KETIDAKSEIMBANGAN DISTRIBUSI NILAI TAMBAH DALAM RANTAI
NILAI (
VALUE CHAIN
) PERDAGANGAN ROTAN
Oleh :
Rachman Effendi*) dan Aan Sukanda**) *)
Peneliti pada Pusat Litbang Perubahan Iklim dan Kebijakan **)
Peneliti pada Pusat Litbang Teknologi dan Pengolahan Hasil Hutan ABSTRAK
Nilai devisa yang dihasilkan dari ekspor produk rotan pada tahun 2010 sekitar 137,95 juta dollar AS atau sekitar 6,8% dari nilai ekspor furniture dan kerajinan. Nilai ekspor tersebut menurun dibandingkan tahun sebelumnya dikarenakan rendahnya daya serap industri rotan dalam negeri mengakibatkan penerimaan pendapatan petani dan pengumpul cenderung rendah, petani hanya menikmati sebagian kecil dari nilai tambah yang diciptakan. Tulisan ini bertujuan untuk menganalisis distribusi nilai tambah sepanjang rantai nilai perdagangan rotan dan rekomendasi kebijakan yang mendorong kelangsungan industri rotan. Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara di Cirebon dan Banjarmasin. Hasil penelitian menunjukan peran para pelaku dalam rantai nilai mebel rotan dalam melakukan proses dapat memberikan nilai tambah. Sayangnya nilai tambah yang tercipta terdistribusi tidak seimbang antar pelaku yang terlibat, semakin ke hilir maka semakin tinggi nilai tambah mebel rotan terwujud. Petani sebagai pemungut dan pemasok bahan baku, hanya menikmati 7% bagian dari nilai tambah yang tercipta, demikian juga nilai tambah yang diterima oleh industri pengolahan rotan skala kecil sebesar 8.9%. Penerimaan nilai tambah yang relatif sedikit merupakan situasi yang bersifat dis-insentif bagi para pelaku usaha budidaya dan pemungutan rotan. Agar nilai tambah yang diperoleh petani dan pemungut rotan dapat lebih meningkat, maka perlu insentif kebijakan untuk mendorong minat petani/pemungut antara lain. (1) penghapusan ijin pemungutan dan PSDH, (2) Penghapusan larangan ekspor untuk jenis rotan yang tidak diserap oleh industri pengolahan, dan (3) Harga patokan yang mengacu pada harga domestik dan internasional.
Kata kunci : Rantai nilai, mebel rotan, nilai tambah
I. Pendahuluan
Permintaan akan rotan terus meningkat dan sebanyak-banyaknya serta ada permintaan jenis baru sehingga jenis yang ditanam juga semakin banyak. Tingginya nilai jual rotan dan tingginya
dengan biaya dan tenaga yang dikeluarkan petani dan pemungut rotan. Sebetulnya rotan Indonesia mempunyai posisi yang dominan di pasar global, sehingga sudah selayaknya bila Indonesia mengembangkan industri pengolahan melalui berbagai kebijakan yang kondusif.
Dalam rangka pengembangan industri furnitur rotan, pemerintah melalui Kementerian Peridustrian bekerjasama dengan Pemerintah Daerah di beberapa daerah penghasil bahan baku yaitu telah membangun Pusat Pengembangan Industri Rotan Terpadu di Pulau Sulawesi Tengah, di
Katingan (Kalimantan Tengah) dan di Kabupaten Pidie (Aceh). Sedangkan di daerah sentra industri barang jadi rotan/furnitur bekerjasama dengan Pemerintah Daerah membangun Pusat Desain Furnitur
Rotan di Cirebon.
Secara umum prospek Industri rotan masih cukup potensial, mengingat pasar luar negeri akan produk furnitur termasuk barang jadi rotan saat ini sudah mulai membaik. Disamping itu Indonesia memiliki bahan baku rotan yang cukup potensial yang tersebar di beberapa wilayah, bahkan sekitar 80 % kebutuhan bahan baku rotan dunia dari Indonesia. Hasil studi ITTO dan Kementrerian Kehutanan potensi produksi rotan lestari bahan baku rotan baik yang berasal dari hutan alam maupun dari hasil budidaya sekitar 140 ribu ton.
Industri mebel dan kerajinan rotan Indonesia pernah menjadi produk terkenal di manca neagara sekitar 25 tahun yang lalu. Karakter rotan yang kuat, lentur dan eksotik dapat tampil dengan berbagai bentuk baik fungsional maupun dekoratif. Namun sejak dibukanya kran ekspor bahan baku rotan, industri rotan Indonesia sedikit demi sedikit dilupakan pasar dunia, sekitar 40 % perusahaan yang mengandalkan bahan baku rotan bangkrut (Kompas 7 April 2012).
Langkah pemerintah melarang ekspor rotan mentah terlihat mulai menuai hasil, dimana pesanan produk kerajinan perabot rotan dari Eropa mulai berdatangan, ratusan pengusaha lokal
bertekad meningkatkan produksi dengan kualitas prima untuk memenuhi permintaan pasar.
Pemerintah, melalui Permendagri nomor 35 melakukan larangan ekspor terhadap bahan baku
Rantai nilai mengacu kepada serangkaian kegiatan yang perlu dilakukan untuk mengantar suatu produk dari tahap konsep sampai ke pengguna terakhir. Pada umumnya rantai penjualan dan perdagangan rotan dari petani rotan kepada pengumpul rotan lokal ke pengumpul besar selanjutnya ke industri rotan di dalam maupun luar daerah. Analisis rantai nilai memungkinkan kita memahami tantangan internasional yang kompetitif dan mengidentifikasi hubungan dan mekanisme koordinasi, serta memahami bagaimana pelaku rantai berhubungan dengan kekuasaan.
Mengingat banyaknya pelaku yang terlibat di sepanjang perdagangan rotan, banyaknya
tenaga kerja yang kehidupannya tergantung dari keberlangsungan pasokan bahan baku rotan dan
peluang pasar rotan yang potensial, maka penting untuk melakukan kajian terhadap rantai nilai rotan
sehingga dapat dipahami bagaimana rantai nilai rotan terbentuk. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis distribusi nilai tambah dalam rantai nilai perdagangan rotan dan rekomendasi kebijakan
yang dapat mendorong kelangsungan industri pengolahan rotan. Adapun lokasi penelitian dilaksanakan di Kabupaten Banjarmasin Propinsi Kalimantan Selatan dan Cirebon, Propinsi Jawa
Barat pada awal tahun 2012.
II. A. Perkembangan Perdagangan Mebel dan Kerajinan Rotan di Cirebon
Daerah Cirebon telah lama dikenal sebagai daerah yang memiliki potensi besar dibidang industri mebel serta kerajinan dengan bahan baku rotan. Daerah ini sebenarnya tidak memiliki tanaman rotan tetapi karena banyaknya industri rotan dan pengrajin secara turun temurun berkarya di wilayah tersebut menyebaban Cirebon sebagai daerah utama pengrajin dan produsen rotan terbesar di Indonesia. Tetapi sejak SK Menteri Perdagangan No.12 Tahun 2005, yang berisi dibukanya kran ekspor untuk bahan baku rotan, menyebabkan produsen lebih memilih mengekspor bahan baku rotan. Harga bahan baku untuk mebel dan kerajinan rotan juga menjadi tinggi karena harga yang diberlakukan untuk produsen lokal memakai patokan harga ekspor. Surat keputusan menteri ini disatu sisi menguntungkan pengekspor tetapi disisi lain mematikan industri pengolahan rotan.
Usaha rotan kabupaten Cirebon sempat meningkat cukup pesat sebelum tahun 2005, namun setelah itu pemerintah membebaskan ekspor bahan baku, pengrajin mulai kesulitan pesanan mebel dari berbagai negara seperti Jerman, Belanda, Itali, Jepang karena mereka harus bersaing dengan mebel produksi Cina dengan harga murah. Larangan ekspor bahan baku rotan oleh pemerintah, disambut gembira oleh ratusan pengusaha mebel rotan yang memberdayakan ratusan ribu tenaga kerja, harapannya pesanan dari berbagai negara Eropa kembali meningkat.
Tabel 1. Data Perkembangan Industri Rotan Kab. Cirebon Tahun 2006 - 2012
Sumber : Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kab. Cirebon (2013).
Kebijakan larangan ekspor bahan baku rotan ini, diperkirakan dapat meningkatkan ekspor mebel rotan dan kerajinan rotan ke depan. Dengan dihentikannya ekspor bahan baku rotan maka kendala bahan baku yang dialami industri di dalam negeri akan teratasi. Industri mebel dan kerajinan rotan di Kabupaten Cirebon tersebar di beberapa Sentra industri mebel dan kerajinan rotan seperti disajikan pada Tabel 2 berikut ini :
Tabel 2. Sentra Industri Mebel dan Kerajinan Rotan di Cirebon Tahun 2011 - 2012
No Nama Sentra Unit usaha Pertumbuhan
2011 2012 Jumlah %
Tabel 3. Data Potensi Kompetensi Inti Industri Daerah Kerajinan Rotan Tahun 2011 Sampai
1.514.244.781 1.520.321.199 6.076.410 0,40
Sumber : Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kab. Cirebon (2013, data diolah).
Pertumbuhan industri kerajinan rotan di Cirebon dari tahun 2011 dan tahun 2012 mengalami peningkatan. Unit usaha usaha rotan meningkat 3,02 % pada tahun 2012 , serapan tenaga kerja sebanyak 54.291 orang pada 2011 merangkak naik menjadi 56.269 orang pada 2012
(pertumbuhan mengalami peningkatan 3,26 %). Pertumbuhan kapasitas produksi rotan Kabupaten
Cirebon meningkat 9,89 % , kapasitas produksi 66.348 ton dengan nilai produksi 1,51 triliun dan
nilai investasi Rp 209 miliar meningkat sampai total produksi 72.902 ton dengan nilai produksi 1,52
triliun dan nilai investasi 214,6 miliar para 2012.
B. Perkembangan Nilai Ekspor dari Sentra Industri Rotan di Cirebon.
Nilai ekspor dari sentra industri rotan di Cirebon selama 7 tahun terakhir tidak stabil dan turun naik. Perkembangan nilai ekpor 7 tahun terakhir disajikan pada Tabel 4 berikut :
Tabel 4. Perkembangan Nilai Ekpor Sentra Industri Rotan dari Tahun 2005 s.d 2011.
No Tahun Nilai Ekspor (Rp 1.000)
Dari Tabel 4 terlihat bahwa nilai ekpor tidak stabil dan cenderung naik turun, dimana nilai ekpor tertinggi dicapai pada tahun 2008. Industri kerajinan dan furnitur rotan paska pemulihan perekonomian Amerika Serikat dan Eropa dan setelah ditutupnya ekspor rotan alam, pertumbuhan dan nilai ekpor dapat meningkat. Untuk itu perlu langkah proaktif mencari pasar untuk mengembangkan ekspor ke pasar Asia dan Timur Tengah.
C. Sumber dan Kebutuhan Bahan Baku Rotan
Sumber bahan baku dan jenis rotan local yang diproduksi adalah jenis CL yang berasal dari
Perum Perhutani Kab. Garut, Kab. Tasimalaya, Kab.Cilacap, Kab.Sukabumi dan Kab. Sumedang. Sebagian besar bahan baku untuk industri mebel dan kerajinan rotan dipasok dari luar Jawa. Jenis rotan dari luar jawa yang masuk ke sentra industri mebel dan kerajinan rotan Kabupaten Cirebon didatangkan berdasarkan peruntukannya. Pasokan bahan baku dari luar Jawa agak sulit diperoleh, hal ini disebabkan karena pasokan dari hutan alam mulai berkurang karena banyak hutan yang dikonversi menjadi perkebunan sawit, karet dan tambang. Selain itu tenaga pencari rotan banyak beralih menjadi pekeja kebun dan penyadap karet.
Kalimantan Tengah saat ini masih menjadi produsen bahan baku rotan yang paling banyak berkontribusi bagi industri rotan di Cirebon. Untuk merekatkan hubungan kerjasama antara produsen bahan baku dan pengusaha industri olahan rotan, maka para pengusaha melakukan penjajakan ke Kalimantan Tengah dalam rangka mencari solusi pemenuhan bahan baku rotan yang selama ini sering menjadi masalah bagi pengusaha rotan, karena pasokan bahan baku masih kurang. Selama ini bahan baku yang dikirim ke Cirebon umumnya masih masih dalam bentuk bahan mentah dan belum diolah menjadi bahan baku siap pakai. Jenis, peruntukan dan sumber bahan baku disajikan pada Tabel 5 berikut ini :
Tabel 5. Jenis, Peruntukan dan Sumber Bahan Baku Rotan di Sentra Industri Mebel dan Kerajinan Rotan di Cirebon.
No Jenis Peruntukan Asal bahan baku
1 Manau Rangka Kalimantan
2 Semambu Rangka Sulawesi
3 Tohiti Rangka Sulawesi
4 Kubu Anyaman Kalimantan,Sumatera
5 Jawit Anyaman Kalimantan
6 Lacak Anyaman Kalimantan,Sumatera
7 Slimit Anyaman Aceh
8 Sarang buaya Anyaman Kalimantan, Sulawesi
9 CL Anyaman Kalimantan, Sumatera, Jawa
Peraturan Menteri Perdagangan no. 35/2011 melarang ekspor rotan mentah, asalan, w/s dan setengah jadi yang tergabung dalam pos tarif nomor 1401.20, mulai 1 Januari 2012. Peraturan tersebut juga menetapkan ekspor produk mebel dan kerajinan rotan yang tergabung dalam pos tarif nomor 4601—4602 dan pos tarif nomor 9401—9403 hanya bisa dilakukan oleh Eksportir Terdaftar Produk Industri Kehutanan (ETPIK) setelah melalui proses verifikasi. Kebijakan tersebut diambil pemerintah untuk mengatasi kelangkaan bahan baku untuk produksi mebel dan kerajinan rotan di dalam negeri. Selain itu, Menteri Perdagangan menambahkan bahwa pemerintah akan membantu dalam peningkatan kualitas desain dengan mendatangkan desainer-desainer mebel dunia.
Kelangkaan bahan baku rotan siap pakai terjadi pada Februari-Maret 2012, mengakibatkan produksi di sentra industri rotan Cirebon mandeg. Berdsarkan hasil wawancara dengan Ketua Komisariat Dewan Pengurus Asmindo Cirebon, mengatakan produksi di sentra industri rotan pada awal tahun (Januari) 2012 untuk memenuhi permintaan ekspor mencapai 1.718 kontainer atau senilai US$ 23,4 juta, meningkat drastis dari tahun lalu pada bulan yang sama, hanya senilai US$ 13,8 juta.
Kelangkaan bahan baku sempat menjadi pertanyaan, mengapa daerah produsen bahan baku rotan tak mau memasok bahan baku rotannya, mungkin imbas dari aturan larangan ekspor rotan, sehingga dalam beberapa bulan kemarin sentra industri kerajinan rotan kesulitan mencari bahan baku. Para pengusaha rotan berharap ke depan bahan baku rotan siap pakai tersedia, karena hasil produksi olahan rotan sangat diminati pasar luar negeri.
D. Harga Bahan Baku Rotan
Tabel 6. Harga Bahan Baku Rotan di Sentra Idustri Cirebon Tahun 2013
Sumber : Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kab. Cirebon (2013).
Saat ini harga bahan baku cenderung tinggi, sehingga pelaku usaha industri rotan mengaku lesu akibat kenaikan harga bahan baku. Kehadiran Peraturan Menteri Perdagangan
membuat situasi industri rotan semakin rumit. Tarif pembayaran Provisi Sumber Daya Hutan
(PSDH) semakin membumbung tinggi, sehingga industri harus membayar PSDH rotan yang naik
rata-rata lebih dari sepuluh kali lipat dari tariff sebelumnya. Perubahan tarif PSDH lama ke tarif
PSDH yang baru disajikan pada Tabel 7.
Tabel 7. Perubahan Tarif PSDH Rotan Berdasarkan Permendag No 13 Tahun 2012.
No Jenis Rotan PSDH Lama (Rp/Ton) PSDH Baru (Rp/Ton)
1 Rotan Batang 30.000 385.000
2 Rotan Lambang 42.900 427.500
3 Rotan Tohiti 54.000 397.500
Kenaikan tarif PSDH rotan berdasarkan harga patokan yang ditetapkan oleh Menteri
Perdaganagn melalui SK Mendag No 22 mengalami kenaikan sampai 10 kali lipat. Kebutuhan bahan
baku sesuai kapasitas produksi di sentra industri rotan di Cirebon mencapai 42.000.000 ton/tahun.
III. A. Rantai Nilai Perdagangan Rotan
Aliran bahan baku dan produk mebel dan kerajinan rotan sepanjang rantai nilai perdagangan di Kabupaten Banjarmasin dan Cirebon, mulai dari petani sebagai pemasok bahan baku, pedagang pengumpul, industri pengolah rotan hingga pengguna akhir, secara umum dapat digambarkan
sebagai berikut:
Pemasaran rotan melibatkan mata rantai yang cukup panjang dan bervariasi dari daerah ke daerah. Secara umum dapat dijelaskan bahwa hampir seluruh rotan mentah berasal dari luar Jawa (Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan NTB) dan sebagian besar diolah oleh industri rotan yang terletak di pulau Jawa khususnya Cirebon. Pengolahan rotan di luar Jawa umumnya terbatas hanya kepada pencucian dan pengasapan dengan belerang (washed and sulphurized (W&S). Beberapa industri setengah jadi dengan produk-produk rotan seperti kulit rotan (rattan bark), hati rotan atau
fitrit (pith rattan), rotan bulat dipoles halus (polished round rattan) dan bahan anyaman (plaiting materials) juga terdapat di Kalimantan Selatan. Pada tahun 80 an banyak juga terdapat industri lampit
rotan di Kalimantan Selatan yang tergolong di antara barang 1/2 jadi dan barang jadi rotan yang di ekspor ke Asia dan Eropa.
Para petani dan pengumpul rotan menjual rotan asalan mereka kepada para pedagang pengumpul di tingkat desa dan kemudian diteruskan kepada pedagang pengumpul antar pulau. Sebagian dari pedagang pengumpul tingkat desa tersebut mengolah rotan asalan menjadi rotan W&S atau rotan belah sebelum menjualnya kepada pedagang pengumpul antar pulau/propinsi. Sejumlah kecil rotan mentah tersebut dijual ke para pengrajin anyaman rotan di Kalimantan Selatan. Para pedagang pengumpul antar pulau mengirimkan sebagian besar rotan mereka ke industri pengolahan rotan di pulau Jawa terutama di Cirebon dan Surabaya dalam bentuk rotan W&S. Sebagian rotan (W&S dan rotan belah) dijual ke industri pengolahan rotan 1/2 jadi di Kalimantan Selatan.
B.Distribusi Nilai Tambah
Distribusi nilai tambah yang diperoleh setiap pelaku yang terlibat dalam rantai nilai rotan dikaitkan dengan rangkaian kegiatan yang biasa dilakukan oleh setiap lembaga tata niaga atau rantai nilai antara lain :
a. Pengumpul dan petani rotan melakukan pengumpulan/pemanenan dan pengangkutan ke desa dihasilkan rotan asalan (basah, dengan kadar air 90-100%)
b. Pedagang pengumpul (tingkat desa) dan jasa pengangkutan melakukan pengolahan I (pencucian, pengeringan dan pengasapan) dan pengangkutan ke Pedagang di Banjarmasin dihasilkan rotan mentah (W&S), kadar air 25-40%
c. Pedagang pengumpul, pabrik pengolah (skala kecil), jasa pengangkutan melakukan pengolahan II (pengasapan, pengeringan, pembelahan) dan pengangkutan ke Cirebon dihasilkan rotan setengah jadi (kulit dan hati rotan)
d. Pabrik pengolah (skala menengah dan besar) melakukan pengolahan (mebel dan anyaman), pengangkutan ke Cirebon atau diekspor langsung ke konsumen di luar negeri dihasilkan produk jadi berupa anyaman kulit rotan, anyaman hati rotan dan mebel rotan.
pencucian, pengeringan dan pengasapan terhadap rotan yang dikumpulkannya maka pendapatan petani akan lebih besar.
Harga rotan di tingkat petani (farmgate price) bervariasi, tergantung kepada jenis rotan serta lokasinya. Harga di tingkat petani dari tahun ke tahun tidak banyak mengalami perubahan berkisar antara Rp 300.000,- s.d Rp 400.000,- per kwintal. Harga jual di tingkat pengumpul berkisar antara Rp 4.000,- s.d. Rp 6.000 per kg. Para pedagang pengumpul untuk mendapatkan rotan harus mengorder 1 bulan sebelumnya baru barang akan dikirim, hal ini dikarenakan banyaknya permintaan terhadap petani, akan tetapi stock yang tersedia tidak mencukupi. Keluhan dari para pedagang pengumpul adalah bahwa mereka hanya bisa mendapatkan jenis rotan kecil saja, sedangkan rotan yang berukuran besar mereka ekspor untuk mendapatkan keuntungan. Untuk itu pemerintah telah melarang ekspor rotan mentah dan setengah jadi sejak 1 januari 2012. Demikian pula hal nya dengan permintaan rotan yang ada di Pulau Jawa. Jadi pedagang yang ada di Kalimantan selatan dan di Jawa
berlomba mendapatkan rotan tersebut, ada istilah yang mereka biasa pakai adalah siapa cepat dia dapat. Walaupun mereka sudah saling mengenal dengan petani tetapi sistem penjualan mereka masih
bagus.
Jenis rotan yang diperdagangkan sebagian besar (70%) adalah rotan batang berdiameter besar dan sisanya (30%) berdiameter kecil. Jenis-jenis rotan berdiameter besar terdiri atas jenis-jenis lambang (Calamus ornatus var. celebica), umbul (C. sympysypus), noko (Daemonorops sp.), tohiti
(C. inops), uban, tarumpu, mandola, manau (C. manan), semambu (C. scipionum), seuti (C. ornatus)
dan sampang (Korthalsia junghuhnii Miq.), sedangkan jenis-jenis untuk rotan berdiameter kecil meliputi sega (C. caesius), jahab, pulut (Daemonorops spp. dan Calamus spp.), locek, datuk, jarmasin (C. leiocaulis) dan cacing (C. javanicus).
Tabel 3. Distribusi Nilai Tambah Para Aktor dalam Rantai Nilai (Rp/1 set kursi
1.330.000 1.008.000 322.000 21,95
7 Pedagang
Lokal/Regional
1800.000 1.530.000 270.000 18,40
8 Eksportir 2.400.000 1.975.000 425.000 28,97
Jumlah Nilai Tambah Total 1.467.000 100
Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa semakin ke hilir maka semakin tinggi nilai tambah perdagangan mebel rotan terwujud. Dalam hal ini, petani pembudidaya/pemungut rotan sebagai pemasok bahan baku mebel dan anyaman rotan (rotan kering), hanya menikmati nilai tambah sebesar 4,77% dari total nilai tambah yang tercipta, demikian juga nilai tambah yang diterima oleh pedagang pengumpul tingkat desa dan pedagang pengolah rotan WS masing-masing sebesar 2,39% dan 2,73%. Hal ini terjadi juga terhadap pengrajin rotan yang berlokasi di wilayah Cirebon dan bermitra dengan industri pengolahan rotan besar, dimana pengrajin tersebut hanya menikmati nilai tambah sebesar 13,97% dari total nilai tambah yang tercipta. Sementara itu industri besar dan eksportir masing-masing menikmati nilai tambah sebesar 21,95% dan 28,97%. Ketidakseimbangan distribusi nilai tambah dalam rantai nilai perdagangan mebel rotan ini dikhawatirkan akan berpengaruh terhadap
keberlangsungan bisnis mebel dan anyaman rotan dari tanaman rotan budidaya ataupun hutan alam, karena penerimaan nilai tambah yang relatif sedikit merupakan situasi yang bersifat dis-insentif bagi
para pelaku usaha tersebut, khususnya yang lembaga terlibat di sektor hulu.
Rendahnya nilai tambah yang diterima oleh petani antara lain disebabkan tidak adanya keseimbangan informasi mengenai pasar rotan, ditutupnya kran ekspor rotan mentah dan setengah jadi dan standar mutu rotan di tingkat petani sehingga membuat harga rotan lebih rendah dan petani yang bersifat subsisten atau beralih kepada jenis pekerjaan lain seperti pekerja kebun dan penyadap karet.
dimana seringkali harga jualnyapun lebih dikendalikan oleh industri besar sebagai pembeli. Hal ini disebabkan terjadinya informasi yang asimetris mengenai informasi pasar sehingga para aktor yang mendapatkan lebih banyak informasi cenderung mendapatkan lebih banyak keuntungan.
IV. Penutup
Industri mebel dan anyaman rotan di Kabupaten Cirebon memiliki potensi yang cukup besar
untuk dikembangkan. Rangkaian kegiatan yang biasa dilakukan oleh setiap lembaga tata niaga atau rantai nilai merupakan acuan dalam memperoleh nilai tambah setiap lembaga tata niaga. Dengan
mengetahui rantai nilai dari industri mebel dan anyaman tersebut, telah cukup jelas, bahwa industri mebel dan anyaman di Kabupaten Cirebon saat ini memerlukan berbagai dukungan dari berbagai pihak terkait (Kehutanan, Perdagangan, Perindustrian, Perbankan/Penanam Modal dan Pemda), agar potensi industri yang ada dapat memberikan nilai tambah yang besar bagi pendapatan masyarakat, daerah dan devisa negara. Kelangsungan industri mebel dan anyaman rotan sangat dipengaruhi oleh jaminan kepastian pasar dan kelangsungan bahan baku. Beberapa rekomendasi kebijakan agar terjadi keseimbangan nilai tambah di sepanjang rantai nilai perdagangan antara lain:
a. Penghapusan kewajiban terhadap para pemungut, petani dan pedagang pengumpul rotan untuk
memiliki surat izin pemungutan rotan agar sumber daya rotan lestari.
b. Penghapusan PSDH untuk seluruh jenis rotan (alam dan tanaman) sehingga diharapkan dapat
memotong ekonomi biaya tinggi dalam tataniaga rotan dan berimplikasi merangsang masyarakat lokal untuk melestarikan dan membudidayakan rotan.
c. Kebijakan penyerapan rotan yang dihasilkan oleh petani/pemungut rotan oleh industri
pengolahan berdasarkan harga patokan yang ditetapkan pemerintah yang mengacu dari hasil perpaduan antara harga domestik dan harga ekspor.
d. Penghapusan larangan ekspor untuk jenis rotan yang tidak diserap oleh industri pengolahan.
Daftar Pustaka
BAPPEDA dan BPS Kabupaten Cirebon. 2011. Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten Cirebon 2010. Badan Pusat Statistik Kabupaten Cirebon. Cirebon.
Barclay I, Dann Z, Holroyd P. 2000. New Product Development: A Practical Workbook for Improving Performance. Butterworth - Heinemann: Oxford.
Dinas Perindag. 2012. Laporan Tahunan Evaluasi Pelaksanaan Tugas Pokok dan Fungsi. Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Cirebon, Propinsi Jawa Barat Tahun 2011. Cirebon, 2012.
Grant E, Ellen KP, Sandra SL. 1997. Ecology and Natural Resource Management, System Analysis and Simulation. Toronto: John Willey&Son, Inc.
Kaplinsky R, Readman J. 2001. Integrating SMEs in Global Value Chains towards Partnership for Development. United Nations Industrial Development Organization. Viena.
Purnomo H. 2005. Teori sistem kompleks, pemodelan dan manajemen sumberdaya adaptif.
Kementerian Perdagangan. 2011. Permendag No 35 r/M-DAG/PER/12/2011 tentang ketentuan ekspor rotan dan produk rotan. Jakarta.
Kementerian Perdagangan. 2012. Peraturan Menteri Perdagangan No.22/M-DAG/PER/4/2012 tentang Penetapan Harga Patokan Hasil Hutan untuk Penghitungan PSDH. Jakarta.
KPSHK. 2010. Menilik Sejarah Rotan Indonesia. Konsorsium Pendukung Sistem Hutan Kerakyatan.
http://kpshk.org/index.php/artikel/read/2010/10/08/1150/menilik-sejarah-rotan-indonesia.kpshk.
Kompas. 2012. Usaha Rotan Bangkrut. Harian Kompas, 7 April 2012. Jakarta.