• Tidak ada hasil yang ditemukan

Anatomi dan Fisiologi Sistem Reproduksi (1)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Anatomi dan Fisiologi Sistem Reproduksi (1)"

Copied!
44
0
0

Teks penuh

(1)

Anatomi dan Fisiologi Sistem Reproduksi

Wanita

Anatomi system reproduksi wanita terbagi 2, yaitu: 1. Organ-organ Internal, terdiri dari :

- Dua ovarium (indung telur) - Dua tuba fallopii (saluran telur) - Uterus (rahim)

- Vagina

2. Organ-organ eksternal, terdiri dari : - Mons pubis

Estrogen dihasilkan oleh ovarium. Ada banyak jenis dari estrogen tapi yang paling penting untuk reproduksi adalah estradiol. Estrogen berguna untuk pembentukan ciri-ciri

perkembangan seksual pada wanita yaitu pembentukan payudara, lekuk tubuh, rambut kemaluan,dll. Estrogen juga berguna pada siklus menstruasi dengan membentuk ketebalan endometrium, menjaga kualitas dan kuantitas cairan cerviks dan vagina sehingga sesuai untuk penetrasi sperma.

Progesterone

Hormon ini diproduksi oleh korpus luteum. Progesterone mempertahankan ketebalan endometrium sehingga dapat menerima implantasi zygot. Kadar progesterone terus

dipertahankan selama trimester awal kehamilan sampai plasenta dapat membentuk hormon HCG.

Gonadotropin Releasing Hormone

GNRH merupakan hormon yang diproduksi oleh hipotalamus diotak. GNRH akan

merangsang pelepasan FSH (folikl stimulating hormone) di hipofisis. Bila kadar estrogen tinggi, maka estrogen akan memberikan umpanbalik ke hipotalamus sehingga kadar GNRH akan menjadi rendah, begitupun sebaliknya.

FSH (folikel stimulating hormone) dan LH (luteinizing Hormone)

(2)

Masa-masa kehidupan wanita:

Masalah normal yang dialami wanita dari usia 8 sampai 65 tahun (terlihat pada gambar 2) terdiri dari :

1. Prapubertas

 Bayi wanita

Folikel primordial (bakal telur) dikedua ovarium telah lengkap, yakni

sebanyak 750.000 butir dan tidak bertambah lagi pada kehidupan selanjutnya. Alat kelamin luar dan dalam sudah terbentuk. Pada minggu pertama dan kedua, bayi masih mengalami pengaruh estrogen dari ibunya.

 Masa kanak-kanak

Pertumbuhan alat-alat kelamin tidak memperlihatkan pertumbuhan yang berarti sampai masa pubertas. Kadar hormon estrogen dan hormon gonadotropin lainnya sangat rendah.

2. Pubertas

Pubertas merupakan masa peralihan antara masa kanak-kanak dan masa dewasa. Pubertas mulai dengan awal berfungsinya ovarium dan berakhir pada saat ovarium sudah berfungsi mantap dan teratur. Pubertas pada wanita mulai kira-kira pada umur 8-14 tahun. Kejadian penting pada masa ini adalah pertumbuhan badan yang cepat, timbul ciri-ciri kelamin sekuder, menarche, dan perubahan fisik. Perkembangan ini terutama disebabkan oleh estrogen.

3. Masa reproduksi

Merupakan masa terpenting pada wanita dan berlangsung kira-kira 33 tahun. Haid pada masa ini paling teratur dan bermakna untuk kemungkinan kehamilan.

4. Masa Klimakterium termasuk menopause dan pasca menopause

 klimakterium, merupakan masa peralihan antara masa reproduksi dan masa senium, yang bukan merupakan suatu keadaan patologik, melainkan suatu masa peralihan yang normal. Masa ini berlangsung sebelum dan beberapa tahun sesudah menopause. Masa premenopause, menopause dan pasca

menopause dikenal sebagai masa klimakterium. Klimakterium dapat dikatakan mulai sekitar 6 tahun sebelum menopause dan berakhir kira-kira 6-7 tahun sesudah menopause. Pada wanita dalam masa ini, terjadi juga keluhan-keluhan yang disebut sindroma klimakterik. Keluhan-keluhan ini dapat bersifat psikis seperti mudah tersinggung, depresi, kelelahan, semangat kurang dan susah tidur. Gangguan neurovegetatif dapat berupa hot flashes, keringat banyak, rasa kedinginan, sakit kepala, dll.

(3)

didahului oleh siklus yang lebih panjang dengan perdarahan yang berkurang. Umumnya batas terendah terjadinya menopause adalah umur 44 tahun. Menopause dapat terjadi secara artificial karena operasi atau radiasi yang umumnya menimbulkan keluhan yang lebih banyak dibandingkan dengan menopause alamiah.

5. Masa Senile

Pada masa ini telah tercapai keseimbangan hormonal yan baru sehingga tidka ada lagi gangguan vegetatif maupun psikis. Yang mencolok pada masa ini adaah kemunduran alat-alat tubuh dan kemampuan fisik sebagai proses menjadi tua. Dalam masa ini pula osteoporosis terjadi pada wanita dengan intensitas yang berbeda. Walaupun sebab-sebabnya belum jelas betul, namun berkurangnya hormon steroid dan berkurangnya aktivitas osteoblast memegang peranan dalam hal ini. Ganggguan-gangguan lain yang dapat timbul antara lain vagina menjadi kering sehingga timbul rasa nyeri pada waktu bersetubuh, nyeri pada waktu berkemih dan terasa ingin terus buang air kecil.

Pengertian perubahan-perubahan fisiologis ini sangat berguna bagi wanita yang secara pasti akan mengalami masalah ini dalam kehidupannya, sehingga ia bisa mempersiapkan diri sesuai dengan pendidikan sosial ekonomi yang didapatnya.

Haid

Haid adalah perdarahan dari uterus yang keluar melalui vagina selama 5-7 hari, dan terjadi setiap 22 atau 35 hari. Yang merangsang menimbulkan haid adalah hormon FSH dan LH, prolaktin dari daerah otak dan hormon estrogen serta progesteron dari sel telur yang dalam keseimbangannya menyebabkan selaput lendir rahim tumbuh dan apabila sudah ovulasi terjadi dan sel telur tidak dibuahi hormon estrogen dan progesteron menurun terjadilah pelepasan selaput lendir dengan perdarahan terjadilah haid.

Turunnya hormon estrogen secara fisiologi dimulai pada masa klimakterium (usia 40-65 tahun). (Gambar 1) Penurunan ini menyebabkan keluhan-keluhan yang mengganggu, diawali umumnya dengan gangguan haid yang yang tadinya teratur, siklik, menjadi tidak teratur tidak siklik dan jumlah darah dapat berkurang atau bertambah.

<*>Disampaikan pada Pertemuan Ilmiah Tahunan ke II Perhimpunan Osteoporosis Indonesia , Makassar , 25 Juli 2004.

(4)

telur ). Seorang wanita dikatakan mengalami menopause bila siklus menstruasinya telah berhenti selama ± 12 bulan. Berhentinya haid tersebut akan membawa dampak pada konsekuensi kesehatan baik fisik maupun psikis.

Menopause adalah perdarahan terakhir dari uterus yang masih dipengaruhi oleh hormon-hormon dari otak dan sel telur.

Pra menopause adalah masa 4-5 tahun sebelum menopause dan pascamenopause adalah 3-5 tahun setelah menopause.

Sedangkan ooporopause adalah terhentinya fungsi ovarium , berarti terhentinya produksi estrogen, estron yang terjadi pada usia 55 – 56 tahun.

Ilmu

Kebidanan

Obstetri merupakan cabang ilmu kedokteran yang berhubungan dengan persalinan, hal-hal yang mendahuluinya dan gejala-gejala sisanya (Oxford English Dictionary, 1933). Obstetri terutama membahas tentang fenomena dan penatalaksanaan kehamilan, persalinan puerperium baik pada keadaan normal maupun abnormal. Nama lain obstetri adalah mid wifery.

Tujuan obstetri yaitu agar supaya setiap kehamilan yang diharapkan dan berpuncak pada ibu dan bayi yang sehat. Juga berusaha keras mengecilkan jumlah kematian wanita dan bayi sebagai akibat proses reproduksi atau jumlah kecacatan fisik, intelektual dan emosional yang diakibatkannya.

8. Angka kematian janin (sama dengan angka lahir mati) 9. Angka kematian neonatal

10. Angka kematian perinatal 11. Berat badan lahir rendah 12. Bayi cukup bulan (term infant) 13. Bayi kurang bulan (prematur) 14. Bayi lewat bulan (post term) 15. Abortus

16. Kematian ibu langsung (direct maternal death) 17. Kematian ibu tak langsung (indirect maternal death) 18. Kematian non maternal

19. Angka kematian ibu atau mortalitas ibu (maternal death rate atau maternal mortality).

(5)

Kelahiran adalah ekspulsi atau ekstraksi lengkap seorang janin dari ibu tanpa memperhatikan apakah tali pusatnya telah terpotong atau plasentanya masih berhubungan. Berat badan lahir adalah sama atau lebih 500 gram, panjang badan lahir adalah sama atau lebih 25 cm, dan usia kehamilan sama atau lebih 20 minggu.

Angka Kelahiran

Angka kelahiran adalah jumlah kelahiran per 1000 penduduk. Angka Fertilitas

Angka fertilitas adalah jumlah kelahiran hidup per 1000 populasi wanita usia 15-44 tahun. Kelahiran Hidup

Tanda utama kelahiran hidup adalah neonatus dapat bernapas. Tanda-tanda kehidupan lainnya meliputi denyut jantung dan gerakan spontan yang jelas dari otot volunter.

Lahir Mati (Still Birth)

Lahir mati ditandai oleh tidak ada satupun tanda-tanda kehidupan pada saat atau setelah kelahiran.

Kematian Neonatal

Kematian neonatal terdiri atas kematian neonatal dini dan kematian neonatal lanjut. Kematian neonatal dini adalah kematian seorang bayi yang dilahirkan hidup dalam 7 hari setelah kelahiran. Kematian neonatal lanjut adalah kematian seorang bayi yang dilahirkan hidup lebih 7 hari sampai kurang 29 hari.

Angka Lahir Mati

Angka lahir mati adalah jumlah bayi yang dilahirkan mati per 1000 bayi yang lahir. Angka Kematian Neonatal

Angka kematian neonatal adalah jumlah kematian neonatal per 1000 kelahiran hidup. Angka Kematian Perinatal

Angka kematian perinatal adalah jumlah bayi lahir mati ditambah kematian neonatal per 1000 kelahiran total.

Berat Badan Lahir Rendah

(6)

Bayi cukup bulan adalah bayi yang dilahirkan dengan usia kehamilan 37-42 minggu atau 260-294 hari.

Bayi Kurang Bulan (Prematur)

Bayi kurang bulan adalah bayi yang dilahirkan dengan usia kehamilan kurang 37 minggu. Bayi Lewat Bulan

Bayi lewat bulan adalah bayi yang dilahirkan dengan usia kehamilan lebih 42 minggu. Abortus

Abortus adalah pengambilan atau pengeluaran janin atau embrio dari uterus selama paruh pertama masa kehamilan (20 minggu atau kurang) atau berat badan lahir kurang 500 gram atau panjang badan lahir 25 cm atau kurang.

Kematian Ibu Langsung

Kematian ibu langsung disebabkan komplikasi obstetri dari kehamilan, persalinan atau puerperium dan akibat intervensi, kelahiran, dan terapi tidak tepat.

Kematian Ibu Tak Langsung

Kematian ibu tak langsung disebabkan oleh penyakit yang timbul selama kehamilan, persalinan atau puerperium dan diperberat oleh adaptasi fisiologis ibu terhadap kehamilan. Misalnya kematian ibu karena komplikasi stenosis mitral.

Kematian Non Maternal

Kematian non maternal disebabkan oleh kecelakaan atau faktor kebetulan yang sama sekali tidak berhubungan dengan kehamilan.

Angka Kematian Ibu

Angka kematian ibu adalah jumlah kematian ibu akibat proses reproduktif per 100.000 kelahiran hidup.

Sebab-sebab umum kematian ibu yaitu :

1. Perdarahan

2. Hipertensi

3. Infeksi Perdarahan

(7)

Hipertensi

Hipertensi yang dapat menyebabkan kematian ibu terdiri atas hipertensi yang diinduksi kehamilan dan hipertensi yang diperberat kehamilan. Hipertensi umumnya disertai edema dan proteinuria (pre eklamsia). Pada kasus berat disertai oleh kejang-kejang dan koma (eklamsia).

Infeksi

Infeksi nifas atau infeksi panggul post partum biasanya dimulai oleh infeksi uterus atau parametrium tetapi kadang-kadang meluas dan menyebabkan peritonitis, tromboflebitis dan bakteriemia.

Alasan menurunnya angka kematian ibu :

- Transfusi darah

- Anti mikroba

- Pemeliharaan cairan elektrolit, keseimbanngan asam-basa pada komplikasi-komplikasi serius kehamilan dan persalinan.

Kematian reproduktif adalah kematian akibat kehamilan dan penggunaan teknik-teknik untuk mencegah kehamilan (teknik kontrasepsi).

Kematian Perinatal

Kematian neonatus yang terbanyak adalah :

1. Berat badan lahir rendah

2. Cedera susunan saraf pusat akibat hipoksia in utero dan cedera traumatik

selama persalinan dan kelahiran

3. Malformasi kongenital Sumber :

Cunningham, Mac Donald, Gant. Obstetri Williams, ed. ke-18. dr. Joko Suyono & dr. Andry Hartono (penerj.). Jakarta : EGC.

Juli 12, 2008 Posted by kuliahbidan | Kebidanan, kuliahbidan | Kebidanan | Tinggalkan sebuah Komentar

Ilmu

Kebidanan

PERDARAHAN ANTEPARTUM

Perdarahan antepartum adalah perdarahan pada jalan lahir setelah kehamilan 20 minggu. Klasifikasi perdarahan antepartum yaitu :

1. Plasenta previa 2. Solusio plasenta

(8)

Ciri-ciri plasenta previa : 1. Perdarahan tanpa nyeri 2. Perdarahan berulang

3. Warna perdarahan merah segar

4. Adanya anemia dan renjatan yang sesuai dengan keluarnya darah 5. Timbulnya perlahan-lahan

6. Waktu terjadinya saat hamil 7. His biasanya tidak ada

8. Rasa tidak tegang (biasa) saat palpasi 9. Denyut jantung janin ada

10. Teraba jaringan plasenta pada periksa dalam vagina 11. Penurunan kepala tidak masuk pintu atas panggul 12. Presentasi mungkin abnormal.

Ciri-ciri solusio plasenta : 1. Perdarahan dengan nyeri 2. Perdarahan tidak berulang 3. Warna perdarahan merah coklat

4. Adanya anemia dan renjatan yang tidak sesuai dengan keluarnya darah 5. Timbulnya tiba-tiba

6. Waktu terjadinya saat hamil inpartu 7. His ada

8. Rasa tegang saat palpasi

9. Denyut jantung janin biasanya tidak ada

(9)

12. Tidak berhubungan dengan presentasi Plasenta Previa

Plasenta previa merupakan plasenta yang letaknya abnormal yaitu pada segmen bawah rahim sehingga menutupi sebagian atau seluruh pembukaan jalan lahir (ostium uteri internum). (2) Klasifikasi plasenta previa berdasarkan terabanya jaringan plasenta melalui pembukaan jalan lahir pada waktu tertentu : (2)

1. Plasenta previa totalis : bila seluruh pembukaan jalan lahir tertutup oleh plasenta. 2. Plasenta previa lateralis : bila hanya sebagian pembukaan jalan lahir tertutup oleh plasenta.

3. Plasenta previa marginalis : bila pinggir plasenta berada tepat pada pinggir pembukaan jalan lahir.

4. Plasenta previa letak rendah : bila plasenta berada 3-4 cm diatas pinggir pembukaan jalan lahir.

Etiologi plasenta previa belum jelas. Diagnosis plasenta previa :

1. Anamnesis : adanya perdarahan per vaginam pada kehamilan lebih 20 minggu dan berlangsung tanpa sebab.

2. Pemeriksaan luar : sering ditemukan kelainan letak. Bila letak kepala maka kepala belum masuk pintu atas panggul.

3. Inspekulo : adanya darah dari ostium uteri eksternum. 4. USG untuk menentukan letak plasenta.

5. Penentuan letak plasenta secara langsung dengan perabaan langsung melalui kanalis servikalis tetapi pemeriksaan ini sangat berbahaya karena dapat

menyebabkan perdarahan yang banyak. Oleh karena itu cara ini hanya dilakukan diatas meja operasi.

(10)

1. Konservatif bila :

a. Kehamilan kurang 37 minggu.

b. Perdarahan tidak ada atau tidak banyak (Hb masih dalam batas normal). c. Tempat tinggal pasien dekat dengan rumah sakit (dapat menempuh perjalanan selama 15 menit).

2. Penanganan aktif bila :

a. Perdarahan banyak tanpa memandang usia kehamilan. b. Umur kehamilan 37 minggu atau lebih.

c. Anak mati

Perawatan konservatif berupa : - Istirahat.

- Memberikan hematinik dan spasmolitik unntuk mengatasi anemia. - Memberikan antibiotik bila ada indikasii.

- Pemeriksaan USG, Hb, dan hematokrit.

Bila selama 3 hari tidak terjadi perdarahan setelah melakukan perawatan konservatif maka lakukan mobilisasi bertahap. Pasien dipulangkan bila tetap tidak ada perdarahan. Bila timbul perdarahan segera bawa ke rumah sakit dan tidak boleh melakukan senggama.

Penanganan aktif berupa : - Persalinan per vaginam. - Persalinan per abdominal.

Penderita disiapkan untuk pemeriksaan dalam di atas meja operasi (double set up) yakni dalam keadaan siap operasi. Bila pada pemeriksaan dalam didapatkan :

1. Plasenta previa marginalis 2. Plasenta previa letak rendah

(11)

pada partus per vaginam bila gagal drips (sesuai dengan protap terminasi kehamilan). Bila terjadi perdarahan banyak, lakukan seksio sesar.

Indikasi melakukan seksio sesar : - Plasenta previa totalis

- Perdarahan banyak tanpa henti. - Presentase abnormal.

- Panggul sempit.

- Keadaan serviks tidak menguntungkan (beelum matang). - Gawat janin

Pada keadaan dimana tidak memungkinkan dilakukan seksio sesar maka lakukan pemasangan cunam Willet atau versi Braxton Hicks.

Solusio Plasenta

Solusio plasenta adalah terlepasnya sebagian atau seluruh plasenta pada implantasi normal sebelum janin lahir. (2)

Klasifikasi solusio plasenta berdasarkan tanda klinis dan derajat pelepasan plasenta yaitu : 1. Ringan : Perdarahan kurang 100-200 cc, uterus tidak tegang, belum ada tanda

renjatan, janin hidup, pelepasan plasenta kurang 1/6 bagian permukaan, kadar fibrinogen plasma lebih 120 mg%.

2. Sedang : Perdarahan lebih 200 cc, uterus tegang, terdapat tanda pre renjatan, gawat janin atau janin telah mati, pelepasan plasenta 1/4-2/3 bagian

permukaan, kadar fibrinogen plasma 120-150 mg%.

3. Berat : Uterus tegang dan berkontraksi tetanik, terdapat tanda renjatan, janin mati, pelepasan plasenta bisa terjadi lebih 2/3 bagian atau keseluruhan.

Etiologi solusio plasenta belum jelas. Penatalaksanaan solusio plasenta :

(12)

proses berhenti secara berangsur, penderita dimobilisasi. Selama perawatan dilakukan pemeriksaan Hb, fibrinogen, hematokrit dan trombosit.

Pada solusio plasenta sedang dan berat maka penanganan bertujuan untuk mengatasi renjatan, memperbaiki anemia, menghentikan perdarahan dan mengosongkan uterus secepat mungkin. Penatalaksanaannya meliputi :

1. Pemberian transfusi darah 2. Pemecahan ketuban (amniotomi) 3. Pemberian infus oksitosin

4. Kalau perlu dilakukan seksio sesar.

Bila diagnosa solusio plasenta secara klinis sudah dapat ditegakkan, berarti perdarahan yang terjadi minimal 1000 cc sehingga transfusi darah harus diberikan minimal 1000 cc. Ketuban segera dipecahkan dengan maksud untuk mengurangi regangan dinding uterus dan untuk mempercepat persalinan diberikan infus oksitosin 5 UI dalam 500 cc dekstrose 5 %. Seksio sesar dilakukan bila :

1. Persalinan tidak selesai atau diharapkan tidak selesai dalam 6 jam. 2. Perdarahan banyak.

3. Pembukaan tidak ada atau kurang 4 cm. 4. Panggul sempit.

5. Letak lintang. 6. Pre eklampsia berat. 7. Pelvik score kurang 5. Vasa Previa

Vasa previa merupakan keadaan dimana pembuluh darah umbilikalis janin berinsersi dengan vilamentosa yakni pada selaput ketuban. (2)

Etiologi vasa previa belum jelas. Diagnosis vasa previa :

(13)

Darah ini berasal dari janin dan untuk mengetahuinya dapat dilakukan dengan tes Apt dan tes Kleihauer-Betke serta hapusan darah tepi.

Penatalaksanaan vasa previa :

Sangat bergantung pada status janin. Bila ada keraguan tentang viabilitas janin, tentukan lebih dahulu umur kehamilan, ukuran janin, maturitas paru dan pemantauan kesejahteraan janin dengan USG dan kardiotokografi. Bila janin hidup dan cukup matur dapat dilakukan seksio sesar segera namun bila janin sudah meninggal atau imatur, dilakukan persalinan pervaginam.

Daftar Pustaka

1. Pengurus Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia. Perdarahan Antepartum. Standar Pelayanan Medik Obstetri dan Ginekologi Bag. I. Jakarta. 1991 : 9-13.

2. Gasong MS, Hartono E, Moerniaeni N, Rambulangi J. Penatalaksanaan Perdarahan Antepartum. Bagian Obstetri dan Ginekologi FK UNHAS, Ujung Pandang, 1997. Sumber :

Pedoman Diagnosis dan Terapi Obstetri dan Ginekologi, dr. I.M.S. Murah Manoe, Sp.OG., dr. Syahrul Rauf, Sp.OG., dr. Hendrie Usmany, Sp.OG. (editors). Bagian / SMF Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin, Rumah Sakit Umum Pusat, dr. Wahidin Sudirohusodo, Makassar, 1999.

Osteoporosis

sumber: http://www.yayanakhyar.co.nr/

BAB I PENDAHULUAN

-1.1 latar belakang

—-Osteoporosis adalah penyakit tulang sistemik yang ditandai oleh penurunan densitas massa tulang dan perburukan mikroarsitektur tulang sehingga tulang menjadi rapuh dan mudah patah.

(14)

—-Sejak dicanangkannya Bone Joint Decade (BJD) 2000-2010 osteoporosis menjadi penting, karena selain termasuk dalam 5 besar masalah kelainan muskuloskletal yang harus ditangani, juga kasusnya semakin meningkat sejalan dengan peningkatan jumlah usia tua. —-Pada umumnya pengobatan osteoporosis dibagi menjadi 2 bagian yaitu untuk menghambat hilangnya massa tulang dan disbut pencegahan primer dan untuk meningkatkan massa tulang yang disebut pencegahan sekunder.

—-Permasalahan terapi osteoporosis adalah kompleks dan erat hubungannya dengan cakupan penderita yang rendah akibat mahalnya biaya deteksi dini, pemeriksaan lanjutan dan obat-obatan untuk penyakit osteoporosis. Selain itu obat-obat-obatan yang ada pun masih belum ada yang ideal karena masalah efikasi dan toleransi yang ditimbulkan oleh obat-obatan tersebut.

-1.2 Tujuan penelitian

—-Tujuan penulisan tinjauan pustaka ini adalah :

1. Untuk memahami defenisi, epidemiologi, etiologi, faktor resiko, klasifikasi, patogenesis, gambaran klinis, diagnosa dan penatalaksanaan osteoporosis. 2. Meningkatkan kemampuan dalam penulisan ilmiah di bidang kedokteran

-1.3 Batasan masalah

—-Referat ini membahas defenisi, epidemiologi, etiologi, patogenesis, gambaran klinis, diagnosa dan penatalaksanaan osteoporosis.

-BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

-2.1 Definisi

—-Osteoporosis adalah penyakit metabolisme tulang yang cirinya adalah pengurangan massa tulang dan kemunduran mikroarsitektur tulang sehingga meningkatkan risiko fraktur oleh karena fragilitas tulang meningkat.

(15)

—-Insiden osteoporosis lebih tinggi pada wanita dibandingkan laki-laki dan merupakan problem pada wanita pascamenopause. Osteoporosis di klinik menjadi penting karena problem fraktur tulang, baik fraktur yang disertai trauma yang jelas maupun fraktur yang terjadi tanpa disertai trauma yang jelas.

—-Penelitian Roeshadi di Jawa Timur, mendapatkan bahwa puncak massa tulang dicapai pada usia 30-34 tahun dan rata-rata kehilangan massa tulang pasca menopause adalah 1,4% per tahun. Penelitian yang dilakukan di klinik Reumatologi RSCM mendapatkan faktor resiko osteoporosis yang meliputi usia, lamanya menopause dan kadar estrogen yang rendah, sedangkan faktor proteksinya adalah kadar estrogen yang tinggi, riwayat barat badan lebih atau obesitas dan latihan yang teratur.

-2.3 Etiologi

—-Ada 2 penyebab utama osteoporosis, yaitu pembentukan massa puncak tulang yang kurang baik selama masa pertumbuhan dan meningkatnya pengurangan massa tulang setelah menopause. Massa tulang meningkat secara konstan dan mencapai puncak sampai usia 40 tahun, pada wanita lebih muda sekitar 30-35 tahun. Walaupun demikian tulang yang hidup tidak pernah beristirahat dan akan selalu mengadakan remodelling dan memperbaharui cadangan mineralnya sepanjang garis beban mekanik. Faktor pengatur formasi dan resorpsi tulang dilaksanakan melalui 2 proses yang selalu berada dalam keadaan seimbang dan disebut coupling. Proses coupling ini memungkinkan aktivitas formasi tulang sebanding dengan aktivitas resorpsi tulang. Proses ini berlangsung 12 minggu pada orang muda dan 16-20 minggu pada usia menengah atau lanjut. Remodelling rate adalah 2-10% massa skelet per tahun.

—-Proses remodelling ini dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu faktor lokal yang menyebabkan terjadinya satu rangkaian kejadian pada konsep Activation – Resorption – Formation (ARF). Proses ini dipengaruhi oleh protein mitogenik yang berasal dari tulang yang merangsang preosteoblas supaya membelah membelah menjadi osteoblas akibat adanya aktivitas resorpsi oleh osteoklas. Faktor lain yang mempengaruhi proses remodelling adalah faktor hormonal. Proses remodelling akan ditingkatkan oleh hormon paratiroid, hormon pertumbuhan dan 1,25 (OH)2 vitamin D. Sedang yang menghambat proses remodelling adalah kalsitonin, estrogen dan glukokortikoid. Proses-proses yang mengganggu remodelling tulang inilah yang menyebabkan osteoporosis.

(16)

-2.4 Faktor Resiko Osteoporosis 1. Usia

 Tiap peningkatan 1 dekade, resiko meningkat 1,4-1,8 2. Genetik

 Etnis (kaukasia dan oriental > kulit hitam dan polinesia)

 Seks (wanita > pria)

 Riwayat keluarga 3. Lingkungan, dan lainnya

 Defisiensi kalsium

 Aktivitas fisik kurang

 Obat-obatan (kortikosteroid, anti konvulsan, heparin, siklosporin)

 Merokok, alkohol

 Resiko terjatuh yang meningkat (gangguan keseimbangan, licin, gangguan penglihatan)

 Hormonal dan penyakit kronik

 Defisiensi estrogen, androgen

 Tirotoksikosis, hiperparatiroidisme primer, hiperkortisolisme

 Penyakit kronik (sirosis hepatis, gangguan ginjal, gastrektomi)

 Sifat fisik tulang

 Densitas (massa)

 Ukuran dan geometri

 Mikroarsitektur

 Komposisi

(17)

1. Penurunan respons protektif

 Kelainan neuromuskular

 Gangguan penglihatan

 Gangguan keseimbangan 2. Peningkatan fragilitas tulang

 Densitas massa tulang rendah

 Hiperparatiroidisme 3. Gangguan penyediaan energi

 Malabsorpsi

-2.5 Klasifikasi Osteoporosis

—-Dalam terapi hal yang perlu diperhatikan adalah mengenali klasifikasi osteoporosis dari penderita. Osteoporosis dibagi 2 , yaitu :

 Osteoporosis primer

Osteoporosis primer berhubungan dengan kelainan pada tulang, yang menyebabkan peningkatan proses resorpsi di tulang trabekula sehingga meningkatkan resiko fraktur vertebra dan Colles. Pada usia dekade awal pasca menopause, wanita lebih sering terkena daripada pria dengan perbandingan 6-8: 1 pada usia rata-rata 53-57 tahun.

 Osteoporosis sekunder

Osteoporosis sekunder disebabkan oleh penyakit atau sebab lain di luar tulang.

 Osteoporosis idiopatik

Osteoporosis idiopatik terjadi pada laki-laki yang lebih muda dan pemuda pra menopause dengan faktor etiologik yang tidak diketahui.

-2.6 Patogenesis

(18)

Proses Remodelling Tulang dan Homeostasis Kalsium

—-Kerangka tubuh manusia merupakan struktur tulang yang terdiri dari substansi organik (30%) dan substansi mineral yang paling banyak terdiri dari kristal hidroksiapatit (95%) serta sejumlah mineral lainnya (5%) seperti Mg, Na, K, F, Cl, Sr dan Pb. Substansi organik terdiri dari sel tulang (2%) seperti osteoblas, osteosit dan osteoklas dan matriks tulang (98%) terdiri dari kolagen tipe I (95%) dan protein nonkolagen (5%) seperti osteokalsin, osteonektin, proteoglikan tulang, protein morfogenik tulang, proteolipid tulang dan fosfoprotein tulang. —-Tanpa matriks tulang yang berfungsi sebagai perancah, proses mineralisasi tulang tidak mungkin dapat berlangsung. Matriks tulang merupakan makromolekul yang sangat bersifat anionik dan berperan penting dalam proses kalsifikasi dan fiksasi kristal hidroksi apatit pada serabut kolagen. Matriks tulang tersusun sepanjang garis dan beban mekanik sesuai dengan hukum Wolf, yaitu setiap perubahan fungsi tulang akan diikuti oleh perubahan tertentu yang menetap pada arsitektur internal dan penyesuaian eksternal sesuai dengan hukum matematika. Dengan kata lain, hukum Wolf dapat diartikan sebagai “bentuk akan selalu mengikuti fungsi”.

Patogenesis Osteoporosis primer

—-Setelah menopause maka resorpsi tulang akan meningkat, terutama pada dekade awal setelah menopause, sehingga insidens fraktur, terutama fraktur vertebra dan radius distal meningkat. Estrogen juga berperan menurunkan produksi berbagai sitokin oleh bone marrow stromal cells dan sel-sel mononuklear, seperti IL-1, IL-6 dan TNF-α yang berperan meningkatkan kerja osteoklas, dengan demikian penurunan kadar estrogen akibat menopause akan meningkatkan produksi berbagai sitokin tersebut sehingga aktivitas osteoklas meningkat.

—-Untuk mengatasi keseimbangan negatif kalsium akibat menopause, maka kadar PTH akan meningkat pada wanita menopause, sehingga osteoporosis akan semakin berat. Pada menopause, kadangkala didapatkan peningkatan kadar kalsium serum, dan hal ini disebabkan oleh menurunnya volume plasma, meningkatnya kadar albumin dan bikarbonat, sehingga meningkatkan kadar kalsium yang terikat albumin dan juga kadar kalsium dalam bentuk garam kompleks. Peningkatan bikarbonat pada menopause terjadi akibat penurunan rangsang respirasi, sehingga terjadi relatif asidosis respiratorik.

Patogenesis Osteoporosis Sekunder

—-Selama hidupnya seorang wanita akan kehilangan tulang spinalnya sebesar 42% dan kehilangan tulang femurnya sebesar 58%. Pada dekade ke-8 dan 9 kehidupannya, terjadi ketidakseimbangan remodeling tulang, dimana resorpsi tulang meningkat, sedangkan formasi tulang tidak berubah atau menurun. Hal ini akan menyebabkan kehilangan massa tulang, perubahan mikroarsitektur tulang dan peningkatan resiko fraktur.

(19)

yang mendadak), maka kehilangan massa tulang yang besar seperti pada wanita tidak pernah terjadi. Dengan bertambahnya usia, kadar testosteron pada laki-laki akan menurun sedangkan kadar Sex Hormone Binding Globulin (SHBG) akan meningkat. Peningkatan SHBG akan meningkatkan pengikatan estrogen dan testosteron membentuk kompleks yang inaktif.

—-Faktor lain yang juga ikut berperan terhadap kehilangan massa tulang pada orang tua adalah faktor genetik dan lingkungan (merokok, alkohol, obat-obatan, imobilisasi lama). Resiko fraktur yang juga harus diperhatikan adalah resiko terjatuh yang lebih tinggi pada orang tua dibandingkan orang yang lebih muda. Hal ini berhubungan dengan penurunan kekuatan otot, gangguan keseimbangan dan stabilitas postural, gangguan penglihatan, lantai yang licin atau tidak rata, dll.

-2.7 Gambaran Klinis

—-Osteoporosis dapat berjalan lambat selama beberapa dekade, hal ini disebabkan karena osteoporosis tidak menyebabkan gejala fraktur tulang. Beberapa fraktur osteoporosis dapat terdeteksi hingga beberapa tahun kemudian. Tanda klinis utama dari osteoporosis adalah fraktur pada vertebra, pergelangan tangan, pinggul, humerus, dan tibia. Gejala yang paling lazim dari fraktur korpus vertebra adalah nyeri pada punggung dan deformitas pada tulang belakang. Nyeri biasanya terjadi akibat kolaps vertebra terutama pada daerah dorsal atau lumbal. Secara khas awalnya akut dan sering menyebar kesekitar pinggang hingga kedalam perut. Nyeri dapat meningkat walaupun dengan sedikit gerakan misalnya berbalik ditempat tidur. Istirahat ditempat tidaur dapat meringankan nyeri untuk sementara, tetapi akan berulang dengan jangka waktu yang bervariasi. Serangan nyeri akut juga dapat disertai oleh distensi perut dan ileus

—-Seorang dokter harus waspada terhadap kemungkinan osteoporosis bila didapatkan :

 Patah tulang akibat trauma yang ringan.

 Tubuh makin pendek, kifosis dorsal bertambah, nyeri tulang.

 Gangguan otot (kaku dan lemah)

 Secara kebetulan ditemukan gambaran radiologik yang khas.

-2.8 Diagnosis

(20)

- Tinggi badan yang makin menurun. - Obat-obatan yang diminum.

- Penyakit-penyakit yang diderita selama masa reproduksi, klimakterium. - Jumlah kehamilan dan menyusui.

- Bagaimana keadaan haid selama masa reproduksi.

- Apakah sering beraktivitas di luar rumah , sering mendapat paparan matahari cukup. - Apakah sering minum susu? Asupan kalsium lainnya.

- Apakah sering merokok, minum alkohol?

-Pemeriksaan Fisik

—-Tinggi badan dan berat badan harus diukur pada setiap penderita osteoporosis. Demikian juga gaya berjalan penderita osteoporosis, deformitas tulang, nyeri spinal. Penderita dengan osteoporosis sering menunjukkan kifosis dorsal atau gibbus dan penurunan tinggi badan.

-Pemeriksaan Radiologis

—-Gambaran radiologik yang khas pada osteoporosis adalah penipisan korteks dan daerah trabekuler yang lebih lusen. Hal ini akan tampak pada tulang-tulang vertebra yang memberikan gambaran picture-frame vertebra.

-Pemeriksaan Densitas Massa tulang (Densitometri)

Densitas massa tulang berhubungan dengan kekuatan tulang dan resiko fraktur . untuk menilai hasil pemeriksaan Densitometri tulang, digunakan kriteria kelompok kerja WHO, yaitu:

1. Normal bila densitas massa tulang di atas -1 SD rata-rata nilai densitas massa tulang orang dewasa muda (T-score)

2. Osteopenia bila densitas massa tulang diantara -1 SD dan -2,5 SD dari T-score. 3. Osteoporosis bila densitas massa tulang -2,5 SD T-score atau kurang.

(21)

-2.9 Penatalaksanaan

—-Terapi pada osteoporosis harus mempertimbangkan 2 hal, yaitu terapi pencegahan yang pada umumnya bertujuan untuk menghambat hilangnya massa tulang. Dengan cara yaitu memperhatikan faktor makanan, latihan fisik ( senam pencegahan osteoporosis), pola hidup yang aktif dan paparan sinar ultra violet. Selain itu juga menghindari obat-obatan dan jenis makanan yang merupakan faktor resiko osteoporosis seperti alkohol, kafein, diuretika, sedatif, kortikosteroid.

—-Selain pencegahan, tujuan terapi osteoporosis adalah meningkatkan massa tulang dengan melakukan pemberian obat-obatan antara lain hormon pengganti (estrogen dan progesterone dosis rendah). Kalsitrol, kalsitonin, bifosfat, raloxifene, dan nutrisi seperti kalsium serta senam beban.

—-Pembedahan pada pasien osteoporosis dilakukan bila terjadi fraktur, terutama bila terjadi fraktur panggul.

-BAB III PENUTUP

-Kesimpulan

1. Pada osteoporosis terjadi perubahan mikro arsitektur tulang yang menyebabkan kerapuhan tulang.

2. Faktor resiko osteoporosis yang meliputi usia, lamanya menopause dan kadar estrogen yang rendah, sedangkan faktor proteksinya adalah kadar estrogen yang tinggi, riwayat barat badan lebih atau obesitas dan latihan yang teratur

3. Penyusutan kepadatan tulang mulai terjadi berangsur-angsur sejak perempuan berusia 30-40 tahun dan osteoporosis mulai dapat dijumpai kurang lebih 5-10 tahun setelah menopaouse.

4. Terapi pada osteoporosis harus mempertimbangkan 2 hal, yaitu terapi pencegahan dan terapi obat-obatan

-Saran

(22)

2. Penatalaksanaan yang efektif dan efiisien pada penderita untuk mendapatkan hasil yang baik dan mencegah kekambuhan.

-DAFTAR PUSTAKA

Sudoyo, Setiyohardi, Alwi, Simadibrata, Setiati. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam . Jilid II. Edisi IV. Jakarta: FKUI , 2006.

Lane NE. Osteoporosis. Jakarta. Raja Grafindo Persada. 2003. Broto R. Manifestasi Klinis dan Penatalaksanaan Osteoporosis

http://www.sabah.org.my/bm/nasihat/artikel_kesihatan/osteoporosis.( di akses tanggal 21 oktober 2006)

http://www.medicastore.com/nutrafor/isi.( diakses tanggal 21 oktober 2006)

Hubungan Faktor Lingkungan, Sosial Ekonomi dan

Pengetahuan Ibu dengan Kejadian Diare Akut Pada Balita

di Kelurahan Pekan Arba Kecamatan Tembilahan

Kabupaten Indragiri

Hilir

sumber http://www.yayanakhyar.co.nr/

ABSTRACT

THE CORRELATION BETWEEN ENVIRONMENT, SOCIAL-ECONOMY AND KNOWLEDGE AMONG MOTHERS TOWARDS INCIDENS OF ACUTE DIARRHEA

ON CHILDREN UNDER FIVE YEARS OLD

IN PEKAN ARBA VILLAGE TEMBILAHAN DISTRICT

OF INDRAGIRI HILIR REGENCY

BY

YANCE WARMAN

(23)

This research used methode of analitycal cross sectional approach. Population was mother who have children under five with numery 535, but the sample was 230. The instrument of the research was questionnaire. The analysis data used SPSS program.

From this research was founded that percentage of respondent environment condition at 41.7 % was good health. 54.4% was moderate and 3.9% was bad environment. Instead, respondent social-economy can be categorized 3.9% was underprosperous, 79.1% was prosperous level I, 4.8% was prosperous level II, 4.4 % was prosperous level III and 7.8% was upper prosperous. Looking at well informed factor research concludes that 46,5 % was good and 53,5 % was moderate. This research also concludes that Diarrhea percentage of children under five was 53% of sample. The correlation between environment, social economy and knowledge among mothers towards incidens of acute diarrhea on children under five years old indicated significant correlation and positif relation. Overall well informed factor was more significantly influence acute diarrhea rate in Pekan Arba Village-Tembilahan District of Indragiri Hilir Regency compared to other factors.

Keywords: Environment, Social-Economy, Knowledge among Mothers, Incidens of acute diarrhea on children under five years old

-ABSTRAK

HUBUNGAN FAKTOR LINGKUNGAN, SOSIAL EKONOMI

DAN PENGETAHUAN IBU DENGAN KEJADIAN DIARE AKUT PADA BALITA DI KELURAHAN PEKAN ARBA KECAMATAN TEMBILAHAN KABUPATEN

INHIL OLEH YANCE WARMAN

Diare merupakan penyakit yang masih perlu diwaspadai menyerang balita. Diare merupakan penyebab utama kematian dan kesakitan pada anak di Negara berkembang, termasuk Indonesia. Banyak faktor yang mempengaruhi kejadian diare ini, diantaranya faktor lingkungan, sosial ekonomi dan pengetahuan ibu. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan faktor lingkungan, sosial ekonomi dan pengetahuan ibu terhadap kejadian diare akut pada balita di Kelurahan Pekan Arba Kecamatan Tembilahan Kabupaten INHIL.

(24)

Hasil penelitian didapatkan bahwa kondisi lingkungan responden berada dalam kategori baik 41,7%, cukup 54,4% dan buruk 3,9%. Keadaan sosial ekonomi berada dalam kategori keluarga prasejahtera 3,9%, keluarga sejahtera I 79,1%, keluarga sejahtera II 4,8%, keluarga sejahtera III 4,4% dan keluarga sejahtera III plus 7,8%. Tingkat pengetahuan ibu berada dalam kategori tinggi 46,5%, sedang 53,5%. Angka kejadian diare pada anak balita 53% dari jumlah sample. Korelasi antara faktor lingkungan, sosial ekonomi dan pengetahuan ibu terhadap kejadian diare akut pada anak balita menunjukkan korelasi yang signifikan dan hubungan yang positif, dimana pengetahuan ibu memberikan kontribusi paling kuat dibandingkan faktor lingkungan dan sosial ekonomi dalam mempengaruhi kejadian diare akut pada balita di Kelurahan Pekan Arba kecamatan Tembilahan Kabupaten INHIL.

Kata kunci : Lingkungan, Sosial ekonomi, Pengetahuan ibu, Kejadian diare akut pada anak balita

Anak merupakan aset masa depan yang akan melanjutkan pembangunan di suatu negara. Masa perkembangan tercepat dalam kehidupan anak terjadi pada masa balita. Masa balita merupakan masa yang paling rentan terhadap serangan penyakit. Terjadinya gangguan kesehatan pada masa tersebut, dapat berakibat negatif bagi pertumbuhan anak itu seumur hidupnya (Soetjiningsih, 1995, Adzania, 2004). Penyakit yang masih perlu diwaspadai menyerang balita adalah diare (Sutoto, Indriyono, 1996, Widjaja, 2003)

Angka kejadian diare pada anak di dunia mencapai 1 miliar kasus tiap tahun, dengan korban meninggal sekitar 5 juta jiwa. Statistik di Amerika mencatat tiap tahun terdapat 20-35 juta kasus diare dan 16,5 juta diantaranya adalah balita (Pickering et al, 2004).Angka kematian balita di negara berkembang akibat diare ini sekitar 3,2 juta setiap tahun (Direktorat Jendral Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan Pemukiman, 1999). Statistik menunjukkan bahwa setiap tahun diare menyerang 50 juta penduduk Indonesia, duapertiganya adalah balita dengan korban meninggal sekitar 600.000 jiwa (Pickering et al, 2004). Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan Provinsi Riau pada tahun 2003 angka kejadian diare di Provinsi Riau sebanyak 84.634, tahun 2004 sebanyak 87.660 orang dan pada tahun 2005 diare menempati urutan pertama dari sepuluh besar penyakit pada pasien rawat inap di RSUD Arifin Achmad Provinsi Riau. Data Dinas Kesehatan Kabupaten Indragiri Hilir mencatat bahwa angka kejadian diare di Tembilahan pada tahun 2004 mencapai 904 kasus, pada tahun 2005 sebanyak 725 kasus. Data dari puskesmas Tembilahan diketahui bahwa kejadian diare di Kelurahan Pekan Arba tahun 2004 sebanyak 85 kasus, dan tahun 2005 sebanyak 102 kasus.

(25)

anak di negara berkembang adalah diare. Sampai saat ini diare tetap sebagai child killer peringkat pertama di Indonesia (Andrianto, 1995, Warouw, 2002).

Berdasarkan penelitian-penelitian yang telah dilakukan diketahui bahwa banyak faktor yang mempengaruhi kejadian diare akut pada balita. Faktor-faktor tersebut diantaranya adalah faktor lingkungan, keadaan sosial ekonomi dan pengetahuan ibu. Faktor-faktor tersebut merupakan faktor yang berasal dari luar dan dapat diperbaiki, sehingga dengan memperbaiki faktor resiko tersebut diharapkan dapat menekan angka kesakitan dan kematian diare pada balita (Irianto, 2000, Warouw, 2002, Asnil et al, 2003).

Berdasarkan latar belakang di atas maka saya tertarik mengetahui hubungan antara lingkungan, sosial ekonomi dan pengetahuan ibu dengan kejadian diare akut pada anak balita di Kelurahan Pekan Arba Kecamatan Tembilahan Kabupaten Indragiri Hilir.

1.2. Perumusan masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, rumusan masalah pada penelitian ini adalah “Apakah terdapat hubungan antara faktor lingkungan, sosial ekonomi dan pengetahuan ibu terhadap kejadian diare akut di Kelurahan Pekan Arba Kecamatan Tembilahan INHIL?”

1.3. Hipotesis penelitian

Hipotesis yang diangkat dalam penelitian ini adalah :

a. Adanya hubungan antara keadaan lingkungan, yakni sumber air minum, jamban, perumahan, sampah dan pengelolaan limbah, dengan kejadian diare akut pada balita di Kelurahan Pekan Arba Kecamatan Tembilahan

b. Adanya hubungan antara tingkat sosial ekonomi dengan kejadian diare akut pada balita di Kelurahan Pekan Arba Kecamatan Tembilahan

c. Adanya hubungan antara pengetahuan ibu dengan kejadian diare akut pada balita di Kelurahan Pekan Arba Kecamatan Tembilahan

1.4. Tujuan penelitian 1.4.1 Tujuan Umum :

Mengetahui hubungan keadaan lingkungan, sosial ekonomi dan pengetahuan ibu dengan kejadian diare akut pada balita di Kelurahan Pekan Arba Kecamatan Tembilahan.

1.4.2 Tujuan Khusus :

Tujuan khusus dalam penelitian ini antara lain :

1. Mengetahui gambaran keadaan lingkungan masyarakat di Kelurahan Pekan Arba Kecamatan Tembilahan

(26)

3. Mengetahui gambaran tingkat pengetahuan ibu sehubungan dengan kejadian Diare akut di Kelurahan Pekan Arba Kecamatan Tembilahan

4. Mengetahui hubungan antara lingkungan dengan kejadian diare akut pada balita di Kelurahan Pekan Arba Kecamatan Tembilahan

5. Mengetahui hubungan antara sosial ekonomi masyarakat terhadap kejadian diare akut pada balita di Kelurahan Pekan Arba Kecamatan Tembilahan

6. Mengetahui hubungan antara pengetahuan ibu dengan kejadian diare akut pada balita di Kelurahan Pekan Arba Kecamatan Tembilahan

7. Mengetahui kontribusi lingkungan, sosial ekonomi dan pengetahuan ibu terhadap kejadian diare akut pada balita di Kelurahan pekan Arba Kecamatan Tembilahan

1.5. Manfaat penelitian

Manfaat dari penelitian ini antara lain :

a. Meningkatkan wawasan penulis tentang pengaruh lingkungan, sosial ekonomi dan pengetahuan ibu terhadap kejadian diare akut pada balita, mampu mengenali permasalahan kesehatan di masyarakat serta dapat mengaplikasikan ilmu-ilmu yang didapat dibangku kuliah ketengah masyarakat.

b. Diharapkan membantu pemerintah setempat dalam usaha penetapan kebijakan, pengembangan program khususnya bidang kesehatan lingkungan, sosial ekonomi dan peningkatan pengetahuan ibu-ibu di bidang kesehatan

c. Menambah referensi perpustakaan di Fakultas Kedokteran Universitas Riau, memberi masukan, saran kepada fakultas mengenai target-target dan kurikulum apa saja yang akan dikembangkan di fakultas untuk menghasilkan lulusan dokter yang siap terjun di masyarakat d. Menambah wawasan penulis khususnya tentang cara-cara pencegahan dan faktor yang dapat mempengaruhi kejadian diare akut pada balita.

-BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

(27)

Diare menurut definisi Hippocrates adalah buang air besar dengan frekuensi yang tidak normal (meningkat), konsistensi tinja menjadi lebih lembek atau cair. (Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK UI, 1998)

2.1.2. Klasifikasi Diare

Klasifikasi diare berdasarkan lama waktu diare terdiri dari diare akut, diare persisten dan diare kronis. (Asnil et al, 2003).

2.1.2.1 Diare Akut

Diare akut adalah diare yang terjadi sewaktu-waktu, berlangsung kurang dari 14 hari, dengan pengeluaran tinja lunak atau cair yang dapat atau tanpa disertai lendir dan darah

2.1.2.2 Diare Persisten

Diare persisten adalah diare yang berlangsung 15-30 hari, merupakan kelanjutan dari diare akut atau peralihan antara diare akut dan kronik.

2.1.2.3 Diare kronis

Diare kronis adalah diare hilang-timbul, atau berlangsung lama dengan penyebab non-infeksi, seperti penyakit sensitif terhadap gluten atau gangguan metabolisme yang menurun. Lama diare kronik lebih dari 30 hari.

2.1.3. Etiologi

Diare akut disebabkan oleh banyak faktor antara lain infeksi, makanan, efek obat, imunodefisiensi dan keadaan-keadaan tertentu. (Mansjoer et al, 2000, Asnil et al, 2003). 2.1.3.1 Infeksi

Infeksi terdiri dari infeksi enteral dan parenteral. Infeksi enteral yaitu infeksi saluran pencernaan dan infeksi parenteral yaitu infeksi di bagian tubuh lain di luar alat pencernaan. (Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK UI, 1998, Ngastiyah, 2004). Mikroorganisme yang menjadi penyebabnya antara lain Aeromonas, Compylobacter, Clostridiumdifficile, Escherichiacoli, Enterotoxigenic, Enteropathogenic, Shigella, Salmonella, Vibrio cholera, Enteroinvasive (Pickering et al, 2004).

2.1.3.2 Makanan

Diare dapat disebabkan oleh intoksikasi makanan, makanan pedas, makanan yang mengandung bakteri atau toksin. Alergi terhadap makanan tertentu seperti susu sapi, terjadi malabsorbsi karbohidrat, disakarida, lemak, protein, vitamin dan mineral.

2.1.3.3 Imunodefisiensi

(28)

2.1.3.4 Terapi obat

Obat-obat yang dapat menyebabkan diare diantaranya antibiotik, antasid 2.1.3.5 Keadaan tertentu

Keadaan lain yang menyebabkan seseorang diare seperti gangguan psikis (ketakutan, gugup), gangguan saraf.

2.1.4. Epidemiologi

Penyakit diare akut lebih sering terjadi pada balita dari pada anak yang lebih besar. Kejadian diare akut pada anak laki-laki hampir sama dengan anak perempuan. Penyakit ini ditularkan secara fecal-oral melalui makanan dan minuman yang tercemar atau kontak langsung dengan tinja penderita (Direktorat Jendral Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan Pemukiman, 1999). Prevalensi diare yang tinggi di negara berkembang merupakan kombinasi dari sumber air yang tercemar, kekurangan protein yang menyebabkan turunnya daya tahan tubuh (Direktorat Jendral Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan Pemukiman, 1999).

Penurunan angka kejadian diare pada bayi di negara-negara maju, erat kaitannya dengan pemberian ASI, yang sebagian disebabkan oleh kurangnya pencemaran minum anak dan sebagian lagi karena faktor pencegahan imunologik dari ASI (Asnil et al, 2003). Perilaku yang dapat menyebabkan penyebaran kuman enterik dan meningkatkan resiko terjadinya diare antara lain,tidak memberikan ASI secara penuh untuk 4-6 bulan pertama kehidupan, menggunakan botol susu, menyimpan makanan masak pada suhu kamar, menggunakan air minum yang tercemar oleh bakteri yang berasal dari tinja, tidak mencuci tangan sesudah buang air besar (Direktorat Jendral Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan Pemukiman, 1999).

2.1.5. Patofisiologi

Diare dapat disebabkan oleh satu atau lebih dari patofisiologi berikut, yakni gangguan osmotik dan gangguan sekretorik. (Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK UI, 1998, Direktorat Jendral Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan Pemukiman, 1999 ). 2.1.5.1 Gangguan osmotik

Mukosa usus halus adalah epitel berpori, yang dapat dilewati air dan elektrolit dengan cepat untuk mempertahankan tekanan osmotik antara isi usus dengan cairan ekstraseluler. Diare terjadi jika bahan yang secara osmotik aktif dan sulit diserap. Bahan tersebut berupa larutan isotonik dan hipertonik. Larutan isotonik, air dan bahan yang larut di dalamnya akan lewat tanpa diabsorbsi sehingga terjadi diare. Bila substansi yang diabsorbsi berupa larutan hipertonik, air dan elektronik akan pindah dari cairan ekstraseluler ke dalam lumen usus sampai osmolaritas dari isi usus sama dengan cairan ekstraseluler dan darah, sehingga terjadi pula diare.

(29)

Akibat rangsangan mediator abnormal misalnya enterotoksin, menyebabkan vili gagal mengabsorbsi natrium, sedangkan sekresi klorida di sel epitel berlangsung terus atau meningkat. Hal ini menyebabkan peningkatan sekresi air dan elektrolit ke dalam rongga usus. Isi rongga usus yang berlebihan akan merangsang usus mengeluarkannya sehingga timbul diare.

2.1.6. Manifestasi klinis

Mula-mula anak balita menjadi cengeng, gelisah, suhu badan meningkat, nafsu makan berkurang atau tidak ada kemudian timbul diare. Tinja cair, mungkin disertai lendir atau lendir dan darah. Warna tinja makin lama berubah kehijau-hijauan karena tercampur empedu, karena seringnya defekasi, anus dan sekitarnya lecet karena tinja makin lama menjadi asam akibat banyaknya asam laktat, yang berasal dari laktosa yang tidak diabsorbsi oleh usus selama diare. Gejala muntah dapat terjadi sebelum dan atau sesudah diare. (Ngastiyah, 1997, Mansjoer et al, 2000, Asnil et al, 2003). Anak-anak yang tidak mendapatkan perawatan yang baik selama diare akan jatuh pada keadaan-keadaan seperti dehidrasi, gangguan keseimbangan asam-basa, hipoglikemia, gangguan gizi, gangguan sirkulasi. (Asnil et al, 2003)

2.1.6.1 Dehidrasi

Dehidrasi terjadi karena kehilangan air lebih banyak daripada pemasukan air. Derajat dehidrasi dapat dibagi berdasarkan gejala klinis dan kehilangan berat badan. Derajat dehidrasi menurut kehilangan berat badan, diklasifikasikan menjadi empat, dapat dilihat dari tabel berikut :

Tabel 2.1 derajat dehidrasi berdasarkan kehilangan berat badan

Derajat dehidrasi Penurunan berat badan (%)

Tidak dehidrasi < 2 ½

Dehidrasi ringan 2 ½ – 5

Dehidrasi sedang 5-10

Dehidrasi berat 10

( Buku ajar diare, 1999 )

(30)

Penilaian A B C

Keadaan umum Baik, sadar Gelisah, rewel« Lesu, tidak sadar«

Mata Normal Cekung Sangat cekung

Air mata Ada Tidak ada Tidak ada

Mulut, lidah Basah Kering Sangat kering

Rasa haus Minum seperti

biasa

Haus, ingin minum banyak«

Malas minum, tidak bisa minum

Periksa:Turgor kulit Kembali cepat Kembali lambat« Kembali sangat lambat

Hasil pemeriksaan Tanpa dehidrasi Dehidrasi ringan/ sedangBila ada 1

Gangguan keseimbangan asam basa yang biasa terjadi adalah metabolik asidosis. Metabolik asidosis ini terjadi karena kehilangan Na-bikarbonat bersama tinja, terjadi penimbunan asam laktat karena adanya anoksia jaringan, produk metabolisme yang bersifat asam meningkat karena tidak dapat dikeluarkan oleh ginjal, pemindahan ion Na dari cairan ekstraseluler ke dalam cairan intraseluler.

2.1.6.3 Hipoglikemia

Pada anak-anak dengan gizi cukup/baik, hipoglikemia ini jarang terjadi, lebih sering terjadi pada anak yang sebelumnya sudah menderita kekurangan kalori protein (KKP). Gejala hipoglikemia akan muncul jika kadar glukosa darah menurun sampai 40 mg % pada bayi dan 50 mg % pada anak-anak. Gejala hipoglikemia tersebut dapat berupa : lemas, apatis , tremor, berkeringat, pucat, syok, kejang sampai koma.

2.1.6.4 Gangguan gizi

Sewaktu anak menderita diare, sering terjadi gangguan gizi dengan akibat terjadinya penurunan berat badan dalam waktu yang singkat. Hal ini disebabkan karena makanan sering dihentikan oleh orang tua. Walaupun susu diteruskan, sering diberikan pengenceran. Makanan yang diberikan sering tidak dapat dicerna dan diabsorbsi dengan baik karena adanya hiperperistaltik.

2.1.6.5 Gangguan sirkulasi

(31)

2.1.7. Penatalaksanaan

2.1.7.1 Prinsip penatalaksanaan diare akut

Menurut Direktorat Jendral Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan Pemukiman Prinsip penatalaksanaan diare akut antara lain dengan rehidrasi, nutrisi, medikamentosa(Andrianto, 1995)

2.1.7.1.1 Rehidrasi

Diare cair membutuhkan penggantian cairan dan elektrolit tanpa melihat etiologinya. Jumlah cairan yang diberi harus sama dengan jumlah cairan yang telah hilang melalui diare dan atau muntah, ditambah dengan banyaknya cairan yang hilang melalui keringat, urin, pernapasan dan ditambah dengan banyaknya cairan yang hilang melalui tinja dan muntah yang masih terus berlangsung. Jumlah ini tergantung pada derajat dehidrasi serta berat badan masing-masing anak atau golongan umur.

2.1.7.1.2 Nutrisi

Makanan harus diteruskan bahkan ditingkatkan selama diare untuk menghindarkan efek buruk pada status gizi. Agar pemberian diet pada anak dengan diare akut dapat memenuhi tujuannya, serta memperhatikan faktor yang mempengaruhi keadaan gizi anak, maka diperlukan persyaratan diet sebagai berikut yakni, pasien segera diberikan makanan oral setelah rehidrasi yakni 24 jam pertama, makanan cukup energi dan protein, makanan tidak merangsang, makanan diberikan bertahap mulai dengan yang mudah dicerna, makanan diberikan dalam porsi kecil dengan frekuensi sering. Pemberian ASI diutamakan pada bayi, pemberian cairan dan elektolit sesuai kebutuhan, pemberian vitamin dan mineral dalam jumlah yang cukup. Khusus untuk penderita diare karena malabsorbsi diberikan makanan sesuai dengan penyebabnya, antara lain : Malabsorbsi lemak berikan trigliserida rantai menengah, Intoleransi laktosa berikan makanan rendah atau bebas laktosa, Panmalabsorbsi berikan makanan rendah laktosa, parenteral nutrisi dapat dimulai apabila ternyata dalam 5-7 hari masukan nutrisi tidak optimal (Suandi, 1999)

2.1.7.1.3 Medikamentosa

Antibiotik dan antiparasit tidak boleh digunakan secara rutin. Obat-obat anti diare meliputi antimotilitas seperti loperamid, difenoksilat, kodein, opium, adsorben seperti Norit, kaolin, attapulgit. Anti muntah termasuk prometazin dan klorpromazin

2.1.7.2 Rencana pengobatan

Berdasarkan derajat dehidrasi maka terapi pada penderita diare dibagi menjadi tiga, yakni rencana pengobatan A, B dan C.

2.1.7.2.1 Rencana pengobatan A

(32)

Tabel 2.3 Kebutuhan oralit per kelompok umur

Umur Jumlah oralit yang diberikan tiap BAB

Jumlah oralit yang disediakan di rumah

< 12 bulan 50-100 ml 400 ml/hari ( 2 bungkus)

1-4 tahun 100-200 ml 600-800 ml/hari ( 3-4 bungkus)

> 5 tahun 200-300 ml 800-1000 ml/hari (4-5 bungkus)

( Buku ajar diare, 1999 )

2.1.7.2.2 Rencana pengobatan B

Digunakan untuk mengatasi diare dengan derajat dehidrasi ringan dan sedang, dengan cara ; dalam 3 jam pertama, berikan 75 ml/KgBB. Berat badan anak tidak diketahui, berikan oralit paling sedikit sesuai tabel berikut:

Tabel 2.4 Jumlah oralit yang diberikan pada 3 jam pertama

Umur < 1 tahun 1-5 tahun > 5 tahun

Jumlah oralit 300 ml 600 ml 1200 ml

( Buku ajar diare, 1999 )

Berikan anak yang menginginkan lebih banyak oralit, dorong juga ibu untuk meneruskan ASI. Bayi kurang dari 6 bulan yang tidak mendapatkan ASI, berikan juga 100-200 ml air masak. Setelah 3-4 jam, nilai kembali anak menggunakan bagan penilaian, kemudian pilih rencana A, B atau C untuk melanjutkan pengobatan

2.1.7.2.3 Rencana pengobatan C

Digunakan untuk mengatasi diare dengan derajat dehidrasi berat. Pertama-tama berikan cairan intravena, nilai setelah 3 jam. Jika keadaan anak sudah cukup baik maka berikan oralit. Setelah 1-3 jam berikutnya nilai ulang anak dan pilihlah rencana pengobatan yang sesuai. 2.1.8. Pencegahan Diare

(33)

beraktivitas, membuang tinja anak pada tempat yang tepat, memberikan imunisasi morbili (Andrianto, 1995). Masyarakat dapat terhindar dari penyakit asalkan pengetahuan tentang kesehatan dapat ditingkatkan, sehingga perilaku dan keadaan lingkungan sosialnya menjadi sehat ( Notoadmodjo, 2003)

2.2. Lingkungan

Sejak pertengahan abad ke-15 para ahli kedokteran telah menyebutkan bahwa tingkat kesehatan masyarakat dipengaruhi oleh beberapa faktor. Menurut model segitiga epidemiologi, suatu penyakit timbul akibat beroperasinya faktor agen, host dan lingkungan. Menurut model roda timbulnya penyakit sangat tergantung dari lingkungan (Mukono, 1995). Faktor lingkungan merupakan faktor yang sangat penting terhadap timbulnya berbagai penyakit tertentu, sehingga untuk memberantas penyakit menular diperlukan upaya perbaikan lingkungan (Trisnanta, 1995).

Melalui faktor lingkungan, seseorang yang keadaan fisik atau daya tahannya terhadap penyakit kurang, akan mudah terserang penyakit (Slamet, 1994). Penyakit-penyakit tersebut seperti diare, kholera, campak, demam berdarah dengue, difteri, pertusis, malaria, influenza, hepatitis, tifus dan lain-lain yang dapat ditelusuri determinan-determinan lingkungannya (Noerolandra, 1999).

Masalah kesehatan lingkungan utama di negara-negara yang sedang berkembang adalah penyediaan air minum, tempat pembuangan kotoran, pembuangan sampah, perumahan dan pembuangan air limbah (Notoatmodjo, 2003).

2.2.1 Sumber air

Syarat air minum ditentukan oleh syarat fisik, kimia dan bakteriologis. Syarat fisik yakni, air tidak berwarna, tidak berasa, tidak berbau, jernih dengan suhu sebaiknya di bawah suhu udara sehingga terasa nyaman. Syarat kimia yakni, air tidak mengandung zat kimia atau mineral yang berbahaya bagi kesehatan misalnya CO2, H2S, NH4. Syarat bakteriologis yakni, air tidak mengandung bakteri E. coli yang melampaui batas yang ditentukan, kurang dari 4 setiap 100 cc air.

Pada prinsipnya semua air dapat diproses menjadi air minum. Sumber-sumber air ini antara lain : air hujan, mata air, air sumur dangkal, air sumur dalam, air sungai & danau.

2.2.2 Pembuangan kotoran manusia

(34)

Bangunan kakus yang memenuhi syarat kesehatan terdiri dari : rumah kakus, lantai kakus, sebaiknya semen, slab, closet tempat feses masuk, pit sumur penampungan feses atau cubluk, bidang resapan, bangunan jamban ditempatkan pada lokasi yang tidak mengganggu pandangan, tidak menimbulkan bau, disediakan alat pembersih seperti air atau kertas pembersih. (Notoatmodjo, 2003)

Jenis kakus antara lain (Notoatmodjo, 2003) : 2.2.2.1 Pit privy (cubluk)

Lubang dengan diameter 80-120 cm sedalam 2,5-8 m. Dinding diperkuat dengan batu-bata, hanya dapat dibuat di tanah atau dengan air tanah dalam.

2.2.2.2 Angsatrine

Closetnya berbentuk leher angsa sehingga selalu terisi air. Fungsinya sebagai sumbat sehingga bau busuk tidak keluar.

2.2.2.3 Bored hole latrine

Seperti cubluk, hanya ukurannya kecil, karena untuk sementara. Jika penuh dapat meluap sehingga mengotori air permukaan

2.2.2.4 Overhung latrine

Rumah kakusnya dibuat di atas kolam, selokan, kali, rawa dan lain-lain. Feses dapat mengotori air permukaan

2.2.2.5 Jamban cempung, kakus ( Pit Latrine )

Jamban cemplung kurang sempurna karena tanpa rumah jamban dan tanpa tutup. Sehingga serangga mudah masuk dan berbau, dan jika musim hujan tiba maka jamban akan penuh oleh air. Dalamnya kakus 1,5-3 meter, jarak dari sumber air minum sekurang-kurangnya 15 meter. 2.2.2.6 Jamban empang (fishpond latrine)

Jamban ini dibangun di atas empang ikan. Di dalam sistem ini terjadi daur ulang, yakni tinja dapat dimakan ikan, ikan dimakan orang dan selanjutnya orang mengeluarkan tinja yang dimakan, demikian seterusnya.

2.2.3 Pembuangan sampah

Sampah adalah semua zat atau benda yang sudah tidak terpakai baik yang berasal dari rumah tangga atau hasil proses industri. Jenis- jenis sampah antara lain, yakni sampah an-organik, adalah sampah yang umumnya tidak dapat membusuk, misalnya: logam/besi, pecahan gelas, plastik. Sampah organik, adalah sampah yang pada umumnya dapat membusuk, misalnya : sisa makanan, daun-daunan, buah-buahan. Cara pengolahan sampah antara lain sebagai berikut: (Notoatmodjo, 2003).

(35)

Pengumpulan sampah diperlukan tempat sampah yang terbuat dari bahan yang mudah dibersihkan, tidak mudah rusak, harus tertutup rapat, ditempatkan di luar rumah. Pengangkutan dilakukan oleh dinas pengelola sampah ke tempat pembuangan akhir (TPA) 2.2.3.2 Pemusnahan dan pengelolaan sampah

Dilakukan dengan berbagai cara yakni, ditanam (Landfill), dibakar (Inceneration), dijadikan pupuk (Composting)

2.2.4 Perumahan

Keadaan perumahan adalah salah satu faktor yang menentukan keadaan higiene dan sanitasi lingkungan. Adapun syarat-syarat rumah yang sehat ditinjau dari ventilasi, cahaya, luas bangunan rumah, Fasilitas-fasilitas di dalam rumah sehat sebagai berikut : (Notoatmodjo, 2003).

2.2.4.1 Ventilasi

Fungsi ventilasi adalah untuk menjaga agar aliran udara di dalam rumah tersebut tetap segar dan untuk membebaskan udara ruangan dari bakteri-bakteri, terutama bakteri patogen.. Luas ventilasi kurang lebih 15-20 % dari luas lantai rumah

2.2.4.2 Cahaya

Rumah yang sehat memerlukan cahaya yang cukup, kurangnya cahaya yang masuk ke dalam ruangan rumah, terutama cahaya matahari disamping kurang nyaman, juga merupakan media atau tempat baik untuk hidup dan berkembangnya bibit penyakit. Penerangan yang cukup baik siang maupun malam 100-200 lux.

2.2.4.3 Luas bangunan rumah

Luas bangunan yang optimum adalah apabila dapat menyediakan 2,5-3 m2 untuk tiap orang. Jika luas bangunan tidak sebanding dengan jumlah penghuni maka menyebabkan kurangnya konsumsi O2, sehingga jika salah satu penghuni menderita penyakit infeksi maka akan mempermudah penularan kepada anggota keluarga lain.

2.2.4.4 Fasilitas-fasilitas di dalam rumah sehat

Rumah yang sehat harus memiliki fasilitas seperti penyediaan air bersih yang cukup, pembuangan tinja, pembuangan sampah, pembuangan air limbah, fasilitas dapur, ruang berkumpul keluarga, gudang, kandang ternak

2.2.5 Air limbah

(36)

menimbulkan bau yang tidak enak serta pemandangan yang tidak sedap, sebagai sumber pencemaran air permukaan tanah dan lingkungan hidup lainnya, mengurangi produktivitas manusia, karena bekerja tidak nyaman (Notoatmodjo, 2003).

Usaha untuk mencegah atau mengurangi akibat buruk tersebut diperlukan kondisi, persyaratan dan upaya sehingga air limbah tersebut tidak mengkontaminasi sumber air minum, tidak mencemari permukaan tanah, tidak mencemari air mandi, air sungai, tidak dihinggapi serangga, tikus dan tidak menjadi tempat berkembangbiaknya bibit penyakit dan vektor, tidak terbuka kena udara luar sehingga baunya tidak mengganggu (Notoatmodjo, 2003).

2.3. Sosial ekonomi masyarakat

Kemiskinan didefinisikan sebagai suatu tingkat kekurangan materi pada sejumlah orang dibandingkan dengan standar kehidupan yang umum berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan. Kemiskinan bukan semata-mata kekurangan dalam ukuran ekonomi, tapi juga melibatkan kekurangan dalam ukuran kebudayaan dan kejiwaan (Suburratno, 2004)

Kemiskinan bertanggung jawab atas penyakit yang ditemukan pada anak. Hal ini karena kemiskinan mengurangi kapasitas orangtua untuk mendukung perawatan kesehatan yang memadai pada anak, cenderung memiliki higiene yang kurang, miskin diet, miskin pendidikan. Sehingga anak yang miskin memiliki angka kematian dan kesakitan yang lebih tinggi untuk hampir semua penyakit. Frekuensi relatif anak dari orang tua yang berpenghasilan rendah 2 kali lebih besar menyebabkan berat badan lahir rendah (BBLR), 3 kali lebih tinggi resiko imunisasi terlambat dan 4 kali lebih tinggi menyebabkan kematian anak karena penyakit dibanding anak yang orangtuanya berpenghasilan cukup. (Behrman, 1999)

Untuk mengatasi permasalahan tersebut, pemerintah harus memiliki informasi atau peta kemiskinan agar dapat membuat kebijakan-kebijakan yang tepat dalam pengentasan kemiskinan ini, menentukan target penduduk miskin sehingga dapat memperbaiki posisi mereka, dan dapat mengevaluasi program-program yang berkenaan dengan penanggulangan kemiskinan. Ada banyak ukuran yang dapat digunakan dalam mengukur kemiskinan. Di Indonesia saat ini digunakan dua ukuran kemiskinan, yakni yang dihitung BPS (Badan Pusat Statistik) dan BKKBN (Badan Kesejahteraan Keluarga Berencana Nasional). Informasi kemiskinan yang dihitung BPS merupakan informasi makro sedangkan informasi dari BKKBN bersifat mikro dan sangat cocok untuk operasional lapangan. (Badan Penelitian dan Pengembangan Provinsi Riau, 2004)

Pengukuran kemiskinan yang dihitung oleh BPS dilakukan dengan cara menetapkan nilai standar kebutuhan minimum, baik untuk makanan maupun minuman, yang harus dipenuhi seseorang untuk hidup layak. Garis kemiskinan sesungguhnya merupakan sejumlah rupiah yang diperlukan oleh setiap individu untuk dapat membayar kebutuhan makanan setara 2100 kalori per orang per hari. Individu dengan pengeluaran lebih rendah dari garis kemiskinan digolongkan sebagai penduduk miskin. (Badan Penelitian dan Pengembangan Provinsi Riau, 2004).

(37)

keluarga sejahtera III dan keluarga sejahtera III plus. Keluarga pra sejahtera adalah keluarga yang belum mampu memenuhi kebutuhan dasar seperti sandang, pangan dan papan. Keluarga sejahtera I adalah keluarga yang walaupun kebutuhan dasar telah terpenuhi, namun kebutuhan sosial psikologis belum terpenuhi. Keluarga sejahtera II adalah keluarga yang telah dapat memenuhi kebutuhan dasar, sosial-psikologisnya, tapi belum dapat memenuhi kebutuhan pengembangan. Keluarga sejahtera III adalah keluarga yang sudah dapat memenuhi kebutuhan dasar, sosial-psikologis, pengembangan tapi belum dapat memberi sumbangan secara teratur pada masyarakat sekitarnya. Keluarga sejahtera tahap III plus adalah keluarga yang telah dapat memenuhi kebutuhan dasar, sosial-psikologis, pengembangan, serta telah dapat memberikan sumbangan yang teratur dan berperan aktif dalam kegiatan kemasyarakatan. (Badan Penelitian dan Pengembangan Provinsi Riau, 2004). 2.4. Pengetahuan

Pengetahuan merupakan hasil dari tahu dan terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap objek tertentu. Pengetahuan yang dicakup dalam domain kognitif mempunyai enam tingkat seperti dalam tabel berikut :

Tabel 2.5 Tingkat pengetahuan dalam domain kognitif

Domain Definisi

Tahu Mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya

Memahami kemampuan menjelaskan secara benar tentang obyek yang diketahui dan dapat menginterpretasikan secara benar.

Aplikasi kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi riil.

Analisis kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu obyek ke dalam komponen-komponen, tetapi masih di dalam suatu struktur organisasi tersebut.

Sintesis kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru

Evaluasi kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau obyek

( Notoatmodjo, 2003)

Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau angket yang menanyakan isi materi yang ingin diukur dari subjek penelitian (Notoatmodjo, 2003). Pengetahuan sebagai parameter keadaan sosial dapat sangat menentukan kesehatan masyarakat. Masyarakat dapat terhindar dari penyakit asalkan pengetahuan tentang kesehatan dapat ditingkatkan, sehingga perilaku dan keadaan lingkungan sosialnya menjadi sehat (Slamet, 1994)

-BAB III

(38)

-3.1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian analitik, dengan pendekatan cross sectional study yaitu penelitian yang dilakukan dengan sekali pengamatan pada suatu saat tertentu terhadap objek yang berubah.

3.2. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Kelurahan Pekan Arba Kecamatan Tembilahan Kota Kabupaten Indragiri Hilir. Hal ini didasari oleh data yang dikumpulkan dari puskesmas setempat bahwa daerah tersebut memiliki prevalensi kejadian diare yang cukup tinggi, dan berdasarkan data dari kelurahan dan pengamatan dari peneliti sendiri diketahui bahwa daerah tersebut memiliki keadaan georafis, sosial ekonomi yang spesifik.

3.3. Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober – November 2006 3.4. Variabel penelitian

Variabel terikat atau dependen dalam penelitian ini adalah kejadian diare akut pada anak balita. Variabel bebas atau independen yakni lingkungan, sosial ekonomi dan pengetahuan ibu.

3.5. Definisi operasional

Definisi operasional pada penelitian ini mencakup lima variabel yakni, diare akut pada anak balita, lingkungan, sosial ekonomi dan pengetahuan ibu.

3.5.1 Diare akut pada anak balita adalah kejadian diare yang terjadi secara mendadak, berlangsung kurang dari 14 hari, pada anak balita yang berdomisili di Kelurahan Pekan Arba, diketahui dengan cara wawancara langsung dengan ibu balita.

3.5.2 Lingkungan adalah keadaan lingkungan responden yang dinilai dari keadaan perumahan, sumber air minum, jamban, pengelolaan sampah dan limbah, yang dinilai dengan menggunakan kuesioner yang dikonfirmasi dengan pengamatan penulis sendiri, dengan skala ukur interval. Terdiri dari keadaan lingkungan baik, cukup dan buruk.

3.5.3 Sosial ekonomi adalah tingkat kesejahteraan responden yang dinilai dengan menggunakan kuesioner resmi yang dikeluarkan oleh BKKBN. Terdiri dari lima tingkatan, yakni keluarga pra sejahtera, keluarga sejahtera I, keluarga sejahtera II, keluarga sejahtera III, dan keluarga sejahtera III plus.

(39)

3.6. Populasi dan Sampel

Populasi pada penelitian ini adalah ibu-ibu yang memiliki anak balita yang tinggal di Kelurahan Pekan Arba Kecamatan Tembilahan dengan jumlah 535 orang. Jumlah sampel diambil secara proporsional dengan teknik pengambilan sampel secara acak sederhana ( simple random sampling) dengan cara lottery technique, yakni dengan mengundi anggota populasi. (Notoatmodjo, 2003). Cara menentukan ukuran sampel yang praktis adalah dengan formula sebagai berikut : (Notoadmodjo, 2002)

n = N1 + N (d2)

Ket : N= besar populasi n = besar sampel

d = tingkat kepercayaan/ketepatan yang diinginkan ( 95 % )

Sehingga diperoleh jumlah sampel 230 orang. Sampel diambil secara proporsional sesuai dengan persentase ibu yang memiliki anak balita di tiap RWnya. Jumlah sampel dapat dilihat pada tabel berikut ini :

Tabel 3.1 Distribusi jumlah sampel per RW

Nama RW Jumlah populasi Persentase sampel (%) Jumlah sampel

RW 1 146 27 62

RW 2 225 42 97

RW 3 97 18 41

RW 4 67 13 30

Total 535 100 230

(sumber : data kelurahan Pekan Arba, 2006)

Kriteria inklusi dalam penelitian ini adalah seluruh ibu balita yang berdomisili di Kelurahan Pekan Arba dan bersedia diwawancarai. Sedangkan kriteria eksklusi adalah ibu balita yang memiliki balita lebih dari satu.

Gambar

Tabel 2.1 derajat dehidrasi berdasarkan kehilangan berat badan
Tabel 2.4 Jumlah oralit yang diberikan pada 3 jam pertama
Tabel 2.5 Tingkat pengetahuan dalam domain kognitif
Tabel 3.1 Distribusi jumlah sampel per RW
+2

Referensi

Dokumen terkait

HUBUNGAN PERILAKU CUCI TANGAN YANG BENAR DENGAN KEJADIAN DIARE PADA BALITA DI LINGKUNGAN II. KELURAHAN

Terdapat hubungan yang signifikan antara pengetahuan ibu balita serta kebiasaan ibu balita dalam memasak air minum dengan kejadian diare pada balita yang berobat di

HUBUNGAN PENGETAHUAN DAN SIKAP IBU DENGAN KEJADIAN INFEKSI SALURAN PERNAPASAN AKUT (ISPA) PADA BALITA DI KELURAHAN SUKARAYA KECAMATANI. BATURAJA TIMUR KABUPATEN OGAN KOMERING ULU

Tabel 4.10 Analisis Hubungan antara Personal Hygiene Ibu dengan Kejadian Diare pada Balita di Lingkungan Pintu Angin Kelurahan Sibolga Hilir Kecamatan Sibolga Utara Kota

5.2.3 Hubungan Tindakan Ibu dengan Tingkat Diare Akut pada Anak Balita Tindakan ibu tentang diare akut pada anak balita juga berperan penting dalam derajat keparahan diare anak

Pengaruh Pengetahuan, Perilaku Sehat dan Sanitasi Lingkungan Terhadap Kejadian Diare Akut di Kelurahan Tlogopojok dan Kelurahan Sidorukun Kecamatan Gresik

Factor-faktor : Usia Pendidikan Pengalaman Pekerjaan Pengetahuan ibu kejadian diare pada balita usia 1-5 tahun Cara penularan diare Penyebab diare Cara mencegah diare Cara

HUBUNGAN SANITASI LINGKUNGAN DAN PENGETAHUAN IBU TERHADAP KEJADIAN PENYAKIT DIARE PADA ANAK BALITA DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS MATARAMAN KABUPATEN BANJAR TAHUN 2022 Dimas Pratama