38
BAB III
PEMBAHASAN
Bab ini akan mengupas lebih dalam mengenai pokok permasalahan dan tujuan yang hendak dijawab. Adapun pokok permasalahan yang
dimaksud adalah mengenai apakah The 1951 Refugee Convention and
1967 Protocol dapat dikatakan sebagai Law Making Treaty, dan
bagaimana hak dan kewajiban internasional Indonesia terhadap pengungsi apabila dikaitkan dengan norma-norma dalam The 1951 Convention
Refugee and 1967 Protocol dimana bentuk tanggungjawab masyarakat internasional terhadap status pengungsi internasional dalam hukum nasionalnya. Cara penulis menjawab permasalahan tersebut melalui
pendekatan perundang-undangan yaitu dengan menelaah The 1951
Refugee Convention and 1967 Protocol.
Khususnya bagi Indonesia yang belum meratfikasi konvensi mengenai status pengungsi. Dengan demikian menjadi pokok permasalahan yang akan diangkat penulis mengenai bagaimana karakter
dari konvensi status pengungsi tersebut dan hak serta kewajiban Indonesia berdasarkan konvensi status pengungsi tersebut.
Argumentasi penulis adalah konvensi status pengungsi merupakan
lex specialist dari DUHAM itu sendiri. Walaupun konvensi status
pengungsi belum diratifikasi oleh Indonesia namun konvensi ini
39
Sehingga konvensi status pengungsi merupakan jenis perjanjian yang berbentuk Law making treaty untuk negara yang bukan non peserta akan tetap menimbulkan kewajiban bagi negara non peserta tersebut.
Alasan mendasarnya adalah konvensi status pengungsi tersebut terdapat unsur general principles of law.
Dalam tesis ini penulis merangkum pokok untuk memperkuat argumentasi diantaranya adalah pertama sejarah hukum status pengungsi, kedua prinsip general principle of law yang terdiri dari
non-refoulement,dan equality non-discrimination. Serta peran Indonesia yang
secara tidak langsung mengadopsi instrumen konvensi status pengungsi
dalam hukum normatif Indonesia.
A. Tinjauan Umum Terhadap The 1951 Refugee Convention and 1967
Protocol
Masyarakat internasional mulai mengenal pengungsi sejak
perang dunia ke I (1914-1918) terjadi perang Balkan yang mengakibatkan pergolakan pada kekaisaran Rusia. Diperkirakan 1-2 juta orang meninggalkan Rusia dan menuju kenegara Eropa, Asia
Tengah, Asia Selatan pada tahun 1918 dan 1922 .1 Pada saat itu LBB (Liga Bangsa Bangsa) mendirikan High Commissionner for Refugees
1938 namun karena peran High Commissionner for Refugees 1938
1
Gilbert Jaeger, On The History of the International Protection of Refugee, ICRC September 2001 Vol 83 No. 843., h. 727 dalam diakses pada 3-09-2017
40
terbatas sehingga dibubarkan pada tahun 1946.2 Perang dunia ke II dapat dikatakan sebagai tonggak awal lahirnya konvensi status pengungsi, dengan banyaknya korban perang khususnya bagi negara
yang kalah. Akibat dari perang tersebut menyebabkan banyak penduduk yang merasa khawatir dan cemas untuk kembali kenegara asalnya.
Namun penyelesaian mengenai masalah pengungsi dilakukan berdasarkan kebiasaan internasional.3 Pada tahun 1951 Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengadakan konfrensi di Jenewa pada 2-25 Juli
1951 sesuai keputusan majelis umum Perserikatan Bangsa Bangsa.
Tujuan dari konfrensi tersebut membahas pembentukan
kebiasaan internasional terhadap penyelesaian mengenai pengungsi yang dikodifikasikan sehingga berbentuk hukum positif yaitu konvensi 1951 mengenai status pengungsi yang berada diwilayah Eropa. Namun
seiring berjalannya waktu dan mengikuti perkembangan, karena konvensi 1951 tentang status pengungsi merupakan bagian dari hukum
internasional 4 dalam konvensi ini juga timbul kelemahan. Adapun kelemahannya adalah dalam konvensi status pengungsi pada tahun
1951 hanya mengatur wilayah Eropa saja.
Sehingga seiring berjalannya waktu dan perkembangan jaman maka lahir sebuah instrumen hukum yaitu protokol 1967 menjadi pelengkap. Sejak saat dilakukan pembakuan dalam format universal
2
Koesparmono Irsan, Pengungsi Internasional dan Hukum Hak Asasi Manusia, Komisi Nasional Hak Asasi Mnausia, Jakarta, 2007, h.119
3 Wagiman,
Opc.Cit hal.105 4
41
yang diakomodir secara universal berdasarkan kesepakatan negara-negara.
Munculnya protokol ini merupakan pelengkap dari konvensi
1951. Isi dari protokol konvensi 1967 menghapus dua pokok penting yaitu terkait dengan pembahasan geografis dan waktu. 5 Sehingga
disebut Convention Relating to the Status Of Refugees
Hukum pengungsi internasional berdiri sebagai akibat dari interaksi antara hukum internasional dan hukum nasional. Aspek
hukum ini mengedepankan hak asasi manusia diposisi paling atas. Pada masa sekarang, instrumen-instrumen internasional tentang pengungsi
serta pendukungnya mulai disempurnakan dan semakin dikukuhkan yaitu pasca Piagam PBB dan Deklarasi Hak Asasi Manusia disepakati Konvenan Sipil dan Politik serta Konvenan Ekonomi, Sosial, dan
Budaya.6
Esensi hukum hak asasi manusia internasional mengatur kemanusiaan universal tanpa terikat atribut ruang dan waktu.7 Namun
setiap konvensi yang diratifikasi memiliki dua kewajiban yaitu kewajiban tindakan dan kewajiban proses. Lingkup dari kewajiban
tindakan adalah menghormati,melindungi dan memenuhi sedangkan
5 Konvensi 1951 hanya mencakup wilayah Eropa dan untuk kasus pengungsian terjadi
sebelum 1 januari 1951
6
Davidson, Hak Asasi Manusia: Sejarah, Teori, dan Praktik Dalam Pergaulan Internasional, Grafiti, Jakarta, 1994, h. 84-85
7
42
kewajiban proses terdiri atas anti diskriminasi, peran serta masyarakat dan kemajuan yang memadai.8
Sehingga dalam peraturan mengenai hukum status pengungsi
terdapat beberapa hal yang perlu diketahui antara konvensi 1951 dan protokol 1967 yaitu :
TABEL PERBANDINGAN ANTARA KONVENSI DAN
PROTOKOL
NO POKOK PASAL KONVENSI PROTOKOL
1 Kebebasan beragama Pasal 4
2 Hak milik atas benda
bergerak dan tidak bergerak
Pasal 13
3 Hak berserikat Pasal 15
4 Hak berswakarya Pasal 18
5 Hak menjalankan profesi liberal
Pasal 19
6 Hak atas pendidikan Pasal 22
7 Hak bekerja dan jaminan
sosial
Pasal 24
8 Kebebasan berpindah tempat
Pasal 26
8
43
Berdasarkan Pasal 1 ayat 1 Protokol Status Pengungsi 1967 menyebutkan bahwa negara-negara pihak dalam Protokol ini menetapkan Pasal 2 sampai dengan Pasal 34 Konvensi Status
Pengungsi sebagaimana didefinisikan dalam Konvensi tersebut.
Namun ada beberapa pasal-pasal yang tidak dapat direservasi
merupakan ketentuan pasal 4. Tercantum dalam pasal 42 konvensi status pengungsi dan protokol yaitu :
TABEL POKOK PASAL YANG TIDAK DAPAT
DIRESERVASI
NO POKOK PASAL KONVENSI PROTOKOL
1 Pengertian Pengungsi Pasal 1 Pasal II
2 Non diskriminasi Pasal 3
3 Kebebasan beragama Pasal 4
4 Akses ke pengadilan Pasal 6
5 Non refoulement Pasal 33
6 Klausula akhir Pasal 36-46 Pasal III-XI
Instrumen konvensi status pengungsi yang tidak dapat direservasi merupakan instrumen dari kebiasaan Internasional.
Kebiasaan internasional yang dimaksud adalah general principles of
44
merupakan norma yang memaksa. Pada 1 Juli 2013, terdapat 145 negara yang telah menjadi negara anggota konvensi dan 146 untuk Protokol tersebut.9 Dengan demikian untuk memperjelas pembahasan
mengenai prinsip dan norma tersebut. Penulis akan menjabarkan sebagai berikut.
B. The Convention Relating to the Status of Refugees merupakan Law
Making Treaty
Dalam bab ini penulis melalui pendekatan perundang-undangan yang diambil dari konvensi status pengungsi akan
menganalisis instrumen hukum dari konvensi Law making treaty yang merupakan salah satu sifat dari perjanjian internasional. Analisa ini akan menggambarakan mengenai karakteristik dari law
making treaty yaitu terbuka,mengandung prinsip general
principles.
Dalam analisa ini akan membuktikan bahwa konvensi status pengungsi mengandung instrumen yang berkarakter law
making treaty. Selain itu pembahasan ini akan membahas bahwa
Indonesia secara tidak langsung memberikan kewajibannya yang diatur dalam hukum normatif nasionalnya.
Universal Declaration of Human Rights (UDHR)
merupakan instrumen internasional pertama yang mengakui adanya
9
Diakses tanggal 04/10/201
45
hak mengenai suaka yang diterima secara universal oleh semua negara. Pasal 14 ayat (1) UDHR mengatur,”Everyone has the right to seek and enjoy in other countries asylum from persecution”.
Selanjutnya, dalam Pasal 14 ayat (2) mengatur,“This right may not be invoked in the case of prosecutions genuinely arising from
non-political crimes or from acts contrary to the purposes and
principles of the United Nations”. Aturan dasar UDHR di atas
menunjukkan bahwa suaka merupakan bagian Hak Asasi Manusia
(HAM) yang muncul ketika ada ketakutan atas bahaya persekusi, tetapi tidak berhak diberikan bagi pelaku tindak pidana atau
kejahatan non-politik.
Sehingga dengan demikian dalam sub bab ini penulis akan menjabarkan mengenai karakteristik law making-treaty dalam
konvensi status pengungsi yang mengandung general principles sebagai berikut.
1. Karakteristik Terbuka
Konvensi 1951 pada saat itu hanya berlaku di wilayah yang
terletak di Eropa saja, namun seiring berjalannya waktu dan perkembangannya muncullah instrumen protokol 1967 yang
merupakan pelengkap dari konvensi 1951 dimana pemberlakuan batas wilayah dan geografis dihapuskan.
Protokol ini merupakan suplementing instrument dengan
46
terbatas menjadi tidak terbatas. Dimana pembatasan yang hanya wilayah Eropa saja menjadi tidak ada batasan yang diatur dalam
Pasal 1 ayat 3 tentang Protokol 1967 berbunyi :
“the present Protocol shall be applied by the States Parties
here to without any geographic limitation...”
Dengan demikian maka sifat dari konvensi ini terbuka
karena tidak memiliki batasan negara.
Karakteristik terbuka seperti multirateral treaties dalam
perjanjian yang bersifat multilateral ini berkaitan dengan kepentingan negara-negara yang telah berusaha untuk
menyelesaikan perselisihan dan menetapkan hak dan kewajiban dimana terdapat prinsip-prinsip baru dalam hukum internasional.10 Adapun karakteristik dari perjanjian multilateral ini bersifat timbal
balik, memiliki tanggung jawab intergral, dan tanggung jawab independen .11 Dengan demikian perjanjian multilateral merupakan perjanjian yang bersifat universal yaitu perjanjian yang diadakan
diantara beberapa negara tanpa batasan wilayah apapun.
Contoh dari perjanjian multirateral yang bersifat timbal
balik adalah Konvensi Wina 1961/1963 tentang hubungan diplomatik dan konsuler walaupun pelaksanaannya bersifat
bilateral saja namun dalam prakteknya setiap negara melaksanakan kewajiban yang ada dalam konvensi tersebut, contohya perjanjian
10 Eddy pratomo.,
Locc.Cit hal.103 11
47
mengenai hubungan diplomatik semua negara mengirimkan perwakilannya di berbagai negara yang dan memiliki wilayah
teritorial di negara tersebut yaitu kantor kedutaan besar.
Kemudian mengenai perjanjian multilateral yang memiliki tanggungjawab integral yaitu konvensi Genosida 1948 dimana
perjanjian ini negara yang bukan peserta dianggap peserta perjanjian dan memiliki kewajiban erga omnes. Sifat yang terakhir adalah perjanjian independent dimana dalam perjanjian ini hanya
dapat membebankan kepada negara peserta dengan catatan bahwa negara peserta tersebut harus mampu contohnya adalah konvensi
peluncuran senjata. 12
Dalam protokol ini juga mengatur tentang perlunya kerjasama atau kooperasi dari negara-negara yang ada dengan
lembaga internasional PBB maupun UNCHR dalam penanganan pengungsi.13 Mengenai pengungsi yang diatur dalam konvensi
1951 status pengungsi terdapat prinsip-prinsip pengungsi internasional yaitu prinsi suaka, prinsip non-refoulement,Equality
dan Non-Discrimination
12 Eddy,
Loc.Cit. hal.102 13
48
2. Mengandung General Principles of law
Berikut akan dipaparkan bahwa konvensi 1951 memiliki norma yang mengandung general principles bersifat jus cogens
yang merupakan karakter dari law making-treaty.
a. Equality non-discrimination
Non diskriminasi diatur dalam Pasal 3 konvensi 1951
menyebutkan bahwa :
“The Contracting States shall apply the provisions of this Convention to refugees without discrimination as to race, religion or country of origin”
Prinsip pertama, yaitu prinsip non diskriminasi dalam konvensi ini merupakan prinsip yang bersifat jus cogens, karena dalam “International Bill of Human Rights”, yaitu UDHR, ICCPR
maupun ICESCR, prinsip ini telah dimuat secara tegas dan sebelumnya dipertegas dalam piagam PBB (United Nations
Charter).
Prinsip ini merupakan bagian dari General Principle of law yang dalam Pasal 2 Universal Declaration of Human Rights
(UDHR) menyebutkan bahwa :
“everyone is entitled to all the rights and freedoms set
49
belongs, whether it be independent, trust,
non-self-governing or under any other limitation of sovereignty.”
Dalam Pasal 2 ICCPR 1966 dijelaskan bahwa “setiap
negara pihak dari konvenan ini berjanji untuk menghormati dan
menjamin hak-hak yang diakui dalam konvenan ini bagi semua
orang yang berada dalam wilayahnya dan tunduk pada wilayah
hukumnya tanpa pembedaan apapun”
ICESCR (International Covenant on Economic, Social and
Cultural Rights) 1966 juga mengatur tentang Prinsip
Non-Discrimination.Perlindungan Hak-hak pengungsi atau warga
negara asing dalam kovenan ini diatur dalam Pasal 2 yang menyatakan bahwa :
1) Setiap Negara Pihak pada Kovenan ini, berjanji untuk mengambil langkah-langkah, baik secara individual maupun melalui bantuan dan kerjasama internasional, khususnya dibidang ekonomi dan teknis sepanjang tersedia sumber dayanya, untuk secara progresif mencapai perwujudan penuh dari hak-hak yang diakui oleh Kovenan ini dengan cara-cara yang sesuai, termasuk dengan pengambilan langkah-langkahlegislatif.
2) Negara Pihak pada kovenan ini berjanji untuk menjamin bahwa hak-hak yang diatur dalam Kovenan ini akan dilaksanakan tanpa diskriminasi apapun sepertii ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, politik atau pendapat lainnya, asal-usul kebangsaan atau sosial, kekayaan, kelahiran atau status lainnya.
3) Negara-negara berkembang, dengan memperhatikan hak asasi manusia dan perekonomian nasionalnya, dapat menentukan sampai seberapa jauh mereka dapat menjamin hak-hak ekonomi yang diakui dalam Kovenan ini kepada
warga negara asing.14
14
50
Prinsip ini merupakan aspek dasar dari hukum pengungsi yang telah dikembangkan menjadi hukum kebiasaan internasional. Sehingga prinsip ini bersifat mengikat bagi setiap negara meskipun negara belum
meratifikasi konvensi status pengungsi.15 Dasar dibangunnya prinsip tersebut atas ketidakberpihakan serta tanpa diskriminasi.
Bantuan kemanusiaan terhadap pengungsi tidak boleh dialihkan dengan alasan politis atau kemiliteran dan yang petama memiliki kewenangan terkait dengan prinsip non-discrimination adalah negara
penerima.16 Dalam konvensi wina tahun 1969 menetapkan bahwa hukum kebiasaan internasional mengikat bagi semua negara.17
Adapun prinsip non-discrimination dikategorikan sebagai jus
cogens yang merupakan norma dasar hukum internasional menurut
konvensi wina 1969 merupakan suatu norma yang diterima dan diakui
oleh masyarakat internasional sebagai suatu norma yang tidak bisa dilanggar dan hanya bisa diubah oleh norma dasar hukum internasional
baru yang sama sifatnya. 18 Dengan demikian prinsip ini tetap diterapkan untuk negara dimana pengungsi mencari perlindungan walaupun negara
tersebut bukan merupakan peserta konvensi status pengungsi
15 UNCHR III
16
Wagiman., Loc.Cit hal. 120 17
Sumaryo suryokusumo, Studi Kasus Hukum Internasional,PT Tatanusa, Jakarta, 2007. Hal.186
18
51
b. Kebebasan beragama
Prinsip kedua, yaitu prinsip kebebasan beragama terdapat dalam Pasal 4 :
“The Contracting States shall accord to refugees within their territories treatment at least as favourable as that accorded to their nationals with respect to freedom to practice their religion and freedom as regards the religious education of their children.”
Sama halnya dengan prinsip non-diskriminasi, dimana prinsip ini menyebutkan bahwa setiap orang memiliki hak untuk memeluk agama dan
melaksanakan ibadah agamanya masing-masing. Bila dicermati prinsip ini merupakan turunan dari prinsip non diskriminasi “...to refugees without discrimination as to race, religion...” karena semua itu merupakan alasan
yang semakin tidak terbatas dan semakin banyak pula instrumen yang memperluasnya. Serta masyarakat internasional pun menyadari dan
mengakui eksistensi dari prinsip ini.
c. Akses pengadilan
Prinsip ketiga yaitu Akses ke pengadilan (pasal 16 ayat 1) yang berbunyi :
“A refugee shall have free access to the courts of law on the territory of all Contracting States.”
52
“Everyone is entitled in full equality to a fair and public hearing by an independent and impartial tribunal, in the determination of his rights and obligations and of any criminal charge against him.”
Pengertian pasal diatas menyebutkan bahwa setiap orang berhak
memperoleh keadilan yang seadil-adilnya di depan hukum. Adapun gagasan kesetaraan mensyaratkan adanya perlakuan yang sama khususnya
dalam mendapatkan bantuan huku. Karena alasan ini menyangkut harkat dan martabat manusia yang harus diperlakukan sama.
d. Non-Refoulement
Prinsip terakhir yaitu Non refoulement (Pasal 33) yang berbunyi
bahwa :
“No Contracting State shall expel or return (“refouler”) a refugee in any manner whatsoever to the frontiers of territories where his life or freedom would be threatened on account of his race, religion, nationality, membership of a particular social group or political opinion.”
Prinsip non-refoulement merupakan prinsip utama dalam pencarian suaka. Prinsip ini merupakan refleksi dari komitmen masyarakat
internasional untuk memastikan terpenuhinya HAM, termasuk hak untuk hidup; hak untuk bebas dari siksaan atau perlakukan-perlakuan yang
kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat manusia; serta hak perorangan untuk bebas dan merasa aman. Hak-hak tersebut, serta hak-hak lainnya, tidak akan dapat dinikmati apabila seorang pengungsi
53
Hak-hak tersebut serta hak-hak lainnya, tidak akan dapat dinikmati apabila seorang pengungsi dikembalikan ke dalam keadaan penyiksaan atau keadaan yang berbahaya.19
Intinya konsep prinsip tersebut melarang negara untuk memulangkan/mengembalikan/mengusir seseorang/sekelompok orang
diwilayahnya dimana nyawa ataupun kebebasan mereka terancam.20 Prinsip ini menurut beberapa ahli termasuk dalam jus cogens merujuk pada the free encylopedia disebutkan bahwa “Non-refoulement is a jus
cogens of international law that forbids the explusion of a refugee into
area where shele might be again subjected to presecution”
Untuk beberapa negara prinsip tersebut telah menjadi bagian dari hukum nasionalnya khususnya Indonesia yang telah diratifikasinya
Convention Againts Torture 1998 serta International Covenant on Civil
and Political Rights 2006 maka Indonesia berkewajiban menghormati
prinsip ini .21 Walaupun ditulis secara eksplisit dalam surat perdana menteri Mr Ali Sostroamidjojo Nomor 11/RI/1956 tentang perlindungan
pelarian politik.
Karena prinsip non-refoulement merupakan prinsip hukum
internasional dan oleh karenanya mengikat bagi negara peserta maupun negara peserta. Dengan demikian semua bantuan kemanusiaan terhadap pengungsi puncaknya terdapat dalam prinsip tersebut.
19
UN High Commissioner for Refugees Publication, “UNHCR Note on the Principle of
Non-Refoulement”<http://www.refworld.org/docid/438c6d972.html> diakses pada (04/09/2017).
20 Wagiman.,
Loc.Cit hal.93 21
54
Konvensi 1951 dan protokol 1967 merupakan satu kesatuan instrumen hukum tentang status pengungsi internasional dimana secara substansia konvensi ini melindungi HAM diantaranya adalah pertama
hukum HAM yang mengatur secara umum dan normal, kedua hukum HAM diberlakukan dalam situasi perang dikenal dengan Hukum
Humaniter, ketiga Hukum HAM yang khusus diterapkan kepada pengungsi (dikenal dengan Hukum Pengungsi). Hukum HAM mengenai pengungsi ini diterapkan karena berada diluar negaranya dan tidak ada
yang melindungi para pengungsi.
Berdasarkan sifat atau karakteristik diatas dapat ditarik kesimpulan
bahwa konvensi status pengungsi dilihat dari isinya memiliki karakteristik
law making treaty yang dibuktikan dalam peraturannya terdapat
non-refoulement, dan equality non-discrimination. Peraturan tersebut
merupakan bagian dari general principles of law dimana peraturan diatas tersebut mengandung prinsip jus cogens.
Dengan demikian norma ini mengatur bahwa setiap orang memiliki
hak yang dijunjung tinggi oleh orang lain sehingga dalam pemberlakuan konvensi tersebut dapat di berlakukan bagi negara peserta dan bukan
negara peserta. Bila dilihat dari tinjauan diatas dapat diuraikan bahwa setiap negara selain memiliki hak untuk mengatur negaranya sendiri dengan hukum nasionalnya. Namun prinsip umum ini merupakan hukum
primer yang diakui dan di hormati oleh masyarakat.
Sikap negara-negara yang menghormati adanya norma primer
55
nasional di tiap-tiap negara sehingga secara tidak langsung bila suatu negara non peserta konvensi status pengungsi harus tunduk terhadap konvensi tersebut. Walaupun kewajiban dari negara tersebut
dipertanggungjawabkan berdasarkan hukum normatif yang berlaku dalam hukum nasionalnya.
Sehingga kesimpulannya adalah Konvensi status pengungsi ini dilihat dari instrumen-instrumennya terdapat prinsip-prinsip umum seperti non diskriminasi, kebebasan beragama, akses kepengadilan dan non
refoulment. Instrumen tersebut merupakan instrumen yang bersifat jus
cogens merupakan bagian dari kebiasaan internasional yang sudah ada
sejak lama.
C. Sikap Indonesia Terhadap Convention Relating to the Status of
Refugees dalam Norma Konstitusi
Indonesia secara geografis diapit oleh dua benua yaitu benua Asia
dan Australia, sehingga tidak heran bahwa wilayah Indonesia sebagai obyek tempat pemberhentian para pencari suaka khususnya pengungsi dibagian Asia seperti Myanmar,Vietnam,Afganistan dan lain-lain banyak
diantara mereka menuju Australia agar mendapatkan hak suaka. Berada diantara negara – negara penerima pencari suaka dan pengungsi dalam
jumlah besar seperti Malaysia, Thailand dan Australia, secara berkelanjutan Indonesia terkena dampak dari pergerakan populasi
56
Setelah penurunan jumlah di akhir tahun 1990-an, jumlah kedatangan pencari suaka ke Indonesia kembali meningkat di tahun 2000, 2001 dan 2002. Meskipun jumlah kedatangan kemudian menurun lagi
pada tahun 2003 – 2008, tren kedatangan kembali meningkat di tahun 2009 dengan jumlah 3,230 orang meminta perlindungan melalui UNHCR.
Saat ini mayoritas pencari suaka tersebut datang dari from Afghanistan dan Somalia. (Data kedatangan pencari suaka yang mendaftarkan diri di UNHCR dari tahun ke tahun: 385 di tahun 2008; 3,230 pada tahun 2009;
3,905 pada tahun 2010; 4,052 di tahun 2011, 7,223 di tahun 2012; 8,332 di tahun 2013;5,659 di tahun 2014; 4,426 di tahun 2015; 3,112 di tahun
2016).
Indonesia mengeluarkan Perpres Nomor 125 Tahun 2016 tentang Penanganan Pengungsi Luar Negeri sehingga ini merupakan bukti
kepatuhan Indonesia meski belum meratifikasi Convention Relating to the
Status of Refugees selain itu Indonesia juga bekerjasama dengan
organisasi UNCHR yang berdiri di Indonesia sejak tahun 1979 yang memiliki kantor perwakilan pusat di Jakarta (cabang Medan, Tanjung Pinang, Surabaya, Makasar, Kupang dan Pontianak). Catatan jumlah
pengungsi di Indonesia di tahun ini (2017) yaitu sekitar Sampai dengan akhir Maret 2017, sebanyak 6,191 pencari suaka terdaftar di UNHCR
Jakarta secara kumulatif dari Afghanistan (42%) dan Somalia (14%). Sementara sejumlah 8,279 pengungsi terdaftar di UNHCR Jakarta dari Afghanistan (57%), Myanmar (10%), dan Somalia (7%). 22 Dalam hal ini
22
57
indonesia berdasarkan index negara mengenai perkara pengungsi dalam index tersebut indonesia berada dalam posisi 32 yang berarti
mempersilahkan pengungsi datang ke negara mereka.23
Indonesia merupakan negara yang belum meratifikasi konvensi status pengungsi. Akan tetapi secara praktek Indonesia menghormati
kebijakan pelaksanaan masyarakat lintas dunia yang dituangkan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 paragraf ke empat yang berbunyi “dan ikut serta dalam melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan
perdamaian abadi dan keadilan sosial...”. Sifat kekuatan norma dalam
pembukaan UUD 1945 tidak dapat dirubah. Dengan demikian sejak
dahulu Indonesia secara hukum konstitusionalnya yang merupakan Dasar hukum nasional secara tegas mematuhi atau mengakui eksistensi dari
hukum kebiasaan masyrakat internasional.
Maka Indonesia menyerahkan penanganan pengungsi kepada UNCHR (United Nation High Commisioner for Refugees) merupakan
orgnaisasi Internasional yang bergerak dalam bidang penanganan pengungsi Internasional. Karena Indonesia merupakan negara non peserta maka Indonesia tidak memiliki payung hukum untuk melakukan penangan
pengungsi yang masuk ke Indonesia.
Dengan menjunjung hak asasi manusia yang terdapat dalam Pasal
28G ayat 2 Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi :
23 Diakses pada 15/09/2017 :
58
“setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia dan berhak memperoleh suaka politik dari negara lain”
Sehingga secara tidak langsung indonesia menjunjung tinggi
general principles dikodifikasikan dalam Pasal 28 Undang-Undang
Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menyebutkan bahwa
“setiap orang berhak mencari suaka untuk memperoleh perlindungan
politik dari negara lain” yang merupakan lex specialist dari Pasal 28G
UUD 1945 .Dengan demikian hak untuk mencari suaka sudah
dilembagakan dan dijamin secara konstitusional.
Hukum nasional lainnya juga mengatur tentang hak mencari suaka diantaranya adalah :
Pasal 25 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri menyebutkan bahwa :
“kewenangan memberikan suaka kepada orang asing berada ditangan Presiden dengan memperhatikan pertimbangan Menteri”
Pasal tersebut berkolerasi dengan Artikel 35 (1) Convention
Relating to the Status of Refugee menyebutkan bahwa :
“The Contracting States undertake to co-operate with the Office of
the United Nations High Commissioner for Refugees, or any other agency of the United Nations which may succeed it, in the exercise of its functions, and shall in particular facilitate its duty of
supervising the application of the provisions of this Convention”
59
“pemberian suaka kepada orang asing dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan nasional serta dengan
memperhatikan hukum, kebiasaan dan praktek internasional”
Sesuai dengan Artikel 36 Convention Relating to the Status of
Refugee yang berbunyi :
“The Contracting States shall communicate to the
Secretary-General of the United Nations the laws and regulations which they
may adopt to ensure the application of this Convention.”
Pasal 27 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 1999 tentang
Hubungan Luar Negeri :
“presiden menetapkan kebijakan masalah pengungsi dari luar negeri dengan memperhatikan pertimbangan Menteri”
Sesuai dengan Artikel 35 (2) Convention Relating to the Status of
Refugee yang berbunyi :
“In order to enable the Office of the High Commissioner or any
other agency of the United Nations which may succeed it, to make reports to the competent organs of the United Nations, the Contracting States undertake to provide them in the appropriate form with information and statistical data requested concerning:
(a) The condition of refugees,
(b) The implementation of this Convention, and;
(c) Laws, regulations and decrees which are, or may hereafter be,
in forcerelating to refugees”.
Pasal 14 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1979 tentang Ekstradisi juga menyebutkan bahwa :
60
atau kewarganegaraannya atau karena termasuk suatu suku bangsa atau golongan penduduk tertentu”
Sesuai dengan Artikel 3 Convention Relating to the Status of
Refugee yang berbunyi bahwa :
“The Contracting States shall apply the provisions of this
Convention to refugees without discrimination as to race,
religion or country of origin.”
Meskipun secara normatif Indonesia telah memuat dalam konstitusi atau perundang-undangan, namun hingga saat ini implementasi
tentang hak pencari suaka ini belum ada aturan operasionalnya yang jelas.24 Sangat disayangkan hingga saat ini instrumen hukum internasional terkait pengungsi internasional belum diinkorporasikan kedalam sistem
hukum nasional.
Namun berdasarkan konstitusi nasional, indonesia secara eksplisit
juga menghargai tentang kebebasan beragama yang diatur dalam pasal 29 ayat 2 Undang-Undang Dasar 1945 :
“negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk
memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.”
Dengan demikian walaupun Indonesia belum meratifikasi konvensi status pengungsi Indonesia tetap terikat oleh kewajiban dari instrumen konvensi tersebut. Adapun instrumen hukum yang dimaksud adalah
24
61
instrumen hukum yang mengandung general principles dari pembahasan diatas. Sehingga dengan demikian Indonesia wajib mengikuti aturan yang ada dalam Convention Relating to the Status of Refugees tersebut diatas.
Dengan demikian Indonesia berkewajiban mewujudkan pasal-pasal yang tidak dapat di reservasi dalam Convention Relating to the Status of
Refugees yaitu Non diskriminasi, Kebebasan beragama, Non refoulement.
Serta Indonesia berhak mendapatkan bantuan Internasional dalam
mewujudkan kewajiban yang sudah diatur.
Diluar dari instrumen yang mengandung general principles akan membawa dampak yang sangat merugikan bagi Indonesia. Yaitu mengenai
penyelesaian sengketa yang diatur dalam Pasal IV Protokol 1967 status pengungsi, dimana penyelesaian sengketa dapat diajukan di Mahkamah Internasional (ICJ) namun karena Indonesia belum meratifikasinya maka
Indonesia tidak memiliki hak untuk mengajukan gugatan kepada ICJ 25 sehingga cukup disayangkan apabila negara tidak meratifikasi konvensi
ini.
25