BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Asuhan Persalinan Normal (APN)
Pengertian asuhan persalinan normal (APN) adalah asuhan yang bersih dan aman dari setiap tahapan persalinan yaitu mulai dari kala satu sampai dengan kala empat dan upaya pencegahan komplikasi terutama perdarahan pasca persalinan, hipotermi serta asfiksia pada bayi baru lahir (JNPK-KR, 2013)
Tahun 2000 ditetapkan langkah-langkah APN yaitu 60 langkah, tahun 2001 langkah APN ditambah dengan tindakan resusitasi. Tahun 2004 APN ditambah dengan inisiasi menyusu dini (IMD), pengambilan keputusan klinik (PKK), pemberian tetes mata profilaksis, pemberian vitamin K1 dan imunisasi HBo. Langkah APN pada tahun 2007 tidak mengalami perubahan, namun pada tahun 2008 langkah APN dilakukan perubahan dari 60 langkah menjadi 58 langkah (JNPK-KR, 2008).
Menurut JNPK-KR (2013), asuhan persalinan normal memiliki tujuan yaitu mengupayakan kelangsungan hidup dan memberikan derajat kesehatan yang tinggi bagi ibu dan bayinya, melalui berbagai upaya yang terintegrasi dan lengkap serta dengan intervensi yang minimal sehingga prinsip keamanan dan kualitas pelayanan tetap terjaga pada tingkat yang optimal.
Rohani, dkk. (2011) menyatakan bahwa tujuan asuhan persalinan adalah memberikan asuhan yang memadai selama proses persalinan berlangsung, dalam
upaya mencapai pertolongan persalinan yang bersih dan aman dengan memperhatikan aspek sayang ibu dan sayang bayi.
Menurut Astuti (2012), dalam asuhan persalinan normal mengalami pergeseran paradigma dari menunggu terjadinya dan menangani komplikasi, menjadi pencegahan komplikasi. Beberapa contoh yang menunjukkan adanya pergeseran paradigma tersebut adalah:
1. Mencegah perdarahan pascapersalinan yang disebabkan oleh atonia uteri (tidak adanya kontraksi uterus)
a. Pencegahan perdarahan pascapersalinan dilakukan pada tahap paling dini
b. Setiap pertolongan persalinan harus menerapkan upaya pencegahan perdarahan pascapersalinan diantaranya: manipulasi minimal proses persalinan, penatalaksanaan aktif kala III dan pengamatan dengan seksama terhadap kontraksi uterus pascapersalinan.
c. Upaya rujukan obstetrik dimulai dari pengenalan dini terhadap persalinan patologis dan dilakukan saat ibu masih dalam kondisi yang optimal.
2. Laserasi (robekan jalan lahir)/Episiotomi (tindakan memperlebar jalan lahir dengan menggunting perineum)
a. Dengan paradigma pencegahan, episiotomi tidak lagi dilakukan secara rutin. b. Dilakukan perasat khusus yaitu penolong persalinan akan mengatur ekspulsi
3. Retensio Plasenta (tidak lepasnya plasenta setelah 30 menit bayi lahir)
a. Penatalaksanaan aktif kala tiga dilakukan untuk mencegah perdarahan, mempercepat proses pelepasan plasenta dan melahirkan plasenta, dengan pemberian uterotonika segera setelah bayi lahir dan melakukan penegangan tali pusat terkendali.
4. Partus Lama (persalinan yang berlangsung lebih dari 24 jam pada primigravida atau lebih dari 18 jam pada multigravida).
a. Asuhan persalinan normal untuk mencegah partus lama dengan mengandalkan partograf untuk memantau kondisi ibu dan janin serta kemajuan proses persalinan
b. Dukungan suami atau kerabat diharapkan dapat memberikan rasa tenang dan aman selama proses persalinan berlangsung.
c. Pendampingan diharapkan dapat mendukung kelancaran proses persalinan, menjalin kebersamaan, berbagi tanggung jawab antara penolong dan keluarga klien.
5. Asfiksia Bayi Baru Lahir
Pencegahan Asfiksia pada BBL dilakukan melalui upaya pengenalan penanganan sedini mungkin misalnya:
a. Memantau secara baik dan teratur denyut jantung janin selama proses persalinan.
c. Tehnik meneran dan bernafas yang menguntungkan bagi ibu dan bayi Bila terjadi asfiksia maka dilakukan:
a. Menjaga suhu tubuh bayi tetap hangat b. Menempatkan bayi dalam posisi yang tepat c. Penghisapan lendir secara benar
d. Memberikan rangsangan taktil dan melakukan pernafasan buatan (bila perlu) Kajian kinerja petugas pelaksana pertolongan persalinan di jenjang pelayanan dasar yang dilakukan oleh Depkes RI bekerjasama dengan POGI (Perkumpulan Obstetri Ginekologi Indonesia), IBI, JNPK-KR dengan bantuan teknis dari JHPIEGO dan PRIME menunjukkan adanya kesenjangan kinerja yang dapat mempengaruhi kualitas pelayanan bagi ibu hamil dan bersalin. Temuan ini berlanjut menjadi kerjasama untuk merancang pelatihan klinik yang diharapkan mampu untuk memperbaiki kinerja penolong persalinan. Dalam meningkatkan kemampuan pelaksanaan asuhan persalinan normal bidan terlebih dahulu diharapkan memiliki pengetahuan dan juga sikap yang baik (JNPK-KR, 2013).
Menurut APN (JNPK-KR 2013), tindakan pencegahan komplikasi yang dilakukan selama proses persalinana adalah:
b. Memberikan asuhan yang diperlukan, memantau kemajuan dan menolong persalinan serta kelahiran bayi. Menggunakan partograf untuk membuat keputusan klinik, sebagai upaya pengenalan adanya gangguan proses persalinan atau komplikasi dini agar dapat memberikan tindakan paling tepat dan memadai. c. Memberikan asuhan sayang ibu di setiap tahapan persalinan, kelahiran bayi dan
masa nifas, termasuk memberikan penjelasan bagi ibu dan keluarga tentang proses persalinan dan kelahiran bayi serta menganjurkan suami atau anggota keluarga untuk berpartisipasi dalam proses persalinan dan kelahiran bayi.
d. Merencanakan persiapan dan melakukan rujukan tepat waktu dan optimal bagi ibu di setiap tahapan persalinan dan tahapan baru bagi bayi baru lahir.
e. Menghindar berbagai tindakan yang tidak perlu dan atau berbahaya seperti misalnya kateterisasi urin atau episiotomi secara rutin, amniotomi sebelum terjadi pembukaan lengkap, meminta ibu untuk meneran secara terus-menerus, penghisapan lendir secara rutin pada bayi baru lahir.
f. Melaksanakan penatalaksanaan aktif kala tiga untuk mencegah perdarahan pasca persalinan.
g. Memberikan asuhan segera pada bayi baru lahir termasuk mengeringkan dan menghangatkan bayi, pemberian ASI sedini mungkin dan eksklusif, mengenali tanda-tanda komplikasi dan mengambil tindakan-tindakan yang sesuai untuk menyelamatkan ibu dan bayi baru lahir.
dini gejala dan tanda bahaya komplikasi pasca persalinan/bayi baru lahir dan mengambil tindakan yang sesuai .
i. Mengajarkan pada ibu dan keluarganya untuk mengenali gejala dan tanda bahaya pada masa nifas pada ibu dan bayi baru lahir.
j. Mendokumentasikan semua asuhan yang telah diberikan.
Tahapan asuhan persalinan normal terdiri dari 58 langkah (JNPK-KR 2013) adalah: I. Mengenali gejala dan tanda kala dua
1. Mendengar dan melihat adanya tanda persalinan Kala Dua a. Ibu merasa ada dorongan kuat dan meneran (desakan janin)
b. Ibu merasakan tekanan yang semakin meningkat pada rektum dan vaginanya. c. Perineum tampak menonjol
d. Vulva-vagina dan sfingter ani membuka II. Menyiapkan pertolongan persalinan
2. Pastikan kelengkapan peralatan, bahan dan obat-obatan esensial untuk menolong persalinan dan penatalaksanaan komplikasi ibu dan bayi baru lahir. Untuk bayi asfiksia persiapkan: tempat datar dan keras, 2 kain dan 1 handuk bersih dan kering, lampu sorot 60 watt dengan jarak 60 cm dari tubuh bayi
a. Menggelar kain di atas perut ibu dan tempat resusitasi serta ganjal bahu bayi. Menyiapkan oksitosin 10 unit dan alat suntik steril sekali pakai di dalam partus set steril atau DTT.
3. Melepaskan semua perhiasan yang dipakai di bawah siku. Mencuci kedua tangan dengan sabun dan air bersih yg mengalir dan mengeringkan tangan dengan handuk satu kali pakai/handuk pribadi yang bersih.
4. Memakai sarung tangan desinfeksi tingkat tinggi atau steril untuk semua pemeriksaan dalam.
5. Memasukkan oksitosin ke dalam tabung suntik dengan memakai sarung tangan DTT atau steril (pastikan tidak terjadi kontaminasi pada alat suntik).
III. Memastikan pembukaan lengkap & keadaan janin baik.
6. Membersihkan vulva dan perineum, menyekanya dengan hati-hati dari depan ke belakang dengan menggunakan kapas atau kasa yang dibasahi air DTT.
a. Jika introitus vagina, perineum atau anus terkontaminasi tinja, bersihkan dengan seksama dari arah depan ke belakang
b. Buang kapas atau kasa pembersih (terkontaminasi) dalam wadah yang tersedia c. Ganti sarung tangan jika terkontaminasi (dekontaminasi, lepaskan dan rendam
dalam larutan klorin 0,5% ).
7. Lakukan pemeriksaan dalam untuk memastikan bahwa pembukaan sudah lengkap.
8. Dekontaminasi sarung tangan dengan cara mencelupkan tangan yang masih memakai sarung tangan ke dalam larutan klorin 0,5%, kemudian lepaskan dan rendam dalam keadaan terbalik di dalam larutan klorin 0,5% selama 10 menit. 9. Cuci kedua tangan setelah sarung tangan dilepaskan.
10. Periksa denyut jantung janin (DJJ) setelah kontraksi/saat relaksasi uterus untuk memastikan bahwa DJJ dalam batas normal (120-160 x/menit).
a. Mengambil tindakan yang sesuai jika DJJ tidak normal
b. Mendokumentasikan hasil-hasil pemeriksaan dalam, DJJ dan semua hasil-hasil penilaian serta asuhan lainnya pada partograf.
IV. Menyiapkan ibu dan keluarga untuk membantu proses bimbingan meneran
11. Beritahukan pada ibu bahwa pembukaan sudah lengkap dan keadaan janin baik. serta bantu ibu berada dalam menemukan posisi yang nyaman dan sesuai dengan keinginannya.
a. Tunggu hingga timbul rasa ingin meneran, lanjutkan pemantauan kondisi dan kenyamanan ibu dan janin (ikuti pedoman penatalaksanaan fase aktif) serta dokumentasikan semua temuan yang ada.
b. Jelaskan pada anggota keluarga tentang bagaiman peran mereka untuk mendukung dan memberi semangat pada ibu untuk meneran secara benar. 12. Minta keluarga membantu menyiapkan posisi meneran. (Bila ada rasa ingin
13. Laksanakan bimbingan meneran pada saat ibu merasa ada dorongan kuat untuk meneran :
a. Bimbing ibu agar dapat meneran secara benar dan efektif. b. Dukung dan beri semangat pada saat meneran dan perbaiki cara meneran
apabila caranya tidak sesuai.
c. Bantu ibu mengambil posisi yang nyaman sesuai pilihannya (kecuali posisi berbaring terlentang dalam waktu yang lama).
d. Anjurkan ibu untuk beristirahat diantara kontraksi.
e. Anjurkan keluarga memberi dukungan dan semangat untuk ibu. Berikan asupan cairan per-oral (minum) yang cukup.
f. Menilai DJJ setiap kontraksi uterus selesai.
g. Segera rujuk jika bayi belum atau tidak segera lahir setelah 2 jam meneran pada primigravida atau setelah 1 jam meneran pada multigravida.
14. Anjurkan ibu untuk berjalan, berjongkok atau mengambil posisi yang nyaman, jika ibu belum merasa ada dorongan untuk meneran dalam 60 menit.
V. Persiapan pertolongan kelahiran bayi
15. Letakkan handuk bersih (untuk mengeringkan bayi) di perut ibu, jika kepala bayi telah membuka vulva dengan diameter 5-6 cm.
VI. Persiapan pertolongan kelahiran bayi.
19. Setelah tampak kepala bayi dengan diameter 5-6 cm membuka vulva maka lindungi perineum dengan satu tangan yang dilapisi dengan kain bersih dan kering. Tangan yang lain menahan kepala bayi untuk menahan posisi defleksi dan membantu lahirnya kepala. Anjurkan ibu untuk meneran perlahan atau bernafas cepat dan dangkal.
20. Periksa kemungkinan adanya lilitan tali pusat & ambil tindakan yang sesuai jika hal itu terjadi dan segera lanjutkan proses kelahiran bayi :
a. Jika tali pusat melilit leher secara longgar, lepaskan lewat bagian atas kepala bayi.
b. Jika tali pusat melilit leher secara kuat, klem tali pusat di dua tempat, dan potong diantara dua klem tersebut.
21. Tunggu kepala bayi melakukan paksi luar secara spontan
22. Setelah kepala melakukan putaran paksi luar, pegang secara biparental, anjurkan ibu untuk meneran saat kontraksi. Dengan lembut gerakkan kepala ke arah bawah dan distal hingga bahu depan muncul di bawah arkus pubis dan kemudian gerakkan arah atas dan distal untuk melahirkan bahu belakang.
24. Setelah tubuh dan lengan lahir, penelusuran tangan atas berlanjut ke punggung, bokong, tungkai dan kaki. Pegang kedua mata kaki (masukkan telunjuk diantara kaki dan pegang masing-masing mata kaki dengan ibu jari dan jari-jari lainnya) VII. Penanganan bayi baru lahir
25. Lakukan penilaian (selintas)
a. Apakah bayi menangis kuat dan atau bernafas tanpa kesulitan ? b. Apakah bayi bergerak dengan aktif ?
Jika bayi tidak menangis, tidak bernafas atau mengap-mengap lakukan langkah resusitasi (lanjut ke langkah resusitasi pada asfiksia bayi baru lahir).
26. Keringkan tubuh bayi
a. Keringkan bayi mulai dari muka, kepala, dan bagian tubuh lainnya kecuali bagian tangan tanpa membersihkan verniks.
b. Ganti handuk basah dengan handuk atau kain yang kering. Biarkan bayi di atas perut ibu.
27. Periksa kembali uterus untuk memastikan tidak ada lagi bayi dalam uterus (hamil tunggal).
28. Beritahu ibu bahwa ia akan disuntik oksitosin agar uterus berkontraksi baik. 29. Dalam waktu 1 menit setelah bayi lahir, suntikkan oksitosin 10 unit IM
30. Setelah 2 menit pasca persalinan, jepit tali pusat dengan klem kira-kira 3 cm dari pusat bayi. Mendorong isi tali pusat ke arah distal (ibu) dan jepit kembali tali pusat 2 cm bagian distal dari klem pertama.
31. Pemotongan dan pengikatan tali pusat
a. Dengan satu tangan, pegang tali pusat yang telah dijepit (lindungi perut bayi), lakukan pengguntingan tali pusat di antara 2 klem.
b. Ikat tali pusat dengan benang DTT atau steril pada satu sisi kemudian melingkarkan kembali benang tersebut dan mengikatnya dengan simpul kunci pada sisi lainnya.
c. Lepaskan klem dan masukkan dalam wadah yang telah disediakan. 32. Letakkan bayi agar ada kontak kulit ibu ke kulit bayi.
Letakkan bayi tengkurap di dada ibu. Luruskan bahu bayi sehingga bayi menempel di dada/perut ibu. Usahakan kepala berada diantara payudara ibu dengan posisi lebih rendah dari puting payudara ibu.
33. Selimuti ibu dan bayi dengan kain hangat dan pasang topi di kepala bayi. VIII. Penatalaksanaan aktif persalinan kala tiga
34. Pindahkan klem pada tali pusat sekitar 5-10 cm dari vulva.
35. Letakkan satu tangan di atas kain pada perut ibu, di tepi atas simfisis untuk mendeteksi, sedangkan tangan lain memegang tali pusat.
hentikan penegangan tali pusat dan tunggu hingga timbul kontraksi berikutnya dan ulangi prosedur di atas.
a. Jika uterus tidak segera berkontraksi, minta ibu atau anggota keluarga untuk melakukan stimulasi puting susu.
37. Lakukan penegangan dan dorongan dorso-kranial hingga plasenta terlepas, minta ibu meneran sambil penolong menarik tali pusat dengan arah sejajar lantai dan kemudian ke arah atas, mengikuti poros jalan lahir (tetap lakukan tekanan dorso-kranial).
a. Jika tali pusat bertambah panjang, pindahkan klem hingga berjarak sekitar 5-10 cm dari vulva dan lahirkan plasenta.
b. Jika plasenta tidak lepas setelah 15 menit menegangkan tali pusat : 1) Berikan dosis ulangan oksitosin 10 unit IM.
2) Lakukan kateterisasi (aseptik) jika kandung kemih penuh. 3) Minta keluarga untuk menyiapkan rujukan.
4) Ulangi penegangan tali pusat selama 15 menit berikutnya.
5) Jika plasenta tidak lahir dalam 30 menit setelah bayi lahir atau bila terjadi perdarahan, segera lakukan plasenta manual.
a. Jika selaput ketuban robek, pakai sarung tangan DTT atau steril untuk melakukan eksplorasi sisa selaput kemudian gunakan jari-jari tangan atau klem DTT untuk mengeluarkan bagian selaput yang tertinggal.
39. Segera setelah plasenta & selaput ketuban lahir, lakukan masase uterus, letakkan telapak tangan di fundus dan lakukan masase dengan gerakan melingkar dengan lembut hingga uterus berkontraksi (fundus teraba keras).
IX.Menilai perdarahan
40. Periksa kedua sisi plasenta baik bagian ibu maupun bayi pastikan selaput ketuban lengkap & utuh. Masukkan plasenta ke dalam kantung plastik atau tempat khusus. 41. Evaluasi kemungkinan laserasi pada vagina dan perineum. Lakukan penjahitan bila laserasi menyebabkan perdarahan. Bila ada robekan yang menimbulkan perdarahan aktif, segera lakukan penjahitan.
X. Melakukan prosedur pasca persalinan
42. Pastikan uterus berkontraksi dengan baik dan tidak terjadi perdarahan per vaginam.
43. Biarkan bayi tetap melakukan kontak kulit ke kulit di dada ibu paling sedikit 1 jam. a. Sebagian besar bayi akan berhasil melakukan inisiasi menyusu dini dalam
waktu 30-60 menit. Menyusu pertama biasanya berlangsung sekitar 10-15 menit. Bayi cukup menyusu dari satu payudara.
44. Setelah satu jam, lakukan penimbangan/pengukuran bayi, beri tetes mata antibiotik profilaksis dan vitamin K1 1 mg intramuskular di paha kiri
anterolateral.
45. Setelah satu jam pemberian vitamin K1 berikan suntikan imunisasi Hepatitis B di
paha kanan anterolateral.
a. Letakkan bayi di dalam jangkauan ibu agar sewaktu-waktu bisa disusukan. Letakkan kembali bayi pada dada ibu bila bayi belum berhasil menyusu di dalam satu jam pertama dan biarkan sampai bayi berhasil menyusu.
46. Lanjutkan pemantauan kontraksi & mencegah perdarahan pervaginam a. 2-3 kali dalam 15 menit pertama pasca persalinan
b. Setiap 15 menit pada 1 jam pertama pasca persalinan c. Setiap 20-30 menit pada jam kedua pasca persalinan
d. Jika uterus tidak berkontraksi dengan baik, maka lakukan asuhan yang sesuai untuk menangani antonia uteri.
47. Ajarkan ibu / keluarga cara melakukan masase uterus dan menilai kontraksi. 48. Evaluasi dan estimasi jumlah kehilangan darah.
49. Memeriksa nadi ibu & keadaan kandung kemih setiap 15 menit selama 1 jam pertama pasca persalinan dan setiap 30 menit selama jam kedua pasca persalinan. a. Memeriksa temperatur tubuh ibu setiap jam selama 2 jam pertama pasca
persalinan.
50. Periksa kembali bayi untuk pastikan bahwa bayi bernafas dengan baik (40-60 kali/menit) serta suhu tubuh normal (36,5 – 37,5 0C).
51. Tempatkan semua peralatan bekas pakai dalam larutan klorin 0,5% untuk dekontaminasi (10 menit). Cuci dan bilas peralatan setelah didekontaminasi. 52. Buang bahan-bahan yg terkontaminasi ke tempat sampah yang sesuai.
53. Bersihkan ibu dengan menggunakan air DTT. Bersihkan sisa cairan ketuban, lendir dan darah. Bantu ibu memakai pakaian yang bersih dan kering.
54. Pastikan ibu merasa nyaman. Bantu ibu memberikan ASI. Anjurkan keluarga untuk memberi ibu minuman dan makanan yang diinginkannya.
55. Dekontaminasi tempat bersalin dengan larutan klorin 0,5%.
56. Celupkan sarung tangan kotor ke dalam larutan klorin 0,5%, balikkan bagian dalam ke luar dan rendam dalam larutan klorin 0,5% selama 10 menit.
57. Cuci kedua tangan dengan sabun dan air mengalir.
58. Lengkapi partograf (halaman depan dan belakang), periksa tanda vital dan asuhan kala IV.
2.2 Persalinan
dengan perubahan serviks secara progresif dan diakhiri dengan kelahiran plasenta (Sulistyawati dan Nugraheny, 2010). Rohani, dkk. (2011), menyatakan bahwa persalinan adalah proses pengeluaran hasil konsepsi (janin dan uri) yang telah cukup bulan dan dapat hidup di luar kandungan melalui jalan lahir atau melalui jalan lain dengan batuan atau tanpa bantuan (kekuatan sendiri).
Persalinan dan kelahiran merupakan kejadian fisiologi yang normal dalam kehidupan. Kelahiran seorang bayi juga merupakan peristiwa sosial bagi ibu dan keluarga. Persalinan adalah proses membuka dan menipisnya serviks, dan janin turun ke dalam jalan lahir. Kelahiran adalah proses dimana janin dan ketuban didorong keluar atau melalui jalan lahir (Sumarah, dkk, 2009).
2.2.1 Kala Satu Persalinan
Menurut Rohani, dkk. (2011), inpartu ditandai dengan keluarnya lendir bercampur darah (bloody show) melalui vagina, penipisan dan pembukaan serviks dan kontraksi uterus yang mengakibatkan perubahan serviks (frekuensi minimal 2 kali dalam 10 menit).
JNPK-KR (2013), menyatakan bahwa kala satu persalinan dimulai sejak terjadinya kontraksi uterus yang teratur dan meningkat (frekuensi dan kekuatannya) hingga serviks membuka dengan lengkap (10 cm).
1. Fase-fase dalam persalinan kala satu
Menurut Rohani, dkk.(2011), persalinan kala satu dibagi dalam 2 fase:
a. Fase laten, pembukaan serviks berlangsung lambat dimulai sejak awal kontraksi yang menyebabkan penipisan dan pembukaan secara bertahap sampai pembukaan 3 cm, fase laten berlangsung dalam 7- 8 jam.
b. Fase aktif (pembukaan serviks 4-10 cm), berlangsung selama 6 jam dan di bagi dalam 3 subfase yaitu:
1) Periode akselerasi, dalam waktu 2 jam pembukaan 3 cm menjadi 4 cm 2) Periode dilatasi, yaitu dalam waktu 2 jam pembukaan sangat cepat dari
4 cm menjadi 9 cm.
3) Periode deselerasi yaitu pembukaan berlangsung lambat kembali, dalam 2 jam pembukaan 10 cm atau lengkap.
Pada fase aktif frekuensi dan lama kontraksi uterus akan meningkat secara bertahap (kontraksi dianggap adekuat/memadai jika tiga kali atau lebih dalam waktu 10 menit dan berlangsung selama 40 detik atau lebih). Dari pembukaan 4 cm hingga mencapai pembukaan lengkap atau 10 cm, akan terjadi dengan kecepatan rata-rata 1 cm perjam (primigravida) atau lebih dari 1 cm hingga 2 cm perjam (multipara). Pada fase aktif terjadi penurunan bagian terbawah janin. 2. Persiapan Asuhan Persalinan Kala I
Persalinan dan kelahiran bayi baik di rumah, di tempat bidan puskesmas,polindes atau rumah sakit. Pastikan ketersediaan bahan-bahan dan sarana yang memadai.
Hal-hal pokok yang diperlukan dalam persalinan dan kelahiran bayi yaitu: 1) Ruangan yang hangat dan bersih, memiliki sirkulasi udara yang baik dan
terlindung dari tiupan angin.
2) Sumber air bersih dan mengalir untuk cuci tangan.
3) Air desinfektan tingkat tinggi untuk membersihkan perineum, serta terdapat air bersih, klorin, deterjen, kain pembersih, kain pel dan sarung tangan karet untuk membersihkan ruangan.
4) Penerangan yang cukup, baik siang maupun malam hari. 5) Meja untuk meletakkan peralatan persalinan.
6) Meja untuk tindakan resusitasi bayi baru lahir. b. Memberikan asuhan sayang ibu
Persalinan adalah suatu yang menegangkan atau bahkan dapat menggugah emosi ibu dan keluarganya atau bahkan dapat terjadi saat yang menyakitkan dan menakutkan bagi ibu. Upaya untuk mengatasi gangguan emosional dan pengalaman yang menegangkan tersebut sebaiknya dilakukan melalui asuhan sayang ibu selama persalinan dan proses kelahiran bayi.
Prinsip-prinsip umum asuhan sayang ibu adalah:
2) Menganjurkan suami dan anggota keluarga untuk memberikan dukungan. 3) Waspadai gejala dan tanda penyakit selama proses persalinan dan lakukan
tindakan yang sesuai jika diperlukan. Asuhan sayang ibu selama persalinan termasuk: a) Memberikan dukungan emosional.
b) Membantu pengaturan posisi ibu. c) Memberikan cairan dan nutrisi.
d) Keleluasaan untuk menggunakan kamar mandi secara teratur. e) Pencegahan infeksi
2.2.2 Kala Dua Persalinan
Kala dua persalinan adalah kala pengeluaran bayi, yang dimulai dari pembukaan serviks sudah lengkap (10 cm) dan berakhir dengan lahirnya bayi (JNPK-KR, 2013). Kala dua persalinan dimulai dari pembukaan lengkap (10 cm) sampai bayi lahir. Proses ini biasanya berlangsung 2 jam pada primigravida dan 1 jam pada multigravida (Saifuddin, 2008).
1. Gejala dan tanda kala dua persalinan adalah :
a. Ibu merasa ingin meneran bersamaan dengan terjadinya kontraksi. b. Ibu merasakan adanya peningkatan tekanan pada rektum dan vagina. c. Perineum tampak menonjol.
d. Vulva vagina dan sfingter ani membuka.
2. Tanda pasti kala dua adalah:
a. Pembukaan serviks telah lengkap.
b. Terlihat bagian kepala bayi melalui introitus vagina. 3. Penatalaksanaan fisiologis kala dua
Proses fisiologis kala dua persalinan merupakan serangkaian peristiwa alamiah yang terjadi pada saat lahirnya bayi secara normal (dengan kekuatan ibu sendiri dan kepala sudah di dasar panggul). Setelah terjadi pembukaan lengkap apabila selaput ketuban belum pecah maka perlu dilakukan tindakan amniotomi pada persalinan. Pada penatalaksanaan fisiologis kala dua. ibu memegang kendali dan mengatur saat meneran. Penolong hanya memberikan bimbingan tentang cara meneran yang efektif dan benar. Ibu dilarang untuk meneran jika pembukaan belum lengkap (10 cm), belum muncul kontraksi uterus atau belum ada keinginan meneran.
4. Membimbing ibu untuk meneran
Jika ibu merasa ingin meneran, bantu ibu mengambil posisi yang nyaman. Bimbing ibu untuk meneran secara efektif dan benar dan mengikuti dorongan alamiah yang terjadi. Anjurkan keluarga untuk membantu dan mendukung usahanya. Pantau kondisi ibu dan bayi, beri cukup minum dan pantau denyut jantung janin setiap 15 menit. Pastikan ibu dapat beristirahat diantara kontraksi.
a. Jika ibu tetap ada dorongan untuk meneran setelah 60 menit pembukaan lengkap, anjurkan ibu untuk mulai meneran di setiap puncak kontraksi.
pantau denyut jantung janin setiap 5-10 menit. Lakukan stimulasi puting susu untuk memperkuat kontraksi.
b. Jika bayi tidak lahir setelah 60 menit pada multipara dan 120 menit pada primigravida, rujuk ibu segera.
5. Pencegahan robekan perineum
Robekan spontan pada vagina dan perineum dapat terjadi saat kepala baru dilahirkan. Kejadian robekan akan meningkat jika bayi dilahirkan terlalu cepat dan tidak terkendali. Bimbing ibu untuk meneran dan beristirahat atau bernafas dengan cepat pada waktu kepala baru dilahirkan.
Menurut JNPK-KR (2008), yang mengutip pendapat Enkin dan wooley, sebelumnya episiotomi dinjurkan secara rutin yang tujuannya adalah untuk mencegah robekan berlebihan pada perineum terutama pada ibu primigravida, membuat tepi luka rata sehingga mudah dilakukan penjahitan, mencegah penyulit atau tahanan pada kepala dan infeksi, tetapi hal tersebut tidak didukung oleh bukti-bukti ilmiah.
Hal ini tidak boleh diartikan bahwa episiotomi tidak diperbolehkan, tetapi karena indikasi tertentu maka harus dilakukan episiotomi pada saat kelahiran bayi bila didapatkan:
a. Gawat janin dan bayi akan segera dilahirkan dengan tindakan.
b. Penyulit kelahiran pervaginam (sungsang, distosia bahu, ekstraksi vakum). c. Jaringan parut pada perineum dan vagina yang memperlambat kemajuan
6. Melahirkan kepala
Saat kepala bayi membuka (5-6 cm), letakkan kain yang bersih dan kering yang dilipat 1/3 di bawah bokong ibu dan siapkan handuk bersih di atas perut ibu (untuk mengeringkan bayi segera setelah lahir). Lindungi perineum dengan satu tangan di bawah dengan kain bersih dan kering, ibu jari pada salah sisi perineum dan 4 jari tangan pada sisi yang lain, sedangkan tangan yang lain pada belakang kepala bayi.
Tekan belakang kepala bayi agar posisi kepala tetap fleksi pada saat keluar secara bertahap melewati introitus dan perineum. Setelah kepala bayi lahir, minta ibu untuk berhenti meneran dan bernafas cepat. Periksa leher bayi apakah terlilit oleh tali pusat. Jika ada lilitan di leher bayi cukup longgar maka lepaskan lilitan tersebut dengan melewati kepala bayi. Jika lilitan tali pusat sangat erat maka jepit tali pusat dengan klem pada 2 tempat dengan jarak 3 cm, kemudian dipotong.
7. Melahirkan bahu
a. Setelah memeriksa tali pusat, tunggu kontraksi berikut sehingga putaran paksi luar secara spontan.
b. Letakkan tangan pada sisi kiri dan kanan kepala bayi.
Minta ibu meneran sambil menekan kepala ke arah bawah dan lateral tubuh bayi hingga bahu depan melewati simfisis.
8. Melahirkan seluruh tubuh bayi
a. Saat bahu posterior lahir, geser tangan bawah (posterior) ke arah perineum dan sanggah bahu dan lengan atas bayi pada tangan tersebut.
b. Tangan (bawah posterior menopang samping leteral tubuh bayi saat lahir). c. Tangan atas (anterior) untuk menelurusi dan memegang bahu, siku dan lengan
bagian anterior.
d. Lanjutkan penelusuran dan memegang tubuh bayi ke bagian punggung, bokong dan kaki.
e. Letakkan bayi di atas kain atau handuk yang telah disiapkan pada perut ibu dan posisikan kepala bayi sedikit lebih rendah dari tubuhnya.
f. Lakukan penjepitan tali pusat dengan klem sekitar 3 cm dari pangkal pusat bayi, kemudian dorong isi tali pusat ke arah ibu (agar darah tidak terpancar pada saat dilakukan pemotongan). Lakukan penjepitan kedua jarak 2 cm dari tempat jepitan pertama. Satu tangan menjadi landasan tali pusat melindungi bayi, tangan yang lain memotong tali pusat.
2.2.3 Perawatan Bayi Baru Lahir 1. Penilaian
Segera setelah lahir, lakukan penilaian awal dengan menjawab 2 pertanyaan: a. Apakah bayi menangis dan bernafas tanpa kesulitan?
2. Pencegahan kehilangan panas
Mekanisme pengaturan temperatur tubuh pada bayi baru lahir, belum berfungsi sempurna, oleh karena itu segera dilakukan pencegahan kehilangan panas tubuh pada bayi baru lahir agar tidak mengalami hipotermi. Hipotermi mudah terjadi pada bayi yang tubuhnya dalam keadaan basah atau tidak segera dikeringkan dan diselimuti walaupun berada di dalam ruangan yang relatif hangat.
3. Mekanisme kehilangan panas
Bayi baru lahir dapat kehilangan panas tubuhnya dengan cara-cara berikut: a. Evaporasi adalah jalan utama bayi kehilangan panas. Kehilangan panas dapat
terjadi karena penguapan cairan ketuban pada permukaan tubuh oleh panas tubuh bayi sendiri karena setelah lahir, tubuh bayi tidak segera dikeringkan. b. Konveksi adalah kehilangan panas tubuh yang terjadi jika bayi ditempatkan di
dalam ruangan yang dingin akan cepat mengalami kehilangan panas.
c. Konduksi adalah kehilangan panas tubuh melalui kontak langsung antara tubuh bayi dengan permukaan yang dingin.
d. Radiasi adalah kehilangan panas yang terjadi karena bayi ditempatkan di dekat benda-benda yang mempunyai suhu tubuh lebih rendah dari suhu tubuh bayi. 4. Mencegah kehilangan panas
a. Keringkan bayi dengan seksama.
b. Selimuti bayi dengan selimut atau kain bersih dan hangat. c. Anjurkan ibu untuk memeluk dan menyusui bayi.
e. Tempatkan bayi di lingkungan yang hangat. 5. Pemberian ASI
Pemberian ASI adalah sedini mungkin dan ekslusif. Bayi baru lahir harus mendapat ASI dalam satu jam setelah lahir. Anjurkan ibu untuk memeluk bayinya dan mencoba segera menyusukan bayi.
6. Pencegahan infeksi pada mata
Tetes mata untuk pencegahan infeksi mata dapat diberikan setelah bayi menyusu.
Pencegahan infeksi tersebut menggunakan salep mata tetrasiklin 1%. Salep antibiotik tersebut harus diberikan dalam waktu satu jam setelah kelahiran. Upaya profilaksis infeksi mata tidak efektif jika diberikan lebih dari satu jam setelah kelahiran.
7. Profilaksis perdarahan bayi baru lahir (BBL)
Semua BBL harus diberikan vitamin K1 injeksi 1 mg intra muskuler di paha kiri sesegera mungkin. Tujuannya untuk mencegah perdarahan BBL akibat defisiensi vitamin K yang dapat dialami oleh sebagian bayi baru lahir.
2.2.4 Kala Tiga Persalinan
Persalinan kala tiga dimulai setelah lahirnya bayi dan berakhir dengan lahirnya plasenta dan selaput ketuban.
1. Fisiologi persalinan kala tiga
Penyusutan ukuran ini menyebabkan berkurangnya ukuran tempat perlekatan plasenta, karena tempat perlekatan menjadi semakin kecil, sedangkan ukuran plasenta tidak berubah maka plasenta akan berlipat, menebal dan kemudian lepas dari dinding uterus. Setelah lepas, plasenta akan turun ke bawah uterus atau ke dalam vagina. Menurut Prawihardjo (2008), kala III adalah kala Uri yaitu dimulai segera setelah bayi lahir sampai lahirnya plasenta, yang berlangsung tidak boleh lebih dari 30 menit. Lepasnya plasenta sudah dapat di perkirakan tanda–tanda di bawah ini:
a. Uterus menjadi bundar
b. Uterus terdorong ke atas karena plasenta dilepas ke segmen bawah rahim c. Tali pusat bertambah panjang
d. Terjadi perdarahan kira-kira 100-200 cc.
Tujuan manajemen kala tiga adalah untuk menghasilkan kontraksi uterus yang lebih efektif sehingga dapat mempersingkat waktu, mencegah perdarahan dan mengurangi kehilangan darah kala tiga persalinan jika dibandingkan dengan penatalaksanaan fisiologis.
Manajemen aktif kala tiga terdiri dari tiga langkah utama adalah:
a. Pemberian suntikan oksitosin dalam 1 menit pertama setelah bayi lahir. b. Melakukan penegangan tali pusat terkendali.
2. Atonia Uteri
Atonia uteri adalah kondisi miometrium tidak dapat berkontraksi dan bila ini terjadi maka darah yang keluar dari bekas melekat plasenta menjadi tidak terkendali. Atonia uteri merupakan penyebab terbanyak perdarahan postpartum dini sebesar 50%, dan merupakan alasan paling sering untuk dilakukan histerektomi peripartum. Kontraksi uterus merupakan mekanisme utama untuk mengontrol perdarahan setelah melahirkan (Maizar, 2011).
Menurut pendapat JNPK-KR (2013), dapat disimpulkan bahwa patofisiologi terjadinya atonia uteri yaitu pada kehamilan cukup bulan aliran darah ke uterus sebanyak 500-800 ml/menit. Jika uterus tidak berkontraksi atau kontraksi tidak terkoordinasi segera setelah plasenta keluar, maka miometrium tidak dapat menjepit anyaman pembuluh darah di tempat implantasi plasenta sehingga perdarahan tidak terkendali. Bila uterus tidak berkontraksi maka ibu bisa kehilangan darah 350-500 ml/menit.
Berdasarkan patofisiogis ini maka penerapan manajemen aktif kala tiga harus sesuai standar. Penerapan manajemen aktif kala tiga merupakan cara terbaik dan sangat penting untuk mengurangi kematian ibu (JNPK-KR, 2008).
2.2.5 Kala Empat Persalinan
dalam kamar bersalin dan tidak boleh dipindahkan ke ruang nifas agar dapat diawasi dengan baik.
1. Asuhan dan pemantauan pada kala empat a. Memperkirakan kehilangan darah
Sangat sulit untuk memperkirakan kehilangan darah ibu bersalin secara tepat. Penilaian kehilangan darah sukar dilakukan karena darah seringkali bercampur dengan cairan atau urin dan mungkin terserap handuk, kain atau sarung. Satu cara untuk menilai kehilangan darah adalah dengan melihat volume darah yang terkumpul dan memperkirakan berapa banyak botol 500 ml dapat menampung semua darah tersebut. Jika darah bisa mengisi dua botol, ibu telah kehilangan satu liter darah. Jika darah bisa mengisi setengah botol ibu kehilangan 250 ml darah. Cara tidak langsung untuk mengukur jumlah kehilangan darah melalui pemeriksaan tekanan darah (JNPK-KR, 2013).
b. Memeriksa perdarahan dari perineum
Penyebab perdarahan dari laserasi atau robekan perineum dan vagina. Klasifikasi laserasi berdasarkan luasnya robekan:
1) Derajat satu
Terjadi robekan pada mukosa, komisura posterior dan kulit perineum. 2) Derajat dua
3) Derajat tiga
Terjadi robekan pada mukosa vagina, komisura posterior, kulit perineum, otot perineum dan otot sfingter ani
4) Derajat empat
Terjadi robekan pada mukosa vagina, komisura posterior, kulit perineum, otot perineum dan otot sfingter ani dan dinding depan rectum.
Tujuan menjahit laserasi adalah menyatukan kembali jaringan tubuh dan mencegah kehilangan darah. Penjahitan laserasi tingkat 1 dan 2 pada perineum, jahitan pertama kurang lebih 1 cm dari ujung laserasi bagian atas dalam vagina dengan menggunakan jahitan jelujur hingga mencapai bagian bawah laserasi. Arahkan jarum ke atas dan teruskan penjahitan menggunakan jahitan jelujur untuk menutup lapisan subtikuler.
2.2.6 Pencegahan Infeksi
Menurut Hidayat dan Sujiyatini (2010), tujuan pencegahan infeksi adalah untuk melindungi ibu, bayi baru lahir, keluarga, penolong persalinan dan tenaga kesehatan lainnya, sehingga mengurangi infeksi karena bakteri, virus dan jamur.
Pencegahan infeksi juga bertujuan untuk menurunkan risiko penularan penyakit-penyakit berbahaya yang hingga kini belum ditemukan pengobatannya, seperti Hepatitis dan HIV/AIDS.
1. Prinsip-prinsip pencegahan infeksi
a. Setiap orang (ibu, bayi baru lahir, penolong persalinan) harus dianggap dapat menularkan penyakit karena infeksi dapat bersifat asimptomatik (tanpa gejala) b. Setiap orang dianggap beresiko terkena penyakit.
c. Permukaan benda yang akan dan telah bersentuhan dengan permukaan kulit yang tidak utuh, lecet selaput mukosa atau darah harus dianggap terkontaminasi, setelah digunakan harus diproses secara benar.
d. Jika ragu dengan peralatan atau benda lainnya yang telah diproses dengan baik maka semua itu harus dianggap terkontaminasi.
e. Risiko infeksi tidak bisa dihilangkan secara total, tapi dapat dikurangi hingga sekecil mungkin dengan menerapkan tindakan-tindakan pencegahan infeksi secara benar dan konsisten.
Tindakan-tindakan pencegahan infeksi termasuk hal-hal berikut: a. Cuci tangan
Cuci tangan adalah prosedur paling penting dari pencegahan penyebaran infeksi yang menyebabkan kesakitan dan kematian ibu dan bayi baru lahir. Mikroorganisme tumbuh dan berkembang di lingkungan yang lembab dan air tidak mengalir, maka perlu pedoman pada saat mencuci tangan yaitu:
1) Bila menggunakan sabun padat, gunakan potongan-potongan kecil dan tempatkan dalam wadah berlubang agar air tidak menggenangi sabun.
3) Bila tidak tersedia air mengalir:
a) Gunakan ember tertutup dengan keran yang bisa ditutup pada saat mencuci tangan dan dibuka kembali jika akan membilas.
b) Gunakan botol yang sudah diberi lubang agar air bisa mengalir. c) Minta orang lain menyiram ke tangan.
d) Gunakan larutan pencuci tangan yang mengandung alcohol 100 ml 60-90% dengan 2 ml gliserin.
b. Memakai sarung tangan
Pakai sarung tangan sebelum menyentuh sesuatu yang basah (kulit tak utuh, selaput mukosa darah, cairan tubuh lainnya), peralatan atau sampah terkontaminasi.
c. Menggunakan teknik aseptik
Tehnik aseptik membuat prosedur menjadi lebih aman bagi ibu, bayi baru lahir dan penolong persalinan. Teknik aseptik meliputi aspek:
1) Memakai perlengkapan pelindung diri.
Perlengkapan pelindung pribadi seperti kaca mata pelindung, masker wajah, sepatu boot atau sepatu tertutup dan celemek plastik, untuk mencegah petugas terpapar mikroorganisme penyebab infeksi dengan cara menghalangi dari percikan cairan tubuh, darah atau cidera.
2) Antisepsis.
kulit. Larutan antiseptik berikut bisa diterima adalah: alkohol 60-90% : etil isopropyl atau metel spiritus, savlon, hibiserub, dettol, iodine 1-3% dan betadine. 3) Menjaga tingkat sterilisasi atau disinfeksi tingkat tinggi.
Disinfeksi adalah tindakan untuk mendekontaminasi peralatan atau instrument yang digunakan dalam prosedur bedah. Larutan disinfektan berikut bisa diterima adalah: klorin pemutih 0,5% untuk dekontaminasi permukaan dan peralatan, klorin pemutih 0,1% untuk DTT kimiawi dan gluturaldehida 2% untuk dekontaminasi dan DTT.
d. Memproses alat bekas pakai
Tehnik memproses peralatan dan benda-benda lain bekas pakai yang direkomendasikan dalam upaya pencegahan infeksi terdiri dari tiga tahapan yaitu: 1) Dekontaminasi.
Dekontaminasi adalah langkah penting untuk menangani peralatan perlengkapan, sarung tangan dan benda-benda lain yang terkontaminasi. Setelah digunakan segera masukkan ke dalam larutan klorin 0,5% selama 10 menit. Prosedur ini dengan cepat mematikan virus Hepatitis B dan HIV. Daya kerja larutan klorin, cepat mengalami penurunan sehingga harus diganti paling sedikit setiap 24 jam, atau lebih cepat jika terlihat kotor dan keruh.
2) Cuci dan bilas.
tanpa proses pencucian sebelumnya. Setelah dekontaminasi segera bilas peralatan dengan air untuk mencegah korosi dan menghilangkan bahan-bahan organik, lalu cuci dengan seksama sedapat mungkin.
3) Disinfeksi tingkat tinggi
Disinfeksi Tingkat Tinggi (DTT) adalah satu-satunya alternatif untuk membunuh mikroorganisme. DTT dapat dilakukan dengan cara merebus, mengukus dan kimiawi.
Perebusan dalam air merupakan cara yang efektif dan praktis untuk dapat DTT alat-alat dan semua alat-alat yang lainnya. Walaupun perebusan dalam air selama 20 menit akan membunuh semua bakteri vegatatif, virus, ragi dan jamur, namun tidak termasuk endospora.
Metode DTT efektif membunuh mikroorganisme 94% (tidak membunuh beberapa endospora). DTT kateter dilakukan secara kimiawi dengan merendam dalam klorin 0,1% selama 20 menit dan membilas kateter dengan air DTT. Kateter dikeringkan dengan cara diangin-anginkan. Setelah dikeringkan maka segera digunakan atau disimpan dalam wadah DTT.
2.2.7 Partograf
Mengkaji ulang catatan memungkinkan untuk menganalisa data yang telah dikumpulkan sehingga lebih efektif dalam merumuskan suatu diagnosis dan membuat rencana asuhan atau perawatan bagi ibu atau bayinya.
Menurut Meiliani (2008), Partograf adalah bagian terpenting dari proses pencatatan selama persalinan. Partograf adalah alat bantu untuk memantau kemajuan kala satu persalinan dan informasi untuk membuat keputusan klinik.
Kegunaan Partograf adalah:
1. Mencatat hasil observasi dan kemajuan persalinan dengan memeriksa pembukaan serviks berdasarkan pemeriksaan dalam.
2. Mendeteksi apakah proses persalinan berjalan secara normal, dengan demikian dapat mendeteksi secara dini kemungkinan terjadinya partus lama.
Kondisi ibu dan bayi harus dinilai dan dicatat yaitu: 1. Denyut jantung janin setiap ½ jam.
2. Frekuensi dan lama kontraksi uterus setiap ½ jam. 3. Nadi setiap ½ jam.
4. Pembukaan serviks setiap 4 jam.
5. Penurunan bagian terbawah janin setiap 4 jam. 6. Tekanan darah dan temperatur tubuh setiap 4 jam. 7. Urine, aseton dan protein setiap 2 - 4 jam.
Pencatatan pada partograf merupakan bagian terpenting dari proses pengambilan keputusan klinik persalinan kala I.
a. Kemajuan persalinan 1) Pembukaan serviks
2) Turunnya bagian terendah dan kepala janin 3) Kontraksi uterus
b. Kondisi janin
1) Denyut jantung janin
2) Warna dan volume air ketuban 3) Moulase kepala janin
c. Kondisi ibu
a) Tekanan darah, nadi dan suhu badan b) Volume urine
c) Obat dan cairan
2. Cara mencatat temuan pada partograf
Observasi dimulai sejak ibu datang, apabila ibu datang masih dalam fase laten, maka hasil observasi ditulis dilembar observasi bukan pada partograf. Partograf dipakai setelah ibu masuk fase aktif yang meliputi :
a. Identifikasi ibu
b. kondisi janin
Kolom lajur dan skala angka pada partograf bagian atas adalah untuk pencatatan.
1) Denyut jantung janin
DJJ dinilai setiap 30 menit ( lebih sering jika ada tanda-tanda gawat janin). Kisaran normal DJJ terpapar pada partograf diantara garis tebal angka 180 dan 100, nilai normal sekitar 120 s/d 160. Apabila ditemukan DJJ dibawah 120 atau diatas 160, maka penolong harus waspada..
2) Warna air ketuban
Warna air ketuban dinilai setiap kali melakukan periksa dalam dan jika selaput ketuban pecah. Semua temuan dicatat dalam kotak bawah lajur DJJ. Gunakan lambang-lambang berikut ini:
U : Selaput ketuban masih utuh (belum pecah)
J : Selaput ketuban sudah pecah dan air ketuban jernih
M : Selaput ketuban sudah pecah dan air bercampur mekonium D : Selaput ketuban sudah pecah dan air ketuban bercampur darah K : Selaput ketuban sudah pecah tapi air ketuban kering.
b) Penyusupan (molase) tulang kepala janin
0 : Tulang-tulang kepala janin terpisah, sutura dengan mudah dapat dipalpasi.
1 : Tulang-tulang kepala janin hanya saling bersentuhan.
2 : Tulang-tulang kepala janin saling tumpang tindih, masih dapat dipisahkan. 3 : Tulang-tulang kepala janin saling tumpang tindih dan tidak dapat
dipisahkan. c. Kemajuan Persalinan
a) Dilatasi serviks
Pada kolom dan lajur kedua dari partograf adalah untuk percatatan kemajuan persalinan. Angka 0-10 yang tertera pada tepi kolom kiri adalah besarnya dilatasi serviks. Kotak diatasnya menunjukkan penambahan dilatasi sebesar 1 cm. Pada saat pertama kali menulis pembesaran dilatasi serviks harus ditulis tepat pada garis waspada.
Cara pencatatan dengan memberi tanda silang (x) pada garis waspada sesuai hasil periksa dalam. Hasil pemeriksaan dihubungkan dengan garis lurus dengan hasil sebelumnya. Apabila dilatasi serviks melewati garis waspada, perlu diperhatikan apa penyebabnya dan penolong harus menyiapkan ibu untuk dirujuk.
b) Penurunan bagian terendah janin
turunnya kepala, juga untuk menunjukkan seberapa jauh penurunan kepala janin ke dalam panggul yang diberi tanda “O” dengan penilaian mulai 5/5 s/d 0/5. Hubungkan tanda ”O” dari setiap pemeriksaan dengan garis tidak terputus. Bagian bawah lajur kotak dilatasi serviks dan penurunan kepala menunjukkan waktu/jam dimulainya fase aktif. Tertera kotak-kotak untuk mencatat waktu aktual saat pemeriksaan fase aktif dimulai, setiap kotak menunjukkan 30 menit.
c) Kontraksi uterus/his
Bagian bawah lajur waktu pada partograf terdapat lima kotak dengan tulisan “kontraksi” tiap 10 menit di sebelah luar kolom. Setiap kotak untuk satu kali kontraksi. Jumlah kotak yang di isi ke arah atas menunjukkan frekuensi kontraksi dalam 10 menit. Setiap 30 menit, periksa dan dokumentasikan frekuensi kontraksi yang datang dalam 10 menit dan lamanya kontraksi dalam satuan detik.
Nyatakan lamanya kontraksi dengan:
Beri titik-titik di kotak yang sesuai untuk kontraksi yang lamanya kurang dari 20 detik.
Beri garis-garis di kotak yang sesuai untuk kontraksi yang lamanya 20-40 detik.
Isi penuh kotak yang sesuai untuk kontraksi yang lamanya lebih dari 40 detik.
d. Kondisi Ibu
Bagian terbawah lajur dan kolom pada halaman depan partograf terdapat kotak untuk mencatat kondisi dan kenyamanan ibu selama persalinan.
1) Nadi, tekanan darah dan suhu tubuh ibu
a) Nadi ibu dinilai dan dicatat setiap 30 menit selama fase persalinan, dengan memberi tanda titik (.) pada kolom waktu yang sesuai.
b) Temperatur tubuh ibu dinilai dan dicatat pada kolom waktu yang sesuai. 2) Volume urine, protein dan aseton
2.2.8 Rujukan
Menurut JNPK-KR (2013), bahwa rujukan dalam kondisi optimal dan tepat waktu ke fasilitas rujukan atau fasilitas yang memiliki sarana lebih lengkap, diharapkan mampu menyelamatkan jiwa ibu dan bayi baru lahir. Meskipun sebagian besar ibu akan mengalami persalinan normal. Sekitar 10-15% ibu bersalin diantaranya akan mengalami masalah selama proses persalinan dan kelahiran bayi sehingga perlu dirujuk ke fasilitas kesehatan rujukan. Kesiapan untuk merujuk ibu dan atau bayi ke fasilitas kesehatan rujukan secara optimal dan tepat waktu (jika penyulit terjadi) menjadi syarat bagi upaya penyelamatan. Setiap penolong persalinan harus mengetahui lokasi fasilitas rujukan yang mampu menangani kasus kegawatdaruratan obstetrik dan bayi baru lahir.
2.3 Bidan
Pengertian bidan menurut ICM yang ke 27 pada bulan Juli tahun 2005, telah mendapat pengakuan dari WHO dan FIGO (Federation of International Gynecologist Obstetrition) bahwa bidan adalah seseorang yang telah mengikuti program
pendidikan bidan yang diakui di negaranya, telah lulus dari pendidikan tersebut, serta memenuhi kualifikasi untuk di daftar (register) dan atau memiliki izin yang sah (lisensi) untuk melakukan praktek bidan (Wahyuningsih, 2009).
Menurut Kepmenkes, no 369/2007 tentang Standar Profesi Bidan, pengertian bidan adalah seorang perempuan yang lulus dari pendidikan bidan yang diakui pemerintah dan organisasi profesi di wilayah negara RI serta memiliki kompetensi kualifikasi untuk registrasi, sertifikasi atau secara syah mendapat lisensi untuk menjalankan praktik kebidanan (IBI dan AIPKIND, 2011).
Bidan bisa berpraktek di rumah sakit, klnik unit kesehatan, rumah perawat atau tempat pelayanan lain. Demikian luas dan dalamnya profesi bidan, maka dapat dikatakan bidan Indonesia adalah seorang wanita yang telah mengikuti dan menyelesaikan pendidikan bidan yang telah diakui oleh pemerintah dan lulus ujian dengan persyaratan yang berlaku. Jika melakukan praktek yang bersangkutan harus memiliki kualifikasi agar mendapat lisensi untuk praktek (IBI, 2003).
Menurut Wahyuningsih (2009), IBI menetapkan bahwa bidan Indonesia adalah seorang perempuan yang lulus dari pendidikan bidan yang diakui pemerintah dan oraganisasi profesi di wilayah Negara Republik Indonesia serta memiliki kompetensi dan kualifikasi untuk diregister, sertifikasi dan atau secara sah mendapat lisensi untuk menjalankan praktek kebidanan.
Bidan diakui sebagai tenaga profesional yang bertanggung jawab dan akuntabel. Bidan bekerja sebagai mitra perempuan untuk memberikan dukungan, asuhan dan nasehat selama masa hamil, masa persalinan dan masa nifas. Bidan memimpin persalinan atas tanggung jawab sendiri dan memberikan asuhan pada bayi mulai baru lahir. Asuhan yang diberikan mencakup upaya pencegahan, promosi persalinan normal, deteksi komplikasi pada ibu dan anak, akses bantuan medis atau bantuan lain yang sesuai, serta melaksanakan tindakan kegawatdaruratan (Wahyuningsih, 2009).
2.4 Perilaku
Adopsi adalah suatu tindakan yang sudah berkembang dengan baik, artinya tindakan itu sudah dimodifikasi tanpa mengurangi kebenaran tindakan tersebut. Misalnya, bidan berusaha melakukan stimulasi puting susu terlebih dahulu jika pada kala satu, kala dua atau kala tiga ibu kehilangan kontraksi uterus sesuai standar APN.
Pengukuran perilaku dapat dilakukan secara tidak langsung yakni dengan wawancara terhadap kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan beberapa jam, hari atau bulan yang lalu (recall). Pengukuran dapat juga dilakukan secara langsung, yaitu dengan mengobservasi tindakan atau kegiatan responden.
Perubahan atau adopsi perilaku baru adalah suatu proses yang kompleks dan memerlukan waktu yang relatif lama. Secara teori perubahan perilaku seseorang menerima atau mengadopsi perilaku baru dalam kehidupannya melalui tiga tahap: 1. Perubahan Pengetahuan
Sebelum seseorang mengadopsi perilaku (berperilaku baru), ia harus tahu terlebih dahulu apa arti atau manfaat perilaku tersebut bagi dirinya atau keluarganya. Bidan akan melakukan masase pada uterus dan penilaian kontraksi uterus kala empat dengan teliti, jika bidan tahu apa tujuannya/dampak negatif jika tidak dilakukan. Dari pengalaman dan penelitian terbukti bahwa perihal yang didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng dari pada perilaku yang tidak didasari pengetahuan.
2. Perubahan Sikap
stimulus atau objek, proses selanjutnya akan menilai atau bersikap terhadap stimulus atau objek kesehatan tersebut. Oleh sebab itu indikator sikap kesehatan sejalan dengan pengetahuan kesehatan.
3. Praktik atau Tindakan (Practice)
Setelah seseorang mengetahui stimulus atau objek kesehatan, kemudian mengadakan penilaian atau pendapat terhadap apa yang diketahui, proses selanjutnya diharapkan ia akan melaksanakan atau mempraktikkan apa yang diketahui atau disikapinya (dinilai baik) (Notoatmdjo, 2012).
Menurut Notoatmodjo (2010), yang mengutip pendapat Lawrence Green (1980), perilaku dipengaruhi oleh 3 (tiga) faktor utama yaitu:
1. Faktor Predisposisi (Predisposing Factor)
Faktor ini mencakup pengetahuan dan sikap masyarakat terhadap kesehatan, motivasi dalam bekerja, tradisi dan kepercayaan masyarakat terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kesehatan, sistem nilai yang dianut masyarakat, tingkat pendidikan, tingkat sosial ekonomi dan sebagainya. Dalam hal ini misalnya perilaku bidan dalam melaksanakan asuhan persalinan normal, diperlukan pengetahuan, kesadaran dan motivasi bidan tentang tujuan asuhan persalinan normal sehingga perilaku bidan dalam asuhan persalinan normal menjadi lebih baik.
2. Faktor Pemungkin (Enabling Factor)
infeksi, alat partus, alat penanganan asfiksia, tabung O2, infuse set dan lain-lain). Bidan yang menolong persalinan sesuai standar asuhan persalinan normal tidak hanya karena tahu dan sadar tentang asuhan persalinan normal tapi juga memiliki fasilitas sarana dan prasarana.
3. Faktor Penguat (Reinforcing Factor)
Faktor ini meliputi faktor sikap dan perilaku tokoh masyarakat (toma). Tokoh agama (toga), sikap dan perilaku para petugas termasuk petugas kesehatan. Termasuk juga disini undang-undang, peraturan,-peraturan, baik dari pusat maupun pemerintah daerah, yang terkait dengan kesehatan. Untuk berperilaku sehat masyarakat kadang-kadang bukan hanya perlu pengetahuan dan sikap positif serta dukungan fasilitas saja tetapi melainkan perilaku contoh (acuan) (Notoatmodjo, 2012).
Hasil penelitian Otto dkk (2012), dengan judul hubungan pelatihan APN dengan pengetahuan dan keterampilan bidan desa dalam pertolongan persalinan di Gorontalo. Hasil analisis menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara pelatihan APN dengan keterampilan bidan dengan nilai p sebesar 0,000 (p < 0,05), hal ini berarti bahwa pelatihan APN mampu meningkatkan keterampilan bidan dalam APN.
2.5 Pengetahuan (Knowledge)
pengetahuan tersebut sangat dipengaruhi oleh intensitas perhatian dan persepsi terhadap objek.
Sebagian besar pengetahuan seseorang diperoleh melalui mata dan telinga. Pengetahuan merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang (overt behavior) (Notoadmojo, 2010).
Menurut Notoatmodjo (2010), pengetahuan yang tercakup dalam domain kognitif mempunyai enam tingkatan yaitu:
1. Tahu (Know)
Tahu artinya mengingat materi yang telah diajarkan sebelumnya, yang termasuk dalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali (recall) sesuatu yang spesifik dan seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima. Tahu merupakan tingkatan yang paling rendah. Kata kerja untuk mengukur bahwa orang tahu tentang apa yang dipelajari adalah dapat menyebutkan, menguraikan, mendefinisikan, menyatakan dan sebagainya. Contoh: dapat menyebutkan tanda-tanda inpartu atau tanda-tanda-tanda-tanda persalinan kala dua.
2. Memahami (Comprehension)
3. Aplikasi (Aplication)
Aplikasi artinya kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi yang sebenarnya atau penggunaan hukum, rumus, metode dan prinsip. Dapat juga dengan menggunakan prinsip-prinsip siklus pemecahan masalah (problem solving cycle) di dalam pemecahan masalah kesehatan dari kasus yang diberikan.
.Misalnya mampu menjelaskan penerapan penanganan kasus atonia uteri atau penanganan kasus penerapan manajemen aktif kala III.
4. Analisis (Analysis)
Analisis adalah suatu kemampuan menjabarkan materi atau suatu objek ke dalam komponen-komponen, tetapi masih di dalam satu stuktur organisasi, dan masih ada kaitannya satu sama lain. Kemampuan ini dapat dilihat dari penggunaan kata kerja, seperti dapat menggambarkan (membuat bagan), membedakan, memisahkan, mengelompokkan dan sebagainya.
5. Sintesa (Synthesis)
Sintesis merupakan suatu kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian didalam suatu bentuk keseluruhan yang baru atau suatu kemampuan menyusun formulasi baru. Misalnya dapat menyusun, dapat merencanakan, dapat meringkaskan dan dapat menyesuaikan terhadap suatu teori atau rumusan-rumusan yang telah ada.
6. Evaluasi (Evaluation)
atau kriteria yang telah ada. Misalnya dapat menilai kondisi janin normal atau gawat janin.
Menurut Notoatmodjo (2010), faktor-faktor yang mempengaruhi pengetahuan adalah 1. Umur
Bertambahnya umur seseorang dapat berpengaruh pada pertambahan pengetahuan yang diperolehnya, akan tetapi pada umur–umur tertentu atau menjelang usia lanjut kemampuan penerimaan atau mengingat suatu pengetahuan akan berkurang. Menurut Harlock (2002), umur dibagi 3 kelompok yaitu usia dewasa muda (20-30 tahun), dewasa tengah (31 – 45 tahun) dan usia dewasa tua (46 – 60 tahun).
2. Intelegensi
Intelegensi diartikan sebagai suatu kemampuan untuk belajar dan berfikir abstrak guna menyesuaikan diri secara mental dalam situasi baru. Intelegensi merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi hasil dari proses belajar dan merupakan salah satu modal untuk berfikir dan mengolah berbagai informasi secara terarah sehingga ia mampu menguasai lingkungan.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa intelegensi dari seseorang akan berpengaruh pula terhadap tingkat pengetahuan.
3. Pendidikan
masyarakat mau melakukan tindakan-tindakan (praktik) untuk memelihara (mengatasi masalah-masalah) dan meningkatkan kesehatannya.
Perubahan atau tindakan kesehatan yang dihasilkan oleh pendidikan kesehatan didasarkan pada pengetahuan dan kesadaran melalui proses pembelajaran sehingga perilaku akan bertahan lama (long lasting) dan menetap karena didasari oleh kesadaran. Pendidikan berarti bimbingan yang diberikan seseorang terhadap perkembangan orang lain menuju ke arah cita-cita tertentu.
4. Informasi
Informasi akan memberikan pengaruh pada pengetahuan seseorang. Meskipun seseorang memiliki pendidikan yang rendah tetapi jika ia memperoleh informasi yang baik dari berbagai media misalnya TV, radio atau surat kabar maka hal itu akan dapat meningkatkan pengetahuan seseorang.
5. Sosial budaya
Sosial budaya mempunyai pengaruh pada pengetahuan seseorang. Seseorang memperoleh suatu kebudayaan dalam berhubungan dengan orang lain, karena hubungan ini seseorang mengalami suatu proses belajar dan memperoleh suatu pengetahuan.
6 Pengalaman
kembali pengalaman yang diperoleh dalam memecahkan permasalahan yang dihadapi pada masa lalu.
7. Lingkungan
Lingkungan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi pengetahuan seseorang. Lingkungan memberikan pengaruh pertama bagi seseorang dimana seseorang dapat mempelajari hal-hal yang buruk tergantung pada sifat kelompoknya. Dalam lingkungan seseorang akan memperoleh pengalaman yang akan berpengaruh pada cara berfikir seseorang (Hendra, 2008).
Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau angket yang menanyakan tentang isi materi yang akan diukur dari subjek penelitian atau responden. Kedalaman pengetahuan yang ingin kita ketahui atau kita ukur dapat kita sesuaikan dengan tingkatan pengetahuan yang telah ditentukan (Notoadmojo, 2007).
Hasil penelitian Nawangsari dkk tahun 2009, tentang hubungan penguasaan kompetensi asuhan persalinan normal (APN) dengan pengetahuan dan sikap bidan dalam pelaksanaan pertolongan persalinan normal di Kabupaten Jombang, Jawa Timur. Hasil analisis hubungan penguasaan kompetensi bidan dalam APN dengan pengetahuan memiliki korelasi positif yang sangat bermakna yaitu (p < 0,005).
2.6 Sikap (Attitude)
secara nyata menunjukkan konotasi adanya kesesuaian reaksi terhadap stimulus tertentu yang dalam kehidupan sehari-hari merupakan reaksi yang bersifat emosional terhadap stimulus sosial (Notoatmodjo, 2012).
Menurut Notoatmodjo (2012), mengutip pendapat Newcomb, seorang ahli psikologis sosial, bahwa sikap merupakan kesiapan atau kesediaan untuk bertindak dan bukan merupakan pelaksanaan motif tertentu. Sikap belum merupakan suatu tindakan atau aktivitas, akan tetapi predisposisi tindakan suatu prilaku. Sikap masih merupakan reaksi tertutup, bukan merupakan reaksi terbuka. Sikap merupakan kesiapan untuk bereaksi terhadap objek di lingkungan tertentu sebagai suatu penghayatan terhadap objek.
Menurut Notoatmodjo (2010), sikap terdiri dari 4 (empat) tingkatan yaitu: 1. Menerima (Receiving)
Menerima artinya orang mau dan memperhatikan stimulus yang diberikan. Misalnya sikap orang terhadap asuhan persalinan normal (APN) dapat dilihat dari kesediaan dan perhatian orang itu terhadap materi-materi yang berkaitan tentang APN.
2. Merespon (Responding)
3. Menghargai (Valuing)
Mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan suatu masalah adalah suatu indikasi sikap tingkat tiga. Misalnya seorang bidan yang mengajak bidan yang lain, untuk mengadakan pertemuan tentang kasus persalinan yang ditemukan di lahan praktek dan mendiskusikan tentang tindakan penanganan sesuai APN. Hal ini menunjukkan suatu bukti bahwa bidan tersebut telah memiliki sikap positif terhadap APN.
4. Bertanggung jawab (Responsible)
Bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan segala risiko merupakan sikap yang paling tinggi. Misalnya bidan berusaha menguasai APN dan menerapkan pada ibu bersalin yang kadangkala tidak mau dilakukan tindakan tsb.
Menurut Azwar tahun 2009, faktor-faktor yang mempengaruhi sikap adalah 1. Pengalaman Pribadi
Untuk dapat menjadi dasar pembentukan sikap, pengalaman pribadi haruslah meninggalkan kesan yang kuat. Karena itu sikap akan lebih mudah terbentuk apabila pengalaman pribadi terjadi dalam situasi yang melibatkan faktor emosional.
2. Pengaruh Orang Lain yang Dianggap Penting
3. Pengaruh Kebudayaan
Tanpa disadari kebudayaan telah menanamkan garis pengaruh sikap kita. Kebudayaan telah mewarnai sikap anggota masyarakatnya karena kebudayaanlah yang memberi corak pengalaman individu- individu masyrakat asuhannya.
4. Media Massa
Dalam pemberitaan surat kabar maupun radio atau media komunikasi lainnya, berita yang seharusnya faktual disampaikan secara objektif cenderung dipangaruhi oleh sikap penulisnya, akibatnya berpengaruh terhadap sikap konsumennya.
5. Lembaga Pendidikan dan Lembaga Agama
Konsep moral dan ajaran dari lembaga pendidikan dan lembaga agama sangat menentukan sistem kepercayaan, yang pada akhirnya konsep tersebut mempengaruhi sikap.
6. Faktor Emosional
Kadang kala bentuk sikap merupakan pernyataan yang didasari emosi yang berfungsi sebagai penyaluran frustasi atau mekanisme pertahanan ego.
Hasil penelitian Nawangsari dkk tahun 2009, tentang hubungan penguasaan kompetensi asuhan persalinan normal (APN) dengan pengetahuan dan sikap bidan dalam pelaksanaan pertolongan persalinan normal di Kabupaten Jombang, Jawa Timur. Hasil analisis hubungan penguasaan kompetensi bidan pasca APN dengan sikap bidan memiliki korelasi positif yang sangat bermakna yaitu (p value <0,01).
2.7 Motivasi
Menurut Fahmi (2013), Motivasi adalah aktivitas perilaku yang bekerja dalam usaha memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang diinginkan. Santoso (2003), menyatakan bahwa motivasi adalah suatu set atau kumpulan perilaku yang memberikan landasan bagi seseorang untuk bertindak dalam suatu cara yang diarahkan kepada tujuan spesifik tertentu.
Menurut Gibson (1996), secara umum teori motivasi mengacu pada 2 (dua) kategori :
1. Teori kepuasan (Content theory), yang memusatkan perhatian kepada faktor dalam diri orang yang menguatkan (energize), mengarahkan (direct), mendukung (sustain) dan menghentikan (stop) perilaku petugas.
2. Teori proses (Process theory) menguraikan dan menganalisa bagaimana perilaku itu dikuatkan, diarahkan, didukung dan dihentikan.
Gibson (1996), mengelompokkan teori motivasi sebagai berikut : 1. Teori kepuasan terdiri dari :
b. Teori dua faktor dari Frederick Herzberg
c. Teori ERG (Existence, Relatednes, Growth) dari Alderfer d. Teori prestasi dari McClelland
2. Teori Proses terdiri dari : a. Teori harapan
b. Teori pembentukan perilaku c. Teori keadilan
Penjelasan teori-teori tentang motivasi yang dikemukakan di atas sebagai berikut :
a. Teori Hirarki Kebutuhan dari Abraham Maslow
Hal yang tidak dapat dipungkiri bahwa mayoritas manusia bekerja adalah disebabkan adanya kebutuhan yang relatif tidak terpenuhi yang disebabkan adanya faktor keterbatasan manusia itu sendiri, untuk memenuhi kebutuhannya itu manusia bekerja sama dengan orang lain dengan memasuki suatu organisasi. Hal ini yang menjadi dasar bagi Maslow dengan mengemukakan teori hirarki kebutuhan sebagai salah satu sebab timbulnya motivasi pegawai. Maslow mengemukan bahwa manusia termotivasi untuk memenuhi kebutuhan yang ada di dalam hidupnya, diantaranya : 1) Kebutuhan fisiologi yaitu, pakaian, perumahan, makanan, seks (disebut
kebutuhan paling dasar).
3) Kebutuhan sosial, kasih sayang, rasa memiliki, diterima dengan baik, persahabatan.
4) Kebutuhan penghargaan, status, titel, simbol-simbol, promosi.
5) Kebutuhan aktualisasi diri, menggunakan kemampuan, skill, dan potensi.
Pada dasarnya manusia tidak pernah puas pada tingkat kebutuhan manapun, tetapi untuk memunculkan kebutuhan yang lebih tinggi perlu memenuhi tingkat kebutuhan yang lebih rendah terlebih dahulu.
Dalam usaha untuk memenuhi segala kebutuhannya tersebut seseorang akan berperilaku yang dipengaruhi atau ditentukan oleh pemenuhan kebutuhannya (Mangkunegara, 2002).
b. Teori dua Faktor dari Herzberg
Teori dua faktor dikembangkan oleh Frederick Herzberg yang merupakan pengembangan dari teori hirarki kebutuhan menurut Maslow. Teori Herzberg memberikan dua kontribusi penting bagi pimpinan organisasi dalam memotivasi karyawan. Pertama, teori ini lebih eksplisit dari teori hirarki kebutuhan Maslow, khususnya mengenai hubungan antara kebutuhan dalam performa pekerjaan. Kedua, kerangka ini membangkitkan model aplikasi, pemerkayaan pekerjaan (Leidecker dan Hall dalam Timpe, 2002).
1) Tanggung Jawab (Responsibility)
Setiap orang ingin diikutsertakan dan ngin diakui sebagai orang yang berpotensi, dan pengakuan ini akan menimbulkan rasa percaya diri dan siap memikul tanggung jawab yang lebih besar.
2) Prestasi yang Diraih (Achievement)
Setiap orang menginginkan keberhasilan dalam setiap kegiatan. Pencapaian prestasi dalam melakukan suatu pekerjaan akan menggerakkan yang bersangkutan untuk melakukan tugas-tugas berikutnya.
3) Pengakuan Orang Lain (Recognition)
Pengakuan terhadap prestasi merupakan alat motivasi yang cukup ampuh, bahkan bisa melebihi kepuasan yang bersumber dari kompensasi.
4) Pekerjaan itu Sendiri (The Work it Self)
Pekerjaan itu sendiri merupakan faktor motivasi bagi pegawai untuk berforma tinggi. Pekerjaan atau tugas yang memberikan perasaan telah mencapai sesuatu, tugas itu cukup menarik, tugas yang memberikan tantangan bagi pegawai, merupakan faktor motivasi, karena keberadaannya sangat menentukan bagi motivasi untuk berforma tinggi.
5) Kemungkinan Pengembangan (The Possibility of Growth)
dan berkembang sesuai dengan rencana karirnya yang akan mendorongnya lebih giat dalam bekerja.
6) Kemajuan (Advancement)
Peluang untuk maju merupakan pengembangan potensi diri seorang pagawai dalam melakukan pekerjaan, karena setiap pegawai menginginkan adanya promosi ke jenjang yang lebih tinggi, mendapatkan peluang untuk meningkatkan pengalaman dalam bekerja. Peluang bagi pengembangan potensi diri akan menjadi motivasi yang kuat bagi pegawai untuk bekerja lebih baik.
Sedangkan yang berhubungan dengan faktor ketidakpuasan dalam bekerja menurut Herzberg dalam Luthans (2003), dihubungkan oleh faktor ekstrinsik antara lain :
1). Gaji
Tidak ada satu organisasipun yang dapat memberikan kekuatan baru kepada tenaga kerjanya atau meningkatkan produktivitas, jika tidak memiliki sistem kompensasi yang realistis dan gaji bila digunakan dengan benar akan memotivasi pegawai.
2). Keamanan dan Keselamatan Kerja
Kebutuhan akan keamanan dapat diperoleh melalui kelangsungan kerja. 3). Kondisi Kerja
4). Hubungan Kerja
Untuk dapat melaksanakan pekerjaan dengan baik, haruslah didukung oleh suasana atau hubungan kerja yang harmonis antara sesama pegawai maupun atasan dan bawahan.
5). Prosedur Perusahaan
Keadilan dan kebijakasanaan dalam mengahadapi pekerja, serta pemberian evaluasi dan informasi secara tepat kepada pekerja juga merupakan pengaruh terhadap motivasi pekerja.
6). Status
Merupakan posisi atau peringkat yang ditentukan secara sosial yang diberikan kepada kelompok atau anggota kelompok dari orang lain Status pekerja memengaruhi motivasinya dalam bekerja. Status pekerja yang diperoleh dari pekerjaannya antara lain ditunjukkan oleh klasifikasi jabatan, hak-hak istimewa yang diberikan serta peralatan dan lokasi kerja yang dapat menunjukkan statusnya.
d. Teori ERG (Existence, Relatedness, Growth) dari Alderfer
Menurut teori ERG dari Clayton Alderfer ini ada 3 (tiga) kebutuhan pokok manusia yaitu:
1) Existence (eksistensi); Kebutuhan akan pemberian persyaratan keberadaan materil dasar (kebutuhan psikologis dan keamanan).
3) Growth (pertumbuhan) ; Hasrat kebutuhan intrinsik untuk perkembangan pribadi (kebutuhan aktualisasi diri).
d. Teori Kebutuhan dari McClelland
Teori kebutuhan dikemukakan oleh David McClelland. Teori ini berfokus pada tiga kebutuhan. Hal-hal yang memotivasi seseorang menurut Mc.Clelland dalam Hasibuan (2005), adalah :
1) Kebutuhan akan Prestasi (Need for Achievement)
Kebutuhan prestasi merupakan daya penggerak yang memotivasi semangat. Prestasi memotivasi semangat bekerja seseorang untuk mengembangkan kreativitas dan mengarahkan semua kemampuan serta energi yang dimilikinya guna mencapai prestasi kerja yang maksimal. Seseorang menyadari bahwa hanya dengan mencapai prestasi kerja yang tinggi akan memperoleh pendapatan yang besar yang akhirnya bisa memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. 2) Kebutuhan akan Kekuasaan (Need for Power )