• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Penelantaran Anak Oleh Orang Tua (Studi Putusan Nomor : 141 Pid.Sus 2015 PN.Skt)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Penelantaran Anak Oleh Orang Tua (Studi Putusan Nomor : 141 Pid.Sus 2015 PN.Skt)"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

PENGATURAN HUKUM PIDANA TERHADAP TINDAK

PIDANA PENELANTARAN ANAK

A. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan

kehidupannya.37 Sesuai dengan pasal tersebut maka anak juga memiliki hak yang sama seperti orang dewasa. Karena dalam pasal 28A ini disebutkan adalah setiap

orang termaksud salah satunya adalah anak.

Menjamin hak anak untuk hidup maka diaturlah mengenai pengaturan

tentang penelantaran anak di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

Tindak Pidana Penelantaran anak diatur dalam BAB XV BUKU II KUHP yaitu

yang berhubungan erat dengan kejahatan terhadap badan, sebab kejahatan ini

dapat menimbulkan bahaya terhadap badan maupun jiwa orang lain.

Tindak pidana penelantaran anak itu terdiri atas dua jenis tindak pidana

yaitu :

a. Dengan sengaja melalaikan kewajiban atas perawatan atau pemeliharaan

orang oleh orang yang mempunyai kewajiban: Pasal 304 KUHP;

b. Meninggalkan anak untuk ditemukan oleh orang lain : Pasal 305, 306, 307

dan 309 KUHP.

a) Pasal 304 KUHP

Barangsiapa dengan sengaja menyebabkan atau membiarkan orang dalam kesengsaraan, sedangkan ia wajib memberi kehidupan perawatan atau pemeliharan pada orang itu karena hukum yang berlaku atasnya atau

37

(2)

karena menurut perjanjian, dihukum penjara selama-lamanya dua tahun delapan atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 4.500,-

Unsur-unsur :

Objektif : menyebabkan dan membiarkan.

Membiarkan maksudnya adalah orang lain dalam keadaan sengsara (dalam

keadaan tidak berdaya). Sedangkan ia berkewajiban untuk : memberikan

kehidupan, merawat atau memelihara orang lain berdasarkan : hukum yang

berlaku dan perjanjian

Subjektif : dengan sengaja

Yang dihukum menurut pasal ini ialah orang yang sengaja menyebabkan atau membiarkan orang dalam kesengsaraan, sedangkan ia wajib memberi kehidupan, perawatan ataupun pemeliharaan kepada orang tua membiarkan anaknya dalam keadaan sengsara, demikian pun wali terhadap anak peliharaanya.38

Tiada setiap perbuatan melalaikan kewajiban memberikan kehidupan,

merawat atau memelihara menimbulkan perbuatan yang dapat dihukum. Setiap

perbuatan melalaikan kewajiban itu yang menyebabkan atau membiarkan orang

lain dalam keadaan sengsara atau dalam keadaan tidak berdaya merupakan

perbuatan yang dapat dihukum.39

Menyebabkan dalam keadaan tidak berdaya diartikan dalam keadaan

bahaya bagi orang yang memerlukan pertolongan. Bahaya itu adalah bahaya bagi

jiwa dan kesehatan, dalam pengertian, bahwa orang itu tidak dapat

menyelamatkan diri sendiri baik menurut alam maupun keadaan, dimana

38

R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Serta Komentar-Komenta rnya Lengkap Pasal Demi Pasal, (Bogor: Politeia, 1994), hlm. 223

39

H. A. K. Moch. Anwar (Dading)., Hukum Pida na Bagian Khusus (KUHP Buku II),

(3)

diperlukan pertolongan dalam memberikan kehidupan (makan), perawatan atau

pemeliharaan.40

Keadaan bahaya itu adalah keadaan, dimana tiada kemungkinan

terdapatnya pertolongan dari pihak ketiga. Dalam masyarakat modern sekarang ini

hal ini tidak mungkin, kecuali orang yang memerlukan bantuan itu ditinggalkan

dihutan atau ditempat yang sepi. Dengan demikian bahaya itu harus diartikan,

bahwa tiada orang dapat memberikan pertolongan itu, sedangkan pertolongan itu

diperlukan sekali. Menyebabkan dan membiarkan dalam keadaan tidak berdaya

atau dalam keadaan sengsara itulah dua perbuatan yang dapat dihukum. Perbuatan

yang dapat dihukum harus perbuatan, baik perbuatan aktif maupun perbuatan

pasif, dengan sengaja yaitu seseorang yang menghindarkan dirinya dari kewajiban

memberikan pertolongan dan pemeliharaan orang yang memerlukan pertolongan.

Perbedaan antara kedua perbuatan itu adalah sebagai berikut :41

a. Menyebabkan : Menyebabkan keadaan tidak berdaya bagi seseorang yang sebelumnya tidak dalam keadaan berdaya. Semula orang itu tidak dalam keadaan tidak berdaya. Jadi pelaku melakukan perbuatan yang menimbulkan keadaan tidak berdaya bagi orang lain.

b. Membiarkan : Seseorang sudah ada dalam keadaan tidak berdaya. Dan pelaku tidak menghentikan keadaan tidak berdaya yang semula sudah ada.

Seorang yang mempunyai kewajiban untuk memberikan hidup, merawat

atau memelihara orang lain harus didasarkan pada ketentuan-ketentuan hukum

yang berlaku atas perjanjian.

Menurut ketentuan-ketentuan dalam Kitab Undang-Undang Hukum

Perdata ditetapkan kewajiban alimentasi, yaitu memberikan kehidupan pada orang

40

Ibid., hlm. 114

41

(4)

lain, sedangkan berdasarkan perjanjian harus diadakan persetujuan, dimana

ditetapkan siapa orang yang harus diberikan kehidupan dan siapa yang diberikan

kewajiban memberikan kehidupan kepada orang yang harus menerima kehidupan

itu.

Tiga jenis kewajiban alimentasi tersebut adalah :42

a) Memberikan kehidupan: ini berarti memberikan kebutuhan hidup seperti makan, tempat tinggal, agar bisa mempertahankan kehidupannya;

b) Merawat : ini ditujukan kepada orang-orang sakit; penderita penyakit, seperti dokter dan perawat berkewajiban merawat orang sakit;

c) Memelihara : ini berhubungan dengan orang yang tidak dapat mengurus diri sendiri seperti orang cacad, orang gila atau anak kecil.

Penempatan unsur dengan sengaja mensyaratkan bahwa semua unsur

dibelakang unsur dengan sengaja diliputi oleh unsur dengan sengaja.

b) Pasal 305 KUHP

Barangsiapa menaruhkan anak yang dibawah umur tujuh tahun disuatu tempat

supaya dipungut orang lain, atau dengan maksud akan terbebas dari pada

pemeliharaan anak itu, meninggalkannya, dihukum penjara selama-lamanya lima

tahun enam bulan.

Unsur-unsur :

a. Membuang anak dibawah umur tujuh tahun atau

b. Meninggalkan anak dibawah umur tujuh tahun,

c. Dengan maksud : Untuk melepaskan anak itu dari padanya.

“Menaruhkan anak” = membuang anak kecil artinya meninggalkan anak

kecil yang belum berumur 7 tahun disuatu tempat, sehingga dapat ditemu oleh

42

(5)

orang lain dengan tidak mengetahui siapa orang tuanya, maksudnya ialah untuk

melepaskan tanggung jawab atas anak itu, ini boleh dilakukan oleh siapa saja.43 Kejahatan ini terdiri atas perbuatan yang menyebabkan anak dibawah

umur tujuh tahun dalam keadaan tidak berdaya (atau sengsara) atau meninggalkan

seorang anak yang belum dapat menolong diri sendiri dengan melepaskan anak itu

dengan cara-cara, dimana anak itu terbuka bagi segala jenis bahaya yang

mengancam. Pasal 305 didasarkan atas ketergantungan yang mutlak dari

anak-anak yang dibatasi dengan umur sampai tujuh tahun.

Kejahatan ini juga mendasarkan atas, perbuatan menyebabkan dalam

keadaan tidak berdaya yang ternyata tidak merupakan unsur dari pada kejahatan.

Tetapi hal ini dianggap ada didalam ketentuan batas umur anak itu. Didalam

rumusan Pasal 305 KUHP tidak dinyatakan secara tegas tentang seseorang yang

mempunyai kewajiban memberi hidup, merawat atau memelihara berdasarkan

hukum atau perjanjian. Membuang anak adalah suatu perbuatan yang dapat

dilakukan oleh setiap orang tanpa ada sesuatu hubungan antara pelaku dan anak

itu. Perbuatan itu dapat dilakukan dengan kehendak atau tanpa kehendak dari pada

pemelihara anak.44

Meninggalkan anak untuk melepaskan anak itu dari padanya tidak dapat

dilakukan oleh setiap orang. Seseorang dapat melakukan tindakan melepaskan

anak dari padanya apabila terdapat sesuatu hubungan tertentu diantara pelaku dan

anak itu, dimana terdapat kewajiban memelihara meskipun hubungan tertentu

diantara pelaku dan anak itu, dimana terdapat kewajiban memelihara meskipun

43

R. Soesilo., Op.Cit. hlm. 224

44

(6)

hubungan itu tidak perlu didasarkan atas peraturan hukum yang berlaku ataupun

atas sesuatu perjanjian, bahkan termasuk hubungan yang berlaku ataupun atas

sesuatu perjanjian, bahkan termasuk hubungan yang menimbulkan setiap

kewajiban moril. Kejahatan dalam dua bentuknya itu memerlukan dengan tujuan

untuk melepaskan anak dari padanya.45

Tujuan itu tidak dapat dihilangkan oleh kenyataan, bahwa pelaku dapat

menerima, bahwa dalam masalah-masalah yang meliputi perbuatannya itu

menjamin akan pemeliharaan bagi anak itu. Perbuaatan meninggalkan anak

dirumah yatim piatu memenuhi rumusan kejahatan itu. Sebaliknya seseorang yang

meletakkan seorang anak disuatu tempat, sepanjang ia mengawasi untuk

mengetahui adanya orang tertarik atas anak itu ia tidak dapat dipersalahkan

melakukan perbuatan membuang anak, karena ia tidak dapat dipersalahkan anak

itu, ia tetap menunggu sampai ada yang mengambil anak itu. Syarat umum adalah

tujuan untuk tidak memperdulikan lagi tentang pemeliharaan anak itu.46

Sebagaimana dinyatakan diatas, perbuatan membuang anak adalah setiap

perbuatan menaruh atau meletakkan atau meninggalkan untuk kemudian

ditemukan oleh orang lain, hingga terbuka bahaya yang mengancam anak itu,

dalam hal mana pelaku menjauhi anak itu yang dapat berarti juga meninggalkan

anak itu, akan tetapi meninggalkan anak itu tidak selalu dengan maksud

melepaskan anak dari padanya. Maksud ini terdapat apabila pelaku mempunyai

kewajiban pemeliharaan atas anak itu. Membuang anak adalah suatu perbuatan

terhadap seorang anak dalam usia dimana anak itu masih tidak berdaya. Terhadap

45

Ibid., hlm. 116

46

(7)

seorang anak yang sudah dapat berjalan dengan baik dan bicara tidak dapat

dilakukan perbuatan membuang anak, terhadapnya dapat dilakukan perbuatan

meninggalakan anak. Anak itu harus berusia kurang dari tujuh tahun.47

Perbuatan itu harus dilakukan dengan sengaja meskipun tidak secara tegas

dinyatakan, sebab karena kesalahannya membuang anak atau meninggalkan

dengan maksud yang dipersyaratkan tidak mungkin terjadi. Dengan sengaja hanya

ditujukan pada perbuatannya, hingga tidak perlu pelaku menyatakan tentang usia

anak itu.48

c) Pasal 306 KUHP

(1) kalau salah satu perbuatan yang diterangkan dalam Pasal 304 dan 305 itu

menyebabakan luka berat, maka sitersalah dihukum penjara selam-lamanya

tujuh tahun enam bulan.

(2) Kalau salah satu perbuatan ini menyebabkan orang mati, sitersalah dihukum

penjara selama-lamanya sembilan tahun.

Luka berat atau luka parah ialah antara lain :49

1. Penyakit atau luka yang tak boleh diharap akan sembuh lagi dengan sempurna atau dapat mendatangkan bahaya maut. Jadi luka atau sakit bagaimana besarnya, jika dapat sembuh kembali dengan sempurna dan tidak mendatangkan bahaya maut (tabib yang bisa menerangkan hal ini). Itu bukan luka;

2. Terus menerus tidak cakap lagi melakukan jabatan atau pekerjaan. Kalau hanya buat sementara saja bolehlah tidak cakap melakukan pekerjaan yaitu tidak masuk luka berat. Penyanyi misalnya jika rusak kerongkongannya, sehingga tidak dapat menyanyi selama-lamanya itu masuk luka berat. 3. Tidak lagi memakai (kehilangan) salah satu pancaindera. Pancaindera

(8)

pengertian ini, karena dengan mata dan telinga yang lain ia masih dapat melihat dan mendengar.

4. Kudung (romping) dalam teks Bahasa Belandanya “verminking”, cacat

sehingga „jelek‟ rupanya, karena ada sesuatu anggota badan yang putus,

misalnya hidungnya, daun telingannya teriris putus, jari tangan atau kakinya putus dan sebagainya.

5. Lumpuh (verlamming) artinya tidak bisa menggerakkan anggota badan. 6. Berubah pikiran lebih dari empat minggu. Pikiran terganggu, kacau tidak

dapat memikir lagi dengan normal, semua itu lamanya harus lebih dari empat minggu, jika kurang, tidak masuk pengertian luka.

7. Menggugurkan atau membunuh bakal anak kandungan ibu.

Selain dari tujuh macam tersebut diatas menurut yuris prodentie termasuk

pula segala luka yang dengan kata sehari-hari disebut “luka berat”. Dalam hal ini

tiap-tiap kejadian harus ditinjau sendiri-sendiri oleh hakim dengan mendengarkan

keterangan orang ahli (dokter), yang dalam prakteknya keterangan itu disebut

“visum et repertum”.50

Luka berat atau matinya orang yang timbul sebagai akibat perbuatan

tersebut dalam pasal 304 dan 305 KUHP merupakan masalah-masalah yang

memperberat hukuman.

d) Pasal 307 KUHP

“Kalau sitersalah karena kejahatan yang diterangkan dalam Pasal 305 adalah bapa

atau ibu dari anak itu, maka baginya hukuman yang ditentukan dalam Pasal 305

dan 306 dapat ditambahkan dengan sepertiganya.”

Masalah ayah atau ibu dari anak itu sebagai pelaku kejahatan dalam Pasal

305 merupakan masalah yang dapat memperberat hukuman yang tersebut dalam

Pasal 305 dan 306.51

50

H.A.K. Moch. Anwar (Dading)., Op.Cit., hlm. 117

51

(9)

e) Pasal 308 KUHP

“Kalau ibu menaruh anaknya disuatu tempat supaya dipungut orang lain tidak

berapa lama anak itu dilahirkan oleh karena takut akan diketahui orang ia

melahirkan anak itu, meninggalkannya, maka hukuman maksimum yang tersebut

dalam Pasal 305 dan 306 dikurangi sehingga serduanya.”

Unsur-unsur :

Seorang ibu : 1. membuang anaknya atau

2. meninggalkan anaknya dengan maksud : melepaskan anaknya

dari padanya,

3. perbuatan dilakukan : tidak lama sesudah ia melahirkan;

4. karena takut akan diketahui orang bahwa ia melahirkan anak.

Kejahatan ini hampir sama dengan kejahatan dalam Pasal 341 dab 342

KUHP, yaitu pembunuhan anak dan pembunuhan berencana oleh seorang ibu.

Unsur pada saat atau tidak lama sesudah ia dilahirkan dalam Pasal 341 dan 342

KUHP tidak terdapat secara sepenuhnya dalam Pasal 308.52

Pasal 308 hanya memuat unsur tidak lama sesudah ia dilahirkan, sebab

unsur pada saat ia dilahirkan tidak mungkin dilakukan dalam perbuatan tersebut

dalam Pasal 308. Seorang ibu melakukan perbuatan karena takut akan diketahui

orang bahwa ia melahirkan anak merupakan masalah-masalah yang memperingan

hukuman atas kejahatan tersebut dalam Pasal 305.53

52

Ibid., hlm 118

53

(10)

f) Pasal 309 KUHP

“ Pada waktu menjatuhkan hukuman karena salah satu kejahatan yang diterangkan

dalam Pasal 304-308, dapat dijatuhkan hukuman pencabutan hak tersebut dalam

Pasal 35 no. 4”

Pasal 309 KUHP ini merupakan hukuman tambahan bagi si pelaku

penelantaran anak tersebut.

Dalam Pasal 10 KUHP sebagai salah satu dari tiga macam hukuman

tambahan ialah “pencabutan hak yang tertentu”. “Hak yang tertentu” artinya

bukan semua hak. Orang tidak mungkin dicabut semua haknya, karena ini akan

berakibat, bahwa orang itu tidak dapat hidup.54

B. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1979 Tentang

Kesejahteraan Anak

Dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945 Pasal 34 Ayat (1), fakir miskin

dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara. Negara mengembangkan sistem

jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah

dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan. Negara bertanggung

jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum

yang layak. Dengan adanya jaminan dalam Undang-Udang Dasar 1945 tersebut di

atas berarti anak belum memiliki kemampuan untuk berdiri sendiri baik secara

rohani, jasmani maupun sosial menjadi kewajiban baik dari orang tua, keluarga,

masyarakat maupun bangsa dan negara dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan

anak terutama aspek kesejahteraannya. Dengan depenuhi aspek kesejahteraannya,

54

(11)

maka anak tersebut akan tumbuh dan berkembang menjadi generasi penerus yang

dapat diharapkan sebagai tiang dan fondasi orang tua, keluarga, masyarakat,

bangsa dan negara.55

Pengaturan di dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan anak

terlantar adalah:

1) Anak yang karena suatu sebab tidak dapat terpenuhi

kebutuhan-kebutuhannya, baik secara rohani, jasmani maupun sosial dengan wajar.

2) Anak itu berhak atas kesejahteraan, perawatan, asuhan dan bimbingan.

3) Anak itu berhak atas pemeliharaan dan perlindungan.

4) Anak itu berhak atas perlindungan terhadap lingkungan hidupnya.

5) Dalam keadaan yang membahayakan, anaklah yang pertam-tama berhak

mendapatkan pertolongan, bantuan dan perlindungan.

Pengaturan di dalam Undang-Undang Kesejahteraan Anak yang

berhubungan dengan penelantaran anak adalah sebagai berikut :

a) Pasal 1 Angka 7 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979

“Anak terlantar adalah anak yang karena suatu sebab tidak dapat terpenuhi

kebutuhan-kebutuhannya, baik secara rohani, jasmani maupun sosial dengan

wajar.”

55

(12)

Beberapa karakteristik atau ciri – ciri anak terlantar yaitu:56

a. Tidak memiliki ayah, karena meninggal (yatim), atau ibu karena meninggal tanpa

dibekali secara ekonomi untuk belajar, atau melanjutkan pelajaran pada

pendidikan dasar.

b. Orang tua sakit-sakitan dan tidak memiliki tempat tinggal dan pekerjaan yang

tetap. Penghasilan tidak tetap dan sangat kecil serta tidak mampu membiayai

sekolah anaknya.

c. Orang tua yang tidak memiliki tempat tinggal yang tetap baik itu rumah sendiri

maupun rumah sewaan.

d. Tidak memiliki ibu dan bapak (yatim piatu), dan saudara, serta belum ada orang

lain yang menjamin kelangsungan pendidikan pada tingkatan dasar dalam

kehidupan anak.

Hak-hak anak merupakan bagian integral dari Hak Asasi Manusia.

Berkaitan dengan peranan-peranan negara, maka tiap negara mengemban

kewajiban yaitu melindungi (to protect), memenuhi (to fulfill) dan menghormati

(to respect) hak-hak anak. Berdasarkan kewajiban negara dimaksud maka sistem

kesejahteraan anak dan keluarga diimplementasikan dalam kerangka kebijakan

yang sifatnya berkesinambungan dari tingkat makro sampai mikro.57

Hak-hak anak yang berkaitan dengan perlindungan penelantaran anak

dalm Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 adalah sebagai berikut:

56

Menurut Keputusan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 1984

57

(13)

b) Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979

“Anak berhak atas kesejahteraan, perawatan, asuhan dan bimbingan berdasarkan

kasih sayang baik dalam keluarganya maupun di dalam asuhan khusus untuk

tumbuh dan berkembang dengan wajar.”

Asuhan ditujukan kepada anak yang tidak mempunyai orang tua dan terlantar dan anak terlantar, dan bentuknya dapat berupa:58

(1) Penyuluhan, bimbingan dan bentuk lainnya yang diperlukan; (2) Penyantunan dan pengentasan anak;

(3) Pemberian/peningkatan derajat kesehatan; (4) Pemberian/peningkatan kesempatan belajar, dan (5) Pemberian/peningkatan keterampilan

c) Pasal 2 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979

“Anak berhak atas pemeliharaan dan perlindungan, baik semasa dalam kandungan

maupun sesudah dilahirkan.”

Menurut W.J.S. Poerwadarminta, bahwa kata perlindungan mengandung

arti: perbuatan, pertolongan, penjagaan kepada orang lain, misalnya memberi

pertolongan kepada orang yang lemah.59

d) Pasal 2 Ayat (4) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979

“Anak berhak atas perlindungan terhadap lingkungan hidup yang dapat

membahayakan atau menghambat pertumbuhan dan perkembangannya dengan

wajar.”

Yang dimaksud dengan lingkungan hidup adalah lingkungan hidup fisik

dan sosial.60

58

Waluyadi, op.cit., hlm. 12

59

W.J.S. Poerwadarminta, op.cit., hlm. 600

60

(14)

e) Pasal 3 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979

“Dalam keadaan yang membahayakan, anaklah yang pertama-tama berhak

mendapat pertolongan, bantuan, dan perlindungan.”

Yang dimaksud dengan keadaan yang membahayakan adalah keadaan yang sudah

mengancam jiwa manusia baik karena alam maupun perbuatan manusia.61

C. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2004 tentang

Kekerasan Dalam Rumah Tangga

Setiap warga negara berhak mendapatkan rasa aman dan bebas dari segala

bentuk kekerasan sesuai dengan falsafah Pancasila dan Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Kekerasan dalam rumah tangga

merupakan pelanggaran hak asasi manusia dan kejahatan terhadap martabat

kemanusiaan serta bentuk diskriminasi yang harus dihapus.62

Keutuhan dan kerukunan rumah tangga secara umum dikatakan, keutuhan

dan kerukunan rumah tangga yang berbahagia, aman, tenteram, dan damai

merupakan dambaan setiap orang dalam rumah tangga. Negara Republik

Indonesia adalah negara yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa dijamin

oleh Pasal 29 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Untuk mewujudkan keutuhan dan kerukunan tersebut, sangat tergantung pada

setiap orang dalam lingkup rumah tangga, terutama kadar kualitas perilaku dan

pengendalian diri setiap orang dalam lingkup rumah tangga.63

61

Penjelasan Pasal 3 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak.

62

Mohammad Taufik Makarao, Weny Bukamo, dan Syaiful Azri, op.cit., hlm. 174

63

(15)

Untuk mencegah, melindungi korban, dan menindak pelaku kekerasan

dalam rumah tangga, negara dan masyarakat wajib melaksanakan pencegahan,

perlindungan, dan penindakan pelaku sesuai dengan falsafah Pancasila dan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Negara

berpandangan bahwa segala bentuk kekerasan, terutama kekerasan dalam rumah

tangga, adalah pelanggaran hak asasi manusia dan kejahatan terhadap martabat

kemanusiaan serta bentuk diskriminasi. Pandangan negara tersebut didasarkan

pada Pasal 28 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,

beserta perubahannya.64

Pengaturan di dalam undang-udang ini setiap orang dilarang untuk

melakukan yaitu:

a) Kekerasan dalam rumah tangga

b) Menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangga

Pengaturan di dalam Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam

Rumah Tangga yang berhubungan dengan penelantaran anak adalah sebagai

berikut:

a) Pasal 5 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004

“Setiap orang dilarang melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap

orang dalam lingkup rumah tangganya, dengan cara : a. Kekerasan fisik;

b. Kekerasan psikis; c. Kekerasan seksual; atau

d. Penelantaran rumah tangga.”

64

(16)

Kekerasan fisik adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh

sakit, atau luka berat.65

Kekerasan psikis adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan,

hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak

berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang.66 Kekerasan seksual meliputi:

a. Pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang

menetap daalm lingkup rumah tangga tersebut;

b. Pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah

tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan

tertentu.67

b) Pasal 9 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004

(1) Setiap orang dilarang menelantarakan orang dalam lingkup rumah tannganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut.

(2) Penelantaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga berlaku bagi setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan/atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah sehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut.

Frasa penelantaran bermakna melalaikan kewajiban dalam lingkup rumah

tangga, artinya melalaikan kewajiban suami, istri, anak dan terhadap orang yang

ada di dalam rumah tangga. Menurut hukum yang berlaku ia wajib memberikan

kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang itu, maka kewajiban

(17)

tersebut harus melihat pada hak dan kewajiban suami, istri, anak dan orang yang

ada di dalamnya.

Inti dari Pasal 9 Ayat (1) adalah jika seorang ayah dan ibu (orangtua)

membiarkan seorang anak dalam keadaan tidak dirawat khusunya ketika

mengalami sakit dan seorang suami atau sebaliknya membiarkan suatu keadaan

yang sedemikian rupa di mana salah satunya sangat memerlukan pertolongan,

perawatan dan pemeliharaan.

Tentang Pasal 9 Ayat (2) menyangkut hak asasi manusia karena setiap

orang berhak untuk mengaktualisasikan diri dalam pergaulan hidup masyarakat

dan bebas untuk mencari pekerjaan dalam hal memenuhi kebutuhan

hidupsepanjang tidak melanggar norma hukum dan norma agama.

c) Pasal 49 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004

“Dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda

paling banyak Rp. 15.000.000,00 (lima belas juta rupiah), setiap orang yang:

a. Menelantarkan orang lain dalam lingkup rumah tangganya sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1);

b. Menelantarkan orang lain sebagaimana yang diamksud dalam Pasal 9 ayat (2).

Pasal ini merupakan ketentuan pidana dalam Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga yang berisi tentang sanksi pidana dan sanksi denda terhadap pelaku penelantaran dalam lingkup rumah tangga. Lingkup rumah tangga dalam Undang-Undang ini meliputi:68

a. Suami, istri, dan anak;

(18)

D. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 jo Undang-Undang Republik

Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak

Kedudukan anak sebagai generasi muda yang akan meneruskan cita-cita

luhur bangsa, calon-calon pemimpin bangsa di masa mendatang dan sebagai

sumber harapan bagi generasi terdahulu, perlu mendaapt perlindungan agar

memperoleh kesempatan seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang dengan

wajar, baik secara rohani, jasmani maupun sosial. Perlindungan anak merupakan

usaha dan kegiatan seluruh lapisan masyarakat dalam berbagai kedudukan dan

peran, yang menyadari betul pentingnya anak bagi nusa dan bangsa di kemudian

hari. Jika anak telah matang pertumbuhan fisik atauapun mental dan sosialnya,

maka tiba saatnya menggantikan generasi terdahulu.69

Perlindungan anak dapat juga diartikan sebagai segala upaya yang

ditujukan untuk mencegah, rehabilitasi dan memberdayakan anak yang

mengalami tindak perlakuan salah (child abused), eksploitasi dan penelantaran,

agar dapat menjamin kelangsungan hidup dan tumbuh kembang anak secara

wajar, baik fisik, mental dan sosialnya.70

Arif Gosita berpendapat bahwa perlindungan anak adalah suatu usaha

melindungi anak agar dapat melaksanakan hak dan kewajibannya.71 Perlindungan hak-hak anak pada hakikatnya menyangkut langsung pengaturan dalam peraturan

perundang-undangan. Kebijaksanaan, usaha dan kegiatan yang menjamin

69

Maidin Gultom, P erlindungan Hukum Terhada p Anak dan Perempuan, (Bandung: Refika Aditama, 2014), hlm. 97

70

Konvensi. Media Advokasi dan Penegakan Hak-Hak Anak. Volume II No. 2 (Medan : Lembaga Advokasi Anak Indonesia (LLAI), 1998), hlm. 3

71

(19)

terwujudnya perlindungan hak-hak anak, pertama-tama didasarkan atas

pertimbangan bahwa anak-anak merupakan golongan yang rawan dan dependent,

di samping karena adanya golongan anak-anak yang mengalami hambatan dalam

pertumbuhan dan perkembangan, baik rohani, jasmani maupun sosial.

Tindak pidana penelantaran anak yang dimaksud dalam undang-undang ini

yaitu:

a) Anak yang tidak terpenuhi kebutuhannya secara wajar, baik fisik, mental,

spiritual, maupun sosial.

b) Anak yang mengalami diskriminasi, eksploitasi, penelantaran, kekejaman,

kekerasan, dan penganiayaan, ketidakadilan dan perlakuan salah lainnya.

Pengaturan tentang penelantaran anak yang diatur dalam Undang-Undang

Perlindungan Anak adalah sebagai berikut:

a) Pasal 1 Angka 6 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002

“Anak terlantar adalah anak yang tidak terpenuhi kebutuhannya secara wajar, baik

fisik, mental, spiritual, maupun sosial.”

Anak terlantar yaitu anak yang berusia 5-17 tahun yang tidak terpenuhi

kebutuhannya secara wajar baik jasmani, rohnai, maupun sosial.

b) Pasal 13 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002

(1) Setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain mana pun yang bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapatkan perlindungan dari perlakuan:

a. Diskriminasi; b. Eksploitasi c. Penelantaran

d. Kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan; e. Ketidakadilan;

(20)

(2) Dalam hal orang tua, wali atau pengasuh anak melakukan segala bentuk perlakuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), maka perlu dikenakan pemberatan hukuman.

Perlakuan penelantaran, misalnya tindakan atau perbuatan mengabaikan

dengan sengaja kewajiban untuk memelihara, merawat, atau mengurus anak

sebagaimana mestinya.72

c) Pasal 53 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002

“Pemerintah bertanggung jawab untuk memberikan biaya pendidikan dan/atau

bantuan cuma-Cuma atau pelayanan khusus bagi anak dari keluarga kurang

mampu, anak terlantar, dan anak yang bertempat tinggal di daerah terpencil.”

Pemerintah adalah Pemerintah yang meliputi Pemerintah Pusat dan

Pemerintah Daerah.73

d) Pasal 55 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002

“Pemerintah wajib menyelenggarakan pemeliharaan dan perawatan anak terlantar,

baik dalam lembaga maupun di luar lembaga.”

Yang dimaksud dengan frasa dalam lembaga adaalh melalui sistem panti

pemerintah dan panti swasta, sedangkan frasa di luar lembaga adalah sistem

asuhan keluarga/perseorangan.74

e) Pasal 57 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002

“Dalam hal anak terlantar karena suatu sebab orangtuanya melalaikan

kewajibannya, maka lembaga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55, keluarga,

72

Penjelasan Pasal 13 Ayat (1) huruf c Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 Tentang perlindungan Anak.

73

Pasal 1 Angka 17 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.

74

(21)

atau pejabat yang berwenang daapt mengajukan permohonan ke pengadilan untuk

menetapkan anak sebagai anak terlantar.”

Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun,

termasuk anak yang masih dalam kandungan.75

f) Pasal 59 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002

“Pemerintah dan lembaga negara lainnya berkewajiban dan bertanggung

jawab untuk memberikan perlindungan khususnya kepada anak dalam situasi darurat, anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak tereksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjdi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika dan zat adiktif lainnya (napza), anak korban penculikan, penjualan dan perdagangan, anak korban kekerasan fisik dan/atau mental, anak yang menyandang cact dan anak korban perlakuan salah dan penelantaran.”

Perlindungan khusus adalah suatu bentuk perlindungan yang diterima oleh

anak dalam situasi dan kondisi tertentu untuk mendapatkan jaminan rasa aman

terhadap ancaman yang membahayakan diri dan jiwa dalam tumbuh kembangnya.

g) Pasal 71 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002

(1) Perlindungan khusus bagi anak korban perlakuan salah dan penelantaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 dilakukan melalui pengawasan, pencegahan, perawatan, dan rehabilitasi oleh pemerintah dan masyarakat.

(2) Setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melibatkan, menyuruh melibatkan anak dalam situasi perlakuan salah dan penelantaran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

Perlakuan salah terhadap anak bisa dipicu oleh beberapa tekanan dalam

keluarga, diantaranya berasal dari anak, orangtua, dan situasi. Pelaku dari tindak

75

(22)

perlakuan salah terhadap anak biasanya adalah orang-orang yang terdekat seperti

orang tua atau anggota keluarga lainnya juga orang di luar anggota keluarga.76

h) Pasal 77 huruf b Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002

“Penelantaran terhadap anak yang mengakibatkan anak mengalami sakit atau

penderitaan, baik fisik, mental, maupun sosial, dipidana dengan pidana penjara

paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 100.000.000,00

(seratus juta rupiah).”

Pasal ini merupakan ketentuan pidana dari Undang-Undang Perlindungan

Anak yang berisi tentang sanksi pidana dan sanksi denda terhadap pelaku

penelantaran anak.

76

Referensi

Dokumen terkait

[r]

[r]

Rancangan aplikasi web ini diharapkan akan lebih memperluas informasi dan mengenalkan website permohonan cuti pegawai melalui media komputer secara interaktif, sehingga

Kartini adalah satu-satunya perempuan pribumi yang ada disana, teman perempuan Kartini hanya anak-anak menir Belanda, jadi tak heran bahwa kartini

Dengan adanya penelitian tindakan kelas ini diharapkan memperoleh masukan untuk meningkatkan kreativitas dan kemampuan komunikasi matematika siswa melalui pembelajaran

a) Uji asumsi klasik memperlihatkan bahwa model lolos semua pada variabel Jumlah Produksi, Harga Ekspor, Harga Impor, Kurs, Inflasi, dan Cadangan Devisa. b) Dalam Uji

Artinya bahwa secara simultan atau bersama-sama variabel independen yakni ukuran peru- sahaan, profitabilitas , ukuran dewan komisaris perusahaan, dan leverage berpenga-

Potensi wisata adalah sumberdaya alam yang beraneka ragam, dari aspek fisik dan hayati, serta kekayaan budaya manusia yang dapat dikembangkan untuk pariwisata. Banyu