• Tidak ada hasil yang ditemukan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI"

Copied!
172
0
0

Teks penuh

(1)

DENGAN USIA PERKAWINAN 5-15 TAHUN DEMI MENJAGA KEUTUHAN PERKAWINAN DI PAROKI HATI KUDUS TUHAN YESUS

GANJURAN, BANTUL, DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

S K R I P S I

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Program Studi Ilmu Pendidikan Kekhususan Pendidikan Agama Katolik

Oleh:

Florentina Puji Hastriyani NIM: 101124060

PROGRAM STUDI ILMU PENDIDIKAN KEKHUSUSAN PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK

JURUSAN ILMU PENDIDIKAN

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA 2015

(2)

i

DENGAN USIA PERKAWINAN 5-15 TAHUN DEMI MENJAGA KEUTUHAN PERKAWINAN DI PAROKI HATI KUDUS TUHAN YESUS

GANJURAN, BANTUL, DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

S K R I P S I

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Program Studi Ilmu Pendidikan Kekhususan Pendidikan Agama Katolik

Oleh:

Florentina Puji Hastriyani NIM: 101124060

PROGRAM STUDI ILMU PENDIDIKAN KEKHUSUSAN PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK

JURUSAN ILMU PENDIDIKAN

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA 2015

(3)
(4)
(5)

iv

Skripsi ini kupersembahkan kepada:

(6)

v

“Untuk segala sesuatu ada masanya, untuk apa pun di bawah langit ada waktunya”

(7)
(8)
(9)

viii

Judul skripsi ini adalah PERWUJUDAN JANJI PERKAWINAN PADA PASANGAN SUAMI ISTRI DENGAN USIA PERKAWINAN 5-15 TAHUN DEMI MENJAGA KEUTUHAN PERKAWINAN DI PAROKI HATI KUDUS TUHAN YESUS GANJURAN, BANTUL, DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA. Janji perkawinan belum begitu dihidupi oleh pasutri dengan usia perkawinan 5-15 tahun di Paroki Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran Bantul Daerah Istimewa Yogyakarta. Bertolak dari kenyataan itulah maka skripsi ini dimaksudkan untuk membantu para keluarga madya untuk bisa mewujudkan janji perkawinan yang merangkum seluruh proses hidup perkawinan. Persoalan pokok dalam skripsi ini adalah belum dihidupinya janji perkawinan oleh keluarga madya. Oleh karena itu dibutuhkan sebuah penelitian yang bisa mengungkapkan fakta mengenai sejauh mana janji perkawinan pada pasutri tersebut sudah dihidupi. Penelitian yang dilakukan dalam skripsi ini dimaksudkan untuk mengetahui sejauh mana pasutri melihat sejauh mana janji perkawinan dihidupi oleh keluarga madya tersebut melalui penelitian, untuk tindak lanjutnya akan dipilih program pendampingan yang sesuai dengan kondisi pasutri.

Perkawinan merupakan sebuah ikatan yang luhur antara laki-laki dan perempuan dengan melibatkan Tuhan. Pelaksanaan perkawinan di Indonesia mengikuti tata cara agama yang dianut oleh masing-masing orang sehingga tata pelaksanaannya pun beragam. Dalam perkawinan Katolik, perkawinan identik dengan diucapkannya janji perkawinan. Janji perkawinan memuat 3 pokok janji yakni yang pertama setia dalam suka dan duka, untung dan malang serta sehat maupun sakit, yang kedua mencintai dan menghormati pasangan seumur hidup dan yang ketiga mendidik anak-anak yang dipercayakan Tuhan secara Katolik. Tuhan sendirilah yang memeteraikan janji tersebut sehingga dalam perkawinan Katolik tidak ada perceraian sebab yang dipersatukan oleh Tuhan tidak bisa diceraikan manusia. Oleh sebab itu, suami ataupun istri memiliki perannya sendiri-sendiri untuk saling melengkapi satu sama lain.

Hasil akhir menunjukkan bahwa pasutri dengan usia perkawinan 5-15 tahun di Paroki Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran masih kurang baik dalam mewujudkan janji perkawinannya. Walaupun hasil akhir menunjukkan bahwa secara umum mereka lebih banyak yang berusaha mewujudkan, namun kebanyakan persentasenya masih kurang dari 50%. Hasil ini berarti harus dijawab dengan sebuah program pendampingan pasutri yang sesuai dengan keadaan yang mereka alami. Sebenarnya paroki sudah mengusahakan sebuah pendampingan keluarga yakni dengan rekoleksi, namun pendampingan tersebut kurang tepat melihat jumlah pasutri tersebut terlalu banyak dan kesibukan mereka yang beragam.

Mengingat hal itu, penulis menyumbangkan suatu program katekese bagi pasutri dengan usia perkawinan 5-15 tahun di Paroki Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran Daerah Istimewa Yogyakarta.

(10)

ix

This thesis entitles THE REALIZATION OF MARRIAGE VOWS FOR

MARRIAGE COUPLES IN THEIR 5-15 YEAR OF MARRIAGE FOR BUILDING THEIR MARRIAGE UNITY AT SACRED HEART OF JESUS’ PARISH, GANJURAN, YOGYAKARTA. For the newly married couple, marriage vows are still in the process of growing and maturing. Based on this situation, this thesis aims to help the newly married couple to strengthen their marriage vows. The core problem addressed in this thesis is the fact that the marriage vows among the newly marriage couples are not fully realized and actualized in their daily life. Therefore, there is a need for a thorough research which can enclose the facts on this problem. The research conducted in this thesis is meant for achieving the data of the newly married couples’ perspective on the marriage vow that they have professed during the holy matrimony. Further, this thesis also proposes an appropriate model for them.

Marriage is a holy union between a man and a women in God’s present. Marriage in Indonesia follows the religious rites of the couples. In Catholic marriage, marriage is identically related to the profession of marriage vows. Marriage vows have three promises. First, to promise to be a faithful couple in in good times and in bad, in sickness and in health. Second, to love and honor the bride all the days of my life. Third, to raise the children entrusted by God Himself in a Catholic way.

The final result of the research shows that married couple in their 5-15 year of marriage are still struggling to realize their marriage vows in the daily life. Those who are successfully realizing their marriage vows are less than 50 percent. It means that a supportive program is undeniably needed to help them. The parish have been working on this problem by giving accompaniment through recollection. However, this program does not give a satisfying result due to the lack of people who attend this program. Not many couples interest in this program as well.

Seeing this fact, the writer wants to contributeby giving a catechetical program for the married couple in their 5-15 years of marriage at Sacred Heart Parish, Ganjuran Yogyakarta.

(11)

x

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala berkat dan

kasih-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul

PERWUJUDAN JANJI PERKAWINAN PADA PASANGAN SUAMI-ISTRI DENGAN USIA PERKAWINAN 5-15 TAHUN DEMI MENJAGA KEUTUHAN PERKAWINAN DI PAROKI HATI KUDUS TUHAN YESUS GANJURAN, BANTUL, DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA.

Penyusunan skripsi ini berawal dari keprihatinan penulis akan perwujudan

janji perkawinan pada pasutri dengan usia perkawinan 5-15 tahun di Paroki Hati

Kudus Tuhan Yesus Ganjuran. Bertolak dari keprihatinan tersebut, penulis

menyusun skripsi ini dengan maksud agar tingkat perwujudan janji perkawinan

pada pasutri dengan usia perkawinan 5-15 tahun di Paroki Hati Kudus Tuhan

Yesus dapat diketahui dan penulis dapat merekomendasikan jenis pendampingan

yang sesuai berdasarkan situasi konkrit pasutri.

Penulis sungguh berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi para pasutri

terutama pasutri dengan usia perkawinan 5-15 tahun di Paroki Hati Kudus Tuhan

Yesus Ganjuran demi menjaga keutuhan perkawinan melalui perwujudan janji

perkawinan dalam kehidupan perkawinannya.

Skripsi ini berhasil diselesaikan karena peran serta banyak pihak yang

dengan tulus mengulurkan tangannya untuk membantu baik secara langsung

ataupun tidak langsung. Penulis yakin, kemurahan hati banyak pihak yang telah

(12)

xi

bantuan yang telah diterima penulis dalam bentuk apapun, penulis menyampaikan

ucapan terimakasih. Ucapan terimakasih ini khususnya penulis sampaikan kepada:

1. Drs. F.X. Heryatno Wono Wulung, S.J., M.Ed. selaku Kaprodi Ilmu

Pendidikan Kekhususan Pendidikan Agama Katolik Universitas Sanata

Dharma Yogyakarta yang telah memberikan kemudahan dan dukungan pada

penulis dalam menyelesaikan skripsi.

2. Dr. C.B. Kusmaryanto, S.C.J. selaku dosen pembimbing skripsi yang sungguh

sabar, selalu memberikan semangat serta memberikan sumbangan pemikiran

yang sangat berguna bagi penulis dalam menyelesaikan skripsi.

3. Drs. Sumarno Ds., S.J., M.A. selaku dosen pembimbing akademik dan dosen

penguji kedua yang telah dengan senang hati memberikan banyak masukan

yang membangun dan sangat bermanfaat.

4. P. Banyu Dewa H.S., S.Ag., M.Si. selaku dosen penguji yang ketiga yang

berkenan memberikan motivasi dalam penulisan skripsi.

5. Segenap staf dosen dan karyawan prodi IPPAK yang telah memberikan

semangat kepada penulis sehingga penulisan skripsi dapat berjalan lancar.

6. Ibuku tercinta yang dengan sabar menemaniku, mendoakanku, memberikan

semangat dan menjadi tempat mencurahkan segala suka maupun dukaku.

7. Romo Herman Yoseph Singgih Sutoro, Pr selaku Romo Paroki Hati Kudus

Tuhan Yesus Ganjuran yang telah memberikan kesempatan kepada penulis

untuk melakukan penelitian di paroki serta berkenan memberikan masukan

(13)
(14)

xiii

Halaman

HALAMAN JUDUL ... i

HALAM PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv

MOTTO ... v

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi

PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ... vii

ABSTRAK ... viii

ABSTRACT ... ix

KATA PENGANTAR ... x

DAFTAR ISI ... xiii

DAFTAR SINGKATAN ... xviii

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Penulisan ... 1

B. Rumusan Masalah ... 7 C. Tujuan Penulisan ... 8 D. Manfaat Penulisan ... 8 1. Manfaat Teoritis ... 8 2. Manfaat Prakris ... 9 E. Metode Penulisan ... 9 F. Sistematika Penulisan ... 10

BAB II. JANJI PERKAWINAN PASUTRI ... 13

A. Perkawinan ... 13

1. Perkawinan Secara Umum ... 13

2. Perkawinan Katolik ... 14

3. Tujuan Perkawinan ... 16

4. Ciri-ciri Hakiki Perkawinan... 18

(15)

xiv

a. Perkawinan sakramen ... 22

b. Perkawinan non sakramen ... 23

B. Janji Perkawinan ... 24

1. Rumusan Janji Perkawinan ... 24

2. Makna Janji Perkawinan ... 27

a. Setia dalam untung dan malang, dalam suka dan duka, di waktu sehat dan sakit, dengan segala kekurangan dan kelebihan ... 27

b. Selalu mencintai dan menghormati sepanjang Hidup ... 30

c. Bersedia menjadi Bapak/Ibu yang baik serta mendidik anak-anak yang dipercayakan Tuhan secara Katolik ... 32

C. Perwujudan Janji Perkawinan ... 33

1. Arti Perwujudan Janji Perkawinan ... 34

2. Arah Perwujudan Janji Perkawinan ... 35

a. Menyadari, menghayati serta menghidupi peran sebagai seorang suami ataupun istri ... 35

b. Membangun komunikasi yang baik antara suami-istri ... 39

c. Menjadi anugerah bagi pasangan ... 40

3. Tujuan Perwujudan Janji Perkawinan ... 43

4. Pentingnya Usaha Perwujudan Janji Perkawinan ... 45

a. Faktor intern ... 45

b. Faktor ekstern ... 46

5. Manfaat Perwujudan Janji Perkawinan ... 47

D. Keutuhan Keluarga ... 48

1. Pengertian Utuh ... 48

2. Pengertian Keutuhan Keluarga ... 49

BAB III. PASANGAN SUAMI ISTRI DENGAN USIA PERKAWINAN 5-15 TAHUN DIPAROKI HATI KUDUS TUHAN YESUS GANJURAN ... 50

(16)

xv

2. Letak Geografis Paroki ... 57

3. Situasi Umum Umat Paroki ... 58

a. Situasi sosial ... 58

b. Situasi relasional ... 58

c. Situasi ekonomi ... 59

4. Pembagian Wilayah dan Lingkungan ... 60

5. Gambaran Umum mengenai keluarga dengan Usia Perkawinan 5-15 Tahun ... 62

B. Metodologi Penelitian ... 63

1. Penelitian ... 63

2. Latar Belakang Penelitian ... 64

3. Tujuan Penelitian ... 64

4. Jenis Penelitian ... 65

5. Metode Penelitian ... 65

6. Instrumen Penelitian ... 66

7. Responden Penelitian... 67

8. Tempat dan Waktu Penelitian ... 68

9. Variabel ... 68

C. Hasil Penelitian ... 69

1. Janji Perkawinan ... 70

2. Pasutri dengan Usia Perkawinan 5-15 Tahun di Paroki Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran ... 75

3. Keutuhan Perkawinan ... 79

D. Kesimpulan Hasil Penelitian... 81

1. Perwujudan Janji Perkawinan ... 80

2. Pasutri dengan usia perkawinan 5-15 tahun di Paroki Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran ... 85

3. Keutuhan Perkawinan ... 88

E. Refleksi Kritis Perwujudan Janji Perkawinan pada Pasutri dengan Usia Perkawinan 5-15 Tahun di Paroki Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran ... 90

(17)

xvi

a. Kebebasan Memilih Pasangan dan Rasa Cinta

terhadap Pasangan ... 90

b. Kesetiaan dalam Untung dan, Suka dan Duka, Sehat Maupun Sakit ... 92

c. Kesatuan antara Suami-istri ... 94

d. Perwujudan Cinta dan Menghormati Pasangan ... 95

e. Menjadi Orangtua yang Baik ... 97

2. Pasutri dengan Usia Perkawinan 5-15 tahun di Gereja Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran ... 99

a. Kebiasaan Pasutri di rumah ... 99

b. Kebiasaan Pasutri di Lingkungan ... 102

c. Kebiasaan Pasutri di Paroki ... 102

F. Keutuhan Perkawinan ... 103

1. Hubungan antar Keluarga ... 103

2. Perhatian untuk Mengutamakan Keluarga... 104

BAB. IV USULAN PROGRAM PENDAMPINGAN KELUARGA KATOLIK PAROKI HATI KUDUS TUHAN YESUS GANJURAN ... 106

A. Latar Belakang Penyusunan Program ... 106

B. Katekese ... 107

C. Usulan Program ... 108

D. Rumusan Tema dan Tujuan ... 110

E. Penjabaran Program ... 111

F. Contoh Pelaksanaan Program Pendampingan Pasutri dengan Usia Perkawinan 5-15 Tahun di Paroki HKTY Ganjuran Bantul ... 114 1. Identitas... 114 2. Pemikiran dasar ... 115 3. Pengembangan langkah-langkah ... 116 BAB. V PENUTUP ... 128 A. Kesimpulan ... 128 B. Saran ... 130

(18)

xvii

2. Bagi para Pendamping Keluarga di Paroki Hati Kudus

Tuhan Yesus Ganjuran ... 131

a. Keterlibatan secara umum ... 132

b. Keterlibatan secara khusus ... 132

3. Bagi Romo Paroki... 133

a. Keterlibatan secara umum ... 133

b. Keterlibatan secara khusus ... 133

4. Bagi Para Pasutri dengan Usia Perkawinan 5-15 Tahun .. 134

DAFTAR PUSTAKA ... 135

LAMPIRAN ... 137

Lampiran 1: Surat Permohonan Ijin Penelitian pada Romo Paroki ... (1)

Lampiran 2: Surat Permohonan Ijin Penelitian pada Ketua Lingkungan ... (2)

Lampiran 3: Surat Bukti Melaksanakan Penelitian ... (3)

Lampiran 4: Pedoman Wawancara dengan Ketua Dewan Paroki ... (4)

Lampiran 5: Rangkuman Hasil Wawancara dengan Ketua Dewan Paroki ... (5)

Lampiran 6: Contoh Kuesioner untuk Penelitian ... (7)

Lampiran 7: Contoh Hasil Kuesioner ... (10)

Lampiran 8: Kumpulan Lagu... (13)

(19)

xviii

A. Singkatan Kitab Suci

Seluruh singkatan Kitab Suci dalam skripsi ini mengikuti Kitab Suci

Perjanjian Baru: dengan Pengantar dan Catatan Singkat (Dipersembahkan

kepada Umat Katolik Indonesia dan Ditjen Bimas Katolik Departemen

Agama Republik Indonesia dalam rangka PELITA IV). Ende: Arnoldus,

1984/1985, hal. 8.

B. Singkatan Dokumen Resmi Gereja

CT : Catechesi Tradendae, Anjuran Apostolik Paus Yohanes

Paulus II kepada uskup, klerus, dan segenap umat beriman

tentang katekese masa kini, 16 Oktober 1979.

FC : Familiaris Consortio, Anjuran Apostolik Paus Yohanes

Paulus II kepada para uskup, klerus, dan segenap umat

beriman seluruh Gereja Katolik tentang peranan Keluarga

Kristen dalam dunia modern, 22 November 1981.

GS : Gaudium et Spes, Konstitusi Pastoral Konsili Vatikan II

tentang Gereja di Dunia Dewasa Ini, 7 Desember 1965.

KHK : Kitab Hukum Kanonik (Codex Iuris Canonici), diundangkan

oleh Paus Yohanes Paulus II tanggal 7 Desember 1983.

(20)

xix

Youcat : Youcat Indonesia-Katekismus Populer, disahkan oleh Paus Benedictus XVI, tahun 2010. Dokumen asli diteritkan tahun

2010, R.D. Yohanes Dwi Harsanto, dkk. (Penerjemah).

C. Singkatan Lain

Art : Artikel

CB : Carolus Boromeus CU : Credit Union Dll : Dan lain-lain

DPA : Dosen Pembimbing Akademik Dr : Doktor

Hal : Halaman

HKTY : Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran Ir : Insinyur

Kan : Kanon

KAS : Keuskupan Agung Semarang KB : Keluarga Berencana

KBBI : Kamus Besar Bahasa Indonesia KK : Kepala Keluarga

Km : Kilo meter

(21)

xx Pasutri : Pasangan suami-istri

PHK : Pemutusan Hubungan Kerja PNS : Pegawai Negri Sipil

POLRI : Kepolisian Republik Indonesia PPK : Pedoman Pastoral Keluarga Rm : Romo

SD : Sekolah Dasar SJ : Serikat Jesus

SMA : Sekolah Menengah Atas Sr : Suster

St : Santo/Santa

TNI : Tentara Nasional Indonesia UU : Undang-undang

(22)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Penulisan

Perkawinan dapat dilihat secara umum maupun secara khusus, secara

umum KWI (2011, 6) mengatakan “Perkawinan adalah ikatan lahir-batin antara

seorang laki-laki dan seorang perempuan sebagai suami istri dengan tujuan

membentuk keluarga, melahirkan anak, membangun hidup kekerabatan yang

bahagia dan sejahtera”. Perkawinan juga dapat dilihat secara khusus melalui kacamata agama-agama yang ada. Secara Kristiani perkawinan merupakan sebuah

konsensus atau kesepakatan. Selain itu perkawinan adalah salah satu wujud

panggilan umat beriman Kristiani yang berasal dari Allah sendiri. Melalui

perkawinan, seorang laki-laki dan seorang perempuan dipersatukan. Pemahaman

ini selaras dengan arti dari kesepakatan perkawinan dalam KHK, kan. 1057 §2

yang mengatakan bahwa “Kesepakatan perkawinan adalah tindakan kehendak

dengannya seorang laki-laki dan seorang perempuan saling menyerahkan diri dan

menerima untuk membentuk perkawinan dengan perjanjian yang tak dapat ditarik

kembali”. Maka di dalam perkawinan ini terdapat janji yang mengikat dan mempersatukan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan. Janji yang

mengingkat seorang laki-laki dan seorang perempuan ini tidak dapat diputuskan

karena melalui janji ini seorang laki-laki dan seorang perempuan dipersatukan

(23)

suka dan duka, untung dan malang, sehat maupun sakit serta menerima

kekurangan dan kelebihan pasangan; mencintai dan menghormati seumur hidup;

menjadi ayah/ibu yang baik untuk anak-anak yang dipercayakan oleh Tuhan

dengan mendidik anak secara Katolik.

Janji perkawinan bersifat mengikat seumur hidup sehingga tidak selesai

begitu saja ketika seorang laki-laki dan seorang perempuan mengucapkannya saat

saling menerimakan sakramen perkawinan ataupun saat pemberkatan perkawinan.

Janji ini terus melekat pada suami-istri sampai selama-lamanya. Karena janji ini

terus melekat, maka harus selalu dihidupi dalam penyelenggaraan hidup

perkawinan sepasang suami-istri. Untuk menghidupi janji perkawinan inilah yang

tidak mudah, karena jika sebuah perkawinan diibaratkan seperti sebuah bahtera

pasti akan ada banyak badai dan gelombang yang melandanya. Oleh sebab itulah,

maka perkawinan merupakan sebuah komitmen yang sangat penting (Smalley,

2008: 11).

Banyaknya badai yang melanda sebuah bahtera rumah tangga sangat

berpengaruh terhadap penghayatan ataupun pemaknaan terhadap janji perkawinan

yang pernah diucapkan sewaktu saling menerimakan sakramen

perkawinan/pemberkatan perkawinan. Ada fase-fase/masa-masa dalam

perkawinan berdasarkan usia perkawinan yang sudah dijalani. Pasutri (pasangan

suami-istri) yang belum lama berumah tangga (0-5 tahun) biasanya berada dalam

fase/masa romantis dengan cinta yang masih berkobar. Usia perkawinan antara

0-5 tahun berdasarkan materi kursus persiapan perkawinan berada dalam masa yang

(24)

tangga yang dapat terlihat, antara lain: semua hal dalam rumah tangga dikerjakan

secara bersama-sama, hal buruk/sifat buruk yang dimiliki sebisa mungkin tidak

ditampakkan, semua masalah dapat diselesaikan dengan cepat, setiap hari bercinta

dan bermesraan, berusaha menjadikan pasangan sesuai dengan yang diinginkan,

selalu saling memahami kekurangan apapun yang dimiliki pasangan. Berbeda

dengan pasutri yang usia perkawinannya berada pada tahun ke-6 hingga ke-25,

pada masa ini pasutri biasanya masuk pada fase kekecewaan hingga kebosanan.

Pasutri dengan usia perkawinan 6-25 tahun harus benar-benar merefleksikan

segala yang dialami dan selalu berpedoman pada janji perkawinan yang mereka

ucapkan karena ketika tidak bisa bersikap bijaksana sebagai seorang suami

maupun istri, bahtera rumah tangga yang telah dibangun bisa hancur menabrak

karang dan karam. Sedangkan pasutri yang berada pada usia perkawinan di atas

25 tahun biasanya sudah masuk dalam masa berhasil mengatasi situasi yang

kurang baik (KWI, 2011: 77-78).

Janji perkawinan selalu berlaku dalam situasi dan kondisi apapun,

termasuk dalam kondisi perkawinan yang sedang mengalami surut. Janji

perkawinan menuntun setiap pasangan suami-istri dalam menghidupi

perkawinannya. Keegoisan yang terbangun di saat masing-masing pribadi masih

lajang sering dibawa dan diterapkan dalam situasi hidup berumah tangga yang

tentu saja tidak tepat. Hal-hal semacam inilah yang sering menjadi bibit-bibit

perpecahan dalam kesatuan antara suami dan istri. Salah satu upaya untuk

mengatasinya adalah dengan membangun sikap mau mengerti dan mau menerima

(25)

rela hati merupakan salah satu upaya terhindar dari konflik (Tim Pusat

Pendampingan Keluarga “Brayat Minulyo” KAS, 2007: 75).

Janji perkawinan diibaratkan seperti kerangka dalam menulis sebuah

karangan dan kerangka dalam membangun sebuah bangunan. Ketika seorang

penulis menulis di luar kerangka yang telah dibuat, maka tulisan tersebut tidak

akan menjadi indah. Sama halnya seorang tukang bangunan yang hendak

membangun sebuah rumah, ketika ia membangun rumah itu di luar kerangkanya,

maka rumah itu tidak akan kokoh. Dalam sebuah perkawinan, janji adalah

kerangka yang menjadi gambaran dalam menjalani sebuah perkawinan. Perubahan

zaman yang sangat cepat mengakibatkan pola hidup juga berubah. Di zaman yang

serba modern dan cepat ini mengakibatkan gaya hidup instan menjadi gaya hidup

yang “ngetren” dan banyak dianut oleh masyarakat modern. Zaman yang semakin

canggih ini membawa berbagai macam tantangan zaman dan mempengaruhi

tingkah laku banyak orang termasuk di dalamnya pasutri yang membina biduk

perkawinan. Hal ini selaras dengan yang ada dalam FC, art.4 yang berbunyi:

Perlu ditambahkan refleksi lebih lanjut yang secara khas penting bagi masa kini. Tidak jarang berbagai ide dan pemecahan soal yang menarik sekali, tetapi dengan kadar yang berbeda-beda mengeruhkan kebenaran tentang pribadi manusia serta martabatnya, disajikan kepada pria maupun wanita zaman sekarang, sementara mereka secara tulus dan mendalam mencari jawaban soal-soal harian yang penting berkenaan dengan hidup pernikahan dan keluarga mereka. Kerap kali pandangan-pandangan itu didukung oleh koordinasi media komunikasi sosial yang besar dampak-pengaruhnya dan cukup “meyakinkan”, tetapi secara halus membahayakan kebebasan dan kemampuan menilai secara obyektif.

Tantangan zaman yang ada saat ini tidak secara nyata menampakkan diri namun

menempel dalam hal-hal yang kelihatannya baik dan dengan cerdik mengambil

(26)

kelihatannya benar. Ketika seseorang tidak dapat mengendalikan diri dan hanyut

dalam tantangan-tantangan zaman tersebut maka akan menyebabkan kehidupan

seseorang tidak akan mendalam lagi dan akan mempengaruhi seluruh aspek

kehidupannya, termasuk kehidupan perkawinannya.

Dari hasil observasi dapat diketahui bahwa Paroki HKTY (Hati Kudus

Tuhan Yesus Ganjuran) adalah sebuah paroki yang besar, tidak hanya wilayahnya

namun juga jumlah umatnya sangat besar. Di antara jumlah umat yang besar ini,

sebagian besar di antaranya memilih panggilan hidup berumah tangga. Paroki Hati

Kudus Tuhan Yesus Ganjuran merupakan sebuah Paroki yang umatnya sudah

bergaya hidup modern dan rentan terseret dalam tantangan zaman sehingga pada

akhirnya bisa membawa dampak yang negatif pada kehidupan perkawinan

terlebih perkawinan yang masuk dalam fase/masa yang banyak mengalami

kekecewaan serta kebosanan. Akibat yang lebih buruk lagi dapat mengakibatkan

keretakan ataupun kehancuran dalam hidup perkawinan. Berdasarkan observasi

yang dilakukan dapat diketahui adanya gejala perilaku pasutri dengan usia

perkawinan 5-15 tahun yang bisa menjadi bibit-bibit permasalahan hidup berumah

tangga dan mengancam keutuhan perkawinan. Gejala perilaku ini misalnya seperti

tidak pernah pergi ke gereja bersama, sibuk dengan masing-masing pekerjaan,

tidak adanya waktu makan bersama, dll. Usia perkawinan ini (6-15 tahun) masuk

dalam fase/masa krisis, sedangkan secara khusus usia perkawinan 5 tahun di

Paroki HKTY masuk dalam masa peralihan dari masa romantis menuju masa

krisis. Gereja (khususnya sebagai katekis ataupun calon katekis) mempunyai tugas

(27)

bahwa “Semua orang beriman Kristiani sesuai dengan kedudukan khasnya, harus

mengerahkan tenaganya untuk menjalani hidup yang kudus dan memajukan

perkembangan Gereja serta pengudusannya yang berkesinambungan”. Dari pernyataan tersebut dapat diketahui bahwa setiap orang beriman Kristiani pada

dasarnya memiliki tanggung jawab yang tidak mudah untuk selalu menjalani

hidup yang kudus dan memajukan perkembangan Gereja serta pengudusannya. Ini

berarti kekhasan kedudukan setiap orang beriman Kristiani apapun itu harus

dihidupi dan dibawa serta diarahkan untuk perkembangan Gereja. Kekhasan

kedudukan setiap umat beriman Kristiani ini menyangkut segala profesi yang

dijalani termasuk sebagai seorang katekis maupun calon seorang katekis. Sebagai

calon seorang katekis berarti harus mampu menghayati dan menghidupi

panggilannya. Cara untuk menghidupi panggilan ini bermacam-macam salah

satunya dengan terlibat dalam perkembangan Gereja. Hal yang mendesak

berdasarkan pengamatan yang dilakukan adalah adanya gejala-gejala perilaku

pasutri (5-15 tahun) yang perlu mendapatkan perhatian khusus.

Berpijak dari pemikiran inilah, perhatian khusus bagi pasutri yang usia

perkawinannya 5-15 tahun harus segera diwujudkan secara nyata. Untuk

mewujudkan perhatian ini tidaklah mudah terlebih untuk menentukan perhatian

apa yang paling tepat bagi mereka karena gambaran kehidupan perkawinan

mereka terlebih dalam menghayati janji perkawinan belum bisa dilihat dengan

pasti. Untuk melihat gambaran perkawinan pasutri dengan usia perkawinan 5-15

tahun ini diperlukan sebuah penelitian. Melalui skripsi ini diharapkan ada sebuah

(28)

dilakukan pasutri dengan usia perkawinan 5-15 tahun di Paroki HKTY yang

selama ini sudah terjadi sehingga perhatian pada pasutri dengan usia perkawinan

5-15 tahun bisa segera diwujudkan atau bisa lebih ditingkatkan dan disesuaikan

dengan kebutuhan mereka sehingga keutuhan perkawinan akan tercapai. Keutuhan

perkawinan inilah yang membawa kebahagiaan dalam hidup berkeluarga. Oleh

karena itu penulis mengangkat judul skripsi PERWUJUDAN JANJI PERKAWINAN PADA PASANGAN SUAMI-ISTRI DENGAN USIA

PERKAWINAN 5-15 TAHUN DEMI MENJAGA KEUTUHAN

PERKAWINAN DI PAROKI HATI KUDUS TUHAN YESUS GANJURAN, BANTUL, DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka masalah dalam hal ini dapat

diidentifikasikan sebagai berikut:

1. Apa yang dimaksud dengan janji perkawinan?

2. Bagaimana kehidupan pasutri dengan usia perkawinan 5-15 tahun di Paroki

HKTY Ganjuran?

3. Bagaimana usaha pasutri dengan usia perkawinan 5-15 tahun di Paroki HKTY

Ganjuran dalam mewujudkan janji perkawinan?

4. Kegiatan seperti apa yang dapat membantu pasutri dengan usia perkawinan

5-15 tahun di Paroki HKTY Ganjuran dalam mewujudkan janji perkawinan

(29)

C. Tujuan Penulisan

Tujuan yang hendak dicapai dari penelitian ini berdasarkan judulnya

“Perwujudan Janji Perkawinan pada Pasangan Suami-Istri dengan Usia Perkawinan 5-15 Tahun Demi Menjaga Keutuhan Perkawinan di Paroki Hati

Kudus Tuhan Yesus Ganjuran, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta” yaitu:

1. Mendalami maksud janji perkawinan

2. Menggambarkan bagaimana kehidupan pasutri dengan usia 5-15 tahun di

Paroki HKTY Ganjuran.

3. Menggambarkan sejauh mana perwujudan janji perkawinan serta

mengidentifikasi masalah-masalah yang terjadi pada pada pasutri dengan usia

perkawinan 5-15 tahun di Paroki HKTY Ganjuran.

4. Memberikan usulan program yang berupa kegiatan pendampingan pada

pasutri dengan usia perkawinan 5-15 tahun di Paroki HKTY Ganjuran agar

pasutri dengan usia perkawinan 5-15 tahun (keluarga madya) semakin mampu

mewujudkan janji perkawinan mereka.

D. Manfaat Penulisan

1. Manfaat Teoristis

Hasil penelitian mengenai “Perwujudan Janji Perkawinan pada Pasangan Suami-Istri dengan Usia Perkawinan 5-15 Tahun demi Menjaga Keutuhan

Perkawinan di Paroki Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran, Bantul, Daerah

(30)

mengenai penghayatan janji perkawinan pada pasutri, khususnya pasutri dengan

usia perkawinan 5-15 tahun.

2. Manfaat Praktis

a. Menambah wawasan dan pengetahuan bagi penulis tentang pentingnya

perwujudan janji perkawinan dalam hidup berumah tangga.

b. Membantu pasutri (khususnya pasutri dengan usia perkawinan 5-15 tahun)

yang berada dalam Paroki HKTY Ganjuran untuk menyadari pentingnya

mewujudkan janji perkawinan dalam hidup berumah tangga.

c. Memberikan sumbangan pada Paroki HKTY Ganjuran agar para penggembala

umat di sana dapat memiliki gambaran mengenai program yang sesuai untuk

pendampingan pasutri dengan usia perkawinan 5-15 tahun.

E. Metode Penulisan

Dalam tugas akhir ini penulis menggunakan metode penulisan

deskriptif-analisis. Teknis dalam penggunaan metode ini pertama-tama penulis hendak

mendalami perkawinan secara Katolik beserta janji yang diucapkan, lalu menggali

perwujudan janji perkawinan pada pasutri dengan usia perkawinan 5-15 tahun di

Paroki HKTY Ganjuran. Penulis ingin mengetahui sejauh mana janji perkawinan

itu diwujudkan oleh pasutri dan hambatan-hambatan apa sajakah yang sering

ditemui dalam mewujudkan janji perkawinan terutama pada pasutri dengan usia

perkawinan 5-15 tahun di Paroki HKTY Ganjuran. Setelah itu, berpedoman pada

(31)

yang menjawab kebutuhan pasutri dengan usia perkawinan 5-15 tahun di Paroki

HKTY Ganjuran, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta sesuai dengan keadaan

dan kesibukannya.

F. Sistematika Penulisan

Untuk memperoleh gambaran yang lebih jelas mengenai skripsi yang

hendak ditulis, maka penulis membagi pokok-pokok tulisan sebagai berikut:

Bab I berisi Pendahuluan yang terdiri dari Latar Belakang Masalah,

Rumusan Masalah, Tujuan Penulisan, Manfaat Penulisan, Metode Penulisan, dan

Sistematika Penulisan.

Bab II menguraikan tentang Janji Perkawinan yang di dalamnya terdiri

dari lima bagian yaitu yang pertama adalah Perkawinan, diuraikan lagi menjadi

Perkawinan secara Umum, Perkawinan Katolik, Tujuan Perkawinan, Ciri-ciri

Hakiki Perkawinan, Hakikat Perkawinan, Perkawinan yang Sakramen dan Non

Sakramen. Kedua adalah Janji Perkawinan, diuraikan lagi menjadi Rumusan Janji

Perkawinan, Makna Janji Perkawinan. Ketiga adalah Perwujudan Janji

Perkawinan, diuraikan lagi menjadi Arti Perwujudan Janji Perkawinan, Arah

Perwujudan Janji Perkawinan, Tujuan Perwujudan Janji Perkawinan, Pentingnya

Usaha Mewujudkan Janji Perkawinan, Manfaat Mewujudkan Janji Perkawinan.

Keempat adalah Keutuhan Keluarga, diuraikan lagi menjadi Keutuhan, Keutuhan

Keluarga.

Bab III menguraikan tentang Pasangan Suami-istri dengan Usia

(32)

dari lima bagian, yang pertama adalah Paroki Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran

Yogyakarta, diuraikan lagi menjadi Sejarah Paroki, Letak Geografis Paroki,

Situasi Umum Umat Paroki, Pembagian Wilayah dan Lingkungan, Gambaran

Umum mengenai Pasutri dengan Usia Perkawinan 5-15 Tahun. Kedua adalah

Hasil Penelitian, diuraikan lagi menjadi Penelitian, Latar Belakang Penelitian,

Tujuan Penelitian, Jenis Penelitian, Metode Penelitian, Instrument Penelitian,

Responden Penelitian, Tempat dan Waktu Pelaksanaan, Variabel. Ketiga adalah

Hasil Penelitian, diuraikan lagi menjadi Janji Perkawinan, Pasutri dengan Usia

Perkawinan 5-15 Tahun di Paroki Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran, dan

Keutuhan Perkawinan. Keempat adalah Kesimpulan Hasil Penelitian, diuraikan

lagi menjadi Janji Perkawinan, Pasutri dengan Usia Perkawinan 5-15 Tahun di

Paroki Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran, dan Keutuhan Perkawinan. Kelima

adalah Refleksi Kritis Perwujudan Janji Perkawinan Pada Pasutri dengan Usia

Perkawinan 5-15 Tahun di Paroki Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran Janji

Perkawinan, diuraikan lagi menjadi Perwujudan Janji Perkawinan, Pasutri dengan

Usia Perkawinan 5-15 Tahun di Paroki Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran dan

Keutuhan Perkawinan.

Bab IV berisi tentang Usulan Program Pendampingan Keluarga Katolik

Paroki Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran yang terbagi dalam enam bagian.

Pertama adalah Latar Belakang Penyusunan Program, kedua adalah Katekese,

ketiga adalah Usulan Program, keempat adalah Rumusan Tema dan Tujuan,

(33)

Pendampingan Pasutri dengan usia perkawinan 5-15 tahun di Paroki Hati Kudus

Tuhan Yesus Ganjuran Bantul Yogyakarta.

Bab VI berisi tentang Penutup yang terdiri dari tiga bagian, yang pertama

adalah Kesimpulan. Kedua adalah Saran yang masih dibagi lagi menjadi Bagi

Para Pendamping, Keluarga pada Umumnya, Bagi Para Pendamping Keluarga di

Paroki Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran, Bagi Romo Paroki, Bagi Para

Pasangan Suami-istri dengan Usia Perkawinan 5-15 Tahun. Ketiga adalah

(34)

BAB II

JANJI PERKAWINAN PASUTRI

A. Perkawinan

1. Perkawinan secara Umum

Secara umum perkawinan bertujuan menyatukan dua pribadi untuk

membentuk sebuah keluarga baru yang bahagia dan juga sejahtera. Hal senada

dengan UU NO.1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN yang berbunyi

“Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami-istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang

bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Hal ini berarti perkawinan secara umum dilihat sebagai ikatan lahir batin (persatuan) antara pria

dan seorang wanita dalam segala segi kehidupannya baik secara lahir ( kelihatan)

ataupun batin (tidak kelihatan). Kesatuan ini juga menerangkan kesatuan seluruh

pribadi dan seluruh hidup. Dari pernyataan ini juga dapat kita lihat dengan jelas

bahwa di Negara Indonesia hanya mengakui perkawinan yang dilangsungkan

antara seorang laki-laki dan seorang perempuan serta tidak mengakui adanya

perkawinan homogen antara sesama jenis kelamin. Perkawinan di Indonesia juga

akan menjadi sah bila dilangsungkan berdasarkan tata cara agama pelaku

perkawinan (Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, Kong Hu Chu). Bahagia dan

kekal berarti tujuan dari perkawinan itu adalah kebahagiaan dan sifat dari

perkawinan itu adalah kekal/seumur hidup. Arti kekal lebih luas lagi sebenarnya

(35)

2. Perkawinan Katolik

Sejak kapankah perkawinan itu ada di dalam Gereja Katolik? Pertanyaan

ini memiliki jawaban yang tidak sederhana karena kita harus melihat kembali

kisah penciptaan dalam Kitab Kejadian Kitab Suci Perjanjian Lama. Dari kisah

penciptaan Kej 2:21-22 ditulis:

Lalu TUHAN Allah membuat manusia itu tidur nyenyak; ketika ia tidur, TUHAN Allah mengambil salah satu rusuk dari padanya, lalu menutup tempat itu dengan daging. Dan dari rusuk yang diambil TUHAN Allah dari manusia itu, dibangun-Nyalah seorang perempuan, lalu dibawa-Nya kepada manusia itu.

Dari perikop tersebut dapat diambil sebuah kesimpulan bahwa dari sejak semula

laki-laki dan perempuan diciptakan sebagai satu daging. Perempuan diciptakan

dari tulang rusuk laki-laki sehingga memang ada kesatuan antara laki-laki dan

perempuan. Kesatuan itulah yang membuat laki-laki dan perempuan saling

membutuhkan. Tuhan Allah menciptakan perempuan sebagai patner yang

seimbang untuk laki-laki. Laki-laki dan perempuan saling melengkapi dalam

melaksanakan kehidupan sesuai dengan kodradnya yang khas, fungsi ini sama

dengan fungsi kesatuan antara laki-laki dengan perempuan dalam perkawinan

Katolik yang kita kenal saat ini. Bedanya jika kesatuan antara laki-laki dan

perempuan dalam kisah penciptaan lebih difungsikan sebagai teman dalam

melaksanakan kehidupan yang paling mendasar (mempertahankan hidup dan

merawat ciptaan Tuhan), sedangkan kesatuan antara seorang laki-laki dan seorang

perempuan saat ini mencakup segala segi kehidupan yang lebih luas sesuai dengan

perkembangan zaman (di dalamnya mencakup kewajiban mendidik anak dan

(36)

Perkawinan merupakan sebuah kesepakatan, hal ini selaras dengan KHK,

kan. 1057 § 2 “Kesepakatan perkawinan adalah tindakan kehendak dengannya

seorang laki-laki dan seorang perempuan saling menyerahkan diri dan menerima

untuk membentuk perkawinan dengan perjanjian yang tak dapat ditarik kembali”. Jadi jelaslah bahwa perkawinan merupakan sebuah kesepakatan yang di dalamnya

terdapat penyerahan diri antara seorang laki-laki dan seorang perempuan serta

sikap terbuka untuk saling menerima kehadiran pasangan seluruhnya tanpa syarat

dalam hidup perkawinan dengan perjanjian yang tidak dapat dibatalkan

lagi/ditarik lagi. Perjanjian ini tidak dapat ditarik kembali sebab menyangkut 3

pihak yakni seorang laki-laki, seorang perempuan dan Allah sendiri yang menjadi

pengikat perjanjian tersebut. Karena alasan ini pula perkawinan Katolik

merupakan sebuah proses yang panjang mulai dari masa persiapan, pelaksanaan

hingga pasca perkawinan. Hal ini juga senada dengan yang ada dalam GS, art. 48

yang berbunyi:

Allah sendirilah penyelenggara perkawinan yang dilengkapi dengan berbagai nilai dan tujuan …. Cinta kasih suami istri yang sejati diangkat sebagai sakramen dalam cinta kasih ilahi dan dipimpin serta diperkaya oleh daya penyelamat Kristus dan karya keselamatan Gereja, agar suami istri diantar kepada Allah untuk mendapatkan kasih karunia dan kekuatan dalam tugas luhur sebagai ayah dan ibu.

Jadi penyelenggara perkawinan adalah Allah sendiri, perkawinan yang didasari

cinta kasih ini oleh Allah diangkat dalam cinta kasih yang ilahi, cinta kasih yang

ilahi adalah cinta kasih yang paling tinggi dan sempurna. Dalam perkawinan

Katolik, Kristus sendirilah yang memimpin dan menuntun perkawinan. Dia

melengkapi celah-celah dalam perkawinan, selain daya Kristus, karya

(37)

jawaban yang luhur manusia terhadap panggilan Allah. Dari sejak dahulu

perkawinan merupakan sebuah hal yang sakral dan harus selalu dihayati dan

dihidupi. Banyak perikop di dalam Kitab Suci yang berbicara mengenai

perkawinan. Dalam Injil Yoh 15:9-12, ada sebuah pesan inti yang sangat baik

yakni “Inilah perintah-Ku, yaitu supaya kamu saling mengasihi, seperti Aku telah

mengasihi kamu”. Kasih sangat dekat dengan hubungan suami-istri dalam

perkawinan. Kasih pulalah yang menjadi dasar bagi kehidupan orang Kristiani.

Selain Injil Yohanes masih ada banyak perikop lain yang berbicara mengenai

perkawinan.

Perkawinan Katolik memiliki kekhasan yang menyebabkannya berbeda

dengan perkawinan pada umumnya. Kekhasan ini adalah perkawinan Katolik

diteguhkan dalam tata-peneguhan kanonik (forma canonica) dan perkawinan

Katolik merupakan sebuah sakramen.

3. Tujuan Perkawinan

Sebuah hal dilakukan pasti memiliki sebuah tujuan tertentu. Misalnya saja

sebuah organisasi dibangun dengan merumuskan tujuan organisasi yang hendak

dicapainya dan yang menjadi alasan mengapa organisasi tersebut ada. Hal ini

tidak berbeda dengan sebuah perkawinan. Perkawinan diselenggarakan karena ada

tujuan tertentu yang hendak dicapai. KHK, kan. 1055 mengatakan bahwa:

§1. Perjanjian (feodus) perkawinan, dengannya seorang laki-laki dan seorang perempuan membentuk antara mereka persekutuan (consortium)

seluruh hidup, yang menurut ciri kodratinya terarah pada kesejahteraan suami-istri (bonum coniugum) serta kelahiran dan pendidikan anak, antara orang-orang yang dibabtis, oleh Kristus Tuhan diangkat ke martabat sakramen.

(38)

Jadi pada intinya, perkawinan itu memiliki tiga tujuan yang utama yakni

kesejahteraan suami-istri (bonum coniugum), terbuka terhadap keturunan

(prokreasi) serta pendidikan anak. Bonum coniugum atau kesejahteraan

suami-istri dapat tercapai jika masing-masing pribadi menghargai dan menempatkan

pasangan hidup sebagai patner cinta kasih dalam mewujudkan keluarga yang baik

dan harmonis. Kesejahteraan suami istri ini berlandaskan cinta kasih yang

semakin hari hendaknya semakin diteguhkan dan semakin dipupuk agar tumbuh

subur. Menjadi suami-istri berarti menjadi satu pribadi sehingga hendaknya

masing-masing pribadi bisa menjadi belahan jiwa bagi pasangannya. Bonum

prolis adalah kelahiran baru/terbuka terhadap keturunan. Dalam sebuah

perkawinan Katolik, suami-istri memiliki tugas yang luhur untuk melestarikan

kehidupan dengan terbuka terhadap kelahiran baru. Terbuka terhadap keturunan

inilah yang menjadi alasan utama Gereja menolak alat kontrasepsi dalam wujud

apapun. Gereja hanya melegalkan KB alamiah berdasarkan siklus alami

perempuan. Tujuan perkawinan dalam Gereja Katolik tidak berhenti pada

kelahiran baru. Perkawinan yang terbuka bagi kelahiran manusia baru tersebut

harus pula disertai dan dilanjutkan dengan pendidikan anak sebab keluarga adalah

tempat yang pertama dan utama dalam mendidik anak. Sebelum anak berinteraksi

dengan dunia luar, ia berinteraksi terlebih dahulu dengan keluarganya. Keluarga

merupakan instansi pendidikan non formal yang memberikan jati diri pada anak

untuk dibawa hingga mati. Keluargalah yang paling banyak membentuk pribadi

dan kualitas pribadi seorang anak. Sebuah keluarga yang menanamkan nilai kasih

(39)

akan dibagikannya pada setiap pergaulannya. Hal tersebut juga berlaku untuk

sikap-sikap negatif yang mungkin dibentuk oleh keluarga pada seorang anak.

4. Ciri-ciri Hakiki Perkawinan

Perkawinan Katolik adalah sebuah perkawinan yang khas terlebih dilihat

dari ciri-ciri hakikinya. Kekhasan inilah yang membedakan perkawinan Katolik

dengan perkawinan lain dan menyebabkan perkawinan Katolik tidak bisa

dibandingkan dengan perkawinan lain. Kekhasan perkawinan Katolik ini

diungkapkan dalam KHK, kan.1056 yang berbunyi “Ciri-ciri hakiki (proprietates)

perkawinan ialah unitas (kesatuan) dan indissolubilitas (sifat

tak-dapat-diputuskan), yang dalam perkawinan kristiani memperoleh kekukuhan khusus atas

dasar sakramen". Jadi, ciri-ciri perkawinan Katolik adalah unitas dan

indissolubilitas. Ciri-ciri perkawinan ini bisa dijabarkan kembali menjadi

monogami, tak terceraikan dan terbuka bagi keturunan. Monogami artinya

perkawinan hanya bisa dilakukan oleh seorang laki-laki dan seorang perempuan

saja. Perkawinan yang monogami berarti jumlah suami/istri hanya satu selama

kurun waktu perkawinan (sampai salah satu suami/istri meninggal). Perkawinan

monogami menjaga keutuhan cinta dan tidak pernah membagi-baginya. Selain

tidak membagi-bagi cinta, perkawinan monogami juga mencerminkan kesetaraan

martabat antara laki-laki dan perempuan. Tak terceraikan menggambarkan cinta

kasih Allah kepada umat-Nya yang berlangsung terus menerus sampai selamanya.

Sifat tak bisa diceraikan ini juga dapat dilihat sebagai kekhasan perkawinan

(40)

Hubungan suami-istri juga harus berpolakan sama seperti hubungan

Kristus dengan Gereja-Nya. Hal ini senada dengan perikop Kitab Suci dalam Ef

5:22-23 yang berbunyi:

Hai isteri, tunduklahkepada suamimu seperti kepada Tuhan, karena suami adalah kepala isteri sama seperti Kristus adalah kepala jemaat. Dialah yang menyelamatkan tubuh. Karena itu sebagaimana jemaat tunduk kepada Kristus, demikian jugalah isteri kepada suami dalam segala sesuatu. Hai suami, kasihilah isterimu sebagaimana Kristus telah mengasihi jemaat dan telah menyerahkan diri-Nya baginya..

Suami diibaratkan seperti Kristus yang harus terus menerus mengasihi jemaat.

Istri diibaratkan sebagai jemaat yang harus menghormati suaminya seperti jemaat

yang harus menghormati Kristus yang terlebih dahulu mencintainya. Hubungan

Kristus dengan jemaat yakni hubungan yang didasarkan pada cinta kasih yang

terus menerus tanpa terputus hingga maut memisahkan sehingga dalam

perkawinan Katolik tidak mengenal kata cerai. Perkawinan merupakan salah satu

panggilan luhur terhadap tugas menjaga kelangsungan hidup. Suami-istri

dipanggil oleh Allah untuk saling bekerjasama menciptakan kehidupan baru yang

membawa harapan bagi kelangsungan dunia. Alasan ini pulalah yang

menyebabkan Gereja Katolik dengan keras menolak aborsi, sebab kehidupan baru

mestinya dipelihara. Ciri-ciri perkawinan ini menunjuk pada semua jenis

perkawinan sakramen ataupun bukan sakramen.

5. Hakikat Perkawinan

Perkawinan Katolik pada intinya atau hakikatnya adalah persatuan seluruh

hidup antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang berpegang pada

(41)

kebahagiaan serta kesejahteraan bersama. I Ketut Adi Hardana dalam Persiapan

Kursus Perkawinan (2010: 10) menuliskan beberapa inti/hakikat dalam

perkawinan, yaitu:

 Perkawinan adalah sebuah perjanjian. Istilah perjanjian atau kesepakatan mau membarui istilah hukum: “kontrak”. Kata “Perjanjian” dipilih karena lebih bernuansa rohani yang mengingatkan akan perjanjian antara Allah dan manusia yang bernuansa cinta kasih.

 Bentuk perkawinan: perkawinan adalah persekutuan seluruh hidup antara pria dan wanita. Persekutuan seluruh hidup ini menyangkut: kesatuan hati dan perasaan walaupun mereka adalah dua pribadi yang berbeda; tempat tinggal, artinya tinggal di rumah yang sama; kesatuan ekonomi atau keuangan, artinya penghasilan dan pendapatan antara suami-istri disatukan dan dikelola secara bersama demi kesejahteraan seluruh keluarga; kesatuan badan yang diungkapkan dalam hubungan seks antara suami-istri.

 Subyek yang mengadakan perkawinan itu adalah seorang pria dan seorang wanita yang sungguh-sungguh; artinya pria dan wanita yang normal, baik secara fisik maupun psikis. Karena itu, Gereja Katolik menolak mengakui keabsahan perkawinan antara dua orang yang sesama jenis atau antara orang yang melakukan pergantian kelamin.

 Dasar dari sebuah perkawinan adalah cinta kasih yang tampak dalam persetujuan bebas dari kedua calon mempelai. Secara yuridis, persetujuan bebas itu menjadi prasyarat dari sebuah perjanjian perkawinan yang sah.

 Tujuan dari sebuah perkawinan: kebahagiaan bersama suami-istri dan keluarga dalam seluruh aspek hidupnya serta kelahiran dan pendidikan anak.

 Dalam Gereja Katolik, hakikat perkawinan dipahami secara lebih mendalam sebagai Sakramen yaitu ikatan cinta mesra dalam hidup bersama antara suami dan istri yang diadakan oleh Sang Pencipta dan dilindungi dengan hukum-hukum-Nya yang menampakkan cinta kasih Allah kepada umat-Nya (GS, 48).

Berdasarkan beberapa hakikat perkawinan yang ditulis oleh Timotius I

Ketut Adi Hardana tersebut, dapat disimpulkan beberapa hal sehubungan dengan

hakikat/inti perkawinan. Perkawinan pada masa lalu diistilahkan sebagai sebuah

kontrak antara seorang laki-laki dan seorang perempuan. Istilah kontrak saat ini

diganti dengan istilah janji dengan alasan lebih bernuansa rohani, selain alasan

(42)

Lama maupun Perjanjian Baru sehingga kita dapat dengan baik mengistilahkan

kata janji tersebut dalam perkawinan terlebih janji dalam perkawinan tidak jauh

berbeda dengan istilah janji dalam Alkitab yang melibatkan Allah sebagai

pengikat janji. Perkawinan merupakan sebuah bentuk persekutuan seluruh hidup

dan seumur hidup. Dalam perkawinan segala sisi yang ada pada seorang laki-laki

maupun seorang perempuan tidak terkecuali melebur menjadi satu dan

membentuk persekutuan hidup bersama yang hanya dapat dipisahkan oleh Allah

dengan adanya maut. Gereja Katolik tidak mendiskriminasi pribadi yang

memiliki kelainan seksual seperti homoseksual melainkan justru menerima dan

memberikannya tempat. Sikap mau menerima pribadi yang memiliki kelainan

homoseksual bukan berarti setuju serta menerima perkawinan sesama jenis

ataupun perkawinan yang dilangsungkan oleh seorang laki-laki dan perempuan

namun salah satunya sudah melakukan operasi pergantian kelamin. Gereja Katolik

menolak karena sudah melanggar keluhuran ciptaan Tuhan dan kodrat sebagai

seorang laki-laki maupun seorang perempuan. Ada berbagai ketentuan yang

mengawali sebuah perkawinan, salah satu yang mutlak adanya unsur kebebasan

yang dimiliki masing-masing pribadi sebelum melangsungkan perkawinan.

Keterpaksaan menjadikan perkawinan yang dilangsungkan secara Katolik menjadi

tidak sah (Rubiyatmoko, 2011: 80).

Perjanjian dalam perkawinan juga memiliki tujuan dalam melangsungkan

kehidupan bersama, tujuan dari perkawinan secara umum adalah kesejahteraan

pasangan dan pendidikan anak. Ada 7 (tujuh) sakramen dalam Gereja Katolik dan

(43)

Sakramen jika dilangsungkan antara laki-laki dan perempuan yang telah dibabtis

secara Katolik atau dilangsungkan antara laki-laki dan perempuan yang salah

satunya dibabtis secara Katolik dengan orang yang pembabtisannya diterima

secara Katolik atau dilangsungkan antara laki-laki dan perempuan yang

pembabtisannya diterima secara Katolik, sehingga dalam perkawinan Katolik ada

2 (dua) jenis perkawinan, yakni perkawinan yang sakramen dan yang non

sakramen (KWI, 2011: 8-10).

6. Perkawinan yang Sakramen dan Non Sakramen

Perkawinan dalam Gereja Katolik dibedakan menjadi dua, yakni

perkawinan yang sakramen dan yang bukan sakramen (non sakramen).

a. Perkawinan sakramen

Perkawinan disebut sakramen apabila dilangsungkan oleh dua orang yang

dibabtis hal ini selaras dengan yang ada dalam KHK, kan. 1055§ 2 “Karena itu

antara orang-orang yang dibabtis, tidak ada kontrak perkawinan sah yang tidak

sendirinya sakramen”. Jadi perkawinan yang dilangsungkan antara laki-laki dan

perempuan yang telah dibabtis secara Katolik atau dilangsungkan antara laki-laki

dan perempuan yang salah satunya dibabtis secara Katolik dengan orang yang

pembabtisannya diterima secara Katolik atau dilangsungkan antara laki-laki dan

perempuan yang pembabtisannya diterima secara Katolik secara langsung

diangkat menjadi sakramen. Perkawinan yang sakramen menjadi gambaran dari

pengambilan bagian dalam persatuan kasih abadi antara Kristus dengan

(44)

lainnya. Sakramen Perkawinan bukan diterima dari Imam atau dari pelayan Gereja

serta siapapun itu, namun Sakramen Perkawinan saling diterimakan oleh pasangan

melalui janji perkawinan yang mereka ucapkan. Janji perkawinan juga merupakan

janji yang diucapkan kepada Allah dan juga Injil Suci.

b. Perkawinana non sakramen

Perkawinan non sakramen adalah perkawinan yang dilakukan antara

seorang yang dibabtis secara Katolik dan yang tidak dibabtis. Perkawinan non

sakramen bisa dilangsungkan dalam Gereja Katolik dan sah. Hal ini selaras

dengan yang ada dalam KWI (2011: 8-10) yang mengatakan bahwa “Secara

yuridis perkawinan antara seorang yang dibabtis secara Katolik adalah sah jika

diteguhkan dengan forma canonica (di depan pejabat Gereja Katolik dan dua

orang saksi), namun bukanlah sakramen”. Karena salah satu pasangan tidak

dibabtis maka tidak bisa disebut saling menerimakan sakramen”. Jadi jelaslah ada

perbedaan antara perkawinan orang yang keduanya dibabtis secara Katolik dan

hanya salah satu yang dibabtis secara Katolik. Perkawinan yang dilangsungkan

antara seorang laki-laki dan perempuan yang keduanya dibabtis secara Katolik

akan membawa dampak sakramen pada perkawinannya, sedangkan perkawinan

yang dilangsung antara seorang laki-laki dan perempuan yang hanya salah satunya

saja yang dibabtis secara Katolik maka perkawinan tersebut bukanlah sakramen.

Namun yang perlu diingat adalah kedua perkawinan tersebut sah karena

diteguhkan di depan pejabat Gereja Katolik dan dua orang saksi. Jadi jelas bahwa

(45)

B. Janji perkawinan

1. Rumusan Janji Perkawinan

Janji perkawinan memiliki rumusan yang di dalamnya memperlihatkan

kesediaan untuk menjadi satu bukan hanya satu daging namun satu roh hal ini

selaras dengan rumusan yang direkomendasikan oleh Komisi Liturgi Keuskupan

Se-Regio Jawa Plus Tanjungkarang (2009: 17) yang berbunyi:

MP: Di hadapan imam, para saksi dan seluruh umat yang hadir di sini, saya … MP memilih engkau … MW menjadi istri saya.

Saya berjanji setia kepadamu dalam untung dan malang, di waktu sehat dan sakit. Saya mau mengasihi dan menghormatimu sepanjang hidup saya.

MW: Di hadapan imam, para saksi dan seluruh umat yang hadir di sini saya, … MW memilih engkau MP menjadi suami saya.

Saya berjanji setia kepadamu dalam untung dan malang, di waktu sehat dan sakit. Saya mau mengasihi dan menghormatimu sepanjang hidup saya.

Pada intinya, dalam janji perkawinan ada 3 janji pokok. Janji yang pertama

ialah janji untuk setia dalam untung dan malang, dalam suka dan duka, di waktu

sehat dan sakit, dengan segala kekurangan dan kelebihan. Janji yang kedua adalah

selalu mencintai dan menghormati sepanjang hidup. Janji yang ketiga yang selalu

melekat pada kedua janji tersebut dan sering dilupakan oleh pasutri adalah

bersedia menjadi Bapak/Ibu yang baik serta mendidik anak-anak yang

dipercayakan Tuhan secara Katolik. Saat ini banyak sekali orang tua yang

mempercayakan seluruh pendidikan anaknya pada sekolah tempat mereka belajar.

Rumusan kalimat perjanjian dalam perkawinan dikembangkan

berdasarkan/bersumber dari Kitab Perjanjian Lama bukan sekedar karangan

spontanitas dari manusia. Oleh karena itu memiliki makna yang mendalam.

(46)

merumuskan akar kata dalam janji perkawinan dengan membandingkannya

dengan Kitab Hos 2:18-19 dalam sebuah tabel:

Janji Perkawinan (sekarang)

Janji Allah-Israel (Hosea 2:18-19) di hadapan imam, para

saksi dan saudara-saudari yang hadir,

Aku akan mengikat perjanjian bagimu… Aku akan menjadikan saya (nama) menyatakan dengan

tulus ikhlas bahwa engkau (nama) mulai sekarang menjadi suami/istri saya

engkau isteriKu untuk

selama-lamanya

Saya berjanji akan setia kepadamu baik dalam untung dan malang, dalam suka dan duka, di waktu sehat maupun sakit

dan Aku akan menjadikan engkau

IsteriKu dalam keadilan dan

kebenaran, dalam kasih setia dan kasih sayang.

Aku akan menjadikan engkau istri-Ku dalam kesetiaan

Saya berjanji akan menjadi ayah/ibu yang baik bagi anak-anak yang akan dipercayakan Tuhan kepada saya, dan saya akan mendidiknya menjadi orang katolik yang setia

Sehingga engkau akan mengenal TUHAN

Dari tabel tersebut dapat kita ketahui bahwa rumusan kata dalam janji

perkawinan berakar dari Kitab Hos 2:18-19. Janji tersebut merupakan janji yang

diucapkan oleh Allah sendiri untuk orang Israel. Hal tersebut berarti bahwa

tidaklah mengada-ada bila perkawinan disebut sebagai sebuah sakramen karena

berasal dari Allah sehingga janji perkawinan memuat kesakralan yang mengikat

seumur hidup sebab Allah adalah Allah yang setia terhadap janji-Nya. Ketika janji

perkawinan sudah diucapkan maka membawa dampak kesetiaan pula dalam

pemenuhannya. Dari kitab Hosea ini, terlebih ketika dilihat dalam ayat

sebelumnya yakni Hos 2:17, nampak Allah memang telah mengikat perjanjian

kepada Israel dan menjadikannya istri-Nya. Allah telah menjanjikan

bermacam-“berak ar” dari”

(47)

macam hal untuk mensejahterakan istri-Nya dan untuk melindungi serta

membahagiakan istri-Nya. Perjanjian yang dilakukan oleh Allah ini juga memiliki

saksi yakni bintang-bintang di padang, burung-burung di udara serta

binatang-binatang melata di bumi. Dalam ikatan perjanjian ini juga ada sebuah komunikasi

yang baik yang diibaratkan Allah dengan Aku akan mendengarkan langit dan

langit akan mendengarkan bumi. Rumusan perjanjian dalam Kitab Suci Perjanjian

Lama juga akan banyak ditemukan dalam Kitab-Kitab lain, misalnya dalam Yeh

16:60,62; Yes 54:6-8; dan lain-lain.

Dalam seluruh perjanjian Allah kepada Israel, Tuhan Allah menjadikan

Israel sebagai istri-Nya dan mengasihinya sepanjang waktu. Allah selalu setia

terhadap janji-Nya itu dan terus mengasihi istri-Nya dengan nyata lewat

pertolongan-Nya serta lewat belah kasih-Nya yang selalu memaafkan kesalahan

Israel walaupun berulang kali Israel berselingkuh dari diri-Nya. Rumusan janji

perkawinan adalah inti dari sakramen perkawinan dan ketika laki-laki serta

perempuan mengucapkan janji tersebut maka saat itu juga seorang laki-laki

menyerahkan dirinya sebagai suami kepada istrinya dan seorang perempuan

menyerahkan dirinya sebagai istri kepada suaminya (Agung Prihartanta, 2009:

84). Penyerahan diri ini tidak bisa ditarik kembali dan berlaku untuk seumur

hidup karena sifat perjanjian ini sama dengan sifat perjanjian Kristus dengan

mempelai-Nya yakni Gereja. Oleh sebab itu perkawinan di dalam Gereja Katolik

tidak dapat diceraikan. Hal ini jugalah yang menjadi salah satu alasan mengapa

proses perkawinan dalam Gereja Katolik sangat mendetail sehingga prosesnya

(48)

2. Makna Janji Perkawinan

Kesatuan antara perkawinan bukan hanya soal “kontrak” atau janji saja

(Iman Katolik, 1996: 436). Perkawinan melebihi makna kata kontrak ataupun janji

namun dalam Gereja Katolik sekarang menggunakan istilah janji yang lebih

mendalam tafsirannya daripada kontrak.

a. Setia dalam untung dan malang, dalam suka dan duka, di waktu sehat dan

sakit, dengan segala kekurangan dan kelebihan

Kesetiaan dalam janji ini maknanya bukan hanya untuk tidak melirik

pria/wanita lain. Setia di dalam janji ini maknanya lebih luas yakni setia untuk

berpartisipasi dalam setiap perasaan dan keadaan pasangan. Menjadi suami-istri

artinya menanggapi panggilan untuk saling menyempurnakan. Bila pasangan

cerewet, pelupa, tidak bisa masak maka tetap harus diterima dan dicintai (Didik

Bagiyowinadi 2006: 25). Ketika seseorang berbisnis, dia akan sangat senang

ketika memperoleh keuntungan. Keuntungan yang ia dapatkan akan sangat mudah

ia syukuri dan akan sangat mempengaruhi perilakunya terhadap orang lain

(terlebih orang-orang terdekatnya) sehingga orang lain pun akan merasakan

kebahagiaan yang dirasakan akibat keuntungan itu. Namun ketika seseorang

mengalami kemalangan, misalnya kerugian dalam berbisnis tentunya tidak akan

mudah ia terima dan ia jadikan sebagai rasa syukur termasuk untuk orang-orang

yang berada di dekatnya. Orang kecenderungan akan datang di saat seseorang

berada dalam situasi yang bahagia dan berkelimpahan tetapi di saat seseorang

(49)

dekatnya dengan turut berbela rasa, waktu, tenaga serta pikiran. Hal ini juga

berlaku dalam keadaan sehat maupun sakit serta berlaku dalam setia terhadap

kelebihan maupun kekurangan. Kelebihan seseorang yang kita cintai secara

khusus akan terasa lebih luar biasa dari pada kelebihan seseorang yang tidak kita

cintai secara khusus. Begitu pula dengan kekurangan orang yang kita cintai secara

khusus akan tampak jauh lebih sederhana daripada seseorang yang tidak kita

cintai secara khusus. Pandangan inilah yang harus selalu dipertahankan.

Dalam perkawinan seorang istri dan seorang suami tentunya bukan

seorang yang sempurna seutuhnya baik dari fisik, kepribadian, dan lain-lain.

Kenyataan ketidaksempurnaan inilah yang menjadi panggilan bagi seorang suami

atau istri untuk saling menyempurnakan. Ketika seorang suami/istri sudah merasa

bisa melakukan segala sesuatunya seorang diri dan merasa sudah memiliki

segalanya dalam kehidupan, lalu apa gunanya ia menikah. Seorang istri diciptakan

Tuhan untuk menjadi seorang penolong yang sepadan bagi seorang suami, hal ini

sama ketika Allah menciptakan Hawa sebagai penolong yang sepadan bagi Adam

(Kej 2:18). Allah menganugerahkan Hawa kepada Adam dan sebaliknya Adam

dianugerahkan Allah untuk Hawa. Menjadi penolong sepadan itu artinya suami

serta istri memiliki tugas saling menyempurnakan satu sama lain yang bisa

dikatakan mau senantiasa menjadi sakramen antara yang satu terhadap yang

lainnya. Menjadi sakramen bagi pasangan artinya bisa menjadi tanda dan sarana

kehadiran Allah dalam seluruh kehidupan bersama/seluruh kehidupan

perkawinan. Bisa menjadi tanda dan sarana kehadiran Allah dalam seluruh

(50)

Surat Paulus kepada Jemaat di Korintus dalam 1 Kor 7:14 dikatakan bahwa

seorang suami yang tidak beriman akan dikuduskan istrinya yang beriman dan

seorang istri yang tidak beriman akan dikuduskan suami yang beriman.

Suami-istri harus mau menjadi sakramen bagi yang lainnya melalui seluruh hidup

perkawinannya sehingga seluruh kehidupannya bisa berkenan bagi Allah.

Setia berarti tidak hanya setia terhadap pasangan saja, hal inilah yang

sering dilupakan oleh banyak pasangan. Setia itu berarti setia pula terhadap

Pribadi yang telah memeteraikan cinta antara sepasang pria dan wanita sehingga

menjadi satu tubuh dalam ikatan perkawinan. Janji memberikan harapan dan rasa

aman, terlebih janji yang diikat pada Pribadi yang menjadi sumber cinta kasih.

Hal ini selaras dengan Smalley (2008: 28) yang mengatakan “Berjanji kepada

Allah akan memberikan rasa aman bagi pasangan Anda. Hal itu memberikan rasa

aman bagi pasangan Anda. Hal itu memberikan landasan yang mantap pada

pernikahan Anda dengan menyediakan sumber otoritas tertinggi, di mana Anda

berdua hidup di bawah naungannya”. Janji merupakan sebuah pemberian harapan terhadap orang lain dalam bentuk apapun. Yang membedakan janji biasa dengan

janji yang diucapkan di hadapan Allah adalah janji biasa sangat mungkin diingkari

karena hanya melibatkan 2 pribadi (pihak pertama dan pihak kedua). Manusia

adalah pribadi yang lemah, oleh karena itu sangat mungkin melanggar janji. Janji

yang diucapkan dihadapan Allah melibatkan 3 pribadi (pihak pertama dan pihak

kedua dengan Allah sebagai pengikat janji tersebut). Walaupun masih

memungkinkan manusia untuk mengingkari janji tersebut, namun Allah selalu ada

Gambar

Figur  seorang  Romo  sangat  istimewa  bagi  umatnya  sehingga  jika  umat  mendapat  sapaan  secara  pribadi  dari  seorang  Romo  pasti  akan  sangat  memberi  motifasi  positif

Referensi

Dokumen terkait

Ruang lingkup dari permasalahan yang diteliti adalah hanya sebatas hubungan rasio Leverage (debt ratio, debt to equity ratio, long term debt to equity ratio, time interest

Penjelasan Digunakan untuk mencatat Penerimaan Setoran/Potongan PFK 3% luran Jaminan Kesehatan dari Pemberi Kerja Pegawai Pemerintah Non PNS yang Berasal dari APBD... 81116

Azospirillum yang menghasilkan IAA mampu mempercepat pertumbuhan tanaman, perkembangan akar lateral, merangsang kerapatan dan panjang rambut akar, yang pada akhirnya

Disampaikan bahwa sebagai kelanjutan dari proses evaluasi, saudara dimintakan untuk dapat menghadiri acara Pembuktian Kualifikasi dengan membawa serta dokumen (asli beserta satu

Contohnya adalah Techniche Hoogeschool atau yang saat ini disebut Institut Teknologi Bandung (ITB) merupakan tempat dimana Ir.Soekarno menimba ilmu dan mendapatkan gelarnya.

Sebuah skripsi yang diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Pendidikan pada Fakultas Pendidikan Seni dan Desain. © Awit Gending Adriani 2016

Lebih daripada itu, dalam Renstra ini telah termuat visi, misi, sasaran, kebijakan, program dan kegiatan dalam bidang perpustakaan dan kearsipan yang nantinya akan

Kepada para orang tua dan para guru, khususnya guru agama SD diharapkan untuk meningkatkan peranannya dalam memberikan pendidikan seks, terutama tentang tanda-tanda