BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pemilihan Umum (Pemilu) 2.1.1 Pengertian Pemilu
Di dalam suatu negara yang menganut paham demokrasi, diperlukan suatu sarana yang dapat menjamin terseenggaranya pemerintahan yang benar-benar mencerminkan keimginan rakyat. Dalam pengertian bahwa segala aspirasi rakyat tersebut dapat diwujudkan atau setidaknya dijadikan sebagai acuan dalam menentukan suatu kebijakan.
Dalam teori demokrasi klasik, pemilu merupakan suatu “transmission belt of power” sehingga kekuasaan yang berasal dari rakyat dapat beralih menjadi kekuasaan negara yang kemudian berubah menjadi bentuk wewenang pemerintah untuk mengatur dan memerintah rakyat. Hal ini selaras dengan pandapat Tambunan yang mengatakan :
“Pemilu dengan demikian merupakan sarana penghubung antara suprastruktur politik dan infrastruktur politik atau kehidupan politik di tingkat pemerintahan dan kehidupan politik di tingkat masyarakat. Sehingga melalui kedua lembaga tersebut masyarakat dapat memasuki kehidupan politik di lingkungan pemerintahan sehingga memungkinkan terciptanya pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.” (Tambunan, 1985 : 3)
Pengertian pemilu menurut Undang-Undang no. 12 tahun 2003 tentang pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD adalah :
“Pemilu adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan pancasila dan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945.”
Jadi menurut pengertian di atas, pemilu adalah sarana untuk membentuk suatu sistem kekuasaan negara yang harus didasarkan pada undang-undang dasar negara yang masih berlaku.
Sementara itu Parulian Donald menyatakan bahwa :
“Dengan pemilu berarti rakyat melakukan kegiatan memilih orang atau sekelompok orang menjadi pemimpin rakat atau pemimpin negara. Pemimpin yang dipilihnya itu akan menjalankan kehendak rakyat yang memilihnya.”(Donald, 1997 : 5)
Jadi terdapat dua manfaat sekaligus sebagai tujuan dan sasaran langsung yang hendak dicapai dengan pelaksanaan atau beroperasinya lembaga politik pemilu, yaitu pembentukan kekuasaan yang absah dan mencapai tingkat keterwakilan politik.
2.1.2 Tujuan Pemilu
Ramlan Surbakti, dalam bukunya Memahami Ilmu Politik menyatakan bahwa terdapat tiga tujuan pemilu, yaitu :
1. Sebagai mekanisme untuk menyeleksi para pemimpin pemerintahan dan alternative kebijakan umum.
2. Sebagai mekanisme memindahkan konflik kepentingan dari masyarakat kepada badan-badan perwakilan rakyat melalui wakil-wakil rakyat yang terpilih.
3. Sebagai sarana memobilisasi dan atau menggalang dukungan rakyat terhadap negara atau pemerintah dengan jalan ikut serta dalam proses politik.
(Surbakti, 1992 : 181-182)
memilih. Sedangkan di negara-negara demokrasi liberal pemilu juga bertujuan untik meyakinkan dan melibatkan individu anggota masyarakat ke dalam proses politik.
Dari uraian tersebut di atas nampak bahwa selain tujuan ideal terdapat juga tujuan-tujuan lain dalam penyelenggaraan suatu pemilu. Di negara-negara berkembang misalnya, pemilu secara ideal bertujuan untuk memilih wakil-wakil rakyar yang akan duduk di bangku pemerintahan, ternyata ada juga anggapan bahwa pemilu juga merupakan sarana yang dapat dipakai ujtuk membenarkan rezim yang berkuasa.
2.2 Kampanye
2.2.1 Pengertian Kampanye
Istilah kampanye sebenarnya diambil dari istilah militer, yaitu serangkaian
kegiatan dalam upaya menghancurkan kekuatan dan mental musuh. Sementara itu
menurut Rogers dan Storey seperti yang dikutip oleh Antar Venus dalam bukunya
Manajemen Kampanye menjelaskan bahwa kampanye adalah ”Serangkaian
tindakan komunikasi yang terencana dengan tujuan menciptakan efek tertentu
pada sejumlah besar khalayak yang dilakukan secara berkelanjutan pada kurun
waktu tertentu”. (Venus, 2004:7) Hal ini berarti bahwa kampanye adalah alat
komunikasi bagi kandidat calon presiden yang digunakan untuk mempengaruhi
masyarakat agar mau berpartisipasi dalam pemilu melalui pemberian suara.
Merujuk pada definisi di atas, maka setiap aktivitas kampanye setidaknya
harus mengandung empat hal yaitu :
1. Tindakan kampanye yang ditujukan untuk menciptakan efek atau
dampak tertentu
2. Jumlah khalayak sasaran yang besar
4. Melaui serangkaian tindakan komunikasi yang terorganisir
Kampanye itu sendiri oleh Sumarno didefinisikan sebagai :
”Alat komunikasi politik yang dapat menggerakkan masyarakat untuk turut berpartisipasi dalam bidang politik kenegaraan melalui hak suaranya yang diberikan kepada seorang calon atau beberapa anggota kelompok partai yang mereka percayai”. (Sumarno, 198:108)
Sejalan dengan pendapat sumarno di atas, Anwar Arifin menyatakan bahwa :
“Kampanye politik adalah bentuk komunikasi politik yang dilakukan oleh
seseorang atau sekelompok orang atau sekelompok organisasi politik
dalam waktu tertentu untuk memperoleh dukungan politik dari rakyat.
Pada umumnya, kampanye politik diatur dengan peraturan sendiri, yaitu
waktu, tata caranya, pengawasan dan sanksi-sanksi jika terjadi
pelanggaran kampanye”. (Arifin, 2003:83)
Berkaitan dengan pemilihan umum, maka kampanye yang dilakukan
adalah kampanye politik. Menurut Arnold Steinberg :
”Dalam kehidupan politik, kampanye dimaksudkan sebagai suatu usaha
terkelola, terorganisir untuk mengikhtiarkan orang yang dicalonkan,
dipilih, atau dipilih kembali dalam suatu jabatan resmi. Definisi ini tidak
mencakup kampanye politik untuk memperoleh suatu kedudukan di sektor
swasta. Dengan kata lain, kampanye politik modern adalah cara yang
digunakan para warga negara demokratis untuk menentukan siapa yang
Pengertian-pengertian diatas menekankan bahwa tujuan dari kampanye
adalah untuk mempengaruhi orang lain sehingga orang tersebut mau
mendukungnya dalam pemilu. Lebih jauh lagi kampanye bertujuan untuk
membentuk tingkah laku kolektif masyarakat sehingga tujuan memenangkan
pemilu dapat lebih mudah terwujud.
Secara ideal kampanye merupakan kegiatan untuk mempengaruhi para
pemilih antara lain dengan melakukan propaganda, menampilkan kandidat yang
berkualitas, dan menawarkan isu yang memikat masyarakat. Kampanye bila
dilakukan dalam suatu pemilihan umum yang dapat menjamin terjadinya
kompetisi yang sehat diantara kontestan yang bertarung serta penyelenggara yang
tidak memihak, merupakan ajang yang sangat penting untuk melakukan
pendidikan politik rakyat.
Melalui kampanye akan diperoleh debat dan wacana untuk membicarakan
isu-isu nasional yang penting bagi masyarakat itu sendiri, baik yang menyangkut
hal –hal mendasar seperti eksistensi dan survival bangsa yang bersangkutan dalam
percaturan dunia yang lebih luas (inetrnasional) maupun isu-isu yang lebih
pragmatis, seperti upaya meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Peranan kampanye dalam suatu pemilu dikemukakan oleh Burn and
Peltason dalam bukunya
”Government by the people”
yang menyatakan bahwa :
Terjemahan bebas dari pernyataan diatas adalah bahwa meskipun
kampanye hanya merupakan suatu bagian / tahapan kecil dari suatu proses pemilu,
namun mempunyai akibat yang penting, karena kampanye dapat mengaktifkan
seseorang, membangkitkan ketertarikan seseorang, mempertajam perilaku
memilih dan merangsang mereka agar mau memilih.
Pendapat Burn and Peltason di atas, jelas mengungkapkan bahwa
kampanye sebagai salah satu tahapan dari pemilu, memiliki peranan yang sangat
penting, melalui kampanye itulah suatu kandidat calon presiden dapat
mempengaruhi orang lain agar mau mendukungnya dengan jalan memberikan
suaranya pada hari pemungutan suara dalam pemilihan umum. Pendapat diatas
juga menyatakan bahwa pada masa kampanye suatu kandidat dapat berupaya
untuk lebih memperkenalkan dirinya, dan merangsang masyarakat agar mau
memilih. Wujud dari rangsangan itu diinterpretasikan sebagai penyampaian
isu-isu kampanye.
Berkaitan dengan komunikasi politik, Lord Windlesham sebagaimana
dikutip oleh Onong Uchyana Effendi dalam buku
Dinamika Komunikasi Politik
menyatakan bahwa “Komunikasi politik adalah suatu penyampaian pesan politik
yang secara sengaja dilakukan oleh komunikator kepada komunikan dengan
tujuan membuat komunikan berperilaku tertentu” (Effendy,2000:158). Dari
pendapat di atas dapat dikatakan bahwa komunikasi politik dilakukan agar mereka
yang menerima pesan mau berperilaku sesuai dengan apa yang dipesankan.
Sementara itu Anwar Arifin menjelaskan bahwa salah satu bentuk
komunikasi politik yang dilakukan untuk mempengaruhi seseorang menjelang
“Kampanye politik adalah bentuk komunikasi politik yang dilakukan oleh
seseorang atau sekelompok orang atau sekelompok organisasi politik
dalam waktu tertentu untuk memperoleh dukungan politik dari rakyat.
Pada umumnya, kampanye politik diatur dengan peraturan sendiri, yaitu
waktu, tata caranya, pengawasan dan sanksi-sanksi jika terjadi
pelanggaran kampanye”. (Arifin, 2003:83)
Menurut Rogers dan Storey seperti dikutip oleh Antar Venus menjelaskan bahwa kampanye adalah ” Serangkaian tindakan komunikasi yang terencana dengan tujuan menciptakan efek tertentu pada sejumlah besar khalayak yang dilakukan secara berkelanjutan pada kurun waktu tertentu”. (Venus, 2004:7) Hal ini berarti bahwa kampanye adalah alat komunikasi bagi kandidat yang digunakan untuk mempengaruhi masyarakat agar mau berpartisipasi dalam pemilu/Pemilukada melalui pemberian suara. Kampanye ini dilakukan oleh suatu pasangan kandidat yang bersaing dengan pasangan lain untuk memperebutkan suara calon pemilih. Pernyataan ini sesuai dengan pendapat Riswandha Imawan yang menyatakan bahwa :
”Kampanye bertujuan untuk mempengaruhi orang lain untuk memberikan dukungannya (dalam bentuk memberikan suara) dalam suatu pemilu. Kampanye berusaha untuk membentuk tingkah laku kolektif agar masyarakat lebih mudah digerakkan untuk mencapai suatu tujuan (memenangkan pemilu)” (Imawan, 1996 : 143)
politik bertujuan untuk mengajak masyarakat yang berhak memilih ikut dalam pemilihan.
Agar kampanye pemilu berjalan dengan baik, maka perlu diperhatikan beberapa hal, seperti yang diungkapkan oleh Mirrian D Irish dan James Prothro dalam bukunya The Politics of The American Democracy sebagai berikut :
”A successfull campaign strategy must achieve three objectives whether by
design or by luck; 1. Get the party propaganda before the vote, 2. produce
attitudes favorable to the party candidates, 3. Stimulate people to vote”. (Irish and Prothro, 1962 : 372)
Pendapat diatas kemudian diterjemahkan secara bebas oleh penulis sebagai berikut : strategi kampanye yang berhasil harus memperhatikan tiga tujuan, baik yang telah direncanakan ataupun karena kebetulan, yaitu; propaganda partai sebelum pemungutan suara; menciptakan sikap yang mendukung kandidat yang dicalonkan partai dan merangsang masyarakat agar mau memberikan suara.
Hal ini sesuai dengan pendapat Dan Nimmo yang menyatakan bahwa : ”... pemberi suara secara selektif mempersepsi partai, kandidat dan isu kampanye, memberi makna kepada mereka dan berdasarkan itu mereka menentukan pemberian suara....” (Nimmo, 1989 :212)
Dari tiga pendapat diatas, terlihat jelas adanya suatu pengaruh antara kampanye dengan Pemilukada sehingga kita dapat menyimpulkan bahwa suatu kampanye yang baik harus memuat : propaganda yang dimaksudkan untuk menimbulkan citra positif, kandidat yang berkualitas dan penyampaian isu kampanye yang diharapkan dapat menarik dukungan masyarakat pemilih.
Hal ini sesuai dengan pendapat Brian Duewell dalam bukunya The Art of Political Campaign “... dalam menilai suatu kampanye politik berjalan baik lihatlah propagandan(Duewell. 2012. 176)
Berkenaan dengan propaganda, Sumarno memberikan definisi sebagai berikut :
”Propaganda adalah suatu teknik, suatu cara atau suatu usaha yang sistematis serta sungguh-sungguh dimana teknik, cara dan usaha ini dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang untuk mempengaruhi pendapat atau sikap orang lain atau kelompok lain” (Sumarno 1987 : 149)
Sesuai dengan pendapat Sumarno, Anwar Arifin mendefinisikan propaganda sebagai berikut :
”Kegiatan komunikasi politik yang dilakukan secara terencana dan sistematik, untuk menggunakan sugesti (mempermainkan emosi), untuk tujuan mempengaruhi seseorang atau kelompok orang atau komunitas yang lebih besar agar melaksanakan atau menganut suatu ide (ideologi, gagasan sampai sikap), atau kegiatan tertentu dengan kesadarannya sendiri tanpa merasa dipaksa/terpaksa.” (Arifin, 2003 : 74)
”Semata-mata kontrol opini yang dilakukan melalui simbol-simbol yang mempunyai arti, atau menyampaikan pendapat yang kongkrit dan akurat (teliti), melalui sebuah cerita, rumor, laporan, gambar-gambar dan bentuk-bentuk lain yang bisa digunakan dalam komunikasi sosial” (Nurudin,2001:10)
Dari pendapat-pendapat diatas dapat diambil kesimpulan bahwa propaganda merupakan suatu upaya persuasif untuk mempengaruhi seseorang atau sekelompok orang agar mereka mau berbuat seperti apa yang diinginkan oleh mereka yang melakukan propaganda. Dalam konteks kampanye Gubernur, propaganda kandidat dapat ditujukan untuk memperluas pengaruh dan pendukung kandidat.
Hal lain yang penting dalam sebuah kampanye adalah kualitas calon Gubernur yang ikut dalam Pemilukada. Untuk menjadi pasangan yang memimpin suatu Provinsi pasangan calon Gubernur harus harus mampu memenuhi kriteria seperti yang diungkapkan oleh Sergiovanni dan Corbally seperti yang dikutip oleh Riswandha Imawan sebagai berikut :
1. Popularity atau popularitas yang menunjuk kepada dikenal atau tidak dikenalnya pasangan calon tersebut oleh masyarakat
2. Acceptability atau akseptabilitas yang menunjuk pada penerimaan masyarakat terhadap kandidat calon tersebut. Penerimaan ini akan muncul manakala masyarakat merasa sang tokoh benar-benar dapat menyuarakan kepentingan mereka.
3. Capability atau kapabilitas yang menunjuk kepada kemampuan intelektual kandidat. Kemampuan untuk menyerap aspirasi rakyat, merumuskan aspirasi itu kedalam bentuk pernyataan yang jelas dan menyampaikan rumusan itu kepada masyarakat dalam bahasa yang dapat dimengerti oleh rakyatnya.
Jadi menurut pendapat di atas seorang calon pemimpin yang ideal harus memiliki popularitas yang berarti dikenal oleh masyarakat luas; akseptabilitas yang menunjuk kepada tingkat penerimaan pasangan calon oleh masyarakat; dan kapabilitas yang merupakan hal yang sangat vital yang harus dimiliki oleh seorang calon pemimpin.
Selain propaganda kandidat dan kualitas kandidat, adapula hal yang penting dalam suatu kampanye hal itu adalah penyampaian isu-isu kampanye yang biasanya terdiri dari program-program yang akan dilaksanakan oleh kandidat yang bersangkutan bila memenangkan pemilu. Berkenaan dengan isu pemilu, Dan Nimmo menyatakan pendapatnya sebagai berikut :
”Isu adalah masalah yang sangat banyak ragamnya, yang mengakibatkan sejumlah orang mengungkapkan kepercayaan, nilai dan penghargaan mereka tentang berbagai masalah tersebut. Pengungkapan utama dari opini rakyat tersebut adalah melalui pemberian suara dalam pemilu.” (Nimmo, 1989 : 65)
Pernyataan tersebut menjelaskan bahwa isu sangat beraneka ragam, dalam pengertian bahwa isu dapat diangkat dari berbagai bidang kehidupan, kemudian masyarakat pemilih akan memberi nilai dan kepercayaan terhadap isu tersebut, selanjutnya isu kampanye tersebut akan membentuk opini masyarakat pemilih yang mempengaruhi pemberian suara dalam pemilu.
2.2.2. Teknik dan Strategi Kampanye
Dalam hubungannya dengan tujuan mempengaruhi persepsi, sikap dan
tingkah laku pemilih, maka setiap kandidat berupaya menerapkan cara-cara yang
terorganisir dan terkelola, yang dipandang akan mampu meningkatkan kualitas
dukungan dari massa pemilih. Cara-cara tersebut tentu saja terkait erat dengan
Setiap kandidat pasti memiliki strategi kampanye yang diarahkan untuk
mencapai tujuan masing-masing. Paling tidak dalam setiap kampanye kandidat
sudah tentu menampilkan berbagai pernyataan dan aksi yang dapat dilihat sebagai
perwujudan dari strategi kampanye masing-masing. Strategi kampanye sebagai
mana strategi pemasaran, dapat didisain sedemikian rupa untuk mencapai tujuan
kampanye yaitu memenangkan pemilu.
Dalam pemahaman Samuel C. Patterson seperti dikutip Bambang, paling
tidak terdapat tiga persoalan yang perlu dibahas dalam menyusun disain
kampanye, sebagai berikut :
”Pertama,
apakah partai atau kandidat sedang dalam posisi sebagai pihak
yang memerintah atau oposisi, perbedaan status ini secara langsung
mempengaruhi disain kampanye... hukum besi berlaku di hampir semua
negara. Artinya, bagi setiap partai atau kandidat yang berkuasa peluang itu
selalu lebih banyak. Fasilitas yang mereka miliki meliputi mesin birokrasi,
transportasi dan komunikasi, reputasi, serta akses terhadap dana istimewa.
Kedua,
berkenaan dengan persepsi masyarakat terhadap partai atau
kandidat dari partai bersangkutan. Membangun citra didepan para pemilih
sangat penting. Sedangkan mencoba memahami persepsi masyarakat
terhadap diri calon atau partai yang akan berkampanye jauh lebih penting.
Partai atau kandidat yang tidak dikenal masyarakat harus berusaha
mengetahui bagaimana persepsi masyarakat terhadap partai yang
bersangkutan. Pertimbangan terakhir berkaitan dengan isu-isu yang hangat
slogan kampanye adalah kewajiban setiap partai maupun kandidat yang
menjadi peserta pemilu”. (Bambang, 1997 : 76-78)
Pendapat di atas sejalan dengan apa yang dikemukakan olehMirrian D Irish dan James Prothro dalam bukunya The Politics Of The American Democracy bahwa :
”A sucssesfull campaign strategy must achieve three objectives whether by
design or by luck; 1. Get the party propaganda before the vote, 2. produce
attitudes favorable to the party candidates, 3. Stimulate people to vote”. (Irish and Prothro, 1962 : 372)
Pendapat diatas kemudian diterjemahkan secara bebas oleh penulis sebagai berikut : strategi kampanye yang berhasil harus mencapai tiga tujuan, baik yang telah direncanakan ataupun karena kebetulan, yaitu; propaganda partai sebelum pemungutan suara; menciptakan sikap yang mendukung kandidat yang dicalonkan partai dan merangsang masyarakat agar mau memberikan suara.
Hal ini sesuai dengan pendapat Dan Nimmo yang menyatakan bahwa : ”... pemberi suara secara selektif mempersepsi partai, kandidat dan isu kampanye, memberi makna kepada mereka dan berdasarkan itu mereka menentukan pemberian suara....” (Nimmo, 1989 :212)
Memperkuat pendapat diatas adalah pendapat dari Austin Ranney yang berpendapat bahwa : ”... most people think that they vote the way they do because of how they felling about political parties, the issues and the candidates.” (Ranney, 1990, 210). Yang terjemahannya adalah : sebagian besar orang berpendapat bahwa mereka mereka memberikan suaranya disebabkan perasaan mereka terhadap partai politik, isu kampanye dan kandidat.
positif partai, kandidat yang berkualitas dan penyampaian isu kampanye yang diharapkan dapat menarik dukungan masyarakat pemilih.
Namun demikian berhubung dalam pemilu presiden di Indonesia yang menempatkan partai politik sebatas hanya sebagai organisasi yang mencalonkan kandidat calon presiden maka propaganda partai tidak banyak berpengaruh terhadap perolehan suara suatu pasangan calon presiden. Sementara propaganda kandidat pasangan calon justru berpengaruh besar dalam perolehan suara, ini terbukti dalam pemilu presiden tahap I dimana pasangan calon yang dicalonkan oleh partai politik pemenang pemilu tidak dapat lolos ke pemilu tahap II. Sehingga dalam penelitian ini penulis tidak akan melakukan pembahasan tentang propaganda partai dan hanya memfokuskan pembahasan pada propaganda kandidat, kualitas kandidat dan isu yang diangkat dalam kampanye.
Berkenaan dengan propaganda, Sumarno memberikan definisi sebagai berikut : ”Propaganda adalah suatu tenik, suatu cara atau suatu usaha yang sistematis serta sungguh-sungguh dimana teknik, cara dan usaha ini dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang untuk mempengaruhi pendapat atau sikap orang lain atau kelompok lain” (Sumarno 1987 : 149)
Sesuai dengan pendapat Sumarno, Anwar Arifin mendefinisikan propaganda sebagai berikut :
”Kegiatan komunikasi politik yang dilakukan secara terencana dan sistematik, untuk mrnggunakan sugesti (mempermainkan emosi), untuk tujuan mempengaruhi seseorang atau kelompok orang atau komunitas yang lebih besar agar melaksanakan atau menganut suatu ide (ideologi, gagasan sampai sikap), atau kegiatan tertentu dengan kesadarannya sendiri tanpa merasa dipaksa/terpaksa.” (Arifin, 2003 : 74)
”Semata-mata kontrol opini yang dilakukan melalui simbol-simbol yang mempunyai arti, atau menyampaikan pendapat yang kongkrit dan akurat (teliti), melalui sebuah cerita, rumor, laporan, gambar-gambar dan bentuk-bentuk lain yang bisa digunakan dalam komunikasi sosial” (Nurudin,2001:10)
Dari pendapat-pendapat diatas dapat diambil kesimpulan bahwa propaganda merupakan suatu upaya persuasif untuk mempengaruhi seseorang atau sekelompok orang agar mereka mau berbuat seperti apa yang diinginkan oleh mereka yang melakukan propaganda. Dalam konteks kampanye Presiden, propaganda kandidat dapat ditujukan untuk memperluas pengaruh dan pendukung kandidat.
Hal lain yang penting dalam sebuah kampanye adalah kualitas calon presiden yang ikut dalam pemilu. Untuk menjadi pasangan yang memimpin suatu negara pasangan calon presiden harus harus mampu memenuhi kriteria seperti yang diungkapkan oleh Sergiovanni dan Corbally seperti yang dikutip oleh Riswandha Imawan sebagai berikut :
1. Popularity atau popularitas yang menunjuk kepada dikenal atau tidaknya dikenalnya pasangan calon tersebut oleh masyarakat
2. Acceptability atau akseptabilitas yang menunjuk pada penerimaan masyarakat terhadap kandidat calon tersebut. Penerimaan ini akan muncul manakala masyarakat merasa sang tokoh benar-benar dapat menyuarakan kepentingan mereka.
Jadi menurut pendapat di atas seorang calon pemimpin yang ideal harus memiliki popularitas yang berarti dikenal oleh masyarakat luas; akseptabilitas yang menunjuk kepada tingkat penerimaan pasangan calon oleh masyarakat; dan kapabilitas yang merupakan hal yang sangat vital yang harus dimiliki oleh seorang calon pemimpin.
Selain propaganda kandidat dan kualitas kandidat, adapula hal yang penting dalam suatu kampanye hal itu adalah penyampaian isu-isu kampanye yang biasanya terdiri dari program-program yang akan dilaksanakan oleh kandidat yang bersangkutan bila memenangkan pemilu. Berkenaan dengan isu pemilu, Dan Nimmo menyatakan pendapatnya sebagai berikut :
”Isu adalah masalah yang sangat banyak ragamnya, yang mengakibatkan sejumlah orang mengungkapkan kepercayaan, nilai dan penghargaan mereka tentang berbagai masalah tersebut. Pengungkapan utama dari opini rakyat tersebut adalah melalui pemberian suara dalam pemilu.” (Nimmo, 1989 : 65)
Pernyataan tersebut menjelaskan bahwa isu sangat beraneka ragam, dalam
pengertian bahwa isu dapat diangkat dari berbagai bidang kehidupan, kemudian
masyarakat pemilih akan memberi nilai dan kepercayaan terhadap isu tersebut,
selanjutnya isu kampanye tersebut akan membentuk opini masyarakat pemilih
yang mempengaruhi pemberian suara dalam pemilu.
Dengan berlandaskan pada strategi itu, partai atau kandidat dapat
menyusun teknik kampanye (bentuk operasional dari disain kampanye), Imawan
membagi teknik kampanye itu sebagai berikut :
”Dalam ilmu politik dikenal adanya empat teknik kampanye : door to
door, group discussion, indirect campaign, dan direct
Kampanye ”dari pintu ke pintu”
(door to door campaign)
dilakukan
dengan cara kandidat mendatangi langsung para pemilih sambil
menanyakan persoalan-persoalan yang mereka hadapi. Di sini terjadi
hubungan lansung antara kandidat dengan calon pemilih. Teknik ini
menjamin adanya kesesuaian persepsi antara si pemilih (komunikan)
dengan calon yang dipilih ( komunikator).
Diskusi kelompok
(discussion group)
dilakukan dengan membentuk
kelompok-kelompok diskusi kecil yang membicarakan masalah-masalah
yang dihadapi masyarakat. Teknik ini memungkinkan anggota masyarakat
terlibat langsung dengan persoalan dan usaha memecahkan persoalan
masyarakat yang ada bersama kandidat atau partai yang mereka dukung.
Kampanye massa langsung
(direct mass-campaign)
,dilakukan dengan cara
melakukan aktivitas yang dapat menarik perhatian massa, seperti pawai,
pertunjukan kesenian, peresmian proyek dan sebagainya.
Kampanye massa tidak langsung
(indirect mass campaign
) dilakukan
dengan cara berpidato di radio, televisi, ataupun memasang iklan di media
cetak. Teknik ini jelas membutuhkan biaya yang besar . namun, untuk
beberapa hal, teknik ini efektif dilakukan sebab para pemilih memiliki
bukti kongkret tentang janji-janji yang pernah dilontarkan suatu kandidat
atau partai.”(Imawan,1997 : 144-145)
Mencermati teknik kampanye itu, maka dapat diklasifikasikan serta
1. Kampanye langsung
(direct campaign)
, merupakan teknik kampanye
dimana komunikator berhubungan langsung dengan komunikan.
Teknik-teknik yang termasuk dalam kategori ini ialah
door to door
campaign
,
group discussio
n dan
direct mass-campaign
.
2. Kampanye tidak langsung
(indirect campaign
), merupakan bentuk
kampanye dimana komunikator tidak secara langsung berhubungan
dengan komunikan, sehingga arus informasi bersifat satu arah dengan
menggunakan alat bantu seperti media elektronik, media cetak dan
bentuk lainnya.
Terlepas dari berbagai teknik/bentuk kampanye yang digunakan berikut
keunggulan dan kelemahannya, salah satu sisi penting yang dapat dipahami
berkenaan dengan teknik kampanye tersebut bahwa ”ciri dasar kampanye politik
adalah proses komunikasi” yang dilakukan dengan tujuan untuk mempengaruhi,
mengubah dan membentuk pendapat, sikap, dan perilaku seseorang atau
sekelompok orang dalam jumlah yang lebih luas.
2.2.3 Jenis-jenis Kampanye
Membicarakan jenis-jenis kampanye pada prinsipnya adalah
membicarakan motivasi yang melatarbelakangi diselenggarakannya sebuah
program kampanye. Motivasi tersebut pada gilirannya akan menentukan ke arah
mana kampanye akan digerakkan dan apa tujuan yang akan dicapai. Jadi secara
inheren ada keterkaitan antara motivasi dan tujuan kampanye.
Bertolak dari keterkaitan tersebut, Charles U. Larson seperti dikutip Venus
candidate-oriented campaigns, dan ideologically or cause oriented campaigns
.”
(Venus, 2004 : 11).
Product-oriented campaigns
atau kampanye yang berorientasi
pada produk umumnya terjadi dilingkungan bisnis. Istilah lain dari kampanye ini
adalah
commercial campaigns
atau
corporate campaigns
. Motivasi yang
mendasarinya adalah memperoleh keuntungan finansial.
Candidate-oriented campaigns
atau kampanye yang berorientasi pada
kandidat pada umumnya dimotivasi oleh hasrat untuk meraih kekuasaan politik.
Karena itu jenis kampanye ini dapat pula disebut sebagai
political campaigns
(kampanye politik). Tujuannya antara lain adalah untuk memenangkan dukungan
masyarakat terhadap kandidat yang diajukan partai politik agar dapat menduduki
jabatan politik yang diperebutkan lewat proses pemiluhan umum. Kampanye
pemilu, kampanye penggalangan dana bagi partai politik, kampanye pembentukan
propinsi baru dan kampanye kuota perempuan di DPR merupakan contoh-contoh
kampanye jenis ii.
Ideologically-oriented campaigns
adalah jenis kampanye yang berorientasi
pada tujuan-tujuan yang bersifat khusus dan seringkali berdimensi perubahan
sosial. Karena itu kampanye jenis ini dalam kotler disebut sebagai social change
campaigns, yakni kampanye yang ditujukan untuk menangani masalah-masalah
sosial melalui perubahan sikap dan perilaku publik yang terkait.
Pada dasarnya berbagai jenis kampanye yang tidak termasuk dalam
kategori kampanye politik atau kampanye produk dapat dimasukkan ke dalam
kampanye perubahan sosial. Dengan demikian cakupan kampanye jenis ini sangat
luas mulai dari kampanye di bidang kesehatan, kampanye lingkunagan, kampanye
Terlepas dari perbedaan-perbedaan yanga ada di antara jenis-jenis
kampanye diatas, dalam prakteknya ketiga macam jenis kampanye tersebut
hampir tidak berbeda. Ketiganya dapat menggunakan strategi komunikasi yang
sama untuk menjual produk, kandidat atau gagasan mereka kepada khalayak.
2.2.4 Model Kampanye
Model adalah representasi suatu fenomena, baik nyata atau abstrak,
dengan menonjolkan unsur-unsur terpenting fenomena tersebut. Model kampanye
berusaha untuk menggambarkan proses kampanye berdasarkan unsur-unsur yang
terdapat didalamnya. Berikut ini adalah beberapa model kampanye :
1. Model Konfensional Kampanye
Model ini mengambil komponen-komponen pokok yang terdapat dalam
suatu proses pengiriman dan penerimaan pesan-pesan kampanye. Unsur-unsur
yang terdapat di dalamnya meliputi sumber kampanye, saluran pesan, penerima
kampanye, efek dan umpan balik. Unsur-unsur ini harus dipandang sebagai satu
kesatuan yang mendeskripsikan dinamika dan proses kampanye.
Model ini dapat dengan mudah di identifikasi menggunakan pendekatan
transmisi ketimbang pendekatan interaksil. Alasan yang mendasarinya adalah
bahwa kampanye merupakan kegiatan komunikasi yang direncanakan, bersifat
purposif, dan sedikit membuka peluang untuk saling bertukar informasi dengan
khalayak. Lebih dari itu kampanye merupakan kegiatan yang bersifat persuasif
dalam posisi pasif. Perbedaan posisi ini maka proses berukar peran selama
kampanye berlangsung menjadi sangat terbatas.
Model kampanye dengan pendekatan transmisi yang searah ini, tidak
memandang pendekatan interaktif sebagai hal yang tidak penting. Pada beberapa
setting kampanye yang menggunakan saluran personal, pendekatan interaktif
dianggap lebih efektif dan realistis. Pada situasi demikian maka perlu dikonstruksi
model kampanye yang sesuai.
Dalam model kampanye diatas digambarkan bahwa sumber memiliki
peran yang dominan. Ia secara aktif mengkonstruksi pesan yang ditujukan untuk
menciptakan perubahan pada diri khalayak. Saluran komunikasi seperti media
massa, media tradisional atau saluran personal. Ketika pesan-pesan diterima
khalayak diharapkan muncul efek perubahan pada diri mereka. Terjadi atau
tidaknya efek perubahan dapat diidentifikasi dari umpan balik yang diterima
sumber. Umpan balik untuk mengukur efektifitas kampanye dapat muncul dari
pesan itu sendiri, saluran yang digunakan atau respons penerima. Akhirnya dapat
dikatakan bahwa keseluruhan proses kampanye tidak terlepas dari gangguan.
Sumber dapat mengidentifikasi potensi gangguan tersebut pada semua komponen
kampanye yang ada.
2. Model kampanye Ostergaard
Model kampanye ini dikembangkan oleh Leon Ostergaard, seorang
teoritisi dan praktisi kampanye kawakan dari Jerman. Diantara model kampanye
dilihat dari kata-kata kunci yang digunakan di dalamnya seperti kuantifikasi,
cause and effect analysis
, data, dan
theoretical evidence
.
Menurut ostergaard sebuah rancangan program kampanye untuk
perubahan sosial yang tidak didukung oleh temuan-temuan ilmiah tidaklah layak
untuk dilaksanakan. Alasannya karena program semacam itu tidak akan
menimbulkan efek apapun dalam menanggulangi masalah sosial yang dihadapi.
Karenanya, sebuah program kampanye hendaknya selalu dimulai dari identifikasi
masalah secara jernih. Langkah ini disebut juga tahap prakampanye.
Jadi langkah pertama yang harus dilakukan sumber kampanye adalah
mengidentifikasi masalah faktual yang dirasakan. Setelah itu kemudian dicari
hubungan sebab-akibat dengan fakta-fakta yang ada. Kita harus memastikan
bahwa analisis sebab-akibat yang dilakukan adalah benar, baik secara nalar
maupun menurut temuan-temuan ilmiah.
Untuk mendapatkan rujukan teoritis ilmiah tentang masalah yang ada kita
dapat memanfaatkan ilmu-ilmu sosial murni seperti sosiologi dan psikologi. Bila
dari analisis ini diyakini bahwa masalah tersebut dapat dikurangi lewat
pelaksanaan kampanye, maka kegiatan kampanye perlu dilaksanakan. Bila
kenyataannya demikian maka kita dapat memasuki tahap kedua yakni
perancangan program kampanye.
Tahap kedua adalah tahap pengelolaan kampanye yang dimulai dari
perancangan, pelaksanaan hingga evaluasi. Dalam tahap ini lagi-lagi riset perlu
dilakukan untukuntuk mengidntifikasi karakteristik khalayak sasaran untuk dapat
merumuskan pesan, aktor kampanye, saluran, hingga teknis kampanye yang
Pada tahap pengelolaan ini seluruh isi program kampanye diarahkan untuk
membekali dan mempengaruhi aspek pengetahuan, sikap, dan keterampilan
khalayak sasaran. Ketiga aspek ini dalam literatur ilmiah dipercaya menjadi
prasyarat untuk terjadinya perubahan perilaku. Dengan kata lain perubahan dalam
pengetahua, sikap, dan keterampilan khalayak akan memberi pengaruh pada
perubahan perilaku
Pada gambar model juga terlihat bahwa tanda panah pengetahuan dan
keterampilan mengarah pula pada sikap. Ini menandakan bahwa sikap, baik secara
langsung atau tidak langsung, juga dipengaruhi oleh perubahan dalam tataran
pengetahuan dan keterampilan. Ketika memperoleh pengetahuan baru tentang
suatu hal, umumnya sikap kita juga berubah pada hal tersebut, baik seketika
maupun bertahap.
3. Model Perkembangan Lima Tahap Fungsional
Model ini dikembangkan oleh tim peneliti dan praktisi kampanye di Yale
University AS pada awal tahun 1960-an. Model ini dianggap yang paling populer
dan banyak diterapkan di berbagai belahan dunia. Kepopuleran ini tidak terlepas
dari dari fleksibilitas model untuk diterapkan, baik
pada cadidate oriented
campaign, product oriented campaign,
atau
cause or idea oriented campaign
.
Fokus model ini adalah pada tahapan kegiatan kampanye, bukan pada proses
pertukaran pesan antara
campaigner
dengan
campaignee
.
Pada model ini digambarkan bagaimana tahapan kegiatan kampanye harus
Tahapan tersebut meliputi identifikasi, legitimasi, partisipasi, penetrasi, dan
distribusi.
Tahap identifikasi merupakan tahap penciptaan identitas kampanye yang
dengan mudah dapat dikenali oleh khalayak. Hal-hal yang umum digunakan
sebagai identitas kampanye diantaranya simbol, warna, lagu atau jingle, seragam
dan slogan. Kita sering melihat hal tersebut dalam kampanye jenis apapun. Pada
kampanye pemilu misalnya, kita melihat simbol-simbol seperti logo dan emblem
yang digunakan oleh semua partai peserta pemilu. Demikian pula slogan-slogan
yang mengidentifikasikan platform partai atau pemakaian warna untuk uniform
fungsionaris partai.
Tahap berikutnya adalah legitimasi. Dalam kampanye politik, legitimasi
diperoleh ketika seseorang telah masuk dalam daftar anggota legislatif, atau
seorang kandidat presiden memperoleh dukungan yang kuat dalam polling yang
dilakukan lembaga independen. Para pejabat politik yang sedang berkuasa juga
memiliki legitimasi, tapi hal itu diperoleh secara otomatis karena faktor jabatan.
Legitimasi mereka bisa efektif digunakan dan dipertahankan sejauh mereka
dianggap capable (cakap) dan tidak menyalahgunakan jabatan. Tahap ketiga
adalah partisipasi. Tahap ini dalam prakteknya sulit dibedakan dengan tahap
legitimasi karena ketika seorang kandidat mendapatkan legitimasi, pada saat yang
sama dukungan yang bersifat partisipatif mengalir dari khalayak. Partisipasi ini
bisa bersifat nyata atau simbolik.partisipasi nyata ditunjukkan oleh keterlibatan
orang-orang dalam menyebarkan famlet, brosur, atau poster, menghadiri
demonstrasi yang diselenggarakan sebuah lembaga swadaya masyarakat atau
bersifat tidak langsung, misalnya ketika anda menempelkan stiker Partai Amanat
Nasional di kaca belakang mobil anda.
Tahap keempat adalah tahap penetrasi. Pada tahap ini seorang kandidat
telah hadir dan mendapat tempat di hati masyarakat. Seorang juru kampanye
misalnya telah berhasil menarik simpati masyarakat dan meyakinkan mereka
bahwa ia adalah kandidat terbaik dari sekian kandidat yang ada.
Terakhir adalah tahap distribusi atau kita dapat menyebutnya sebagai tahap
pembuktian. Pada tahap ini tujuan kampanye pada umumnya telah tercapai.
Kandidat politik telah mendapatkan kekuasaan yang mereka cari. Tinggal
bagaimana mereka membuktikan janji-janji mereka saat kampanye. Bila mereka
gagal membuktikan janji-janji yang telah disampaikan ketika kampanye maka
akibatnya akan fatal bagi kelangsungan jabatan mereka.
2.2.4 Tujuan Kampanye
Menurut Sastropoetro ada 3 hal yang dapat diraih dari kegiatan kampanye,
yaitu :
1. Mengubah atau menetralisir pendapat-pendapat yang bersifat
menentang atau bermusuhan.
2. Mengkristalisasikan pendapat-pendapat yang masih terpecah-pecah
dan belum terbentuk atau yang masih bersifat tersembunyi/laten.
3. Mengarahkan pembentukan pendapat yang menguntungkan atau
mendukung suatu pendapat.(Sastropoetro, 1988:39)
”Pertama ada upaya untuk membangkitkan kesetiaan alami para pengikut partai/kandidat agar mereka memilih sesuai dengan kesetiaan itu. Kedua, kegiatan untuk menjajaki warga negara yang tidak terikat pada partai/kandidat dan untuk menciptakan pengidentifikasian di antara golongan independent. Ketiga, ada kampanye yang ditujukan pada oposisi, bukan dirancang untuk mengalihkan kepercayaan dan nilai anggota/kandidat, melainkan untuk meyakinkan rakyat bahwa keadaan akan lebih baik jika dalam kampanye ini mereka memilih partai/kandidat lain”(Nimmo, 1999 : 192)
Pernyataan ini sesuai dengan pendapat Riswandha Imawan yang menyatakan bahwa :
”Kampanye bertujuan untuk mempengaruhi orang lain untuk memberikan dukungannya (dalam bentuk memberikan suara) dalam suatu pemilu. Kampanye berusaha untuk membentuk tingkah laku kolektif agar masyarakat lebih mudah digerakkan untuk mencapai suatu tujuan (memenangkan pemilu)” (Imawan, 1996 : 143)
Sejalan dengan pendapat dari Riswandha Imawan di atas, Haryanto menjelaskan pula tentang tujuan dari kampanye. Haryanto mengatakan bahwa :
“Tujuan kampanye adalah penyampaian pesan-pesan berupa program dan pandangan kandidat kepada masyarakat luas agar mereka mengetahuinya dan tertarik. Setelah tertarik, massa pemilih tersebut diharapkan akan menjatuhkan pilihannya kepada kandidat tersebut pada hari pencoblosan” (Haryanto,1984: 108)
kepada kandidat yang bersangkutan. Pada hakekatnya kampanye politik bertujuan untuk menentukan elit berkuasa atau penyelenggara pemerintah dalam mencapai tujuan negara.
2.3 Perilaku Memilih
2.3.1 Pengertian Perilaku Memilih
Pengertian perilaku memilih yang menjadi landasan teori ini adalah pengertian yang diungkapkan oleh Ramlan Surbakti, dalam bukunya Memahami Ilmu Politik, yang menyatakan bahwa : ”Perilaku memilih adalah kegiatan warga negara dalam pemilihan umum berkaitan dengan kegiatan membuat keputusan yakni apakah memilih atau tidak memilih.” (Surbakti, 1992 : 145). Jadi menurut Ramlan Surbakti terdapat dua kemungkinan yang menandai perilaku memilih yaitu memilih atau tidak memilih.
Dalam kegiatan politik, negara pada struktur dan bentuk apapun, perilaku individu maupun kelompok individu merupakan aspek yang tidak dapat dipisahkan, karena individu maupun kelompok individu adalah faktor penggerak dalam menjalankan kegiatan politik itu sendiri.
Perilaku itu terjadi karena adanya dorongan-dorongan dari yang apa ia pikirkan, percayai dan apa yang ia rasakan. Sehingga bisa dipahami mengapa seseorang memilih, menolak, atau mempertahankan suatu tindakan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa tindakan seseorang didasarkan oleh dorongan-dorongan dalam dirinya dan motivasi itu sangat erat kaitannya dengan kesadaran atau pengetahuan tentang suatu obyek.
Perilaku manusia tidak dapat berubah secara tiba-tiba melainkan melalui beberapa tahapan perubahan yang menurut Everett M. Rogers, dalam bukuunya diffusion of Inovation, bahwa ada lima tahap perubahan perilaku, yaitu :
2. Persuasi (Persuation), tahap seorang individu menunjukkan sikap yang cocok atau tidak cocok dengan ide baru yang muncul.
3. Keputusan (Decision), tahap seorang memutuskan untuk mengikuti atau menolak ide baru.
4. Implementasi (Implementation), Seorang individu melaksanakan apa yang menjadi obyek ide baru.
5. Konfirmasi (Confirmation), seorang individu mencari dukungan dari orang di sekitarnya sehubungan dengan keputusan yang diambil.
(Rogers, 1983:20)
Studi tentang perilaku memilih meliputi siapa yang memilih, bagaimana ia memilih, mengapa ia memilih dan apakah hasil pemilihan tersebut mempunyai arti bagi pemilih. Pemilih dipengaruhi oleh situasi politik yang umum dan isu-isu yang dominan pada saat itu. Perilaku memilih dalam Pemilukada merupakan salah satu fenomena politik yang dapat dipelajari melalui metode ilmiah seperti yang dikemukakan oleh Hugh A. Bone dan Austin Ranney, dalam bukunya Politics and Voters, sebagai berikut :
”... Kami menyatakan bahwa apa yang rakyat rasakan dipengaruhi secara luas oleh apa yang ingin mereka rasakan. Ilmu psikologi memainkan peranan yang penting dalam perilaku memilih, cenderung untuk mengubah pandangan pemilih atas partai-partai politik, isu-isu, dan kandidat-kandidat.” (Ranney, 1963 : 16)
”Keikutsertaan warga negara dalam pemilihan umum merupakan serangkaian kegiatan membuat keputusan, yakni apakah memilih atau tidak memilih dalam pemilihan umum.” (Surbakti, 1992 : 145)
Proses memilih atau tidak memilih dalam Pemilukada oleh pemilih merupakan suatu proses membuat keputusan. Sebelum membuat keputusan yang berarti menjatuhkan pilihan secara sadar, bebas dan etis pada kandidat yang memang mampu merespons aspirasi rasionalnya yang memadai, maka pemilih harus memiliki otonomi jiwani.
Hal ini sejalan sebagaimana yang dikemukakan oleh Limas Sutanto dalam tulisannya di Kompas yang berjudul Opini Masyarakat Dari Krisis ke Reformasi Masyarakat ke Negara Paradigma Baru membatasi dominasi negara, sebagai berikut :
”Tindak penentuan pilihan di ruang pemberian suara ditentukan oleh daya otonomi jiwani, yang membimbing dan menjatuhkan pilihan secara sadar, jujur, bebas dan etis pada partai yang memang mampu merespon aspirasi rasionalnya secara memadai.” (Susanto, 1999 : 17)
Selanjutnya dalam tulisan yang sama menurut Eric Berne yang dikutip oleh Limas Susanto bahwa ada tiga karakteristik manusia otonom yang menentukkan pengambilan keputusan pemilih yaitu sebagai berikut :
Berkenaan dengan perilaku memilih, Austin Ranney menyatakan bahwa pada dasarnya perilaku memilih itu disebabkan dari tiga hal, yaitu perasaan sayang seseorang yang ditujukan terhadap partai politik yang didukungnya atau kita sebut dengan identifikasi terhadap partai, pendapat terhadap isu kampanye yang dibawa oleh kandidat atau bisa kita sebut orientasi isu dan yang terakhir adalah orientasi terhadap kandidat.
Berkenaan dengan orientasi isu, Ranney berpendapat bahwa :
”In order to have a measurable impact on voting behaviour, an issue must fulfill
three condition. First the voter must be aware of its existence and have some
opinion about it; second it must concern enough to influence how they vote, and
third they must perceive that the position of a particular party or candidat on the
issue is nearer to their own position then the opposition” (Ranney, 1990 : 215)
Pendapat diatas kemudian diterjemahkan oleh penulis, bahwa agar suatu isu dapat mempunyai pengaruh yang besar terhadap perilaku memilih, isu tersebut harus memenuhi tiga kondisi. Pertama seorang pemilih harus mengetahui keberadaan isu tersebut dan memiliki pendapat mengenainya; kedua, isu tersebut harus mendapat perhatian yang cukup sehingga mempengaruhi pilihan mereka dan ketiga mereka harus merasa bahwa kedudukan partai atau kandidat terhadap isu yang diangkat lebih besar daripada kedudukannya terhadap isu oposisi.
Sedangkan berkenaan dengan orientasi kandidat, Ranney mengatakan bahwa : ”Candidate orientation means voters opinion of candidates personal qualificaties
considered apart from their party affiliation or stand on issues”. (Ranney, 1990 :216). Jadi menurut Ranney, orientasi kandidat adalah pendapat pemilih tentang kualifikasi kandidat terlepas dari afiliasi partai dan isu.
menggunakan strategi kampanye yang terdiri dari propaganda kandidat, penyampaian isu kampanye dan kualitas kandidat, kemudian masyarakat calon pemilih akan mempersepsi dan mengevaluasi ketiga hal tersebut diatas sebagai dasar keputusan untuk memilih atau tidak memilih kandidat yang bersangkutan.
2.3.2 Faktor-faktor yang mempengaruhi Perilaku Memilih
Austin Ranney dalam bukunya An Introduction to a Political Science menyatakan bahwa sesungguhnya perilaku memilih seseorang dilstarbelakangi oleh tiga faktor, yaitu identifikasi partai, orientasi kandidat, dan orientasi isu kampanye.
1. Identifikasi Partai
Identifikasi partai oleh Ranney didefinisikan sebagai ”a sense of attachment person fell to a political parties” (Ranney, 1990 : 210). Jadi menurut Ranny identifikasi partai adalah perasaan sayang seseorang terhadap suatu partai politik.
Sementara itu Herbert Asher dalam bukunya Presidential Election and America Politics menyatakan pendapat sebagai berikut :
”Party identification is commonly viewed as a psychologycal attachment or feeling of loyalty to a party that develop during childhood and become more intensively the longer on is identified with that party”. (Asher, 1984 : 51)
Terjemahannya secara bebas adalah bahwa identifikasi partai adalah perasaan sayang seseorang kepada suatu partai politik yang telah tumbuh semasa kanak-kanak dan akan menjadi lebih kuat bila partai politik tersebut telah benar-benar teridentifikasi dalam diri individu tersebut.
kanak-kanak. Dalam hal ini peranan keluarga sangat besar dalam membentuk opini yang kemudian berkembang menjadi identifikasi ppartai seorang anak.
Selain keluarga, terdapar faktor lain yang akan mempengaruhi identifikasi partai, seperti dikemukakan oleh Asher, faktor tersebut adalah demografi, ras, dan agama, seperti nampak pada gambar berikut :
keterangan :
: Garis Pengaruh (Asher, 1984 : 36)
Gambar 2.1 Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku memilih
Namun demikian, mengingat dalam pemilu presiden di Indonesia kedudukan partai hanya sebatas pihak yang mencalonkan kandidat presiden, maka identifikasi partai tidaklah begitu penting, justru yang lebih penting adalah identifikasi kandidat yaitu perasaan sayang/loyal seseorang kepada seorang kandidat presiden.
2. Orientasi Kandidat
Orientasi kandidat didefinisikan oleh Ranney sebagai : ”Voters opinion of candidate qualities considered apart from their party affilication or stands on
Menurut Asher, pengaruh tidak langsung dari identifikasi partai kepada keputusan untuk memberikan suara merupakan suatu fungsi, yaitu dengan disampaikannya isu oleh kandidat dalam kegiatan kampanye. Asher menggambarkannya sebagai berikut :
Keterangan :
: Garis keterkaitan (Asher, 1984 : 36)
Gambar 2.2 Tiga dimensi perilaku memilih
Agar suatu isu dapat berpengaruh terhadap perilaku memilih, maka setidaknya isu tersebut harus berada dalam tiga kondisi yaitu ; pertama isu tersebut harus diketahui oleh para pemilih ; kedua isu tersebut harus mampu mempengaruhi para pemilih dan ketiga agar isu tersebut mampu mempengaruhi, maka isu dari kandidat presiden tersebut harus lebih mewakili daripada isu dari kandidat lain. Hal ini sesuai dengan pendapat Angus Capbell seperti yang dikutip oleh ranney sebagai berikut :
”In order to a measurable impact on voting behaviour an issue must fullfil three
conditions. First the voters must be aware of its existence and have some opinion
about it. Second it must concern enough to influence how they vote. And thrid
they must perceive that the position of a particular party or candidate on the
issue is nearer to their own position then the oppositions”(Ranney, 1990:215).
Issue orientation
Party identification Vote choice
Orientasi isu diartikan sebagai tingkat pengetahuan pemilih terhadap isu-isu kampanye yang disampaikan oleh partai/kandidat, menurut Edward G carmines dan James Stimson seperti dikutip Asher terdiri dari dua bagian, yaitu :