• Tidak ada hasil yang ditemukan

JURNAL PENDIDIKAN LUAR BIASA EFEKTIVITAS METODE TOTAL PHYSICAL RESPONSE DALAM MENINGKATKAN KEMAMPUAN BAHASA ANAK AUTIS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "JURNAL PENDIDIKAN LUAR BIASA EFEKTIVITAS METODE TOTAL PHYSICAL RESPONSE DALAM MENINGKATKAN KEMAMPUAN BAHASA ANAK AUTIS"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

commit to user

JURNAL PENDIDIKAN LUAR BIASA

EFEKTIVITAS METODE TOTAL PHYSICAL RESPONSE DALAM MENINGKATKAN KEMAMPUAN BAHASA ANAK AUTIS

Nama : Panca Dewi Astuti

NIM : K5112054

Email : pancaplb12@gmail.com No. HP : 085743458783

Pembimbing : 1. Dr. Abdul Salim M.Kes 2. Mohammad Anwar, M.Pd

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA

SURAKARTA 2016

(2)

commit to user

THE EFFECTIVENESS OF TOTAL PHYSICAL RESPONSE METHOD IN IMPROVING LANGUAGE SKILL OF CHILD WITH AUTISM

Panca Dewi Astuti, Abdul Salim, Mohammad Anwar Pendidikan Luar Biasa, FKIP Universitas Sebelas Maret

Surakarta, 57126, Indonesia Pancaplb12@gmail.com

Abstract

The objective of this research is to investigate the impact of Total Physical Response

method in improving receptive and expressive language skills of 2nd grade student with

autism in SLB Negeri Surakarta on academic year 2015/2016. This research applied quantitative study with experimental method. Experimental approach applied in this research

was Single Subject Research. The subject of this research was a student with autism in 2nd

grade class of SLB Negeri Surakarta. The data research was obtained by performing observation and interview. Collected data was analyzed by performing descriptive statistic method which then was displayed in graphic. The components were analyzed by within condition and between condition analysis. The result of data analysis showed that TPR method influenced the receptive and expressive language skills improvement of subject RR. In conclusion, Total Physical Response method is effective in improving receptive and

expressive language skills of 2nd grade child student with autism in SLB Negeri Surakarta on

academic year 2015/2016.

Keywords: Total Physical Response method, receptive and expressive language, student with autism.

(3)

commit to user

EFEKTIVITAS METODE TOTAL PHYSICAL RESPONSE DALAM MENINGKATKAN KEMAMPUAN BAHASA ANAK AUTIS

Panca Dewi Astuti, Abdul Salim, Mohammad Anwar Pendidikan Luar Biasa, FKIP Universitas Sebelas Maret

Surakarta, 57126, Indonesia Pancaplb12@gmail.com

Abstrak

Penelitian ini bertujuan mengetahui pengaruh penerapan metode Total Physical

Response (TPR) terhadap peningkatan kemampuan bahasa reseptif dan ekspresif siswa autis

kelas 2 di SLB Negeri Surakarta tahun pelajaran 2015/2016. Penelitian ini termasuk penelitian kuantitatif dengan jenis penelitian eksperimen. Pendekatan ekperimen yang digunakan adalah pendekatan Single Subject Research. Subjek penelitian seorang siswa autis kelas 2 di SLB Negeri Surakarta. Data penelitian diperoleh dari hasil observasi dan wawancara. Analisis data menggunakan statistik deskriptif dan ditampilkan dalam bentuk grafik. Komponen-komponen yang dianalisis yaitu analisis dalam dan antar kondisi. Hasil analisis data menunjukkan adanya pengaruh penerapan metode TPR terhadap peningkatan kemampuan bahasa reseptif dan ekspresif subjek RR. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa metode Total Physical Response efektif dalam meningkatkan kemampuan bahasa reseptif dan ekspresif anak autis kelas 2 di SLB Negeri Surakarta tahun ajaran 2015/2016. Kata kunci : metode Total Physical Response, bahasa reseptif dan ekspresif, anak autis.

(4)

commit to user

PENDAHULUAN

Autistik adalah gangguan perkembangan neurobiologis yang kompleks dan berlangsung seumur hidup. Gangguan yang dialami meliputi gangguan pada aspek perilaku, interaksi sosial, komunikasi, dan bahasa serta gangguan emosi persepsi sensorik bahkan pada aspek motorik. Hal tersebut merupakan kombinasi dari beberapa gangguan perkembangan syaraf otak dan perilaku anak yang muncul pada tiga tahun pertama usia anak. Manifestasi gangguan pada setiap anak autis ditunjukkan secara beragam sehingga mereka memiliki perilaku yang unik dan karakter yang berbeda dari anak normal pada umumnya. Salah satu bentuk gangguan yang paling sering dialami oleh anak autis adalah masalah dalam perkembangan bahasa. Ada sejumlah perbedaan yang melekat pada perkembangan bahasa anak autis dibandingkan dengan perkembangan berbahasa secara normatif.

Gangguan dalam perkembangan bahasa yang dialami anak autis mencakup dua aspek yaitu bahasa reseptif dan ekspresif. Dalam kemampuan reseptif, anak autis memiliki kesulitan dalam memahami makna kata-kata orang lain yang diucapkan kepadanya sehingga ia kesulitan dalam melakukan tugas-tugas tertentu. Anak autis tidak dapat

menggunakan kemampuan bahasa ekspresif secara optimal yang ditunjukkan dengan adanya kesulitan dalam mengekspresikan keinginan dan perasaan khususnya melalui bahasa lisan.

Hasil observasi pada seorang siswa autis kelas 2 di SLB Negeri Surakarta menunjukkan adanya kondisi anak autis dengan gangguan berbahasa. Perkembangan bahasa anak sangat terlambat karena pada usia 13 tahun anak belum menunjukkan kemampuan berbicara. Anak bisa mengeluarkan suara, akan tetapi suara yang dikeluarkan terdengar tidak jelas dan sering tanpa arti. Anak masih mengalami kesulitan dalam menirukan kata-kata yang diajarkan. Karena kurang dibiasakan untuk berbicara, anak sulit mengungkapkan keinginannya secara lisan sehingga guru dan orangtua kurang bisa memahami keinginan dan kebutuhan anak. Meskipun anak bisa merespons saat namanya dipanggil, anak kurang bisa memahami ucapan orang lain dan memberi respons yang tepat karena adanya kesulitan dalam memahami konsep suatu kata. Dalam menjawab pertanyaan sehari-hari, anak masih perlu diberi

prompt terlebih dahulu.

Berpijak dari permasalahan anak autis dalam berbahasa, diperlukan

treatment untuk mengatasi masalah anak

autis dalam pengembangan bahasa reseptif dan ekspresif. Anak autis mengalami

(5)

commit to user

kesulitan dalam memahami kata-kata yang diucapkan, sehingga akan lebih baik lagi apabila pengajaran bahasa yang diberikan pada anak autis melibatkan aktivitas fisik. Pemilihan metode Total Physical

Response untuk meningkatkan

kemampuan bahasa reseptif dan ekspresif anak autis didasarkan pada temuan berbagai ahli dan praktisi pengajaran bahasa yang menyatakan bahwaTotal

Physical Response merupakan salah satu

metode pengajaran bahasa yang efektif karena melibatkan respon gerak tubuh anak untuk mendapatkan pengetahuan.

Total Physical Response adalah

metode pengajaran bahasa yang dikembangkan pertama kali pada tahun 1970-an oleh Asher,seorang profesor psikologi di Universitas San Jose California. Metode Total Physical

Response dilandaskan pada hasil

pengamatan terhadap cara yang digunakan bayi untuk memperoleh bahasa ibunya, yang berlangsung dalam bentuk anak-anak memberi respon fisik oleh terhadap instruksi orang-tua atau orang lain di sekitar mereka. Berdasarkan analisis terhadap berbagai penelitian mengenai penerapan Total Physical Response, Carruthers (2006) menyimpulkan bahwa metode Total Physical Response efektif digunakan dalam pengajaran bahasa asing bagi anak-anak, danbagi orang dewasa dengan melakukan beberapa adaptasi.

Beberapa penelitian yang telah dilakukan di dalam kelas dengan menggunakan metode Total Physical Response

menunjukkan bahwa terdapat kemajuan pada siswa secara statistik dalam memahami kata-kata baru. Dengan memahami makna kata-kata, anak bisa memberi respon yang tepat terhadap ucapan orang lain. Meskipun beberapa penelitian telah menemukan bahwa metode Total Physical Response efektif dalam pengajaran bahasa asing dan juga dalam peningkatan penguasaan kosakata, metode ini belum pernah diterapkan untuk meningkatkan kemampuan bahasa reseptif dan ekspresif anak autis.

Tujuan dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh penerapan metode Total Physical Response (TPR) terhadap peningkatan kemampuan bahasa reseptif dan ekspresif siswa autis kelas 2 di SLB Negeri Surakarta Tahun Pelajaran 2015/2016.

Istilah “autisme” pertama kali diperkenalkan pada tahun 1943 oleh seorang psikiater yang bernama Leo Kanner. Dia menangani sekelompok anak-anak dengan ciri-ciri yang sama yaitu mengalami kelainan sosial yang berat, hambatan komunikasi dan masalah perilaku. Anak-anak yang ditanganinya menunjukkan sifat menarik diri

(withdrawal), membisu, dengan aktivitas

(6)

commit to user

(klise) serta senantiasa memalingkan pandangannya dari orang lain sehingga tampak seperti hidup dalam dunia sendiri. (YPAC, 2013: 6)

“Autisme mengacu pada gangguan atau kelainannya sedangkan anak yang mengalami gangguan autisme dinamakan anak autis. Istilah autisme itu sendiri berasal dari kata “auto” yang berarti sendiri” (Handoyo, 2004: 12). Jadi anak autis seakan-akan hidup di dunianya sendiri. Mereka cenderung menarik diri dari lingkungan dan asyik bermain sendiri. Keasyikan terhadap dunianya sendiri menyebabkan anak autis kurang bisa berinteraksi dengan orang lain di lingkungan. Yuniar (dalam Pamuji, 2007: 2) menyatakan bahwa “Autis adalah gangguan kompleks, yang mempengaruhi perilaku dengan akibat kekurangmampuan berkomunikasi, hubungan sosial dan emosional dengan orang lain, sehingga sulit mempunyai keterampilan dan pengetahuan yang diperlukan sebagai anggota masyarakat”.

Berdasarkan berbagai definisi yang telah dijelaskan, dapat ditarik kesimpulan bahwa autisme adalah gangguan perkembangan kompleks pada sistem syaraf pusat yang muncul dan tampak sejak lahir maupun sebelum usia 3 tahun, yang menyebabkan adanya hambatan perkembangan pada interaksi sosial, komunikasi baik verbal maupun non

verbal, dan perilaku yang menyebabkan anak seolah hidup dalam dunianya sendiri.

Banyak hal yang menyebabkan autisme. Secara umum autisme disebabkan karena faktor biologis, faktor psikososial, faktor keracunan logam berat, faktor gangguan pencernaan, penglihatan dan pendengaran serta faktor autoimun tubuh. Selain itu, faktor penyebab autisme juga bisa berasal dari dalam diri sendiri saat proses perkembangan.

Anak autis mempunyai karakteristik yang merupakan perilaku khas yang sering ditunjukkan jika ia dihadapkan dengan suatu objek dan situasi tertentu. Karakteristik anak autis disebut juga dengan trias autistik yang meliputi tiga gangguan yaitu gangguan pada interaksi dengan lingkungan sekitar (orang sekitar, obyek, dan situasi), gangguan dalam komunikasi, dan gangguan dalam berperilaku motorik, minat yang terbatas, dan respon sensoris yang kurang memadai (Yuniar dalam Pamuji, 2007: 11). Berbagai gangguan yang telah disebutkan bisa jadi tidak semuanya ada pada anak autis. Bentuk gangguan bisa beraneka ragam, sehingga hambatan yang dimiliki anak autis yang satu belum tentu sama dengan anak autis lainnya.

Bahasa merupakan aspek penting dalam kehidupan manusia. Tanpa bahasa,

(7)

commit to user

seseorang akan mengalami kesulitan dalam berkomunikasi dan berinteraksi dengan orang di sekitarnya. “Bahasa adalah alat penghubung, alat komunikasi anggota masyarakat untuk berpikir, merasa, dan untuk mengembangkan ide dari pemikiran, perasaan , dan keinginan, baru terwujud bila dinyatakan. Dan alat untuk menyatakan itu adalah bahasa” (Badudu dalam Pamuji, 2007: 109). Bahasa juga didefinisikan sebagai komunikasi atau ekspresi pikir dan perasaan, yang berwujud vokal, dan merupakan kombinasi dari beberapa bunyi atau simbol-simbol tertulis yang mengandung arti (Webster dalam Sardjono, 2005: 5).

Perkembangan bahasa memerlukan fungsi reseptif dan ekspresif. “Fungsi reseptif adalah kemampuan anak untuk mengenal dan bereaksi terhadap seseorang, terhadap kejadian di lingkungan sekitarnya, mengerti maksud mimik dan nada suara dan akhirnya mengerti kata-kata” (Hariyono,2010:1). Tilton (dalam Yuwono, 2012: 63) mengemukakan bahasa reseptif adalah “Kemampuan pikiran manusia untuk mendengarkan bahasa bicara dari orang lain dan menguraikan hal tersebut dalam gambaran mental yang bermakna atau pola pikiran, dimana dipahami dan digunakan oleh penerima”. Sedangkan Maurice (dalam Yuwono, 2012: 63) mendefinisikan

“Kemampuan bahasa reseptif adalah kemampuan anak dalam mendengar dan memahami bahasa.”

Kemampuan berbahasa reseptif banyak mendukung pemerolehan bahasa ekspresif di dalam pemerolehan informasi atau pembelajaran suatu bahasa. Dalam peristiwa komunikasi sering kali kemampuan bahasa reseptif dan ekspresif digunakan secara bersama-sama guna mencapai tujuan komunikasi.

“Fungsi Ekspresif adalah kemampuan anak mengutarakan pikirannya, dimulai dari komunikasi preverbal (sebelum anak dapat berbicara), komunikasi dengan ekspresi wajah atau mimik, gerakan tubuh, dan akhirnya dengan menggunakan kata-kata atau komunikasi verbal “ (Hariyono,2010: 1). Bahasa ekpresif adalah aspek penting dalam kegiatan berkomunikasi verbal. Bahasa ekspresif adalah penggunaan kata-kata dan bahasa secara verbal untuk mengkomunikasikan konsep atau pikiran. Yuwono (2012: 66), mengungkapkan “Bahasa ekspresif diartikan sebagai kemampuan anak dalam menggunakan bahasa baik secara verbal, tulisan, symbol,

isyarat ataupun gesture”. Kemampuan

bahasa ekspresif atau mengungkapkan bahasa bagi anak artinya bukan hanya mengeluarkan suara atau bunyi tetapi bagaimana anak menyatakan keinginan, kebutuhan, pikiran dan perasaan kepada

(8)

commit to user

orang lain.

“Bahasa erat kaitannya dengan perkembangan berpikir individu. Perkembangan pikiran individu tampak dalam perkembangan bahasa yaitu kemampuan membentuk pengertian, menyusun pendapat, dan menarik kesimpulan” (Pamuji, 2007: 110). Perkembangan bahasa anak banyak terjadi pada usia 0-5 tahun. Perkembangan bahasa akan selalu mengalami peningkatan seiring dengan meningkatnya usia anak. Perkembangan bahasa anak sebaiknya selalu diperhatikan dan diberi stimulasi supaya bisa lebih optimal.

“Keterlambatan komunikasi dan bahasa merupakan ciri yang menonjol dan selalu dimiliki oleh anak autis. Perkembangan komunikasi dan bahasa anak autis sangat berbeda dengan anak pada umumnya” (Yuwono,2012: 61). Kesulitan komunikasi yang dialami anak autis dikarenakan mereka mengalami gangguan berbahasa (baik verbal maupun non verbal). Sebagian besar dari mereka dapat berbicara, namun tidak menggunakan kemampuannya tersebut untuk berkomunikasi, mereka lebih sering mengucapkan kata-kata tidak jelas (mengigau), tidak mampu menjawab pertanyaan sederhana, sulit mengungkapkan keinginannya secara lisan, sulit mengikuti instruksi yang diberikan dan sering melakukan echolalia

yaitu menirukan secara persis ucapan orang lain. Selain itu, mereka juga tidak menunjukkan minat untuk mengadakan komunikasi dan sangat kesulitan menggunakan kata ganti.

Penelitian tentang pemerolehan bahasa anak autis yang dilakukan oleh Ezmar dan Ramzi (2014) menemukan adanya kesulitan komunikasi yang dialami anak autis dalam kemampuan bahasa reseptif dan bahasa ekspresif. Anak autis mengalami hambatan dalam memahami bahasa yang digunakan oleh orang lain maupun dirinya sendiri dalam praktek komunikasi sehari-hari sehingga ia kesulitan untuk melakukan tugas tertentu. Dalam kemampuan bahasa ekspresif, aspek berbicara terjadi sangat lambat dan membutuhkan waktu yang lama untuk dapat menggunakan kalimat dengan baik dan benar. Terkadang, anak autis yang sudah bisa berbicara tidak menggunakan kemampuan berbicara untuk berkomunikasi sebagaimana mestinya. Hal tersebut sejalan dengan yang dinyatakan oleh Sunardi & Sunaryo (2007: 161-162) bahwa anak autis cenderung mengalami kesulitan bahasa secara reseptif maupun ekspresif. Mereka mengalami kesulitan dalam memahami perintah yang lebih kompleks dan mengekspresikan ide dan perasaannya, serta memahami reaksi orang lain terhadap tindakannya.

(9)

commit to user

satu sama lain, sehingga dianggap sebagai sesuatu yang tidak dapat dipisahkan. Seorang anak tidak mungkin aktif dalam proses pembelajaran tanpa menguasai bahasa. Siswa harus mampu menerima dan menyampaikan informasi, oleh karena hal tersebut latihan bahasa harus mendahului tipe-tipe pengajaran yang lainnya. Melatih anak autis untuk dapat berbahasa dan berkomunikasi dua arah tentu bukanlah suatu perkara mudah. Dibutuhkan kegiatan pembelajaran yang efektif, menarik dan menyenangkan sehingga anak merasa nyaman dan kemampuan bahasanya dapat tergali secara optimal.

Total Physical Response adalah

metode pengajaran bahasa yang dikembangkan pertama kalinya pada tahun 1970-an oleh Asher, seorang profesor psikologi di Universitas San Jose California. TPR berlandaskan pada hasil pengamatan terhadap cara yang digunakan bayi untuk memperoleh bahasa ibunya, yang pada umumnya berlangsung dalam bentuk percakapan yang didalamnya anak-anak memberi respons fisik oleh terhadap instruksi orangtua atau orang lain di sekitar mereka. Sebagai contoh, ketika seorang ayah berkata: "Lihat ayah" atau "angkat tangan" si anak akan melakukannya. Percakapan seperti ini berlangsung selama beberapa bulan sebelum si anak memberi respons verbal.

Meskipun selama percakapan si anak tidak merespons secara verbal, dia sebenarnya sedang berupaya menguasai elemen-elemen bahasa yang didengarnya. Setelah penguasaannya memadai, si anak akan memberi respons verbal secara spontan. Berdasarkan gambaran ini, (Richards and Rogers, 1986: 87) mendefinisikan TPR sebagai “a language teaching method built around coordination of speech and action; it attempts to teach language through

physical (motor) activity”. Sedangkan

menurut Larsen-Freeman (2008:107) TPR disebut juga dengan ”The comprehension

approach” atau pendekatan pemahaman

yaitu suatu metode pendekatan bahasa dengan instruksi atau perintah.

Tujuan umum dari metode Total

Physical Response adalah untuk

mengajarkan kecakapan lisan pada tingkat permulaan. Pemahaman adalah sebuah alat untuk mencapai tujuan yaitu untuk mengajarkan dasar keterampilan berbicara. Sebuah pembelajaran dengan metode Total

Physical Rsponse bertujuan untuk

menghasilkan peserta didik yang mampu komunikasi tanpa hambatan sehingga dapat dimengerti oleh penutur asli. Tujuan instruksional khusus tidak dijelaskan, karena akan bergantung pada kebutuhan khusus dari peserta didik. Apapun tujuan yang ditetapkan, bagaimanapun, harus dicapai melalui penggunaan latihan

(10)

commit to user

berbasis tindakan dalam bentuk imperative

(Richards & Rogers, 1986: 91).

Total Physical Response dirancang

untuk membantu siswa memperoleh ungkapan-ungkapan baru melalui aktivitas mendengar dan melakonkan kata-kata tersebut. Tugas utama mereka adalah melakonkan perintah-perintah yang diucapkan guru secara berulang-ulang hingga lancar (Richards and Rogers, 1986: 93). Pemberian perintah, model, dukungan, dan hubungan yang akrab yang berkelanjutan dari guru secara psikologis akan membuat siswa belajar tanpa tekanan. Dapat disimpulkan bahwa metode

Total Physical Response adalah metode

pembelajaran bahasa yang diadopsi dari cara bayi belajar bahasa yaitu dengan mendengarkan kalimat perintah kemudian memberi respons fisik. TPR memiliki prinsip belajar dengan melibatkan aktivitas fisik untuk mendapatkan pengetahuan sehingga dapat membantu siswa dalam upaya mengembangkan kemampuan berbahasa terutama dalam memahami kosakata.

Metode TPR menekankan pada pembelajaran bahasa melalui aktivitas fisik dalam upaya mengembangkan kemampuan berbahasa tingkat awal terutama meningkatkan penguasaan kosakata. Anak autis perlu menguasai kosa kata karena dengan memahami kosa kata anak dapat memahami makna kata-kata yang

disampaikan oleh orang lain dan mempelajari segala hal yang ada di lingkungan yang akhirnya mampu menerapkan di kehidupan sehari-hari saat berkomunikasi dan berinteraksi dengan orang di sekitar. Edgar dale (dalam Ningsih,2013: 5) mengemukakan bahwa,

Dalam belajar hal yang paling baik adalah belajar melalui pengalaman langsung, karena tidak hanya sekedar mengamati tetapi terlibat langsung dalam perbuatan dan bertanggung jawab terhadap hasilnya. Prinsip pengulangan juga masih diperlukan dalam kegiatan pembelajaran, Implikasi adanya prinsip pengulangan bagi siswa adalah kesadaran siswa untuk mengerjakan latihan yang berulang-ulang untuk satu macam permasalahan.

Pembelajaran dengan metode TPR mengajarkan kosakata melalui gerakan langsung atau pengalaman langsung dan diberikan berulang-ulang. Materi yang diberikan dapat berupa contoh atau demonstrasi gerakan yang selanjutnya di jabarkan sebagai bentuk perintah yang diberikan secara berulang-ulang dan selanjutnya direspons dengan gerakan fisik oleh anak. Perintah atau materi yang diberikan secara berulang-ulang akan menjadi kebiasaan sampai siswa mengerti dan merespons dengan gerakan fisik mereka. Penerapan metode TPR diharapkan dapat menciptakan suasana belajar yang nyaman sehingga anak dapat menikmati pembelajaran dan dapat belajar

(11)

commit to user

untuk berkomunikasi dengan baik. Hal ini dikarenakan pada dasarnya metode TPR dikembangkan untuk mengurangi tekanan bagi anak di dalam kelas, dan membuat suasana kelas menyenangkan. (Larsen-Freeman, 2008: 107)

Metode Total Physical Response

memiliki banyak kelebihan diantaranya dapat meningkatkan kemampuan berbahasa anak, meyenangkan karena mengandung unsur permainan, dan melibatkan aktivitas fisik sehingga anak akan aktif bergerak untuk mendapatkan pengalaman langsung dalam belajar bahasa. Total Physical Response telah terbukti efektif dalam meningkatkan kemampuan berbahasa anak termasuk perbendaharaan kata, kemampuan berekspresi, dan kelancaran berkomunikasi.

METODE PENELITIAN Desain Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan desain eksperimen subjek tunggal yang dikenal dengan istilah Single Subject Research

(SSR). Pelaksanaan penelitian menggunakan desain A-B-A sebagai alat ukur untuk melihat seberapa besar pengaruh intervensi terhadap individu dengan membandingkan kondisi baseline

sebelum dan sesudah diberikannya perlakuan (intervensi).

Subjek penelitian adalah seorang siswa dengan kriteria yaitu subjek merupakan siswa autis kelas 2 autis SLB Negeri Surakarta berinisial RR yang kemampuan bahasa reseptif dan ekspresifnya masih kurang berkembang. RR berusia 13 tahun dan berjenis kelamin laki-laki.

Instrumen yang digunakan untuk mengumpulkan data penelitian tentang efektifitas metode Total Physical Response

untuk meningkatkan bahasa reseptif dan ekspresif anak autis adalah observasi dan wawancara. Teknik observasi terstruktur digunakan untuk mendapatkan data tentang kemampuan bahasa reseptif dan ekspresif anak autis melalui pedoman observasi yang sudah disiapkan. Pelaksanaan observasi dilakukan dalam kegiatan baseline 1, intervensi saat pembelajaran dengan metode Total

Physical Response, dan baseline 2. Teknik

wawancara yang digunakan adalah teknik wawancara terstruktur karena informasi yang akan diperoleh sudah diketahui dengan pasti. Wawancara dilakukan kepada guru kelas dengan tujuan mendapatkan data yang lebih jelas mengenai kemampuan bahasa reseptif dan ekspresif anak serta pembelajaran yang dilakukan selama di SLB Negeri Surakarta. Instrumen wawancara berupa pertanyaan-pertanyaan tertulis.

(12)

commit to user

dianalisis dalam statistik deskriptif (kuantitatif) dengan tujuan untuk memperoleh gambaran generalisisi yang bisa digambarkan untuk memperjelas tentang hasil intervensi dalam jangka waktu tertentu. Analisis data dilakukan melalui analisis dalam kondisi dan antar kondisi. Analisis dalam kondisi adalah analisis perubahan data dalam suatu kondisi, misalnya kondisi baseline atau kondisi intervensi. Sedangkan untuk memulai menganalisis perubahan antar kondisi, data yang stabil harus mendahului kondisi yang akan dianalisis. Data yang tidak stabil (bervariasi) akan menyebabkan kesulitan untuk menginterprestasi pengaruh intervensi terhadap variabel terikat. Disamping aspek stabilitas, ada tidaknya pengaruh intervensi terhadap variabel terikat juga tergantung pada aspek perubahan level, dan besar kecilnya overlap yang terjadi antar kondisi yang dianalisis.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Penelitian dilakukan selama 16 hari yang mencangkup baseline 1 (A-1) sebanyak 4 sesi selama 4 hari , Intervensi (B) sebanyak 8 sesi selama 8 hari dan

baseline 2 (A-2) sebanyak 4 sesi selama 4

hari.

Baseline 1 (A-1) adalah kondisi awal subjek RR sebelum diberikan

intervensi (B) dengan metode TPR untuk meningkatkan kemampuan bahasa reseptif dan ekspresif. Kemampuan bahasa reseptif dan ekspresif subjek RR pada sesi 1 sampai sesi 4 mendapatkan skor yang relatif rendah, yaitu berkisar dari 30,00 sampai 33,33. Dari data baseline 1 (A-1) tersebut, dapat diketahui adanya kecenderungan kestabilan kemampuan bahasa reseptif dan ekspresif subjek RR sebelum dilakukan intervensi (B).

Fase intervensi (B) dilakukan dalam 8 sesi. Nilai terendah yang diperoleh subjek RR adalah 51,67 dan nilai tertinggi yang diperoleh subjek adalah 63,33. Pada fase intervensi subjek RR mengalami peningkatan kemampuan bahasa reseptif dan ekspresif. Hal tersebut ditunjukkan dengan skor yang diperoleh subjek pada sesi 5 yaitu 51,67 kemudian naik perlahan hingga pada sesi 8 diperoleh nilai akhir 58,33 dan kemudian pada sesi 12 diperoleh nilai akhir 63,33.

Baseline 2 (A-2) adalah kondisi

subjek kondisi subjek RR setelah diberikan intervensi (B) dengan metode TPR dalam meningkatkan kemampuan bahasa reseptif dan ekspresif. Kemampuan bahasa reseptif dan ekspresif subjek subjek RR pada sesi 13 sampai dengan sesi 16 mendapatkan skor berkisar dari 66,33 sampai 70. Dari data baseline 2 (A-1) tersebut, dapat diketahui adanya kecenderungan kestabilan kemampuan bahasa reseptif dan

(13)

commit to user

ekspresif pada subjek RR setelah dilakukan intervensi (B).

Kemampuan bahasa reseptif dan ekspresif subjek RR secara keseluruhan dapat disajikan ke dalam bentuk grafik. Berikut disajikan grafik kemampuan bahasa reseptif dan ekspresif subjek RR yang meliputi fase baseline 1 (A-1), fase intervensi (B), dan fase baseline 2 (A-2).

Gambar 1.1. Grafik Perkembangan Kemampuan Bahasa Reseptif dan

Ekspresif Subjek RR

Hasil analisis dalam kondisi pada setiap komponennya dapat dijabarkan sebagai berikut: panjang kondisi penelitian ini adalah 16 yang terdiri dari 4 pada kondisi baseline 1, 8 pada kondisi intervensi, dan 4 pada kondisi baseline 2. Estimasi kecenderungan arah pada fase

baseline 1 menunjukkan kecenderungan

peningkatan, pada fase intervensi menunjukkan kecenderungan peningkatan dan pada fase baseline 2 menunjukkan kecenderungan kestabilan data. Pada fase

baseline 1 (A-1) terdapat kecenderungan

stabilitas sebesar 100% yang berarti stabil,

kecenderungan fase intervensi (B) sebesar 88% yang berarti stabil, dan kecenderungan stabilitas fase baseline 2 (A-2) sebesar 100 % yang berarti stabil. Kecenderungan jejak data pada fase

baseline 1 (A-1) adalah cenderung naik.

Pada fase intervensi (B) kecenderungan jejak datanya mengalami kenaikan dan cenderung tetap di akhir sesi. Pada fase

baseline 2 (A-2) kecendererungan datanya

cenderung tetap. Level stabilitas dan rentang pada fase baseline 1 (A-1) data yang diperoleh stabil dengan rentang skor 30,00 – 33,33. Pada fase intervensi (B) data yang diperoleh stabil dengan rentang skor 51,67 – 63,33. Pada fase baseline 2 (A-2) data yang diperoleh stabil dengan rentang skor 63,33 – 70,00. Ketiga fase tersebut menunjukkan kestabilan data. Pada fase baseline 1 (A-1) level perubahannya adalah 0 sehingga tidak ada perubahan, fase intervensi (B) level perubahannya adalah membaik sebesar +11,66 dan untuk fase baseline 2 (A-2) level perubahan yang diperoleh adalah membaik sebesar +1,67 Level perubahan terkecil ketika baseline 1 (A-1) dan level perubahan terbesar terjadi pada fase intervensi (B).

Hasil analisis antar kondisi pada setiap komponennya dapat dijabarkan sebagai berikut: Variabel yang diubah pada kondisi baseline 1 (A-1) ke intervensi (B) adalah 1 dan intervensi (B) ke baseline

(14)

commit to user

2 (A-2) adalah 1 yaitu kemampuan bahasa reseptif dan ekspresif pada anak autis kelas 2. Perubahan kecenderungan arah dari fase baseline 1 (A-1) ke intervensi (B) adalah naik ke naik. Pada perubahan kecenderungan arah fase intervensi (B) ke

baseline 2 (A-2) adalah naik ke tetap.

Perubahan kecenderungan stabilitas di semua fase adalah stabil ke stabil. perubahan level dari fase intervensi (B) ke

baseline 1 (A-1) adalah meningkat

(+18,34). Selanjutnya pada fase baseline 2 (A-2) ke intervensi juga meningkat (+5). data overlap pada B/A-1 adalah sebesar 0%. Data overlap pada A-2/B adalah sebesar 0%.

Untuk mengetahui perkembangan kemampuan bahasa reseptif dan ekspresif subjek RR dapat dilihat melalui grafik. Data pada grafik berasal dari mean level yang diperoleh subjek RR pada setiap fase

baseline 1, intervensi, dan baseline 2.

Adapun grafik perkembangan penguasaan kosakata adalah sebagai berikut:

Gambar 1.2. Grafik Mean Level

Kemampuan Bahasa Reseptif dan Ekspresif

Berdasarkan grafik tersebut, dapat dilihat bahwa terdapat peningkatan mean

level pada setiap fase. Mean level pada

baseline 1 (A-1) adalah 32,49, pada fase

intervensi (B) mean level meningkat menjadi 59,16 dan pada fase baseline 2 (A-2) mean levelnya meningkat lagi menjadi 69,58. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa penerapan metode

Total Physical Response efektif dalam

meningkatkan kemampuan bahasa reseptif dan ekspresif anak autis kelas 2 di SLB Negeri Surakarta tahun pelajaran 2015/2016.

Penelitian yang dilaksanakan bertujuan untuk mengetahui efektivitas penerapan metode Total Physical

Response dalam meningkatkan

kemampuan bahasa reseptif dan ekspresif anak autis kelas 2 di SLB Negeri Surakarta tahun pelajaran 2015/2016. Hasil penelitian terhadap subjek RR menunjukkan bahwa metode TPR efektif dalam meningkatkan kemampuan bahasa reseptif dan ekspresif anak autis kelas 2 di SLB Negeri Surakarta tahun pelajaran 2015/2016. Hal tersebut terbukti dengan nilai observasi yang diperoleh subjek mengalami peningkatan. Adanya peningkatan kemampuan bahasa reseptif dan ekspresif anak autis dalam penelitian yang dilakukan dikarenakan metode TPR

(15)

commit to user

dalam pembelajaran menekankan pada keaktifan siswa dalam kegiatan langsung yang berhubungan dengan kegiatan fisik dan gerakan.

Metode TPR dalam pembelajaran menekankan pada keaktifan siswa dalam kegiatan langsung yang berhubungan dengan kegiatan fisik dan gerakan. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Richards and Rogers (1986: 87) yang mendefinisikan TPR sebagai “a language

teaching method built around

coordination of speech and action; it attempts to teach language through

physical (motor) activity”. Metode TPR

pada penelitian ini menggunakan latihan pengulangan dengan menggunakan perintah (Imperative Drill) dalam proses pembelajaran. Penerapan metode TPR dapat mengajarkan anak autis dalam belajar memahami kata dengan baik karena dilakukan secara berulang-ulang pada proses pembelajarannya, serta membantu anak dalam memahami makna kata dengan mudah. Pembelajaran dengan aktivitas fisik dan pengulangan tersebut didukung oleh pendapat Dale (dalam Ningsih,2013: 5) yang mengemukakan bahwa,

Dalam belajar hal yang paling baik adalah belajar melalui pengalaman langsung, karena tidak hanya sekedar mengamati tetapi terlibat langsung dalam perbuatan dan bertanggung jawab terhadap hasilnya. Prinsip pengulangan juga masih diperlukan

dalam kegiatan pembelajaran, Implikasi adanya prinsip pengulangan bagi siswa adalah kesadaran siswa untuk mengerjakan latihan yang berulang-ulang untuk satu macam permasalahan.

Dengan adanya aktivitas fisik, anak autis dituntut supaya aktif bergerak untuk mendapatkan pengalaman langsung dalam belajar bahasa. Interaksi yang terjadi saat pemberian perintah dalam metode TPR juga merangsang anak untuk memberi respons terhadap apa yang diperintahkan. Hal tersebut sejalan dengan pendapat Larsen-Freeman (2008:107) bahwa TPR disebut juga dengan”The comprehension

approach” atau pendekatan pemahaman

yaitu suatu metode pendekatan bahasa dengan instruksi atau perintah. Setelah memahami konsep dan dibiasakan untuk merespons maka anak autis mampu untuk mengenali lingkungan sekitarnya, memahami ucapan orang lain, menunjukkan keinginan dan perasaannya, serta mulai untuk menunjukkan kemampuan berbicara. Hal tersebut dibuktikan dengan adanya peningkatan kemampuan bahasa reseptif dan ekspresif subjek RR setelah diberi intervensi dengan metode TPR. Pada awal fase intervensi, subjek RR mengalami peningkatan dalam mengenali lingkungan dan memahami ucapan orang lain. Setelah diberi intervensi berkali-kali, kemampuan bahasa ekspresif subjek juga ikut meningkat.

(16)

commit to user

Hasil penelitian Nehrulita (2015) menemukan bahwa metode Total Physical

Response terbukti efektif dalam

pengajaran kosakata terhadap anak tunarungu. Hal ini karena anak lebih mudah dalam belajar memahami kosakata karena melibatkan aktivitas motorik yang membuat siswa menjadi lebih aktif dalam pembelajaran yang menyenangkan dan tanpa tekanan. Hasil penelitian tersebut mendukung hasil penelitian yang dilakukan oleh peneliti yang menemukan bahwa selain dapat meningkatkan kemampuan bahasa reseptif dan ekspresif, metode TPR juga mengandung unsur gerakan permainan sehingga dapat menciptakan suasana hati yang positif pada anak autis. Meskipun memiliki variabel terikat dan subjek yang berbeda, kedua hasil penelitian tersebut membuktikan pernyataan Larsen-Freeman, 2008: 107 bahwa metode TPR dikembangkan untuk mengurangi tekanan bagi anak di dalam kelas dan membuat suasana kelas lebih menyenangkan. Selain menyenangkan, aktivitas fisik yang dilakukan dalam penerapan metode TPR juga bisa dijadikan terapi bagi anak autis, terutama untuk meningkatkan respons, kepatuhan, dan keterampilan motorik.

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dan diperkuat dengan hasil penelitian relevan, diperoleh hasil bahwa TPR efektif untuk meningkatkan

kemampuan bahasa reseptif dan ekspresif anak autis kelas 2 di SLB Negeri Surakarta. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa TPR dapat digunakan untuk meningkatkan kemampuan bahasa reseptif dan ekspresif dengan aktivitas yang lebih beragam pada siswa dengan keterbatasan lainnya. Penjabaran kekurangan dalam penelitian yang telah dilakukan dapat dijadikan masukan bagi peneliti lain yang akan menggunakan Total

Physical Response sebagai intervensi

dalam penelitian.

SIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan pembahasan hasil penelitian pada bab sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa penerapan metode

Total Physical Response efektif dalam

meningkatkan kemampuan bahasa reseptif dan ekspresif anak autis kelas 2 di SLB Negeri Surakarta tahun pelajaran 2015/2016.

Berdasarkan kesimpulan di atas, dengan ini peneliti memberikan saran sebagai berikut :

Kepala sekolah sebaiknya mensosialisasikan tentang efektivitas metode TPR dalam meningkatkan kemampuan bahasa reseptif dan ekspresif anak autis di sekolah kepada guru dan terapis dengan mengundang narasumber yang menguasai metode TPR. Kepala sekolah juga diharapkan dapat mendukung

(17)

commit to user

dan menyediakan fasilitas pembelajaran yang diperlukan dalam penerapan metode TPR.

Guru hendaknya menerapkan metode TPR dalam pembelajaran di kelas sehingga kemampuan bahasa reseptif dan ekspresif siswa autis dapat meningkat.

Terapis hendaknya menggunakan metode TPR sebagai bentuk terapi dalam meningkatkan kemampuan bahasa reseptif dan ekspresif anak autis.

DAFTAR PUSTAKA

Carruthers, S. W. 2006. “The Total Physical Response Method and Its Compatibility with Adult ESL Learners”. Diperoleh 20 Oktober

2015 dari: EBSCO ERIC database. (ED428927).

Ezmar & Ramli. (2014). Bahasa Anak Autis di SLB Cinta Mandiri

Lhoksumawe. Diperoleh 16 Maret

2016 dari http:

//metamorfosa.stkipgetsempena.ac. id/home/ article/view/18/14.

Hariyono, Y. B. (2010). Perkembangan

Bahasa pada Bayi. Diperoleh 24

Maret 2016, dari

http://jboscohariyono.blogspot.co.i d/2011/04/perkembangan-bahasa-pada-bayi.html.

Larsen-Freeman, D. (2008). Technique

and Principles in Language

Teaching. Oxford: Oxford

University Press.

Nehrulita, H. (2015). Pengaruh Metode

Totall Physical Response (TPR)

terhadap pemahaman kosakata anak tunarungu kelas persiapan di

TKLB-B Dharma Wanita Sidoarjo. Diperoleh pada tanggal 17

Desember 2015 dari

http://ejournal.unesa.ac.id/article. 16195/15/article.pdf

Ningsih,N.I. (2013). Pengaruh Metode

TPR (Total Physical Response)

Terhadap Hasil Belajar Bahasa Inggris pada Materi Pokok Activity Siswa kelas III MI Badrussalam

Surabaya. Diperoleh pada tanggal

27 Maret 2016 dari

ejournal.unsea.ac.id/article/313/12/ article.doc

Pamuji. (2007). Model Terapi Terpadu

Bagi Anak Autisme. Jakarta:

Departemen Pendidikan Nasional. Richard, J and Rogers, T. (1986).

Approach and Methods in

Language Teaching. Cambridge:

Cambridge University Press. Sardjono. (2005). Terapi Wicara. Jakarta:

Departemen Pendidikan Nasional. Sunardi & Sunaryo. (2007). Intervensi

Dini Anak Berkebutuhan Khusus.

Jakarta: Dirjen Dikti Depdiknas. YPAC. (2013). Buku Penanganan dan

Pendidikan Autis di YPAC.

Diperoleh 17 Januari 2016 dari http//:ypac-nasional.org/buku- penanganan-dan-pendidikan-autis-di-ypac/.

Yuwono, J. (2012). Memahami Anak

Autistik (Kajian Teoritik dan

(18)

Gambar

Gambar 1.2. Grafik Mean Level

Referensi

Dokumen terkait

Pada kesempatan ini peneliti membangun sebuah aplikasi game berbasis android yang diharapkan mampu memberikan hiburan dan edukasi bagi anak terutama dalam segi

Monitor dilakukan dengan memonitor kemampuan self-care lansia, dapat dilakukan dengan pengkajian melalui wawancara, maupun observasi meliputi kemampuan lansia

(1) Dalam hal terdapat transaksi terkait Ekspor Nasabah pada Laporan Transaksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3), Bank wajib menyampaikan rincian

Adapun korupsi, yakni perilaku pejabat publik, baik politisi maupun pegawai negeri, yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat

Upaya efektif memperkuat modal sosial masyarakat dapat dilakukan dengan memperkuat unsur-unsur utama modal sosialnya, yaitu rasa saling percaya-mempercayai, norma yang disepakati

Panduan untuk menciptakan permainan bagi Berdasarkan peraturan menteri pendidikan dan kebudayaan RI No 146 tahun 2014 tentang kurikulum 2013 PAUD, prinsip yang

41 tahun 2007 dan BSNP yang menyatakan silabus sebagai acuan pengembangan RPP memuat identitas mata pelajaran, SK, KD, materi pembelajaran, kegiatan pembelajaran,