Makalah
EPISTEMOLOGI TASAWUF
DISUSUN:
Purnama Indah Lase
NIM : 0705162007
Dosen Pengampu :
Dr. Jafar, MA
Fakultas Sains dan Teknologi
UIN SUMATERA UTARA
FISIKA-1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Selama ini kebanyakan kita memahami tasawuf hanya sebagai sarana pendekatan diri
manusia kepada Allah SWT melalui taubat, zikir, ikhlas, zuhud, dll. Tasawuf lebih dicari orang
dan ditunjukka untuk sekedar mencari ketenangan, ketentraman dan kabahagiaan sejati manusia,
ditengah pergaulatan kehidupan duniawi yang tak tentu arah ini.
Pendapat-pendapat diatas tidaklah salah, tapi mungkin kurang tepat atau kurang
kompherensif. Ada aspek lain yang sangat penting dari tasawuf, yang menjadi fundasi dasar bagi
setiap upaya amal untuk meraih kebahagiaan dunia dan akhirat, bagi setiap pencari kebenaran
dan kesempurnaan diri dan kehidupannya.
Aspek penting itu adalah tasawuf sebagai salah satu pilar utama epistemologi dalam
Islam. Aspek epistomolgy Islam ini sangatlah penting kita kaji sebagai sebuah modus alternative
dizaman modern ini, dimana kebanyakan manusia didominasi oleh hegemoni paradigma ilmu
pengetahuan positivistic-empirisme dan budaya Barat yang materialistic-sekularistik.
B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dari penulisan makalah ini adalah:
1. Bagaimana peran hati dalam tasawuf?
2. Apasaja Metode tazkiyah nafs?
C. Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui:
1. Peran hati dalam tasawuf
PEMBAHASAN
A. Peran hati dalam tasawuf
Dalam tradisi intelektual Islam, hati ditempatkan sebagai salah satu sarana meraih ilmu. Istilah hati disebut berulang kali dalam Al-quran dan hadis , yang biasanya disebut dengan kata qalib, al-fuad, atau af’idah . Term hati disebut dalam Alquran dengan berbagai bentuk, anatar lain, kata qalbun disebut sebanyak 6 kali, dan kata qulub disebut sebanyak 21 kali. Kata al-fu’ad disebut sebanyak 3 kali, kata
fu’aduka disebut sebanyak 2 kali, kata af’idah disebut sebanyak 8 kali, dan kata af’idatuhum disebut
sebanyak 3 kali. Selain itu, dkenal istilah bashirah, yang berarti hati nurani, disebut dalam Alquran sebanyak 2 kali.
Dalam tradisi Islam, hati (qalb) merupakan subsistem jiwa manusia. Ahmad Mubarok telah menemukan konsep Alquran tentag fungsi, potensi, kandungan, dan kualitas hati manusia. Disebutkan
bahwa dari segi fungsi, menurut Ahmad Mubarok, qalb berfungsi sebagai “alat untuk memahami realitas
dan nilai-nilai serta memutuskan suatu tindakan (Q.S. al-A’raf/7:179),” sehingga qalb menjadi identik dengan akal. Disebutkan bahwa ada delapan potensi hati, yakni hati tu bisa berpaling, merasa kecewa dan kesal; secara sengaja memutuskan untuk melakukan sesuatu; berprasangka; menolak sesuatu;
mengingkari; dapat dipuji; dapat ditundukkan; dapat diperluas dan dipersempit; bahkan bisa ditutup rapat.
Mayoritas sufi menilai bahwa akal manusia tidak mampu mencapai hakikat Allah SWT, dan alquran menjelaskan bahwa kelemahan akal bisa ditutupi oleh hati yang damai. Dalam Q.S. al-Syu’ara
/26:89, disebutkan “kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang damai.” Dalam Q.S al-Shaffat/ 37:84, disebutkan “(ingatlah) ketika ia datang kepada Tuhannya dengan hati yang damai” Jadi, hati yang damai (biqalb salim) mampu dan dating menghadap kepada Allah SWT.
Hati sebagai sarana untuk menemukan ilmu lebih banyak dibahas oleh kaum sufi dalam berbagai karya mereka . Al-Ghazalli telah membahas hakikat hati dalam Ihya’ Ulum al-Din. Al-Ghazali
menjelaskan bahwa hati (qalb) bermakna ganda. Pertama, hati adalah “daging yang diletakkan dalam
dada sebelah kiri.” Dalam daging tersebut terdapat lubang, dan dalam lubang tersebut terdapat darah bewarna hitam yang menjadi sumber ruh. Hati semcam ini juga terdapat pada jasad binatang.” Kedua. “sesuatu yang halus bersifat ketuhanan (rubbaniyah), ruhani (ruhaniyah), dan memiliki kaitan dengan
ruh. Hati ini merupakan hakikat manusia.” Al-Ghazali memaknai qalb seperti ‘aql, yakni “yang
dan terletak dihati;, dan qalb berkaitan dengan ruh, yakni “ tubuh yang halus dan sumbernya adalah lubang hati jasmani, lalu tersebar dengan perantara urat-urat yang merusak kebagian jasad lain,” dan
“yang halus dari manusia tempat mengerti dan mengetahui ,” 1Jadi, qalb terdiri atas dua bentuk, yakni hati
yang bersifat jasmani dan hati yang bersifat ruhani.
Menurut al-Ghazali, hati dapat meraih ilmu mengenai banyak hal manakala ia memiliki sifat-sifat Rabbaniyah dan hikmah. Hati akan menjadi suci ketika dihiasi oleh sifat-sifat ilahiah, cahaya iman (sebagai dampak dari zikir dan ibadah), dan hikmah, sehingga hati akan menjadi cermin yang bercahaya cemerlang, dan akhirnya hati akan meraih kasyf yang membuatnya dapat memperoleh kebenaran,
bertemu Allah Swt., dan mampu menyingkap hakikat agama. Menurut al-Ghazali, ada lima penyebab hati gagal menerima ilmu, yakni kekurangan hati (yakni hati anak kecil), hati menjadi kotor karena mengikuti hawa nafsu sehingga selalu berbuat maksiat dan keji, hati dipalingkan dari kebenaran karena tidak mau mencarinya dan tidak mengarahkan pikiran kepada hakikat ilahiah, terhijab karena banyak taklid dan tunduk kepada prasangka,meskipun telah mengekang hawa nafsu atau memfokuskan diri kepada kebenaran, dan kebodohan dalam mengetahu arah kebenaran akibat penyelewengan ilmu dan tidak mengetahui manfaat pencarian ilmu. 2
B. Metode Tazkiyah al-Nafs
Adapun keutamaan tazkiyah al-nafs menurut alquran bahwa pelakunya disebut sebagai
orang-orang beruntung(Q.S. al-Syams/91:9; dan Q.S..al-A’la/87:14)dan orang-orang tersebut
diberi pahala serta keabadian surgawi(Q.S.Thaha/20:6). Dengan demikian,metode ‘irfani
merupakan metode yang dikembangkan dari isyarat-isyarat wahyu,metode para nabi dan
rasul,dan memberikan keberuntungan dunia dan akhirat kepada penggunanya.
Metode irfani merupakan metode kaum sufi dalam islam yang mengandalkan aktivitas
penyucian jiwa (tazkiyah al-nafs) untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt.,dan menilai bahwa
hakiki hanya diraih dengan cara mendekatkan diri kepada sosok yang Maha
Mengetahui(al-Alim),bukan dengan metode observasi dan eksperimen atau juga metode rasioanal. Diantara
kaum sufiterkemuka yang memiliki keyakinan tersebut adalah al-Ghazali(w.1191),dan Mulla
Shadra(w.1640). Meskipun meyakini keunggulan metode ilfani ketimbang metode ilmiah
lainnya,keempat sufi tersebut memiliki sejumlah perbedaan mengenai metode baru.
1 Al-Ghazali, Ihya Ulum al-Din, Vol.III (New Delhi: Islamic Book Service, 2006), h.7-9
Dalam al-Munqizh min al-Dhalal,al-Ghazali menyatakan bahwa kaum sufi mampu
meraih musyahadah dan mukasyafah,sehingga mereka akan mampu menyaksikan
(yusyahiduna)dan mengdengar (yasma’un) suara-suara para malaikat(al-malaikah)dan ruh-ruh para nabi (arwah al-anbiya) dengan hati(qalb)mereka. Menurutnya,seorang sufi hanya mampu
meraih ma’rifah sebagai maqam paling tinggi. Ia menolak al-ittihad, al-hulul,dan al-wushul. Setelah menekuni dan menguasai mazhab ahli teologi (al-mutakallimun),mazhab ahli
batiniah(al-batiniyyah),dan mazhab kaum filsuf (al-falasifah),al-Ghazali tidak merasa puas dengan metode
ketiganya,dan merasa gagal menemukan kebenaran, sampai akhirnya menemukan
kebenaran,sampai akhirnya menemukan mazhab kaum sufi(al-shufiyyah) dan metode
tasawuf(thuruq tashawwuf) yang dapat diandalkan dalam menemukan kebenaran ,serta
menjauhkan diri dari keraguan. Kaum sufi (al-shufiyyah)bagi al-Ghazali adalah ahli
menyaksikan(ahl al-musyahadah),ahli menyikap (ahl al-mukasyafah) berbagai rahasia
ketuhanan(rububiyah), dan mereka adalah manusia terbaik. Ia berkata”(kaum sufi adalah orang -orang yang hanya meniti jalan Allah Swt.,perjalanan hidup mereka adalah perjalanan hidup
terbaik,metode mereka adalah metode yang sangat lurus,dan akhlak mereka adalah akhlak yang
paling suci)”.Al-Ghazali mengkritik-bahkan meninggalkan mahzab filsafat dan mengikuti metode kaum sufi seperti Abi thalib al-Makki, al-Harits al-Muhasibi,al-junaid
al-baghdadi,al-Syabli,dan Abi Yazid al-Busthami yang hanya diraih lewat ilmu(‘ilm)dan amal(‘amal),dan meyucikan jiwa dari akhlak tercela (takhaliyah al-qalb min ghair Allah) dan menghiasi jiwa
dengan zikir kepada nya(tahaliyah bi zikir allah).Al-Ghazali akhirnya menekuni tasawuf dengan
mempraktikkan metode para sufi seperti al-uzlah,al-riyadhah,dan al-mujahaddah dalam rangka
menyucikan jiwa(tazkiyah al-nafs),mendidik akhlak(tahzib al-akhlaq)dan memurnikan
hati(tashfiyah al-qalb)untuk berzikir kepada allah. Al-Ghazali mengandalkan khalwah selama 10
tahun untuk mempraktikkan semua metode kaum sufi,bahkan meninggalkan tahta,keluarga dan
harta yang dimiliki. Dapat disimpulkan bahwa metode tazkiyah al-nafs dapat menjadi jalan lain
bagi ilmuan Muslim untuk memperoleh ilmu (ma’rifah).
Mazhab tasawuf,menurut al-Ghazali,dapat diwujudkan secara sempurna hanya melalui
ilmu (ilm) dalam amal(‘amal). Karya-karya para sufi menegaskan manusia terdiri atas badan dan jiwa (qalb). Baik badan maupun jiwa dapat menjadi sehat dan bahagia manakala kebutuhan
keduanya dapat dipenuhi secara benar,dan menjadi sakit manakala kebutuhan keduanya tidak
menghindari kehancurannya. Menurut al-Ghazali,jiwa dan hati manusia menjadi rusak dan
hancur jika manusia bersikap ateis(menolak dan tidak mengenal Allah Swt.)dan mengikuti hawa
nafsu,sedangkan hati menjadi sehat manakala mengenal allah(makrifat),mengikuti ajaran para
nabi sebagai pembawa jaran agama ,dan senantiasa melaksanakan ibadah secara
mantap,sehingga mencapai derajat qalbun salim. Sebagaimana ditegaskan bahwa tasawuf tidah
hanya sekedar ilmu,melainkan amal,sehingga dasar pijakankaum sufi adalah mengamalkan
ajaran kaum sufi dengan’uzlah,khalwah,riyadhah,mujahadah,ibadah,dan zikr sebagai saran
paling tepat untuk menyucikan jiwa. Kaum sufi yang terbagi dalam berbagai mazhab tasawuf
telah merumuskan beragam model ajaran tasawuf dalam rangka mencapai tujuan utama dalam
mazhab tasawuf.
Al-Ghazali memiliki sejumlah perbedaan dengan ibn’Arabi,Suhrawardi dan Mulla
Shadra. Ibn’Arabi juga mengakui kelemahan metode burhani,tetapi meyakini bahwa seorang sufi
mampu mencapai bukan hanya derajat ma’rifah tetapu bahkan wahdat al-wujud. Suhrawardi dan Mulla Shadra melakukan revisi terhadap metode irfani al-Ghazali. Jika al-Ghazali meragukan
metode burhani dalam menemukan ilmu dan kebenaran,maka Suhrawardi menilai bahwa
meskipun ilmu dan kebenaran harus diraih secara intuitif melalui perjalanan spiritual,tetapi ilmu
yang diraih harus mampu dikonstruksi secara rasioanal melalui metode burhani. Berbedadari
al-Ghazali dan Suhrawardi,Mulla Shadra menilai bahwa ilmu dan kebenaran harus diraih secara
irfan(intuitif),dapat dijelaskan secara burhan(rasioanal),dan sesuai dengan visi qur’an(wahyu).
Tetapi,mereka mengakui keunggulan metode irfani dari metode tajribi dan burhani,dan
perbedaan mereka hanya terletak pada posisi akal dan maqam spiritual tertinggi yang mampu
dicapai oleh seorang sufi.
Ibn al-Qayyim al-Jauziyah(w.1350)menyambut ilmu yang diraih oleh kaum sufi sebagai
ilm laduniyun,yakni ilmu yg diisyaratkan kepada ilmu yg diperoleh seorang hamba tanpa
menggunakan sarana,tetapi berdasarkan ilham dari allah dan diperkenalkan allah kepada
hambanya. Ilmu ladunni merupakan buah dari ibadah,serta kepatuhan dan kebersamaan dengan
allah,dan dicari kepada kepatuhan kepada rasulnya. Ilmu ladunni terdiri atas dua macam: dari sisi
allah dan dari sisi setan. Kaum sufi meraih ilmu dari sisi allah,sedangkan dari dukun meraih ilmu
dari sisi setan. Suhrawardi dan Mulla Shadra menyebut ilmu ladunni sebagai ilm
atau ilm al-hudhuri lebih berkualitas ketimbang ilm al-hushuli,sebab ilm al-hushuli harus
diusahakan oleh manusia,sedangkan ilm al-hudhuri diraih tanpa usaha dan merupakan pemberian
PENUTUP
A. Kesimpulan
Hati sangat berperan dalam tasawuf karena, jika hati kita bersih atau suci kita dapat memperoleh ilmu dengan mudah, dan kita dapat lebih dekat ataupun mengenal Allah SWT. Sebaliknya, jika hati kita kotor karena perbuatan buruk atau tercela maka hati akan hitam dan jauh dari Allah SWT , maka dari itu hati snagat berperan dalam tasawuf, agar karena ketika manusia mengenal hatinya, ia akan mengenal Allah SWT.
Bahwa metode tazkiyah adalah proses dalam pembersihan diri dari sifat-sifat tercela dan mengisi diri dari perbuatan terpuji. Hal ini dilakukan untuk mendekatkan diri kepada Allah yang Maha Kuasa. Metode tazkiyah al- nafs sangat banyak ragamnya , karena setiap sufi mempunyai metode tersendiri, pada intinya metode adalah menjauhi dunia dalam arti tidak terbelenggu oleh dunia, dunia hanya sarana.