• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sudah Lama “Ngaji” Tetapi Akhlak Tidak Baik

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Sudah Lama “Ngaji” Tetapi Akhlak Tidak Baik"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

Sudah Lama “Ngaji” Tetapi Akhlak Tidak Baik

Segala puji hanyalah milik Allah Ta‟ala, yang seluruh perkara berada di tangan-Nya.

Shalawat serta salam semoga tercurah kepada Rasulullah. Wa ba‟du.

Akh, ana lebih senang bergaul dengan ikhwan yang akhlaknya baik walaupun sedikit

ilmunya”. [SMS seorang ikhwan]

Kok dia suka bermuka dua dan dengki sama orang lain, padahal ilmunya masyaAlloh, saya

juga awal-awal “ngaji” banyak tanya-tanya agama sama dia”. [Pengakuan seorang akhwat]

Ana suka bergaul dengan akh Fulan, memang dia belum lancar-lancar amat baca kitab tapi

akhlaknya sangat baik, murah senyum, sabar, mendahulukan orang lain, tidak egois, suka menolong dan ana lihat dia sangat takut kepada Alloh, baru melihatnya saja, ana langsung

teringat akherat”. [Pengakuan seorang ikhwan]

Mungkin fenomena ini kadang terjadi atau bahkan sering kita jumpai di kalangan penuntut yang sudah lama “ngaji”1

. Ada yang telah ngaji 3 tahun atau 5 tahun bahkan belasan tahun tetapi akhlaknya tidak berubah menjadi lebih baik bahkan semakin rusak. Sebagian dari kita sibuk menuntut ilmu tetapi tidak berusaha menerapkan ilmunya terutama akhlaknya. Sebaliknya mungkin kita jarang melihat orang seperti dikomentar ketiga yang merupakan cerminan keikhlasannya dalam beragama meskipun nampaknya ia kurang berilmu dan. semoga tulisan ini menjadi nasehat untuk kami pribadi dan yang lainnya.

[1] ngaji: istilah yang ma‟ruf, yaitu seseorang mendapat hidayah untuk beragama sesuai dengan Al-Qur‟an dan As-sunnah dengan pemahaman salafus shalih, istilah ini juga identik dengan penuntut ilmu agama

Akhlak adalah salah satu tolak ukur iman dan tauhid

Hal ini yang perlu kita camkan sebagai penuntut ilmu agama, karena akhlak adalah cerminan langsung apa yang ada di hati, cerminan keikhlasan dan penerapan ilmu yang diperoleh. Lihat bagimana A‟isyah rodhiallohu „anha mengambarkan langsung akhlak Rosululloh shallallahu

„alaihi wa sallam yang merupakan teladan dalam iman dan tauhid, A‟isyah rodhiallohu

„anha berkata,

َنآْرُمْنا ُهُمُهُخ َنبَك

Akhlak beliau adalah Al-Quran” [HR. Muslim no. 746, Abu Dawud no. 1342 dan Ahmad

6/54]

Yang berkata demikian Adalah A‟isyah rodhiallohu „anha, Istri yang paling sering bergaul dengan beliau, dan perlu kita ketahui bahwa salah satu barometer ahklak seseorang adalah bagaimana akhlaknya dengan istri dan keluarganya. Rasulolluh shallallahu „alaihi wa sallam bersabda,

ِهِهْهَ ِلِ ْمُكُرَُْخ ْمُكُرَُْخ ٍِهْهَ ِلِ ْمُكُرَُْخ بَوَأَو

Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap keluarganya. Dan akulah yang paling

(2)

mengomentari bahwa hadits ini hasan gharib sahih. Ibnu Hibban dan Al-Albani menilai hadits tersebut sahih].

Akhlak dirumah dan keluarga menjadi barometer karena seseorang bergaul lebih banyak dirumahnya, bisa jadi orang lain melihat bagus akhlaknya karena hanya bergaul sebentar. Khusus bagi suami yang punya “kekuasaan” atas istri dalam rumah tangga, terkadang ia bisa berbuat semena-mena dengan istri dan keluarganya karena punya kemampuan untuk melampiaskan akhlak jeleknya dan hal ini jarang diketahui oleh orang banyak. Sebaliknya jika di luar rumah mungkin ia tidak punya tidak punya kemampuan melampiaskan akhlak jeleknya baik karena statusnya yang rendah (misalnya ia hanya jadi karyawan rendahan) atau takut dikomentari oleh orang lain.

Dan tolak ukur yang lain adalah takwa sehingga Rosululloh shallallahu „alaihi wa sallam menggabungkannya dengan akhlak, beliau bersabda,

ٍه َسَد ٍكُهُخِب َسبَّىنا ِكِنبَخَو بَهُذْمَج َةَى َسَذْنا َةَئُِّ َّسنا ِعِبْجَأَو َثْىُك بَمُثَُْد َ َّللَّا ِكَّجا

Bertakwalah kepada Allah di mana saja engkau berada. Iringilah kejelekan dengan

kebaikan niscaya ia akan menghapuskan kejelekan tersebut dan berakhlaklah dengan

manusia dengan akhlak yang baik.” (HR. Tirmidzi no. 1987 dan Ahmad 5/153. Abu „Isa At

Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih)

Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa‟diy rohimahullohu menjelaskan hadist ini,

“Barangsiapa bertakwa kepada Alloh, merealisasikan ketakwaannya dan berakhlak kepada manusia -sesuai dengan perbedaan tingkatan mereka- dengan akhlak yang baik, maka ia medapatkan kebaikan seluruhnya, karena ia menunaikan hak hak Alloh dan Hamba-Nya. [Bahjatu Qulubil Abror hal 62, cetakan pertama, Darul Kutubil „ilmiyah]

Demikian pula sabda beliau shallallahu „alaihi wa sallam,

ُحَو ِ َّللََّا يىْمَج َةَّىَجْنَا ُمِخْذَُ بَم ُرَثْكَأِكُهُخْنَا ُه ْس

”Yang paling banyak memasukkan ke surga adalah takwa kepada Allah dan akhlak yang

mulia” (HR At-Tirmidzi, Ibnu Maajah dan Haakim dan dihasankan oleh Syaikh

Al-Albani)

Tingginya ilmu bukan tolak ukur iman dan tauhid

Karena ilmu terkadang tidak kita amalkan, yang benar ilmu hanyalah sebagai wasilah/perantara untuk beramal dan bukan tujuan utama kita. Oleh karena itu Alloh Azza wa Jalla berfirman,

َنىُهَمْعََ اىُوبَك بَمِب ءاَزَج

(3)

Allah TIDAK berfirman,

َنىُمهَعَ اىُوبَك بَمِب ءاَزَج

Sebagai balasan apa yang telah mereka ketahui.”

Dan cukuplah peringatan langsung dalam Al-Qur‟an bagi mereka yang berilmu tanpa mengamalkan,

ىُمَج َمِن اىُىَمَآ َهَِزَّنا بَهََُّأ بَََنىُهَعْفَج َلَ بَم اىُنىُمَج نَأ ِ َّللَّا َذىِع ًبحْمَم َرُبَك َْْنىُهَعْفَج َلَ بَم َنىُن

Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan hal yang tidak kamu perbuat.

Amat besar kebencian Allah bahwa kamu mengatakan apa saja yang tidak kamu kerjakan.

(QS.Ash-Shaff : 3)

Dan bisa jadi Ilmunya tinggi karena di karuniai kepintaran dan kedudukan oleh Alloh sehingga mudah memahami, menghapal dan menyerap ilmu.

Ilmu Agama hanya sebagai wawasan ?

Inilah kesalahan yang perlu kita perbaiki bersama, sebagian kita giat menuntut ilmu karena menjadikan sebagai wawasan saja, agar mendapat kedudukan sebagai seorang yang tinggi ilmunya, dihormati banyak orang dan diakui keilmuannya. Kita perlu menanamkan dengan kuat bahwa niat menambah ilmu agar menambah akhlak dan amal kita.

Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan,

“Salah satu tanda kebahagiaan dan kesuksesan adalah tatkala seorang hamba semakin bertambah ilmunya maka semakin bertambah juga tawadhu‟ dan kasih sayangnya. Dan semakin bertambah amalnya maka semakin meningkat pula rasa takut dan waspadanya.”

[Al-Fawa‟id hal 171, Maktabah Ast-Tsaqofiy]

Sibuk belajar ilmu fiqh dan Ushul, melupakan ilmu akhlak dan pensucian jiwa

Yang perlu kita perbaiki bersama juga, sebagian kita sibuk mempelajari ilmu fiqh, ushul

tafsir, ushul fiqh, ilmu mustholah hadist dalam rangka memperoleh kedudukan yang tinggi,

mencapai gelar “ustadz”, menjadi rujukan dalam berbagai pertanyaan. Akan tetapi terkadang kita lupa mempelajari ilmu akhlak dan pensucian jiwa, berusaha memperbaiki jiwa dan hati kita, berusaha mengetahui celah-celah setan merusak akhlak kita serta mengingat bahwa salah satu tujuan Rosululloh shallallahu „alaihi wa sallam diutus adalah untuk menyempurnakan Akhlak manusia.

Rosululloh shallallahu „alaihi wa sallam bersabda,

“ْثِعُبِقَلاْخَ ْلِا َخِنبَص َمِّمَجُ ِلِ ُت”

(4)

Ahlak yang mulia juga termasuk dalam masalah aqidah

Karena itu kita jangan melupakan pelajaran akhlak mulia, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah memasukkan penerapan akhlak yang mulia dalam permasalahan aqidah. Beliau berkata,

“Dan mereka (al-firqoh an-najiah ahlus sunnah wal jama‟ah) menyeru kepada (penerapan) akhlak yang mulia dan amal-amal yang baik. Mereka meyakini kandungan sabda Nabi

shallallahu „alaihi wa sallam, “Yang paling sempuna imannya dari kaum mukminin adalah

yang paling baik akhlaknya diantara mereka“. Dan mereka mengajakmu untuk menyambung silaturahmi dengan orang yang memutuskan silaturahmi denganmu, dan agar engkau memberi kepada orang yang tidak memberi kepadamu, engkau memaafkan orang yang berbuat zhalim kepadamu, dan ahlus sunnah wal jama‟ah memerintahkan untuk berbakti kepada kedua orang tua, menyambung silaturahmi, bertetangga dengan baik, berbuat baik kepada anak-anak yatim, fakir miskin, dan para musafir, serta bersikap lembut kepada para budak. Mereka (Ahlus sunnah wal jama‟ah) melarang sikap sombong dan keangkuhan, serta merlarang perbuatan dzolim dan permusuhan terhadap orang lain baik dengan sebab ataupun tanpa sebab yang benar. Mereka memerintahkan untuk berakhlak yang tinggi (mulia) dan melarang dari akhlaq yang rendah dan buruk”. [lihat Matan 'Aqiidah al-Waashithiyyah]

Bagi yang sudah “ngaji” Syaitan lebih mengincar akhlak bukan aqidah

Bagi yang sudah “ngaji”, yang notabenenya insyaAlloh sudah mempelajari ilmu tauhid dan aqidah, mengetahui sunnah, mengetahui berbagai macam maksiat, tidak mungkin syaitan mengoda dengan cara mengajaknya untuk berbuat syirik, melakukan bid‟ah, melakukan maksiat akan tetapi syaitan berusaha merusak Akhlaknya. Syaitan berusaha menanamkan rasa dengki sesama, hasad, sombong, angkuh dan berbagai akhlak jelak lainnya.

Syaitan menempuh segala cara untuk menyesatkan manusia, tokoh utama syaitan yaitu Iblis berikrar untuk hal tersebut setelah Alloh azza wa jalla menghukumnya dan mengeluarkannya dari surga, maka iblis menjawab:

َْْمُِمَح ْسُمْنا َكَطاَرِص ْمُهَن َّنَذُعْلَلِ ٍِىَحََْىْغَأ بَمِبَف َلبَل ْمِهِفْهَخ ْهِمَو ْمِهَِذََْأ ِهَُْب هِّم مُهَّىَُِجِ َّمُث َهَِرِكب َش ْمُهَرَثْكَأ ُذِجَج َلََو ْمِهِهِئآَم َش هَعَو ْمِهِوبَمََْأ ْهَعَو

“Karena Engkau telah menghukumku tersesat, aku benar-benar akan(menghalang-halangi mereka dari jalan Engkau yang lurus, kemudian aku akan datangi mereka dari muka dan dari belakang mereka, dari kanan dan dari kiri mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur.” (Al-A‟raf: 16-17)

Kita butuh teladan akhlak dan takwa

Disaat ini kita tidak hanya butuh terhadap teladan ilmu tetapi kita lebih butuh teladan ahklak dan takwa, sehingga kita bisa melihat dengan nyata dan mencontoh langsung akhlak dan takwa orang tersebut terutama para ustadz dan syaikh.

(5)

“Aku berkata kepada ibuku, „Aku akan pergi untuk belajar.‟ „Kemarilah!‟ kata ibuku, „Pakailah pakaian ilmu!‟ Lalu ibuku memakaikan aku mismarah (suatu jenis pakaian) dan meletakkan peci di kepalaku, kemudian memakaikan sorban di atas peci itu. Setelah itu dia berpesan, „Sekarang, pergilah untuk belajar!‟ Dia juga pernah mengatakan, „Pergilah kepada Rabi‟ah (guru Imam Malik, pen)! Pelajarilah adabnya sebelum engkau pelajari ilmunya!‟. (Waratsatul Anbiya‟, dikutip dari majalah Asy Syariah No. 45/IV/1429 H/2008, halaman 76 s.d. 78)

Kemudian pada komentar ketiga,

Baru melihatnya saja, ana langsung teringat akherat

Hal inilah yang kita harapkan, banyak teladan langsung seperti ini. Para ulama pun demikian sebagaimana Ibnul Qoyyim rahimahullahu berkata,

“Kami (murid-murid Ibnu Taimiyyah), jika kami ditimpa perasaan takut yang berlebihan, atau timbul dalam diri kami prasangka-prasangka buruk, atau (ketika kami merasakan) kesempitan hidup, kami mendatangi beliau, maka dengan hanya memandang beliau dan mendengarkan ucapan beliau, maka hilang semua kegundahan yang kami rasakan dan berganti dengan perasaan lapang, tegar, yakin dan tenang.” [Al Waabilush Shayyib hal 48, cetakan ketiga, Darul Hadist, Maktabah Syamilah]

Sudah lama “ngaji” tetapi kok susah sekali memperbaiki Akhlak?

Memang memperbaiki Akhlak adalah hal yang tidak mudah dan butuh “mujahadah” perjuangan yang kuat. Selevel para ulama saja membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk memperbaiki akhlak.

Berkata Abdullah bin Mubarak rahimahullahu :

م ث ةدلِا نىب ه ط َ اى وب ك ةى س ه َرش ع مه ع نا ثب ه طو ةى س هُ ثلا ث ةدلِا ثب ه ط مه ع نا

“Saya mempelajari adab selama 30 tahun dan saya mempelajari ilmu (agama) selama 20 tahun, dan ada-lah mereka (para ulama salaf) memulai pelajaran mereka dengan mempelajari adab terlebih dahulu kemudian baru ilmu”. [Ghayatun-Nihayah fi Thobaqotil Qurro I/446, cetakan pertama, Maktabah Ibnu Taimiyyah, Maktabah Syamilah]

Dan kita tetap terus menuntut ilmu untuk memperbaiki akhlak kita karena ilmu agama yang shohih tidak akan masuk dan menetap dalam seseorang yang mempunyai jiwa yang buruk.

Imam Al Ghazali rahimahullahu berkata,

“Kami dahulu menuntut ilmu bukan karena Allah ta‟ala , akan tetapi ilmu enggan kecuali hanya karena Allah ta‟ala.” [Thabaqat Asy Syafi‟iyah, dinukil dari tulisan ustadz Kholid syamhudi, Lc, majalah Assunah].

(6)

Setiap Muslim Wajib Mempelajari Agama

Salah satu fenomena yang cukup memprihatinkan pada zaman kita saat ini adalah rendahnya semangat dan motivasi untuk menuntut ilmu agama. Ilmu agama seakan menjadi suatu hal yang remeh dan terpinggirkan bagi mayoritas kaum muslimin. Berbeda halnya dengan semangat untuk mencari ilmu dunia. Seseorang bisa jadi mengorbankan apa saja untuk meraihnya. Kita begitu bersabar menempuh pendidikan mulai dari awal di sekolah dasar hingga puncaknya di perguruan tinggi demi mencari pekerjaan dan penghidupan yang layak. Mayoritas umur, waktu dan harta kita, dihabiskan untuk menuntut ilmu dunia di bangku sekolah. Bagi yang menuntut ilmu sampai ke luar negeri, mereka mengorbankan segala-galanya demi meraih ilmu dunia: jauh dari keluarga, jauh dari kampung halaman, dan sebagainya. Lalu, bagaimana dengan ilmu agama? Terlintas dalam benak kita untuk serius mempelajarinya pun mungkin tidak. Apalagi sampai mengorbankan waktu, harta dan tenaga untuk meraihnya. Tulisan ini kami maksudkan untuk mengingatkan diri kami pribadi dan para pembaca bahwa menuntut ilmu agama adalah kewajiban yang melekat atas setiap diri kita, apa pun latar belakang profesi dan pekerjaan kita.

Kewajiban Menuntut Ilmu Agama

Sebagian di antara kita mungkin menganggap bahwa hukum menuntut ilmu agama sekedar sunnah saja, yang diberi pahala bagi yang melakukannya dan tidak berdosa bagi siapa saja yang meninggalkannya. Padahal, terdapat beberapa kondisi di mana hukum menuntut ilmu agama adalah wajib atas setiap muslim (fardhu „ain) sehingga berdosalah setiap orang yang meninggalkannya. Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu „alaihi wa sallam,

ىمٍىعِهلْ بُيىعِلِّمبُ ىًطَهطَ ىةٌ طَيَ عِزطَ ىعِىلْهعِ لْن ىبُةطَهطَ

”Menuntut ilmu itu wajib atas setiap muslim”. (HR. Ibnu Majah. Dinilai shahih oleh Syaikh

Albani dalam Shahih wa Dha‟if Sunan Ibnu Majahno. 224)

Dalam hadits ini, Rasulullah shallallahu „alaihi wa sallam dengan tegas menyatakan bahwa menuntut ilmu itu hukumnya wajib atas setiap muslim, bukan bagi sebagian orang muslim saja. Lalu, “ilmu” apakah yang dimaksud dalam hadits ini? Penting untuk diketahui bahwa ketika Allah Ta‟ala atau Rasul-Nya Muhammad shallallahu „alaihi wa sallam menyebutkan kata “ilmu” saja dalam Al Qur‟an atau As-Sunnah, maka ilmu yang dimaksud adalah ilmu syar‟i (ilmu agama), termasuk kata “ilmu” yang terdapat dalam hadits di atas.

Sebagai contoh, berkaitan dengan firman Allah Ta‟ala,

ْمُقَِّٔبَريَِْدِساًًْهِع

“Dan katakanlah,„Wahai Rabb-ku, tambahkanlah kepadaku ilmu’“. (QS. Thaaha [20] : 114)

(7)

“Firman Allah Ta‟ala (yang artinya),‟Wahai Rabb-ku, tambahkanlah kepadaku ilmu‟ mengandung dalil yang tegas tentang keutamaan ilmu. Karena sesungguhnya Allah Ta‟ala tidaklah memerintahkan Nabi-Nya shallallahu „alaihi wa sallam untuk meminta tambahan

sesuatu kecuali (tambahan) ilmu. Adapun yang dimaksud dengan (kata) ilmu di sini adalah

ilmu syar’i. Yaitu ilmu yang akan menjadikan seorang mukallaf mengetahui kewajibannya berupa masalah-masalah ibadah dan muamalah, juga ilmu tentang Allah dan sifat-sifatNya, hak apa saja yang harus dia tunaikan dalam beribadah kepada-Nya, dan mensucikan-Nya

dari berbagai kekurangan”. (Fathul Baari, 1/92)

Dari penjelasan Ibnu Hajar rahimahullah di atas, jelaslah bawa ketika hanya disebutkan kata “ilmu” saja, maka yang dimaksud adalah ilmu syar‟i. Oleh karena itu, merupakan sebuah kesalahan sebagian orang yang membawakan dalil-dalil tentang kewajiban dan keutamaan menuntut ilmu dari Al Qur‟an dan As-Sunnah, namun yang mereka maksud adalah untuk memotivasi belajar ilmu duniawi. Meskipun demikian, bukan berarti kita mengingkari manfaat belajar ilmu duniawi. Karena hukum mempelajari ilmu duniawi itu tergantung pada tujuannya. Apabila digunakan dalam kebaikan, maka baik. Dan apabila digunakan dalam kejelekan, maka jelek. (Lihat Kitaabul „Ilmi, hal. 14)

Ilmu Apa Saja yang Wajib Kita Pelajari?

Setelah kita mengetahui bahwa hukum menuntut ilmu agama adalah wajib, maka apakah kita wajib mempelajari semua cabang ilmu dalam agama? Tidaklah demikian. Kita tidak diwajibkan untuk mempelajari semua cabang dalam ilmu agama, seperti ilmu jarh wa ta‟dil sehingga kita mengetahui mana riwayat hadits yang bisa diterima dan mana yang tidak. Demikian pula, kita tidak diwajibkan untuk mempelajari rincian setiap pendapat dan perselisihan ulama di bidang ilmu fiqh. Meskipun bisa jadi ilmu semacam itu wajib dipelajari sebagian orang (fardhu kifayah), yaitu para ulama yang Allah Ta‟ala berikan kemampuan dan kecerdasan untuk mempelajarinya demi menjaga kemurnian agama.

Sebagaimana yang diisyaratkan oleh Ibnu Hajar rahimahullah di atas, kita “hanya” wajib mempelajari sebagian dari ilmu agama, yaitu ilmu yang berkaitan dengan ibadah dan muamalah, sehingga kita dapat beribadah kepada Allah Ta‟ala dengan benar. Kita juga wajib mempelajari ilmu tentang aqidah dan tauhid, sehingga kita menjadi seorang muslim yang beraqidah dan mentauhidkan Allah Ta‟ala dengan benar dan selamat dari hal-hal yang merusak aqidah kita atau bahkan membatalkan keislaman kita.

Ibnul Qoyyim rahimahullah telah menjelaskan ilmu apa saja yang wajib dipelajari oleh setiap muslim. Artinya, tidak boleh ada seorang muslim pun yang tidak mempelajarinya. Ilmu tersebut di antaranya:

Pertama, ilmu tentang pokok-pokok keimanan, yaitu keimanan kepada Allah Ta‟ala, malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan hari akhir.

Ke dua, ilmu tentang syariat-syariat Islam. Di antara yang wajib adalah ilmu tentang hal-hal yang khusus dilakukan sebagai seorang hamba seperti ilmu tentang wudhu, shalat, puasa, haji, zakat. Kita wajib untuk mempelajari hal-hal yang berkaitan dengan ibadah-ibadah tersebut, misalnya tentang syarat, rukun dan pembatalnya.

(8)

ö

ىاًَاطَطلْهبُسىعِّعِتىلْل عِلِّشطَُبَُىلْىطَنىاطَيىعِ َّللَّاعِتى ىبُ عِزلْشبُتىلٌْطَأ طَوىعِلِّقطَحلْن ى عِزلُْطَغعِتىطٍَلْغطَثلْن طَوىطَىلْثعِلْلْ طَوىطٍَطَططَتىاطَيطَوىاطَهلُْعِيىطَزطَهطَظىاطَيى طَش عِح طَىطَفلْن ىطٍَعِلِّتطَرىطَوَّزطَحىاطًَََّعِإىلْمبُقى ىطٌَىبًُطَهلْ طَتى طَلَىاطَيىعِ َّللَّ ىًطَهطَ ى ىبُنىبُقطَتىلٌْطَأ طَو

“Katakanlah,‟Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang tampak

maupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa

yang tidak kamu ketahui‟”. (QS. Al-A‟raf [7]: 33)

Kelima hal ini adalah haram atas setiap orang pada setiap keadaan. Maka wajib bagi kita untuk mempelajari larangan-larangan Allah Ta‟ala, seperti haramnya zina, riba, minum khamr, dan sebagainya, sehingga kita tidak melanggar larangan-larangan tersebut karena kebodohan kita.

Ke empat, ilmu yang berkaitan dengan interaksi yang terjadi antara seseorang dengan orang lain secara khusus (misalnya istri, anak, dan keluarga dekatnya) atau dengan orang lain secara umum. Ilmu yang wajib menurut jenis yang ke empat ini berbeda-beda sesuai dengan perbedaan keadaan dan kedudukan seseorang. Misalnya, seorang pedagang wajib mempelajari hukum-hukum yang berkaitan dengan perdagangan atau transaksi jual-beli. Ilmu yang ke empat ini berbeda-beda sesuai dengan kondisi dan kebutuhan masing-masing. (Lihat

Miftaah Daaris Sa‟aadah, 1/156)

Dari penjelasan Ibnul Qoyyim rahimahullah di atas, jelaslah bahwa apa pun latar belakang pekerjaan dan profesi kita, wajib bagi kita untuk mempelajari ilmu-ilmu tersebut di atas. Menuntut ilmu agama tidak hanya diwajibkan kepada ustadz atau ulama. Demikian pula kewajiban berdakwah dan memberikan nasihat kepada kebaikan, tidak hanya dikhususkan bagi para ustadz atau para da‟i. Rasulullah shallallahu „alaihi wa sallam bersabda,

ىعِىطَ َُّن ىبُزلًْبُحىطَ طَنىطٌَىبُكطََىلٌْطَأىلٍْعِيىطَ طَنىةٌزلُْطَ ىًلَبُجطَرىطَ عِتىبُ َّللَّ ىطَيعِدلْهطََىلٌْطَلِىعِ َّللَّ طَىطَ

“Demi Allah, jika Allah memberikan petunjuk kepada satu orang saja melalui perantaraanmu, itu lebih baik bagimu dibandingkan dengan unta merah (yaitu unta yang paling bagus dan paling mahal, pen.)”. (HR. Bukhari dan Muslim)

Dan tidak diragukan lagi, bahwa untuk berdakwah sangat membutuhkan dan harus disertai dengan ilmu. Bisa jadi, karena kondisi sebagian orang, mereka tidak terjangkau oleh dakwah para ustadz. Sebagai contoh, betapa banyak saudara kita yang terbaring di rumah sakit dan mereka meninggalkan kewajiban shalat? Di sinilah peran penting tenaga kesehatan, baik itu dokter, perawat, atau ahli gizi yang merawat mereka, untuk menasihati dan mengajarkan cara bersuci dan shalat ketika sakit. Demikian pula seseorang yang berprofesi sebagai sopir, hendaknya mengingatkan penumpangnya misalnya untuk tetap menunaikan shalat meskipun di perjalanan. Tentu saja, semua itu membutuhkan bekal ilmu agama yang memadai.

Terahir, jangan sampai kita menjadi orang yang sangat pandai tentang seluk-beluk ilmu dunia dengan segala permasalahannya, namun lalai terhadap ilmu agama. Hendaknya kita merenungkan firman Allah Ta‟ala,

(9)

“Mereka hanya mengetahui yang lahir (saja) dari kehidupan dunia, sedangkan mereka lalai

tentang (kehidupan) akhirat”. (QS. Ar-Ruum [30]: 7)

Tanda Ikhlas dalam Menuntut Ilmu

Menuntut ilmu adalah sebuah ibadah yang sangat mulia. Ilmu adalah kunci pembuka untuk amalan-amalan lainnya. Karena dengan ilmu, seorang hamba bisa mengetahui bagaimana seharusnya dia beribadah kepada Rabb-nya, mengetahui apa saja kewajiban yang harus ia jalankan, serta mengetahui apa saja larangan yang harus ia jauhi. Oleh karena itulah, keikhlasan dalam menuntut ilmu adalah suatu hal yang harus terus dijaga oleh kita semua agar ibadah yang sangat mulia ini tidak menjadi debu yang berhamburan di sisi Allah Ta‟ala.

Allah Ta‟ala berfirman,

اَئَأُزِيُأ الَِّإأُذُثْعَيِن َ اللَّا ٍَيِصِهْخُي َُّن ٍَيِّذنا

“Padahal mereka tidaklah diperintahkan kecuali untuk beribadah kepada Allah dengan

mengikhlashkan agama kepada-Nya” (QS. Al Bayyinah : 5)

Keikhlasan dalam menuntut ilmu akan memberikan pengaruh kepada pribadi orang tersebut yang dapat dirasakan oleh orang yang berada di sekitarnya. Di antara tanda-tanda ikhlas dalam menuntut ilmu adalah sebagai berikut :

1- Membuahkan ilmu yang bermanfaat

Tanda paling jelas yang menunjukkan bahwa seseorang memiliki niat yang benar dalam menuntut ilmu adalah ilmu tersebut bermanfaat bagi dirinya.

Nabi shallallahu „alaihi wa sallam bersabda,

ُمَثَياَييَُِثَعَت ُ اللَّا ِِّت ٍَِيَٖذُٓنا ِىْهِعنأَ، ِمَثًََكِثْيَغناِزيِثَكنا َباَصَأ،اًضْرَأ ٌَاَكَفآَُِْي ،ٌحايِقََِدَهِثَق،َءاًَناِدَرَثََْأَفَ َلََكنا َة ْشُعنأََزيِثَكنا

“Permisalan petunjuk dan ilmu yang Allah utus diriku dengan membawa keduanya sebagaimana permisalan hujan lebat yang membasahi bumi. Diantara tanah yang diguyur air hujan, ada tanah yang subur, yang menyerap air sehingga dapat menumbuhkan

tetumbuhan dan rerumputan yang lebat” (HR. Bukhari)

Seperti itulah permisalan ilmu yang bermanfaat bagi seorang hamba. Ilmu tersebut akan memberikan manfaat kepada pemiliknya khususnya, dengan membuat hatinya semakin lembut, jiwanya semakin tunduk kepada Rabb-nya, lisan dan pandangannya semakin terjaga, dan seterusnya. Tidak hanya itu, manfaat ilmunya juga meluas kepada orang-orang di sekitarnya dengan akhlaknya yang semakin mulia serta ilmu yang telah ia raih ia ajarkan kepada orang-orang di sekelilingnya.

(10)

2- Mengamalkan ilmu

Ilmu dicari untuk diamalkan. Oleh karena itu, Allah Ta‟ala akan bertanya kepada semua orang yang telah belajar, apa yang telah mereka amalkan dari ilmu yang ia miliki?

َلَّ ُلُٔشَذاَيَذَقٍذْثَع َوَْٕيِحَياَيِقناٗارَح َلَأ ْسُي… ٍَْعًَِِّْٔهِع َىيِف َعَفَل

“Tidak akan bergeser dua telapak kaki hamba di hari kiamat sampai ia ditanya,(salah

satunya) tentang ilmunya, apa yang sudah dia amalkan?” (HR. Tirmidzi, beliau nilai hasan

shahih. Dan dinliai shahih oleh Al Albani)

Ketika seseorang memiliki niat yang ikhlas dalam menuntut ilmu, maka ia akan mengerti bahwa ilmu yang ia cari bukanlah tujuan akhir, tetapi bekal dia untuk beramal sehingga ia akan berusaha mengamalkan setiap ilmu yang ia miliki. Adapun orang yang niatnya rusak, maka mengamalkan ilmu bukanlah tujuan yang hendak ia capai. Oleh karena itu, Al Khatib Al Baghdadi rahimahullah mengatakan, “Seseorang tidak dianggap berilmu selama ia tidak

mengamalkan ilmunya” (Iqtidhaa-ul „Ilmi Al „Amal hal. 18, dinukil dari Tsamaratul „Ilmi Al

„Amal, hal. 45)

3- Terus memperbaiki niat

Orang yang merasa telah ikhlas dalam menuntut ilmu merupakan ciri tidak ikhlasnya ia dalam menuntut ilmu. Orang yang ikhlas justru terus memperbaiki dirinya dan meluruskan niatnya dalam setiap amalannya dan tidak merasa dirinya telah ikhlas. Sebagaimana yang dikatakan „Amr, “Barangsiapa yang mengatakan dirinya adalah orang yang berilmu, maka

dia adalah orang yang bodoh”. Ibnu Rajab mengatakan, “Orang yang jujur akan merasa

takut dirinya tertimpa kemunafikan dan takut mengalami su-ul khatimah” (lihat Fadhlu

„Ilmis Salaf „alal Khalaf, hal. 30-31)

4- Semakin tunduk dan takut kepada Allah Ta‟ala

Allah Ta‟ala berfirman,

اًَاَِإٗ َشْخَي َ اللَّا ٍِْيِِِداَثِع ُءاًََهُعْنا

“Sesungguhnya yang yang takut kepada Allah diantara para hamba-Nya hanyalah orang

yang berilmu” (QS. Fathir : 28)

Pada ayat di atas Allah menyebutkan bahwa orang yang takut kepada-Nya adalah orang yang berilmu. Oleh karena itu, semakin bertambah ilmu seseorang, semakin tunduk ia kepada Rabb-nya. Sebagian ulama mengatakan, “Siapa yang takut kepada Allah maka dia adalah orang yang berilmu. Dan siapa yang bermaksiat kepada Allah maka dia adalah orang yang

bodoh” (dinukil dari Fadhlu „Ilmis Salaf „alal Khalaf hal. 26).

(11)

5- Membenci pujian dan ketenaran

Senang dipuji dan cinta ketenaran adalah awal malapetaka pada diri seorang penuntut ilmu. Tidakkah kita ingat kisah tiga orang yang pertama kali diseret ke dalam neraka? Rasulullah menyebutkan salah satu diantara mereka, mengakuinya. Lalu ia ditanya, “Apa yang sudah kamu lakukan terhadap nikmat tersebut?”.

Ia menjawab, “Aku menuntut ilmu juga mengajarkannya, aku juga membaca Al Qur‟an

karena-Mu”. Lalu dikatakan padanya, “Kamu dusta! Kamu itu menuntut ilmu supaya

dijuluki sebagai orang yang berilmu! Kamu juga membaca Al Qur‟an karena ingin dikenal sebagai qari! Dan kamu pun telah mendapatkannya!”. Lalu orang tadi diseret di atas

wajahnya lalu dilempar ke neraka” (HR. Muslim)

6- Semakin tawadhu‟ di hadapan manusia

Bagai ilmu padi, ilmu yang bermanfaat yang dicari semata-mata mengharap wajah Allah

Ta‟ala akan membuat pemiliknya semakin tawadhu‟ di hadapan orang lain, tidak merasa

lebih hebat dibandingkan orang lain. Ibnu Rajab mengatakan, “Di antara tanda orang yang memiliki ilmu yang bermanfaat adalah ia tidak memandang dirinya memiliki status atau kedudukan khusus. Hatinya membenci rekomendasi dan sanjungan orang. Ia juga tidak

takabbur di hadapan orang lain” (Fadhlu „Ilmis Salaf „alal Khalaf, hal. 31)

Itulah di antara sedikit tanda-tanda lurusnya niat seseorang dalam menuntut ilmu. Sebagai penutup, kami bawakan sebuah nasihat indah dari Imam Al Ghazali rahimahullah teruntuk kita semua. Beliau mengatakan:

“Betapa banyak malam yang telah kau hidupkan dengan mengulang-ngulang ilmu dan membaca berbagai macam buku, dan kau halangi dirimu dari tidur? Aku tidak tahu apa yang memotivasimu untuk berbuat demikian. Jika niatmu adalah karena dunia, karena mencari harta dan mengumpulkan bagian-bagian dunia, atau berbangga-bangga dengan teman sepantaranmu, maka celakalah dan celakalah dirimu! Tapi jika niatmu adalah menghidupkan syari‟at Nabi shallallahu „alaihi wa sallam, membina akhlakmu, dan mematahkan jiwa yang suka mengajak kepada keburukan, maka beruntunglah dan

beruntunglah engkau!” (Ihya „Ulumuddin, hal. 105-106, dinukil dari Adabu Thalibil „Ilmi,

hal. 35)

Referensi : Hilyah Thalibil „Ilmi, Syaikh Bakr Abu Zaid. Bayaanu Fadhli „Ilmis Salaf „ala

„Ilmil Khalaf, Ibnu Rajab Al Hanbali Ma‟alim fii Thariqi Thalabil „Ilmi, Syaikh „Abdul „Aziz

As Sadhan Yogyakarta, 24 Dzulhijjah 1434

Penerbit: Dr. M. Saifudin Hakim, MSc. : Raehanul Bahraen :Yananto Sulaimansyah.

(12)

Mari kita perbaiki akhlak untuk dakwah

Orang salafi itu ilmunya bagus, ilmiah dan masuk akal tapi keras dan mau menang sendiri

[pengakuan seseorang kepada penyusun]

Karena akhlak buruk, beberapa orang menilai dakwah ahlus sunnah adalah dakwah yang keras, kaku, mau menang sendiri, sehingga beberapa orang lari dari dakwah dan menjauh. Sehingga dakwah yang gagal karena rusaknya ahklak pelaku dakwah itu sendiri. Padahal Rosululloh shallallahu „alaihi wa sallam bersabda,

اوُرِّفَىُج َلََو اوُر ِّشَبَو اوُر ِّسَعُج َلََو اوُر ِّسََ

Mudahkan dan jangan mempersulit, berikan kabar gembira dan jangan membuat manusia

lari” [HR. Bukhari, Kitabul „Ilmi no.69]

Karena Akhlak yang buruk pula ahlus sunnah berpecah belah, saling tahzir, saling menjauhi yang setelah dilihat-lihat, sumber perpecahan adalah perasaan hasad dan dengki, baik antar ustadz ataupun antar muridnya. Dan kita patut berkaca pada sejarah bagaimana Islam dan dakwah bisa berkembang karena akhlak pendakwahnya yang mulia.

Jangan lupa berdoa agar akhlak kita menjadi baik

Dari Ali bin Abi Thalib Rodhiallahu „anhu bahwa Rasululloh shallallahu „alaihi wa sallam dalam salah satu do‟anya beliau mengucapkan:

,ِق َلاْخَلِا ِه َسْدَ ِلِ ٍِْوِذْها َّمُهَّهنَأ, ْهََ َلَ ُهَّوِإَفَثْوَأ َّلَِإ بَهِى َسْدَ ِلِ ٌِْد

َثْوَأ َّلَِإبَهَئُِّ َس ٍِّْىَع ُفِرْصََ َلَبَهَئُِّ َس ٍِّْىَع ْفِرْصاَو

Ya Alloh, tunjukkanlah aku pada akhlak yang paling baik, karena tidak ada yang bisa menunjukkannya selain Engkau. Ya Alloh, jauhkanlah aku dari akhlak yang tidak baik,

karena tidak ada yang mampu menjauhkannya dariku selain Engkau.” (HR. Muslim 771,

Abu Dawud 760, Tirmidzi 3419)

Dan doa dijauhkan dari akhlak yang buruk,

ِءاَىْهَلِاَو ِلبَم ْعَلِاَو ِقَلاْخَلِا ِتاَرَكْىُم ْهِم َكِب ُرىُعَأ ًِّوِإ َّمُهَّهنا

Ya Alloh, aku berlindung kepadamu dari akhlak, amal dan hawa nafsu yang mungkar” (HR.

Tirmidzi no. 3591, dishohihkan oleh Al-Albani dalam Dzolalul Jannah: 13)

Semoga yang sedikit ini dapat bermanfaat kepada penulis khususnya dan kepada kaum muslimin umumnya. Hanya kepada Allah-lah kita semua memohon keikhlasan dalam setiap ucapan dan amalan.

Ya Allah, jadikanlah seluruh amalan kami sebagai amalan yang shalih, dan jadikanlah amalan kami tersebut ikhlas mengharap wajah-Mu semata, dan janganlah Engkau jadikan sedikitpun bagian untuk selain diri-Mu dalam amalan kami tersebut. Sesungguhnya Engkau

Referensi

Dokumen terkait

Petunjuk penggunaan ini bertujuan untuk memberikan informasi kepada responden tentang cara memberikan tanggapan pada kuesioner online yang menggunakan Google Form, yaitu sebagai

Produk Unit Link dipicu oleh terjadainya peningkatan yang sangat segnifikan pada pasar modal, sehingga dimanfaatkan oleh berbagai perusahaan asuransi sebagai ide

Salah satu tanaman industri yang tidak dikonsumsi manusia yaitu tanaman jarak pagar (Jatropha curcas L.). Penghambatan akumulasi logam berat ke dalam jaringan tanaman

Kon<ik agraria selain mer!pakan aki(at tiak ilaksanakann%a re'orma agraria& #!ga apat ter#ai alam proses re'orma agraria apa(ila persiapann%a agraria& #!ga

Untuk kelompok suku kata berawalan konsonan /V/, data tingkat keberhasilan terdapat pada tabel 2, pembobotan yang terdapat dari konsonan tersebut dapat diketahui

Turunnya nilai tukar pada subkelompok perikanan tangkap disebabkan oleh indeks harga yang diterima petani (It) mengalami penurunan sebesar 0,17 persen sementara indeks harga

Kapasitas daya tampung TPA adalah besarnya volume (sampah + tanah timbunan) yang dapat ditampung suatu TPA atau usaha yang telah dilakukan TPA dalam menampung volume sampah (sampah