12
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Dalam bab ini penulis akan membahas perjanjian internasional secara umum untuk menjawab rumusan masalah yang akan dibahas didalam bab pembahasan nanti. Pembahasan kali ini penulis menggunakan metode konseptual di mana terdapat beberapa argumentasi yang disampaikan oleh beberapa ahli mengenai perjanjian internasional. Sehingga penulis akan membahas mengenai isu hukum berupa sikap negara non peserta perjanjian terhadap perjanjian yang bersifat universal. Adapun argumentasi penulis dari isu tersebut yaitu penulis berpendapat bahwa perjanjian yang bersifat universal dan mengandung prinsip-prinsip umum atau general principles merupakan perjanjian yang bersifat law
making treaty di mana bila dilihat dari karakteristiknya perjanjian tersebut
secara praktik akan mengikat bagi semua negara baik itu negara peserta maupun negara non peserta.
13
yang keenam perjanjian internasional sebagai hasil kodifikasi hukum kebiasaan internasional berikut pembahasan dari penulis.
A. Pandangan Teoretik tentang Eksistensi Hukum Internasional
1. Teori Hukum Alam/Naturalisme
Dalam hal ini teori hukum alam (natural law) merupakan hukum yang diturunkan untuk bangsa-bangsa, dengan alasan bahwa hukum yang tertinggi adalah hukum alam. Teori hukum alam ini berasaskan kebenaran dan keadilan. Hukum alam merupakan hukum yang tidak dapat diubah. Tokoh dalam teori hukum alam adalah Emmerich de
Vattel, Hugo Grotius (Hugo de Groot).
Pada dasarnya teori hukum alam adalah hukum yang berasal dari Tuhan yang berbentuk asas kebenaran dan keadilan yang bersifat mutlak yang dimiliki oleh setiap manusia contohnya human rights.
Socrates berpegang teguh bahwa keadilan yang sesungguhnya serta
hukum yang benar itu tidak akan ditemui dalam Undang-Undang yang dibentuk penguasa-penguasa negara, ia bertempat tinggal di dalam diri dan dalam kesadaran manusia itu sendiri.
14
asal-usul keturunan, pandangan hidup, dan nilai-nilai yang berbeda-beda. Dalam perjanjian internasional dikenal dengan istilah customary law
Kelemahan dari teori ini adalah tidak adanya kepastian hukum yang dapat dibenarkan. Karena keadilan dan kebenaran sebuah hal yang relatif bagi masing-masing individu.
2. Teori Hukum Positif/Positivisme
Teori hukum positif berbeda dengan teori hukum alam, sumber hukum dalam teori hukum positif yaitu berasal dari perundang-undangan. Dengan keadilan dan kebenaran yang dikodifikasi ini dapat memberikan kepastian bagi pihak-pihak terikat.
Dalam hukum internasional sering dijumpai yaitu dalam bentuk konvensi. Istilah konvensi ini sangat populer di kalangan masyarakat internasional. Pembuatan konvensi ini dibuat oleh perwakilan negara dengan berbagai pertimbangan berdasarkan suasana dalam negara-negara pihak
15
B. Sumber-Sumber Hukum Internasional
Secara material sumber hukum dapat diartikan sebagai sumber isu hukum atas dasar berlakunya hukum dan kaidah-kaidah hukum itu diciptakan. Dapat juga diartikan sebagai sumber hukum yang mempersoalkan sebab apa hukum tersebut mengikat? dan sumber hukum apakah yang menjadi dasar untuk mengikat.
Berdasarkan Pasal 38 ayat 1 Statuta Mahkamah Internasional menyebutkan bahwa :
1. The Court, whose function is to decide in accordance with international law such disputes as are submitted to it, shall apply:
a. international conventions, whether general or particular, establishing rules expressly recognized by the contesting states
16
1. Perjanjian Internasional
Perjanjian Internasional merupakan sumber hukum yang sudah tidak asing lagi dikalangan masyarakat internasional. Selain itu perjanjian internasional merupakan instrumen terpenting dalam pelaksanaan hubungan internasional antarnegara. Dalam perjanjian Internasional akan menimbulkan hak dan kewajiban bagi setiap pihak, yang menjadi pesertanya. Selain itu perjnjian internasional juga berperan sebagai sarana untuk meningkatkan kerjasama antarnegara. Kelebihan dari perjanjian internasional dibandingkan dengan kebiasaan internasional yaitu sifat dari perjanjian internasional bersifat tertulis sehingga mudah digunakan pembuktian. Dengan demikian perjanjian Internasional dapat memberikan kepastian hukum.
Istilah-istilah perjanjian internasional beragam yaitu convention, final act, declaration, memorandum of understanding (MoU),
agreement,protocol dan lain-lain. Istilah tersebut hanya penyebutan
biasa tidak mengandung dampak yuridis. 1 Syarat penting untuk dikatakan sebgai perjanjian internasional bahwa perjanjian tersebut tunduk pada rezim hukum internasional walaupun para pihaknya adalah negara. Diatur dalam Pasal 2 (1a) Konvensi Wina 1969 tentang hukum perjanjian adalah persetujuan yang dilakukan oleh negara-negara, bentuknya tertulis dan diatur oleh hukum internsional.
Berdasarkan jumlah pesertanya perjanjian Internasional terdapat perjanjian bilateral dan multilateral. Kemudian berdasarkan luas
1
17
wilyahnya regional dan universal. Berdasarkan kaidah hukumnya terdapat perjanjian treaty contract dan law making treaty.
2. Kebiasaan Internasional
Menurut Dixon hukum kebiasaan internasional adalah hukum yang berkembang dari praktik atau kebiasaan-kebiasaan negara. Hukum kebiasaan merupakan sumber hukum tertua dalam hukum internasional. Walaupun saat ini hukum kebiasaan internasional semakin kecil karena bertambah banyaknya perjanjian-perjanjian yang membentuk hukum namun secara substansial hukum kebiasaan merupakan bagian dari perjanjian internasional. Hukum kebiasaan internasional dikristalisir dari adat istiadat atau praktek-praktek negara melalui hubungan diplomatik antar negara, praktek-praktek organisasi internasional dan Undang-Undang nasional.2 Sehingga terdapat 2 unsur kebiasaan diantaranya adalah unsur faktual dan unsur psikologis. Unsur faktual memiliki karakter merupakan praktik dari negara-negara, unsur praktik umum,unsur praktik yang berulang-ulang dan unsur jangka waktu. Sedangkan unsur psikologis merupakan penilaian yang bersifat abstrak dan subjektif.
Namun tidak dapat disangkal eksistensi dari new customary law yang dapat menggantikan hukum kebiasaan yang sudah ada existing
2 J.G Starke,Pengantar Hukum Internasional jilid II, Penerbit C,V Alumni, Bandung ,
18
rule yang didukung oleh opinio juris 3 contoh kasusnya adalah
Indonesia melanggar hukum kebiasaan internasional yaitu dalam kasus
Tobacco Case dimana Indonesia tidak memberikan ganti rugi sesuai
hukum kebiasaan Internasional yang berlaku ketika menasionalisasi perusahaan dan perkebunan tembakau milik warga dan perusahaan Belanda. Sehingga menurut hukum kebiasaan internasional Belanda harus memenuhi unsure promp dan effective.
3. Prinsip – Prinsip Umum tentang Hukum
Prinsip-prinsip hukum umum diperkenalkan pertama kali oleh Statuta PCIJ dengan maksud untuk menghindari masalah non liquet dalam suatu perkara yang dihadapkan pada hakim karena pada prinsipnya hakim tidak dapat menolak perkara yang dijauhkannya dengan alasan tidak ad hukumnya.
Adapun beberapa prinsip-prinsip hukum secara umum mencakup seluruh bidang hukum baik itu pidana,perdata,lingkungan dan lain-lain. Beberapa prinsip-prinsip lain yaitu pacta sunt servanda,good faith,nullum delictum nulla poena legenali,nebis in idem,good
governance dan lain-lain. Dalam kasus EASTERN Carelia Case 1923
PCIJ menyatakan bahwa kemerdekaan negara merupakan prinsip yang
fundamental dalam hukum internasional.4
19
4. Keputusan-Keputusan Hakim atau Yurisprudensi Internasional
Dalam Pasal 38 Statuta MI disebutkan sebagai sumber hukum tambahan (subsidiary) bagi sumber hukum di atasnya. Bukan berarti bahwa putusan pengadilan lebih rendah dibandingkan dengan sumber hukum lainnya, karena putusan pengadilan ini tidak dapat berdiri sendiri yang dasarnya dimambil oleh hakim. Serta putusan pengadilan digunakan hakim untuk memperkuat argumentasi sumber hukum di atasnya.
Walaupun putusn hakim tidak dapat mengikat namun putusan ini dapat menimbulkan kebiasaan-kebiasaan Internasional yang kemudian digunakan oleh hakim untuk dasar putusan dengan kasus-kasus yang serupa. Contohnya adalah dalam kasus Anglo-Norwegian Fisheries
Case 1952 serta Reparation for Injuries Suffered in the Crevice of the
UN 1949 . Dalam kasus pertama hakim menciptakan ketentuan baru
dalam Hukum Internasional mengenai batas teritorial berdasarkan geografis dan kepentingan ekonominya. Kemudian kasus yang kedua hakim menciptakan kaidah baru UN sebagai organisasi baru memberikan ganti rugi berdasarkan hukum internasional.
5. Ajaran dari Ahli
20
hukum lain karena hanya berupa opini tidak mengikat dan bukan hukum. Sehingga hakim tidak dapat memutus perkara berdasarkan opini para pakar ahli.
Namun ajaran ahli meskipun bukan hukum banyak para ahli memberikan pendapat seperti Gidel tentang zona laut tambahan yang kemudian diikuti pakar lainnya sehingga menjadi hukum kebiasaan internasional.
C. Hubungan Antara Hukum Internasional dengan Hukum Nasional
1. Teori Dualisme
Dalam teori ini hukum internasional dan hukum nasional merupakan sistem hukum yang dipisahkan sehingga tidak memiliki hubungan hierarki antara kedua sistem hukum ini. Adapun ciri-ciri dari dualisme yaitu :5
1. Hukum internasional dan hukum nasional berlaku pada wilayah yang berbeda
2. Aparat hukum menerapkan hukum internasional dalam statusnya sebagai norma hukum nasional
3. Hukum internasional ditransformasikan kedalam hukum nasional
4. Tidak mungkin terjadi konflik karena wilayahnya berbeda
5Damos Dumoli Agusman, Hukum Perjanjian Internasional Teori dan Praktik Indonesia.
21
Proses transformasi dimana norma hukum internasional berubah karakter menjadi produk hukum nasional serta tunduk dan masuk pada tata urutan perundang-undangan nasional. 6 maka konsekuensi yang diterima negara harus adanya lembaga hukum untuk mengkonversikan hukum internasional ke hukum nasional.
2. Teori Monisme
Aliran monisme menempatkan hukum internasional merupakan satu kesatuan sistem hukum. Pemberlakuan hukum internasional tidak harus melalui transformasi bila ada proses legalisasi hanya merupakan implementasi dari norma hukum internasional.
Dengan demikian hukum internasional yang berada dalam sistem hukum internasional berkarakter hukum Internasional .7 Karena aliran satu sistem maka untuk menghindari adanya konflik antara hukum nasional dan internasional aliran ini dibagi menjadi dua yaitu mendahulukan hukum nasional (primat hukum nasional) dan mendahulukan hukum internasional (primat hukum internasional. berikut ciri-ciri dari monoisme yaitu8:
1. Hukum internasional dan hukum nasional merupakan satu kesatuan sistem
2. Aparat hukum menerapkan norma hukum internasional dalam statusnya sebagai norma hukum internasional
6
Ibid., h.97
7
Mochtar kusumaatmadja dan Etty R. Agoes, Pengantar Hukum Internasional, Penerbit PT Alumni, Bandung, 2003, hlm.61-64.
8
22
3. Hukum internasional di inkorporasi dengan hukum nasional 4. Terbuka munculnya konflik antara hukum internasional dengan
hukum nasional. Melahirkan primat hukum nasional.
a. Teori Monisme dengan Primat Hukum Internasional
Menurut A Verdross, G.Scelle,Hans Kelsen, W.Kaufaman, teori ini berpendapat bahwa terdapat suatu kesatuan sistem hukum dimana hukum internasional berada ditingkatan teratas. Akibatnya hukum nasional harus selalu sesuai dan mengikuti hukum internasional. Hal ini disebabkan alasan bahwa subjek hukum internasional sebenarnya tidak terlalu berbeda dengan subjek hukum nasional, dimana didalam hukum internasional maupun hukum nasional individu adalah subjek hukum yang utama , walaupun didalam hukum internasional yang dimksud dengan individu merujuk pada statusnya sebagai pejabat negara.
Selain itu sumber hukum internasional sebenarnya lebih superior secara hierarki daripada hukum nasional sehingga dalam pemberlakuannya hukum internasional tidak perlu ditransformasikan lebih lanjut. Namun konstitusi nasional dapat memberikan pengecualian lebih lanjut
b. Teori Monisme dengan Primat Hukum Nasional
23
dengan alasan bahwa hukum internasional bukanlah suatu bentuk pedoman perilaku individu yang diutamakan adalah kepentingan negara terkait. Dalam doktrin ini hanya mengenal satu sistem saja.
3. Doktrin Inkorporasi dan Transformasi
Doktrin pertama yaitu doktrin inkorporasi yang menyebutkan bahwa Hukum Internasional akan berlaku otomatis menjadi bagian dari Hukum Nasional tanpa adopsi sebelumnya. Sedangkan doktrin transformasi Hukum Internasional tidak menjadi Hukum Internasional kecuali sampai diimplementasikan dalam Hukum Nasional lebih dulu.
Menurut akademisi Ninon Melatyugra dalam jurnal menyebutkan bahwa teori inkorporasi merupakan teknik dari monisme dimana negara dapat menerapkan hukum internasional di wilayah nasional tanpa mengubah dasar hukumnya. Teknik incorporation memberi implikasi terciptanya jenis treaty yakni selfexecuting treaty yang bersifat dapat diterapkan secara langsung dalam sistem hukum nasional. 9
Sedangkan teori dualisme menggunakan teknik transformation dimana penerapan hukum internasional harus diikuti dengan proses legislasi untuk mengubah hukum internasional menjadi bagian dari hukum nasional. Teknik transformasi ini menghasilkan jenis hukum yang bersifat non-self-executing treaty dimana jenis tersebut tidak akan
9Ni o Melatyugra,”
24
memiliki daya eksekusi tanpa aturan tambahan atauaturan pelaksana nasional.
Adapun kelemahan dalam teori tersebut menurut Ninon memiliki beberapa kelemahan diantaranya Pertama, teori tersebut bersifat expost yang hanya melihat pada praktik-praktik negara saja. Kedua, teori tersebut kurang mengandung normative content yang tidak dapat digunakan sebagai argumen di pengadilan nasional. Ketiga, teori tersebut tidak mampu menghadapi praktik overlapping terhadap teori itu sendiri di suatu negara.
Walaupun dari uraian diatas Hukum Internasional dan Hukum Nasional tidak mempunyai pengaruh sama sekali, justru dalam praktik Hukum Internasional dan Hukum Nasional saling mempengaruhi dan membutuhkan satu sama lain khususnya untuk Indonesia
Pertama, hukum internasional akan lebih efektif apabila ditransformasikan kedalam hukum nasional. Sebelum meratifikasi GATT/WATO Indonesia sempat tidak dapat menggunakan anti dumping untuk melindungi perdagangan Internasional. Kedua, Hukum Internsional akan menjembatani ketika Hukum Nasional tidak dapat diterapkan di wilayah lain. Contohnya ketika indonesia menangkap seorang buronan yang lari ke luar negeri maka diperlukan perjanjian ekstradisi antar negara.
25
kesamaan dan kepastian hukum kelompok ASEAN membuat perjanjian. Hukum internasional tumbuh dari praktik hukum nasional. Kelima meskipun negara mempunyai prescription jurisdiction, dalam pembuatan perundang-undangan nasional, negara tidak dapat membuat seenaknya harus melihat hukum internasional yang sudah ada.
D. Perjanjian Internasional Sebagai Sumber Hukum Internasional
1. Pengertian Perjanjian Internasional
Perjanjian internasional merupakan bentuk kodifikasi dari kaidah kaidah kebiasaan (custom). Kaidah-kaidah hukum ini semakin hari
semakin menyusut akibat dari “yang membentuk hukum”
(lawmaking)10 bentuk kodifikasi tersebut contohnya yaitu Vienna
Convention On The Law Of Treaties 1969. Namun praktik tentang
perjanjian internasional sudah berjalan lebih dahulu dan menjadi kebiasaan internasional sehingga kebiasaan internasional tetap akan berperan sebagai sumber dinamis bagi hukum internasional.
Maka menurut Vienna Convention On The Law Of Treaties 1969 perjanjian internasional adalah :
An international agreement concluded between states in written form and governed by international law, whether embodied in a single instrument or in two or more related instruments and whatever its praticular designation
Sehingga unsur-unsur dari pengertian perjanjian internasional adalah ; an international agreement yang berarti bahwa perjanjian ini
10
26
berkarakter internasional yang mengatur aspek-aspek hukum internasional dan permasalahan antar lintas negara ; subject of
international law pembuatan ini harus subjek-subjek hukum tertentu
yaitu negara, organisasi internasional, palang merah internasional, tahta suci/vatican, belligerent ; In written form pembatasan ruang lingkup perjanjian internasional hanya pada perjanjian tertulis ;
Governed by international law mengatakan bahwa setiap negara
melaksanakan kewajiban dan tunduk terhadap hukum internasional ( biasanya berbentuk kontrak antar negara ) ; Whatever forms definisi perjanjian internasional lebih mengutamakan prosedur perjanjian internasional.
Sejarah dibentuknya Vienna Convention On The Law Of Treaties
1969. Pada tahun 1935 komisi hukum internasional mengkodifikasi
kebiasaan-kebiasaan tersebut dalam bentuk rancangan konvensi tentang hukum internasional. Sehingga pada tahun 1948 ILC yang didirikan PBB ditugaskan untuk membuat konvensi perjanjian internasional hingga sidang yang kesebelas baru terumuskan konvensi
Vienna Convention On The Law Of Treaties 1969 dan memenuhi
syarat berlaku (entry into force) sebagai hukum positif internasional pada tanggal 27 Januari 1980.
27
menuangkan hubungan internasional kedalam bentuk perjanjian internasional dengan tujuan agar memperoleh jaminan kepastian hukum bagi pihak-pihak yang bersangkutan maupun pihak ketiga. Dalam sub bab ini penulis hanya memfokuskan mengenai sifat perjanjian yaitu law making treaty dan treaty contract. Jenis perjanjian lain yang dijabarkan hanya secara umum saja. Perjanjian internasional di bagi menjadi beberapa bagian diantaranya :
a. Ditinjau dari segi jumlah negara yang menjadi pihak
pesertanya
Perjanjian Internasional bilateral, yaitu perjanjian
internasional yang para pihaknya atau negara peserta yang terikat dalam perjanjian tersebut hanya dua negara saja contohnya perjanjian antara Indonesia dan Malaysia tentang kepulauan Sipadan dan Ligitan. Dengan demikian negara diluar pihaknya tidak dapat ikut campur atas perjanjian yang telah disepakati oleh kedua negara tersebut
Perjanjian internasional multilateral, yaitu perjanjian
28
b. Ditinjau dari segi ruang lingkup berlakunya
Perjanjian Internasional regional perjanjian ini bersifat
terbatas dan hanya pada satu kawasan tertentu saja contohnya perjanjian internasional antara negara-negara dikawasan Amerika Latin, Afrika, dan Timur tengah
Perjanjian Internasional universal merupakan perjanjian
internasional yang substansi dan ruang lingkup berlaku diseluruh muka bumi perjanjian ini bersifat law making
treaty contohnya DUHAM 1948
2. Pengaturan Perjanjian Internasional
Selain perjanjian Vienna Convention On The Law Of Treaties 1969 yang mengandung norma kebiasaan internasional terdapat pula perjanjian The Vienna Convention on The Law of Treaties between States and International Organizations or between International
Organizations (yang kemudian disingkat menjadi konvensi wina
1986).
29
subyek yang terikat berbeda. Dimana konvensi 1986 mengatur antar organisasi internasional
3. Prinsip-Prinsip Perjanjian Internasional
Dalam perjanjian internasional terdapat prinsip-prinsip hukum internasional seperti prinsip pacta sunt servanda menurut Schmitthoff dan Goldstajn menganggap bahwa prinsip ini diakui secara internasional dan merupakan prinsip penting. Prinsip ini menyebutkan bahwa para pelaku harus melaksanakan kesepakatan-kesepakatan yang telah disepakatinya dan dituangkan dalam bentuk kontrak. Prinsip ini banyak ditemui dalam perjanjian kontrak.
Terdapat general principles of law berdasarkan Pasal 38 (1) Statuta Mahkamah Internasional merupakan bentuk hukum internasional mengenai prinsip-prinsip atau asas-asas hukum umum (General principles of law). Secara historis dan empiris (kenyataan) kebiasaan internasional dan perjanjian internasional merupakan sumber hukum internasional primer yang terpenting atau terutama. 11
Kemudian mengenai konsep jus cogens merupakan serangkain prinsip atau norma yang tidak dapat diubah
(peremptory) yang tidak boleh diabaikan.12 Sehingga konsekuensi
11
Alma,. Loc.Cit hal.138
12
30
negara harus menerima dan patuh karena jus cogens bersifat memaksa.
McNair mendefinisikan jus cogens merupkan norma yang memaksa yaitu dengan cara mengikat para pembentuk hukum internasional. Jus cogens merupakan bahasa latin yang memiliki arti “compelling law. A mandatory norm of genereal international law from which no or two more nations may exempt themselves or
release one another” 13
Dengan demikian general principles of law merupakan kebiasaan internasional yang sejak dulu terikat bagi setiap negara. DUHAM merupakan bentuk dari general principles of laws karena mengatur seluruh masyarakat internasional dan juga telah diakui oleh masyarakat internasional. Karena sifatnya tersebut masih mengatur secara umum maka banyak konvensi-konvensi yang saling bermunculan mengadopsi dari DUHAM atau bisa disebut sebut konvensi tersebut merupakan lex specialist.
Prinsip pacta teritiis nec nocent nec prosount prinsip ini menyebutkan bahwa suatu perjanjian internasional hanya memberikan hak dan kewajiban kepada pihak-pihak yang terikat pada perjanjian tersebut. Pihak lain atau pihak ketiga tidak ada sangkut pautnya terhadap perbuatan hukum yang ada dalam perjanjian internasional. Prinsip jus cogens merupakan prinsip atau norma yang tidak dapat
13
31
diubah,tidak boleh diabaikan dan karenanya dapat untuk membatalkan suatu perjanjian apabia tidak sesuai dengan salah satu norma atau prinsip. Dalam perjanjian internasional dikenal dengan prinsip
clausula rebus sic stantibus dimana dalam prinsip ini menegaskan
bahwa negara peserta dapat mengambil langkah yang ditunjukan untuk mengesampingkan kewajiban yang dikehendaki oleh traktat.14
Prinsip equality rights pihak yang berhubungan memiliki kedudukan yang sama. Adapun negara memiliki prinsip free consent yaitu negara bebas menyatakan kehendaknya. Jadi pihak ketiga tidak memiliki peran apapun dan tidak memiliki hak serta melaksanakan kewajiban yang diatur dalam perjanjian Reciprositas (Asas timbal-balik), yaitu tindakan suatu negara terhadap negara lain dapat dibalas setimpal, baik tindakan yang bersifat negatif atau pun posistif.
Courtesy, yaitu asas saling menghormati dan saling menjaga
kehormatan masing-masing negera. Rebus sic stantibus, yaitu asas yang dapat digunakan untuk memutuskan perjanjian secara sepihak apabila terdapat perubahan yang mendasar/fundamental dalam keadaan yang bertalian dengan perjanjian internasional yang telah disepakati.
E. Treaty Contract dan Law Making Treaty
1. Treaty Contract
Treaty Contract perjanjian yang bersifat treaty contract lebih
condong kepada perjanjian bilateral. Perjanjian bilateral ini hanya
14
32
memiliki 2 subyek hukum. Perjanjian ini dapat ditemukan pada perjanjian bilateral, trilateral, dan regional.15 Contoh perjanjian bilateral adalah perjanjian mengenai Dwi kewarganegaraan antara Indonesia dan Tiongkok. Pada tanggal 22 April 1955 telah tercapai perjanjian antara pemerintah indonesia dan pemerintah Tiongkok (Lembaran negara no.5 tahun 1958) oleh menteri luar negeri Sunario dan Chou En Lai. Isi perjanjian tersebut dituangkan dalam Undang-Undang No.2 Tahun 1958 pada 11 Januari 1958 yang diimplementasikan dengan Peraturan Pemerintah No 20 Tahun 1959 adapun waktu pelaksanaan diberi batasan yaitu dua tahun pada 20 Januari 1960-1962 sesuai dengan perjanjian. Sehingga Ausralia tak dapat turut serta dalam perjanjian dwi kewarganegaraan antara Indonesia dan Tiongkok
Perjanjian bilateral merupakan perjanjian internasional bila dilihat dari segi fungsinya dikatakan sebagai treaty contract biasannya bersifat perdata.16 Karena hanya mengakibatkan hak dan kewajiban bagi pihak-pihak yang terikat dalam perjanjian tersebut. Sehingga pihak ketiga diluar perjanjian tersebut tidak dapat bergabung kecuali pihak ketiga meratifikasi perjanjian. Hak dan kewajiban negara yang terikat harus dilaksanakan.
Terkait dengan pelaksanaan hak dan kewajiban para pihak setelah perjanjian tersebut maka timbulah perbuatan hukum. Treaty contract tergolong perjanjian yang bersifat khusus dan tertutup. Karena
15
Sefriani, loc. it hal 29
16
33
kekhususan perjanjian tersebut konsekuensinya adalah perjanjian ini tidak dapat bersifat universal atau berlaku bagi semua negara.17 Sehinggga perbuatan hukum tersebut hanya dapat dilakukan oleh para pihak yang terikat.
2. Law Making Treaty
Law making treaty Perjanjian internasional yang bersifat Law
making-treaty merupakan perjanjian internasional yang meletakkan
ketentuan-ketentuan atau kaedah-kaedah hukum bagi masyrakat internasional sebagai keseluruhan.18 Contoh perjanjian-perjanjiannya adalah Konvensi 1949 tentang perlindungan korban perang, konvensi-konvensi hukum laut tahun 1958, dan konvensi-konvensi vienna tahun 1961 tentang hukum diplomatik.
Sifat dari perjanjian ini terbuka bagi pihak lain diluar perjanjian dibandingkan dengan treaty contract. Karena perjanjian law making
treaty ini mengatur tentang masalah-masalah umum mengenai semua
anggota masyarakat internasional .19 karena sifatnya terbuka sehingga pihak ketiga dapat tergabung dalam perjanjian tersebut dan perjanjian ini merupakan kodifikasi dari hukum kebiasaan yang berlaku dari
17
Eddy Pratomo, Hukum Perjanjian Internasional, Kompas Gramedia, Jakarta, 2016. h. 98
18
Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional, Binacipta, Bandung, 1976 h.114
34
sebelumnya yang berisikan progressive development 20merupakan kebiasaan baru atau prinsip hukum yang berlaku internasional.
Karakteristik progressive development dimana negara peserta terikat pada seluruh pasal perjanjian, kemudian untuk negara bukan peserta hanya terikat pada isi pasal (existing customary law) karena hukum kebiasaan, maka karakteristik utama dalam progressive
development bersifat new customary 21.
Contoh negara diluar pihak perjanjian adalah Tanzania, Gahana, dan Guinea.22 Negara tersebut tidak turut dalam konversi Jenewa 1949 tentang Perlindungan Korban Perang.
Sehingga perjanjian yang bersifat law-making treaty ini memperbolehkan pihak-pihak diluarnya untuk mendukung perjanjian tersebut. Ada beberapa jenis law-making treaty diantaranya adalah23 :
1. Masalah yang diatur adalah masalah yang menjadi kepentingan beberapa negara saja. Contohnya negara penghasil cengkeh yang diikuti oleh tiga atau lima negara saja namun negara diluar perjanjian tersebut dapat (negara penghasil cengkeh) menjadi peserta.
2. Masalah yang diatur merupakan kepentingan sebagian besar atau seluruh negara dunia.
Mochtar kusumaatmadja, loc.cit. hal.114
23
35
Contohnya hukum laut internasional,perlindungan korban perang dan sejenisnya. Perjanjian-perjanjian tersebut memiliki sifat dan isi yang menyangkut kepentingan seluruh negara didunia sehingga melahirkan kaidah-kaidah hukum internasional universal
Implikasi yang ditimbulkan bagi negara peserta yaitu berupa kewajiban dalam ketentuan tersebut akan mengikat sedangkan terhadap negara-negara yang non peserta maka ketentuan perjanjian tersebut mengikat selama ketentuan tersebut mencerminkan hukum kebiasaan.24 Kewajiban tersebut muncul karena norma atau kewajiban berasal dari hukum yang sebelumnya terdapat dalam kebiasaan. 25
Sehingga berdsarkan jenis law making treaty diatas ditegaskan
kembali bahwa yang dimaksudkan dengan “menjadi kaidah hukum
yang berlaku umum” tidak berlaku untuk semua perjanjian
multirateral. Harus disesuaikan dengan isi atau masalah dan daerah / kawasan itu sendiri. Jadi perjanjian internasional law making
treaty merupakan universal atau umum, ini merupakan “Ruang
Lingkup Konvensi” (Framework Convention).26
24
Janwahir. Loc.Cit.hal.60
25
Martin Dixton, Textbook on International Law, London: Blackstone Press, 1996, hlm.25.
26
36
F. Perjanjian Internasional Sebagai Hasil Kodifikasi Hukum Kebiasaan
Internasional
Dari pembahasan dalam bab sebelumnya telah disebutkan bahwa perjanjian internasional merupakan salah satu sumber hukum internasional primer dan perjanjian internasional merupakan bentuk kodifikasi dari hukum kebiasaan internasional yang dalam norma dan kaidahnya mengadopsi unsur kebiasaan internasional. Prinsip dari perjanjian internasional jus cogens dimana prinsip ini merupakan sebuah norma yang memiliki keutamaan dibandingkan dengan norma-norma yang lainnya27.
Perjanjian internasional terdapat dalam perjanjian yang bersifat multilateral dimana dalam perjanjian ini mengandung kebiasaan-kebiasaan negara yang kemudian dikodifikasikan dalam bentuk normatif contohnya adalah tentang Konvensi Hukum laut. Dalam perjanjian multilateral memiliki implikasi bahwa perjanjian ini menimbulkan kewajiban yang dibebankan kepada negara-negara baik negara peserta dan negara bukan peserta28 Sehingga perjanjian multilateral merupakan bentuk kodifikasi dari hukum kebiasaan yang sudah berlaku sebelumnya.29
Perjanjian yang pengkodifikasiannya merupakan existing
customary law merupakan perjanjian multilateral yang bersifat progresive
development maka setiap negara bukan peserta perjanjian hanya terikat
37