• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perubahan Tata Nilai dan Bentuk pada Arsitektur Tradisional Rumoh Aceh di Pidie

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Perubahan Tata Nilai dan Bentuk pada Arsitektur Tradisional Rumoh Aceh di Pidie"

Copied!
37
0
0

Teks penuh

(1)

2.1 Perubahan

Setiap kehidupan masyarakat senantiasa mengalami suatu perubahan. Perubahan dalam kehidupan masyarakat merupakan fenomena sosial yang wajar. Oleh karena itu setiap manusia mempunyai kepentingan yang tidak terbatas. Latar belakang sosial budaya sebuah kelompok masyarakat akan membentuk pola hidup dan pola fikir masyarakat tersebut.

2.1.1 Perubahan tata nilai pada arsitektur tradisional

Ditengah arus globalisasi arsitektur dunia yang semakin meluas serta gencarnya pembangunan di segala sektor, menyebabkan pergeseran nilai-nilai serta filosofi dari arsitektur tradisional yang ada, sehingga wujud dari arsitektur tradisional itu sendiri ikut berubah mengikuti perkembangan yang terjadi, perubahan-perubahan tersebut tidak diimbangi oleh kemampuan untuk mempertahankan ketradisionalan yang dimiliki bangsa ini, sehingga banyak rumah yang berkembang di suatu daerah tidak mengikuti ciri khas dari arsitektur tradisional daerah tersebut.

(2)

pola kehidupan terutama perubahan nilai-nilai sosial, norma-norma sosial, pola-pola perilaku, organisasi sosial, lembaga-lembaga kemasyarakatan dan stratifikasi sosial. Mengartikan perubahan tata nilai sebagai suatu variasi dari cara-cara hidup yang diterima, yang disebabkan baik karena perubahan-perubahan kondisi geografis, kebudayaan materiil, komposisi penduduk, ideologi maupun karena adanya difusi maupun penemuan-penemuan baru dalam masyarakat tersebut. Sedangkan perubahan tata nilai merupakan modifikasi-modifikasi yang terjadi dalam pola-pola kehidupan manusia itu sendiri (Puteh, 2012).

Globalisasi telah membuat kebudayaan dan tata nilai setiap bangsa berada dalam proses transformasi terus menerus sehingga masyarakat menjadi semakin heterogen. Simbol, makna, dan bahasa arsitektur yang dulunya disepakati bersama dalam suatu komunitas tradisional, saat ini makin tidak tersepakati secara homogen.

Pluralisme budaya memang akan menjadi ciri setiap bangsa industrial modern yang sedang bergerak maju dan menuntut setiap profesi agar semakin kreatif dengan penemuan dan ragam alternatif inovasi baru. Perubahan sosial tidak berarti kemajuan, tetapi dapat pula kemunduran, meskipun dinamika sosial selalu diarahkan kepada gejala transformasi atau pergeseran yang bersifat linier (Budiharjo, 1997).

(3)

berbeda maka perwujudan sarana fisiknya dapat berbeda. Hal ini menunjukan perbedaan cara masyarakat dalam memvisualisasikan hunian mereka yang terkait dengan tingkat peradabannya saat itu (Rapoport, 1969).

Sebuah rumah lebih dari satu ruang fisik di mana orang hidup, juga merupakan ruang di mana interaksi sosial dan ritual berlangsung. Sebuah rumah diletakkan dalam hal bagaimana itu akan digunakan. Beberapa penelitian sosiologis dan historis mengenai hunian tradisional telah mengklaim bahwa tata letak rumah mengekspresikan nilai-nilai yang mendasari budaya dan norma-norma, dan pilihan untuk penggunaan ruang. Rumah tradisional merupakan manifestasi sosiokultural (Rapoport, 1969).

Konsep budaya mencerminkan satu set multi-faceted dari prinsip-prinsip abstrak tentang bagaimana kita melihat dunia untuk tindakan yang lebih konkrit (Altman dan Chemers, 1980). Ini mencakup apa yang orang yakini benar dari dunia, kehidupan masyarakat, lingkungan, dan cara-cara umum untuk melihat dunia dan berperilaku. Desain layout rumah masyarakat dan bangunan umum sering eksplisit mencerminkan nilai-nilai keyakinan dan budaya (Agustinadewi, 2014).

(4)

perubahan budaya, dan mengubah pola hunian. Nilai-nilai pada rumah, fungsi, makna, dan konfigurasi spasial semua berubah secara paralel dengan proses transisi sosial budaya (Sueca, 2003). Konfigurasi ruang tradisional tidak lagi sesuai dengan nilai-nilai baru dan gaya hidup.

Transisi budaya yang terjadi melalui proses budaya juga mempengaruhi

layout rumah dan penggunaan ruang. Dalam beberapa masyarakat, tata letak dan organisasi ruang di rumah telah berubah karena tingkat kesucian. Sebuah contoh yang baik dari proses ini dapat dilihat pada rumah tradisional tempat tinggal di Denpasar, Bali. Pada rumah tradisional Bali terdapat interaksi antara proses budaya dan perubahan fisik dari waktu ke waktu. Rumah ini sering diatur oleh penghuni secara paralel dengan kehidupan sosial-budaya mereka dan dampaknya pada proses transformasi (Sueca, 2003).

(5)

2.1.2 Perubahan bentuk pada arsitektur tradisional

Arsitektur tradisional merupakan arsitektur yang berkembang bersama dengan kebiasaan, pola hidup, adat istiadat dan norma-norma yang berlaku pada suatu komunitas tradisional, implementasi bentuk dan coraknya beragam sesuai dengan tempat dimana ia berada, pengaruhnya dihasilkan dari kearifan lokal yang diwariskan secara turun temurun oleh para pendahulu komunitas tradisional sesuai ketentuan adat yang disepakati bersama. Semua bentuk arsitektur tradisional yang dibangun untuk

memenuhi kebutuhan secara spesifik menampung nilai-nilai, ekonomi dan gaya hidup budaya yang memproduksinya. Kontinuitas Arsitektur dalam konteks arsitektur tradisional berhubungan dengan ruang dan waktu, melibatkan masalah struktural, tipologi, fungsional dan sosial dan memiliki beberapa bacaan dan interpretasi (Philokyprou, 2009).

(6)

Kebudayaan dan arsitektur berubah secara bersamaan. Masing-masing perubahan dibagi tiga bagian yaitu; (1) Core element element yang lambat berubah dan ini menjadi identitas pemilik arsitektur tersebut; (2) Peripheral element

merupakan bagian yang tidak terlalu penting dan mudah berubah atau berganti; (3)

New element elemen yang diadaptasi oleh pemilik kebudayaan dan menjadi bagian baru pada arsitektur (Rapoport, 1990).

Ada 3 aspek yang dapat dijadikan tolak ukur untuk melihat perubahan lingkungan fisik pemukiman yang membentuk suatu kesatuan sistem yaitu; (1)

Spasial system (Sistem spasial) yaitu berbagai aspek tolak ukur yang berkaitan dengan organisasi ruang atau keruangan. Sistem ini mencakup ruang, orientasi ruang dan pola hubungan ruang (pola spasial ruang); (2) Physical system (Sistem fisik) yaitu berbagai aspek tolak ukur yang berkaitan dengan konstruksi dan penggunaan material-material yang digunakan dalam mewujudkan suatu fisik bangunan. Sistem ini mencakup hal-hal yang berkaitan dengan struktur, konstruksi atap, dinding dan lantai; (3) Stylistic system (Sistem model) yaitu berbagai aspek tolak ukur yang berkaitan dengan model atau langam yang mewujudkan bentuk. Sistem ini meliputi fasade, bentuk pintu dan jendela, serta unsur-unsur lain baik didalam maupun di luar bangunan (Habraken, 1987).

(7)

plafon-plafon; (2) Semi-fixed feature (Elemen semi fix) adalah elemen yang memiliki sifat bebas, merupakan ruang hasil dari perubahan seperti perabot rumah, tirai dan perlengkapan lainnya; (3) Non-fixed feature (Elemen non fix) adalah elemen yang memiliki sifat bebas merupakan ruang hasil dari perubahan, hal ini sangat terikat dengan manusia sebagai penghuni suatu tempat, hubungan perpindahan ruangnya (proxemics), posisi dan postur tubuh (kinesics) (Rapoport, 1982).

Berbagai jenis transformasi melibatkan perubahan tata letak penggunaan ruang, perubahan fisik atau modifikasi struktur yang ada serta ekstensi, baik pada rumah tangga secara individu maupun kelompok dimulai dari perubahan ini (Kellett, 1993). Sementara itu, perubahan fisik termasuk menambah dan reposisi pintu dan jendela, menciptakan lantai tambahan, dan mengubah penampilan bangunan. Perubahan tata ruang, seperti tata letak rumah, penggunaan ruang dan proporsinya, dikategorikan sebagai perubahan morfologi. Perubahan ini secara sistematis menekankan pentingnya koneksi yang kompatibel antara bentuk rumah dan gaya hidup penghuni (Agustinadewi, 2014).

(8)

baru, dan akhirnya mengubah penggunaan ruang yang berarti bahwa tidak ada perubahan fisik dalam hal tata letak rumah, hanya perubahan dalam penggunaan ruang yang ada untuk fungsi lainnya (Tabel 2.1).

Tabel 2.1 Konsep transformasi

NO Kategori Kegiatan Konstruksi

1 Penambahan a. ekstensi vertikal: menambahkan satu atau lebih lantai

b. ekstensi horisontal: mendapatkan lantai tambahan horizontal di gedung yang sama, penambahan lantai yang senyawa

2 Perubahan Fisik penataan ulang tata ruang, menambahkan atau menghancurkan dinding interior, reposisi jendela dan pintu, mengubah rumah perimeter, berpindah dari satu kamar ke kamar lain, partisi interior, tergantung tirai untuk membagi ruang, pengecatan, mengubah desain kusen pintu dan jendela, menambahkan eksterior dinding ke balkon dan beranda

3 Remodelling/ Menghancurkan

Menghancurkan struktur rumah yang ada dan membangun kembali

4 Mengubah

penggunaan ruang

Mengubah penggunaan ruang tanpa konstruksi atau perubahan terhadap tata letak rumah

(9)

Dari studi literatur di atas dapat dipahami bahwa dalam mengkaji perubahan tata nilai dan bentuk arsitektur tradisional, diklasifikasikan menjadi beberapa aspek seperti pada Tabel 2.2.

Tabel. 2.2 Tabel aspek kajian perubahan tata nilai dan bentuk rumoh Aceh

Aspek Sumber

Keempat hal ini menjadi variabel dan digunakan sebagai aspek dalam penelitian ini untuk mengkaji perubahan tata nilai dan bentuk arsitektur tradisional pada rumoh Aceh.

2.2 Arsitektur Tradisional Rumoh Aceh 2.2.1 Sejarah rumoh Aceh

Sebelum agama Islam berkembang di Aceh, dapat diketahui dari sejarah bahwa daerah ini sudah berabad-abad lamanya dipengaruhi oleh tradisi agama Hindu

(10)

dalam sejarah. Rumah yang juga merupakan produk karya manusia saat itu, tentu dalam berproses tersebut terjadi semacam akulturasi, atau perubahan secara perlahan seingga menyamai bentuknya yang sekarang (Mirsa, 2013).

Setelah Islam datang dan berkembang dengan pesat maka rumah orang Aceh mengalami perubahan baik dari segi bentuk, letak dan fungsinya. Semua ini didasarkan kepada ciri-ciri dari ajaran Islam yang dianutnya. Perkembangan Islam rnencapai puncak keemasannya pada masa pemerintah Sultan Iskandar Muda yang membawa pengaruh nyata terhadap perkembangan politik, budaya dan lain-lain. Karena itulah bila diperhatikan dengan seksama, rumoh Aceh banyak mengandung nilai-nilai Islam yang tercermin dalam hal bentuk, letak bangunan, maupun ukiran yang terdapat di dalamnya.

Rumoh Aceh yang ada saat ini telah berakulturasi dengan ajaran Islam yang juga menjadi landasan hidup bagi masyarakatnya sehingga memberi pengaruh terhadap perubahan filosofi dari rumoh Aceh itu sendiri. Selanjutnya, rumoh Aceh yang berkembang pada masa pengaruh Islam inilah yang menjadi acuan dalam penelitan ini (Gambar 2.1).

(11)

2.2.2 Karakteristik rumoh Aceh

Arsitektur rumoh Aceh merupakan hasil karya cipta dari proses perubahan kebudayaan yang sudah berlangsung sejak lama. Arsitektur rumoh Aceh berbentuk panggung dengan menggunakan kayu sebagai bahan dasarnya merupakan bentuk adaptasi masyarakat Aceh terhadap kondisi lingkungannya. Struktur rumah tradisi yang berbentuk panggung memberikan kenyamanan kepada penghuninya.

Rumoh Aceh yang kita kenal saat ini bukan sekadar tempat hunian, tetapi merupakan ekspresi keyakinan terhadap Tuhan dan adaptasi terhadap alam (Arif, 2015). Oleh karena itu, melalui rumoh Aceh kita dapat melihat budaya, pola hidup, dan nilai-nilai yang diyakini oleh masyarakat Aceh. Adaptasi masyarakat Aceh terhadap lingkungannya dapat dilihat dari bentuk rumoh Aceh yang berbentuk panggung, tiang penyangganya yang terbuat dari kayu pilihan, dindingnya dari papan, dan atapnya dari rumbia. Pemanfaatan hasil kekayaan alam juga dapat dilihat ketika mereka hendak menggabungkan bagian-bagian rumah, mereka tidak menggunakan paku tetapi menggunakan pasak atau tali pengikat dari rotan. Pada zaman dahulu, dinding dan lantainya terbuat dari bilah bambu, sehingga dapat diikat atau di jalin satu sama lain. Rumoh Aceh dikenal sebagai The earthquake resistant house (Rumah tahan gempa), dan mampu bertahan hingga 200 tahun (Husin, 2003).

(12)

dan gelagar yang saling dihubungkan dan dikancing dengan pasak dari bambu. Untuk unsur-unsur bangunan yang kecil dipakai sistem ikatan dengan tali rotan, ijuk dan lain sebagainya. Merencanakan rumah disini dimulai dengan menentukan titik-titik bagi tiang-tiangnya. Jadi tiang-tiang merupakan titik-titik yang menentukan (Samingoen, 1983).

(13)

2.2.2.1 Nilai-nilai sosiokultural pada rumoh Aceh

Nilai-nilai sosiokultural yang terdapat pada rumoh Aceh berkaitan erat dengan cara pandang atau kebiasaan hidup masyarakat aceh yang di ikat dalam hukum adat– istiadat. Setelah Agama Islam masuk ke Aceh yang kemudian berkembang dan diterima dengan baik oleh masyarakat Aceh, nilai-nilai sosikultural pada rumoh Aceh menyesuaikan dengan norma-norma islam yang berlaku. Nilai-nilai sosiokultural yang terdapat pada rumoh Aceh adalah sebagai berikut:

1. Adat membangun dan menempati rumoh Aceh

Bagi masyarakat Aceh, membangun rumah bagaikan membangun kehidupan itu sendiri. Hal inilah yang menjadi dasar dalam melakukan pembangunan rumah haruslah memenuhi beberapa persyaratan dan melalui beberapa tahapan. Persyaratan yang dilakukan sebelum mendirikan rumah misalnya pemilihan hari baik yang dilakukan oleh

Teungku (Ulama setempat), syukuran kenduri, pengadaan kayu pilihan dan sebagainya.

Selain itu, musyawarah dengan keluarga dan meminta saran kepada

(14)

dari Teungku (Ulama setempat) diharapkan rumah yang dibangun dapat memberikan keamanan secara jasmani dan ketentraman secara rohani.

Upacara adat dalam mendirikan rumoh Aceh banyak dipengaruhi oleh kebudayaan Hindu dan Islam, dalam upacara tersebut juga terlihat adanya unsur-unsur kepercayaan terhadap roh-roh gaib dan benda-benda yang di anggap keramat. Upacara adat dalam mendirikan rumoh Aceh dilaksanakan secara tiga tahap. Pertama dilaksanakan pada saat pengambilan bahan-bahan rumah dari hutan. Tahap kedua ketika hendak mendirikan rumah dan tahap yang ketiga dilaksanakan upacara adat ketika rumah sudah siap untuk dihuni/ditempati (Mirsa, 2013). Adapun kegiatan- kegiatan yang dilakukan pada setiap tahapan upacara adat mendirikan

rumoh Aceh adalah sebagai berikut:

a. Upacara pengambilan bahan dari hutan

(15)

kerbau, kambing dan sekurang-kurangnya pemotongan ayam atau itik. Tujuan dari pemotongan hewan kurban tersebut adalah untuk menghindari terjadinya berbagai kemungkinan yang dapat menghalangi atau mempersulit pengambilan semua bahan untuk rumah yang ingin dibanun tesebut.

Menurut kepercayaan orang Aceh, bahwa setiap tempat dipermukaan bumi ini baik yang berada di darat ataupun di laut terdapat semacam makhluk halus yang menjaga atau menguasai. Untuk memasuki hutan dan mengambil isinya harus dipatuhi ketentuan-ketentuan yang berlaku, agar makhluk halus yang menguasai hutan itu bersedia memberikan keizinannya. Salah satu cara ntuk memperoleh keizinan penguasa hutan tersebut dengan cara menyembelih hewan kurban.

b. Upacara mendirikan rumah

Pada saat melakukan upacara mendirikan rumoh Aceh ada dua kegiatan penting yang harus dilakukan. Pertama upacara Tanom Kurah

(16)

terutama sekali menyangkut kenyamanan tidur pada malam hari.

Sedangkan upacara Peusijuk dilaksanakan pada pagi harinya oleh pemilik rumah itu sendiri atau bisa juga diwakilkan oleh Tengku

(Imam Mesjid/Imam Mushalla). Kegiatan pokok dalam upacara ini adalah penepung tawaran seluruh lokasi tempat di mana rumah itu akan dibangun, sekaligus juga dilaksanakan penepung tawaran terhadap bahan-bahan perlengkapan rumah yang telah dipersiapkan sebelumnya di tempat itu. Dalam upacara ini juga diadakan pembacaan doa yang biasanya dipimpin oleh Tengku. Doa ini merupakan sikap menyerahkan diri kepada Allah SWT, serta memohon agar pembangunan rumah itu dapat berjalan dengan baik dan diharapkan dapat membawa berkah, ketenangan serta ketentraman bagi penghuninya.

c. Upacara ketika menempati rumah baru

Setelah bangunan rumoh Aceh selesai dibangun, masih ada dua upacara lagi yang harus dilaksanakan oleh pemilik rumoh Aceh yaitu: upacara Peusijuk Utoh (Tukang) dan upacara kenduri E’ Rumoh Baro

(17)

rumoh baro adalah upacara syukuran yang diselenggarakan pemilik rumah karena bangunan itu telah selesai. Upacara ini biasanya dilaksanakan setelah selesai shalat mahgrib dirumah baru yang hendak ditempati. Upacara ini diakhiri dengan pembacaan doa oleh Tengku

Imam setempat.

2. Hukum waris (faraidh) rumah

(18)

Berdasarkan kajian dari studi literatur di atas mengenai nilai-nilai sosiokultural pada rumah tradisional Aceh, dapat diuraikan nilai-nilai sosiokultural yang berlaku pada rumoh Aceh yang menjadi acuan dalam penelitian ini (Tabel 2.3).

Tabel 2.3 Nilai-nilai sosiokultural yang berlaku pada rumoh Aceh

Nilai-nilai Keterangan

Adat membangun dan menempati rumoh Aceh

Dalam membangun dan menempati rumoh Aceh ada beberapa upacara adat yang dilakukan:

1. Upacara pengambilan bahan 2. Upacara membangun rumah 3. Upacara menempati rumah Hukum kepemilikan rumoh

Aceh (Waris/Faraidh)

Rumah dan perkarangan akan menjadi hak istri dan anak perempuan.

2.2.2.2 Tipologi ruang rumoh Aceh

(19)

Setelah Islam masuk ke Aceh, arah rumoh Aceh mendapat justifikasi keagamaan. Hal itu dikarenakan dalam perkembangannya orientasi rumoh Aceh dalam perkampungan seperti sekarang ini dianggap sebagai upaya masyarakat Aceh membuat garis imajiner antara rumah dan Ka’bah (Gambar 2.3). Orientasi rumah menghadap utara-selatan dan membujur timur-barat juga berkembang menjadi sebuah aturan yang harus dipatuhi dalam menempatkan posisi rumah yang akan dibangun dan ditempati oleh masyarakat Aceh nantinya. Aturan tersebut tidak tertulis, namun masyarakat Aceh meyakini hal ini dan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari mereka hingga saat ini.

(20)

d

Rumoh Aceh merupakan rumah panggung yang besarnya tergantung pada banyaknya ruweueng (ruang). Ada yang tiga ruang, lima ruang, tujuh ruang hingga sepuluh ruang. Rumoh dengan tiga ruang memiliki 16 tiang, sedangkan Rumoh

dengan lima ruang memiliki 24 tiang (Gambar 2.4).

Gambar 2.3 Orientasi beberapa rumoh Aceh dalam perkampungan (Mirsa, 2013)

(21)

Modifikasi dari tiga menjadi lima ruang atau sebaliknya bisa dilakukan dengan mudah, tinggal menambah atau menghilangkan bagian ruweueng yang ada di sisi Barat atau Timur rumah. Pengaruh keyakinan terlihat pada penggunaan tiang-tiang penyangganya yang selalu berjumlah genap, jumlah ruangannya yang selalu ganjil, dan anak tangganya yang berjumlah ganjil.

Beranda muka disebut seuramoë keue (karena di sini ditempatkan tangga masuk, disebut juga seuramoë rinyeuen), serambi belakang disebut seuramoë likot. Bagian utama rumah adalah pada bagian tengah, yang dibuat lebih tinggi dari pada lantai serambi. Bagian utama rumah ini disebut tungai. Pada bagian Tungai ini terletak dua bilik (kamar tidur), yaitu rumoh Inong dan anjông (Gambar 2.5). Rumoh inong adalah bilik peurumoh (master bedroom), sedangkan anjông adalah bilik untuk anak perempuan (Arif, 2015).

(22)

2.2.2.3 Konfigurasi spasial pada rumoh Aceh

Tata ruang rumah dengan beragam jenis fungsinya merupakan simbol agar semua orang taat pada aturan (nilai-nilai). Dari segi Agama, konsep rumoh Aceh adalah suci. Dampak dari konsep suci ini adalah adalah berkembangnya aturan tak tertulis yang mengatur bahwa toilet tidak boleh berada didalam rumoh Aceh dan harus dipisahkan dari rumah (Gambar 2.6).

Dalam kehidupan masyarakat tradisional rumah dianggap sebagai bentuk mikro kosmos sebagai penjelmaan dari bentuk makro kosmos (alam raya) yang terbagi atas tiga bagian yaitu: a. Dunia atas, adalah daerah suci sebagai tempat para leluhur; b. Dunia tengah, adalah daerah yang dihuni oleh manusia; c. Dunia bawah, adalah daerah kotor yang biasanya dihuni oleh binatang (Moerdjoko, 2006).

(23)

Oleh karena hal tersebut, ada kaitannya peletekan toilet yeng merupakan bagian yang dianggap kotor oleh masyarakat tradisional diletakkan dibagian bawah rumah dan terpisah dari rumah.

Peletakan toilet pada rumoh Aceh diletakan terpisah dari rumah dengan tujuan menjaga kesucian rumah karena rumah juga berfungsi sebagai tempat ibadah pemilik rumah dan juga bagi tamu yang datang. Ibadah seperti shalat berjamaah dan pengajian sering dilakukan pada seuramoe keu (serambi depan). Oleh karenanya, untuk menjaga kesucian rumoh Aceh sebelum menaiki rumah pemilik atau tamu diharuskan membasuh kaki dengan air yang tersedia dalam gentong air disamping tangga naik.

(24)

Sementara bagi kaum laki-laki yang bukan anggota keluarga dekat hanya diperbolehkan berkegiatan di seuramoe keu. Apabila di rumah tidak ada anggota keluarga yang laki-laki, maka bagi tamu yang bukan keluarga dekat (muhrim) dilarang untuk naik ke rumah. Nilai-nilai religiusitas juga dapat dilihat pada jumlah ruang yang selalu ganjil, jumlah anak tangga yang selalu ganjil dan keberadaan gentong air untuk membasuh kaki setiap kali ingin masuk ke rumoh Aceh (Gambar 2.8).

Gambar 2.7 Zona kegiatan perempuan dan zona laki-laki pada rumoh Aceh (Arif, 2015)

Gambar 2.8 Posisi gentong air dan tangga pada rumoh Aceh (Mirsa, 2013)

Zona perempuan

(25)

Keberadaan tangga untuk memasuki rumoh Aceh bukan hanya berfungsi sebagai alat untuk naik kedalam rumah, tetapi tangga juga berfungsi sebagai titik batas yang hanya boleh didatangi oleh tamu yang bukan keluarga atau saudara dekat. Apabila dirumah tidak ada anggota keluarga laki-laki, maka pantang (tabu) bagi tamu yang bukan keluarga dekat untuk naik kerumah (Mirsa, 2013). Dengan demikian

reunyeun (tangga) juga memiliki fungsi sebagai alat kontrol sosial dalam melakukan interaksi sehari-hari antar masyarakat.

Untuk memuliakan posisi peurumoh dalam Adat Aceh, posisi kamar tidur utama ditempatkan pada posisi yang paling utama, di tengah dan di lantai tertinggi. Di antara kedua kamar tidur itu ada lorong penghubung antara seuramoë rinyeuen

dengan seuramoë likôt, yang bernama Rambat. Di bagian belakang ada rumoh dapu

(dapur) yang elevasi lantainya sejajar dan ada juga yang lebih rendah dari seuramoë likôt. Dapat kita pahami bahwa, masyarakat Aceh telah mengonsepkan ruang dengan suatu hirarki. Secara fisik bangunan, hirarki ini tampak pada elevasi yang berbeda di tiap lantai ruangan. Hal ini berhubungan dengan nilai-nilai yang berlaku dalam Adat Aceh sehingga menjadi demikian adanya.

(26)

meninggal dunia dimandikan. Kamar-kamar ini jarang dimasuki orang kecuali para orang tua, anak-anak dan pembantu mereka (Hurgronje, 1985).

Selain orientasi rumoh Aceh dan letak toilet yang terpisah untuk menjaga konsep suci, ruang-ruang dalam rumoh Aceh juga mendapat pengaruh dari berkembangnya ajaran agama Islam. Hal ini terlihat dengan tidak tersedianya ruang tidur untuk anak laki-laki dewasa pada rumoh Aceh. Anak laki-laki yang sudah dewasa menghabiskan waktunya untuk belajar mengaji dan agama di meunasah

(tempat ibadah). Dengan demikian mereka lebih sering tinggal dan berkegiatan di meunasah daripada dirumah.

2.2.2.4 Fungsi ruang pada rumoh Aceh

Adapun fungsi ruang dalam masing-masing memiliki fungsi sesuai dengan susunannya masing-masing. Adapun fungsi ruang berdasarkan susunannya adalah sebagai berikut:

(27)

1. Bahagian bawah

Bahagian ini berbentuk kolong yang berada di bawah lantai (Gambar

2.10). Pada kolong didapati beberapa deretan tiang-tiang rumah yang

sejajar dari timur ke barat, yang terdini dari empat buah deretan, yaitu

banja keu (deretan depan), banja teungoh (deretan tengah depan) dan

banja likoet (deretan belakang). Di antara deretan tengah depan dan

deretan tengah belakang terdapat tiang raja dan tiang putri.

Di kaki tangga rumah selalu ditaruh sebuah tempat air dari tanah atau semacam guci, di sebelahnya sebuah tonggak dari kayu dipancangkan di tanah di mana digantungkan sebuah gayung atau ember kecil (teuneulat tima), sejumlah batu diletakkan agak teratur di dekatnya. Siapa pun yang bermaksud masuk rumah, sejenak berdiri di atas batu-batuan tersebut, menyiram air dengan gayung serta membasuh kakinya yang kotor atau berlumpur hingga bersih (Hurgronje, 1985).

(28)

2. Bahagian atas

Bahagian ini merupakan ruangan yang keseluruhannya berbentuk persegi

panjang, yaitu terbagi atas tiga ruangan antara lain:

a. Ruangan depan (seuramoe keu/seuramoe reunyeun)

Ruangan ini berbentuk polos, artinya pada ruangan ini tidak dibuat

lagi dinding penyekat atau pemisah menjadi bilik-bilik yang lebih

kecil (Gambar 2.11). Pintu juga dibangun pada bahagian ini yang

ukuran luasnya sekitar 0,8 meter dan tingginya 1.8 meter. Pada sisi

dinding depan sebelah kiri dan kanan pintu dibuat jendela (tingkap).

Biasanya hanya rumah yang berdinding papan yang mempunyai

jendela. Dengan demikan berarti serambi depan bersifat terbuka

sampai pula dengan fungsinya yang antara lain tempat menerima tamu

laki-laki, tempat mengaji dan belajar anak laki-laki, yang sekaligus

menjadi tempat tidur mereka dan kepentingan yang umum.

(Samingoen, 1984).

(29)

b. Ruangan tengah (tungai)

Ruangan tengah (tungai) terletak antara serambi depan dan serambi

belakang. Ruangan ini (juree) terletak antara serambi muka dan

serambi belakang, yang tingginya 0,5 meter dari level posisi lantai

serambi depan dan serambi belakang. Pada ruangan ini biasanya

terdapat dua buah bilik sebagai tempat tidur (Gambar 2.12). Kedua

kamar ini masing-masing terletak di sebelah kanan atau kiri (timur

atau barat). Ruangan tengah (juree) antar bilik kamar ini dipisahkan

oleh gang (rambat) yang berfungsi sebagai jalan antara serambi depan

dan serambi belakang. Kamar sebelah barat (rumoeh inoeng) ditempati

oleh orang tua/kepala keluarga, dan di sebelah timur (rumoeh anjoeng)

ditempati oleh anak perempuan, jika anak perempuan lebih satu orang,

maka kepala keluarga terpaksa pindah ke belakang pada bahagian

barat, bila tidak mampu membuat rumah yang terpisah.

(30)

c. Ruangan belakang (seramoe likoet)

Sebagaimana halnya dengan ruangan depan maka ruangan belakang

ini tidak dibagi lagi menjadi ruangan yang lebih kecil. Ada juga yang

membangun ruangan ini sedikit lebih besar dari pada serambi depan

dengan cara menambahkan dua buah tiang pada bahagian timurnya.

Ruang tamhahan ini sering disebut anjoeng atau ulee keude yang

sekaligus berfungsi sebagai dapur, yang terletak di sebelah timur dari

seramoe likoet (Gambar 2.13). Di atas dinding depan di bawah bara

bahagian luar biasanya atau perkakas dapur, yang disebut sandeng

(sanding). Terkadang masih ada penambahan terhadap ruang belakang

ini yaitu dengan cara memasang balok toi yang ujung bahagian

belakangnya lebih panjang 1.5 cm dari pada ukuran biasa. balok ini

menghubungkan tiang deretan tengah belakang dengan tiang deretan

belakang, bahagian yang ditambah ini biasa disebut tiphiek.

Kegunaannya sebagai tempat menyimpan kayu bakar.

(31)

3. Bahagian atap/kap

Kebanyakan atap rumah adalah atap yang berabung (tampong) satu.

Bahagian kap terletak dibagian atas ruangan tengah yang memanjang dari

samping kiri ke kanan, sedangkan cucuran atasnya berada di bahagian

depan dan belakang rumah. Rabung rumah atau tampong berada

dibahagian atas serambi tengah, terdapat juga loteng yang berfungsi

sebagai tempat untuk menyimpan barang-barang yang diperlukan

(Gambar 2.14). Atap rumoh Aceh biasanya dibuat dari oen meuria (daun

rumbia) yang dianyam dengan rotan yang telah dibelah kecil-kecil.

Berdasarkan studi literatur yang telah dijelaskan di atas mengenai rumah tradisional Aceh, dapat diuraikan beberapa hal yang menjadi karakteristik dari rumoh

Aceh. Adapun karakteristik dari rumoh Aceh yang menjadi acuan dalam penelitian ini dijelaskan seperti pada Tabel 2.4.

(32)

Tabel 2.4 Karakteristik Kunci Rumoh Aceh

Karakteristik Gambar

Orientasi rumoh Aceh selalu menghadap utara selatan. Sehingga membujur dari timur dan barat

Terbagai dalam 3 bagian Kolong, dinding, atap

Ruangan terbagi dalam 3 ruangan besar: seuramoe keu, seuramoe teungoh, seuramoe likoet

Lantai bagian teungah (juree) lebih tinggikan (dianggap sebagai bagian paling suci dalam rumoh Aceh)

(33)

Tabel 2.4 (Lanjutan)

Karakteristik Gambar

Tidak terdapat kamar tidur anak laki-laki

Biasanya kamar mandi/wc terpisah dari rumoh

Aceh (diluar).

Terdapat kolong yang tersusun dari tiang-tiang (biasa berjumlah 16, 20, 24 tiang)

Berdiri sendiri (tidak sambung menyambung)

(34)

2.3 Perkembangan Arsitektur Rumoh Aceh

Perkembangan rumoh Aceh hingga saat ini memperlihatkan terjadinya perubahan baik itu pada nilai-nilai yang berlaku maupun dari segi bentuk dan fungsi dari rumoh Aceh Itu sendiri. Hal tersebut dipengaruhi oleh pergeseran sistem nilai dan kebutuhan akan ruang baru untuk memenuhi aktivitas penghuninya. Berdasarkan literatur-literatur ditemukan bahwa perkembangan dari rumoh Aceh berdasarkan tahapan waktu dari tahun 1900-2016 ada tiga tipe rumoh Aceh yang sudah bermodifikasi.

2.3.1 Tipe 1

Tipe ini adalah rumoh Aceh dengan bentuk asli namun sudah mengalami perubahan pada layout ruang bagian dalam rumah. Perubahan yang terjadi tidak begitu signifikan, hanya bersifat penambahan ruang yang disesuaikan dengan kebutuhan (Gambar 2.15). Tipe ini mulai berkembang di awal tahun 1900-1940an. Pada masa ini, material alami seperti kayu masih sangat mudah dijumpai. Oleh karenanya, rumoh Aceh yang bekembng masih didominasi oleh material-materilam alami.

(35)

2.3.2 Tipe 2

Tipe ini adalah rumoh Aceh yang sudah mengalami modifikasi dengan perubahan yang bersifat penambahan ruang pada bagian belakang atau samping rumah. Penambahan ruang dibangun langsung diatas permukaan tanah dan menyatu dengan bangunan lama. Bangunan baru biasanya didominasi oleh material fabrikasi (Gambar 2.16).

Pada tipe ini karakteristik dari rumoh Aceh asli masih dapat terlihat. Hal itu terlihat jelas pada konsep kolong yang masih dipertahankan. Tipe rumoh Aceh dengan model pengembangan seperti ini mulai berkembang pada tahun 1970-an. Pada perkembangannya, rumoh Aceh tipe-2 ini mulai memadukan material alam dan material fabrikasi.

(36)

2.3.3. Tipe 3

Tipe ini adalah rumoh Aceh yang sudah mengalami modifikasi dengan perubahan yang bersifat penambahan ruang baik itu pada bagian belakang, samping dan bagian bawah rumah (Gambar 2.17). Penambahan ruang yang terjadi bersifat permanen. Bangunan baru pada tipe ini merubah karakteristik dari rumoh Aceh. Tipe ini mulai berkembang pada tahun 2000-an.

Rumoh Aceh dengan pengembangan tipe 3 ini mulai terjadi saat bahan material pabrikasi mulai masuk ke daerah Aceh. Hal itu juga dikarenakan pada tahun 2000-an, mendapatkan material kayu yang bagus untuk membangun rumoh Aceh sangat sulit.

(37)

2.4 Kerangka Teori

Setelah mengkaji beberapa teori dari studi literatur yang digunakan dalam penelitian ini, maka kerangka teorinya dapat dijelaskan seperti pada Gambar 2.18.

(Rapoport, 1969)

- Arsitektur adalah refleksi dari perilaku atau pemanfaatan ruang; dengan kata lain, itu adalah cerminan dari budaya.

- Setiap elemen bangunan tradisional terbentuk sebagai manifestasi dari nilai-nilai sosiokultural

(Sueca, 2003)

konfigurasi ruang tradisional tidak lagi sesuai dengan nilai-nilai baru dan gaya hidup. proses transisi sosial budaya secara paralel merubah nilai-nilai sosiokultural pada rumah

fungsi, makna, dan konfigurasi

(Altman dan Chemers, 1985)

lingkungan binaan merupakan hasil dari perubahan manusia dan lingkungannya. Dalam hal skala lingkungan, rumah merupakan bagian yang sangat kecil.

(Altman dan Chemers, 1985)

desain layout rumah masyarakat dan bangunan umum sering eksplisit mencerminkan nilai-nilai keyakinan dan budaya.

(Rapoport, 1990)

perubahan arsitektur tradisional dibagi tiga bagian yaitu (1) core element

element (2) peripheral element (3) new modifikasi struktur yang ada serta ekstensi (penambahan ruang)

Gambar 2.18 Kerangka Teori Budaya dan Arsitektur Bentuk dan Arsitektur

Gambar

Gambar 2.1 Masa pengaruh Islam pada rumoh Aceh (Arifin, 2016)
Gambar 2.2 Arah orientasi rumoh Aceh (Mirsa, 2013)
Gambar 2.4 Rumoh Aceh dengan jumlah 24 tiang (Hurgronje, 1985)
Gambar 2.5 Denah Rumoh Aceh (Arif, 2015)
+7

Referensi

Dokumen terkait

66 Satu hal yang mendasari adanya konflik tersebut adalah bahwa masyarakat Baluwarti selama ini telah mengabdi, menempati, dan selalu menjalankan aturan- aturan yang diberlakukan

Rumah gadang memiliki denah yang berbentuk persegi panjang yang simetris yang terdiri dari ruang dan lanjar, di mana ruang adalah bagian memanjang ke samping

Transformasi arsitektural pada hunian pasca bencana di Gampong Kuala Cangkoi Kabapaten aceh Utara yang mengalami penambahan pada bagian belakang dan samping

Berdasarkan hasil simulasi CBDM dengan metrik UDI yang dilakukan pada ruang Rumoh Krong Bade Aceh mengenai kualitas pencahayaan alami, ada beberapa solusi penting yang dapat

Karena belum banyak referensi rumah selain rumoh Aceh saat itu, mempengaruhi bobot perseptual dan artikulasi rumah panggung, baik tepi-sudut maupun bidang, tidak jauh

Motif kreasi pintu Aceh ( pinto Aceh ) yang digunakan pada zaman sekarang sudah dikreasikan dengan penambahan bentuk segitiga pada bagian sisi atas-bawah dan juga sisi

Berdasarkan analisis tipologi elemen struktural terhadap rumoh Aceh pada Gampong Lubuk Sukon dan Lubuk Gapuy sebagai unit amatan, diketahui kriteria ornamentasi

Rumoh Aceh memiliki 3 ruang utama yaitu seuramoe keu pada bagian depan yang digunakan untuk kaum laki-laki dengan tangga sebagai pintu masuk utama, seuramoe likoet sebagai ruang untuk