuntungan. Keuntungan yang ia dapatkan akan sangat mudah
ia syukuri dan akan sangat mempengaruhi perilakunya terhadap orang lain
(terlebih orang-orang terdekatnya) sehingga orang lain pun akan merasakan
kebahagiaan yang dirasakan akibat keuntungan itu. Namun ketika seseorang
mengalami kemalangan, misalnya kerugian dalam berbisnis tentunya tidak akan
mudah ia terima dan ia jadikan sebagai rasa syukur termasuk untuk orang-orang
yang berada di dekatnya. Orang kecenderungan akan datang di saat seseorang
berada dalam situasi yang bahagia dan berkelimpahan tetapi di saat seseorang
dekatnya dengan turut berbela rasa, waktu, tenaga serta pikiran. Hal ini juga
berlaku dalam keadaan sehat maupun sakit serta berlaku dalam setia terhadap
kelebihan maupun kekurangan. Kelebihan seseorang yang kita cintai secara
khusus akan terasa lebih luar biasa dari pada kelebihan seseorang yang tidak kita
cintai secara khusus. Begitu pula dengan kekurangan orang yang kita cintai secara
khusus akan tampak jauh lebih sederhana daripada seseorang yang tidak kita
cintai secara khusus. Pandangan inilah yang harus selalu dipertahankan.
Dalam perkawinan seorang istri dan seorang suami tentunya bukan
seorang yang sempurna seutuhnya baik dari fisik, kepribadian, dan lain-lain.
Kenyataan ketidaksempurnaan inilah yang menjadi panggilan bagi seorang suami
atau istri untuk saling menyempurnakan. Ketika seorang suami/istri sudah merasa
bisa melakukan segala sesuatunya seorang diri dan merasa sudah memiliki
segalanya dalam kehidupan, lalu apa gunanya ia menikah. Seorang istri diciptakan
Tuhan untuk menjadi seorang penolong yang sepadan bagi seorang suami, hal ini
sama ketika Allah menciptakan Hawa sebagai penolong yang sepadan bagi Adam
(Kej 2:18). Allah menganugerahkan Hawa kepada Adam dan sebaliknya Adam
dianugerahkan Allah untuk Hawa. Menjadi penolong sepadan itu artinya suami
serta istri memiliki tugas saling menyempurnakan satu sama lain yang bisa
dikatakan mau senantiasa menjadi sakramen antara yang satu terhadap yang
lainnya. Menjadi sakramen bagi pasangan artinya bisa menjadi tanda dan sarana
kehadiran Allah dalam seluruh kehidupan bersama/seluruh kehidupan
perkawinan. Bisa menjadi tanda dan sarana kehadiran Allah dalam seluruh
Surat Paulus kepada Jemaat di Korintus dalam 1 Kor 7:14 dikatakan bahwa
seorang suami yang tidak beriman akan dikuduskan istrinya yang beriman dan
seorang istri yang tidak beriman akan dikuduskan suami yang beriman.
Suami-istri harus mau menjadi sakramen bagi yang lainnya melalui seluruh hidup
perkawinannya sehingga seluruh kehidupannya bisa berkenan bagi Allah.
Setia berarti tidak hanya setia terhadap pasangan saja, hal inilah yang
sering dilupakan oleh banyak pasangan. Setia itu berarti setia pula terhadap
Pribadi yang telah memeteraikan cinta antara sepasang pria dan wanita sehingga
menjadi satu tubuh dalam ikatan perkawinan. Janji memberikan harapan dan rasa
aman, terlebih janji yang diikat pada Pribadi yang menjadi sumber cinta kasih.
Hal ini selaras dengan Smalley (2008: 28) yang mengatakan “Berjanji kepada
Allah akan memberikan rasa aman bagi pasangan Anda. Hal itu memberikan rasa
aman bagi pasangan Anda. Hal itu memberikan landasan yang mantap pada
pernikahan Anda dengan menyediakan sumber otoritas tertinggi, di mana Anda
berdua hidup di bawah naungannya”. Janji merupakan sebuah pemberian harapan terhadap orang lain dalam bentuk apapun. Yang membedakan janji biasa dengan
janji yang diucapkan di hadapan Allah adalah janji biasa sangat mungkin diingkari
karena hanya melibatkan 2 pribadi (pihak pertama dan pihak kedua). Manusia
adalah pribadi yang lemah, oleh karena itu sangat mungkin melanggar janji. Janji
yang diucapkan dihadapan Allah melibatkan 3 pribadi (pihak pertama dan pihak
kedua dengan Allah sebagai pengikat janji tersebut). Walaupun masih
memungkinkan manusia untuk mengingkari janji tersebut, namun Allah selalu ada