• Tidak ada hasil yang ditemukan

DASAR KONSTITUSIONAL PERJANJIAN INTERNASIONAL MENGAIS LATAR BELAKANG DAN DINAMIKA PASAL 11 UUD 1945

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "DASAR KONSTITUSIONAL PERJANJIAN INTERNASIONAL MENGAIS LATAR BELAKANG DAN DINAMIKA PASAL 11 UUD 1945"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

Perjanjian internasional di Indonesia telah melintasi 3 phase rejim hukum yang berbeda. Pertama periode 1945-1960 dimana perjanjian internasional didasarkan pada 3 UUD yang ber-laku berturut-turut pada periode itu, yaitu UUD 1945, Konstitusi RIS 1949, dan UUD 1950. Periode kedua adalah antara tahun 1960-2000, dimana sekalipun berlandaskan UUD 1945 perjanjian internasional tunduk pada ketentuan seperti yang diatur pada Surat Presiden 2826 tahun 1960. Periode terakhir adalah sejak tahun 2000 sampai saat ini yang ditandai dengan mu-lai berlakunya UU No. 24 Tahun 2000 tentang perjanjian internasional.

Secara keseluruhan perjalanan sejarah In-donesia, dasar konstitusional untuk perjanjian internasional adalah pasal 11 UUD 1945 yang berbunyi:

“Presiden dengan persetujuan Dewan Per-wakilan Rakyat menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain”.

Sekalipun dasar konstitusional untuk per-janjian internasional telah mengalami

rang-kaian phase rejim hukum yang berbeda,

ru-musan pasal 11 UUD 1945 yang mendasari perjanjian internasional tidak pernah berubah. Untuk itu artikel ini bermaksud menggali seja-rah dan latar belakang rumusan pasal 11 UUD 1945 dan mencoba memberikan perspektif

yang utuh mengapa rumusan ini menjadi di-maknai seperti yang dipraktikkan oleh Indone-sia sampai saat ini.

Pasal ini tidak secara khusus mengatur ten-tang perjanjian internasional namun menempat-kannya senafas dengan kekuasaan Presiden lain-nya dalam bidang hubungan luar negeri yaitu menyatakan perang dan membuat perdamaian. Aturan ini sangat singkat dan menurut penu-lis tidak dimaksudkan untuk mengatur tentang pembuatan perjanjian internasional itu sendiri melainkan hanya mengidentifikasi kewenan-gan Presiden sebagai Kepala Negara1 antara lain dalam membuat perjanjian internasional. Para ahli mengalami kesulitan untuk menemu-kan latar belamenemu-kang dirumusmenemu-kannya pasal yang singkat. Alasan bahwa bahwa UUD 45 dibuat secara kilat oleh perancangnya (BPUPKI) mengakibatkan mungkin tidak tersedia praktik maupun referensi yang dapat membantu

meru-muskan Pasal 11. Ko Swan Sik2 menyatakan

bahwa kemungkinan besar para perumus UUD 1945 lebih banyak menggunakan referensi dari Belanda dan mungkin sedikit sekali menggu-nakan model Amerika Serikat mengingat pada waktu itu Konstitusi Amerika Serikta tidak ter-lalu dikenal oleh elit Indonesia. Sedangkan ahli sejarah Indonesia seperti A. Arthur3 menduga model Amerika Serikat merupakan inspirasi utama bagi perumus UUD 1945.

1

1

Menurut penjelasan UUD 1945, pasal ini masuk dalam kategori kekuasaan Presiden sebagai Kepala Negara.

2

Lihat misalnya Ko Swan Sik, The Indonesian Law of Treaties (1945-1990), Martinus Nijhohf, hal. 3.

3

A. Arthur, The Formation of Federal Indonesia, 1945-1949, the Hague, 1955, at 19.

DASAR KONSTITUSIONAL PERJANJIAN INTERNASIONAL

MENGAIS LATAR BELAKANG DAN DINAMIKA PASAL 11 UUD 1945

(2)

1

4

Yamin, Muhammad, Naskah Persiapan Undang Undang Dasar 1945 (“Preparatory Documents to the Con-stitution of 1945”), Vol. I, at 291.

5

Soekarno dalam pidatonya pengantarnya mendesak agar jiwa konstitusi yang akan dibuat adalah berdasar -kan falsafah yang hidup (volkgeist) dan menolak model konstitusi Negara Barat yang individualis dan liberalis

yang telah menciptakan imperialism dan konflik internasional. Yamin, Muhammad, Naskah Persiapan Undang

Undang Dasar 1945, 287-298.

6

English text dari Konstitusi Meiji 1889 dapat diakses pada http://www.ndl.go.jp/ constitution/e/etc/ c02.

html. Konstitusi Meiji 1889 mengambil model Konstitusi Prussia 1850, Pasal 13 ini sama dengan pasal 48 Konstitusi Prussian: “the king shall have power to declare war and make peace, and to conclude other treaties with foreign governments. The latter require for their validity the assent of the chambers in so far as they are commercial treaties, or impose burdens on the State, or obligations on the individual subjects”. English text dapat diakses pada http://en.wikisource.org/wiki/Constitution_of_the_Kingdom_of_Prussia. Menurut sejarah, ahli hukum Jerman, Rudolp Gneist, yang membantu perancangan Konstitusi Meiji, Kaisar Jepang harus di-berikan kekuasaan absolut di bidang luar negeri, pertahanan dan legislasi. Itulah sebabnya berbeda dengan Konstitusi Prussia, Konstitusi Meiji tidak mensyaratkan persetujuan Diet untuk pembuatan perjanjian inter-nasional, Beckmann, George M, The Making of the Meiji Constitution, University Kansas Press, 1957, 71.

7

Yamin, Vol. I, 784-793.

8

Draft Awal yang disampaikan ke BPUPKI pada tanggal 15 Juni 1945. Yamin, ibid, 713-716. Naskah Kom -prehensif Perubahan Undang-Undang Dasar, Buku IV, Kekuasaan Pemerintahan Negara, Jilid 1, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 15.

Dari berbebagai perdebatan seperti yang terkuak dalam dokumen BPUPKI ternyata be-berapa konstitusi sering disebut-sebut sebagai referensi, yaitu Konstitusi Perancis, Belanda, Weimar (Jerman), dan Meiji (Jepang)4. Dalam

perdebatan terlihat bahwa para perumus tidak

terlalu menyukai semangat yang terkandung dalam konstitusi-kontitusi Negara Barat karena dinilai terlalu liberal dan individualisme dan lebih mengarah ke Timur yaitu pada semangat yang terkandung pada Konstitusi Meiji5. Seka-lipun demikian, para perumus tidak secara kes-eluruhan menolak konsep-konsep Barat karena pada kenyataannya juga mengadopsi prinsip rechstaat seperti yang terkandung pada Konsti-tusi Weimar.

Dari analisa komparatif terhadap konstitusi yang berlaku pada periode kemerdekaan RI, terkait dengan kekuasaan presiden di bidang luar negeri, para perumus tampaknya meng-gunakan Konstitusi Meiji 1889. Pasal 13 me-nyatakan:

The Emperor declares war, makes peace,

and concludes treaties6 .

Catatan diskusi tentang pasal-pasal kekua-saan Presiden hampir seluruhnya mengambil pasal-pasal yang sama pada Konstitusi Meiji. Bahkan pada tahun 1942, Supomo, Subard-jo dan Maramis sebelum mulai persidangan BPUPKI pernah mengusulkan suatu draft UUD yang pada umumnya adalah “copy paste” dari Konstitusi Meiji7. Pasal 9 draft mereka bah-kan mengusulbah-kan rumusan “Kepala Negara menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan Negara lain. Dalam

perde-batan awal di BPUPKI rumusan ini tetap di -pertahankan dengan menggunakan istilah yang

berbeda untuk kepala Negara menjadi Dewan

Negara8. Teks ini kemudian berkembang dalam

perdebatan dan terjadi berbagai modifikasi se

-hingga istilah Dewan Negara menjadi Presiden.

Dalam perdebatan selanjutnya, pasal ini tidak termasuk pasal yang kontroversi sehing-ga densehing-gan cepat dapat diterima densehing-gan hanya penambahan kalimat “dengan persetujuan DPR” agar selaras dengan prinsip “check and

(3)

1

9

Deener, David R, International Law Provisions in the Post-World War II Constitutions, 36 Cornell Law Review, 1951, 505.

10

Poesponegoro, Marwati Djoenoed, Nugroho Notosutanto, Sejarah Nasional Indonesia (“History of Indone-sia”), Balai Pustaka Jakarta, 1992, 122.

11

Ko Swan Sik menilai bahwa para perumus banyak berlatar belakang hukum namun tidak hukum internasi-onal, Ko Swan Sik, opcit, 4.

12

Yamin, Muhammad, Vol I, 376-396.

balances” yang mendominasi pola pikir para perumus UUD 1945 pada waktu itu.

Pasal-pasal lain yang berkaitan dengan kekua-saan prerogatif Presiden juga mengambil ru-musan yang sama dari Konstitusi Meiji, mis-alnya:

Pasal 5 : The President exercises the legislative power with the consent of the Parliament (Ar-ticle 5 of the Meiji Constitution)

Pasal 10 : The President is the supreme com-mander of the Army, Navy and the Air Force (Article 11 of the Meiji Constitution)

Pasal 12: The President may declare a state of emergency. The conditions for such a declara-tion and its effects shall be determined by law (Article 14 of the Meiji Constitution).

Pasal 14: The President grants pardon, amnes-ty, commutation of punishment, rehabilitation (Article 16 of the Meiji Constitution).

Pasal 15: The President confers ranks, orders and other marks of honour (Article 15 of the Meiji Constitution).

Penggunaan Konstitusi Meiji sebagai ref-erensi untuk kewenangan prerogratif Presiden dapat dipahami dengan beberapa pertimban-gan. Pertama BPUPKI adalah ciptaan dan ga-gasan Jepang yang menjanjikan kemerdekaan Indonesia sehingga dapat dipahami jika ref-erensi Jepang juga diharapkan dapat menjadi pedoman utama. Para perumus tidak melirik konstitusi Belanda atau Negara Barat lainnya karena tingginya sentimen anti penjajahan Be-landa dan imperialisme9, serta tidak melirik

Konstitusi dari Negara-negara Asia karena ketiadaan referensi dalam bahasa yang dapat dipahami. Kedua, 7 dari 62 anggota BPUPKI

adalah tentara Jepang10 dan sangat

mung-kin dalam memberikan kontribusinya mereka merujuk pada Konstitusi yang mereka pahami. Ketiga, Sukarno sebagai Ketua Tim Perumus telah mengindikasikan orientasinya terhadap Pan East Asia yang dipimpin oleh Dai Nippon Teikoku (Japan) sehingga model Jepang men-jadi sangat relevan dan menjanjikan.

Pasal 11 ini memang bukan pasal yang me-narik perhatian pada masa pembahasan11. Di tengah-tengah situasi PD II dan masa-masa perang mulainya perang kemerdekaan, para pe-rumus UUD 1945 tidak mengharapkan adanya perdebatan yang berlarut-larut tentang pasal ini dan lebih tertarik pada pembahasan yang lebih kontroversial seperti dasar Negara. Perdebatan di BPUPKI lebih banyak diwarnai oleh perten-tangan padangan ideologi antara kelompok Is-lam yang mendesak terbentuknya Negara IsIs-lam dengan kelompok nasionalis yang menentang-nya12.

Namun demikian, patut pula dicatat bahwa penggunaan Konstitusi Meiji sebagai referensi UUD 1945 tidak pernah disebut-sebut dalam literatur sejarah Indonesia. Berbagai catatan dan buku-buku sejarah yang ditulis oleh para mantan perumus UUD 1945 juga tidak pernah secara gamblang mengakui Konstitusi Meiji sebagai bahan dasar perumusan UUD 1945 di bidang hak prerogratif Presiden. Beberapa

(4)

per-pang. Tuduhan bahwa kemerdekaan Indonesia adalah restu Jepang memang akhirnya telah menjadi perdebatan dalam literatur hukum in-ternasional13. Selain itu, Orde Baru juga men-empatkan UUD 1945 sebagai dokumen yang sakral sehingga tidak dibuka ruang untuk ad-anya pandangan lain tentang Konstitusi ini apa-lagi mengaitkannya dengan konstitusi asing. Pasal 11 UUD 1945 sangat sederhana dan hanya mengatur kekuasaan Presiden. Pasal ini tidak menyentuh sama sekali tentang persoalan perjanjian internasional itu sendiri dan sangat merefleksikan sikap tradisional negara-negara terhadap hukum internasional14, apa lagi Neg-ara-negara yang baru merdeka15.

Seperti halnya Konstitusi Meiji 1889 16 , pasal 11 UUD 1945 sangat “low profile” terha-dap hukum internasional karena memang ma-sih sangat asing bagi pendiri Negera. Selain itu, konstitusi-konstitusi negara yang mengatur ten-tang hukum internasional pada masa itu masih terbatas dan hanya didominasi oleh konstitusi negara-negara Barat seperti Weimar Constitu-tion 1919 dan Spanish Constitution 1931. Bah-kan Belanda sendiri sebagai Negara kolonial yang seyogianya mempengaruhi para perumus UUD 1945 baru pada pada tahun 1938 menga-tur perjanjian internasional secara rinci17. timbangan politik mungkin mendasari adanya

kecenderungan untuk tidak menguak fakta sejarah ini. Pertama, sejak kemerdekaan RI terdapat semangat nasionalisme yang sangat tinggi yang memotret bahwa Indonesia mem-peroleh kemerdekaan melalui usahanya sendiri dan menekankan bahwa UUD 1945 adalah ciptaan lokal yang berakar pada nilai filoso-fis bangsa Indonesia. Pandangan bahwa UUD 1945 mengambil rujukan dari konstitusi asing merupakan pandangan yang tabu pada waktu itu dan di tengah-tengah nasionalisme yang tinggi. Itulah sebabnya, pembahasan akade-mis tentang UUD 1945 lebih banyak didomi-nasi oleh persoalan pembukaan UUD 1945 yang memuat Pancasila, yang memang secara original merupakan produk pemikiran asli para pendiri bangsa Indonesia.

Kedua, sejak masuknya Jepang, para pendi-ri Negara telah telah terpecah dengan adanya tawaran Jepang untuk memerdekakan Indone-sia dengan terbentuknya BPUPKI. Beberapa tokoh memilih berada diluar dan sebagian lain bersikap kooperatif. Persoalan menjadi sensitif jika terdapat pandangan bahwa kemerdekaan Indonesia adalah merupakan “hadiah” dari Je-pang sehingga terdapat sentimen trauma jika ada indikasi yang mengarah pada referensi Je-1

13

Sastroamidjojo, Ali and Robert Delson, The Status of the Republic of Indonesia in International Law, 49 Columbia Law Review 3, 1949 at 344-361, Heyde, Charles, Cheney, The Status of the Republic of Indonesia in International Law, 49 Columbia Law Review 7, at 956. Dokumente zur Entstehungder Vereinigten Staaten von Indonesien,Vorbemerkung, 13 ZaoRV 1950, at 433.

14

Pada tahun 1923, Quincy Right menyatakan bahwa “the traditional treatment of international law almost if not wholly dissociated it from constitutional law, Right, Quincy, International Law in its Relations to Consti-tutional Law, 17 AJIL 1923, at 234.

15

Deener menilai bahwa konstitusi Negara-negara pasca PD II tidak tertarik pada hukum internasional, Deen-er, David R, International Law Provisions in the Post-World War II Constitutions, 36 Cornell Law Review, 1951, 526.

16

Jepang baru membuka diri terhadap dunia dan hukum internasional sejak 1850. Japan and International Law: Past, Present and Future, Ando, Nusiko (Ed), Kluwer Law International, 2001, 350.

(5)

luar negeri negara.

• Hal-hal yang menurut UUD atau berdasar-kan sistem perundang-undangan kita harus diatur dengan Undang-Undang, seperti ma-salah kewarganegaraan dan mama-salah-ma- masalah-ma-salah kehakiman.

Menurut pengamatan penulis, surat ini dilatarbelakangi oleh semakin meningkatnya pembuatan perjanjian sampai tahun 1960 18 sehingga dinilai tidak praktis dan membata-si keleluasaan bergerak dalam menjalankan hubungan internasional jika semua perjanjian internasional harus melalui proses persetujuan DPR sesuai dengan Pasal 11 UUD 1945. Surat ini juga dibayangi oleh pengalaman pahit aki-bat norma Pasal 120 UUDS yang lebih ketat mensyaratkan persetujuan DPR karena secara tegas menyatakan bahwa perjanjian tidak boleh disahkan kecuali ditentukan lain oleh Undang-Undang. Penulis membayangkan bahwa ketat-nya aturan ini serta pesatketat-nya pembuatan perjan-jian pada periode tersebut telah19 menyulitkan Presiden dalam proses pembuatan perjanjian internasional dan inilah antara lain yang me-micu keluarnya Surat Presiden tersebut. Dengan kriteria ini maka tidak semua per-janjian harus mendapat perstujuan DPR dan oleh para ahli dinilai telah terjadi amandemen substantive yang terselubung terhadap pasal 11 UUD 1945. Semula Pasal ini bahwa perjanjian harus mendapat persetujuan DPR telah diubah Dengan demikian pasal 11 UUD 1945

ti-dak mungkin dapat menjelaskan tentang ber-bagai permasalahan yang mengemuka dewasa ini, seperti apa yang dimaksud dengan perjan-jian, membuat perjanjian serta apa bentuk for-mal dari persetujuan DPR. Pasal ini jauh dari mampu untuk menjelaskan tentang bagaimana kedudukan hukum perjanjian dalam sistem hu-kum nasional Indonesia.

Ketidakjelasan Pasal 11 ini tentunya mela-hirkan kesulitan dalam praktik Indonesia. Amandemen UUD 1945 bukanlah opsi yang tersedia pada periode sebelum reformasi se-hingga guna mengatasi kesulitan ini dikeluar-kan kebijadikeluar-kan yang tertuang dalam produk leg-islasi di luar UUD 1945. Pertama adalah Surat Presiden 2826 tahun 1960 yang intinya memuat kriteria tentang perjanjian yang perlu mendapat persetujuan DPR dan yang tidak. Menurut Su-rat Presiden tersebut maka perjanjian interna-sional yang harus disampaikan kepada DPR untuk mendapatkan persetujuan adalah yang mengandung materi sebagai berikut:

• Hal-hal politik atau hal-hal yang dapat mempengaruhi haluan politik luar negeri seperti halnya perjanjian-perjanjian persa-habatan, perjanjian-perjanjian persekutuan (aliansi), dan perjanjian-perjanjian tentang perubahan wilayah atau penetapan tapal ba-tas.

• Ikatan-ikatan yang sedemikian rupa sifat-nya sehingga mempengaruhi haluan politik 1

17

Verzijl, J.H.W. International Law in Historical Perspective, Sijthoff Leiden, Vol I, 1968, 106.

18

Berdasarkan catatan Treaty Room Kementerian Luar Negeri, sampai tahun 1960 Indonesia telah membuat sekitar 152 perjanjian internasionl, dan khusus tahun 1960 pada saat keluarnya Surat Presiden tersebut, Indo-nesia telah membuat 36 perjanjian, angka tertinggi dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.

19

Catatan Treaty Room menunjukkan bahwa tahun 1959-1960 saja terdapat 56 perjanjian internasional dan hanya 7 Perjanjian yang disampaikan untuk mendapatkan persetujuan DPR.

(6)

reformasi. Kesempatan emas ini telah muncul pada perubahan (amandemen) ketiga UUD 1945 yang diputuskan pada tahun 2001. Namun sayangnya perubahan yang dilakukan tidak menyentuh akar masalah melainkan kembali berkutat pada masalah kewenangan Presiden vis a vis DPR. Pada perubahan ketiga, Pasal 11 mendapat tambahan 2 ayat yaitu ayat (2) dan ayat (3), sehingga Pasal ini secara lengkap ber-bunyi:

(1) Presiden dengan persetujuan Dewan Per-wakilan Rakyat menyatakan perang, mem-buat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain

(2) Presiden dalam membuat perjanjian inter-nasional lainnya yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara, dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan Undang-Undang harus dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.

(3) Ketentuan lebih lanjut tentang perjanjian internasional diatur dengan Undang-Un-dang

Amandemen ini tentunya tidak mengubah apa pun tentang dasar konsitutional perjanjian internasional karena hanya menambah pasal yang menekankan adanya kewenangan DPR untuk memberi persetujuan terhadap perjanjian lainnya yang dibuat dengan organisasi interna-sional. Penambahan pasal ini juga tidak ber-dampak dalam praktik karena belum satu pun perjanjian dalam rangka ayat 2 ini yang pernah dibuat dan mendapat persetujuan DPR. Akibat-nya, amandemen ini tidak menyelesaikan per-masalahan klasik yang lahir akibat keterbatasan pengaturan pasal 11 UUD 1945.

Penulis menyarankan agar amandemen UUD 1945 berikutnya, pasal 11 mendapat gili-menjadi hanya perjanjian tertentu. Kedua, UU

No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Interna-sional yang pada hakekatnya adalah kodifikasi dari praktik Indonesia yang dipedomani oleh Surat Presiden 2826 tersebut.

Penetapan kriteria untuk menentukan per-janjian yang harus mendapat persetujuan DPR bukanlah praktik yang tidak lazim. Belanda telah menerapkan kriteria ini dan bahkan telah diadopsi dalam Konstitusi RIS dan UUD 1950. Surat Presiden 2826 sangat dipengaruhi oleh Konstitusi dan Praktik Belanda pada periode itu yang sangat mempengaruhi pemikiran hu-kum para birokrat di lingkungan Kabinet dan khususnya Kementerian Luar Negeri.

Persoalannya adalah, UUD 1945 tidak men-genal pembedaan ini karena memang konstitusi rujukannya (Konstitusi Meiji) tidak memerlu-kan kriteria ini. Kaisar Jepang berdasarmemerlu-kan Kon-stitusi Meiji berwenang penuh untuk membuat perjanjian tanpa persetujuan Diet, sehingga ti-dak perlu membeti-dakan jenis perjanjian. Sisipan kalimat “dengan persetujuan DPR” pada pasal 11 UUD 1945 mengakibatkan jiwa pasal ini menjadi berbeda dengan Konstitusi Meiji. Aki-batnya, dalam praktek DPR menjadi kewalahan untuk menangani banyaknya perjanjian yang dibuat pada pasca perang kemerdekaan. Untuk mengatasi masalah ini, Indonesia melirik pada Konstitusi Belanda yang memang membuat kriteria tentang mana perjanjian yang harus mendapat persetujuan parlemen. Dalam hal ini, telah terjadi transpalansi terhadap hukum dan praktik Indonesia, yaitu menggunakan dasar konstitusional Jepang (Meiji) namun mengem-bangkannya dengan menggunakan model Kon-stitusi Belanda.

Keruwetan dasar konstitusional ini seha-rusnya dapat diselesaikan melalui amande-men UUD 1945 yang intensif dilakukan sejak

(7)

ran yang signifikan dan diamandemen secara proporsional sehingga memberi dasar kon-stitusional yang kuat bagi perjanjian yang dibuat oleh Indonesia. Pasal ini harus men-gatur tentang kewenangan membuat perjan-jian, kriteria perjanjian yang harus mendapat

persetujuan DPR, serta kedudukan perjan-jian dalam sistem hukum Indonesia. Pen-gujian konstitusionalitas Piagam ASEAN di Mahkamah Konstitusi sejak 2011 merupak-an contoh pahit dari keterbatasmerupak-an pasal UUD 1945.

Referensi

Dokumen terkait

AREA PARKIR KHUSUS PENGUNJUNG KENDARAAN RODA 2 (DUA) RUANG LANTAI BASEMENT P1 DENGAN POSISI PARKIR SUDUT 90 0.. RUANG AREA

Monitoring dan Evaluasi sangat dibutuhkan dalam pelaksanaan kegiatan Fasilitasi Program Pembangunan Wilayah Terpadu Antar Desa (PWTAD) Kabupaten Sampang Tahun

perusahaan. Oleh karena itu, perusahaan yang tidak memiliki kompetensi inti dalam bidang teknologi informasi sebaiknya menjadi tidak memaksakan untuk menjadi leader

bahwa terhadap Pembahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Provinsi Gorontalo Tahun Anggaran 2015 telah dilakukan evaluasi sebagaimana tertuang dalam

Platform electronic word of mouth (E-WOM) Female Daily sendiri dilihat dari empat construct atau dimensi, yaitu concern for others, expressing positive

Hasil Penelitian diperoleh hasil material logam induk adalah baja ST 42 dengan sifat sifat mekanis sebagai berikut Kekuatan tarik: 43,802 Kg/mm 2, Regangan patah: 4,833 % , Reduksi

GEDUNG DWI WARNA.. KAJIAN FISKAL REGIONAL TRIWULAN III TAHUN 2020 6 Data pagu dan realisasi APBN yang disajikan merupakan data seluruh Kementerian/Lembaga/Satker lingkup

penampungan air lainnya, sebesar 14,2% responden saat memantau jentik jika tidak tampak ditunggu sampai ± 0,5-1 menit, jika ada jentik pasti akan muncul ke permukaan