DALAM PEMBANGUNAN
BADAN
PERENCANAAN
PEMBANGUNAN
DAERAH
PEMERINTAH
KOTA
MEDAN
Puji dan Syukur Kehadirat Allah SWT yang telah memberikan
petunjuk dalam menyelesaikan kajian ini dari awal hingga selesai.
Kajian ini berupaya untuk melihat tingkat partisipasi masyarakat
dalam pembangunan di Kota Medan. Tingkat partisipasi yang dimaksud
dimulai dari proses sosialisasi/ pengenalan, perencanaan, pelaksanaan,
evaluasi sampai kepada pemanfaatan dan pemeliharaan hasil-hasil
pembangunan.
Kajian ini diharapkan dapat menjadi informasi dalam menyusun
kebijakan Pemko Medan di masa mendatang, khususnya berkaitan dengan
program pembangunan yang melibatkan partisipasi masyarakat di
dalamnya.
Kajian ini pada dasarnya memiliki kelemahan-kelemahan tertentu,
untuk itu kritik dan saran membangun dari berbagai pihak sangat
diharapkan.
Akhirnya Tim Pengkaji mengucapkan terima kasih kepada seluruh
pihak yang telah membantu baik material maupun nonmaterial dalam
proses menyelesaikan kajian ini.
Medan, Desember 2010
KATA PENGANTAR i
DAFTAR I SI ii
DAFTAR TABEL iv
DAFTAR GAMBAR v
DAFTAR LAMPI RAN ix
BAB I PENDAHULUAN
1. Latar Belakang I -1
2. Tujuan I -2
3. Sasaran I -3
BAB I I TI NJAUAN TEORI TI S
1. Pengertian Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan I I -1 2. Bentuk Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan I I -2 3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Partisipasi
Masyarakat dalam Pembangunan I I -7 4. Pemberdayaan Masyarakat pada Program Pembangunan I I -15
BAB I I I METODOLOGI
1. Tempat dan Waktu Penelitian I I I -1 2. Ruang Lingkup Penelitian I I I -1 3. Populasi dan Sampel I I I -2 4. Teknik Pengumpulan Data I I I -2 5. Teknik Analisis Data I I I -3
BAB I V GAMBARAN UMUM KOTA MEDAN
2. Program dan Kegiatan Perencanaan Pembangunan
2005-2009 V-3
BAB VI DESKRI PSI DATA KAJI AN
1. Karakteristik Responden VI -1 2. Sosialisasi dan Pengenalan Program Pembangunan VI -3 3. Perencanaan Program Pembangunan VI -8 4. Pelaksanaan Program Pembangunan VI -15 5. Evaluasi Program Pembangunan VI -21 6. Penggunaan dan Pemeliharaan Hasil Program
Pembangunan VI -25 7. Kritik & Harapan Masyarakat terhadap Program
Pembangunan VI -27
BAB VI I ANALI SI S DATA KAJI AN
1. Sosialisasi dan Pengenalan Program Pembangunan VI I -1 2. Perencanaan Program Pembangunan VI I -3 3. Pelaksanaan Program Pembangunan VI I -8 4. Evaluasi Program Pembangunan VI I -12 5. Penggunaan dan Pemeliharaan Hasil Program
Pembangunan VI I -15 6. Kritik & Harapan Masyarakat terhadap Program
Pembangunan VI I -16
BAB VI I I PENUTUP
1. Kesimpulan VI I I -1 2. Saran VI I I -2
DAFTAR PUSTAKA
Tabel 4.1. Luas Wilayah Kota Medan Menurut Kecamatan I V-4
Tabel 4.2. Pertumbuhan Penduduk Kota Medan Tahun 2005-2009 I V-5
Tabel 4.3. Pertumbuhan Ekonomi Sektoral Kota Medan Tahun
2007-2009 I V-7
Tabel 4.4. Share Ekspor-I mpor Kota Medan terhadap Sumatera Utara (US$ Milyar) I V-10
Tabel 6.1. Kualitas hasil pembangunan lingkungan, sosial dan ekonomi (dalam persen) VI -25
Tabel 6.2. Kegunaan/ kemanfaatan hasil pembangunan lingkungan, sosial dan ekonomi yang dirasakan oleh masyarakat (dalam persen) VI -26
Tabel 6.3. Perubahan yang lebih baik dari hasil pembangunan lingkungan, sosial dan ekonomi (dalam persen) VI -26
Tabel 6.4. Tingkat pengetahuan masyarakat dalam memelihara hasil pembangunan lingkungan, sosial dan ekonomi (dalam persen) VI -26
Tabel 6.5. Tingkat kesadaran masyarakat dalam memelihara hasil pembangunan lingkungan, sosial dan ekonomi (dalam
Gambar 4.1. Peta Kota Medan I V-2
Gambar 4.2. Piramida Penduduk Kota Medan I V-5
Gambar 4.3. Pertumbuhan Ekonomi Kota Medan Tahun
2007-2009 (% ) I V-6
Gambar 4.4. PDRB Per Kapita Kota Medan Tahun 2007-2009 I V-9
Gambar 4.5. Perkembangan Perdagangan Luar Negeri Kota
Medan I V-9
Gambar 6.1. Jenis kelamin responden VI -1
Gambar 6.2. Usia responden VI -2
Gambar 6.3. Pekerjaan responden VI -3
Gambar 6.4. Kecukupan jumlah anggota masyarakat yang dipilih/ diundang untuk mengikuti sosialisasi/ pengenalan mengenai pentingnya partisipasi masyarakat dalam pembangunan VI -4
Gambar 6.5. Ketepatan anggota masyarakat yang dipilih/ diundang untuk mengikuti sosialisasi/ pengenalan VI -4
Gambar 6.6. Keseringan (rutinitas) pertemuan dengan masyarakat untuk sosialisasi/ pengenalan VI -5
Gambar 6.7. Kejelasan informasi yang disampaikan dalam pertemuan sosialisasi/ pengenalan VI -6
Gambar 6.8. Keterbukaan/ kebebasan warga dalam
menyampaikan ide/ gagasan untuk pembangunan VI -6
Gambar 6.12. Pembentukan Badan Keswadayaan masyarakat (BKM) dipilih oleh anggota masyarakat secara
terbuka VI -9
Gambar 6.13. Badan Keswadayaan masyarakat (BKM) yang dipilih adalah orang-orang yang cukup mampu menjalankan perannya VI -9
Gambar 6.14. Badan Keswadayaan masyarakat (BKM) yang dipilih
cukup mewakili seluruh elemen masyarakat VI -10
Gambar 6.15. Ada diberikan pelatihan kepada pimpinan BKM untuk menciptakan kemampuan dalam mengelola program VI -10
Gambar 6.17. Pelatihan berhasil dalam menciptakan kemampuan pimpinan BKM dalam mengelola program VI -11
Gambar 6.18. Keterlibatan banyak pihak, seperti lurah dan perangkatnya, pimpinan BKM dan anggotanya, dan pihak lain, dalam musyawarah untuk menyusun
perencanaan pembangunan VI -12
Gambar 6.19. Usulan/ ide dari masyarakat cukup diterima dalam
musyawarah VI -12
Gambar 6.20. Rencana pembangunan yang disusun cukup sistematis/ jelas gambarannya VI -13
Gambar 6.21. Anggaran/ dana yang tersedia dijelaskan dengan transparan/ terbuka VI -13
Gambar 6.22. Perencanaan pembangunan yang disusun memang prioritas/ relevan/ dibutuhkan masyarakat VI -14
pembangunan VI -15
Gambar 6.26. Pembagian tugas untuk melakukan suatu program pembangunan cukup jelas VI -16
Gambar 6.27. Waktu pelaksanaan program pembangunan terjadwal dengan baik VI -16
Gambar 6.28. Anggaran/ dana diserahkan sepenuhnya/ seluruhnya untuk program pembangunan VI -17
Gambar 6.29. Anggaran/ dana yang disediakan memang cukup memadai untuk melakukan suatu pembangunan VI -17
Gambar 6.30. Ketersediaan peralatan yang dibutuhkan untuk melaksanakan suatu program pembangunan VI -18
Gambar 6.31. Keikutsertaan masyarakat dalam melaksanakan suatu program pembangunan cukup tinggi baik dalam menyumbang tenaga VI -18
Gambar 6.32. Keikutsertaan masyarakat dalam melaksanakan suatu program pembangunan cukup tinggi baik dalam menyumbang dana VI -19
Gambar 6.33. Keikutsertaan masyarakat dalam melaksanakan suatu program pembangunan cukup tinggi baik dalam menyumbang peralatan atau material VI -19
Gambar 6.34. Keterlibatan perangkat kelurahan dalam melaksanakan suatu program pembangunan VI -20
Gambar 6.35. Keterlibatan Lembaga Swadaya Masayrakat (LSM) dalam melaksanakan suatu program pembangunan VI -20
dilakukan oleh Lembaga Swadaya masyarakat (LSM)/ perguruan tinggi, cukup baik VI -22
Gambar 6.39. Sarana pengaduan yang berkenaan dengan program pembangunan yang telah dilaksanakan VI -22
Gambar 6.40. Keberatan/ komplain masyarakat atas suatu program
yang tidak terlaksana dengan baik VI -23
Gambar 6.41. Keberatan/ komplain dari pihak lain seperti LSM/ perguruan tinggi atas suatu program yang tidak terlaksana dengan baik VI -23
Gambar 6.42. Partisipasi/ keikutsertaan masyarakat sepenuhnya dalam pemantauan program pembangunan yang telah dilaksanakan VI -24
Gambar 6.43. Dokumen tertulis mengenai hasil pemantauan suatu
program pembangunan disusun dengan baik VI -24
Lampiran 1. Kuisioner
Lampiran 2. Rekap Data Karakteristik Responden
Lampiran 3. Rekap Data Jawaban Responden
Lampiran 4. Rekap Data Komentar Responden
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Pada dasarnya, kajian ini didorong oleh perubahan besar yang
tengah terjadi pada masyarakat I ndonesia saat ini. Perubahan tersebut
terkait erat dengan semangat reformasi dan otonomi daerah yang
bermaksud untuk lebih mengurangi peran pemerintah dengan
memberikan kesempatan yang lebih besar pada masyarakat untuk
berpartisipasi dalam pembangunan. Pemberlakuan Undang-Undang Nomor
32 Tahun 2004 tentang pemerintah daerah merupakan bentuk respons
atas semangat perubahan tersebut. Dengan demikian penyelenggaraan
otonomi daerah harus dilandasi oleh prinsip-prinsip demokrasi,
pemberdayaan masyarakat, partisipasi dan pemetaan.
Akibat otonomi daerah tersebut, paradigma pembangunan daerah
juga mengalami perubahan, termasuk diantaranya perubahan sistem dan
mekanisme perencanaan pembangunan daerah. Untuk mendukung
semangat otonomi daerah tersebut, Pemerintah Kota Medan telah
menterjemahkan, melalui penyusunan Rencana Tahunan, Renstra dan
RPJMD, dimana penyusunan dokumen tersebut melalui sistem
perencanaan yang berorientasi kepada semangat otonomi daerah.
Penyusunannya dilakukan dengan mengundang seluruh elemen
masyarakat Kota Medan. Partisipasi mereka diharapkan akan memberikan
informasi mengenai kondisi, kebutuhan dan keinginan masyarakat Kota
Dalam kajian ini, masyarakat tersebut direpresentasikan melalui
unsur-unsur civil society yang tersebar di seluruh wilayah Pemerintahan
Kota Medan. Masyarakat sendiri merupakan elemen penting kekuatan
masyarakat dan proses demokratisasi di Kota Medan. Keberadaan mereka
sangat strategis dalam mempengaruhi pengambilan keputusan kebijakan
dalam proses penyusunan perencanaan pembangunan. Namun demikian,
masalah yang seringkali muncul adalah berkenaan dengan kesiapan,
kualitas isu, kebijakan, kuantitas dan kredibilitas mereka.
2. Tujuan
Tujuan dari Kajian Tingkat Partisipasi Masyarakat dalam
Pembangunan ini adalah mengetahui sejauhmana tingkat partisipasi
masyarakat dalam pembangunan, sehingga dengan informasi tersebut
Pemerintah Kota Medan memahami dan dapat menerakan pendekatan
partisipasif untuk menyusun program-program strategis daerah.
Secara khusus tujuan kajian ini adalah sebagai berikut:
1. Mengetahui bagaimana sosialisasi mengenai program partisipasi
masyarakat dalam pembangunan
2. Mengetahui bagaimana partisipasi masyarakat dalam perencanaan
pembangunan
3. Mengetahui bagaimana partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan
pembangunan
4. Mengetahui bagaimana partisipasi masyarakat dalam evaluasi
pembangunan
5. Mengetahui bagaimana partisipasi masyarakat dalam
3. Sasaran
Terkait dengan tujuan di atas, sasaran disusunnya kajian tingkat
partisipasi masyarakat dalam pembangunan ini, antara lain :
¾ Tersedianya kerangka dan instrumen bagi implementasi dan
operasionalisasi kebijakan pembangunan untuk dapat
melaksanakan desentralisasi pembangunan daerah secara efektif.
¾ Tersedianya instrumen untuk mendekatkan visi, misi pembangunan
daerah kepada manajemen dan oerasionalisasi perencanaan,
implementasi dan penganggaran.
¾ Tersedianya kerangka untuk pengambilan keputusan pembangunan
jangka menengah.
BAB I I
TI NJAUAN TEORI TI S
1. Pengertian Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan
Secara harfiah kata partisipasi bisa diartikan sebagai ikut serta,
berasal dari kata “take a part” atau diambil bagian. Lebih umum lagi kata
ini bisa berarti ikut sertanya suatu kesatuan untuk ambil bagian dalam
aktivitas yang dilaksanakan oleh susunan kesatuan yang lebih besar lagi.
Selanjutnya istilah partisipasi (participation) erat hubungannya dengan
istilah partnership, yang berarti bahwa partisipasi hendaknya harus
disertai dengan sikap ikut bertanggung jawab dari satu kesatuan yang
turut ambil bagian di dalam aktivitas tersebut.
Asngari (2001: 29) menyatakan bahwa, partisipasi itu dilandasi
adanya pengertian bersama dan adanya pengertian tersebut adalah
karena diantara orang-orang itu saling berkomunikasi dan berinteraksi
sesamanya. Dalam menggalang peran serta semua pihak itu diperlukan :
(1) terciptanya suasana yang bebas atau demokratis, dan (2) terbinanya
kebersamaan. Midgley (1986:113) mendefinisikan bahwa partisipasi
merupakan bentuk hubungan yang saling menguntungkan. Sejalan
dengan itu Yeung dan McGee (1986:97) mengartikan partisipasi sebagai
penyerahan sebagian peran dalam kegiatan-kegiatan dan tanggung jawab
tertentu dari satu pihak kepada pihak lain.
Selanjutnya Slamet (2003: 8) menyatakan secara khusus mengenai
partisipasi masyarakat dalam pembangunan yakni sebagai ikut sertanya
masyarakat dalam pembangunan, ikut dalam kegiatan-kegiatan
pembangunan, dan ikut serta memanfaatkan dan menikmati hasil-hasil
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa partisipasi
masyarakat mengandung makna adanya keterlibatan aktif serta
pembagian peran dan tanggung jawab di antara pelaku. Partisipasi juga
mengandung arti keterlibatan sebagian besar masyarakat secara aktif dan
bermakna pada dua tingkat yang berbeda yakni proses pengambilan
keputusan dalam penetapan tujuan dan alokasi sumber daya serta proses
penetapan program dan proyek dalam pembangunan.
2. Bentuk Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan
Gaventa dan Valderama dalam Arsito (2004), mencatat ada tiga
tradisi konsep partisipasi terutama bila dikaitkan dengan pembangunan
masyarakat yang demokratis yaitu: 1) partisipasi politik Political
Participation, 2) partisipasi sosial Social Participation dan 3) partisipasi
wargaCitizen Participation/ Citizenship, ke tiga hal tersebut dapat
dijelaskan sebagai berikut :
1. Partisipasi Politik, political participation lebih berorientasi pada
”mempengaruhi” dan ”mendudukan wakil-wakil rakyat” dalam
lembaga pemerintahan ketimbang partisipasi aktif dalam
proses-proses kepemerintahan itu sendiri.
2. Partisipasi Sosial, social Participation partisipasi ditempatkan
sebagai keterlibatan masyarakat terutama yang dipandang sebagai
beneficiary atau pihak di luar proses pembangunan dalam
konsultasi atau pengambilan keputusan dalam semua tahapan
siklus proyek pembangunan dari evaluasi kebutuhan sampai
penilaian, implementasi, pemantauan dan evaluasi. Partisipasi sosial
sebenarnya dilakukan untuk memperkuat proses pembelajaran dan
mobilisasi sosial. Dengan kata lain, tujuan utama dari proses
sendiri tetapi keterlibatan komunitas dalam dunia kebijakan publik
lebih diarahkan sebagai wahana pembelajaran dan mobilisasi sosial.
3. Partisipasi Warga, citizen participation/ citizenshipmenekankan pada
partisipasi langsung warga dalam pengambilan keputusan pada
lembaga dan proses kepemerintahan. Partisipasi warga telah
mengalihkan konsep partisipasi “dari sekedar kepedulian terhadap
‘penerima derma’ atau ‘kaum tersisih’ menuju ke suatu kepedulian
dengan berbagai bentuk keikutsertaan warga dalam pembuatan
kebijakan dan pengambilan keputusan di berbagai gelanggang
kunci yang mempengaruhi kehidupan mereka”. Maka berbeda
dengan partisipasi sosial, partisipasi warga memang lebih
berorientasi pada agenda penentuan kebijakan publik oleh warga
ketimbang menjadikan arena kebijakan publik sebagai wahana
pembelajaran.
Koentjaraningrat (1985: 97-105) membedakan partisipasi dalam
bentuk aktifitas-aktifitas bersama dalam proyek-proyek pembangunan
yang khusus; dan partisipasi individu diluar aktivitas bersama dalam
pembangunan. Kedua tipe partisipasi yang digambarkan oleh
Koenjaraningrat merupakan bentuk partisipasi masyarakat dalam
pembangunan.
Partisipasi yang dimaksudkan melibatkan masyarakat desa secara
luas dalam pengambilan keputusan-keputusan, mulai dari diagnosis
masalah, identifikasi potensi sumber daya, perencanaan program dan
penentuan program yang diusulkan hingga ke tingkat daerah, dan sampai
pada pelaksanaan program pembangunan serta pengawasan dan evaluasi.
Namun demikian, pemerintah tetap sebagai kontrol sehingga
perencanaan pembangunan yang bottom-up tidak melenceng dari tujuan
pembangunan. Pembangunan masyarakat yang direncanakan dari bawah
tertentu. Untuk mengatasi adanya perbedaan-perbedaan, maka perlu
dibentuk suatu institusi atau lembaga yang terintegrasi secara normatif
pada kondisi yang kompleks secara keseluruhan di berbagai tingkat
pelayanan dalam suatu sistem pemerintahan.
Cohen dan Uphof dalam Komarudin (1997:320) dalam partisipasi
masyarakat dikenal adanya tipe partisipasi masyarakat dalam
pembangunan, yaitu:
a. Partisipasi dalam membuat keputusan (membuat beberapa pilihan
dari banyak kemungkinan dan menyusun rencana-rencana yang
bisa dilaksanakan, dapat atau layak dioperasionalisasikan
b. Partisipasi dalam implementasi (kontribusi sumberdaya,
administrasi dan koordinasi kegiatan yang menyangkut tenaga
kerja, biaya dan informasi)
c. Dalam kegiatan yang memberikan keuntungan (material, sosial dan
personel)
d. Dalam kegiatan evaluasi termasuk keterlibatan dalam proses yang
berjalan untuk mencapai tujuan tertentu yang telah ditetapkan.
Pendekatan dengan partisipasi masyarakat dalam pembangunan,
memungkinkan keseimbangan antara kepentingan administrasi dari
pemerintah setempat dan integrasi penduduk setempat dalam proses
pengambilan keputusan pada tingkat lokal. Terdapat 2 (dua) macam
partisipasi penduduk, yaitu (Jayadinata, 1999:201-202):
1. Partisipasi Vertikal
Penduduk diberi lebih banyak kesempatan untuk menyumbangkan
pendapatnya dalam pembangunan I nteraksi dengan cara dari bawah ke
atas (bottom up) dalam hal:
• Teknik belajar dan mendengarkan (masyarakat diberi informasi
• Pengumuman informasi berhubungan dengan program yang
diusulkan.
• Masukan yang terus dari berbagai golongan.
• Penelaahan kembali rencana yang diusulkan.
2. Partisipasi Horisontal
Dalam partisipasi ini masyarakat berinteraksi secara horizontal dalam
hal:
• Masyarakat setempat berinteraksi dengan berbagai kelompok lain.
• Mengambil pengalaman dari kelompok lain.
• Mempengaruhi agar persentase partisipasi penduduk menjadi lebih
besar.
Partispasi masyarakat secara umum terbagi dalam 8 (delapan)
tingkatan menurut Arstein (dalam Panudju, 1999 : 72 -76 )
tingkatan-tingkatan tersebut, adalah:
a. Manipulation. Merupakan tingkatan partisipasi yang paling rendah
karena masyarakat hanya dipakai namanya saja sebagai anggota
dalam berbagai badan penasehat. Tidak ada peran yang nyata, karena
hanya diselewengkan sebagai.publikasi oleh pihak penguasa.
b. Theraphy. Pada tingkatan ini, masyarakat diperlakukan seolah-olah
seperti proses penyembuhan pasien penyakit jiwa dalam grup terapi.
Masyarakat terlibat dalam banyak kegiatan, namun hal tersebut hanya
ditujukan untuk mengubah pola pikir masyarakat daripada
mendapatkan informasi atau usulan-usulan.
c. I nforming. Merupakan tahap pemberian informasi kepada masyarakat
tentang hak-hak, tanggung jawab dan berbagai pilihan. Biasanya
hanya diberikan secara satu arah, dari penguasa ke rakyat, tanpa
adanya kemungkinan umpan balik, Pada tingkat ini masyarakat diberi
masyarakat. Biasanya dilakukan dengan cara media berita, pamflet,
poster dan tanggapan atas pertanyaan.
d. Consultation. Mengundang opini masyarakat, setelah memberi
informasi kepada mereka. Apabila konsultasi tidak disertai dengan
cara-cara partisipasi yang lain, maka tingkat keberhasilannya akan
rendah, mengingat tidak adanya jaminan kepedulian terhadap ide-ide
masyarakat. Tahap ini biasanya dilakukan dengan cara pertemuan
lingkungan, survei tentang pola pikir masyarakat dan dengar pendapat
publik.
e. Placation. Pada tingkat ini masyarakat mulai mempunyai pengaruh,
meskipun dalam beberapa hal masih ditentukan oleh penguasa.
Beberapa anggota masyarakat yang dianggap mampu dimasukkan
sebagai anggota dalam badan kerjasama. Usul-usul dari masyarakat
berpenghasilan rendah dapat dikemukakan, tetapi sering tidak
diperhitungkan karena kemampuan dan kedudukannya relatif rendah
atau jumlah mereka terlalu sedikit bila dibandingkan dengan
anggota-anggota instansi pemerintah lainnya.
f. Partnership. Pada tingkat ini, atas kesepakatan bersama, kekuasaan
dalam berbagai hal dibagi antara masyarakat dengan pihak penguasa.
Disepakati juga pembagian tanggung jawab dalam perencanaan,
pengendalian keputusan, penyusunan kebijaksanaan dan pemecahan
berbagai permasalahan yang dihadapi. Setelah adanya kesepakatan
tersebut maka tidak dibenarkan adanya perubahan-perubahan yang
dilakukan secara sepihak.
g. Delegated Power. Pada tingkat ini masyarakat diberi limpahan
kewenangan untuk membuat keputusan pada rencana atau program
tertentu. Masyarakat berhak menentukan program-program yang
bermanfaat bagi mereka. Untuk memecahkan masalah, pemerintah
h. Citizen Control. Pada tingkat ini masyarakat mempunyai kekuatan
untuk mengatur program atau kelembagaan yang berkaitan dengan
kepentingan mereka. Masyarakat mempunyai kewenangan penuh di
bidang kebijaksanaan, aspek-aspek pengelolaan dan dapat
mengadakan negosiasi dengan "pihak-pihak luar" yang hendak
melakukan perubahan.
3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Partisipasi Masyarakat
Partisipasi berkaitan pula dengan prinsip yang saling
menguntungkan (mutual learning) antara masyarakat dengan “orang luar”
(pemerintah atau lembaga kemasyarakatan). Dalam hal ini terdapat
pengakuan terhadap pengalaman dan pengetahuan antar pelaku.
Pengetahuan dana pengalaman masyarakat dan pihak lain bersifat saling
melengkapi dan sama nilainya untuk menghasilkan sesuatu yang lebih
baik.
Pemahaman dan kesadaran masyarakat terhadap kehidupannya
relatif berbeda antara satu kelompok dengan kelompok lainnya. Midgley
(1986: 113) menyatakan bahwa pihak yang berperan dalam menyadarkan
masyarakat adalah pekerja sosial/ lembaga swadaya masyarakat.
Penyadaran ini dilakukan melalui kegiatan pendampingan, diman
mekanisme pendampingan yang sah menyebabkan kegagalan penerapan
pendekatan partisipasi masyarakat (UNDP, 1998: 6).
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa terdapat empat
pelaku yang mempengaruhi keberhasilan partisipasi masyarakat, yakni
pemerintah, pelaksana, fasilitator serta masyarakat itu sendiri. Partisipasi
dapat terlaksana selama keempat pelaku saling mendukung.
Untuk itu diperlukan pemahaman tentang kinerja dan hubungan
a. Pemerintah dan Pelaksana
Dalam hal ini, respon pemerintah terhadap partisipasi masyarakat
dirumuskan dalam empat tipologi, yakni anti partisipatif, partisipatif,
manipulatif dan inkremental (Midgley, 1986:147). Pada tipologi pertama,
pemerintah tidak memberi kesempatan dan dukungan bagi masyarakat
untuk berpartisipasi. Dalam tipologikedua, pemerintah secara aktif
mendukung masyarakat dalam mobilisasi sumber daya dan pengambilan
keputusan. Pada tipologi ketiga, pemerintah memaafkan partisipasi
masyarakat untuk tujuan tertentu yang menguntungkan pemerintah.
Sedangkan pada tipologi keempat, pemerintah tidak sepenuhnya
mendukung partisipasi masyarakat. I ni ditandai oleh perumusan program
yang tidak jelas dan implementasi program yang kurang tepat.
Pemerintah diharapkan memberikan respon positif terhadap
partisipasi masyarakat. Cheema (1987:72-74) berpendapat bahwa peran
pemerintah yang terlampau besar dalam pengadaan prasarana cenderung
counter productive, karena prasarana yang dibangun kurang sesuai
dengan kebutuhan masyarakat. Pemerintah seharusnya menciptakan
mekanisme pelibatan masyarakat lokal dalam semua aspek
pengembangan (Midgley, 1986:44). Pemerintah seharusnya juga memiliki
kemampuan dan kemauan dlam memahami permasalahan masyarakat
(Hollnsteiner dalam Midgley, 1986:43). Pemerintah harus memberi
kesempatan kepada masyarakat dalam menyampaikan usul, masalah dan
kebutuhan serta bersedia manampung aspirasi mereka. Selain itu
pemerintah harus aktif dalam melakukan dialog rutin untuk menamung
aspirasi masyarakat (Cheema, 1987:102-104).
Dukungan pemerintah terhadap partisipasi masyarakat dilakukan
melalui beberapa bentuk, yakni sosialisasi program kepada masyarakat;
pelibatan masyarakat dalam identifikasi kebutuhan, pemilihan dan
pengelolahan keuangan dan administrasi, pelibatan masyarakat secara
langsung sebgai tenaga kerja lokal; peningakatan peran panitia
pembangunan dan tokoh masyarakat dalam alokasi sumber daya,
pemilihan tenaga kerja, pengawasan dan evaluasi proyek, serta pelatihan
tenaga kerja dari masyarakat untuk meningkatkan ketrampilannya
(Cheema, 1987:104-105).
Dari uraian tersebut disimpulkan bahwa pemberian kesempatan
dan dukungan pemerintah dapat menunjang partisipasi. Pemberian
kesempatan dan dukungan akan meningkatkan kemauan dan kemampuan
masyarakat. Bentuk-bentuk pemberian kesempatan dan dukungan
pemerintah kepada masyarakat antara lain melalui pelibatan dalam
kegiatan sosialisasi program. Sedangkan bentuk bantuan pemerintah bisa
berupa pelatihan perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan evaluasi
proyek bagi tokoh dan kelompok masyarakat, serta pelatihan ketrampilan
bagi tenaga kerja lokal.
Upaya pemerintah mempengaruhi pula kinerja fasilitator. Dukungan
pemerintah dapat meningkatkan upaya fasilitator dalam mendampingi
masyarakat, yang diwujudkan antara lain melalui pemberian pelatihan
tentang konsep pendampingan, pemberian informasi program secara jelas
serta kelancaran koordinasi (Midgley, 1986:32-34). Selain itu pemerintah
perlu melibatkan fasilitator dalam identifikasi kebutuhan masyarakat,
pemilihan dan penyepakatan lokasi proyek (Cheema, 1987:104-105).
Dalam kondisi ini, terdapat kendala terhadap upaya pemerintah
dalam meningkatkan partisipasi masyarakat. Kendala tersebut mencakup
tidak terpenuhinya prasyarat dasar untuk memulai pendekatan partisipatif.
Prasyarat yang dibutuhkan antara lain komitmen kuat dari berbagai pihak
terutama pemerintah dan masyarakat, iklim demokrasi dan keterbukaan,
kelembagaan dan administrasi yang inovatif dan fleksibel, serta dukungan
(Anonim,1990:5). Kendala lain meliputi sikap patermalistik birokrasi
pemerintah, keterbatasan pengalaman pemerintahan, pengambilan
keputusan yang sentralistik serta struktur dan proses birokrasi yang kuat
(Cheema,1987:85). Selain itu kecenderungan pemerintah untuk
menerapkan pendekatan pembangunan yang lebih berorientasi pada
tujuan (goal oriented) dan mengesampingkan aspirasi masyarakat juga
dapat menjadi kendala tersendiri.
Pihak pelaksana dapat mempengaruhi kemauan masyarakat
berpartisipasi. Pelaksana diharapkan untuk memberikan kesempatan
pelibatan masyarakat secara optimal sehingga motivasi masyarakat
meningkat sejalan dengan kepercayaan yang diberikan. Dalam hal ini,
pelaksana seharusnya bersedia menampung aspirasi dan kebutuhan
masyarakat dalam perencanaan proyek, melibatkan masyarakat sebagai
tenaga kerja, memberi kesematan dalam bentuk lain serta
menindaklanjuti laporan pengawasan pekerjaan masyarakat. Tindakan
dalam mendukung penerapan pendekatan partisipatif oleh pelaksana
dapat menunjang keberhasilan partisipasi (Cheema, 1987:103-106).
b. Fasilitator
Fasilitator memiliki peran penting dalam memunculkan dan
meningkatkan kesadaran masyarakat. Fasilitator erlu mengarahkan
masyarakat untuk menyadari situasi kehidupan mereka serta memahami
penyebab dan alternatif pemecahan situasi tersebut. Selain itu fasilitator
memiliki peran pula sebagai motivator dan Community organizers
(Midgley, 1986: 30-31).
Fasilitator perlu melakukan berbagai upaya untuk mewujudkan
peran tersebut. Mereka perlu menyampaikan informasi proyek melalui
tokoh/ masyarakat serta generasi muda; menbujuk, mempengaruhi dan
meyakinkan masyarakat; memberi informasi mengenai manfaat dan
kondisi fisik, sosial dan ekonomi; memudahkan akses kelompok/ organisasi
masyarakat ke berbagai sumber daya; menempatkan kelompok
masyarakat dalam organisasi formal; mengadakan penyuluhan dan
ketrampilan teknis kepada masyarakat, serta mendukung kondisi program
(Anonim, 1990:5).
Upaya fasilitator dapat mempengaruhi kemauan dan kemampuan
masyarakat. Dengan pemberian kesadaran, motivasi dan keyakinan,
kemauan masyarakat dapat meningkat. Selain itu, melalui upaya dalam
meningkatkan akses ke sumber pembiayaan atau pengadaan penyuluhan
dan pelatihan, kemampuan masyarakat dalam membiayai program atau
menyumbangkan tenaga meningkat pula. Sebagai contoh keberhasilan
fasilitator adalah pendirian koperasi simpan pinjam dalam meningkatkan
kemampuan masyarakat untuk membayar biaya pembangunan (UNDP,
1998: 6).
Fasilitator perlu memiliki sikap dan kemampuan manajemen . sikap
yang perlu adalah demokratis dan terbuka, kebersamaan, serta
ketanggapan. Sedangkan kemampuan manajemen yang perlu dimiliki
meliputi kemampuan pendelegasian wewenang, berkreasi, serta
kemampuan memberi dan berkreasi terhadap umpan balik
(UNDP,1998:6).
Sikap demokratis dan terbuka adalah sikap utama yang perlu
dimiliki fasilitator, yakni bersedia memberi dan menerima pendapat
masyarakat, khususnya dalam proses pengambilan keputusan. Selain itu
fasilitator perlu menyebarluaskan informasi proyek secara jujur kepada
warga/ tokoh masyarakat. Sikap fasilitator yang kurang demokratis dan
terbuka, menyebabkan kurang berhasilnya proses pendampingan.
Fasilitator tidak boleh menetapkan pemecahan masalah. Meraka hanya
membantu masyarakat dalam merumuskan dan memecahkan masalah
menjaga pengambilan keputusan yang demokratis dan otonomi pada
institusi lokal tanpa dipengaruhi oleh pihak luar.
Fasilitator perlu memiliki sikap kebersamaan yang diwujudkan
dalam tiap kegiatan pada tahap perencanaan, pelaksanaan dan
pengelolaan program. Selain itu dibutuhkan sikap tanggap dalam
memberikan reaksi terhadap masalah yang dilontarkan masyarakat. Bila
fasilitator secara cepat mampu memberikan tanggapan, masyarakat
memiliki keperluan menyampaikan permasalahan sehingga kemauan
masyarakat dalam menyampaikan usul/ masalah menjadi meningkat.
Fasilitator perlu menunjukkan sikap netral dalam melaksanakan tugas
pendampingan. Sikap kenetralan ditunjukan dengan upaya mendamaikan
serta memfasilitasi komunikasi di antara pihak-pihak yang berbeda
pendapat. Fasilitator tidak memihak, membela atau menyalahkan salah
satu pihak.
Fasilitator perlu mendapatkan pelatihan formal agar memiliki sikap
dan kemampuan menajemen yang mendukung proses pendampingan
(Midgley, 1986:30). Melalui pelatihan, fasilitator diharapkan akan
memahami hubungan antar individu/ kelompok, memberi dukungan
aktivitas kelompok, meningkatkan solidaritas kelompok dan meningkatkan
akses masyarakat ke sumber daya.
Prilaku seseorang tidak hanya dipengaruhi oleh faktor eksternal
tetapi juga internal. Perilaku anggota dalam mencapai tujuan organosasi
tidak hanya dipengaruhi oleh intervensi pihak luar dalam mengubah
kondisi kerja, tetapi juga kebutuhan, nilai dan perasaan mereka sendiri
(Bryant, 1987: 82). Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa upaya, sikap
kemauan dan manajemen fasilitator tidak semata-mata dipengaruhi oleh
pemerintah tetapi juga faktor internal dalam diri fasilitator yang
c. Masyarakat
Masyarakat berhubungan langsung dengan partisiasi, dimana faktor
yang mempengaruhi partisipasi mencakup kemampuan dan kemauan.
Semakin tinggi kemampuan dan kemauan masyarakat, semakin tinggi
pula kecendrungan masyarakat berpartisipasi.
Kemampuan masyarakat dinilai dari berbagai indikator sosial
ekonomi masyarakat, dalam hal ini faktor finansial, sumber daya manusia
dan organisasi sosial dalam masyarakat tersebut. Selain itu kemampuan
masyarakat dapat diukur dari kemampuan bersikap dan bertindak,
menyediakan tenaga serta memberikan sumbangan (harta benda)
(Bourne,1984: 232). Perbedaan-perbedaan individu akan mempengaruhi
cepat lambatnya proses adopsi inovasi (Slamet, 1978:76). Perbedaan
individu tersebut antara lain meliputi umur, pendidikan, status sosial,
status ekonomi (penghasilan) dan pola hubungan. Oleh karena itu variabel
sosial ekonomi masyarakat dapat digunakan untuk menilai kemampuan
masyarakat. Secara rinci, kemampuan bersikap dan bertindak diukur
dengan umur kepala keluarga, pendidikan kepala keluarga, dan
pendidikan tertinggi anggota keluarga. Kemampuan menyediakan tenaga
dinilai dari pekerjaan, sedangkan kemampuan menyumbang atau
membayar dinilai dari penghasilan.
Kemampuan masyarakat dapat pula diukur dari kemampuan
organisasi sosial kemasyarakatan. Secara rinci kemampuan organisasi
sosial kemasyarakatan dinilai dari kemampuan memobilisasi sumber daya
masyarakat, berinovasi dalam pemecahan masalah, membuat program
yang menguntungkan masyarakat serta berhubungan baik dengan pihak
pemberi bantuan (Midgley, 1986:154-157). Kemampuan organisasi dapat
mempengaruhi kemampuan masyarakat dalam mengorganisasikan diri.
Kemampuan ini relatif dipengaruhi oleh pengalaman serta kemauan
organisasi perlu memiliki kemampuan dalam memobilisasi sumber daya
masyarakat (usul, tenaga, harta benda) serta memanfaatkan mobilisasi
tersebut dalam bernegoisasi dengan pemerintah (Cheema, 1987: 96).
Sejalan dengan pengertian organisasi, maka diperlukan pula kemampuan
dalam perumusan kesepakatan dan pembagian tugas di antara anggota
sebagai dukungan dalam kemampuan mengorganisasikan diri.
Kemauan masyarakat dinilai dari ikatan psikologis pada lingkungan,
interaksi dan komunikasi serta persepsi tentang kegiatan partisipasi
sebelumnya (Whyte dalam Bourne,1984:232). I katan psikologis yang kuat
pada lingkungannya. Meningkatkan kemampuan masyarakat untuk
melibatkan diri dalam kegiatan kolektif. I katan psikologis pada
lingkungannya dinilai dari status rumah, lama tinggal dan asal penduduk.
Berkaitan dengan interaksi dan komunikasi, Landecker (1971: 338)
mengemukan pula adanya hubungan antara partisipasi dengan intergrasi
komunikatif. I ntergrasi komunikatif diukur dari indikator pengelanan
terhadap tetangga, saling mengunjungi antar tetangga, dan keikutsertaan
dalam kegiatan-kegiatan yang ada di lingkungannya. Salain itu
pengalaman dan manfaat positif kegiatan partisipasi sebelumnya
mempengaruhi pula kemauan masyarakat.
Kemauan masyarakat dipengaruhi pula oleh manfaat program yang
disarankan serta kesamaan persepsi kebutuhan antara masyarakat dan
pemerintah. Masyarakat akan cenderung bersedia berpartisipasi bila ada
manfaat yang disarankan (Cheema, 1987:100-101).
Faktor sosiologis masyarakat juga mempengaruhi kemauan
masyarakat untuk berpartisipasi (Midgley, 1986:29). Masyarakat yang
masih kuat memegang nilai tradisional cenderung kurang bersedia
menerima kemajuan. Selain itu, sebagian masyarakat miskin memiliki
sikap apatis dan keengganan dalam meningkatkan kualitas kehidupannya
sebagian masyarakat miskin sebenarnya telah memahami penyebab dan
pemecahan masalah (Hakim dalam Midgley, 1986: 28). Homogenitas etnik,
pendidikan dan pendapatan dapat meningkatkan partisipasi masyarakat.
Masyarakat yang heterogen cenderung kurang memiliki kesadaran sosial
dan kebersamaan karena memiliki kepentingan sosial, ekonomi, politik
yang beragam (Cheema, 1987:99). Dapat dikatakan bahwa kemauan
masyarakat tidak hanya dipengaruhi oleh faktor eksternal (pemerintah,
pelaksana dan fasilitator) tetapi juga oleh faktor internal (sosiologis
masyarakat)
4. Pemberdayaan Masyarakat Pada Program Pembangunan
Pemberdayaan masyarakat merupakan proses perubahan struktur
yang harus muncul dari masyarakat, dilakukan oleh masyarakat, dan
hasilnya ditujukan untuk kesejahteraan masyarakat. Proses perubahan
tersebut berlangsung secara alamiah dengan asumsi bahwa setiap
anggota masyarakat sebagai pelaku-pelaku sosial yang ikutdalam proses
perubahan tersebut.
Kemandirian dapat tercipta dari sebuah masyarakat yang mampu
berpartisipasi secara aktif dalam proses pembangunan. Partisipasi
masyarakat berkaitan dengan proses pembelajaran yang akan
meningkatkan kemampuan atau potensi yang dimilikinya.
Dengan kata lain, pembelajaran masyarakat pertama-tama harus
difokuskan pada usaha melepaskan seseorang dari realitas yang
menghambat eksistensi, yakni hambatan yang berupa ketidaksederajatan,
tekanan, dan penindasan dari pihak luar yang merasa lebih
berpengetahuan, berpangkat, berjabatan dan lain sebagainya.
Namun demikian, hampir di setiap lini kehidupan masih terdapat
sikap-sikap munafik dan feodalisme terutama pada golongan yang
pihak yang lemah. Pemberdayaan memerlukan keterlibatan masyarakat
secara aktif.
Dalam konteks pemberdayaan, masyarakat harus diberdayakan
untuk merumuskannya sendiri melalui sebuah proses pembangunan
konsensus diantara berbagai individu dan kelompok social yang memiliki
kepentingan dan menanggung resiko langsung (stakeholders) akibat
adanya proses atau intervensi pembangunan, baik pembangunan
ekonomi, sosial maupun lingkungan fisik.
Pemberdayaan harus berperan untuk mewujudkan konsep
masyarakat belajar atau Concept of Societal Learning dan caranya adalah
dengan mempertemukan top down approach dengan bottom-up approach
yang pada dasarnya adalah “kontradiktif“ (Friedmann dalam Burke, 2004:
238).
Kedua macam pendekatan ini kontradiktif karena masyarakat dan
perencana sangat sering memiliki pemahaman masalah, perumusan,
tujuan dan ide-ide pemecahan praktis yang berbeda akibat menganganya
jurang pengetahuan dan komunikasi antara perencana dengan
masyarakat. Pendekatan yang bertentangan ini membutuhkan aktualisasi
relasi baru, yang mampu mengintegrasikan proses saling belajar (mutual
learning) dari kedua belah pihak melalui proses perencanaan yang disebut
sebagai Transactive Planning (Perencanaan Transaktif). Selanjutnya
Friedmann dalam Burke, bahwa Perencanaan Transaktif merupakan
tanggapan terhadap kesenjangan komunikasi antara perencana teknis dan
para klien. Untuk menutup kesenjangan tersebut, suatu rangkaian
transaksi pribadi yang terus menerus dan terutama transaksi secara verbal
antara perencana dan klien, sangat dibutuhkan. Friedmann juga
menunjukkan bahwa tumbuhnya kaum teknokrat dari masyarakat kita
menuntut adanya metode pengambilan keputusan yang didasarkan pada
dibutuhkan suatu penggabungan sains dan teknologi dengan pengetahuan
pribadi pada tahap-tahap kritis intervensi sosial guna menghindari agar
pengambilan keputusan tidak berada di tangan pihak teknokrat secara
eksklusif. Perencanaan Transaktif memungkinkan perencana belajar
pengetahuan eksperimental dari klien, sedangkan klien belajar
pengetahuan teknis dari perencana. Melalui proses ini pula, kedua macam
pengetahuan tersebut masing-masing akan berubah dengan sendirinya,
dan kemudian kedua macam pengetahuan ini akan melebur menjadi satu.
Pada saat pengetahuan kedua belah pihak melebur, maka persepsi dan
imaji dari pihak satu terhadap pihak yang lain akan berubah, dan
selanjutnya perilaku keduanya pun akan berubah. I de awal dari perencana
untuk “mengajari masyarakat” akan merubah menjadi “pelajar” (the
learners) akan bertransformasi menjadi aksi masyarakat (community
action) artinya ”dialog saling belajar” telah merubah perilaku kolektif
masyarakat dan mendorong masyarakat secara lebih aktif menolong diri
mereka sendiri dan sekaligus membangun komunitas bersama seperti
yang diharapkan. Masyarakat belajar (Learning Society) yang aktif
melakukan aksi ini dengan sendirinya akan terbangun kapasitasnya karena
learning society secara inheren akan mengembangkan kapasitas
komunitas (Community Capacity Building). Secara empirik banyak studi
menunjukkan bahwa masyarakat yang sudah memasuki fase Learning
Society akan lebih berpotensi untuk mewujudkan sebuah pembangunan
yang lebih berkelanjutan, karena mereka sudah lebih mandiri dalam
berbagai hal mulai dari mengidentifikasi, menilai dan menformulasikan
masalah baik fisik, sosial, kultural maupun ekonomi, membangun visi dan
aspirasi, memprioritaskan intervensi, merencana, mengelola, memonitor
dan bahkan memilih teknologi yang tepat. Masyarakat aktif (Active
Society) semacam ini juga menghasilkan kerelaan masyarakat yang lebih
perawatan sedemikian sehingga pendekatan mampu mengembalikan
biaya investasi publik (Cost - Recovery) yang pada gilirannya akan
menjadi lebih berkemungkinan terjadinya pengulangan (Self
-Replicability). Pemberdayaan masyarakat merupakan proses perubahan
struktur yang harus muncul dari masyarakat, dilakukan oleh masyarakat,
dan hasilnya ditujukan untuk kesejahteraan masyarakat. Proses
perubahan tersebut berlangsung secara alamiah dengan asumsi bahwa
setiap anggota masyarakat sebagai pelaku-pelaku sosial yang ikut dalam
proses perubahan tersebut. Pengertian pemberdayaan dalam arti luas
dapat diterjemahkan sebagai perolehan kekuatan dan akses terhadap
sumberdaya untuk mencari nafkah. Pemberdayaan dalam konsep
(wacana) politik menurut Dahl (1963:50) merupakan sebuah kekuatan
yang menyangkut suatu kemampuan seseorang (pihak pertama) untuk
mempengaruhi orang lain (pihak kedua) yang sebenarnya tidak diinginkan
oleh pihak kedua. Program Desa Mandiri Pangan pada hakekatnya
pemberdayaan masyarakat yang menekankan penerapan pelaksanaan
penguatan kelembagaan pembangunan masyarakat dan aparat di tingkat
lokal berdasar prinsip pembangunan yang partisipatif dan berkelanjutan.
Kegiatan Program Desa Mandiri Pangan mengutamakan pembangunan
yang dilaksanakan dan dikelola masyarakat secara langsung dalam wadah
kelembagaan kelembagaan lokal yang dikoordinasikan oleh lembaga lokal
baik desa, kecamatan dan tingkatan diatasnya. Pemberdayaan
memerlukan keterlibatan masyarakat secara aktif. Dalam konteks
pemberdayaan, masyarakat harus diberdayakan untuk merumuskannya
sendiri melalui sebuah proses pembangunan konsensus diantara berbagai
individu dan kelompok sosial yang memiliki kepentingan dan menanggung
resiko langsung (stakeholders) akibat adanya proses atau intervensi
pembangunan, baik pembangunan ekonomi, sosial maupun lingkungan
pembangunan yang akan dilakukan. Sasaran Program yang mengarah
pada penduduk miskin dan perempuan yang kebanyakan menganggur
menyebabkan mereka sadar, yakin dan percaya diri untuk dapat berusaha.
Dengan begitu, maka mereka akan berusaha menampilkan apa yang
dapat diperbuat dan diusahakan dan nantinya dapat dikerjakan bersama.
Berawal dari hal sederhana seperti itu, maka semangat masyarakat dalam
membangun (walaupun dengan cara dan pemahaman mereka sendiri
sendiri) akan terus berlanjut dan berdayanya masyarakat dalam artian
mandiri dalam membangun tanpa menggantungkan terhadap pemerintah
akan tercapai. Kondisi yang seperti itu dalam masyarakat akan membuat
masyarakat merasa nyaman, tenteram sehingga iklim berusaha
(peningkatan pendapatan keluarga) akan terjaga dan semangat
membangun terus terpelihara dalam masyarakat. Hal tersebut tidak
terlepas dari peran serta kelompok-kelompok masyarakat yang harus dan
terus didampingi oleh tenaga pendamping program yang dijalankan.
Pemberdayaan yang akan dilakukan memerlukan langkah-langkah yang riil
dalam penanganannya. Langkah-langkah yang diambil dalam mewujudkan
tujuan adalah melalui: Membentuk iklim yang memungkinkan masyarakat
berkembang.
Dua hal yang mendasar dalam membentuk iklim bagi masyarakat
adalah dengan;
• Menyadarkan masyarakat dan memberikan dorongan/ motivasi
untuk berkembang. Proses menyadarkan masyarakat dilakukan
dengan mengajak masyarakat untuk mengenal wilayahnya
melalui survey dan analisis. Proses ini disebut dengan
participatory survey dan participatory analysis.
• Memotivasi masyarakat dilakukan dengan mengajak masyarakat
untuk menggambarkan dan merencanakan wilayah, yang
Pendekatan yang dilakukan terhadap masyarakat secara psikologis
akan memberikan rasa ke-berpihak-an kepada masyarakat. Memperkuat
potensi yang ada. Memperkuat (empowerment) dilakukan dengan
mengorganisasi masyarakat dalam kelompok-kelompok/ komunitas
pembangun, yang selanjutnya dikembangkan dengan memberikan
masukan-masukan/ input serta membuka berbagai peluang-peluang
berkembang sehingga masyarakat semakin berdaya.
Proses Perlindungan (Pendampingan) Secara aplikatif
empowerment terhadap kelompok masyarakat bawah dan menengah
dilakukan melalui 2 (dua) hal yaitu:
• Penguatan Akses/Accesibilty Empowerment
Pada pemberdayaan kelompok masyarakat empowerment dilakukan
melalui menciptakan akses dari kelompok informal kepada kelompok
formal, kelompok yang diberdayakan dengan kelompok pemberdaya.
Kebutuhan akan akses ini sangat menentukan share dan partisipasi
antar stakeholders dalam proses pemberdayaan.
• Penguatan Teknis/Technical Empowerment
Technical empowerment dilakukan sebagai bagian dari kegiatan
advocacy sehingga dapat diwujudkan peningkatan kapasitas dari
kelompok yang diberdayakan. Keterlibatan secara aktif dari
masing-masing stakeholders diwujudkan dalam bentuk share nyata seperti
program, pendanaan, dan kebijaksanaan (policy).
Program desa mandiri pangan memberikan bantuan dalam jumlah
tertentu dan pemanfaatannya semata agar pemanfaatan program dengan
berlatih menggunakan dana tersebut sebagai stimulan untuk
pengembangan pemberdayaan lebih lanjut. Dana yang ada digunakan
untuk pembiayaan investasi sosial dan investasi ekonomi untuk
menciptakan produktivitas yang membantu masyarakat meningkatan
daya manusia dengan dilakukan diseminasi dan pelatihan secara
berjenjang baik melalui tenaga pendamping dan atau aparat mulai dari
kecamatan, kabupaten maupun propinsi.
5. Partisipasi Masyarakat Pada Program Pembangunan
Memperhatikan berbagai karakteristik dari strategi pembangunan
sumber daya berbasis komunitas, maka dalam pelaksanaannya
terkandung suatu unsur yang dapat dikatakan mutlak, yaitu partisipasi
masyarakat lokal. Sebagaimana telah dipahami bahwa, pembangunan
pada dasarnya merupakan proses perubahan dan salah satu bentuk
perubahan yang diharapkan adalah perubahan sikap dan perilaku.
Partisipasi masyarakat yang semakin meningkat baik secara kualitatif dan
kuantitaif merupakan salah satu bentuk perwujudan dari sikap dan
perilaku tersebut. Dalam hal ini aktivitas lokal merupakan merupakan
media dan sarana bagi masyarakat dalam melaksanakan partisipasinya.
Agar proses pembangunan dapat berlangsung secara berkelanjutan, maka
perlu diusahakan agar ada kesinambungan dan peningkatan yang bersifat
kumulatif dari partisipasi masyarakat melalui berbagai tindakan bersama
dan aktivitas lokal tersebut. Dengan demikian berarti pendekatan
partisipatoris harus dilihat sebagai pendekatan utama dalam strategi
pengelolaan sumber daya berbasis komunitas seperti dalam program desa
mandiri pangan. Partisipasi masyarakat dalam pembangunan, akan
ditemukan berbagai rumusan pengertian yang cukup bervariasi, sejalan
dengan luasnya lingkup penggunaan konsep tersebut dalam wacana
pembangunan. Partisipasi merupakan pelibatan diri secara penuh pada
suatu tekad yang telah menjadi kesepakatan bersama antar anggota
dalam satu kelompok/ antar kelompok sampai dengan skala nasional dan
merupakan bagian tidak terpisahkan dari landasan konstitusional Negara
Pembangunan I ndonesia”. Dengan demikian sudah sewajarnya bila tiap
pembangunan haruslah menerapkan konsep partisipasi dan tiap partisipasi
menurut Parwoto (1997) harus memiliki ciri-ciri sebagai berikut :
• Proaktif atau sukarela (tanpa disuruh)
• Adanya kesepakatan yang diambil bersama oleh semua pihak yang
terlibat dan yang akan terkena akibat kesepakatan tersebut
• Adanya tindakan mengisi kesepakatan tersebut
• Adanya pembagian kewenangan dan tanggungjawab dalam
kedudukan yang setara antar unsur/ pihak yang terlibat.
Konsep partisipasi dalam pembangunan kemudian disebut sebagai
pembangunan partisipatif, yaitu pola pembangunan yang melibatkan
berbagai pelaku pembangunan yang berkepentingan (sektor pemerintah,
swasta dan masyarakat yang akan langsung menikmati/ terkena akibat
pembangunan) dalam suatu proses kemitraan dengan menerapkan
konsep partisipasi, dimana kedudukan masyarakat adalah sebagai subyek
pembangunan dan sekaligus sebagai objek dalam menikmati hasil
pembangunan. Pembangunan partisipatif ini mempertemukan
perencanaan makro yang berwawasan lebih luas dengan perencanaan
mikro yang bersifat kontekstual sehingga pembangunan mikro akan
merupakan bagian tidak terpisahkan dari seluruh perencanaan makro.
Pembangunan partisipatif juga mempertemukan pendekatan dari atas
(top-down), dimana keputusan-keputusan dirumuskan dari atas dan
pendekatan dari bawah (bottom-up), yang menekankan keputusan di
tangan masyarakat yang kedua-duanya memiliki kelemahan
masing-masing. Dalam pembangunan partisipatif keputusan merupakan
kesepakatan antar pelaku yang terlibat. Ada perbedaan wacana mengenai
pembangunan dan partisipasi masyarakat, yaitu dari wacana pemerintah
dan wacana masyarakat. Menurut Widyatmadja dan Goulet (dalam Prijono
pada pengorbanan dan kontribusi rakyat daripada hak untuk ikut
menikmati manfaat pembangunan itu sendiri. Dari perspektif rakyat,
partisipasi merupakan praktek dari keadilan dan hak untuk menikmati hasil
pembangunan yang mungkin dapat menimbulkan konflik antara
pihak-pihak yang berkepentingan. Lebih lanjut menurut Soetrisno (1995:221)
ada dua jenis definisi partisipasi yang beredar dalam masyarakat. Definisi
pertama adalah definisi yang diberikan oleh para perencana pembangunan
formal di I ndonesia. Definisi partisipasi jenis ini mengartikan partisipasi
rakyat dalam pembangunan sebagi dukungan rakyat terhadap
rencana/ proyek pembangunan yang dirancang dan ditentukan tujuannya
oleh perencana. Ukuran tinggi rendahnya partisipasi diukur dengan
kemampuan rakyat ikut menanggung biaya pembangunan, baik berupa
uang maupun tenaga dalam melaksanakan proyek pembangunan
pemerintah. Definisi kedua yang ada dan berlaku universal adalah
partisipasi rakyat dalam pembangunan merupakan kerjasama yang erat
antara perencana dan rakyat dalam merencanakan, melaksanakan,
melestarikan dan mengembangkan hasil pembangunan yang telah dicapai.
Menurut definisi ini tinggi rendahnya partisipasi rakyat dalam
pembangunan tidak hanya diukur dengan kemauan rakyat untuk
menanggung biaya pembangunan tetapi juga ada tidaknya hak rakyat
untuk menentukan arah dan tujuan proyek yang akan dibangun di wilayah
mereka. Ukuran lain yang dipakai oleh definisi ini dalam mengukur tinggi
rendahnya partisipasi rakyat adalah ada tidaknya kemauan rakyat untuk
secara mandiri melestarikan dan mengembangkan hasil proyek itu.
Partisipasi masyarakat menurut PPB dalam (United Nations dalam Hall,
1986) adalah menciptakan kesempatan yang memungkinkan seluruh
anggota masyarakat secara aktif mempengaruhi dan memberi kontribusi
Cohen dan Uphof, dalam Komarudin, (1997:320) dalam partisipasi
masyarakat dikenal adanya tipe partisipasi, modus partisipasi dan siklus
partisipasi, yaitu Tipe partisipasi masyarakat dalam pembangunan, yaitu:
• Partisipasi dalam membuat keputusan (membuat beberapa pilihan
dari banyak kemungkinan dan menyusun rencana-rencana yang
bisa dilaksanakan, dapat atau layak dioperasionalisasikan)
• Partisipasi dalam implementasi (kontribusi sumberdaya,
administrasi dan koordinasi kegiatan yang menyangkut tenaga
kerja, biaya dan informasi)
• Dalam kegiatan yang memberikan keuntungan (material, sosial dan
personel)
• Dalam kegiatan evaluasi termasuk keterlibatan dalam proses yang
berjalan untuk mencapai tujuan tertentu yang telah ditetapkan.
Menurut Hall (1986:9) partisipasi masyarakat merupakan
pendekatan pembangunan yang memandang masyarakat dalam konteks
dinamis yang mampu memobilisasi sumber daya sesuai dengan
kepentingan, kemampuan dan aspirasi yang dimiliki, baik secara individu
maupun komunal. Dalam Wibisana (1989:41) partisipasi masyarakat
sering diartikan sebagai keikutsertaan, keterlibatan dan kebersamaan
anggota masyarakat dalam suatu kegiatan tertentu, baik secara langsung
maupun tidak langsung, sejak dari gagasan, perumusan kebijaksanaan
himgga pelaksanan program. Partisipasi secara langsung berarti anggota
masyarakat tersebut ikut memberikan bantuan tenaga dalam kegiatan
yang dilaksanakan. Sedangkan partisipasi tidak langsung berupa
keuangan, pemikiran dan material yang diperlukan. Slamet, (1992)
partisipasi merupakan keterlibatan aktif dan bermakna dari masa
• Dalam proses pembentukan keputusan untuk menentukan
tujuan-tujuan kemasyarakatan dan pengalokasian sumber-sumber untuk
mencapai tujuan tersebut.
• Dalam pelaksanaan program-program atau proyek-proyek secara
sukarela
• Dalam pemanfaatan hasil-hasil dari suatu program atau proyek
(sesuai dengan azas pembangunan yaitu pembagian yang merata
atas hasil pembangunan)
Definisi tersebut menunjukkan bahwa partisipasi masyarakat dapat
dilakukan pada semua tahapan dalam proses pembangunan, dari tahapan
perencanaan pembangunan, pelaksanaan pembangunan, sampai tahapan
pemanfaatan basilhasilnya. Dalam Burke, (2004: 52-54) keuntungan dan
masalah partisipasi akan dilihat dalam konteks yang berbeda oleh setiap
orang yang berkepentingan. Secara umum, keuntungan dari partisipasi:
• Masyarakat akan merasa “memiliki” terhadap rencana kerja.
• Memungkinkan adanya ide-ide segar.
• Mendapat bantuan dalam bentuk barang atau sumber daya lainnya.
• Masyarakat akan tetap merasa menjadi bagian dari pemecahan
masalah jangka panjang karena mereka telah mempunyai rasa
memiliki terhadap ide-ide awal.
• Keikutsertaan dalam satu proyek atau program membangun
kesadaran, kepercayaan dan keyakinan menjadi bagian penting
pada proyek/ kesempartan-kesempatan lainnya. Selain itu,
keuntungan dari suatu keluaran atau out put yang lebih baik adalah
isue “proses” membantu mengembangkan keterampilan dan
confidence masyarakat. Keuntungan pada umumnya berkaitan
dengan Kepentingan utama yang disepakati pada tingkat partisipasi
yang tepat; kesamaan bahasa untuk mendiskusi issue dan
dipakai sebanyak mungkin sesuai kesepakatan untuk mencapai
hasil yang diinginkan Peran dan partisipasi masyarakat dalam
pembangunan dapat diketahui berdasarkan besarnya pengaruh
yang dimiliki masyarakat di dalam proses penentuan permasalahan
beserta hasilnya, dari pengaruh yang kecil sampai kepada pengaruh
yang besar.
Peran dan partisipasi masyarakat dalam pembangunan terdiri dari :
1. Tinjauan dan Komentar
Masyarakat diberi kesempatan untuk meninjau suatu rencana yang
diusulkan.Komentar dapat dibuat, tetapi organisasi perencanaan tidak
terikat untuk mengubah atau memodifikasi rencana tersebut. Peran ini
bersifat pasif, yang dirancang terutama untuk menyediakan informasi
kepada masyarakat dan kelompok.
2. Konsultasi
Dengan peran ini, masyarakat diangkat dan dimintai masukan serta
informasi khusus. Metode yang dipergunakan untuk memperoleh
masukan adalah melalui pertemuan dan kuesioner. Peran masyarakat
sebagai konsultan adalah utuk menjadi bagian dari usaha pembuatan
keputusan. Tujuan dari peran konsultasi ini bersifat lebih jauh, bukan
hanya sebagai penyedia informasi bagi masyarakat. Peran ini
merupakan proses komunikasi dua arah di mana tujuan utamanya
adalah untuk memperbaiki keputusan.
3. Pemberi Nasehat
Pengaruh dan peran masyarakat bersifat lebih besar karena
masyarakat diangkat ke dalam organisasi dan ditempatkan pada
komite kebijakan dan perencanaan di dalam organisasi perencanaan
tersebut. Tujuan dari peran ini adalah untuk memperoleh informasi
maupun dukungan terorganisir untuk kegiatan-kegiatan.
Peran ini menggambarkan partisipasi masyarakat dan perencana yang
bertindak sebagai mitra di dalam perencanaan dan pengambilan
keputusan. Tujuannya adalah untuk mencapai keputusan yang
mencerminkan keinginan tim perencana yang di dalamnya memuat
aspirasi masyarakat.
5. Pengambilan Keputusan Terkendali
Dalam peran ini, masyarakat memiliki wewenang penuh atas semua
kebijakan dan keputusan. Peran dari para staf profesional adalah untuk
memfasilitasi pengambilan keputusan, yaitu untuk bertindak sebagai
penasehat dan menyediakan informasi untuk pengambilan keputusan
oleh masyarakat Peran partisipasi masyarakat ini sangat umum untuk
organisasi yang bersifat sukarela.
Pendekatan dengan partisipasi masyarakat dalam pembangunan,
memungkinkan keseimbangan antara kepentingan administrasi dari
pemerintah setempat dan integrasi penduduk setempat dalam proses
pengambilan keputusan pada tingkat lokal. Terdapat 2 (dua) macam
partisipasi penduduk, yaitu (Jayadinata, 1999:201-202):
1. Partisipasi Vertikal
Penduduk diberi lebih banyak kesempatan untuk menyumbangkan
pendapatnya dalam pembangunan I nteraksi dengan cara dari bawah ke
atas (bottom up) dalam hal:
• Teknik belajar dan mendengarkan (masyarakat diberi informasi
mengenai masalah aktual).
• Pengumuman informasi berhubungan dengan program yang
diusulkan.
• Masukan yang terus dari berbagai golongan.
2. Partisipasi Horisontal
Dalam partisipasi ini masyarakat berinteraksi secara horizontal dalam
hal:
• Masyarakat setempat berinteraksi dengan berbagai kelompok lain.
• Mengambil pengalaman dari kelompok lain.
• Mempengaruhi agar persentase partisipasi penduduk menjadi lebih
besar.
Partispasi masyarakat secara umum terbagi dalam 8 (delapan)
tingkatan menurut Arstein (dalam Panudju, 1999 : 72 -76 )
tingkatan-tingkatan tersebut, adalah:
1. Manipulation. Merupakan tingkatan partisipasi yang paling rendah
karena masyarakat hanya dipakai namanya saja sebagai anggota
dalam berbagai badan penasehat. Tidak ada peran yang nyata, karena
hanya diselewengkan sebagai.publikasi oleh pihak penguasa.
2. Theraphy. Pada tingkatan ini, masyarakat diperlakukan seolah-olah
seperti proses penyembuhan pasien penyakit jiwa dalam grup terapi.
Masyarakat terlibat dalam banyak kegiatan, namun hal tersebut hanya
ditujukan untuk mengubah pola pikir masyarakat daripada
mendapatkan informasi atau usulan-usulan.
3. I nforming. Merupakan tahap pemberian informasi kepada masyarakat
tentang hak-hak, tanggung jawab dan berbagai pilihan. Biasanya
hanya diberikan secara satu arah, dari penguasa ke rakyat, tanpa
adanya kemungkinan umpan balik, Pada tingkat ini masyarakat diberi
limpahan kewenangan untuk mempengaruhi rencana bagi kepentingan
masyarakat. Biasanya dilakukan dengan cara media berita, pamflet,
4. Consultation. Mengundang opini masyarakat, setelah memberi informasi
kepada mereka. Apabila konsultasi tidak disertai dengan cara-cara
partisipasi yang lain, maka tingkat keberhasilannya akan rendah,
mengingat tidak adanya jaminan kepedulian terhadap ide-ide
masyarakat. Tahap ini biasanya dilakukan dengan cara pertemuan
lingkungan, survei tentang pola pikir masyarakat dan dengar pendapat
publik.
5. Placation. Pada tingkat ini masyarakat mulai mempunyai pengaruh,
meskipun dalam beberapa hal masih ditentukan oleh penguasa.
Beberapa anggota masyarakat yang dianggap mampu dimasukkan
sebagai anggota dalam badan kerjasama. Usul-usul dari masyarakat
berpenghasilan rendah dapat dikemukakan, tetapi sering tidak
diperhitungkan karena kemampuan dan kedudukannya relatif rendah
atau jumlah mereka terlalu sedikit bila dibandingkan dengan
anggota-anggota instansi pemerintah lainnya.
6. Partnership. Pada tingkat ini, atas kesepakatan bersama, kekuasaan
dalam berbagai hal dibagi antara masyarakat dengan pihak penguasa.
Disepakati juga pembagian tanggung jawab dalam perencanaan,
pengendalian keputusan, penyusunan kebijaksanaan dan pemecahan
berbagai permasalahan yang dihadapi. Setelah adanya kesepakatan
tersebut maka tidak dibenarkan adanya perubahan-perubahan yang
dilakukan secara sepihak.
7. Delegated Power. Pada tingkat ini masyarakat diberi limpahan
kewenangan untuk membuat keputusan pada rencana atau program
tertentu. Masyarakat berhak menentukan program-program yang
bermanfaat bagi mereka. Untuk memecahkan masalah, pemerintah
8. Citizen Control. Pada tingkat ini masyarakat mempunyai kekuatan untuk
mengatur program atau kelembagaan yang berkaitan dengan
kepentingan mereka. Masyarakat mempunyai kewenangan penuh di
bidang kebijaksanaan, aspek-aspek pengelolaan dan dapat
mengadakan negosiasi dengan "pihak-pihak luar" yang hendak
BAB I I I
METODOLOGI
1. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di wilayah Kota Medan dan memakan waktu
selama 3 (tiga) bulan yang meliputi : survey awal, persiapan, pembuatan
kuisioner, penelitian lapangan, pengolahan dan analisis data serta
penyusunan laporan akhir.
2. Ruang Lingkup Penelitian
Dalam kegiatan kajian tingkat partisipasi masyarakat dalam
pembangunan di Kota Medan, ada beberapa lingkup pekerjaan yang
dikaji, yaitu :
2.1 Mengkaji sosialisasi/ pengenalan program partisipasi masyarakat
dalam pembangunan.
2.2 Mengkaji sejauhmana tingkat partisipasi masyarakat dalam
perencanaan pembangunan.
2.3 Mengkaji sejauhmana tingkat partisipasi masyarakat dalam
pelaksanaan kegiatan pembangunan.
2.4 Mengkaji sejauhmana tingkat pastisipasi masyarakat dalam evaluasi
kegiatan pembangunan.
2.5 Mengkaji sejauhmana tingkat pastisipasi masyarakat dalam
pemanfaatan dan pemeliharaan hasil-hasil pembangunan.
Keseluruhan kedalaman materi tersebut disusun berdasarkan
berbagai kajian literatur, penelitian primer langsung lapangan, maupun
studi komperatif sepanjang dapat diterima oleh Tim asistensi yang
3. Populasi dan Sampel
Teknik pemilihan informan yang digunakan adalah purposive
sampling, yakni menentukan sampel sesuai dengan tujuan (purpose)
kajian ini yakni masyarakat yang terlibat atau berpartisipasi di dalam
program pembangunan.
Populasi dalam kajian ini adalah masyarakat 21 kecamatan yang
terdapat di Kota Medan. Sedangkan sampel yang terpilih sesuai tujuan
kajian adalah masyarakat dari 17 kecamatan dari, yakni: Medan Amplas,
Medan Area, Medan Barat, Medan Belawan, Medan Deli, Medan Denai,
Medan Helvetia, Medan Kota, Medan Labuhan, Medan Maimun, Medan
Marelan, Medan Perjuangan, Medan Polonia, Medan Selayang, Medan
Sunggal, Medan Tembung, Medan Timur dan Medan Tuntungan. Selain itu
sampel juga berasal dari 5 Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Total
sampel dalam kajian ini adalah sebanyak 65 orang responden.
4. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah menggunakan
kuisioner tertutup dan terbuka yang diberikan kepada para responden
kajian.
Kuisioner berisi pertanyaan-pertanyaan mengenai:
a. Sosialisasi program partisipasi masyarakat dalam pembangunan
b. Partisipasi masyarakat dalam perencanaan pembangunan
c. Partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan pembangunan
d. Partisipasi masyarakat dalam perencanaan pembangunan
e. Partisipasi masyarakat dalam evaluasi pembangunan
f. Partisipasi masyarakat dalam pemanfaatan dan pemeliharaan hasil
5. Teknik Analisis Data
Teknik analisis data dalam kajian ini menggunakan pendekatan
kuantitatif. Statistik yang digunakan adalah statistik deskriptif berupa
diagram-diagram dan tabel-tabel frekuensi yang bertujuan
menggambarkan data yang berhasil dikumpulkan dalam kajian ini untuk
BAB I V
GAMBARAN UMUM KOTA MEDAN
1. Gambaran Geografis Kota Medan
Sebagai salah satu daerah otonom dengan status kota, maka
kedudukan, fungsi dan peranan Kota Medan cukup penting dan strategis
baik secara regional maupun nasional. Bahkan sebagai ibukota Propinsi
Sumatera Utara, Kota Medan sering digunakan sebagai barometer dan
tolok ukur dalam pembangunan dan penyelenggaraan pemerintahan
daerah. Sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa maka secara geografis,
Kota Medan memiliki kedudukan strategis sebab berbatasan langsung
dengan Selat Malaka di bagian Utara sehingga relatif dekat dengan
kota-kota/ negara yang lebih maju seperti Pulau Penang, Kuala Lumpur Malaysia
dan Singapura.
Berdasarkan pertimbangan dinamika pembangunan kota, luas
wilayah administrasi Kota Medan telah melalui beberapa kali perubahan.
Pada tahun 1951, Walikota Medan mengeluarkan Maklumat Nomor 21
Tanggal 29 September 1951 yang menetapkan luas Kota Medan menjadi
5.130 Ha yang meliputi 4 kecamatan dengan 59 kelurahan. Maklumat
Walikota Medan dikeluarkan menyusul keluarnya Keputusan Gubernur
Sumatera Utara Nomor 66/ I I I / PSU tanggal 21 September 1951 agar
Gambar 4.1. Peta Kota Medan
Melalui Peraturan Pemerintah Republik I ndonesia Nomor 22 Tahun
1973, Kota Medan kemudian mengalami pemekaran wilayah menjadi
26.510 Ha yang terdiri dari 11 kecamatan dengan 116 kelurahan.
Kemudian, berdasarkan luas administrasi yang sama maka melalui Surat
Persetujuan Menteri Dalam Negeri Nomor 140/ 2271/ PUOD tanggal 5 Mei
1986 ditetapkan pemekaran kelurahan menjadi 144 kelurahan.
Selanjutnya, berdasarkan Surat Keputusan Gubernur KDH Tingkat I
Sumatera Utara Nomor 140.22/ 2772.K/ 1996 tanggal 30 September 1996
tentang pendefinitipan 7 kelurahan di Kotamadya Daerah Tingkat I I
Tahun 1992 tentang Pembentukan Beberapa Kecamatan di Kotamadya
Daerah Tingkat I I Medan dimekarkan kembali menjadi 21 kecamatan
dengan 151 kelurahan dan 2.001 lingkungan.
Secara geografis Kota Medan terletak pada posisi 3° 30’ - 3° 43’
Lintang Utara dan 98° 35’ - 98°44’ Bujur Timur dengan luas wilayah
265,10 km2. Sebagian besar wilayah Kota Medan merupakan dataran
rendah dengan topografi yang cenderung miring ke Utara dan menjadi
tempat pertemuan 2 sungai penting, yaitu sungai Babura dan sungai Deli.
Di samping itu, Kota Medan berada pada ketinggian 2,5 – 37,5
meter di atas permukaan laut dan secara administratif mempunyai batas
wilayah sebagai berikut :
Sebelah Utara : Kabupaten Deli Serdang dan Selat Malaka
Sebelah Selatan : Kabupaten Deli Serdang
Sebelah Barat : Kabupaten Deli Serdang
Sebelah Timur : Kabupaten Deli Serdang
Berdasarkan batas-batas administratif kota tersebut di atas maka
walaupun luas wilayah Kota Medan relatif kecil, tetapi Kota Medan
dikelilingi lingkungan regional dengan basis ekonomi SDA yang relatif
besar dan beragam.
Menurut Stasiun BMG Sampali, kondisi klimatologi Kota Medan
adalah sebagai berikut : suhu minimum berkisar antara 23,30C – 24,10C
dan suhu maksimum berkisar antara 31,00C – 31,10C; kelembaban udara
rata-rata berkisar antara 84 dan 58 persen; kecepatan angin rata-rata
sebesar 0,48 m/ detik, sedangkan rata-rata total laju penguapan setiap
bulannya sebesar 104,3 mm; total hari hujan pada tahun 2003
rata-rata per bulan adalah 19 hari dengan rata-rata-rata-rata curah hujan per bulannya
adalah 299,5 mm.
Berdasarkan ketentuan perundang-undangan wilayah, administrasi