TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pedagang Kaki Lima
2.1.1 Pengertian pedagang kaki lima
Istilah pedagang kaki lima (PKL) berasal dari zaman Raffles yaitu “5 (five)
feets” yang berarti jalur pejalan kaki di pinggir jalan selebar 5 (lima) kaki atau sama
dengan lebih kurang satu setengah meter (Fakultas Ekonomi Universitas Katolik
Parahiyangan Bandung, 1990 dalam Widodo:2006). Area pejalan kaki tersebut
kemudian dipakai tempat berjualan oleh pedagang–pedagang kecil seperti warung
makan, tambal ban, dan lain–lain. Sehingga pedagang kaki lima dapat didefinisikan
sebagai pedagang yang berjualan pada kaki lima dan biasanya mengambil lokasi
berdagang di pusat keramaian umum.
Purwanto dalam Hany, 2002:25, mengatakan bahwa pedagang kaki lima
adalah suatu bentuk aktivitas perdagangan yang tidak menetap dan biasanya berlokasi
di area jalur pejalan kaki. Mc Gee dan Yeung (1977:25) menyatakan bahwa pedagang
kaki lima sama dengan “hawker”, yang didefinisikan sebagai kelompok orang yang
menawarkan barang dan jasa yang dijual pada ruang publik, terutama di pinggir jalan
dan trotoar. Dalam perkembangan selanjutnya pengertian pedagang kaki lima ini
menjadi semakin luas, dapat dilihat dari ruang aktivitas usahanya, yang hampir
ruang-ruang terbuka, taman-taman, terminal, dan bahkan di perempatan jalan serta
berkeliling dari rumah ke rumah melalui jalan-jalan kampung di perkotaan.
Dari pengertian di atas pedagang kaki lima dapat didefinisikan sebagai
pedagang yang berjualan di lokasi yang strategis dan keramaian umum seperti trotoar
di depan pertokoan/kawasan perdagangan, pasar, sekolah, dan pinggir jalan, dan
aktivitas yang dilakukan cenderung berpindah-pindah dengan kemampuan modal
yang terbatas, dimana kegiatan perdagangannya dapat dilakukan secara berkelompok
atau secara individual.
Pedagang kaki lima di Indonesia saat ini dapat dikatakan mendominasi
kegiatan ekonomi masyarakat terutama di perkotaan. Perkembangan suatu kota selalu
diikuti perkembangan jumlah pedagang kaki lima yang memenuhi ruang publik kota.
Sebagai salah satu kegiatan ekonomi di sektor informal yang cukup fenomenal
kehadirannya dan paling banyak disentuh oleh kebijakan pemerintah kota, Pedagang
kaki lima memiliki ciri-ciri atau karakteristik yang tidak jauh berbeda dengan
karakteristik sektor informal secara umum.
2.1.2 Karakteristik pedagang kaki lima
Sebagai salah satu kegiatan ekonomi di sektor informal yang cukup
fenomenal kehadirannya dan paling banyak disentuh oleh kebijakan pemerintah kota,
PKL memiliki ciri-ciri atau karakteristik yang tidak jauh berbeda dengan karakteristik
Berdasarkan penelitian Kamala Chandrakirana dan Isono Sadoko (1994:37),
ciri- ciri pedagang kaki lima antara lain:
1. Sebagai pedagang eceran yang menjual langsung ke konsumen;
2. Mendapatkan pasokan barang dagangan dari berbagai sumber seperti
produsen, pemasok, toko pengecer maupun pedagang kaki lima sendiri;
3. Pada umumnya berperan sebagai pengusaha yang mandiri;
4. Berjualan dengan berbagai sarana: kios, tenda dan secara gelar di
pinggir-pinggir jalan, atau di muka toko yang dianggap strategis;
5. Semakin besar modal usaha pedagang, semakin permanen sarana
usahanya;
6. Pada umumnya mempekerjakan anggota keluarganya sendiri untuk
membantu;
7. Kebanyakan pedagang menjalankan usahanya tanpa izin;
8. Rendahnya biaya operasional usaha Pedagang kaki lima;
9. Cara pembayaran bahan mentah/barang dagangan secara kontan;
10. Bebas menentukan waktu usahanya atau tidak mengenal pembatasan
waktu usaha.
Menurut Manning (1996) secara garis besar karakteristik pedagang kaki lima
adalah tidak terorganisir dan tidak mempunyai izin, tidak memiliki tempat usaha yang
permanen, tidak memerlukan keahlian dan keterampilan khusus, modal dan
mperputaran usahanya relatif kecil, sarana berdagang bersifat moveable (mudah
Karakteristik pedagang kaki lima juga telah dirumuskan oleh Julius An-naf
(dalam Hany, 2002:27) sebagai berikut:
1. Bagi pedagang kaki lima, aktivitas berdagang merupakan pekerjaan
pokok;
2. Pedagang kaki lima umumnya tergolong angkatan kerja produktif;
3. Tingkat pendidikan mereka pada umumnya relatif rendah;
4. Sebagian besar pedagang kaki lima merupakan pendatang dari luar
daerah dan belum memiliki status kependudukan yang sah di kota;
5. Mereka berdagang sudah cukup lama;
6. Permodalan mereka umumnya sangat lemah dan omzet penjualan juga
relatif kecil;
7. Umumnya mereka mamiliki sendiri usahanya dan belum ada hubungan
dengan bank;
8. Kurang mampu memupuk modal;
9. Umumnya mereka memperdagangkan bahan pangan, sandang dan
kebutuhan sekunder;
10. Tingkat pendapatan relatif kecil untuk memenuhi kebutuhan hidup di
perkotaan;
11. Pada hakekatnya mereka terkena pajak, seperti retribusi/pungutan tidak
2.1.3 Pelaku pedagang kaki lima
Ketimpangan pembangunan antara desa dan kota telah menjadi faktor
pendorong migrasi desa ke kota. Kesenjangan upah, daya tarik kota dan tekanan di
desa itu sendiri menyebabkan kehidupan di kota menjadi pilihan utama bagi mereka
yang ingin menyelamatkan diri dari tekanan kemiskinan di desa (Rachbini dan
Hamid, 1994:31). Mc Gee (1971) mengatakan bahwa munculnya masalah ketenaga
kerjaan di kota–kota Indonesia adalah sebagai akibat dari urbanisasi semu (pseudo
urbanization) dimana proses urbanisasi tidak sejalan dengan perkembangan ekonomi
di negara berkembang.
Fenomena tersebut menyebabkan meningkatnya jumlah angkatan kerja di
kota namun tidak diimbangi dengan ketersediaan lapangan pekerjaan di sektor formal
yang akhirnya memunculkan sektor informal (Ramli, 1992:31). Seperti yang
dikatakan para ahli di negara maju para pekerja kebanyakan terserap di sektor industri
karena industrialisasi lahir mendahului urbanisasi, sedang di negara berkembang
kebanyakan pencari kerja mencari pekerjaan di sektor informal (Hart, 1973:
Sethuraman, 1981:Mazumdar 1984: Hidayat, 1983 dalam Effendi, 1985)
Pedagang kaki lima, yang merupakan pekerjaan nyata dan diminati di kota–
kota besar merupakan salah satu kegiatan di sektor informal. Berdasarkan pendapat di
atas maka dapat dikatakan bahwa pelaku pedagang kaki lima sebagian besar berasal
dari kaum migran. Hal ini sesuai pendapat Manning dan Effendi (1996:51)
menyatakan bahwa berdasarkan pengalaman di negara berkembang pada umumnya
Begitu juga dalam penelitian yang dilakukan oleh Dewan Riset nasional
(1994, dalam Widodo 2006:30) di 4 (empat) kota di Indonesia diketahui bahwa
80,3% dan pedagang kaki lima adalah migran.
2.1.4 Hubungan sektor informal dan pedagang kaki lima
Sektor Informal perkotaan Indonesia pada kurun waktu terakhir ini
menunjukkan pertumbuhan yang pesat. Menurut Ramli (1992:19) pertumbuhan
penduduk pada kota Indonesia lebih banyak disebabkan oleh urbanisasi dan
pemekaran kota, keadaan ini menyebabkan perluasan kesempatan kerja di sektor
formal kurang mampu menyerap pertambahan angkatan kerja.
Sebagai akibatnya kelebihan kerja angkatan kerja yang tidak tertampung,
mengalir dam mempercepat tumbuhnya sektor informal. Sama halnya dengan
pendapat Effendi (1995:87) bahwa pertambahan jumlah angkatan kerja di kota
sebagai akibat dari migrasi desa-kota yang lebih pesat daripada pertumbuhan
kesempatan kerja, yang menyebabkan terjadi pengangguran, yang diikuti dengan
membengkaknya sektor informal di kota.
Salah satu kegiatan di sektor informal adalah pedagang kaki lima, yang
merupakan salah satu pekerjaan yang paling nyata dan paling penting di kebanyakan
negara-negara berkembang. Kegiatan pedagang kaki lima ini menjadi bagian penting
dan khas dalam sektor informal, sehingga istilah sektor informal sering diidentikkan
Namun demikian pedagang kaki lima hanya sedikit memperoleh perhatian
akademik dibandingkan dengan kelompok pekerjaan utama lainnya. Hal ini
menyebabkan pedagang kaki lima hanya digambarkan sebagai perwujudan
pengangguran tersembunyi atau setengah pengangguran yang luas, ataupun sebagai
pekerjaan sektor tersier sederhana yang bertambah secara luar biasa di dunia ketiga
(Paul Bairoch dalam Ramli, 1992:31).
Menjadi pedagang kaki lima dianggap cara termudah untuk mempertahankan
hidup, karena tidak memerlukan persyaratan khusus seperti pada halnya sektor
informal, fleksibel dalam waktu dan tempat beroperasi, bergantung pada sumber daya
lokal dan skala usaha relatif kecil. Walaupun pedagang kaki lima telah mampu
memberi kontribusi baik dalam meningkatkan pendapatan masyarakat maupun dalam
mengurangi jumlah pengangguran di kota, tetapi banyak pejabat kota ataupun elit
kota memandang pedagang kaki lima sebagai gangguan yang menyebabkan kota
menjadi kotor dan tidak rapi, kemacetan lalu lintas, gangguan pejalan kaki, saingan
pedagang toko yang tertib dan membayar pajak, serta penyebaran penyakit lewat
kontak fisik dan penjualan makanan kotor dan basi (Ramli, 1992:19).
2.2 Karakteristik Aktivitas Pedagang Kaki Lima
Karakteristik aktivitas PKL dapat ditinjau baik dari sarana fisik, pola
penyebaran dan pola pelayanan dalam ruang perkotaan, dalam tesis ini pembatasan
Karakteristik dari pedagang kaki lima dijabarkan oleh Simanjutak (1989:44)
sebagai berikut:
1. Aktivitas usaha yang relatif sederhana dan tidak memiliki sistem
kerjasama yang rumit dan pembagian kerja yang fleksibel.
2. Skala usaha relatif kecil dengan modal usaha, modal kerja dan
pendapatan yang umumnya relatif kecil.
3. Aktivitas yang tidak memiliki izin usaha.
Menurut McGee dan Yeung (1997:82-83) bahwa di kota-kota Asia Tenggara
mempunyai bentuk dan sarana fisik dagangan pedagang kaki lima umumnya sangat
sederhana dan biasanya mudah untuk dipindah-pindah atau mudah dibawa dari satu
tempat ke tempat lainnya. Jenis sarana dagangan yang digunakan pedagang kaki lima
sesuai dengan jenis dagangan yang dijajakan. Sarana fisik pedagang kaki lima ini
terbagi lagi menjadi jenis barang dagangan dan jenis sarana usaha.
Secara detail mengenai jenis dagangan dan sarana usaha dapat dijelaskan
sebagai berikut:
1. Jenis Dagangan
Menurut McGee dan Yeung (1997:81-82), jenis dagangan pedagang kaki
lima sangat dipengaruhi oleh aktivitas yang ada di sekitar kawasan
dimana pedagang kaki lima tersebut beraktivitas. Sebagai contoh di
kawasan perdagangan, maka jenis dagangannya beraneka ragam seperti
Adapun jenis dagangan yang dijual oleh pedagang kaki lima secara umum
oleh McGee dan Yeung dapat dibagi menjadi:
1. Bahan mentah dan setengah jadi (unprocessed and semiprocessed
foods) seperti daging, buah, sayuran, beras, dan sebagainya.
2. Makanan siap konsumsi (prepared foods), terdiri dari bahan‐bahan
yang dapat langsung dikonsumsi saat itu juga, biasanya berupa
makanan dan minuman.
3. Non‐makanan (nonfood items), jenis barang dagangan ini
cakupannya lebih luas dan biasanya tidak berupa makanan, misalnya
tekstil sampai dengan obat‐obatan, dan lain‐lain.
4. Jasa (services), yang termasuk dalam kategori jasa pelayanan, seperti
tukang semir sepatu, potong rambut.
2. Sarana Usaha
Sarana usaha fisik untuk berdagang pedagang kaki lima menurut
Waworoentoe (Widjajanti, 2000:39), dibagi menjadi beberapa jenis,
yaitu:
a. Kios, jenis sarana ini biasanya dipakai oleh pedagang kaki lima yang
tergolong menetap secara fisik tidak dapat dipindah‐pindahkan,
b. Warung semi permanen, sarana fisik pedagang kaki lima ini berupa
gerobak yang diatur berderet ditambah meja dan bangku panjang.
Atap menggunakan terpal yang tidak tembus air.
c. Gerobak/kereta dorong, sarana ini ada dua jenis lagi, yaitu yang
beratap (sebagai perlindungan barang dagangan dari pengaruh debu,
panas, hujan) dan tidak beratap.
d. Jongko/meja, bentuk sarana ini ada yang beratap dan ada yang tidak
beratap. Biasanya dipakai oleh pedagang kaki lima yang lokasinya
tergolong tetap.
e. Gelaran/alas, bentuk sarana ini adalah dengan menjajakan barang
dagangan di atas tikar atau alas yang digelar.
f. Pikulan/keranjang, biasanya digunakan oleh pedagang keliling
(mobile hawkers) atau pedagang kaki lima yang semi menetap.
Dengan menggunakan satu atau dua buah keranjang dengan cara
dipikul. Bentuk sarana ini bertujuan agar mudah dibawa dan
dipindah‐pindahkan.
2.3 Pejalan Kaki
2.3.1 Pengertian pejalan kaki
Berjalan kaki merupakan sarana yang relatif mudah dan murah untuk
Selanjutnya Amos Rapoport (1977) mengatakan bahwa berjalan kaki mempunyai
kelebihan yaitu kecepatan rendah sehingga menguntungkan, karena dapat memahami
lingkungan sekitar dan mengamati obyek secara mendetail serta mudah menyadari
lingkungan sekitarnya. Sedangkan menurut Gideon Geovani (1977) mengungkapkan
bahwa berjalan kaki merupakan sarana transportasi yang menghubungkan antara
fungsi kawasan perdagangan, kawasan budaya dan kawasan permukiman. Berjalan
kaki memiliki kelebihan dalam urban design, yaitu manusia memiliki waktu untuk
melihat visual kota dalam melakukan aktivitasnya, sehingga masyarakat lebih
mengenal kotanya. Dengan hal itu, berjalan kaki merupakan suatu sarana transportasi
yang sangat berperan dalam perdagangan, untuk memberi kesempatan bagi pejalan
kaki untuk melihat dan berpindah tempat dalam jarak yang dekat pada suatu
tempat/pertokoan dalam kawasan perdagangan.
Akan tetapi berjalan kaki menghadapi kendala dalam hal jarak tempuh, peka
terhadap gangguan alam dan hambatan yang diakibatkan oleh lalu lintas kenderaan
(Syarifuddin, 1998). Sebagai moda angkutan, berjalan kaki menjadi lebih penting
khususnya pada jalur-jalur yang tidak memungkinkan untuk dilalui oleh moda
angkutan lainnya. Sedangkan sebagai bagian dari sistem transportasi kota, moda
tersebut memerlukan keterpaduan dengan sistem jaringan jalan, sehingga terjadi
saling kesinambungan dengan berbagai moda transportasi. Dengan berjalan kaki
bebas mengatur langkah, berhenti, berbelok dan bebas mengatur kontak dengan
lingkungan sekitarnya, sehingga berjalan kaki bukan sekedar moda transportasi, tetapi
2.3.2 Pejalan kaki menurut sarana perjalanan
Menurut jenis sarana perjalanan pejalan kaki, Danisworo (1991)
mengungkapkan bahwa ada empat kategori pejalan kaki, yaitu sebagai berikut:
1. Pejalan kaki penuh, yaitu yang menggunakan jalan kaki sebagai moda
utama, sepenuhnya digunakan dari tempat asal sampai tujuan, antara lain
karena jaraknya dekat, berjalan sambil berekreasi lebih mudah dengan
berjalan kaki.
2. Pejalan kaki pemakai kenderaan umum, yaitu mereka yang berjalan kaki
sebagai moda antara dari tempat asal ke tempat pemberhentian kenderaan
umum, pada perpindahan rute kenderaan umum atau dari pemberhentian
kenderaan umum ke tujuan akhir.
3. Pejalan kaki pemakai kenderaan pribadi dan kenderaan umum, yaitu
mereka yang menggunakan moda jalan kaki sebagai moda antara dari
tempat parkir kenderaan pribadi ke pemberhentian kenderaan umum dan
ke tujuan akhir.
4. Pejalan kaki pemakai kenderaan pribadi penuh, yaitu mereka
menggunakan moda pejalan kaki sebagai moda antara tempat parkir
2.4 Jalur Pejalan Kaki (Pedestrian Ways)
2.4.1 Pengertian
Istilah pejalan kaki atau pedestrian berasal dari bahasa Latin pedesterpedestris
yaitu orang yang berjalan kaki atau pejalan kaki. Pedestrian juga berasal dari kata
pedos bahasa Yunani yang berarti kaki sehingga pedestrian dapat diartikan sebagai
pejalan kaki atau orang yang berjalan kaki. Sehingga pedestrian ways mempunyai arti
pergerakan manusia dari satu tempat ke tempat lain dengan moda berjalan kaki,
sehingga jalur pejalan kaki dapat menyatu dengan lingkungannya. Pedestrian juga
diartikan sebagai pergerakan atau sirkulasi atau perpindahan orang atau manusia dari
satu tempat ke titik asal (origin) ke tempat lain sebagai tujuan (destination) dengan
berjalan kaki (Rubenstein,1992).
Jalur pedestrian di ruang kota, misalnya di kawasan perdagangan, di sebelah
kanan dan kiri jalur pejalan kaki terdapat deretan toko dan di ujung jalur tersebut
terdapat penguatan berupa plasa terbuka dan merupakan lintasan untuk umum
(Harvey M. Rubenstain, 1978). Jalur pejalan kaki yang fungsinya sebagai jalur
sirkulasi terkadang dimanfaatkan untuk aktifitas lain yang dapat menyenangkan
pejalan kaki dan mampu menghidupkan kawasan tersebut serta mendukung
keberadaan jalur pejalan kaki selama tidak menimbulkan masalah dan mengganggu
aktivitas berjalan. Menurut Shirvani (1985) bahwa jalur pejalan kaki harus
dipertimbangkan sebagai salah satu elemen perencanaan kota. Sistem pedestrian yang
baik bagi kota khususnya kawasan perdagangan dapat memberikan dampak yang baik
kenderaan dan meningkatkan kualitas lingkungan dan udara karena berkurangnya
polusi udara. Selanjutnya Shirvani mengatakan bahwa jalur pejalan kaki adalah
bagian dari kota dimana orang bergerak dengan kaki, yang terletak di sisi jalan baik
yang direncanakan atau terbentuk dengan sendirinya yang menghubungkan satu
tempat ke tempat lainnya.
Jalur pedestrian merupakan daerah yang menarik untuk kegiatan sosial,
perkembangan jiwa dan spiritual, misalnya untuk bernostalgia, pertemuan mendadak,
berekreasi, bertegur sapa dan sebagainya. Jadi jalur pedestrian adalah tempat atau
jalur khusus bagi orang berjalan kaki. Jalur pedestrian pada saat sekarang dapat
berupa trotoar, pavement, sidewalk, pathway, plaza dan mall. Jalur pedestrian yang
baik harus dapat menampung setiap kegiatan pejalan kaki dengan aman. Persyaratan
ini perlu dipertimbangkan di dalam perancangan jalur pedestrian. Untuk dapat
menyediakan jalur pedestrian yang dapat menampung kebutuhan kegiatan-kegiatan
tersebut maka perancang perlu mengetahui kategori perjalanan para pejalan kaki dan
jenis-jenis titik simpul yang ada dan menarik bagi pejalan kaki.
Jalur pedestrian sebagai unit ruang kota keberadaannya dirancang secara
terpecah-pecah dan menjadi sangat tergantung pada kebutuhan jalan sebagai sarana
sirkulasi. Menurut Murtomo dan Aniaty (1991) jalur pedestrian di kota-kota besar
mempunyai fungsi terhadap perkembangan kehidupan kota, antara lain adalah:
1. Pedestrianisasi dapat menumbuhkan aktivitas yang sehat sehingga
2. Pedestrianisasi dapat merangsang berbagai kegiatan ekonomi sehingga
akan berkembang kawasan bisnis yang menarik.
3. Pedestrianisasi sangat menguntungkan sebagai ajang kegiatan promosi,
pameran, periklanan, kampanye dan lain sebagainya.
4. Pedestrianisasi dapat menarik bagi kegiatan sosial, perkembangan jiwa dan
spiritual.
5. Pedestrianisasi mampu menghadirkan suasana dan lingkungan yang
spesifik, unik dan dinamis di lingkungan pusat kota.
6. Pedestrianisasi berdampak pula terhadap upaya penurunan tingkat
pencemaran udara dan suara karena berkurangnya kendaraan bermotor
yang lewat.
Fungsi jalur pedestrian yang disesuaikan dengan perkembangan kota adalah
sebagai fasilitas pejalan kaki, sebagai keindahan kota, sebagai media interaksi sosial,
sebagai sarana konservasi kota dan sebagai tempat bersantai serta bermain.
Sedangkan kenyamanan dari pejalan kaki dalam berjalan adalah adanya
fasilitas-fasilitas yang mendukung kegiatan berjalan dan dapat dinikmatinya kegiatan berjalan
tersebut tanpa adanya gangguan dari aktivitas lain yang menggunakan jalur tersebut.
2.4.2 Jenis jalur pejalan kaki
Menurut Danisworo (1991) jalur pejalan kaki berdasarkan jenisnya terdiri dari
enam jenis yaitu trotoar, jembatan penyeberangan, plasa, mall, dan zebra cross
Berdasarkan bentuknya jalur pejalan kaki terdiri dari empat jenis, yaitu
sebagai berikut:
1. Selasar, adalah jalur pejalan kaki yang beratap, tanpa dinding, pembatas
pada salah satu atau kedua sisinya.
2. Gallery, adalah selasar lebar yang biasanya digunakan suatu kegiatan
tertentu.
3. Jalur pejalan kaki yang tidak terlindungi/beratap
4. Gang, adalah jalur yang relatif sempit, terbentuk oleh bangunan yang
padat.
Tabel 2.1 Jenis Jalur Pejalan Kaki
No Jenis Jalur Pejalan Kaki
Pengertian Fungsi Karakteristik
1 Trotoar Jalur pejalan kaki yang dibuat terpisah dari jalur kenderaan umum, baisanya terletak
bersebelahan atau berdekatan. Fasilitas ini harus aman terhadap bahaya
1. Memiliki arah yang jelas.
2. Lokasi di tepi jalan raya yang dapat dilalui kenderaan.
3. Meiliki permukaan rata. 4. Lebar trotoar antara
1,50-2,00 meter.
2 Plasa Merupakan jalur pejalan kaki yang bersifat rekreatif dan dapat dimanfaatkan untuk mengisi waktu luang. Letaknya terpisah sama sekali dari jalur kenderaan bermotor.
Berjalan kaki yang sifatnya santai dan rekreatif.
1. Memiliki space yang lapang.
2. Tersedia fasilitas untuk pejalan kaki.
3. Lebar/luasan bervariasi. 4. Area bebas dari
Tabel 2.1 (Lanjutan)
No Jenis Jalur Pejalan Kaki
Pengertian Fungsi Karakteristik
3 Mall Jalur pejalan kaki kegiatan window shopping dan lain sebagainya.
Berjalan kaki khusus pada kawasan perbelanjaan.
1. Letaknya pada area perbelanjaan/perdaga ngan.
2. Biasanya memiliki plasa kecil. 3. Memiliki fasilitas
pejalan kaki. 4. Lebar/luasan
bervariasi. 5. Area bebas dari
kenderaan.
4 Zebra Cross Jalur pejalan kaki yang digunakan
1. Posisinya biasanya menyilang pada jalan dan biasanya dilengkapi traffic light.
2. Memiliki lebar 2,00-4,00 meter.
3. Ditempatkan pada interval tertentu khususnya pada area rawan konflik pergerakan pejalan kaki dan kenderaan.
5 Jembatan Penyeberang an
Jalur pejalan kaki yang digunakan sebagai jalur yang aman dari
pergerakan kenderaan dan letaknya pada ketinggian tertentu di atas permukaan tanah.
1. Merupakan jembatan penyeberangan antar bangunan.
2. Merupakan sirkulasi pejalan kaki yang menerus.
3. Bebas dari pergerakan kenderaan.
2.4.3 Fasilitas jalur pejalan kaki
Fasilitas yang diperuntukkan bagi jalur pejalan kaki dapat dibagi menjadi
sebagai berikut:
1. Jalur pedestrian yang dibuat terpisah dengan jalur kenderaan, biasanya
terletak berdekatan atau bersebelahan dengan jalan raya. Jalur tersebut
digunakan oleh pejalan kaki untuk berjalan menuju suatu tujuan tertentu.
Untuk itu diperlukan suatu fasilitas yang aman dari bahaya kenderaan dan
jalur tersebut memiliki ketinggian yang berbeda dan permukaan yang rata,
berupa trotar di tepi jalan.
2. Jalur pedestrian yang digunakan untuk menyeberang, jalur ini digunakan
oleh pejalan kaki untuk menghindari konflik dengan moda transportasi
lainnya. Jalur ini dapat berupa jalur penyeberangan jalan (zebra cross),
jembatan penyeberangan atau jalur penyeberangan bawah tanah.
3. Jalur pedestrian yang sifatnya rekreatif dan mengisi waktu luang (sebagai
ruang publik), yang terpisah sama sekali dari jalur kenderaan bermotor
dan biasanya dapat dinikmati secara santai. Pejalan kaki dapat berhenti
dan beristirahat pada bangku-bangku yang disediakan (taman kota/plasa
kota).
4. Jalur pedestrian yang sisi sampingnya digunakan sebagai tempat
Menurut Rubenstein (1992), klasifikasi jalur pejalan kaki terbagi atas tiga
jenis, antara lain sebagai berikut:
1. Full Mall, merupakan jalur pedestrian di pusat kota yang tertutup untuk
kenderaan bermotor.
2. Transit Mall, merupakan jalur pedestrian yang hanya dilalui oleh angkutan
umum, yang disebut transit way.
3. Semi Mall, merupakan jalur pedestrian yang didalamnya masih dapat
dilewati kenderaan pribadi namun dibatasi akses dan kecepatannya
(pedestrian sidewalk).
2.4.4 Elemen jalur pejalan kaki
Menurut Rubenstain (1992), elemen pedestrian meliputi antara lain sebagai
berikut:
1. Paving, adalah trotoar atau bahan hamparan yang rata (Enchols, J.M,
1983). Dalam hal ini sangat perlu untuk memperhatikan skala, pola,
warna, tekstur dan daya serap air larian. Material paving meliputi beton,
batu bata, aspal dan batu. Pemilihan ukuran, pola, warna dan tekstur yang
tepat akan mendukung suksesnya sebuah desain suatu jalur pedestrian di
kawasan perdagangan maupun plasa.
2. Lampu, yang digunakan sebagai penerangan di waktu malam hari.
3. Sign, merupakan rambu-rambu yang sifatnya untuk memberikan suatu
4. Sculpture, merupakan rambu-rambu yang sifatnya untuk memberikan
suatu identitas, informasi maupun larangan, atau menarik perhatian mata
(vocal point), biasanya terletak di tengah maupun di depan plasa.
5. Bollards, adalah pembatas antara jalur pedestrian dengan jalur kenderaan,
biasanya digunakan bersamaan dengan peletakan lampu.
6. Bangku, untuk member ruang istirahat bila lelah berjalan dan member
waktu bagi pejalan kaki untuk menikmati suasana lingkungan sekitarnya,
serta dapat terbuat dari logam, kayu, beton atau batu.
7. Taman peneduh, untuk pelindung dan penyejuk pedestrian.
8. Telepon, biasanya disediakan bagi pejalan kaki jika ingin berkomunikasi
dan sedapat mungkina didesain untuk menarik perhatian pejalan kaki.
9. Kios, shelter dan kanopi, keberadaanya dapat untuk menghidupkan
suasana pada jalur pedestrian sehingga tidak monoton.
10.Jam dan tempat sampah.
2.4.5 Kegiatan di jalur pejalan kaki
Menurut Rapoport (1977), aktivitas termasuk berjalan kaki mengandung
empat komponen yaitu sebagai berikut:
1. Aktivitas yang sebenarnya, misalnya berjalan, makan, dan sebagainya.
3. Aktivitas tambahan, yakni terkait dan merupakan bagian dari satu
kesatuan dalam system aktivitas, misalnya berjalan sambil melihat-lihat
etalase took.
4. Makna dari aktivitas tersebut, misalnya untuk menghayati lingkungan.
Selanjutnya Rapoport (dalam Mouden, 1987), mengklasifikasikan kegiatan
yang terjadi di jalan raya dan di jalur pejalan kaki, sebagai berikut:
1. Pergerakan non pedestrian, yaitu segala bentuk kenderaan beroda dan alat
angkut lainnya.
2. Aktivitas pedestrian, meliputi aktivitas yang dinamis/bergerak sebagai
fungsi transportasi dan aktivitas pedestrian yang statis seperti duduk dan
berdiri.
Hal ini berarti bahwa jalur pedestrian bukan hanya sekedar sebagai salah
satu ruang sirkulasi dan transportasi, tetapi lebih dari itu juga berfungsi sebagai ruang
interaksi masyarakat dengan system transportasi jalan raya dan transportasi di jalur
pejalan kaki, yang dapat berhubungan dengan moda dan alat transportasi lainnya.
2.4.6 Jalur pejalan kaki sebagai bagian dari ruang publik
Menurut Rustam Hakim (1987), ruang publik pada dasarnya merupakan suatu
wadah yang dapat menampung aktivitas tertentu dan pengguna suatu lingkungan baik
secara individu dan kelompok. Batasan ruang publik yaitu bentuk dasar dari ruang
terbuka di luar bangunan, dapat digunakan oleh publik, dna memberi kesempatan
ruang publik adalah sebagai tempat bermain dan berolah raga, tempat bersantai,
bersosialisasi, tempat peralihan/tempat tunggu, tempat terbuka untuk mendapatkan
udara segar, penhubung antara satu ruang dengan ruang lainnya, pembatas jarak antar
bangunan maupun berdagang.
2.5 Kenyamanan Jalur Pejalan Kaki
Kenyamanan menurut Weisman (1981) adalah suatu keadaan lingkungan yang
memberi rasa yang sesuai kepada panca indera dan antropemetry disertai fasilitas
yang sesuai dengan kegiatannya. Antropemetry adalah proporsi dan dimensi tubuh
manusia serta karakter fisiologis lain-lainnya dan sanggup berhubungan dengan
berbagai kegiatan manusia yang berbeda-beda dan mikro lingkungan. Kenyaman
terjadi setelah ditangkap menurut panca indera. Ukuran penting lainnya menurut
Uterman (1984) adalah tingkat kenyamanan (comfort level) dan kapasitas sistem
ruang pejalan kaki. Namun terpenuhinya kriteria menurut Richard Uterman tersebut
dipengaruhi oleh latar belakang kondisi dan persepsi pejalan kaki. Tingkat
kenyamanan pejalan kaki dalam melakukan aktifitas dipengaruhi oleh faktor cuaca
dan jenis aktivitas, kondisi ruang pejalan. Tingkat kenyamanan dihubungkan dengan
kondisi kesesakan dan kepadatan, dipengaruhi oleh keamanan dan persepsi manusia
dan kemudahan untuk bergerak.
Tingkat kenyamanan pejalan kaki dalam melakukan aktivitas berjalan dapat
dicapai apabila jalur pedestrian tersebut lancar dan bebas hambatan untuk berjalan
itu jalur pedestrian harus lebar agar dapat menampung arus lalu lintas pejalan kaki
dari dua arah. Adapun untuk menunjang kenyamanan pejalan kaki di jalur pedestrian
adalah adanya fasilitas yang berupa tempat peristirahatan yang cukup, adanya telepon
umum yang memadai, adanya tempat sampah serta tempat menunggu kendaraan
umum.
Menurut Hakim (2006) ada beberapa faktor yang mempengaruhi kenyamanan
antara lain:
1. Sirkulasi
Kenyamanan dapat berkurang karena sirkulasi yang kurang baik, seperti
tidak adanya pembagian ruang yang jelas untuk sirkulasi manusia dan
kendaraan bermotor, atau tidak ada pembagian sirkulasi antara ruang satu
dengan lainnya.
2. Aroma atau bau-bauan
Jika ruang tidak mengatur tempat pembuangan sampah maka bau yang
tidak sedap akan tercium oleh orang yang melaluinya. Tetapi hal tersebut
dapat diatasi dengan memindahkan sumber bau tersebut dan ditempatkan
pada area yang tertutup dari pandangan visual serta dihalangi oleh
tanaman pepohonan atau semak ataupun dengan peninggian muka tanah.
3. Keamanan
Keamanan merupakan masalah terpenting, karena ini dapat mengganggu
berarti dari segi kejahatan (kriminal), tapi juga termasuk kekuatan
konstruksi, bentuk ruang, dan kejelasan fungsi.
4. Kebersihan
Sesuatu yang bersih selain menambah daya tarik lokasi, juga menambah
rasa nyaman karena bebas dari kotoran sampah ataupun bau-bauan yang
tidak sedap. Pada daerah tertentu yang menutut kebersihan tinggi,
pemilihan jenis pohon dan semak harus memperhatikan kekuatan daya
rontok daun dan buah.
Menurut Utterman (1984), jalur pejalan kaki harus mempunyai beberapa
kriteria penting yaitu sebagai berikut:
1. Keamanan, pejalan kaki harus mudah bergerak atau berpindahan.
2. Menyenangkan, jalur pejalan kaki harus memiliki rute yang paling
pendek, bebas dari hambatan saat menuju lokasi yang dikehendaki.
3. Kenyamanan, jalur pejalan kaki harus memiliki jalur yang mudah untuk
dilalui.
4. Daya tarik, pada jalur pedestrian diberi suatu elemen yang menonjol, atau
menarik perhatian pejalan kaki tanpa membahayakan dirinya.
2.6 Ruang Publik Sebagai Ruang Interaksi Aktivitas
Ruang umum atau ruang publik adalah tempat yang timbul karena kebutuhan
akan suatu tempat bagi pertemuan bersama, dengan adanya pertemuan bersama dan
(1992:3) menjelaskan ruang publik sebagai tempat berkumpulnya warga kota untuk
melakukan aktivitas-aktivitasnya yang dapat mempererat ikatan sebagai suatu
komunitas. Sedangkan Hakim (1993:16) memberikan pengertian ruang umum
sebagai suatu wadah yang dapat menampung aktivitas/kegiatan tertentu dari
masyarakatnya, baik secara individu maupun kelompok.
Dari pengertian di atas ruang publik kota merupakan suatu ruang baik di
dalam atau di luar bangunan yang menjadi tempat aktivitas atau kegiatan bersama
atau individu dalam berinteraksi sosial dan komunikasi pada suatu lingkungan atau
kawasan, namun demikian ruang publik kota biasanya bersifat terbuka dan dapat
dijangkau oleh publik baik perorangan maupun kelompok.
Dalam penelitian ini ruang publik yang dimaksud adalah trotoar dan bahu
jalan yang fungsinya menurut Danisworo (1991:III:1) sebagai jalur pedestrian yang
dipergunakan oleh pejalan kaki dalam melakukan perjalanan berupa suatu lintasan
yang berbentuk jalur atau lintasan, yang biasanya dibedakan dengan perkerasan jalan
untuk kendaraan. Hampir di semua kota-kota di Indonesia kondisi trotoar dan bahu
jalan sangat memprihatinkan karena dijadikan sebagai lokasi aktivitas oleh pedagang
kaki lima, terutama di kawasan perdagangan.
2.7 Pedagang kaki lima dalam Rencana Tata Ruang Kota
Dalam Undang–Undang No. 24 tahun 1992 tentang penataan ruang,
pengertian tata ruang adalah wujud struktural dan pola penataan ruang, baik
merupakan suatu artian harfiah dari “spatial”, yaitu segala sesuatu yang
dipertimbangkan berdasarkan keruangan. Sedangkan menurut Danujo (Sujarto,
1992;6) menyatakan bahwa tata ruang merupakan bagian–bagian ruang yang
disediakan untuk digunakan sebagai tempat benda – benda kegiatan dan perubahan.
Untuk lebih jelasnya terlebih dahulu harus diketahui elemen–elemen pembentuk
suatu wilayah sebagai berikut:
1. Kumpulan dari pelayanan jasa termasuk didalamnya perdagangan,
pemerintahan, keuangan, yang cenderung terdistribusi secara kelompok
dalam pusat pelayanan.
2. Kumpulan dari industri sekunder pergudangan dan perdagangan grosir
yang cenderung untuk berkumpul pada suatu tempat.
3. Lingkungan pemukiman sebagai tempat tinggal dari manusia dan ruang
terbuka hijau.
4. Jaringan transportasi yang menghubungkan tempat–tempat tersebut
diatas.
Kebijakan pemerintah di negara–negara berkembang contohnya di
Indonesia, sering kali hanya memperhatikan indikator–indikator atau elemen–elemen
kota yang bersifat formal dalam perencanaanya.
Hal ini akhirnya memicu munculnya kegiatan–kegiatan sektor
informal,misalnya pedagang kaki lima. Keberadaan pedagang kaki lima yang pada
awalnya merupakan suatu peluang dalam memenuhi kebutuhan ekonomi, kemudian
Tabel 2.2 Ringkasan Teori
No Substansi Sumber Indikasi Variabel Variabel Terpilih 1. Pengertian
pedagang kaki lima
Raffles • Berlokasi di pinggir jalan Pedagang
Berlokasi di ruang publik Purwanto dan
Hany, 2002
• Sarana Usaha Mudah dibongkar dan dipindahkan
• Berlokasi di area jalur pejalan kaki
McGee dan Yeung, 1997
• Pedagang
• Berlokasi di pinggir jalan/trotoar
• Jenis dagangan
• Modal
Manning, 1996 • Izin Usaha
• Sarana Usaha
• Pendidikan rendah
• Modal
• Jenis dagangan McGee dan
Yeung, 1997
• Jenis dagangan
• Sarana usaha dagangan
• Pola penyebaran
• Pola pelayanan
Tabel 2.2 (Lanjutan)
No Substansi Sumber Indikasi Variabel Variabel
Terpilih 3. Kenyamanan
Jalur Pejalan kaki
Weisman, 1981
• Lingkungan sesuai kepada panca indera
• Sirkulasi
• Aroma atau bau-bauan
• Keamanan
• Kebersihan
Hakim, 2006 • Sirkulasi
• Aroma atau bau-bauan
• Keamanan
• Kebersihan
Utterman, 1984
• Keamanan
• Menyenangkan
• Kenyamanan
• Daya Tarik