• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Sosial Ekonomi Keluarga terhadap Korban Kekerasan Seksual Pada Anak Dampingan Yayasan Pusaka Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengaruh Sosial Ekonomi Keluarga terhadap Korban Kekerasan Seksual Pada Anak Dampingan Yayasan Pusaka Indonesia"

Copied!
42
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1.3 Pengertian Sosial dan Ekonomi

Pengertian sosial ekonomi jarang dibahas secara bersamaan. Pengertian sosial dan pengertian ekonomi sering dibahas secara terpisah. Istilah sosial (social dalam bahasa inggris) dalam ilmu sosial memiliki arti yang berbeda beda, misalnya istilah sosial dalam sosialisme dengan istilah departemen sosial, jelasn kedua duanya menunjukkan makna yang sangat jauh berbeda. Menurut Soekanto, apabila istilah sosial pada ilmu sosial menunjuk pada objeknya, yaitu masyarakat, sosialisme suatu ideologi yang berpokok pada prinsip pemikiran umum atas alat alat produksi dan jasa jasa dalam bidang ekonomi.

Sedangkan istilah sosial pada departemen sosial, menunjukkan pada kegiatan kegiatan di lapangan sosial. Artinya kegiatan kegiatan yang di tujukan untuk mengatasi persoalan persoalan yang di hadapi masyarakat dalam bidang kesejahteraan, seperti tuna karya, tuna susila, tuna wisma, orang jompo, anak yatim piatu, dan lain lain. Selain itu Soekanto (1993:464) mengemukakan bahwa istilah sosial pun berkenaan dengan pelaku interpersonal, atau yang berkaitan dengan proses proses sosial. (Soekanto, dalam Supardan, 2009:27).

(2)

selalu membutuhkan orang lain dalam kehidupannya sehari-hari 22.00).

Sedangkan Ekonomi atau economic dalam banyak literatur ekonomi disebutkan berasal dari bahasa Yunani yaitu “Oikos atau Oiku” dan “Nomos” yang berarti peraturan rumah tangga. Dengan kata lain pengertian ekonomi adalah semua yang menyangkut hal-hal yang berhubungan dengan perkehidupan dalam rumah tangga, tentu saja yang dimaksud dan dalam perkembangannya kata rumah tangga bukan hanya sekedar merujuk pada satu keluarga yang terdiri dari suami, istri, dan anak-anaknya, melainkan juga rumah tangga yang lebih luas yaitu rumah tangga bangsa, negara, dan dunia (Putong, 2005: 9). Ekonomi juga sering diartikan sebagai cara manusia untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Jadi dapat dikatakan bahwa ekonomi bertalian dengan proses pemenuhan keperluan hidup manusia sehari-hari

Berdasarkan pengertian yang telah diuraikan, dapat disimpulkan bahwa sosial ekonomi adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan masyarakat, antara lain dalam sandang, pangan, perumahan, pendidikan, kesehatan, dan lain-lain. Pemenuhan kebutuhan yang dimaksud berkaitan dengan penghasilan. Hal ini disesuaikan dengan penelitian yang dilakukan.

Menurut Melly G Tan mengatakan kedudukan sosial ekonomi mencakup tiga faktor yaitu pekerjaan, pendidikan, dan penghasilan. Pendapat diatas didukung oleh Mahbud UI dari Bank Dunia bersama dengan James Grant dari Overseas Development Council mengatakan bahwa sosial ekonomi di titik beratkan pada pelayanan kesehatan, pendidikan, perumahan, air yang sehat dan didukung oleh pekerjaan yang layak (http://www.psychologymania. com/2012/10/pengertian-sosial-ekonomi.html. Diakses pada tanggal 29 Maret 2014 pukul

(3)

1. Pendapatan

"Pendapatan" dapat didefinisikan sebagai upah, gaji, keuntungan, sewa, dan setiap aliran pendapatan yang diterima. Namun, cara lain untuk melihat generasi sumber penghasilan (pendapatan) adalah dalam bentuk kompensasi pekerja, jaminan sosial, uang pensiun, kepentingan atau dividen, royalti, piutang, tunjangan atau tunjangan lain dari pemerintah, masyarakat, atau bantuan keuangan keluarga.

Pendapatan dapat dilihat dalam dua istilah, relatif dan mutlak. Pendapatan mutlak, sebagaimana diteorikan oleh ekonom John Maynard Keynes, adalah hubungan yang seiring dengan kenaikan pendapatan, sehingga akan konsumsi, tetapi tidak pada tingkat yang sama. Pendapatan relatif menentukan seorang atau tabungan keluarga dan konsumsi berdasarkan pendapatan keluarga dalam kaitannya dengan orang lain. Pendapatan adalah sebuah ukuran yang umumnya digunakan sebagai status sosial ekonomi masyarakat karena relatif mudah untuk mengetahui seorang individu.

Keluarga dengan pendapatan yang lebih tinggi dapat mengumpulkan kekayaan dan tidak hanya fokus pada pemenuhan kebutuhan pokok (tersier) tetapi pemenuhan kebutuhan sekunder dan tersier sambil dapat mengkonsumsi dan menikmati kemewahan. Sedangkan keluarga dengan pendapatan yang rendah hanya bisa memenuhi kebutuhan pokoknya (tersier), bahkan mereka terkandang meminjam uang dengan orang lain untuk memenuhi kebutuhan pokoknya.

2. Pendidikan

(4)

Pendidikan memberikan dorongan, dengan demikian akan meningkatkan penghasilan. Sebagaimana disampaikan pada grafik, derajat tertinggi, gelar profesional dan doktor, membuat pendapatan mingguan tertinggi sementara mereka tanpa ijazah sekolah tinggi terhukum secara finansial. Tingkat pendidikan yang lebih tinggi berhubungan dengan hasil ekonomi dan psikologis yang lebih baik (yaitu: pendapatan lebih, kontrol yang lebih, dan dukungan sosial dan jaringan yang lebih besar).

Pendidikan memainkan peranan penting dalam mengasah keterampilan seorang individu yang membuat dia sebagai orang yang siap untuk mencari dan memperoleh pekerjaan, serta kualifikasi khusus yang mengelompokkan orang dengan status sosial ekonomi tertinggi dari status sosial ekonomi terendah. Annette Lareau berbicara pada gagasan budidaya terpadu, di mana orang tua kelas menengah mengambil peran aktif dalam pendidikan dan pengembangan anak-anak mereka dengan menggunakan kendali mengorganisir kegiatan dan mendorong rasa hak melalui diskusi.

Laureau berpendapat bahwa keluarga dengan pendapatan rendah tidak berpartisipasi dalam gerakan ini, menyebabkan anak-anak mereka memiliki rasa kendala. Sebuah divisi dalam pencapaian pendidikan dengan demikian lahir dari dua perbedaan dalam membesarkan anak. Secara teori, keluarga berpenghasilan rendah memiliki anak yang tidak berhasil sedangkan anak-anak berpenghasilan menengah, yang merasa berhak, yang argumentatif, dan lebih siap untuk kehidupan dewasa.

3. Pekerjaan

(5)

masyarakat, maka menggambarkan karakteristik pekerjaan, pengambilan membuat kemampuan dan pengendalian emosi, dan psikologis tuntutan pada pekerjaan.

Pekerjaan dirangking oleh jajak pendapat (antara organisasi lainnya) dan pendapat dari masyarakat umum yang disurvei. Beberapa pekerjaan yang paling bergengsi adalah dokter dan ahli bedah, pengacara, insinyur kimia dan biomedis, spesialis komputer, dan komunikasi analis. Pekerjaan ini, dianggap dikelompokkan dalam klasifikasi status sosial ekonomi tinggi, memberikan lebih banyak pekerjaan menantang dan kemampuan dan kontrol yang lebih besar terhadap kondisi kerja. pekerjaan dengan peringkat yang lebih rendah adalah pekerja pramusaji makanan, petugas counter, bartender dan pembantu, pencuci piring, tukang sapu, pelayan dan pembantu rumah tangga, pembersih kendaraan, dan tukang parkir. Pekerjaan yang kurang dihargai juga dibayar secara signifikan kurang dan lebih melelahkan, secara fisik berbahaya, dan memberikan otonomi yang kurang (http://tenagasosial.blogspot. com/2013/ 08/faktor-yang-mempengaruhi-status-sosial.html

Berdasarkan pekerjaan, penghasilan, dan pendidikan menurut Melliy G Tan maka masyarakat itu dapat digolongkan kedalam kedudukan sosial ekonomi rendah, sedang dan tinggi (Tan, dalam Koentjaraningrat, 1981 : 35).

. Diakses pada tanggal 28 februari 2014 pukul 22.00).

1. Golongan masyarakat berpenghasilan rendah. Yaitu masyarakat yang menerima pendapatan lebih rendah dari keperluan untuk memenuhi tingkat hidup yang minimal. Untuk memenuhi tingkat hidup yang minimal, mereka perlu mendapatkan pinjaman dari orang lain.

(6)

3. Golongan masyarakat berpenghasilan tinggi. Yaitu selain dapat memenuhi kebutuhan pokok, juga sebagian dari pendapatannya itu dapat ditabungkan dan digunakan untuk kebutuhan yang lain.

2.2 Keluarga

2.2.1 Pengertian Keluarga

Burgess dan Locke mendefinisikan keluarga sebagai suatu kelompok dari orang-orang yang disatukan oleh ikatan-ikatan perkawinan, darah, atau adopsi; merupakan susunan rumah tangga sendiri; berinteraksi dan berkomunikasi satu sama lain yang menimbulkan peranan-peranan sosial bagi suami istri, ayah dan ibu, putra dan putri, saudara laki-laki dan perempuan; dan merupakan pemelihara kebudayaan bersama (Burgess dan Locke, dalam Khairuddin, 1997: 7). Keluarga adalah sistem konjungal, menekankan pada pentingnya hubungan perkawinan (antara suami dan istri), ikatan dengan suami atau istri cenderung dianggap lebih penting daripada ikatan dengan orangtua (Sunarto, 2004:63).

Dari beberapa definisi keluarga menurut Mac Iver and Page, Elliot and Merrill, dan A.M. Rose dapat dirumuskan inti sari pengertian keluarga sebagai berikut:

1. Keluarga merupakan kelompok sosial yang kecil yang umumnya terdiri dari ayah, ibu dan anak.

2. Hubungan sosial di antara anggota keluarga relatif tetap dan di dasarkan atas ikatan darah, perkawinan dan adopsi.

3. Hubungan antar anggota keluarga dijiwai oleh suasana kasih sayang dan rasa tanggung jawab.

(7)

Hakekat keluarga merupakan hubungan seketurunan maupun tambahan (adopsi) yang diatur melalui kehidupan perkawinan bersama, searah dengan keturunan-keturunan mereka yang merupakan suatu satuan yang khusus (Khairuddin, 1997: 3).

2.2.2 Ciri-Ciri Umum Keluarga

Ciri-ciri umum keluarga antara lain seperti yang dikemukakan oleh Mac Iver and Page: 1. Keluarga merupakan hubungan perkawinan.

2. Berbentuk perkawinan atau susunan kelembagaan yang berkenaan dengan hubungan perkawinan yang sengaja dibentuk dan dipelihara.

3. Suatu sistem tata nama, termasuk bentuk perhitungan garis keturunan.

4. Ketentuan-ketentuan ekonomi yang dibentuk oleh anggota-anggota kelompok yang mempunyai ketentuan khusus terhadap kebutuhan-kebutuhan ekonomi yang berkaitan dengan kemampuan untuk mempunyai keturunan dan membesarkan anak.

5. Merupakan tenpat tinggal bersama, rumah atau rumah tangga yang walau bagaimanapun tidak mungkin menjadi terpisah terhadap kelompok keluarga (Mac Iver and Page, dalam Khairuddin, 1997: 6).

2.2.3 Bentuk-Bentuk Keluarga

Ada dua macam tipe keluarga yang utama saat ini, yaitu: 1. Nuclear Family (Keluarga Inti)

(8)

dikemukakan oleh Hildred Geertz yaitu, “Somah seperti yang sudah dikatakan merupakan satu-satunya unit pertalian kekeluargaan yang penting.

2. Extended Family (Keluarga Besar)

Keluarga besar adalah suatu keluarga yang meliputi lebih dari satu generasi dan satu lingkungan keluarga yang lebih luas daripada hanya ayah, ibu, dan anaknya. Orang yang berasal dari keluarga besar memiliki lebih banyak pengalaman mengenai hidup dalam suatu kelompok yang lebih bervariasi termasuk hidup bersama dalam satu kelmpok dengan orang-orang yang berbeda umur dimana ada satu hubungan yang bersifat berkesinambungan antar generasi yang terdapat dalam kelompok atau keluarga tersebut. Dan bila ada orang tua yang tidak bisa mengasuh anak mereka, maka akan ada orang dewasa lain yang akan mengasuh mereka (Su’adah, 2005: 90).

2.2.4 Fungsi-Fungsi Pokok Keluarga

Pada dasarnya keluarga mempunyai fungsi-fungsi pokok yakni fungsi yang sulit dirubah dan digantikan oleh orang lain. Adapun yang menjadi fungsi-fungsi pokok tersebut antara lain:

1. Fungsi Biologik

Keluarga merupakan tempat lahirnya anak-anak, fungsi biologik orang tua ialah melahirkan anak. fungsi ini merupakan dasar kelangsungan hidup masyarakat. Namun fungsi ini pun juga mengalami perubahan, karena keluarga sekarang cenderung kepada jumlah anak yang sedikit. Kecenderungan kepada jumlah anak yang lebih sedikit ini di pengaruhi oleh faktor-faktor:

(9)

c. Banyaknya anak dipandang sebagai hambatan untuk mencapai sukses material keluarga.

d. Banyaknya anak dipandang sebagai hambatan untuk tercapainya kemesraan keluarga.

e. Meningkatnya taraf pendidikan wanita berakibat berkurangnya fertilitanya. f. Berubahnya dorongan dari agama keluarga mempunyai banyak anak. g. Makin banyaknya ibu-ibu yang bekerja di luar rumah.

h. Makin meluasnya pengetahuan dan penggunaan alat-alat kontrasepsi. 2. Fungsi Afeksi

Dalam keluarga terjadi hubungan sosial yang penuh dengan kemesraan dan afeksi. Hubungan afeksi ini tumbuh sebagai akibat hubungan cinta kasih yang menjadi dasar perkawinan. Dari hubungan cinta kasih ini lahirlah hubungan persaudaraan, persahabatan, kebiasaan, identifikasi, persamaan pandangan mengenai nilai-nilai. Dasar cinta kasih dan hubungan afeksi ini merupakan faktor penting bagi perkembangan pribadi anak.

3. Fungsi Sosialisasi

Fungsi sosialisasi ini menunjukkan peranan keluarga dalam membentuk kepribadian anak. Melalui interaksi sosial dalam keluarga itu anak mempelajari pola-pola tingkah laku, sikap, keyakinan, cita-cita, dan nilai-nilai dalam masyarakat dalam rangka perkembangan kepribadiannya (Khairuddin, 1997: 48).

(10)

atau tidak wajar, kemungkinan besar bahwa interaksi sosial dengan masyarakat pada umumnya juga berlangsung tidak wajar.

Peran umum kelompok keluarga sebagai kelompok sosial pertama, dimana tempat manusia berkembang sebagai makhluk sosial. Terdapat pula peran-peran tertentu dalam keluarga yang dapat mempengaruhi perkembangan individu sebagai mahluk sosial. Keluarga menjadi kelompok sosial utama tempat anak belajar menjadi manusia sosial. Rumahtangga menjadi tempat pertama dalam perkembangan segi-segi sosial anak. Dalam interaksi sosial dengan orangtuanya yang wajar, anak dapat memperoleh hasil yang memungkinkan menjadi anggota masyarakat yang berguna kelak. Sedangkan apabila hubungan dengan orangtuanya kurang baik, kemungkinan bahwa interaksi sosial pada umumnya berlangsung kurang baik pula (Gerungan, 2004: 216).

2.2.5 Pola Asuh Orang Tua

Model perilaku keluarga secara langsung maupun tidak langsung akan dipelajari dan ditiru oleh anak. Anak akan mengikuti model perilaku orang tua di dalam keluarga seperti bersikap, bertutur kata, mengekspresikan harapan, serta mengungkapan perasaan dan emosinya. Model perilaku yang baik akan membawa dampak baik bagi perkembangan anak demikian juga sebaiknya. Keberhasilan pembentukan karakter pada anak ini salah satunya dipengaruhi oleh model orang tua dalam melaksanakan pola asuh. Pola asuh yang digunakan orangtua dalam menanamkan disiplin pada anaknya dikembangkan oleh Elizabeth B. Hurlock (Hurlock, 1972) terbagi atas tiga macam yaitu:

1. Otoriter

(11)

2. Demokratis

Orangtua menggunakan diskusi, penjelasan, dan alasan yang membantu anak untuk mematuhi suatu aturan. Orangtua menekankan aspek pendidikan. Orangtua yang demokratis adalah menumbuhkan kontrol dalam diri anak.

3. Permisif

Orangtua bersikap membiarkan atau mengizinkan setiap tingkah laku anak. Pola ini membiarkan anak mencari dan menemukan sendiri tatacara yang memberikan batasan dari tingkah lakunya. Bila terjadi hal berlebihan barulah orangtua bertindak. Pola ini pengawasan menjadi sangat longgar (Ihromi, 2004: 51).

2.2.6 Sosial Ekonomi Orang Tua

Kehidupan sosial-ekonomi yang mapan merupakan salah satu penunjang yang membentuk kebahagian hidup keluarga. Dengan ekonomi yang mapan, berarti semua kebutuhan keluarga dapat terpenuhi dengan baik, termasuk keperluan pendidikan, kesehatan, rekreasi dan anak-anak.

Kehidupan ekonomi yang terbatas atau kurang menyebabkan orang tua tidak mampu memberikan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan makanan yang bergizi, kesehatan, pendidikan dan sarana penunjangnya dan bahkan perhatian kasih sayang pada anak. Hal ini dapat terjadi karena seluruh waktu dan perhatiannya cenderung tercurah untuk bekerja agar dapat meningkatkan taraf hidup keluarga.

(12)

2.3 Kekerasan Seksual pada Anak 2.3.1 Pengertian Anak

Menurut the Minimum Age Convention nomor 138, pengertian tentang anak adalah seseorang yang berusia 15 tahun kebawah. Sebaliknya, dalam Convention on tehe Rights of the Child yeng telah diratifikasi pemerintah Indonesia melalui Keppre nomor 29 tahun1990 disebutkan bahwa anak adalah mereka yang berusia 18 tahun kebawah. Sementara itu, UNICEF mendefinisikan anak sebagai penduduk yang berusia antara 0 sampai dengan 18 tahun. Undang-undang RI nomor 4 tahun 1979 tentang Kesejahteraan anak, menyebutkan bahwa anak adalah mereka yang belum berusia 21 tahun dan belum menikah. Sedangkan Undang-undang Perkawinan menetapkan batas usia 16 tahun.

Jika dicermati, secara keseluruhan dapat dilihat bahwa rentang usia anak terletak pada skala 0 sampai dengan 21 tahun penjelasan mengenai batas usia 21 tahun ditetapkan berdasarkan pertimbangan kepentingan usaha kesejahteraan sosial serta pertimbangan kematangan sosial, kematangan pribadi dan kematangan mental seseorang yang umumnya dicapai setelah seseorang melampaui usia 21 tahun (Huraerah, 2012: 31).

2.3.2 Hak-Hak Anak

Hak anak menurut pasal 2 Undang-undang Nomor 4 tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, disebutkan bahwa:

1. Anak berhak atas kesejahteraan, perawatan, asuhan, dan bimbingan berdasarkan kasih sayang, baik dalam keluarganya maupun dalam asuhan khusus untuk tumbuh dan berkembangnya dengan wajar.

(13)

3. Anak berhak atas pemeliharaan dan perlindungan, baik semasa kandungan maupun sesudah dilahirkan.

4. Anak berhak atas perlindungan terhadap lingkungan hidup yang dapat membahayakan atau menghambat pertumbuhan dan perkembangan dengan wajar (Huraerah, 2012: 33).

2.3.3 Pengertian Kekerasan Seksual

Pengertian seksual secara umum adalah sesuatu berkaitan dengan alat kelamin atau hal-hal yang berhubungan dengan perkara-perkara hubungna intim antara laki-laki dengan perempuan (Dewi, 2012: 59).

Wahid dan Irpan memandang bahwa kekerasan seksual merupakan istilah yang menunjukkan pada perilaku seksual deviatif atau hubungan seksual yang menyimpang, merugikan pihak korban dan merusak kedamaian di tengah masyarakat (Huraerah, 2012: 70).

Wignjosoebroto mendefenisikan kekerasan seksual sebagai suatu usaha melampiaskan nafsu seksual oleh seseorang (lelaki) terhadap seorang korban (biasanya perempuan) dengan cara menurut moral atau hukum yang berlaku adalah melanggar (Suyanto, 2010: 235). Sedangkan pendapat lain yang dikemukakan oleh Brownmiller tentang kekerasan seksual adalah pemaksaan terjadinya hubungan seks terhadap perempuan tanpa persetujuan ataupun tanpa kehendak yang disadari oleh perempuan itu tadi (Suyanto, 2010: 50).

(14)

seseorang. Dalam kondisi pergolakan mudah sekali terjadinya tindak kekerasan seksual karena adanya ketegangan maupun ketidakamanan pada masyarakat, misalnya: penghasilan sosial yang rendah, keadaan perumahan yang buruk, dan sebagainya. Akibatnya akan kita jumpai peningkatan kriminalitas, salah satunya adalah kekerasan seksual pada anak.

Dilihat dari segi lingkungan sosial, psikologi lingkungan memandang bahwa sebuah lingkungan fisik (dalam hal ini tempat tinggal) juga memiliki pengaruh besar terhadap pembentukan karakter seseorang, terutama sekali jika orang tersebut memiliki ikatan emosional yang erat dengan lingkungan fisiknya (Halim, 2008: xii). Tempat tinggal dapat meliputi tata ruang secara fisik yaitu kepadatan, kesesakan, ketersediaan ruang publik, personal space, hingga menyangkut privacy pada setiap orang (Sarwono, 1992: 67). Tempat tinggal yang ideal hendaknya memperhatikan berbagai dimensi kebutuhan masyarakat yang menempatinya. Tempat tinggal yang tepat tentunya akan mendukung kesejahteraan masyarakat yang tinggal di lingkungan tersebut. Sebaliknya, tempat tinggal yang kurang tepat akan mengurangi kesejahteraan masyarakatnya dan menghambat berbagai proses yang seharusnya dialami.

(15)

Anak-anak merupakan salah satu pihak yang menempati suatu lingkup sosial. Pada usianya, mereka sedang mengalami proses tumbuh kembang yang sangat pesat baik secara fisik maupun psikologis. Tempat tinggal yang tepat akan sangat mendukung proses tersebut. Sayangnya, saat ini di Indonesia masih begitu banyak dijumpai lingkungan yang tidak berpihak pada tumbuh kembang anak secara sehat, namun justru menempatkan anak pada kondisi penuh resiko. Situasi semacam itu banyak dijumpai di daerah yang masyarakatnya berada pada tingkat sosial ekonomi bawah. Rumah ukuran kecil yang dipadati oleh penghuni, tidak adanya pembagian ruang, sehingga satu ruangan digunakan bersama untuk berbagai aktivitas oleh banyak orang di rumah.

Korban kekerasan seksual yang berasal dari keluarga dengan status sosial rendah biasanya kesulitan untuk mempertahankan privacy. Tempat-tempat yang seharusnya aman

dan memfasilitasi tumbuh kembang anak, menjadi area yang mengancam dan membahayakan. Pada anak-anak dengan status sosial yang rendah, privacy yang diharapkan mungkin akan lebih sulit dicapai karena setiap saat orang lain dapat mengintervensi dirinya baik secara fisik maupun sosial. Lingkungan yang padat sangat membatasi privacy anak sehingga pertumbuhan emosinya menjadi terhambat. Padahal privacy berfungsi untuk mengembangkan identitas pribadi, yaitu mengenal diri sendiri dan menilai diri sendiri. Jika privacy ini terganggu, apalagi secara terus-menerus, akan terjadi proses ketelanjangan sosial, yaitu merasa semua orang tahu tentang rahasia diri sendiri. Selain itu, juga terjadi proses deindividuasi dimana anak merasa bahwa individunya sudah tidak dihargai lagi. Hal tersebut membuat anak semakin mudah untuk menjadi korban kekerasan seksual oleh orang di sekitasnya (Sarwono, 1992: 72).

(16)

homeostasis. Kemungkinan kedua, ransangan itu dipersepsiakan di luar toleransi yang menimbulkan stres pada individu (Paul A. Bell, dalam Sarwon, 1992: 86). Stres yang ditimbulkan dari lingkungan individu salah satunya adalah kondisi sosial. Kondisi sosial yang tidak baik akan meningkatkan risiko kekerasan terhadap anak dalam keluarga. Kondisi-kondisi sosial ini mencakup pengangguran, penyakit, Kondisi-kondisi rumah buruk, ukuran keluarga besar dari rata-rata, kelahiran bayi, orang cacat di rumah, dan kematian seorang anggota keluarga. Sebagian besar kondisi ini terjadi karena adanya kemiskinan (Huraerah, 2012: 52-54).

Sedangkan dari segi ekonomi, salah satu hal yang berhubungan dengan masalah perekonomian antara lain urbanisasi. Di negara yang sedang berkembang ke arah negara modern, terjadi perubahan dalam masyarakat. Salah satu perubahan tersebut adalah urbanisasi. Urbanisasi ini dapat menimbulkan hal-hal yang positif dan negatif. Dampak negatif dari urbanisasi adalah adanya pengangguran. Dapat dipastikan bahwa timbulnya niat jahat akan lebih besar karena menganggur dibandingkan sebaliknya.

Situasi tersebut pada akhirnya juga merembet dalam hal pemenuhan kebutuhan biologisnya. Sebahagian dari mereka yang tidak mampu menyalurkan hasrat seksnya tersebut pada wanita tuna susila, akan menyalurkan dalam bentuk onani, sedangkan yang lain mencari kesempatan untuk dapat melakukan hubungan seksual secara langsung yaitu dengan jalan pintas mengintai korban (anak pelaku sendiri atau orang-orang terdekat yang ada di sekitar pelaku) untuk dijadikan pelampiasan hasrat seksualnya. Pada akhirnya timbullah apa yang disebut dengan kejahatan seksual dengan berbagai bentuknya, dan salah satu diantaranya adalah pemerkosaan.

(17)

jarang si pelaku yang berasal dari golongan berada mempergunakan alat perangsang yang kesemuanya ini diperoleh dengan uang yang tidak sedikit.

2.3.4 Bentuk-Bentuk Kekerasan Seksual

Menurut Resta dan Darmawan bahwa tindakan kekerasan seksual dapat dibagi atas tiga kategaori yaitu perkosaan, inces, dan eksploitas. Untuk lebih jelasnya dapat diuraikan sebagai berikut:

1. Perkosaan

(18)

dikembalikan kepada situasi dimana terjadi tempat pemerkosaan, dan pemerkosa harus dijauhkan dari anak.

2. Inces

Didefenisikan sebagai hubungan seksual atau aktivitas seksual antara individu yang mempunyai hubungan dekat, yang mana perkawinan di antara mereka dilarang oleh hukum maupun kultur. Incest biasanya terjadi dalam waktu yang lama dan sering menyangkut suatu proses terkondisi.

3. Eksploitasi

Eksploitasi seksual meliputi prostitusi dan ponografi, dan hal ini cukup unik karena sering meliputi suatu kelompok secara berpartisipasi. Hal ini dapat terjadi sebagai sebuah keluarga atau di luar rumah bersama beberapa orang dewasa dan tidak berhubungan dengan anak-anak dan merupakan suatu lingkungan seksual. Pada beberapa kasus ini meliputi keluarga-keluarga, seluruh keluarga ibu, ayah dan anak-anak dapat terlibat dan anak-anak-anak-anak harus dilindungi dan dipindahkan dari situasi rumah. Hal ini merupakan situasi patologi dimana kedua orangtua sering terlibat kegiatan seksual dengan anak-anaknya dan mempergunakan anak-anak untuk prostitusi atau untuk pornografi. Eksploitasi anak-anak membutuhkan intervensi dan penanganan yang banyak secara psikiatri (Huraerah, 2012: 71).

Bentuk-bentuk kekerasan seksual menurut Kitap Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yaitu:

1. Pasal 285 KUHP disebutkan tentang pemerkosaan:

Barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia di luar perkawinan, diancam karena melakukan perkosaan dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.

(19)

Barang siapa dengan hadiah atau perjanjian akan memberi uang atau barang, dengan salah memakai kekuasaannya yang timbul dari pergaulan atau dengan memberdayakan, dengan sengaja mengajak orang di bawah umur yang tidak bercacat kelakuannya, yang diketahui atau patut dapat disangkanya dibawah umur, mengerjakan perbuatan cabul dengan dia atau membiarkan perbuatan cabul itu dengan dia, di hukum dengan hukuman penjara selama-lamanya lima tahun.

Menurut Caeti (2009) pencabulan adalah semua perilaku atau aktivitas seksual yang ditujukan pada anak-anak, termasuk didalamnya: meraba-raba, oral sex, persetubuhan, exhibitionisme, mengambil atau menyimpan gambar porno anak-anak, menunjukkan memperlihatkan materi porno secara vulgar kepada anak-anak atau melakukan hubungan sexual dihadapan anak-anak. Pada umumnya di Indonesia kata “pencabulan” digunakan untuk kekerasan seksual dengan korban anak di bawah umur (anak-anak yang belum dewasa). Jika berdasar pasal pada UU Perkawinan 1974, maka korbannya berumur kurang dari 16 tahun (http://www.academia.Edu. Makalah_Perkosaan_ dan _ pencabulan.docx. Diakses pada tanggal 29 maret 2014 pukul 20.00).

2.3.5 Ciri-Ciri Umum Anak yang Mengalami Kekerasan Seksual 1. Tandan-tanda Perilaku

a. Perubahan-perubahan mendadak pada perilaku: dari bahagia ke depresi atau permusuhan, dari bersahabat ke isolasi, atau dari komunitas ke penuh rahasia. b. Perilaku ekstrim: perilaku yang secara komperatif lebih agresif atau pasif dari

teman sebayanya atau dari perilaku dia sebelumnya.

(20)

d. Perilaku regresif. Kembali pada perilaku awal perkembangan anak tersebut; seperti ngompol, mengisap jempol, dsb.

e. Perilaku anti-sosial atau nakal: bermain api, mengganggu anak lain atau binatang, tindakan-tindakan merusak.

f. Perilaku menghindar: takut atau menghindar dari orang tertentu (orangtua, kakak, saudara lain, tetangga, pengasuh) lari dari rumah, nakal atau membolos sekolah. g. Perilaku seksual yang tidak pantas: masturbasi berlebihan, berbahasa atau

bertingkah porno melebihi usianya, perilaku seduktif terhadap anak yang lebih muda, menggambar porno.

h. Penyalahgunaan NABZA; alkohol atau obat terlarang khususnya pada anak remaja.

i. Bentuk-bentuk perlakuan salah terhadap diri sendiri (self-abuse): merusak diri sendiri, gangguan makan, berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan beresiko tinggi, percobaan atau melakukan bunuh diri.

2. Tanda-tanda Kognisi

a. Tidak dapat berkonsentrasi: sering melamun dan menghayal, fokus perhatian singkat atau terpecah.

b. Minat sekolah memudar: menurunnya perhatian terhadap pekerjaan sekolah dibandingkan dengan sebelumnya.

c. Respon atau reaksi berlebihan: khususnya terhadap gerakan tiba-tiba dan orang lain dalam jarak dekat.

3. Tandan-tanda sosial-emosional

a. Rendahnya kepercayaan diri: perasaan tidak berharga.

(21)

c. Depresi tanpa penyebab: perasaan tanpa harapan dan ketidakberdayaan, pikiran dan pernyataan-pernyataan ingin bunuh diri.

d. Ketakutan berlebihan: kecemasan, hilangnya kepercayaan terhadap orang lain. e. Keterbatasan perasaan: tidak dapat mencintai, tidak riang seperti sebelumnya atau

sebagaimana dialami oleh teman sebanya. 4. Tanda-tanda fisik

a. Perasaan sakit yang tidak jelas: mengeluh sakit kepala, sakit perut, tenggorokan tanpa penyebab jelas, menurunnya berat badan secara drastis, tidak ada kenaikan berat badan secara memadai, muntah-muntah.

b. Luka-luka pada alat kelamin atau mengidap penyakit kelamin: pada vagina, penis atau anus yang ditandai dengan pendarahan, lecet, nyeri, atau gatal-gatal di seputar alat kelamin.

c. Hamil (Zastrow, dalam Huraerah, 2012: 73).

2.3.6 Faktor-Faktor Terjadinya Kekerasan Seksual

Terjadinya kekerasan seksual pada anak disebabkan oleh berbagai faktor yang memengaruhinya. Faktor-faktor yang memengaruhinya demikian kompleks, kekerasan terhadap anak umumnya disebabkan oleh faktor internal yang berasal dari anak sendiri maupun faktor eksternal yang berasal dari lingkungan anak, yaitu:

(22)

2. Tingkat kontrol masyarakat (social control) yang rendah, artinya berbagai perilaku yang diduga sebagai penyimpangan, melanggar hukuman dan norma keagamaan kurang mendapatkan responsi dan pengawasan dari unsur-unsur masyarakat.

3. Kondisi perekonomian juga dapat merupakan satu penyebab seseorang melakukan kejahatan tindak kekerasan seksual. Keadaan ekonomi yang sulit akan membawa orang kepada pendidikan yang rendah dan pada tahap selanjutnya membawa dampak kepada baik atau tidaknya pekerjaan yang diperoleh. Keadaan yang demikan menyebabkan seseorang dapat kehilangan kepercayaan diri dan menimbulkan jiwa yang apatis, frustasi serta hilangnya respek atas norma-norma yang ada di sekitarnya. 4. Putusan hakim yang terasa tidak adil, seperti putusan yang cukup ringan yang

dijatuhkan pada pelaku. Hal ini dimungkinkan dapat mendorong anggota-anggota masyarakat lainnya untuk berbuat keji dan jahat. Artinya mereka yang hendak berbuat jahat tidak meresa takut lagi dengan sanksi hukuman yang akan diterimanya.

5. Ketidak mampuan pelaku untuk mengendalikan emosi dan nafsu seksualnya. Nafsu seksualnya dibiarkan mengembara dan menuntutnya untuk dicarikan kompensasi pemuasnya.

6. Keinginan pelaku untuk melakukan (melampiaskan) balas dendam terhadap sikap, ucapan (keputusan) dan perilaku korban yang dianggap menyakiti dan merugikannya. 7. Pengaruh perkembangan sosial budaya yang semakin tidak menghargai etika

berpakaian yang menutup aurat, yang dapat meransang pihak lain untuk berbuat tidak senonoh dan jahat.

(23)

Pendapat lain dari sebuah model yang disebut “The Abusive Environment Model”,Ismail menjelaskan bahwa faktor penyebab terjadinya kekerasan terhadap anak-anak sesungguhnya dapat ditinjau dari segi aspek, yaitu: aspek kondisi sang anak sendiri, orang tua, dan lingkungan sosial.

1. Faktor anak itu sendiri

a. Penderita gangguan perkembangan, menderita penyakit kronis disebabkan ketergantungan anak kepada lingkungannya.

b. Perilaku menyimpang pada anak. 2. Faktor orang tua

Faktor orang tua memegang peranan penting terjadinya kekerasan seksual pada anak. Faktor-faktor yang menyebabkan orang tua melakukan kekerasan seksual pada anak diantaranya :

a. Praktik-praktik budaya yang merugikan anak seperti kepatuhan anak kepada orang tua, hubungan asimetris.

b. Anak dibesarkan dalam penganiayaan. c. Gangguan mental.

d. Orang tua yang belum mencapai kematangan fisik, emosi maupun sosial terutama mereka yang mempunyai anak sebelum berumur 20 tahun.

e. Orang tua yang longgar terhadap perilaku seks bebas. f. Kurangnya pendidikan seks dalam keluarga.

g. Orang tua pecandu minuman keras dan obat. 3. Faktor lingkungan sosial/komunitas

(24)

a. Kemiskinan dalam masyarakat dan tekanan nilai materilistis. b. Kondisi sosial-ekonomi yang rendah .

c. Adanya nilai dalam masyarakat bahwa anak adalah milik orang tua sendiri. d. Status wanita yang dipandang rendah.

e. Sistem keluarga patriarkal.

f. Nilai masyarakat yang terlalu individualistis (Suyanto, 2010: 35).

Sementara itu Richard J. Gelles juga mengemukakan bahwa kekerasan terhadap anak terjadi akibat kombinasi dari berbagai faktor: personal, sosial, dan kultural. Faktor-faktor tersebut dapat dikelompokkan ke dalam empat katagori utama, yaitu:

1. Pewaris kekerasan antar generasi

Banyak anak belajar perilaku kekerasan dari orangtuanya dan ketika tumbuh menjadi dewasa mereka melakukan tindak kekerasan kepada anaknya. Dengan demikian, perilaku kekerasan diwariskan (transmitted) dari generasi ke generasi. Anak-anak yang mengalami perlakuan salah dan kekerasan mungkin menerima perilaku ini sebagai model perilaku mereka sendiri sebagai orangtua. Tetapi, sebagian besar anak-anak yang diperlakukan dengan kekerasan tidak menjadi orang dewasa yang memperlakukan kekerasan kepada anak-anaknya. Beberapa ahli yakin bahwa peramal tentang tindakan kekerasan di masa depan adalah apakah anak menyadari bahwa perilaku tersebut salah. Anak yang yakin bahwa perilaku buruk dan layak mendapatkan tindakan kekerasan akan lebih sering menjadi orangtua yang memperlakukan anaknya secara salah, dibandingkan anak-anak yang yakin bahwa orangtua mereka salah untuk memperlakukan mereka dengan tindak kekerasan. 2. Stres sosial

(25)

kekerasan terhadap anak berasal dari keluarga yang hidup dalam kemiskinan. Tindak kekerasan terhadap anak juga terjadi dalam keluarga kelas menengah dan kaya, tetapi tindakan yang dilaporkan lebih banyak di antara keluarga miskin karena beberapa alasan. Keluarga-keluarga yang lebih kaya memiliki waktu yang lebih mudah untuk menyembunyikan tindak kekerasan karena memiliki hubungan yang kurang dengan lembaga-lembaga sosial dibandingkan dengan keluarga miskin. Selain itu, pekerja sosial, dokter, dan sebagainya yang melaporkan tindakan kekerasan secara subjektif lebih sering memberikan label kepada anak keluarga miskin sebagai korban tindakan kekerasan dibandingkan dengan anak dari keluarga kaya.

Penggunaan alkohol dan narkoba di antara orangtua yang melakukan tindakan kekerasan mungkin memperbesar stres dan meransang perilaku kekerasan. Karakteristik tertentu dari anak-anak, seperti: kelemehan mental, atau kecacatan perkembangan atau fisik juga meningkatkan stres dari orangtua dan meningkatkan risiko tindak kekerasan.

3. Isolasi sosial dan Leterlibatan masyarakat bawah

Orangtua dan pengganti orangtua yang melakukan tindakan kekerasan terhadap anak cenderung terisolasi secara sosial. Faktor-faktor kultural sering menentukan jumlah dukungan masyarakat yang akan diterima suatu keluarga. Pada budaya dengan tingkat tindakan kekerasan terhadap anak yang rendah, perawatan anak biasanya dianggap sebagai tanggungjawab masyarakat, yaitu: tentangga, kerabat, dan teman-teman membantu perawatan anak apabila orangtua tidak bersedia atau tidak sanggup. Di Amerika Serikat, orangtua sering memikul tuntutan perawatan anak oleh mereka sendiri yang mungkin berakibat pada resiko stres dan tindakan kekerasan kepada anak yang lebih tinggi.

(26)

Tipe-tipe keluarga tertentu memiliki risiko yang meningkat untuk melakukan tindakan kekerasan dan pengabaian kepada anak. Misalnya, orangtua tunggal lebih memungkinkan melakukan tindakan kekeraan terhadap anak dibandingkan dengan orangtua utuh. Karena keluarga dengan orangtua tunggal biasanya berpendapatan lebih kecil dibandingkan keluarga lain, sehingga hal tersebut dapat dikatakan sebagai penyebab meningkatnya kekerasan terhadap anak. Keluarga-keluarga yang sering bertengkar secara kronis atau istri yang diperlakukan salah mempunyai tingkat tindakan kekerasan yang lebih tinggi dibandingkan dengan keluarga-keluarga yang tanpa salah. Selain, itu keluarga-keluarga dimana baik suami atau istri mendominasi di dalam membuat keputusan penting, seperti: di mana bertempat tinggal, pekerjaan apa yang mau diambil, bila mempunyai anak, dan berapa banyak uang yang dibelanjakan untuk makanan dan perumahan mempunyai tingkat kekerasan terhadapa anak yang lebih tinggi dibandingkan dengan keluarga-keluarga yang suami-istri sama-sama bertanggung jawab atas keputusan-keputusan tersebut (Richard, dalam Huraerah, 2012: 53).

Multifaktor diyakini oleh banyak ahli dalam memandang penyebab terjadinya kekerasan seksual pada anak. Posisi anak sebagai pihak yang lemah dan tidak berdaya, moralitas masyarakat khususnya pelaku kekerasan seksual yang rendah, kontrol dan kesadaran orangtua dalam mengantisipasi tindak kejahatan pada anak, kurangnya program edukasi dari

pihak pemerintah yang bisa diakses oleh masyarakat, dan masih banyak lagi faktor lain.

2.4 Pendidikan Seks

2.4.1 Perlunya Pendidikan Seks

(27)

pihak sekolah agar anak tidak mendapatkan informasi yang salah dari teman, internet, maupun media lainnya. Orangtua terkadang mengalami kesulitan membicarakan tentang seksualitas kepada anaknya, menganggap hal tersebut masih tabu, ketika anak bertanya kepada orangtua mengenai seksualitas. Orangtua justru memarahi anak dan memerintahkan anak untuk tidak membicarakannya di depan orangtua. Akibatnya anak menjadi takut bertanya ke orangtua. Padahal ketika anak bertanya itu merupakan waktu yang tepat bagi orangtua untuk menjelaskan mengenai seksualitas. Didorong atas rasa keingintahuan yang tinggi, anak akan mencari jawaban atas pertanyaannya ke sumber informasi lain yang belum tentu tepat, seperti teman ataupun internet.

Pendidikan seks berhubungan dengan transmisi informasi, memberikan konstribusi pada perkembangan kemandirian diri, mencari cara mensosialisasikan kelebihan diri dan masyarakat luas. Hal ini berkaitan dengan hubungan manusia yang meliputi dimensi utama moral. Ini juga tentang wilayah pribadi, kehidupan intim seseorang yang memberikan konstribusi bagi perkembangan pribadinya dan daya harmoni atau pemenuhan kebutuhan.

Tujuan mempelajari pendidikan seksualitas adalah agar anak mengetahui lebih banyak tentang seks dan tujuan pendidikan seks terhampar di balik ini, termasuk mendorong semacam keterampilan atau kecakapan, sikap kecendrungan, perilaku dan refleksi kritis terhadap pengalaman pribadi. Jika kita berpendapat bahwa pendidikan sebagai pengenalan anak (initiation) ke dalan suatu program aktifitas yang bernilai, maka sesuai dengan yang kita lihat, nilai memberikan kriteria, yang dapat kita gunakan untuk menilai sesuatu menjadi bernilai.

Karakter orang yang sudah berpendidikan secara seksual:

(28)

2. Orang yang berpendidikan secara seksual akan mempunyai beberapa kualitas diri tertentu seperti sikap asertifitas diri yang tepat dalam menolak tekanan teman sebaya dan mengatakan “tidak” terhadap perlakuan seksual yang tidak diinginkan.

3. Orang yang berpendidikan secara seksual akan memiliki sikap tertentu misalnya, menghargai orang lain yang mempunyai pendapat berbeda dengannya tentang isu kontraversial seperti aborsi, kontrasepsi, seks sejenis kelamin, perceraian.

4. Orang yang berpendidikan seksual akan memiliki kecakapan tertentu misalnya, keterampilan bertanggung jawab terhadap keputusan seksual yang di ambil berkaitan dengan evaluasi keinginan yang bertentangan, menjadi lebih peka dan menghargai nilai seksual orang lain,merefleksikan apa yang kita hormati dari orang lain, dan apa yang kita harapkan dari mereka (Reiss & Halstead, 2006: 13).

2.4.2 Tujuan Pendidikan Seks di Sekolah

Panduan kebijakan dan sumber yang dipakai guru untuk mengajar pendidikan seks di sekolah, adalah sebagai berikut:

1. Membantu anak untuk mengetahui topik-topik biologis seperti pertumbuhan, masa puber dan kehamilan.

2. Mencegah anak-anak dari tindak kekerasan.

3. Mengurangi rasa bersalah, rasa malu dan kecemasan akibat tindakan seksual. 4. Mencegah remaja perempuan di bawah umur dari kehamilan.

5. Mendorong hubungan yang baik.

6. Mencegah anak terlibat dalam hubungan seksual (sexual intercourse). 7. Mengurangi kasus kasus infeksi melalui seks

(29)

2.4.3 Peran Orangtua dalam Memberikan Pengetahuan tentang Seks

Langkah-langkah yang harus dilakukan orangtua ketika menjelaskan mengenai seksualitas adalah:

1. Mendengarkan dengan cermat setiap pertanyaananak. Posisi duduk sebaiknya sejajar, tatap mata anak agar anak merasa dirinya diperhatikan.

2. Jangan menghindari atau mengabaikan pertanyaan anak. Jawablah segera mungkin pertanyaan anak. Menunda jawaban berarti membuang kesempatan emas berbicara mengenai seks dengan anak. Namun bila orangtua belum siap menjawab maka katakan dengan jujur kepada anak bahwa orangtua akan

mencari tahu jawabannya terlebih dahulu.

3. Berilah jawaban hanya pada pertanyaan yang diajukan anak, tidak perlu melebar ke topik yang lain. Bila orangtua bingung dengan pertanyaan anak, ada baiknya bertanya kepada anak tentang maksud pertanyaannya. Seperti ketika anak bertanya mengenai seks, bukan berarti anak sudah mengertimengenai seks seperti yang dipikirkan oleh orang dewasa. Anak-anak belum mengerti konsep yang abstrak. Mereka akan mempertanyakan istilahistilah yang mereka dengar atau lihat dari televisi, internet, dll.

(30)

sedangkan alat kelamin perempuan disebut vagina. Bukan dengan istilah-istilah seperti “burung”, “dompet”, dll.

5. Berikan jawaban dengan nada bicara dan ekspresi muka yang wajar. Jangan merasa tertekan ketika menjawab pertanyaan. Merespon dengan ekspresi wajah terkejut, muka memerah, dan mata terbelalak akan menimbulkan kesan pada anak bahwa pertanyaan yang diajukan salah dan bukan sesuatu yang wajar. Misalnya ketika anak bertanya mengenai kondom. Jawablah dengan tenang bahwa kodom itu adalah alat kesehatan yang dipakai ayah atau laki-laki yang sudah dewasa untuk mencegah kehamilan.

6. Berikan jawaban yang sesuai dengan usia dan kebutuhan anak. Jawaban diberikan bertahap sesuai dengan kemampuan berpikir dan berdasarkan pengalaman dan logika yang dipahami anak. Misalnya jika anak prasekolah (usia4 - 6 tahun) tanpa sengaja melihat hubungan seksual yang dilakukan oleh orangtuanya dan kemudian bertanya semalam ibu dan ayah sedang apa? Kok bermain kuda-kudaan? Jawablah itu bukan main kuda-kudaan, tetapi itu cara untuk mengungkapkan kasih sayang dan cinta antara ayah dan ibu. Itu hanya dilakukan oleh suami-istri yang sudah dewasa, bukan oleh anak-anak.

7. Berikan informasi bertahap dan terus-menerus agar anak dapat menyerap informasi dengan baik dan tertanam dalam pikirannya sehingga dapat menjadi bekalnya kelak. 8. Gunakan media dan metode yang beragam agar anak tidak bosan. Misalnya dengan

bercerita, membaca, menggambar, menonton DVD pendidikan anak, berdiskusi, bermain peran. Media bergambar sangat disarankan agar anak mudah mengerti dan memahami apa yang dijelaskan.

(31)

berbagai sudut pandang Diakses pada tanggal 24 Februari 2014 pukul 21.00).

Bila anak bertanya mengenai kekerasan seksual itu apa, usahakan menjawab pertanyaan itu dengan tenang. Jawablah kekerasan seksual itu sangat luas, mulai dari laki-laki bersiul melecehkan kita, mengomentari tubuh kita hingga mulai menyentuh, meraba, memaksa mencium hingga akhirnya memperkosa atau memaksakan hubungan seksual dengan kita. Kadang laki-laki itu memukul atau menyakiti kita supaya mau menuruti apa yang ia mau. Usahakan untuk mengajarkan anak cara-cara yang dapat ia lakukan untuk menghindari diri dari kekerasan seksual, seperti :

1. Sedini mungkin anak harus dikenalkan pada anggota tubuhnya sendiri sehingga dia dapat menjelaskan dengan tepat apa yang terjadi pada dirinya; jelaskan mana bagian tubuhnya yang boleh diperlihatkan atau dipegang oleh orang lain dan mana yang tidak.

2. Anak harus dibiasakan untuk menolak perlakuan orang lain yang menyebabkan dia merasa tidak nyaman/terganggu/sakit. Kalau ada perlakuan yang tak wajar terhadap dirinya, anak dibiasakan untuk segera bercerita kepada orang tua, guru, atau keluarga yang lain. Anak juga harus dilatih agar tidak mudah percaya pada orang lain atau diajak main di tempat yang sepi.

(32)

2.5 Peran Yayasan Pusaka Indonesia dalam Memberikan Pendampingan terhadap Anak yang Menjadi Korban Tindak Kekerasan

Pusaka Indonesia sebagai lembaga advokasi penegakan hak-hak anak manusia (HAM) khususnya advokasi perlindungan dan penanganan anak-anak yang membutuhkan perlindungan khusus di Sumatera Utara. Lembaga yang berbadan hukum yayasan ini didirikan pada tanggal 10 Desember 2000 yang bertepatan pada hari hak asasi manusia sedunia. Pendirian lembaga ini dipicu oleh komitmen dari beberapa aktivitas hak asasi anak untuk mengambil peran dalam menjawab tentangan keprihatinan yang sangat mendalam tentang nasip anak-anak Indonesia dan generasi Sumatera Utara khusunya yang diterjang persoalan. Adapun langkah-langkah Yayasan Pusaka indonesia dalam mendampingi korban kekerasan pada anak sebagai berikut:

1. Korban kekerasan fisik dan seksual, didampingi pihak yayasan pusaka indonesia untuk mendapatkan pertolongan utama dari pihak medis atau kesehatan dari klinik atau rumah sakit. Pihak pusaka indonesia juga akan meminta rekaman medik (catatan medis korban) dari petugas pemeriksa.

2. Pihak dari yayasan pusaka indonesia akan mencari dan mengamankan barang bukti dari kasus tersebut (seperti pakaian korban, maupun alat-alat yang digunakan pelaku dan yang digunakan korban maupun saksi yang melihat kejadian).

3. Pihak yayasan pusaka indonesia berusaha memberi ketenangan dan keyakinan kepada korban. Apabila korban membutuhkan pertolangan dari psikolog maka pihak yayasan pusaka indonesia akan menghubungi biro konsultasi psikologi untuk membantu mengembalikan kepercayaan korban.

(33)

5. Pihak yayasan pusaka indonesi juga bersikap koperatif terhadap media massa yang meliput kasus dengan mengigatkan para jurnalis dalam memberitakan kasus-kasus anak baik sebagai pelaku maupun korban untuk tidak memuat identitas anak maupun gambar diri anak untuk mencegah stigma atau labelisasi dari masyarakat (Pasal 17 ayat 2 UU No.23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak) (Ritonga, Juniarti, Ikhsan, Ariffani, Ritonga, & Amri, 2005: 81).

2.6 Kesejahteraan Anak

2.6.1 Pengertian Kesejahteraan Anak

Kesejahteraan anak adalah suatu tata kehidupan anak yang dapat menjamin pertumbuhan dan perkembangannya dengan wajar, baik secara rohani, jasmani maupun sosial. Hal itu diatur dalam Undang-Undang No.4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak. Konsiderans Undang-Undang itu mengacu pada Pasal 34 UUD 1945, yang mengatakan: fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara. Dengan demikian apabila ketentuan Pasal 34 UUD 1945 ini dilakukan secara konsekuen, maka kehidupan fakir miskin dan anak terlantar akan terjamin (Prinst, 1997: 79).

2.6.2 Peran Pekerja Sosial terhadap Pelayanan Kesejahteraan Sosial Bagi Anak

(34)

kapasitas mereka agar berfungsi sosial dan menciptakan kondisi-kondisi masyarakat yang kondusip untuk tercapainya tujuan (Zastrow & Shulman, dalam Suharto, 2005: 24).

Pekerja sosial adalah profesi pertolongan kemanusiaan, yang tujuannya adalah untuk meningkatkan keberfungsian sosial individu, kelompok, keluarga, dan masyarakat. Sementara itu pengertian pekerja sosial yang diadopsi oleh IFSW (International Federation of Social Workers) General Meeting, 26 jully 2000, Montreal, Canada adalalah untuk meningkatkan perubahan sosial, pemecahan masalah dalam hubungan kemanusiaan dan pemberdayaan serta kebebasan masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraan (Huraerah, 2012: 131).

Profesi pekerja sosial, sejak awal keberadaannya sekian abad lalu, telah memasukkan pelayanan perlindungan anak (child protective service) sebagai salah satu bidang pelayanan, demikian penjelasan Zastrow dan Huttman. Pekerja sosial adalah profesi yang senantiasa menempatkan sasaran pelayanan (klien) dalam konteks situasi dan lingkungannya. Oleh karena itu, model pelayanan kesejahteraan sosial bagi anak secara umum meliputi tigaras: mikro, messo, dan makro, anak dijadikan sasaran utamam pelayanan.

Tabel 1

Model Pelayanan Kesejahteraan Sosial bagi Anak

Aras Fokus Utama Strategi/Program

Model A : Mikro Anak Intervensi krisi, konseling, perawatan medis, pemisahan sementara atau permanen, dukungan sosial.

Model B : Messo Keluarga (orangtua, siblings), kelompok (kelompok bermain, peer group), signifikasi other.

(35)

daerah, negara terapi sosial, kampanye, aksi sosial, advokasi kebijakan

Sumber: (Suharto, dalam Huraerah, 2012: 133).

Sistem pelayanan yang diberikan, baik pada model A,B, maupun C, dapat bebentuk pelayanan kelembagaan dimana anak mengalami masalah ditempatkan dalam lembaga (panti). Pelayanan konseling, pendidikan atau rehabilitasi sosial diberikan secara menetap dalam kurun waktu tertentu. Jika pelayanan bersifat non-kelembagaan, maka beragam jenis pelayanan diberikan di keluarga atau komunitas dimana anak meneta (Suharto, dalam Huraerah, 2012: 134).

Pelaksanaan model pertolongan terhadap kasus kekerasan seksual terhadap anak dapat dilakukan melalui prosedur atau proses sebagai berikut:

1. Identifikasi. Penelaahan awal terhadap masalah mengenai adanya tindakan kekerasan seksual terhadap anak. Laporan dari masyarakat atau dari profesi lain, seperti polisi, dokter, ahli hukum dapat dijadikan masukan pada tahap ini.

2. Investigasi. Penyelidikan terhadap kasus yang dilaporkan. Pekerja sosial dapat melakukan kunjungan kerumah, wawancara dengan anak atau orang yang diduga sebagai pelaku mengenai tuduhan yang dilaporkan, pengamatan terhadap perilaku anak dan orang yang diduga sebagai pelaku, penelaah terhadap kehidupan keluarga.

3. Intervensi. Pemberian pertolongan terhadap anak atau keluarga yang dapat berupa bantuan kongkret (uang, barang, perumahan), bantuan penunjang (penitipan anak, pelatihan manajemen stres, perawatan medis) atau penyembuhan (konseling, terapi kelompok, rehabilitasi sosial).

(36)

memburuk sehingga anak harus dilepaskan dari keluarganya sendiri (foster care), tidak ada kemajuan dalam penganan kasus, lembaga kehabisan dana, keluarga menolak kerja sama, tidak ada pihak yang membawa kasus ini ke pengadilan (Soetarso, Suharto, dalam Huraerah, 2012: 135).

2.7 Kerangka Pemikiran

Semakin meningkatnya tindak kekerasan yang terjadi pada anak maka anak membutuhkan adanya bantuan dari lembaga-lembaga sosial. Berdasarkan hal itu maka Yayasan Pusaka Indonesia dalam divisi anak dan perempuan menyelenggarakan suatu program yang erat kaitannya dengan tindak kekerasan seksual pada anak yaitu dengan melakukan upaya untuk melawan dan mencegah terjadinya tindak pidana kekerasan terhadap anak dan perempuan, termasuk praktek perdagangan. Yayasan Pusaka Indonesia juga memberikan perlindungan, peradilan kepada anak dan perempuan korban tindak kekerasan sehingga diharapkan kaum perempuan dapat memperoleh keadilan, rasa aman dan keselamatan dalam kehidupan sosialnya.

Sebuah penelitian berskala besar dilakukan oleh Thomas Achenbach dan Craig Edelbrock ditemukan bahwa individu yang berasal dari latar belakang sosial ekonomi rendah memiliki kecenderungan lebih besar untuk mengalami masalah dibandingkan individu yang berasal dari latar belakang sosial ekonomi menengah. Bahkan keadaan buruk yang terjadi di usia dewasa: pengangguran dan sejumlah perbuatan melanggar etika maupun melanggar hukum, merupakan keadaan-keadaa yang memiliki benang merah dengan kemiskinan yang dialami diusia anak.

(37)

ditunjukkan untuk membuktikan bahwa pelakunya memililiki kekuatan, baik fisik maupun non fisik. Kekuatannya dapat dijadikan alat untuk melakukan usaha-usaha jahatnya itu.

Kekerasan seksual terhadap anak perlu mendapatkan perhatian serius mengingat akibat dari kekerasan seksual terhadap anak akan menyebabkan anak mengalami trauma yang berkepanjangan. Trauma dapat membahayakan bagi perkembangan jiwa anak sehingga anak tidak akan dapat tumbuh dan berkembang dengan wajar. Tertuang dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak dinyatakan bahwa Anak berhak atas kesejahteraan, perawatan, asuhan dan bimbingan berdasarkan kasih sayang baik dalam keluarganya maupun di dalam asuhan khusus untuk tumbuh dan berkembang dengan wajar.

(38)

Bagan 1 Bagan Alur Pikir

2.8 Hipotesis

Secara etimologi istilah hipotesis berasal dari bahasa Latin, yang terdiri dari dua kata, yaitu hipo yang berarti sementara dan these yang berarti pernyataan. Dengan demikian secara sederhana hipotesa dapat diartikan sebagai pernyataan sementara. Kerliger mengemukakan bahwa hipotesa adalah suatu pernyataan sementara yang menyatakan hubungan antara dua atau lebih variabel. Hipotesis yang baik harus menyatakan hubungan yang jelas dan tegas antara dua atau lebih variabel dan juga membenarkan, bahkan memerlukan pengujian atas kebenaran pertanyaan yang dirumuskan (Siagian, 2011: 148).

Berdasarkan acuan dari kerangka pemikiran dalam penelitian ini, peneliti merumuskan hipotesa sebagai berikut:

Korban Kekerasan Seksual Pada Anak

Sosial Ekonomi Keluarga 1. Tingkat pendapatan 2. Tingkat pendidikan 3. Pekerjaan

4. Kondisi rumah 5. Kesehatan

6. Lingkungan tempat tinggal

(39)

Ha : Ada pengaruh sosial ekonomi keluarga terhadap korban kekerasan seksual pada anak Ho : Tidak ada pengaruh sosial ekonomi keluarga terhadap korban kekerasan seksual pada

anak

2.9 Defenisi Konsep dan Defenisi Operasional 2.9.1 Defenisi Konsep

Perumusan defenisi konsep dalam suatu penelitian menunjukkan bahwa peneliti ingin mencegah salah pengertian atas konsep yang diteliti. Dengan kata lain, peneliti berupaya mengiring para pembaca hasil penelitian itu untuk memaknai konsep itu sesuai dengan yang diinginkan dan dimaksud oleh si peneliti. Defenisi konsep adalah pengertian yang terbatas dari suatu konsep yang dianut dalam suatu penelitian (Siagian, 2011: 138).

Adapun batasan konsep dalam penelitian ini adalah:

a. Pengaruh adalah suatu akibat yang ditimbulkan oleh suatu keadaan atau kondisi.

b. Sosial Ekonomi adalah sebagai segala sesuatu yang berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan masyarakat, antara lain dalam sandang, pangan, perumahan, pendidikan, kesehatan, dan lain-lain. Pemenuhan kebutuhan yang dimaksud berkaitan dengan penghasilan.

c. Keluarga adalah sebagai suatu kelompok dari orang-orang yang disatukan oleh ikatan-ikatan perkawinan, darah, atau adopsi; merupakan susunan rumah tangga sendiri; berinteraksi dan berkomunikasi satu sama lain yang menimbulkan peranan-peranan sosial bagi suami istri, ayah dan ibu, putra dan putri, saudara laki-laki dan perempuan; dan merupakan pemelihara kebudayaan bersama

(40)

e. Kekerasan Seksual adalah istilah yang menunjukkan pada perilaku seksual deviatif atau hubungan seksual yang menyimpang, merugikan pihak korban dan merusak kedamaian di tengah masyarakat.

2.9.2 Defenisi Operasional

Defenisi operasional ditunjukkan dalam upaya tansformasi konsep ke dunia nyata sehingga konsep-konsep penelitian dapat diopservasi. Melihat transformasi yang berlaku, maka defenisi operasional disebut sebagai suatu proses operasionalisasi konsep. Operasionalisasi konsep berarti menjadikan konsep yang semula bersifat statis menjadi dinamis. Jika konsep itu sudah bersifat dinamis, maka akan memungkinkan untuk dioperasikan. Wujud operasional konsep adalah dalam bentuk sajian yang benar-benar terperinci, sehingga makna dan aspek-aspek yang terangkum dalam konsep tersebut terangkat dan terbuka (Siagian, 2011: 141).

A. Variabel Bebas (Independent Variabel)

Secara sederhana variabel bebas independent variabel dapat didefinisikan sebagai variabel atau kelompok atribut yang mempengaruhi atau memberikan akibat terhadap variabel atau sekelompok atribut lain. Ada kalanya variabel bebas itu disebut dengan variabel pengaruh. Biasanya untuk variabel bebas diberikan simbol “x”, sehingga sering disebut variabel x (Siagian, 2011: 89).

Variabel bebas (x) dalam penelitian ini yaitu kondisi sosial ekonomi keluarga. Indikatornya sebagai berikut:

1. Pendapatan

(41)

2. Pendidikan

"Tingkat pendidikan" sesuai dengan status sosial ekonomi karena merupakan fenomena “cross cutting” untuk semua individu. Pencapaian pendidikan individu dianggap sebagai cadangan untuk individu atas semua prestasi dalam hidup, yang tercermin melalui nilai-nilai atau derajatnya

3. Pekerjaan

"Pekerjaan yang bergengsi" sebagai salah satu komponen status sosial ekonomi, terdiri dari pendapatan dan pencapaian pendidikan. Status pekerjaan sesuai dengan tingkat pendidikan suatu individu yaitu melalui, mendapatkan pekerjaan yang lebih baik, mengeskplorasi dan mempertahankan posisi yang lebih baik.

4. Perumahan

Bangunan maupun hunian yang di jadikan tenpat tinggal dalam jangka waktu terten sebagai tempat beristirahat dan berkumpul keluarga

5. Kesehatan

Kemampuan untuk memberikan jaminan kesehatan terhadap keluarga, misalnya kemampuan untuk membeli obat-obatan dan kemampuan untuk berobat kerumah sakit, puskesmas, maupun pengobatan tradisional.

6. Lingkungan

Tempat tinggal yang tepat tentunya akan mendukung kesejahteraan masyarakat yang tinggal di lingkungan tersebut dan begitu juga sebaliknya.

B. Variabel Terikat (Dependent Variabel)

(42)

Variabel bebas (y) dalam penelitian ini yaitu kekeraan seksual. Indikatornya sebagai berikut:

1. Perkosaan

Pemerkosaan seringkali terjadi pada suatu saat dimana pelaku lebih dulu mengancam dengan memperlihatkan kekuatannya kepada anak. Jika anak diperiksa dengan segera setelah perkosaan, maka bukti fisik dapat ditemukan seperti air mata, darah, dan luka memar yang merupakan penemuan mengejutkan dari penemuan akut suatu penganiayaan.

2. Inces

Didefenisikan sebagai hubungan seksual atau aktivitas seksual antara individu yang mempunyai hubungan dekat, yang mana perkawinan di antara mereka dilarang oleh hukum maupun kultur.

3. Eksploitasi

Eksploitasi seksual meliputi prostitusi dan ponografi, dan hal ini cukup unik karena sering meliputi suatu kelompok secara berpartisipasi.

4. Pencabulan

Gambar

Tabel 1

Referensi

Dokumen terkait

Demikian pengumuman ini kami sampaikan dan bagi peserta pengadaan yang keberatan atas penetapan hasil kualifikasi dapat mengajukan sanggahan secara tertulis kepada

Adapun ketentuan dalam UU Penanaman Modal yang berkaitan dengan hukum perdata internasional, adalah Bab IV tentang Bentuk Badan Usaha dan Kedudukan Pasal 5 ayat (2)

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan terhadap analisis mutu minyak kelapa murni buatan industri rumah tangga secara menyeluruh bahwa ketiga sampel tersebut

Iuran kepada negara yang terhutang oleh yang wajib membayarnya (Wajib Pajak) berdasarkan' undang-undang, dengan tidak mendapat prestasi (balas jasa) kembali se~

[r]

Ž. There was no significant difference between the performance of silver perch fed the two test diets. The diet ingredient cost to produce 1 kg fish was significantly lower for

- 100% pada instrumen Pasar Uang dalam negeri yang mempunyai jatuh tempo kurang dari 1 (satu) tahun dan/atau Efek Bersifat Utang yang diterbitkan oleh korporasi dan/atau

Ketentuan dalam Peraturan Gubernur Kepulauan Bangka Belitung Nomor 4 Tahun 2012 tentang Pemberian uang Makan Bagi Pegawai Negeri Sipil di lingkungan pemeriniah