• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ringkasaan Disertasi Pramudya

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Ringkasaan Disertasi Pramudya"

Copied!
109
0
0

Teks penuh

(1)

REKONSTRUKSI

PEMAKNAAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

SEBAGAI UPAYA PERLINDUNGAN BAGI PEREMPUAN

(Studi Kasus Komunitas Tionghoa)

RINGKASAN DISERTASI

Diajukan untuk Memenuhi Syarat Memperoleh

Gelar Doktor dalam Ilmu Hukum

Oleh:

Pramudya

NIM: B5A008051

PROGRAM DOKTOR ILMU HUKUM

UNIVERSITAS DIPONEGORO

SEMARANG

(2)
(3)

TIM PROMOTOR

Prof. Dr. Esmi Warassih Pujirahayu, SH. MS.

Promotor

Prof. Dr. Tri Marhaeni PA, M.Hum

(4)
(5)

TIM PENGUJI UJIAN TERBUKA Tanggal 18 Maret 2014

Ketua : Prof. Dr. Jos Johan Utama, SH. M.Hum Sekretaris : Prof. Dr. Fx. Adi Samekto, SH. M.Hum Anggota : Dr. G. Widiartana, SH. M.Hum

Prof. Dr. Barda Nawawi Arief, SH. Prof. Dr. Yusriyadi, SH. MS. Prof. Dr. Suteki, SH. M.Hum Prof. Dr. Rahayu, SH. M.Hum

Prof. Dr. Esmi Warassih Pujirahayu, SH. MS. (Promotor)

(6)
(7)

KATA PENGANTAR

Bermula dari pertemuan konsultasi untuk memperoleh bantu-an hukum dari beberapa perempubantu-an korbbantu-an kekerasbantu-an dalam rumah tangga, kemudian menimbulkan keinginan untuk menge-tahui lebih dalam tentang pemaknaan kekerasan dalam rumah tangga dari para korban, karena memilih berperilaku mengalah, bersabar, mengampuni, dan takut untuk melakukan perlawanan terhadap pelaku. Perilaku tersebut berseberangan dengan upaya pemerintah untuk melakukan perlindungan kepada perempuan yang dianggap sebagai kelompok rentan, dan pemaknaan ke-kerasan dalam rumah tangga dari pemerintah yang menganggap kekerasan dalam rumah tangga adalah pelanggaran hak asasi ma-nusia dan kejahatan bagi martabat mama-nusia. Adanya kesenjangan nilai antara peraturan dan praktik, telah mengakibatkan kekerasan dalam rumah tangga terus saja terjadi.

Disertasi yang berjudul Rekonstruksi Pemaknaan Kekerasan dalam Rumah Tangga sebagai Upaya Perlindungan bagi Perem-puan (Studi Kasus Komunitas Tionghoa) ini, adalah unggapan dari penulis untuk mencari solusi agar kesenjangan antara nilai-nilai yang ada dalam peraturan dan yang ada dalam masyarakat Tionghoa, dapat dihilangkan, sehingga peraturan dapat efektif mencapai tujuan.

(8)

dorongan dan dukungan dari tim promotor, para dosen, serta te-man-teman, khususnya kepada:

1. Prof. Dr. Esmi Warassih Pujirahayu, SH. MS., selaku promotor penulis, yang selama ini berkenan membimbing dan mendorong penulis untuk dapat menyelesaikan disertasi ini. 2. Prof. Dr. Tri Marhaeni, SH. M.Hum, yang dalam waktu yang

terbatas berkenan untuk menjadi co-promotor pengganti dan membimbing penulis sehingga dapat menyelesaikan disertasi ini.

3. Prof. Dr. F.X Adji Samekto, SH. MHum, selaku Ketua Program Doktor Ilmu Hukum UNDIP, yang selama ini telah mem-bantu dengan memberikan solusi melalui berbagai kebijakan ketika timbul permasalahan, sehingga penulis dapat menye-lesaikan disertasi ini.

4. Prof. Dr. Rahayu, SH. M.Hum, selaku Sekretaris Program Doktor Ilmu Hukum beserta staf, yang telah membantu penulis menghadapi berbagai permasalahan administrasi, selama penulis menempuh Program Doktor Ilmu Hukum. 5. Prof. Dr. Barda Nawawi Arief, SH.; Prof. Dr. Suteki, SH.

M.Hum.; Prof. Dr. Yusriyadi, SH. MS.; selaku penguji pada tahap seminar hasil penelitian, tahap kelayakan, tahap ujian tertutup dan ujian terbuka, yang telah memberikan berbagai masukan, sehingga disertasi ini dapat diselesaikan.

(9)

7. Dr. G. Widiartana, SH. M.Hum., selaku penguji pada tahap kelayakan, tahap ujian tertutup dan tahap ujian terbuka, yang telah memberikan berbagai masukan, sehingga disertasi ini dapat diselesaikan.

8. Para Guru Besar Pengajar Program Doktor Ilmu Hukum UNDIP, khususnya kepada Alm. Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, yang telah memberikan pencerahan melalui cara pandang melihat hukum dan manusia. Prof. Dr. B. Arief Sidharta, yang telah memberikan wawasan untuk dapat melihat hukum se-cara mendalam, dan juga Prof. Dr. Arief Hidayat, SH. MS. 9. Para Guru Besar Pengajar tamu Program Doktor Ilmu Hukum

UNDIP, khususnya kepada Prof. Dr. Mesakh Krisetya, yang telah berkenan membagi ilmu dan pengalamannya untuk da-pat mempelajari latar belakang perilaku manusia, dan juga Prof. Dr. Sulistyowati Irianto, SH.

10. Prof. Dr. Gambir Melati, SH., dan Dr. Mohamad Hatta, SH. CN yang selaku memberikan perhatian dan dorongan bagi penulis untuk menyelesaikan disertasi ini.

11. Rekan-rekan Kantor Advokat “Pramudya dan Rekan”, yang telah memberi dorongan dan membantu menyelesaikan ber-bagai beban pekerjaan sehingga sangat membantu penulis dalam menyelesaikan disertasi ini.

(10)

Memahami pemaknaan kekerasan dalam rumah tangga dari peraturan dan dari perempuan Tionghoa korban kekerasan bukan-lah pekerjaan yang mudah dan sangat subyektif hasilnya. Oleh karena itu, apabila terdapat kekurangan dalam disertasi ini, sa-ngatlah manusiawi karena penulis mempunyai keterbatasan.

Penyempurnaan kemampuan dapat terjadi bila terdapat saran dan masukan, oleh karena itu penulis sangat mengharapkannya. Akhir kata, penulis berharap kiranya disertasi ini dapat memberi manfaat, khususnya kepada para pembuat dan pelaksana peratur-an, serta para perempuperatur-an, khususnya perempuan korban kekeras-an dalam rumah tkekeras-angga.

Salatiga, Maret 2014 Penulis

(11)

DAFTAR ISI

Halaman Judul... i

Tim Promotor... iii

Tim Penguji Ujian Terbuka... v

Kata Pengantar... vii

Daftar Isi... xi

1. Latar Belakang Studi... 1

2. Fokus Studi... 4

3. Permasalahan... 5

4. Metode Penelitian... 6

5. Tujuan dan Kontribusi Penelitian... 6

6. Pokok-pokok Penelitian... 7

6.1. Kekerasan dan Kekuasaan... 8

6.2. Hermeneutika untuk Memahami Pemaknaan KDRT.. 16

6.3. Undang-undang No. 23 Tahun 2004 sebagai Perwujudan Kebijakan Publik... 20

6.4. Hak Asasi Manusia dan Feminisme... 27

6.5. Budaya Hukum Tionghoa di Indonesia... 36

(12)

6.7. Makna KDRT dalam Rumusan Undang-undang

No. 23 Tahun 2004... 53

6.8. Pengalaman, Perasaan dan Perilaku Perempuan Tionghoa Korban KDRT... 58

6.9. Pemaknaan KDRT Perempuan Tionghoa... 65

6.10. Penyebab Terjadinya Kesenjangan Pemaknaan KDRT dalam Peraturan dan Praktik... 70

6.11. Pertentangan Hukum yang Dibuat Pemerintah dengan Hukum dalam Masyarakat... 75

6.12. Pluralisme Hukum sebagai Sarana Merekonstruksi Pemaknaan KDRT yang Dapat Melindungi Perempuan... 78

6.13. Pelembagaan Nilai Baru untuk Perlindungan Perempuan dalam Keluarga... 83

7. Simpulan... 85

8. Implikasi Studi... 86

9. Rekomendasi... 87

Daftar Pustaka... 89

(13)

REKONSTRUKSI

PEMAKNAAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA SEBAGAI UPAYA PERLINDUNGAN BAGI PEREMPUAN

(Studi Kasus Komunitas Tionghoa)

1. LATAR BELAKANG STUDI

Tindak pidana kekerasan secara umum digambarkan sebagai tindakan seseorang atau sekelompok orang terhadap orang atau kelompok orang lain yang menyebabkan luka, baik fisik maupun non-fisik. Tindak pidana kekerasan dapat terjadi di ruang publik maupun ruang privat, dan bentuk kekerasan yang sering terjadi di ruang privat adalah kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang dapat terjadi kapan, di mana, dan menimpa siapa saja, yang dalam kenyataan korban KDRT mayoritas adalah perempuan.

Komisi Nasional Perempuan melaporkan, jumlah perempuan yang menjadi korban KDRT, meningkat dari tahun ke tahun. Adanya kenyataan ini dan juga peran aktif pemerintah dalam berbagai kegiatan nasional dan internasional tentang Hak Asasi Manusia (HAM) dan kesetaraan gender, pemerintah Indonesia mengeluarkan kebijakan publik dalam upaya menghapus KDRT untuk melindungi perempuan. Kebijakan publik tersebut diwujud-kan dengan disusun dan diberlakudiwujud-kannya Undang-undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga.

(14)

1. Setiap warga negara berhak mendapatkan rasa aman dan bebas dari segala bentuk kekerasan sesuai de-ngan falsafah Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.

2. Segala bentuk kekerasan, terutama kekerasan dalam rumah tangga, merupakan pelanggaran hak asasi manusia, kejahatan terhadap martabat manusia dan diskriminasi.

3. Korban kekerasan dalam rumah tangga kebanyakan perempuan, oleh karena itu pemerintah menempat-kan perempuan sebagai kelompok rentan, dan selan-jutnya memberi perlindungan kepada perempuan.

Di samping itu juga eksplisit dicantumkan sebagai tujuan pem-bentukan Undang-undang No. 23 Tahun 2004, yaitu: Penghormat-an hak asasi mPenghormat-anusia, keadilPenghormat-an dPenghormat-an kesetaraPenghormat-an gender, non-dis-kriminasi dan perlindungan terhadap perempuan.

Pemerintah melalui Undang-undang No. 23 Tahun 2004 mengharapkan KDRT dapat dihapus dan keberadaan perempuan dalam keluarga dapat dilindungi. Namun dalam kenyataan, harap-an pemerintah tersebut tidak mudah terwujud. Laporharap-an tahunharap-an Komisi Nasional Perempuan dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) mencatat bahwa KDRT dengan korban perempuan terus terjadi peningkatan yang signifikan, meskipun Undang-undang No. 23 tahun 2004 telah di-berlakukan.

(15)

penduduk Indonesia berjumlah 217 juta jiwa, dan 11,4 persen di antaranya, atau sekitar 24 juta penduduk perempuan, terutama di pedesaan, mengaku pernah mengalami tindak kekerasan seperti penganiayaan, perkosaan, pelecehan ataupun suami yang berse-lingkuh.1

Di Indonesia, kasus KDRT dengan mayoritas korban adalah perempuan juga terjadi dalam masyarakat Tionghoa. Budaya hukum etnis ini berbasis sistem kekerabatan patriarkat dan memeluk agama KongHu Cu yang mengajarkan bahwa anak laki-laki dianggap lebih berharga dari perempuan karena laki-laki-laki-laki adalah penerus marga. Perempuan dalam keluarga ditempatkan di bawah laki-laki. Budaya kekerabatan patriarkat dan ajaran Kong Hu Cu ini mempengaruhi perempuan Tionghoa dalam memaknai KDRT yang mereka alami sebagai hal yang wajar. Ini tampak dari perilaku mereka untuk selalu mengalah, sabar dan pasrah dalam menghadapi kekerasan dalam rumah tangga.

Semasa Orde Baru, pemerintah mengeluarkan Instruksi Presiden Tahun 1967 yang secara diskriminatif memperlakukan etnis Tionghoa, yang cenderung “dijadikan” obyek kesalahan dalam sejumlah persoalan kebangsaan. Kondisi traumatis masya-rakat Tionghoa selama pemerintahan Orde Baru turut membuat permasalahan penghapusan KDRT dan perlindungan perempuan Tionghoa menjadi relatif kompleks.

Perempuan Tionghoa dihadapkan pada dua kondisi, di mana secara internal menghadapi tekanan yang timbul dari nilai-nilai pada budaya hukum mereka, dan secara eksternal menghadapi tekanan yang timbul dari trauma akibat perlakuan diskriminatif

1

(16)

Orde baru. Liem Sing Meij mengidentifikasikan kondisi ini sebagaidouble colonization.2Penjelasan ini menunjukkan adanya kesenjangan makna KDRT dalam Undang-undang No. 23 Tahun 2004 dengan pemaknaan perempuan Tionghoa terhadap KDRT. Akibatnya, undang-undang ini tidak dapat efektif menghapus KDRT yang dialami perempuan Tionghoa dan melindungi keber-adaan mereka dalam keluarga.

2. FOKUS STUDI

Undang-undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tanggaadalah perwujudan dari kebijak-an publik pemerintah. Oleh karena itu dalam nilai-nilai pada undang-undang ini tidak dapat dilepaskan dari pengaruh ling-kungan yang masuk melalui para penyusun peraturan. Pengaruh lingkungan tersebut adalah, pemahaman tentang HAM dan kesetaraan gender yang menekankan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan dalam keluarga. Pemahaman ini didapat karena peran aktif pemerintah Indonesia dalam berbagai forum nasional dan internasional tentang HAM dan kesetaraan gender. Melalui undang-undang ini pemerintah menghendaki KDRT dapat di-hapus, dan perempuan yang dianggap sebagai kelompok rentan dapat dilindungi.

Di sisi lain, di kalangan masyarakat Tionghoa hidup nilai-nilai yang diyakini dan dipatuhi anggota etnis ini. Nilai-nilai-nilai yang hidup dalam budaya hukum masyarakat Tionghoa tersebut telah mempengaruhi perempuan Tionghoa dalam memaknai KDRT

2

(17)

sebagai hal yang wajar. Mereka menyikapi perlakuan KDRT dengan sabar, mengalah dan pasrah. Kondisi ini menunjukkan adanya kesenjangan pemaknaan KDRT antara makna yang terkandung dalam Undang-undang No. 23 Tahun 2004 dengan pemaknaan perempuan Tionghoa terhadap KDRT. Oleh karena itu perlu dilakukan rekonstruksi pemaknaan KDRT yang dapat mewadahi nilai-nilai yang akan ditanamkan oleh pemerintah, nilai-nilai yang ada dalam masyarakat, dan nilai-nilai dalam tafsir agama yang dianut korban.

3. PERMASALAHAN

Kesenjangan pemaknaan KDRT dapat diatasi dengan melaku-kan rekonstruksi pemaknaan KDRT, oleh karena itu dibutuhmelaku-kan konstruksi awal tentang makna KDRT menurut rumusan Undang-undang No. 23 Tahun 2004, dan pemaknaan KDRT menurut perempuan Tionghoa. Konstruksi awal ini berguna untuk menge-tahui kesenjangan pemaknaan KDRT, yang selanjutnya dapat dilakukan rekonsruksi agar dapat melindungi perempuan. Oleh karena itu dalam konteks ini, yang menjadi pertanyaan penelitian adalah:

1. Bagaimana makna kekerasan dalam rumah tangga menurut rumusan Undang-undang No. 23 Tahun 2004?

2. Mengapa terjadi perbedaan makna kekerasan dalam rumah tangga dalam rumusan Undang-undang No. 23 Tahun 2004 dengan makna menurut perempuan Tionghoa?

(18)

4. METODE PENELITIAN

Penelitian ini merupakan studi kasus, dan paradigma yang digunakan adalah konstruktivisme, karena peneliti memandang hukum sebagai manifestasi makna-makna simbolik para pelaku sosial sebagaimana tampak dalam interaksi di antara mereka. Penelitian ini memilih sosio-legal approach, melalui pendekatan ini obyek hukum diposisikan dalam konteks kemasyarakatan yang luas, tidak terisolir dari kebudayaan (sistem berpikir, sistem pengetahuan), dari relasi kekuasaan di antara perumus hukum, penegak hukum, para pihak dan masyarakat luas.

Metode hermeneutik digunakan untuk memahami makna KDRT yang terkandung dalam Undang-undang No. 23 Tahun 2004. Kajian ini mencakup mulai dari latar belakang pembuatan undang-undang sampai implementasi peraturan di masyarakat. Metode ini juga untuk memahami pemaknaan perempuan Tiong-hoa terhadap KDRT yang mereka alami.

5. TUJUAN DAN KONTRIBUSI PENELITIAN

Penelitian ini mempunyai tiga tujuan, yakni:

1. Memahami makna KDRT yang terkandung dalam rumusan Undang-undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga. 2. Mencari penyebab terjadinya kesenjangan

pemakna-an KDRT dalam rumuspemakna-an Undpemakna-ang-undpemakna-ang No. 23 Tahun 2004 dengan pemaknaan menurut perempuan Tionghoa.

(19)

Dari pencapaian tujuan tersebut, penelitian dalam disertasi ini diharapkan dapat memberikan kontribusi sebagai berikut:

1. Sumbangan Teoritis: (a) Memberikan wawasan dan pemahaman baru tentang pemaknaan KDRT yang dapat melindungi perempuan; (b) Memberikan kons-tribusi terhadap konsep-konsep yang dapat dikem-bangkan mengenai makna KDRT yang dapat melin-dungi perempuan.

2. Sumbangan Praktis (a) Memberikan masukan kepada para penegak hukum tentang kesenjangan makna KDRT antara rumusan yang ada pada peraturan yang berlaku dan dengan makna KDRT pada perempuan Tionghoa; (b) Memberi masukan kepada masyarakat, terutama kepada etnis Tionghoa tentang hak dan kewajiban suami atau istri dalam keluarga.

6. POKOK-POKOK PENELITIAN

6.1. Kekerasan dan Kekuasaan

Kekerasan (violence) membuat orang menjadi pingsan atau tidak berdaya,3 dan dalam sejarah manusia kekerasan sudah ada sejak dahulu, baik yang bersifat individual maupun kolektif. Ke-nyataan ini menunjukkan bahwa kekerasan merupakan ungkapan dari suatu potensi yang tersimpan pada setiap manusia, yaitu potensi dengan tendensi untuk menjelma sebagai tingkah laku yang agresif.4 Kekerasan merupakan serangan atau invasi (assault) terhadap fisik maupun integritas mental psikologis

sese-3

J.E. Sahetapy, 1983. Kejahatan Kekerasan: Suatu Pendekatan Inter-disipliner, Sinar Wijaya, Surabaya, hlm. 13.

4

(20)

orang. Kekerasan terhadap sesama manusia pada dasarnya berasal dari berbagi sumber, namun salah satu kekerasan terhadap jenis kelamin tertentu (perempuan) disebabkan oleh anggapan gender.5

Tindak kekerasan terhadap perempuan sudah menjadi isu global dan cukup lama mendapat perhatian di Indonesia, namun demikian masyarakat tetap apatis. Hal ini terjadi karena terdapat tiga pokok masalah, yaitu: struktur sosial, persepsi masyarakat terhadap perempuan dan tindak kekerasan terhadap perempuan, dan nilai-nilai masyarakat yang ingin tampak harmonis sehingga sulit mengakui adanya masalah dalam rumah tangga.6Di samping itu keberadaan perempuan sering kali dianggap sebagai second class citizens.7 Kate Millet mengatakan, “Kekerasan terhadap perempuan yang terjadi dalam sistem masyarakat patriarkat disebabkan distribusi kekuasaan antara laki-laki dan perempuan yang timpang.”8

Max Weber mendefinisikan kekuasaan sebagai kesempatan

yang ada pada seseorang atau sejumlah orang untuk melaksana-kan kemauan sendiri dalam suatu tindamelaksana-kan sosial, meskipun mendapat tantangan dari orang lain yang terlibat dalam tindakan itu. Kesempatan, menurut Weber merupakan sebuah konsep penting yang dapat dihubungkan dengan apa saja yang merupakan

5

Kantor Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan Republik Indo-nesia dan Women Support Projest II/CIDA, 2001, Gender dan Pem-bangunan, Jakarta, hlm. 15. Lihat juga Riant Nugraha, 2008, Gender dan Strategi Pengarus-utamaannya di Indonesia, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, hlm. 2-3.

6

Harkristuti Harkrisnowo, 2001, Tindak Kekerasan terhadap Perempuan dalam Perspektif Sosio-Yuridis, Jurnal Hukum Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta.

7

Wila Chandrawila Supriadi, 2001. Kumpulan Tulisan Perempuan dan Kekerasan dalam Perkawinan, CV. Mandar Maju, Bandung, hlm. 32.

8

(21)

sumber kekuasaan seseorang.9 Sedangkan tentang kekuasaan, tidak semuanya lancar karena dalam masyarakat pasti ada yang tidak setuju dan melakukan perlawanan.10 Oleh karena itu menurut Amital Etzioni kekuasaan adalah kemampuan untuk mengatasi sebagian atau seluruh perlawanan. Selanjutnya dikata-kan aset atau modal seseorang dapat digunadikata-kan oleh pemiliknya untuk mendukung kekuasaan. Oleh karena itu aset disebut sebagai kekuasaan potensial atau sumber kekuasaan, yang berbeda dengan kekuasaan yang terwujud dalam bentuk tindakan. Aset bersifat stabil, sedangkan kekuasaan bersifat dinamis atau prosesual. Gejala kekuasaan adalah menerjemahkan aset ke dalam ke-kuasaan yang menghasilkan pelbagai sanksi untuk menghukum mereka yang menentang, atau imbalan dan instrumen lainnya untuk memberi fasilitas kepada yang mereka yang mengikutinya. Sanksi tersebut bisa bersifat fisik, material atau simbolik.11

Max Weber membedakankekuasaandenganotoritas, dengan menekankan pada unsur legitimasi. Otoritas adalah kemungkinan di mana perintah-perintah tertentu akan ditaati oleh sekelompok orang tertentu. Ada tiga macam otoritas, yakni: otoritas tradi-sional, otoritas legal-rasional dan otoritas karismatik. Otoritas tradisional dan otoritas karismatik lebih bersifat personal, sedang-kan otoritas legal-rasional bersifat impersonal. Ketiga otoritas tersebut dapat ditemukan dalam diri satu orang.12 Sementara itu kata kekerasan sering kali digunakan untuk menggambarkan tentang perilaku seseorang kepada orang lain, yang menimbulkan

9

Thomas Santoso,2002.Teori-teori Kekerasan, Ghalia Indonesia, Jakarta, hlm. 163-164.

10

Ibid.

11

Ibid.

12

(22)

dampak “luka” pada diri korban. Dari sudut pandang pelaku, kekerasan dapat dibagi menjadi dua, yaitu kekerasan yang dilakukan oleh sekelompok orang, dan kekerasan yang dilakukan oleh individu.

Kekerasan menurut sifatnya dibagi menjadi empat bentuk. Pertama, kekerasan terbuka (overt) atau dapat dilihat, misalnya menganiaya. Kedua, kekerasan tertutup, tersembunyi atau tidak dilakukan secara langsung (covert), misalnya mengancam. Ketiga, kekerasan agresif (offensif), yaitu kekerasan yang dilakukan tidak untuk melindungi, tetapi untuk mendapatkan sesuatu. Keempat, kekerasan bertahan (deffensive), yaitu kekerasan yang dilakukan sebagai perlindungan diri. Kekerasan agresif dan defensif dapat bersifat terbuka atau tertutup. Kenyataan menunjukkan di mana perilaku mengancam jauh lebih banyak daripada kekerasan terbuka, dan kekerasan defensif jauh lebih menonjol dari kekeras-an agresif. Perilaku mengancam adalah menyampaikan pesan kepada orang lain suatu maksud, bahwa akan digunakan ke-kerasan jika diperlukan. Orang yang mengancam sesungguhnya belum tentu atau tidak bermaksud melakukan kekerasan, namun orang yang menerima ancaman mempercayai kebenaran ancaman dan kemampuan pengancam mewujudkan ancaman. Akibatnya, si pengancam dapat melakukan kontrol kepada orang yang diancam, sehingga ancaman dikategorikan sebagai bentuk kekerasan karena mempunyai unsur penting, yaitu kekuatan(power) dan kemampu-anuntuk mewujudkan keinginan seseorang.13

Gadis Arivia mengatakan bahwa kekerasan, terutama keke-rasan terhadap perempuan, tidak terlepas dari adanya kebutuhan akan rasa keadilan bagi perempuan pada saat menjadi korban

13

(23)

tindak pidana kekerasan. Permasalahan tersebut juga terkait de-ngan kekuasaan yang ada dalam masyarakat. Awalnya kekerasan muncul karena terjadi persengketaan atas siapa yang memegang kendali, kemudian berujung pada terjadinya kekerasan. Adanya ketidaksetaraan laki-laki dan perempuan dalam masyarakat sering memicu lahirnya kekerasan terhadap perempuan, tetapi karena superioritas laki-laki, kekerasan terhadap perempuan dianggap sebagai hal yang wajar.14 Sedangkan Harvey Greisman mengata-kan bahwa kekerasan berkaitan dengan gagasan dasar tentang hubungan dominasi yanglegitimatedan tidaklegitimate,sehingga perilaku yang sama dapat didifinisikan berbeda tergantung pada status pelaku. Asumsi ini dibuat dengan mengabaikan alasan riil tindakan, dan hanya berdasarkan legitimasi atau ilegitimasi dari pelaku. Quinneyi dan Chambliss berpendapat lain, menurut mereka penggunaan kekuatan dan ancaman secara resmi dianggap sebagai bentuk kekerasan sebagaimana halnya dengan kekerasan ilegal.15 Ketiga pendapat tersebut sangat membantu dalam me-lakukan analisis makna sosial yang mendasar dari katakekerasan, karena mereka menunjukkan bahwa istilah kekerasan sering kali menyimpang dari makna pokok. Oleh karena itu penggunaan pemaknaan kekerasan di kehidupan sehari-hari serta implikasi sosialnya, tidak boleh berlebihan dan tidak mengabaikan makna umum. Walter Miller memecahkan persoalan tersebut dengan membatasi pertimbangan terhadap bentuk kekerasan, dan men-definisikan kekerasan sebagai“tindak kejahatan” oleh negara.16

14

Ibid, hlm. 191.

15

Quinneyi dan Chambliss, dalam Thomas Santoso, Ibid, hlm. 12.

16

(24)

Johan Galtung menggabungkan analisis yang berorientasi aktor dengan analisis yang berorientasi struktur. Antara aktor dan struktur harus ada interaksi yang seimbang. Atas dasar tersebut, Johan Galtung membedakan kekerasan menjadi dua jenis, yaitu

kekerasan personal dankekerasan struktural. Kekerasan personal bersifat dinamis, mudah diamati, mempunyai fluktuasi luar biasa yang dapat menimbulkan perubahan. Sedangkan kekerasan struktural bersifat statis, mempunyai stabilitas dan tidak tampak. Di dalam masyarakat statis, kekerasan personal akan diperhatikan, dan kekerasan struktural dianggap wajar. Tetapi di dalam masya-rakat dinamis, kekerasan personal dianggap berbahaya dan salah, sementara kekerasan struktural semakin nyata menampakan diri. Kekerasan personal menitikberatkan pada realitas jasmaniah, sedangkan kekerasan struktural sering dilihat sebagai kekerasan psikologis. Perbedaan dasar kedua bentuk kekerasan tersebut tidak signifikan, karena hanya terletak pada cara namun hasilnya sama. Dan keduanya mempunyai hubungan kausal serta mungkin juga dialektikal.17 Satu jenis kekerasan tidak mengandaikan ke-hadiran nyata jenis kekerasan lainnya, namun dimungkinkan kekerasan struktural mengandaikan kekerasan personal tersem-bunyi. Johan Galtung mengidentifikasi ada enam dimensi penting dari kekerasan, yaitu: Kekerasan fisik dan psikologis; kekerasan positif dan negatif; ada obyek atau tidak; ada subyek atau tidak; disengaja atau tidak; dan yang tampak atau tersembunyi.18

Menurut Erich Fromm, dalam diri manusia terdapat dua jenis agresi yang berbeda. Pertama, agresi defensif yang bertujuan untuk mempertahankan hidup, bersifat adaptif biologis dan akan

17

Windhu, dalam Thomas Santoso, Ibid, hlm. 168-170.

18

(25)

muncul jika ada ancaman. Kedua,agresi jahat, di mana kekerasan dan kedestruktifan yang merupakan ciri khas dari manusia. Agresi ini muncul hanya karena dorongan nafsu semata, dan tidak mempunyai tujuan.19 Dengan demikian kekerasan merupakan perilaku agresif yang dilakukan secara sengaja oleh seseorang kepada yang lain, sehingga menimbulkan penderitaan lahir batin. Kekerasan adalah potensi tersembunyi dan tendensius, dan merupakan aktualitas yang terwujud dalam perilaku. Tindakan agresif adalah dorongan naluri untuk menyakiti atau menciderai sasarannya, yaitu pihak lain, tindakan tersebut akan mereda ketika tujuan tindakan agresif terpenuhi. Dari argumentasi ini muncullah teori agresif-frustrasi (frustration-agression theory), yang menya-takan adanya pertautan langsung antara derajat frustrasi yang dialami seseorang dengan timbulnya perilaku agresif.20 Weiner, Zahn dan Sagi, mencoba menguraikan unsur-unsur kekerasan dengan mengatakan, “The threat, attempt or use of physical force by one or more persons that result in physical or non physical harm to one or more other person.”Rumusan tersebut meskipun lebih menekankan pada physical force, namun juga menge-tengahkan non-physical force. Kedua bentuk inilah yang kemudian diakui oleh masyarakat internasional sebagai bentuk kekerasan sebagaimana dirumuskan dalam platform for action

yang dihasilkan oleh Konferensi Dunia Keempat tentang Perem-puan di Beijing tahun 1995.21 Kekerasan terhadap perempuan memiliki cakupan yang sangat luas, dapat terjadi dalam lingkup

19

Erich Fromm, 2000. Akar Kekerasan Analisis Sosio Psikologis atas Watak Manusia,alih bahasa Imam Muttaqin, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, hlm. 309.

20

Ibid.

21

(26)

personal, seperti KDRT. Kekerasan ini juga lazim dipahami secara fisik, psikologis maupun seksual, dan tidak jarang secara tumpang tindih pada saat bersamaan.22

Ruang lingkup kekerasan dalam rumah tangga menurut se-orang konselor, Liana Poedjihastuti, tidak semata-mata kekerasan fisik, akan tetapi juga meliputi kekerasan psikis, seksual dan penelantaran ekonomi. Kekerasan fisik, seksual ataupun pene-lantaran, dapat berupa kekerasan psikis atau dikenal juga dengan kekerasan verbal (verbal abuse) atau kekerasan mental—emosi-onal. Tentang kekerasan psikis ini, Liana menjelaskan bahwa kekerasan psikis tidak meninggalkan bekas luka fisik seperti memar, goresan, bengkak di bagian tubuh, ataupun tulang patah, tetapi menimbulkan luka batin yang mempunyai akibat lebih dahsyat daripada luka fisik.23 Patricia Evans menyoroti kekerasan psikis ini sebagai masalah dominasi kontrol, penyalahgunaan kekuasaan, di mana seseorang mengendalikan kehidupan orang lain, merampas kebahagiaan dan semangat hidup, meninggalkan frustrasi, kebingungan, rasa takut, dan rasa tidak aman.24 Tentang bentuk-bentuk kekerasan psikis, Nathalia Y.S. mengatakan, “Ke-kerasan psikis dapat berupa tindakan mengancam, menyalahkan, memojokkan, menghakimi, memutarbalikkan fakta, meremehkan, mengata-ngatai, mengecilkan arti, menertawakan, merongrong, menuntut, menghukum, mengingkari, marah, mencaci memaki,

22

E. Kristi Poerwandari, Kekerasan terhadap Perempuan: Tinjauan Psikologis, dalam Ohas Ihromi dkk, 2006. Penghapusan Diskriminasi terhadap Wanita, Alumni, Bandung, hlm. 277.

23

Meyske S. Tungka, Liana Poedjihastuti dan Pramudya, 2007.Cinta Kok Gitu...,Sanggar Mitra Sabda, Salatiga, hlm. 55.

24

(27)

mengabaikan perasaan, pendapat dan juga kebutuhan.”25 Adapun dampak dari kekerasan dalam rumah tangga, dapat mengakibat-kan korban mengalami perasaan tidak berdaya, terluka, takut, bingung dan malu.26 Robert Fulgum mengatakan, “Sticks and stones may break our bones, but words will break our heart.”27

Lebih lanjut Liana secara spesifik mengatakan, “Dalam ke-nyataannya, kekerasan psikis yang terjadi dalam rumah tangga sering kali dianggap bukan sebagai kejahatan, karena rumah tangga dianggap sebagai area privat.”28

Sampai saat ini KDRT tampak kurang mendapat perhatian serius di kalangan masyarakat, beberapa alasan bisa dikemukakan di sini, antara lain: Pertama, KDRT cenderung tidak kelihatan dan ditutup-tutupi karena rumah tangga adalah area “privat”. Kedua, KDRT sering dianggap wajar, karena memperlakukan istri se-kehendak suami masih saja dianggap, bahkan diyakini sebagai hak suami sebagai pemimpin dan kepala rumah tangga. Ketiga, KDRT terjadi dalam sebuah lembaga yang sah atau legal, yaitu perkawinan. Kenyataan ini selanjutnya membuat masyarakat abai dan tidak sadar, bahkan muncul pandangan yang keliru bahwa suami bisa mengendalikan istri.29 Ini berarti kekerasan pada dasarnya merupakan suatu konsep yang makna dan isinya sangat bergantung pada masyarakat itu sendiri.

25

Nathalia YS, Kompas 14 Januari 2002, dalam Meyske S. Tungka, Liana Poedjihastuti dan Pramudya,Ibid.

26

Ibid,hlm. 71.

27

Ibid,hlm. 54-55.

28

Ibid, hlm. 54-55.

29

(28)

6.2. Hermeneutika untuk Memahami Pemaknaan KDRT

Hermeuneutikasecara terminologi diartikan sebagai penafsir-an atau interprestasi. Kata ini dalam bentuk kata kerja adalah

hermeneuo yang artinya mengungkapkan pemikiran seseorang dalam kata-kata, atau hermenuin yang berarti mengartikan, me-nafsirkan atau menerjemahkan, atau bertindak sebagai penafsir. Ketiga pengertian ini menunjukkan bahwa hermeneutika merupa-kan usaha untuk beralih dari sesuatu yang relatif kabur ke sesuatu yang lebih terang.30

Pengertian pertama, mengartikan dipahami sebagai proses mengubah sesuatu dari situasi tidak mengerti menjadi mengerti.

Pengertian dalam hal ini merupakan peralihan dari sesuatu yang relatif abstrak atau kabur menjadi ungkapan pikiran yang lebih jelas dalam bentuk bahasa yang dipahami manusia. Pemadatan pikiran ke dalam bahasa itu merupakan langkah mengartikan. Pengertian kedua, menafsirkan atau menerjemahkan, yaitu usaha mengalihkan diri dari bahasa asing yang maknanya kurang jelas menuju ke bahasa sendiri yang maknanya lebih jelas. Sedangkan dalam pengertian ketiga menunjuk pada seseorang yangbertindak sebagai penafsir. Orang yang menafsirkan teks akan melewati proses transformasi pemikiran dari yang kurang jelas atau ambigu menuju yang lebih jelas atau konkrit. Bentuk transformasi ter-sebut merupakan hal yang esensial dari pekerjaan penafsir.31

30

Jazim Hamidi, 2006. Revolusi Hukum Indonesia, Konstitusi Press-Citra Media, Jakarta-Yogyakarta, hlm. 27-29. Lihat Juga Jazim Hamidi, 2005. Hermeneutika Hukum, Teori Penemuan Hukum Baru dengan Interpretasi Teks, UII Press, Jakarta, hlm. 29.

31

(29)

Hans George Gadamer mengatakan, awalnya hermeneutika berkembang di Italia sekitar abad ke-12 di bawah inspirasi ilmu hukum, yaitu untuk menafsirkan teks yuridikal, karena adanya kebutuhan menginterpretasikan teks-teks yang berlaku pada periode tertentu untuk diterapkan pada masyarakat yang berbeda dan dalam periode yang berbeda pula.32Selanjutnya hermeneutika diperluas, dari penafsiran teks menjadi suatu metode untuk menafsir perilaku manusia.33 Hermeneutika memandang kehidup-an mkehidup-anusia dari produk kultural ykehidup-ang memperlihatkkehidup-an suatu pertalian penuh makna, di mana manusia memberi makna pada kehidupannya sendiri. Hal tersebut dapat diamati dan direkam dengan observasi eksternal, juga dapat dipahami dari “dalam”.

Hermeneutika sebagai metode interpretasi atau penafsiran, tidak hanya mengandung teks yang akan diselami kandungan makna literalnya, tetapi juga dilakukan penggalian makna dengan mempertimbangkan horizon yang melingkupi teks tersebut. Horizon tersebut adalah horizon teks, horizon pengarang dan horizon pembaca. Dengan ketiga horizon tersebut, upaya pe-mahaman teks atau penafsiran menjadi kegiatan rekonstruksi dan reproduksi makna teks, yang berguna untuk melacak bagaimana teks tersebut dilahirkan oleh pengarangnya, dan muatan apa yang masuk atau ingin dimasukkan oleh pengarangnya. Dengan de-mikian hermeneutika sebagai metode harus memperhatikan tiga komponen pokok, yaitu teks, konteks dan upaya kontekstuali-sasi.34

32

Hans George Gadamer, 2004. Kebenaran dan Metode: Pengantar Filsafat Hermeneutika, alih bahasa Ahmad Sahidah, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, hlm. 48.

33

Jazim Hamidi, Hermeneutika Hukum, Teori Penemuan Hukum Baru dengan Interpretasi Teks,loc.cit.

34

(30)

Hermeneutika juga dianggap sebagai refleksi kritis terhadap upaya memahami dunia, dengan menyampaikan pemahaman tersebut melalui bahasa. Oleh karena itu, obyek hermeneutik adalah segala bentuk permainan bahasa, yang memungkinkan manusia dapat memahami dunia dan dirinya.35 Selanjutnya Gadamer mengatakan bahwa pemahaman selalu dapat diterapkan pada keadaan sekarang, meskipun pemahaman itu berhubungan dengan sejarah, dialektika dan bahasa. Oleh karena itu, pemaham-an selalu mempunyai posisi dpemaham-an tidak pernah bersifat obyektif serta ilmiah, karena pemahaman bukan mengetahui secara statis dan di luar kerangka waktu, tetapi selalu dalam keadaan tertentu, dan pada suatu tempat dalam kerangka ruang dan waktu.36 Dalam hubungannya dengan proses pemahaman yang mengkaitkan norma dan kenyataan yang ada, Arief Sidharta mengatakan bahwa dalam pandangan filsafat hermeneutika, pemahaman berlangsung dalam suatu gerakan bolak-balik dari bagian ke keseluruhan sehingga terbentuk pemahaman yang utuh. Lingkaran pemahaman (circle of understanding) ini disebut Lingkaran Hermeneutis,

karena pada bagian ini berlangsung hubungan bolak-balik dari bagian ke keseluruhan, yang mana di dalam bagian hanya dapat dipahami dalam konteks pemahaman terhadap keseluruhan, namun pemahaman keseluruhan tetap mengandalkan pemahaman bagian-bagian.37

Tentang hermeneutika di bidang hukum, C.W. Maris me-nekankan bahwa yang menjadi titik tolak hermeneutika adalah

35

Bambang Sugiharto, 2002. Postmodernisme, Tantangan bagi Filsafat, Kanisius, Yogyakarta, hlm. 38-39.

36

E. Sumaryono, 1999. Hermeneutika Sebuah Metode Filsafat, Kanisius, Yogyakarta,hlm. 26.

37

(31)

kehidupan manusia dan produk kulturalnya. Oleh karena itu tidak dapat dihindarkan adanya proses kegiatan penafsiran dalam produk manusia yang berupa teks yuridikal.38 Gadamer menilai hermeneutika hukum sebenarnya bukan suatu kasus yang baru tetapi sebaliknya. Hermeneutika hukum hanya merekonstruksi-kan kembali dari seluruh masalah hermeneutika, kemudian membentuk kembali kesatuan hermeneutika secara utuh, di mana ahli hukum dan teolog bertemu dengan ahli humaniora atau ilmu kemanusiaan.39 Gregory Leyh mengatakan tujuan dari herme-neutika hukum adalah menempatkan perdebatan kontemporer tentang interpretasi hukum dalam kerangka hermeneutika pada umumnya. Hal itu dilakukan untuk upaya mengkontekstuali-sasikan teori hukum dengan mengasumsikan bahwa hermeneutika memiliki korelasi pemikiran dengan ilmu hukum atau yuris-prodensi.40 Lebih lanjut Gadamer menjelaskan bahwa ada tiga persyaratan penting yang harus dipenuhi oleh seseorang ketika melakukan penafsiran terhadap hukum, yaitu subtilitas intelli-gendi (ketepatan pemahaman), subtilitas explicandi (ketepatan penjabaran), dan subtilitas applicandi (ketepatan penerapan).41 Gadamer juga menekankan adanya kajian yang mendalam tentang proses interpretasi, sebab melalui hermeneutika kebenaran yang diperoleh akan tergantung pada aktor sosial yang melakukan interpretasi. Sedangkan interpretasi itu sendiri, pada kelahirannya

38

C.W. Maris,2003.Aliran-aliran Filsafat Hukum Abad 20, alih bahasa B. Arief Sudharta, bahan matakuliah Filsafat Hermeneutika, Perempuan dan Kekerasan, Fakultas Hukum Universitas Katholik Parahyangan, Bandung, hlm. 16.

39

Hans George Gadamer, Kebenaran dan Metode: Pengantar Filsafat Hermeneutika, loc.cit.

40

Ibid.

41

(32)

sudah ada dalam suatu tradisi yang berisi nilai, pandangan, kai-dah, pola perilaku dan sebagainya. Proses interpretasi membentuk pra-pemahaman, yakni prasangka yang kemudian membentuk cakrawala pandang tentang interpretandum. Dalam dinamika proses interpretasi, pra-pemahaman dan cakrawala pandang mengalami dinamisasi dan berinteraksi serta mengalami perjum-paan cakrawala sehingga membentuk pemaknaan aktor sosial.42

Undang-undang No. 23 Tahun 2004 lahir dari proses panjang untuk memadukan beberapa kepentingan. Undang-undang ini dapat dipastikan dipengaruhi oleh pemaknaan para penyusun atau pembuat undang-undang dalam memahami realitas KDRT. Di sisi lain, perilaku perempuan Tionghoa korban KDRT untuk tidak melawan, sabar, mengalah, memaafkan, pasrah, dan bungkam, juga tidak terbentuk dalam sekejap mata. Di balik perilaku ter-sebut juga dipengaruhi oleh pemaknaan tentang kekerasan dalam rumah tangga yang mereka alami. Oleh karena itu, untuk mema-hami pemaknaan KDRT menurut Undang-undang No. 23 Tahun 2004, dan pemaknaan perempuan Tionghoa terhadap KDRT yang mereka alami, penulis menggunakanteori hermeneutikadari H.G. Gadamer.

6.3. Undang-undang No. 23 Tahun 2004 sebagai Perwujudan

Kebijakan Publik

Thomas R. Dye mengatakan, “Government lends legitimacy to polities. Government policies are generally regarded as legal

42

(33)

abligations which command the loyalty of citizens.”43 Dye dalam konteks ini memandang kebijakan adalah apa pun yang dipilih oleh pemerintah untuk dilakukan atau tidak dilakukan—is what-ever goverments choose to do or not to do.44Sementara itu David Easton mengatakan bahwa proses identifikasi dan perumusan ma-salah kebijakan sangat ditentukan oleh para pelaku yang terlibat, baik secara individual maupun secara kelompok dalam masyara-kat. Di samping itu faktor lingkungan sosial, ekonomi, politik, budaya, keamanan, geografi dan sebagainya dapat mempengaruhi dan menjadi input bagi sistem politik (legislatif, eksekutif, yudi-katif, partai politik, tokoh masyarakat dan sebagainya). Proses transformasi dari keinginan sosial menjadi peraturan baik dalam konteks politis atau sosiologis, tidak hanya terjadi pada saat pem-bentukan peraturan tetapi juga pada tahap bekerjanya produk hukum.45

Easton merumuskan public policy sebagai pengalokasian nilai-nilai secara paksa terhadap seluruh masyarakat (the autho-ritative allocation of values for the whole society).46 Definisi Easton ini dengan jelas menunjukkan bahwa pemerintah secara sah dapat berbuat sesuatu pada masyarakat, dan pilihan peme-rintah untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu tersebut diwujudkan dalam bentuk pengalokasian nilai-nilai pada masyarakat, karena pemerintah menurut Easton adalah para

43

Thomas R. Dye, Esmi Warassih, 2005,Pranata Hukum, Sebuah Telaah Sosiologis, P.T Suryandaru Utama, Semarang, hlm.134.

44

Thomas R. Dye, 1978. Understanding Public Policy, Prentice Hall Inc., Englewood Cliffs, New Jersey, hlm 3.

45

Esmi Warassih, Pranata Hukum, Sebuah Telaah Sosiologis,op.cit, hlm. 48-49.

46

(34)

penguasa dalam suatu sistem politik (authorities in a political system) yang terlibat dalam masalah-masalah sehari-hari yang menjadi tanggung jawab atau peran mereka.47 Pembentukan kebijakan ini dapat didiskripsikan melalui “Model Kotak Hitam Eastonian”—suatu model sistem politik yang mempengaruhi studi kebijakan (output) tahun 1960-an dalam mengkonseptualisasikan hubungan antara perbuatan kebijakan, output kebijakan, dan “lingkungan” yang lebih luas. Model Eastonian menggambarkan suatu proses kebijakan dari segi inputyang diterima, dalam ben-tuk aliran dari lingkungan dimensi melalui saluran input (partai, media, kelompok kepentingan) permintaan dalam suatu sistem politik dan konversinya menjadioutputdan hasil kebijakan.48

Jay A. Sigler dan Benyamin R. Bedee dalam bukuThe Legal Sources of Public Policy menulis: “law is an integral part of policy initiation, formalization, implementations and evaluations, legislative bodies formulate public policy through statues and appropriations controls.49 George C. Edward III dan Ira Sharkansky merumuskan kebijakan negara adalah apa yang dinyatakan dan dilakukan atau tidak dilakukan oleh pemerintah. Kebijakan negara merupakan sasaran atau tujuan program pemerintah yang dapat ditetapkan secara jelas dalam peraturan perundang-undangan atau dalam pidato-pidato pejabat teras pemerintah atau berupa program dan tindakan yang dilakukan

47

M. Irfan Islamy, 1982. Prinsip-prinsip Perumusan Kebijakan Negara, Bumi Aksara, Jakarta, hlm. 20.

48

Wayne Parsons, dalam Suteki, 2008. Rekonstruksi Politik tentang Hak Menguasai Negara Atas Sumber Daya Air Berbasis Nilai Keadilan Sosial (Studi Privatisasi Pengelolaan Sumber Daya Air), Disertasi Program Doktor Ilmu Hukum, Universitas Diponegoro. Semarang.

49

(35)

pemerintah.50 Senada dengan definisi di atas, James E. Anderson mendefinisikan kebijakan negara adalah kebijakan yang dikem-bangkan oleh badan dan pejabat pemerintah.51

M. Irfan Islamy secara komprehensif merumuskan kebijakan negara adalah serangkaian tindakan yang ditetapkan dan dilaksa-nakan atau tidak dilaksadilaksa-nakan oleh pemerintah yang mempunyai tujuan atau orientasi pada tujuan tertentu demi kepentingan seluruh masyarakat. Pengertian ini mempunyai empat implikasi.

Pertama, kebijakan negara dalam bentuk perdana berupa penetapan tindakan pemerintah. Kedua, kebijakan negara tidak cukup hanya dinyatakan tetapi dilaksanakan dalam bentuk yang nyata. Ketiga, kebijakan negara, baik melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu, mempunyai dan dilandasi oleh maksud dan tujuan tertentu. Keempat, kebijakan negara harus senantiasa ditujukan untuk kepentingan seluruh anggota msyarakat.52 Ke-bijakan negara yang terpenting adalah tidak boleh “hampa nilai” tetapi harus “sarat nilai”.53

Harold D. Lasswel dan Abraham Kaplan mengartikan kebijakan publik sebagai suatu program pencapaian tujuan, nilai-nilai dan praktik yang terarah.54 Amara Raksasataya dalam konteks ini memahami kebijakan negara sebagai suatu taktik dan strategi yang diarahkan untuk mencapai tujuan, dan oleh karena itu memuat tiga elemen, yakni: Identifikasi dari tujuan yang ingin

50

George C. Edwards III dan Ira Sharkansky, 1978. The Policy Predicament, W.H. Freman and Company, San Fransisco, hlm. 2.

51

James E. Anderson, 1979. Public Policy Making, Holt Rinehart and Winston, New York, hlm. 3.

52

M. Irfan Islamy, Prinsip-prinsip Perumusan Kebijakan Negara, op.cit, hlm. 20-21.

53

Ibid, hlm. 15.

54

(36)

dicapai; taktik dan strategi dari berbagai langkah untuk mencapai tujuan yang diinginkan; dan penyediaan berbagai input untuk memungkinkan pelaksanaan secara nyata dari taktik atau strategi.

M. Irfan Islamy menegaskan bahwa pembuatan suatu ke-bijakan dipengaruhi beberapa faktor, yakni: Pengaruh tekanan dari luar; pengaruh kebiasaan lama; pengaruh sifat-sifat pribadi pembuat; pengaruh dari kelompok luar; dan pengaruh masa lalu.55 Sedangkan James E. Anderson melihat ada beberapa macam nilai yang melandasi perilaku pembuat keputusan dalam merumuskan suatu kebijakan, di antaranya nilai-nilai politis; nilai-nilai orga-nisasi; nilai-nilai pribadi; nilai-nilai kebijakan; dan nilai-nilai ideologis.56

Adanya perubahan sosial yang serba cepat dalam masyarakat, menuntut hadirnya suatu tatanan hukum yang mampu mewujud-kan berbagai tujuan dalam kehidupan masyarakat. Jadi hukum dituntut tidak sekadar mengatur perilaku masyarakat, namun juga diharapkan menjadi sarana untuk memberi petunjuk tentang peri-laku masyarakat dalam memenuhi kebutuhan mereka. Hukum adalah karya manusia yang merupakan cerminan kehendak dan sasaran-sasaran yang ingin dicapai dalam masyarakat, hukum yang demikian dikenal sebagaihukum modern.57

Hukum melalui penormaan perilaku, memasuki semua sisi kehidupan manusia. Hukum telah membentuk pola hubungan-hubungan di antara warga dalam masyarakat. Hukum menentu-kan dan mengatur tentang bagaimana hubungan dilakumenentu-kan dan

55

M. Irfan Islamy, Prinsip-prinsip Perumusan Kebijakan Negara, op.cit, hlm. 25-26.

56

James E. Anderson,Public Policy Making,op.cit, hlm. 14-15.

57

(37)

bagaimana akibatnya, memberikan pedoman tentang perilaku yang dilarang, diperbolehkan, atau yang diizinkan. Penormaan tersebut dilakukan dengan membuat kerangka umum yang kemu-dian dijabarkan dalam bentuk peraturan perundang-undangan.58 Oleh karena itu, penyusunan produk hukum harus ditempatkan dalam konteks yang lebih luas, yakni pemahaman sosiologis dan politis. Artinya sebelum memasuki tahapan yuridis, proses pem-bentukan hukum harus melalui tahapan sosio-politis sehingga dapat diprediksi norma yang akan dilahirkan ketika peraturan itu dibuat. Suatu produk hukum melalui pemahaman ini dapat dinilai, apakah berkualitas atau tidak, didukung sikap dan nilai-nilai yang dianut masyarakat atau ditentang, dan sebagainya.59

Tahapan sosiologis merupakan proses penyusunan produk hukum yang berlangsung dalam masyarakat—tempat tersedianya bahan baku dalam menyusun produk hukum. Masyarakat juga merupakan tempat lahirnya suatu kejadian, masalah atau tujuan sosial. Namun suatu masalah dalam masyarakat baru menjadi masalah kebijakan (policy problem), apabila masalah tersebut dapat membangkitkan orang banyak untuk melakukan tindakan untuk menyelesaikannya. Apakah suatu masalah adalah masalah kebijakan, untuk menentukan hal tersebut dapat dilihat dari be-berapa faktor, antara lain aspek peristiwa: Siapakah yang terkena peristiwa itu? Apakah terwakili oleh mereka yang mempunyai posisi sebagai pembuat keputusan? Bagaimana jenis hubungan antara pembuat keputusan dengan orang yang terkena kebijakan tersebut.60

58

Ibid, hlm. 26.

59

James E. Anderson, dalam Esmi Warassih,Ibid.

60

(38)

Tahapan politis adalah usaha untuk melakukan identifikasi masalah dan kemudian merumuskannya. Pada tahap ini ide atau gagasan yang teridentifikasi, dipertajam dalam wacana kritis oleh kekuatan yang ada dalam masyarakat. Tahapan politis ini sangat menentukan, sebab ide akan dinilai apakah dapat dilanjutkan atau diperbaiki untuk selanjutnya memasuki tahapan yuridis atau tidak. Jika dilanjutkan, maka lahirlah peraturan. Oleh karena itu harus disadari bahwa peraturan hukum merupakan salah satu alat yang penting untuk menyalurkan dan mewujudkan tujuan-tujuan ke-bijakan pemerintah.61

Tahapan yuridisadalah tahapan terakhir yang lebih terfokus pada penyusunan dan pengorganisasian masalah-masalah yang diatur ke dalam rumusan-rumusan hukum. Consistency, sound arrangement dan normal usage adalah faktor yang terpenting pada tahapan yuridis ini. Di samping itu proses dalam tahapan ini juga tidak bebas nilai, melainkan selalu dalam kungkungan sub-sistem-subsistem non-yuridis (sosial, budaya, ekonomi, politik dan sebagainya).62

Burkhardt Krems berpendapat bahwa pembentukan peraturan bukan hanya kegiatan yuridis saja, tetapi juga suatu kegiatan bersifat interdisipliner. Artinya setiap aktivitas pembentukan per-aturan memerlukan bantuan ilmu-ilmu lain agar produk hukum yang dihasilkan dapat diterima dan mendapat pengakuan dari masyarakat serta timbul efek-efek sebagaimana yang dikehendaki oleh hukum. Untuk mencapai hal tersebut, hukum harus dipan-dang sebagai bagian integral dari kebijakan publik, karena ke-beradaan institusi hukum merupakan indikator

pengimplemen-61

Ibid, hlm. 47.

62

(39)

tasian dari suatu kebijakan.63 Undang-undang No. 23 Tahun 2004 adalah perwujudan kebijakan publik, untuk mengkaji hal tersebut peneliti menggunakan berbagai teori tentangkebijakan publik.

Namun tidak cukup untuk sekadar memahami hukum dalam bentuk rumusan pasal-pasal yang bergerak di bidang penafsiran, penerapan dan konstruksi hukum. Ada tuntutan untuk dapat me-mahami hukum dari sisi yang lain, karena hukum dibuat manusia dan untuk mengatur manusia dalam masyarakat. Hukum tidak pernah bergerak di ruang hampa. Hukum merupakan variabel yang senantiasa dinamis dan dipengaruhi oleh berbagai faktor di lingkungan masyarakat, baik itu faktor sosial, ekonomi, budaya maupun politik.64

6.4. Hak Asasi Manusia dan Feminisme

Peraturan perundang-undangan merupakan bagian dari hukum yang dibuat secara sengaja oleh institusi negara, dalam konteks ini peraturan perundang-undangan tidak mungkin muncul secara tiba-tiba, dan peraturan tersebut dibuat dengan tujuan dan alasan tertentu.65 Ketika melalui proses sosiologis, politis dan yuridis, Undang-undang No. 23 Tahun 2004 dipengaruhi oleh pemahaman internasional tentang hak asasi manusia (HAM), dan feminisme. Untuk mengkaji pengaruh tersebut, peneliti meng-gunakanteori tentang hak asasi manusia dan feminisme.

63

A. Hamid S. Attamimi, dalam Esmi Warassih,ibid, hlm. 37.

64

Ibid, hlm. 139-140.

65

(40)

Hak asasi manusia merupakan suatu perangkat asas-asas yang timbul dari nilai-nilai yang kemudian menjadi kaidah-kaidah yang mengatur perilaku manusia dalam hubungan dengan sesama.66 Hak asasi manusia pada hakikatnya telah ada sejak janin tumbuh dalam kandungan seorang ibu, dan hak itu akan terus ada sampai akhir hayat. Hak asasi manusia adalah hak seorang manusia yang asasi, yang tidak bisa diintervensi untuk ditiadakan oleh orang lain, kelompok atau lembaga mana pun.67 Hak asasi manusia adalah hak yang mendasar dan menyatu dalam jati diri manusia secara universal (human rights are based on the affirmation of human equality).68

Hak asasi manusia dibedakan menjadi dua jenis. Pertama,

Hak Asasi Individual,adalah hak fundamental yang melekat pada pribadi manusia secara individual, yakni hak atas hidup. Misal-nya, hak untuk memperoleh kebebasan pribadi dan kebebasan beragama. Kedua, Hak Asasi Sosial, adalah hak yang melekat pada manusia sebagai makhluk sosial yang dibagi dalam hak ekonomi, sosial dan budaya. Misalnya, hak untuk memperoleh kebutuhan pokok untuk hidup (pangan, sandang, pendidikan, ke-sehatan dan kerja).69

John Locke mengatakan bahwa manusia dilahirkan bebas dan setara, artinya setiap manusia memiliki hak-hak yang tidak dapat dilepaskan dari dirinya, Hak Alamiah. Hak alamiah tersebut ter-lepas dari segala adat istiadat atau aturan tertulis. Hak alamiah

66

Anthony Flew, 1984.A Dictionary of Philosophy, StMartin’s Press, New

York, hlm 306.

67

A. Bazar Harahap dan Nawangsih Sutardi, 2006.Hak Asasi Manusia dan Hukumnya, Pecirindo, Jakarta, hlm. 7.

68

Tom Chambell, dalam Arend Souteman, 2001. Pluralisme and Law, Kluwer Academic Publiser, Boston, hlm. 63.

69

(41)

mendahului posisi legal, kultural, ekonomi dan sosial manusia dalam satu komunitas.70 Selanjutnya John Locke dan Jefferson mendefinisikan hak asasi manusia dengan menegaskan bahwa hak tersebut diberikan Sang Pencipta kepada manusia, agar ma-nusia dapat hidup bahagia dan sejahtera. Hak asasi mama-nusia tidak boleh diambil oleh siapa pun juga, karena hak tersebut berupa hak untuk hidup (rights of file), dan hak untuk memperoleh kebebasan (liberty). Dengan adanya hak tersebut, setiap manusia menjadi setara dalam hukum dan politik.71

Pasal 1 angka 1 Undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentang

Hak Asasi Manusia, mendefinisikan bahwa hak asasi manusia

adalah seperangkat hak yang melekat keberadaannya pada manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Mahaesa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilin-dungi oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap orang demi ke-hormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia. HAM berlaku baik untuk perempuan maupun laki-laki, dan menjamin setiap individu untuk hidup dengan martabat dan kebebasannya. HAM menjadi sesuatu yang penting, karena secara tradisional hak asasi manusia hanya berurusan dengan hukum negara yang terjadi di ruang publik, terpisah jauh dari ruang privat di mana sering kali terjadi pelanggaran hak asasi perempuan. HAM secara tradisional mengkategorikan kekerasan dengan tidak menyertakan perempu-an di dalamnya dperempu-an meminggirkperempu-an isu-isu perempuperempu-an.72

70

Rocky Gerung, 2006.Hak Asasi Manusia, Teori Hukum, Kasus. Filsafat Hukum,UI Press, Jakarta, hlm. 7.

71

A. Bazar Harahap dan Nawangsih Sutardi, Hak Asasi Manusia dan Hukumnya,op.cit, hlm. 6.

72

(42)

Hak asasi manusia secara prinsip memiliki sifat-sifat dasar yanginherentatau melekat pada diri manusia. Hak asasi manusia itu universal, berlaku untuk semua orang. Hak asasi manusia itu

inalienableatau tidak dapat dipungkiri; indisibleatau tidak dapat dibagi; dan interdependent atau saling tergantung. HAM harus dilindungi, dihormati dan dipertahankan, tidak dapat dikurangi atau dirampas oleh siapa pun.

Konsep universalisme ini mendapat tentangan dari penganut aliran sosialisme, karena dinilai mengutamakan individualisme yang dapat menumbuhkan kapitalisme serta memperkokoh ke-senjangan sosial. Pandangan ini telah mengakibatkan benturan ideologis atas konsep klasik HAM di Barat dan Timur, sehingga melahirkan persepsi dan teori hak asasi manusia yang berbeda. Pengaruh paham sosialisme memunculkan teori relativisme budayayang intinya berpandangan bahwa HAM harus diletakkan dalam konteks budaya tertentu dan menolak pandangan adanya hak yang bersifatuniversal.

Selain universal, prinsip dasar hak asasi manusia lain yang penting adalah:

1. Kesetaraan, suatu gagasan untuk meletakkan semua orang terlahir bebas dan memiliki kesetaraan dalam HAM.

2. Non-diskriminasi, konsekuensi dari prinsip keseta-raan karena diskriminasi melahirkan kesenjangan perlakuan.

3. Kewajiban positif untuk melindungi hak-hak ter-tentu.73

73

(43)

Ada dua konvenan tentang HAM internasional, yaitu Konve-nan Hak Sipil dan Politik (SIPOL) dan KonveKonve-nan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (EKOSOSBUD). Konvenan Hak SIPOL termasuk Non Derogable Right, yaitu hak-hak yang tidak dapat ditangguhkan atau dibatasi (dikurangi) pemenuhannya oleh negara, meskipun dalam kondisi darurat sekalipun. Konvenan Hak SIPOL di antaranya memuat hak-hak seperti hak hidup; hak bebas dari perbudakan dan penghambaan; hak untuk tidak dijadi-kan obyek dari perlakuan penyiksaan atau penghukuman keji; hak untuk diperlakukan secara manusiawi dan tidak direndahkan martabatnya sebagai manusia; hak untuk mendapatkan pemulihan menurut hukum; hak untuk dilindungi dari penerapan hukum pi-dana karena utang; hak untuk bebas dari penerapan hukum pipi-dana yang berlaku surut; hak diakui sebagai pribadi di depan hukum; kebebasan dalam berpikir dan berkeyakinan atau beragama.

Konvenan EKOSOSBUD termasuk Derogable Right, yaitu hak-hak yang dapat ditangguhkan atau dibatasi (dikurangi) pe-menuhannya oleh negara dalam kondisi tertentu. Konvenan hak EKOSOSBUD di antaranya hak untuk bekerja; hak untuk menik-mati kondisi kerja yang adil dan baik; hak untuk membentuk dan ikut dalam organisasi; hak mendapatkan pendidikan; serta hak berpartisipasi dan berbudaya. Namun seperti hak SIPOL, penang-guhan atau pembatasan dapat diperketat, yaitu diatur oleh hukum dengan maksud semata-mata untuk memajukan kesejahteraan umum dalam suatu masyarakat yang demokrasi.74

Sejumlah teori hukum telah digagas sebagai reaksi terhadap fenomena ketidakadilan yang terjadi di dalam masyarakat. Salah satu teori yang menyoroti ketidakadilan dalam implementasi

hu-74

(44)

kum dan mempertanyakan netralitas hukum adalah teori hukum feminis.75 Teori ini muncul seiring dengan berkembangnya gerakan Critical Legal Studies di Amerika Serikat. Teori hukum feminis adalah sebuah pemikiran yang berusaha melakukan terobosan terhadap berlakunya hukum, yang telah melahirkan diskriminasi terhadap perempuan.76 Teori hukum feminis ini dilandasi feminisme yurisprodence, yakni filsafat hukum yang didasarkan pada kesetaraan hak di bidang politik, ekonomi dan sosial, di mana melalui beberapa pendekatan telah diidentifikasi unsur-unsur gender dan akibatnya pada hukum yang netral serta pelaksanaannya.77

Charlotte Bunch menulis, bahwa perjuangan hak asasi pe-rempuan memang tidak dapat dipisahkan dari perjuangan hak-hak perempuan, apalagi hak asasi perempuan lahir dari sebuah kon-ferensi dunia tahun 1993, di mana telah ditetapkan bahwa hak-hak perempuan harus diartikan juga sebagai hak asasi manusia.78 Teori hukum feminis secara kritis berpendapat bahwa hukum yang dimaknai melalui positivisme hukum akan berdampak tidak sesuai dengan perspektif perempuan, yang tidak terwakili oleh putusan-putusan yang dibuat berdasarkan pertimbangan penguasa atau negara yang cenderung memiliki pola pikir patriarkis. Dunia tidak pernah menyadari kalau sistem hukum memang berkelamin laki-laki, walaupun kesadaran tersebut hanya bisa muncul bila orang bergerak dalam ranah sosiologis hukum. Sebaliknya studi

75

Niken Savitri,HAM Perempuan: Kritik Teori Hukum Feminis terhadap KUHP,op.cit,hlm. 26-27.

76

Margaret Davies,1994. Asking the Law Question, The Law Book Company Limited ltd, hlm. 167.

77

Ibid.

78

(45)

hukum positivistis, dogmatis, dan analitis justru tidak mampu membawa manusia pada kesadaran seperti itu.79

Feminisme memiliki komitmen dalam kesetaraan dan berke-yakinan bahwa unsur biologis membuat laki-laki dan perempuan berbeda, di mana kategori seks tersebut juga membedakan buatan laki-laki dan perempuan. Namun, jika terjadi suatu per-bedaan, kaum feminis menyebutnya sebagai suatu rekayasa sosial. Feminisme dalam hubungannya dengan hukum meyakini bahwa subordinasi perempuan berakar dari serangkaian hambatan berdasarkan adat kebiasaan dan hambatan hukum, yang memba-tasi keberhasilan perempuan dalam dunia publik karena berasumsi bahwa perempuan tidak secerdas laki-laki dan perempuan tidak berpotensi seperti laki-laki.80 Dalam kajian kritis hukum feminis, terdapat lima hal penting dalam cara berpikir kritis feminis, yaitu: adanya bias gender secara implisit, jeratan atau ikatan ganda, dilema dari perbedaan, reproduksi model dominasi laki-laki, dan membuka pilihan-pilihan perempuan.81 Patricia Cain mengatakan bahwa pengkajian hukum secara feminis dapat disebut sebagai

teori feminis bila didasarkan pada pengalaman perempuan. Pe-nekananpengalaman perempuan berguna untuk mengidentifikasi eksklusivitas hukum, khususnya penderitaan perempuan yang tidak dikenali (dipahami dan direfleksikan) oleh pengadilan atau

79

Satjipto Rahardjo, 2004.Membicarakan Feminis Jurisprodence,Makalah Temu Ilmiah Pengajar dan Peminat Hukum yang Berperspektif Gender, Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang.

80

Rosemarie Putnam Tong, 2008. Feminist Thought, Pengantar Paling Komprehensif kepada Arus Utama Pemikiran Feminis, alih bahasa Aquarini Priyatna Prabasmoro, Jalasutra, Yogyakarta, hlm. 2.

81

(46)

peraturan, atau telah terminimalisir karena pengalaman perem-puan tidak secara cukup terekspresikan dalam hukum.

Feminisme berusaha membuat cakrawala penalaran hukum yang baru, yaitu dengan memberi penekanan pada perempuan dengan cara membongkar adanya bias gender dalam perundang-undangan, standar dan konsep yang kasat mata terlihat obyektif dan netral tetapi di balik itu semua telah menimbulkan dampak yang merugikan perempuan.82 Terhadap perundang-undangan yang demikian feminis meyakini bahwa penyebabnya terletak pada proses perumusan hukum dan kebijakan yang dibuat oleh laki-laki, dengan kacamata laki-laki, dan didasarkan pada norma laki-laki. Akibatnya, pengalaman perempuan, kepentingan dan makna keadilan bagi perempuan tidak diperhitungkan. Produk hukum termasuk putusan pengadilan yang demikian, akan sulit memberi keadilan yang sesungguhnya kepada perempuan.

Feminist legal theorists have established that law does not reflect women’s realities and experiences and is’blind’ to gender differences existing in reality. Oleh karena itu harus dilakukan perubahan dalam program pembangunan hukum, yakni dengan mengkondisikan budaya politik dan budaya hukum dalam norma masyarakat bersangkutan.83

Kajian tentang standar norma masyarakat sejumlah fakta sosial menunjukkan bahwa selama ini di dalam masyarakat telah digunakan standar tunggal, di mana laki-laki dijadikan norma dan

82

Martha Chamallas, 2003.Introduction to Feminist Legal Theory,Aspen Publisher, hlm. 5.

83

(47)

diberlakukan baik untuk laki-laki maupun perempuan. Padahal, pengalaman perempuan dan laki-laki sering kali berbeda, karena seksualitas dan tradisi dalam masyarakat yang menomorduakan perempuan.84 Piere Bourdieu ketika meneliti struktur dominasi laki-laki dengan menggunakan metode etnografi di daerah Kabyle (Kabil) di pegunungan Aljazair menyimpulkan bahwa dominasi maskulin benar-benar telah mengakar dalam alam bawah sadar kita, sehingga kita tidak bisa mengenalinya meski secara sekilas saja. Budaya maskulin dapat tertanam dalam bawah sadar manu-sia, karena budaya itu tidak harus selalu muncul secara terang-terangan dan eksplisit sebagai pembelaan terhadap kaum lelaki, tetapi dapat berupa dikotomi-dikotomi dalam masyarakat yang mengekslusifkan pengalaman perempuan, nilai-nilai ketidakber-pihakan pada perempuan (netralitas, empirisme dan positivisme dalam hukum).85 Akibatnya menurut Marlilyn Frey, perempuan sering kali harus berhadapan dengan ikatan ganda ketika akan mencari keadilan bagi dirinya. Ikatan ganda tersebut adalah dilema bagi perempuan, karena dipaksa untuk memprediksi dari pilihan yang harus diambil dan yang mengandung risiko paling sedikit bagi dirinya.86

Perempuan dalam berbagai kasus kekerasan dalam rumah tangga, sering kali harus menghadapi dilema. Korban KDRT harus memilih, antara melaporkan pelaku kekerasan yang tidak lain adalah suaminya sendiri yang selama ini memberikan nafkah bagi keluarga, atau tidak melaporkan yang berarti perempuan

84

Donovan, 2001; Barett dan Phillips,1992; Wallace,1989; dan Smith, 1999, dalam Liem Sing Meij, Ruang Lingkup Sosial Baru Perempuan Tionghoa; Sebuah Kajian Pascakolonial,op.cit,hlm. 9.

85

Sulistyowati Irianto dan Antonius Cahyadi,Runtuhnya Sekat Perdata dan Pidana: Studi Peradilan Kasus terhadap Perempuan,op.cit, hlm. 303.

86

(48)

harus memaafkan pelaku atau membiarkan kekerasan terjadi. Kondisi hukum yang tidak memberikan pilihan ini, membuat pe-rempuan lebih suka diam dan membiarkan dirinya terjerat dalam kondisi yang dianggap memiliki risiko paling kecil, yaitu mem-biarkan kekerasan terus berlangsung dan memmem-biarkan hak-haknya terabaikan.87

6.5. Budaya Hukum Tionghoa di Indonesia

Keberadaan Etnis Tionghoa sebagai salah satu etnis di Indo-nesia, tersebar di seluruh Nusantara, khususnya di Kalimantan Barat, Jakarta, Banten, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatera Utara, Riau, Bangka-Belitung, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, Nusa Tenggara Timur dan Papua. Etnis Tionghoa di Indonesia berasal dari daerah China Selatan dan China Utara. Mereka yang berasal dari daerah China Selatan, menyebut diri mereka sebagai “orang Tang”, sehingga sering dikatakan sebagai Tenglang

(bahasa Hokkien), Tengnang (bahasa Tiochiu), Tingnyin (bahasa Hakka), atau Tangren (bahasa Mandarin). Sedangkan yang berasal dari China Utara, menyebut diri mereka sebagai “orang Han”. Lingkup penelitian ini adalah komunitas etnis Tionghoa, oleh karena itu beberapa teori tentang budaya Tionghoa peneliti gunakan untuk memahami perilaku perempuan Tionghoa ketika mengalami kekerasan dalam rumah tangga, dan pemaknaan pe-rempuan Tionghoa terhadap KDRT yang mereka alami.

Kata Tionghoa atau Tionghwa, adalah istilah yang dibuat sendiri oleh orang-orang keturunan China di Indonesia, kata tersebut berasal dari kata Zhonghua (bahasa Mandarin), yang

87

(49)

dalam dialek Hokkian dilafalkan Tionghoa. Orang Tionghoa di Indonesia, pada umumnya berasal dari suku Hakka, Hainan, Hokkien, Kantonis, Hokchia dan Tiochiu. Awal mulanya mereka masuk ke Indonesia melalui kegiatan perdagangan, kemudian bermigrasi secara bergelombang pada ribuan tahun yang lalu.88 Sesampai di Indonesia, mereka menikah dengan penduduk pribumi dan beranak cucu di Indonesia. Jadi, etnis Tionghoa di Indonesia bukan kelompok homogen. Dari sudut kebudayaan, etnis ini pada dasarnya dapat dikategorikan ke dalam dua kelompok besar, yaitu Tionghoa Peranakan dan Tionghoa Totok. Mereka yang dikategorikan sebagai Tionghoa Peranakan adalah yang sudah lama tinggal di Indonesia, sudah tidak dapat secara fasih berbahasa Mandarin, dan bahkan pada umumnya telah me-nikah dengan orang pribumi. Sedangkan Tionghoa Totok adalah mereka yang baru datang ke Indonesia, satu atau dua generasi bermukim di Indonesia, dan masih berbahasa Mandarin.89

Orang Tionghoa memiliki persatuan yang sangat erat, karena baik Tionghoa Totok maupun Tionghoa Peranakan merasa se-bagai etnis perantau. Oleh karena itu, untuk menjaga persatuan, mereka merasa perlu melestarikan budaya dan bahasa sendiri, yaitu dengan mendirikan sekolah-sekolah Tionghoa di bawah naungan yayasan pendidikan Tionghoa seperti Tjung Hwa Kwei Kwan atau Tiong Hoa Hwe Kwan. Hasil Sensus Penduduk tahun 2006 menunjukkan populasi etnis Tionghoa di Indonesia sekitar 4 persen dari populasi penduduk Indonesia yang jumlahnya sekitar

88

www.wikipedia.org/wiki/Tionghoa-Indonesia.

89

(50)

7.670.000 jiwa,90 dan dari jumlah tersebut kelompok Tionghoa Totok semakin menurun karena mengalami peranakanisasi. Tetapi melalui pendidikan di sekolah-sekolah yang didirikan, agama dan budaya etnis Tionghoa dapat terus dipertahankan dan dijadikan alat pemersatu.91

Masyarakat etnis Tionghoa di Indonesia seperti yang ada di China Daratan, juga menganut sistem kekeluargaan patriarkat. Struktur masyarakat patriarkat menempatkan anak laki-laki lebih berharga di mata keluarga dibandingkan dengan anak perempuan, karena anak laki-laki akan menjadi penerus marga. Dalam kehi-dupan perkawinan, perempuan ditempatkan di bawah laki-laki. Perempuan adalah ibu rumah tangga yang bertanggung jawab atas perawatan anak, dan laki-laki adalah kepala rumah tangga yang berkewajiban mencari nafkah.92 Sedangkan tentang kedudukan perempuan dalam perkawinan di China setelah terjadinya re-volusi, penelitian Elizabeth Croll pada tahun 1984 menemukan fakta bahwa pemerintah China berusaha untuk mengubah sifat dari perkawinan yang sarat negosiasi dan transaksi yang berhu-bungan dengan wanita dan harta milik, dengan memberlakukan undang-undang perkawinan. Tujuan pemerintah China pada saat itu adalah mencegah intervensi kerabat laki-laki dalam persiapan perkawinan dan rumah tangga, dan mencegah pernikahan yang dijodohkan orangtua. Pemerintah China melalui undang-undang perkawinan memberi dukungan kepada kaum muda untuk meng-gunakan hak mereka memilih pasangan hidup, dan menangani urusan rumah tangga tanpa campur tangan keluarga dan sanak

90

www.wikipedia.org/wiki/Tionghoa-Indonesia.

91

Liem Sing Meij, Ruang Lingkup Sosial Baru Perempuan Tionghoa: Sebuah Kajian Pascakolonial,op.cit, hlm. 57.

92

Referensi

Dokumen terkait

Kriteria matang panen yang dilakukan di perusahaan masih ada yang tidak sesuai dengan Standar Operasional Perusahaan, yaitu pemanen ada yang melakukan pemanenan buah kelapa

Validasi, merupakan upaya memperoleh data yang valid melalui langkah- langkah sebagai berikut; (1) saturasi, langkah pengambilan data yang dilakukan secara

Berdasarkan permasalahan diatas peneliti berinisiasi untuk memberikan “Pembekalan dan Pelatihan Siswa SMA Plus Penyabungan Mandailing Natal Untuk Menghadapi Kompetisi

Populasi penelitian ini adalah ibu yang mempunyai riwayat menyusui yang mem- punyai bayi 6-12 bulan berjumlah 150 orang yang terdiri dari 58 orang ibu yang mem- punyai riwayat

Untuk ibu yang ikut berpartisipasi dalam ber-KB setelah diberi penyuluhan sebesar 92,5% yang tidak ikut ber-KB setelah diberi penyuluhan sebesar 7,5% sedangkan

Kurang sadarnya sikap terhadap Tuhan YME, hubungannya dengan diri sendiri adalah belum ada tenaga pengajar untuk menumbuhkan bakat dan minat anak panti oleh

Dengan menggunakan media tersebut, kami berharap dapat menciptakan kepercayaan diri yang baru dalam melawan penyebaran virus ini dengan penyampaian-penyampaian yang

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dokumentasi, yaitu teknik pengumpulan data dengan cara mengumpulkan data dan dokumen-dokumen yang