• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang (1)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang (1)"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1.

Latar Belakang

Hutan mangrove merupakan suatu tipe hutan yang tumbuh di daerah pasang

surut yang tergenang oleh air laut, komunitasnya dapat bertoleransi terhadap air

garam, dan tipe hutan ini dapat ditemui di daerah pantai. Tumbuhan mangrove

bersifat unik, karena merupakan gabungan dari ciri-ciri tumbuhan yang dapat hidup

di darat dan di laut. Selain kemampuannya yang dapat hidup di darat dan di laut,

mangrove juga memiliki banyak fungsi dan manfaat baik secara fisik, biologik,

maupun sosial ekonomi.

Ekosistem mangrove adalah suatu sistem yang terdiri atas lingkungan biotik

dan abiotik yang saling berinteraksi di dalam suatu habitat mangrove. Secara fisik

hutan mangrove dapat melindungi garis pantai, mempercepat perbentukan lahan

baru, yakni sebagai pelindung terhadap gelombang dan arus, sebagai pelindung tepi

sungai atau pantai, menahan badai angin kencang dari laut, dan menjadi kawasan

penyangga yang berfungsi menyaring air laut menjadi air daratan yang tawar. Secara

biologik ekosistem hutan mangrove dapat sebagai tempat asuhan dan

perkembangbiakan bagi berbagai jenis udang, ikan dan binatang lain, tempat

berlindung habitat bagi sejumlah besar jenis burung, sebagai habitat berbagai

kehidupan binatang liar. Secara sosial ekonomi ekosistem hutan mangrove

dipergunakan oleh masyarakat sebagai tempat untuk pembudidayaan ikan tambak

(aquaculture), tempat rekreasi, kolam garam, penghasil bahan baku industri dan sebagai penghasil kayu. Hal itulah yang menjadikan ekosistem hutan mangrove perlu

untuk dipertahankan karena sebagai tempat perlindungan yang baik bagi berbagai

organisme baik itu hewan darat maupun hewan air, dan guna mendukung kebutuhan

hidup masyarakat lokal.

Flora mangrove terdiri atas pohon, epipit, liana, alga, bakteri dan fungi.

Ekosistem hutan mangrove di Indonesia mempunyai keanekaragaman hayati

(2)

mangrove Indonesia adalah sekitar 89 jenis, yang terdiri atas 35 jenis pohon, 5 jenis

terna, 9 jenis perdu, 9 jenis liana, 29 jenis epifit dan 2 jenis parasit (Soemodihardjo et al, 1993). Flora mangrove pada umumnya tumbuh di lapangan membentuk zonasi mulai dari pinggir pantai sampai pedalaman daratan. Hutan mangrove merupakan

komunitas vegetasi pantai yang didominasi oleh beberapa jenis pohon yang mampu

berkembang biak di daerah pasang-surut pantai berlumpur. Jenis mangrove yang

dapat dijumpai pada ekosistem mangrove di Kalimantan Timur adalah Rhizophora aficulata, Avicennia sp, dan Sonneratia sp yang umumnya dijumpai di sepanjang muara sungai dan pantai pesisir Kalimantan Timur. Jenis yang umum dijumpai ini

merupakan jenis flora mangrove mayor, seperti yang diungkapkan oleh Tomlinson

(1986), flora mangrove mayor merupakan flora mangrove sebenarnya, yakni flora

yang menunjukan kesetiaan terhadap habitat mangrove, berkemampuan membentuk

tegakan murni, dan secara dominan mencirikan struktur komunitas, mempunyai

bentuk adaptif khusus dan mempunyai mekanisme didalam mengontrol air garam.

Mangrove yang berada di Kalimantan Timur memiliki luas 883.379 hektar secara

keseluruhan, dan salah satunya berada di Delta Mahakam yang memiliki luas

149.732 hektar atau 16.95 % dari luas mangrove di Kalimantan Timur dan Teluk

Sanga-Sanga yang berada di Delta Mahakam yang menempati area seluas 7.966

hektar atau 5,32% dari luas Delta Mahakam. Gambar 1.1 merupakan foto hutan

mangrove yang diambil saat melakukan prasurvey di Perairan Sanga-Sanga.

Sumber: Dokumentasi pribadi 24/3/2013

(3)

Pada saat ini hutan mangrove di wilayah Kalimantan Timur telah mengalami

kerusakan, dengan rincian 329.579 hektar atau 37,21% dari luas hutan mangrove di

Kalimantan Timur rusak berat, 328.695 hektar atau 37,21% dari luas hutan mangrove

di Kalimantan Timur rusak sedang, dan mangrove dengan kondisi baik dan masih

terjaga kelestariannya hanya sekitar 225.105 hektar atau 25,48% dari luas hutan

mangrove di Kalimantan Timur. Hutan mangrove di Delta Mahakam yang

mengalami rusak berat seluas 24.035 hektar atau 49,44% dari luasan mangrove di

Delta Mahakam, rusak ringan seluas 41.608 hektar atau 27,78% dari luas mangrove

di Delta Mahakam, dan yang masih dalam kondisi baik hanya seluas 34.089 hektar

atau 22,7% dari luasan mangrove di Delta Mahakam. Di perairan Sanga-Sanga hutan

mangrove yang mengalami rusak berat seluas 3.852 hektar atau 48,37% dari luas

hutan mangrove di perairan Sanga-Sanga, dan hutan mangrove yang mengalami

rusak ringan seluas 4.114 hektar atau 51,64 % dari total luasan hutan mangrove di

perairan Sanga-Sanga (BLH Provinsi Kalimantan Timur, 2011). Bukti adanya

konversi dapat dilihat pada foto yang diambil saat prasurvey pada Gambar 1.2.

Sumber: Dokumentasi pribadi 24/3/2013

Gambar 1.2. Kondisi Hutan Mangrove yang rusak

Dari data di atas dapat diketahui kerusakan ekosistem hutan mangrove yang

cukup parah terjadi di Delta Mahakam Kalimantan Timur. Berdasarkan hasil

observasi, kerusakan tersebut sebagian besar diakibatkan oleh pembukaan hutan

mangrove untuk usaha pertambakan oleh masyarakat yang berasal dari luar wilayah

Kalimantan Timur, khususnya dari daerah Sulawesi Selatan. Bentuk dari

(4)

yang awalnya dibudidayakan, menjadi mati karena dibabat oleh

pengusaha-pengusaha tambak udang untuk membuka tambaknya. Kerusakan lainnya, dapat

dilihat dari dampaknya yaitu luas kawasan hutan mangrove semakin sempit,

sehingga mengakibatkan pencemaran air, degradasi dan deforestasi hutan,

pencemaran udara, kerusakan kawasan lindung dan konservasi, serta kerusakan

keanekaragaman hayati. Kerusakan ekosistem hutan mangrove lebih didominasi

karena kegiatan ekonomi masyarakat pendatang yang kurang memperhatikan

ekosistem lingkungan. Kondisi krisis ekonomi menyebabkan masyarakat pendatang

membuka lahan tambak udang untuk memenuhi kebutuhan ekonominya. Adanya

pemahaman bahwa kepentingan ekonomi jauh lebih dominan daripada kepentingan

ekosistem Delta Mahakam menjadikan kondisi sosial masyarakat berubah yaitu

membuka hutan mangrove tambak udang menjadi sumber mata pencaharian bagi

masyarakat pendatang. Berbeda dengan masyarakat pendatang, kearifan masyarakat

lokal atau masyarakat asli dari perairan Sanga-Sanga sangat memberikan pengaruh

yang positif terhadap pengelolaan hutan mangrove di perairan Sanga-Sanga. Perilaku

yang mencerminkan kearifan masyarakat asli adalah dengan memanfaatkan hutan

mangrove namun tetap menjaga kelestariannya. Salah satunya adalah dengan

menerapkan konsep tambak ramah lingkungan atau sering disebut sebagai budidaya

tambak yang melestarikan bakau sebagai jalur hijau atau penanaman mangrove di

tambak (silvofishery).

Lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya,

keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya yang

mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta

makhluk hidup lainnya (UUPPLH Nomor 32 Tahun 2009). Berdasarkan batasan

tersebut, bererti lingkungan ekosistem hutan mangrove juga terdiri dari komponen

abiotik (lingkungan fisik), komponen biotik (lingkungan hayati atau flora-fauna), dan

komponen kultural (lingkungan manusia dan perilakunya, yang meliputi aspek

kependudukan, sosial ekonomi, dan sosial budaya). Keterkaitan antara komponen

abiotik, komponen biotik, dan budaya manusia dapat digambarkan dalam diagram

(5)

C

Lingkungan

Culture

(Manusia dan

Peradabannya)

Gambar 1.3. Keterkaitan Komponen Abiotik Biotik, dan Budaya (Culture)

Ketiga komponen dalam lingkungan hidup saling ketergantungan dan terjadi

suatu hubungan timbal balik antara manusia dan makhluk lain dengan faktor-faktor

alam. Hubungan timbal balik antar komponen penyusun lingkungan tersebut berjalan

dalam berbagai proses ekologi dan merupakan satu kesatuan sistem, yang disebut

dengan ekosistem. Jadi ekosistem merupakan tatanan unsur lingkungan hidup yang

merupakan kesatuan utuh, menyeluruh, dan saling mempengaruhi dalam membentuk

keseimbangan, stabilitas, dan produktivitas lingkungan hidup (UUPPLH Nomor 32

tahun 2009).

Komponen biotik, komponen abiotik, dan kultur merupakan komponen

pembentuk ekosistem hutan mangrove. Abiotik atau komponen tak hidup adalah

komponen fisik dan kimia yang merupakan medium atau substrat tempat

berlangsungnya kehidupan, atau lingkungan tempat hidup. Komponen biotik adalah

suatu komponen yang menyusun suatu ekosistem selain komponen abiotik (tidak

bernyawa). Untuk memenuhi kebutuhannya, manusia tergantung pada kedua

komponen tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa antara komponen biotik, abiotik,

dan manusia saling membutuhkan dan memiliki keterkaitan. Pengelolaan yang baik

akan dapat menjaga ekosistem hutan mangrove. Pembukaan tambak untuk

B

Lingkungan

Biotik

(Flora dan Fauna)

A

Lingkungan

Abiotik

(Atmosfer, Litosfer,

Pedosfer, Hidrosfer,

Oseanosfer)

Keterpaduan komponen biotik,

(6)

memenuhi kebutuhan hidup telah menjadi budaya bagi masyarakat di lingkungan

ekosistem hutan mangrove Delta Mahakam. Pembukaan tambak tanpa

memperhatikan kelestarian ekosistem hutan mangrove oleh masyarakat menjadi

penyebab kerusakan lingkungan biotik dan abiotik dalam ekosistem hutan mangrove.

Pengelolaan ekosistem hutan mangrove sebenarnya sudah diatur dalam

peraturan pemerintah. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang

Kehutanan, menjelaskan bahwa mangrove merupakan ekosistem hutan yang

termasuk dalam kategori hutan lindung. Hutan lindung adalah kawasan hutan yang

mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk

mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut.

Kaitannya dengan kondisi mangrove yang rusak, setiap orang yang memiliki,

mengelola dan atau memanfaatkan hutan kritis atau produksi wajib melaksanakan

rehabilitasi hutan untuk tujuan perlindungan konservasi. Hal ini diatur dalam Pasal

43 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999. Peraturan perundangan tersebut sangat

jelas menegaskan bahwa hutan mangrove adalah kawasan kehutanan yang harus

dilindungi dan dilestarikan. Oleh karena itu, Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999

mengamanatkan bahwa Dinas Kehutanan memiliki kewenangan untuk menjaga

kelestarian hutan mangrove di perairan termasuk kawasan perairan di Delta

Mahakam.

Pengelolaan ekosistem hutan mangrove juga diatur dalam Undang-Undang

Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan mengatur bahwa wilayah pengelolaan

perikanan Republik Indonesia untuk penangkapan ikan atau pembudiyaan ikan

meliputi sungai, danau, waduk, rawa dan genangan air lainnya yang dapat

diusahakan serta lahan pembudidayaan ikan yang potensial di wilayah Republik

Indonesia. Oleh karena itu, hutan mangrove merupakan daerah genangan air yang

sangat potensial untuk perikanan oleh sektor perikanan (Dinas Kelautan dan

Perikanan). Dinas Kelautan dan Perikanan dapat memanfaatkannya sebagai area

untuk budidaya perikanan.

Kedua undang-undang tersebut secara tegas menjelaskan batas-batas atau

aturan dalam pengelolaan dan pemanfaatan ekosistem hutan mangrove. Sektor

(7)

mangrove. Sektor Perikanan memiliki kewenangan untuk mengelola perikanan di

daerah potensial termasuk di kawasan ekosistem hutan mangrove yang ada di

perairan Delta Mahakam. Namun, dalam pengelolaan ekosistem hutan mangrove

terjadi konflik pengelolaan antara pemerintah, dalam hal ini Dinas Perikanan dan

Kelautan, Dinas Kehutanan, dan BLH dengan masyarakat penambak.

Upaya pelestarian alam atau lingkungan dapat dilakukan dengan menjaga

kawasan dan melakukan pengelolaan dengan baik terhadap kawasan hutan.

Berdasarkan ketentuan Undang-undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan

bahwa mangrove merupakan ekosistem hutan, dan oleh karena itu, maka pemerintah

bertanggungjawab dalam pengelolaan yang berasaskan manfaat dan lestari,

kerakyatan, keadilan, kebersamaan, keterbukaan dan keterpaduan (Pasal 2). Dalam

kaitan kondisi mangrove yang rusak, kepada setiap orang yang memiliki, pengelola

dan atau memanfaatkan hutan kritis atau produksi, wajib melaksanakan rehabilitasi

hutan untuk tujuan perlindungan konservasi (Pasal 43). Beberapa pengelolaan untuk

mempertahankan kondisi hutan mangrove yang terlihat di lapangan beberapa

diantaranya telah dilakukan oleh Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur seperti;

penanaman hutan mangrove, penyusunan dan pelaksanaan program dan kebijakan

lingkungan hidup terkait dengan hutan mangrove dan penyusunan kebijakan dengan

dikeluarkannya Perda Pengelolaan Hutan Mangrove di Kalimantan Timur. Terkait

dengan pengelolaan hutan mangrove di perairan Delta Mahakam BLH (Badan

Lingkungan Hidup) juga telah bekerjasama dengan Dinas Kehutanan untuk

penanaman hutan mangrove di sepanjang Delta Mahakam, sehingga dengan adanya

kebijakan tersebut maka perlunya suatu kebijakan yang dapat terintegrasi dengan

baik untuk dapat diaplikasikan dengan benar oleh masyarakat dalam hal pemanfaatan

dan pengelolaan hutan mangrove di perairan Delta Mahakam, baik itu peranan

kelembagaan pemerintah daerah, masyarakat dan stakeholder yang ada agar kelestarian hutan mangrove dapat tetap terjaga, kebutuhan masyarakat dapat tetap

terpenuhi dan lingkungan dapat tetap lestari. Oleh karena itu, pengelolaan hutan

mangrove tidak sepenuhnya menjadi tanggung jawab pemerintah saja akan tetapi

diperlukan peran serta masyarakat di Kawasan Delta Mahakam untuk mencapai

(8)

Sumber: Dokumentasi pribadi 24/3/2013

Gambar 1.4. Ajakan untuk Melestarikan Hutan Mangrove

Peran serta masyarakat sangat diperlukan di dalam menjaga kelestarian

kawasan hutan mangrove, serta untuk penanaman dan pembibitan kembali kawasan

hutan mangrove. Dengan demikian diharapkan adanya keharmonisan pengelolaan

hutan mangrove secara terintegrasi antara lembaga pemerintah daerah dengan

lembaga masyarakat dan masyarakat itu sendiri dalam bentuk kerjasama dan upaya

pendekatan kepada masyarakat oleh Badan Lingkungan Hidup melalui

kebijakan-kebijakan yang ada. Harapan lain adalah terjadinya integrasi peran pemerintah

daerah dan masyarakat sekitar adalah kelestarian hutan mangrove dapat terjaga. Hal

tersebut di atas yang menjadi latar belakang utama peneliti untuk perlunya penelitian

tentang “Kajian Lembaga dan Kearifan Masyarakat dalam Pengelolaan Ekosistem

Hutan Mangrove Secara Terpadu Di Delta Mahakam”.

1.2.

Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, dapat diketahui bahwa terjadi tumpang

tindih kewenangan antara Dinas Kehutanan dengan Dinas Kelautan dan Perikanan

dalam pengelolaan ekosistem hutan mangrove. Penduduk asli dan pendatang juga

merupakan salah satu pihak yang ikut memanfaatkan ekosistem hutan mangrove.

Adanya tumpang tindih tersebut berarti terdapat kewenangan dari masing-masing

pihak dalam mengelola dan memanfaatkan ekosistem hutan mangrove.

Pemerintah daerah setempat, dalam hal ini BLH Provinsi Kalimantan Timur

sudah melakukan beberapa upaya untuk mengatasi permasalahan kerusakan

(9)

ekosistem hutan mangrove dan pembentukan tim pengelola hutan mangrove. Peran

serta dan kearifan masyarakat dalam pengelolaan hutan mangrove merupakan hal

penting karena masyarakat setempat merupakan pelaku utama aktivitas pertambakan

sehingga dengan adanya peran serta dan kearifan masyarakat maka pengelolaan

ekosistem hutan mangrove dapat terlaksana dengan baik. Selain itu, dengan

pengelolaan ekosistem hutan mangrove yang melibatkan peran masyarakat akan

menumbuhkan kedasaran masyarakat akan arti pengelolaan ekosistem hutan

mangrove yang sangat berarti bagi kehidupan masyarakat saat ini dan generasi yang

akan datang. Tanpa peran serta masyarakat dalam setiap kebijakan pemerintah,

tujuan ditetapkannya kebijakan tersebut sulit dicapai.

Sumber: Dokumentasi pribadi 24/3/2013

Gambar 1.5. Upaya Pelestarian Hutan Mangrove di Delta Mahakam

Berdasarkan hal tersebut, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai

berikut ini.

(1) Apakah kondisi lingkungan ekosistem hutan mangrove telah rusak?

(2) Bagaimanakah peran Badan Lingkungan Hidup, Dinas Kehutanan, serta Dinas

Perikanan dan Kelautan dalam pengelolaan ekosistem hutan mangrove di Delta

Mahakam?

(3) Bagaimanakah peran serta masyarakat asli dan pendatang dalam pengelolaan

ekosistem hutan mangrove di Delta Mahakam?

(4) Bagaimanakah mengintegrasikan peranan lembaga pemerintah dengan

(10)

1.3.

Keaslian Penelitian

Penelitian yang dilakukan kali ini belum pernah diteliti sebelumnya, sehingga

peneliti berkeyakinan bahwa penelitian ini adalah asli dan dapat dipertanggung

jawabkan. Sebagai perbandingan, peneliti mengutarakan beberapa penelitian

terdahulu yang memiliki kajian yang serupa, yaitu kajian mengenai dinamika

ekosistem mangrove dan kajian dampak kerusakan ekosistem hutan mangrove, untuk

dapat dijadikan sebagai referensi sekaligus untuk menunjukkan keaslian penelitian

ini, disajikan dalam Tabel 1.1.

Tabel 1.1. Perbandingan Penelitian dengan Penelitian Terdahulu

No Peneliti, Tahun, Judul Tujuan Utama Metode Hasil

(11)

No Peneliti, Tahun, Judul Tujuan Utama Metode Hasil

Mengkaji peranan Dinas Kehutanan serta Dinas Perikanan dan Kelautan dan Mahakam; dan Mengkaji strategi pengelolaan ekosistem hutan mangrove dengan mengintegrasikan peranan Dinas Kehutanan serta Dinas Perikanan dan Kelautan dan Perikanan, dan BLH Kabupaten Kutai

Sumber: Telaah Pustaka dan Perumusan, 2012

Berdasarkan telaah pustaka dari beberapa hasil penelitian terdahulu, maka

diketahui perbedaan serta kelebihan penelitian ini dibanding dengan dengan

penelitian-penelitian terdahulu, yang sekaligus dapat dijadikan sebagai batasan dalam

kajian penelitian. Yang membedakan penelitian ini dengan penelitian-penelitian yang

sebelumnya pernah dilakukan adalah tujuan penelitian. Tujuan penelitian ini adalah

mengkaji peran lembaga (Dinas Kehutanan serta Dinas Perikanan dan Kelautan dan

Perikanan, dan BLH Kabupaten Kutai Kartanegara) dan mengkaji partisipasi

masyarakat dalam pengelolaan ekosistem hutan mangrove di Delta Mahakam serta

strategi pengelolaan ekosistem hutan mangrove secara terpadu, dimana pada

penelitian terdahulu hanya mengkaji konversi ekosistem hutan mangrove dan

partisipasi masyarakat dalam pengelolaan ekosistem hutan mangrove. Selain itu,

yang membedakan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah lokasi

(12)

1.4.

Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah:

(1) Mengkaji peranan Dinas Kehutanan serta Dinas Perikanan dan Kelautan dan

Perikanan, dan BLH Kabupaten Kutai Kartanegara dalam pengelolaan

ekosistem hutan mangrove di Delta Mahakam;

(2) Mengkaji partisipasi masyarakat/penduduk asli dan pendatang dalam

pengelolaan ekosistem hutan mangrove di Delta Mahakam; dan

(3) Mengkaji strategi pengelolaan ekosistem hutan mangrove dengan

mengintegrasikan peranan Dinas Kehutanan serta Dinas Perikanan dan

Kelautan dan Perikanan, dan BLH Kabupaten Kutai Kartanegara dengan

masyarakat asli dan pendatang di Delta Mahakam.

1.5.

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian mengenai kajian konflik lembaga dan kearifan masyarakat

dalam pengelolaan ekosistem hutan mangrove secara terpadu di Delta Mahakam

diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut:

(1) Sumbangan data autentik mengenai peran lembaga dan partisipasi masyarakat

dalam pengelolaan ekosistem hutan mangrove secara terpadu di Delta

Mahakam;

(2) sebagai bahan informasi dan masukan kepada pihak Pemerintah khususnya

yang ada di Kabupaten Kutai Kartanegara untuk menentukan arah dan

kebijakan pengelolaan serta perlindungan yang optimal terhadap ekosistem

hutan mangrove di Delta Mahakam; dan

(3) menambah kasanah ilmu pengetahuan, khususnya tentang kajian konflik

lembaga dan kearifan masyarakat dalam pengelolaan ekosistem hutan

Gambar

Gambar 1.1. Hutan Mangrove Rhizophora Aficulata yang umumnya di jumpai di Perairan Sanga-Sanga
Gambar 1.2. Kondisi Hutan Mangrove yang rusak
Gambar 1.3. Keterkaitan Komponen Abiotik Biotik, dan Budaya (Culture)
Gambar 1.4. Ajakan untuk Melestarikan Hutan Mangrove
+3

Referensi

Dokumen terkait

PMK ini menjelaskan bahwa penilaian kembali aktiva tetap dapat dilakukan apabila Direktorat Jendral Pajak (DJP) memberikan ijin. Aktiva tetap yang dapat direvaluasi

Dari beberapa kasus tersebut merupakan contoh mengenai beberapa kasus pelanggaran Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik UU No.11 Tahun 2008 terhadap

Diberitahukan kepada masyarakat luas bahwa Badan Pelaksana Penyuluhan Pertanian Perikanan Dan Kehutanan Kabupaten Tegal melalui pejabat pengadaan telah melaksanakan

Pengujian kuat tarik pada edible film menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi gliserol maka semakin rendah nilai kuat tarik edible film.. Hal ini diduga disebabkan

Telah dilakukan penelitian tentang Uji Aktivitas Antibakteri Ekstrak Etanol Daun Ubi Jalar Ungu (Ipomoea batatas Var Ayamurasaki) terhadap Bakteri Staphylococcus aureus

Sehubungan dengan sanggahan yang Saudari sampaikan melalui SPSE tanggal 4 November 2016 dengan nomor surat : 001/SGHN/KS/XI/2016, Perihal Sanggahan Pemilihan Penyedia

Aturan yang berupa larangan dan sanksi yang diberlakukan dalam Hukum Adat Sasi di Desa Ohoider Tawun sudah merupakan bagian dari kehidupan masyarakat desa tersebut

Study Control of Bird Flu Outbreak Within.docx 01.. Study Control of Bird Flu Outbreak