• Tidak ada hasil yang ditemukan

OPTIMALISASI PROTEIN DAN ENERGI RANSUM UNTUK MENINGKATKAN PRODUKSI DAGING AYAM LOKAL 1)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "OPTIMALISASI PROTEIN DAN ENERGI RANSUM UNTUK MENINGKATKAN PRODUKSI DAGING AYAM LOKAL 1)"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

OPTIMALISASI PROTEIN DAN ENERGI RANSUM

UNTUK MENINGKATKAN PRODUKSI

DAGING AYAM LOKAL

1)

Sofjan Iskandar

Balai Penelitian Ternak, Jalan Banjarwaru, Ciawi Kotak Pos 221, Bogor 16002 Telp. (0251) 8240752, Faks. (0251) 8240754

e-mail: balitnak@litbang.deptan.go.id Diajukan: 24 Januari 2012; Disetujui: 11 Maret 2012

1) Naskah disarikan dari bahan Orasi Profesor Riset yang disampaikan pada tanggal 19 Juli 2011 di Bogor.

ABSTRAK

Kontribusi daging unggas dalam memenuhi kebutuhan daging nasional pada tahun 1970-an mencapai 14% dan meningkat pada tahun 2009 menjadi 63,75% atau setara dengan 1.390.586 ton daging. Pasokan daging unggas tersebut sebagian besar berasal dari ayam ras (73,13%) dan sisanya dari ayam lokal (20,33%) yang diproduksi secara tradisional. Populasi ayam lokal pada akhir tahun 2009 mencapai 261,4 juta ekor yang tersebar di Jawa Timur (9,03%), Jawa Barat (10,94%), dan Jawa Tengah (17,67%), dan sisanya tersebar di 28 provinsi. Pada tahun 2007 nilai impor untuk industri perunggasan nasional mencapai 45% dari total impor produk-produk peternakan atau setara dengan Rp10,50 triliun. Ketergantungan yang terlalu besar pada pengembangan industri ayam ras sudah saatnya dikurangi dengan meningkatkan populasi ayam lokal melalui pemeliharaan secara intensif dan pemberian ransum yang berkadar protein dan energi optimum sesuai dengan kebutuhan ternak untuk pertumbuhan maksimum. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jenis ransum untuk produksi daging ayam lokal adalah ransum tunggal dengan kadar protein 170 g/kg dengan kadar energi 2.850 kkal ME/kg, yang diberikan selama pemeliharaan pada umur 0-12 minggu. Jenis ransum ini cukup praktis untuk usaha ternak dengan populasi yang relatif sedikit. Jenis ransum ganda, yang terdiri atas ransum starter yang mengandung protein 210 g/kg dengan 2.950 kkal ME/kg (diberikan pada umur 0-4 minggu) dan ransum finisher yang mengandung protein 170 g/kg dengan 2.850 kkal ME/kg (diberikan pada umur 5-12 minggu) jenis ransum ganda ini dapat mengamankan ternak dari variasi kualitas gizi pada bahan pakan lokal.

Kata kunci: Ayam lokal, produksi daging, ransum, protein, nilai energi

ABSTRACT

Optimalization of Dietary Protein and Energy for Increasing Native Chicken Meat Production

Contribution of poultry to national meat production in the seventies reached 14% and increased in 2009 to 63.75% (equal to 1,390,586 t meat). Most of the production (73.13%) came from improved chicken which their grand-parent and/or parent stocks were imported and about 20.33% came from native chicken, which were raised traditionally, semi and full intensively. Native chicken population in 2009 was 261.4 million, which most them were concentrated in East Java (9.03%), West Java (10.94%),

(2)

PENDAHULUAN

Kontribusi daging unggas dalam memenuhi kebutuhan daging nasional selama 30 tahun terakhir meningkat tajam. Pada tahun 1970-an, kontribusi unggas baru mencapai 14%, kemudian meningkat menjadi 63,75% atau 1.390.586 ton pada tahun 2009. Daging unggas tersebut sebagian besar dipasok dari ayam ras (73,13%) dan seba-gian dari ayam lokal (20,33%) (Ditjennak 2008). Produksi daging ayam lokal seba-gian besar berasal dari sistem produksi secara tradisional dan sebagian kecil dari sistem produksi semiintensif dan intensif. Tingginya kontribusi daging unggas impor dalam penyediaan daging nasional ternyata membutuhkan biaya produksi yang tidak murah. Sebagian besar biaya dibutuhkan untuk bahan pakan dan sebagian kecil untuk bibit grand-parent stock (GPS) dan parent stock (PS), vaksin, dan obat. Nilai impor untuk industri per-unggasan nasional mencapai 45% dari total impor produk-produk peternakan yang mencapai Rp22,95 triliun, termasuk impor GPS/PS unggas dan bahan pakan sebesar Rp10,50 triliun pada tahun 2007 (Liano 2009).

Populasi ayam lokal pada akhir tahun 2009 mencapai 261,40 juta ekor dengan

populasi terbanyak terdapat di Jawa Timur (9,03%), Jawa Barat (10,94%), dan Jawa Tengah (17,67%). Ayam lokal dipelihara hampir oleh seluruh rumah tangga di perdesaan (21 juta rumah tangga), namun hanya sekitar 852.000 rumah tangga yang memiliki ayam lebih dari 30 ekor/rumah tangga, suatu jumlah yang diasumsikan mempunyai nilai komersial yang signifikan (Diwyanto dan Iskandar 1999; Ditjennak 2008).

Populasi penduduk Indonesia yang terus meningkat ikut mendorong permin-taan terhadap daging ayam. Keter-gantungan yang terlalu besar pada ayam ras impor sudah saatnya dikurangi melalui peningkatan populasi ayam lokal secara intensif, yang sekaligus menuntut keter-sediaan ransum yang memadai. Pengem-bangan ayam lokal diharapkan menjadi salah satu alternatif dalam mewujudkan swasembada daging dan meningkat-kan pendapatan peternak di perdesaan. Makalah ini menyajikan hasil-hasil penelitian dan gagasan tentang potensi ransum dengan kadar protein dan energi optimum sesuai dengan kebutuhan ayam lokal untuk tumbuh maksimum dalam upaya memenuhi kebutuhan daging di Indonesia.

and Central Java (17.67%) and the rests were scattered in other 28 provinces. In 2007, the value of national chicken-industry-inputs importation reached 45% (equal to IDR10.50 billion) of the total animal-products importation. Dependency of national chicken industry on breed importation has to be minimized by increasing local chicken breed’s population through fully intensive keeping system, which eventually, required optimum dietary protein energy to support maximum growth. Research results showed that kind of ration that sufficiently supported growth was single ration contained crude protein of 170 g/kg with energy of 2,850 kcal ME/kg, fed to growing native chicken age of 0-12 weeks. This single ration was more practicable for small intensive holders. However, multiple rations, consisted of starter ration containing crude protein of 210 g/kg with energy of 2,950 kcal ME/kg, fed to chicken at age of 0-4 weeks, and grower ration containing crude protein of 170 g/kg with energy of 2,850 kcal ME/kg, would secure the chicken from the fluctuation of quality of local feedstuffs.

(3)

KONDISI BUDI DAYA AYAM LOKAL

Kondisi budi daya ayam lokal dapat dilihat dari perspektif jenis ayam, sistem peme-liharaan, dan ransum yang diberikan.

Jenis Ayam

Di Indonesia terdapat 33 rumpun ayam lokal yang tersebar di beberapa provinsi (Sartika dan Iskandar 2007), dan terbagi atas dua kelompok, yaitu ayam lokal spesifik dan ayam lokal nonspesifik. Ayam lokal spesifik mempunyai ciri khusus, seperti warna bulu hitam pada ayam kedu dan cemani, warna bulu merah pada ayam merawang dan nunukan, warna bulu abu-abu pada ayam sentul, dan tubuh yang besar pada ayam pelung dan gaok. Ke-lompok ayam lokal nonspesifik tidak mempunyai ciri khas dan dikenal sebagai ayam kampung, yang merupakan penghasil daging sekaligus telur.

Sistem Pemeliharaan

Hingga akhir tahun 1970-an, ada tiga sistem produksi dan pemeliharaan ayam lokal, yakni tradisional, semiintensif, dan intensif. Sebagian besar (80%) peme-liharaan ayam lokal di Indonesia dilaku-kan secara tradisional, berkembang di perdesaan dengan pemilikan rata-rata tiap rumah tangga tidak lebih dari 30 ekor dalam berbagai umur (Ditjennak 2008).

Sejak awal tahun 1980-an, seiring dengan berkembangnya industri ayam ras impor, pemeliharaan ayam lokal secara intensif terus berkembang, terutama setelah terjadinya serangan flu burung

pada tahun 2003-2007. Dukungan peme-rintah dalam pengembangan ayam lokal diimplementasikan melalui berbagai program, antara lain village poultry

farming (VPF), berupa bantuan sosial

kepada kelompok-kelompok peternak ayam lokal (Liano 2009).

Pendorong lain yang menyebabkan meningkatnya jumlah pemelihara ayam lokal secara intensif adalah peningkatan permintaan daging karena cita rasa daging ayam kampung lebih disukai konsumen daripada ayam ras (Iskandar 2005, 2010; Iskandar et al. 2005; Adijaya et al. 2010). Pada umumnya, ayam lokal untuk produksi daging dipanen pada umur kurang dari 12 minggu, dengan bobot jual hidup 1 kg/ekor (Creswell dan Gunawan 1982)

Seiring dengan makin intensifnya pengusahaan dan banyaknya galur-galur unggul ayam lokal (Iskandar 2010), pada tahun-tahun mendatang dibutuhkan ransum ayam lokal yang lebih efisien. Upaya ini seiring dengan program peme-rintah untuk mengembangkan peman-faatan pakan lokal dan pabrik pakan mini serta pengawasan mutu pakan yang dilak-sanakan oleh tenaga fungsional pengawas mutu pakan yang ada di dinas peternakan di tiap provinsi (Liano 2009).

Jenis Pemberian Ransum

Jenis pemberian ransum dibedakan atas ransum tunggal (single-phase ration) dan ransum ganda yang terdiri atas dua atau lebih jenis ransum (multi-phase rations) (Noy dan Skanlan 1997; Iskandar et al.

1998b; Dozier et al. 2006). Pada ransum ganda, setiap jenis ransum mengandung protein yang berbeda untuk diberikan pada dua atau lebih periode umur, yaitu ransum starter untuk ayam umur 0-4

(4)

minggu dan ransum finisher untuk ayam umur 5-12 minggu.

Kedua sistem pemberian ransum ter-sebut mempunyai kelebihan dan keku-rangan. Kelebihan ransum tunggal adalah dari aspek penyediaan, karena selama ku-run waktu pemeliharaan, peternak hanya menyiapkan satu jenis ransum. Hal ini berkaitan dengan sedikitnya populasi ayam yang seumur, sehingga apabila diterapkan ransum ganda akan merepot-kan manajemen pemberian dan penyediaan ransum. Kekurangan ransum tunggal adalah kurang sesuai dengan perkem-bangan fisiologis ternak. Ayam yang berumur muda, membutuhkan gizi yang lebih tinggi daripada yang berumur tua sehingga apabila diberikan ransum tung-gal, efisiensi penggunaan ransum akan berkurang. Ransum ganda mempunyai kelebihan, dapat menyediakan zat gizi sesuai dengan kebutuhan ternak. Pene-rapan ransum tunggal dapat dilakukan dengan memanfaatkan kemampuan ter-nak dalam mengompensasi rendahnya pertumbuhan pada umur muda dengan bertambahnya pertumbuhan pada umur berikutnya (compensatory growth).

ESENSI PROTEIN DAN ENERGI DALAM RANSUM AYAM LOKAL

Pada unggas, ransum harus dapat menye-diakan zat-zat gizi yang dibutuhkan untuk menunjang produksi daging dan/atau telur. Penentuan kadar zat gizi optimum dalam ransum dapat dilakukan antara lain dengan teknik percobaan ransum (feeding

trial). Ransum percobaan memiliki

kan-dungan zat gizi yang bervariasi dari rendah sampai tinggi, namun pada kisaran yang layak, yakni 150-220 g/kg ransum. Zat gi-zi dominan dan ekonomis adalah protein

dan energi (NRC 1994; Swennen et al.

2007).

Protein merupakan senyawa biokimia kompleks yang terdiri atas polimer asam-asam amino dengan ikatan-ikatan peptida. Setiap monomer asam amino mengandung karbon, hidrogen, oksigen, nitrogen, dan sebagian belerang. Ada 20 asam amino yang dibutuhkan tubuh, 10 di antaranya dapat disintesis tubuh, sedangkan 10 asam amino lainnya merupakan asam ami-no esensial yang harus disediakan dari luar tubuh. Protein diperlukan tubuh untuk mempertahankan hidup pokok da-lam menjalankan fungsi-fungsi sel dan produktivitas, seperti pertumbuhan otot, lemak, tulang, telur, dan semen (Leeson dan Summers 1991).

Energi adalah kalori atau bahang

(heat) sebagai bahan bakar yang sangat dibutuhkan dalam seluruh proses meta-bolisme dan fungsi-fungsi tubuh ternak. Energi ransum yang dimanfaatkan tubuh ayam berasal dari pencernaan (perom-bakan) pati (karbohidrat), lemak, dan protein ransum. Karbohidrat dan protein masing-masing mengandung energi 4 kalori/g, sedangkan lemak mengandung 9 kalori/g (Scott et al. 1982; Iskandar dan Zainuddin 1984). Ransum yang diberikan pada sebagian besar ayam lokal yang dipelihara secara tradisional mengandung protein 88-120 g/kg dengan energi 1.700-2.800 kkal ME (metabolizable energy)/kg (Iskandar et al. 1991; Dessie dan Ogle 1997; Rashid et al. 2004). Ransum tersebut terdiri atas sisa-sisa dapur, dedak, biji-bijian, rumput, serangga, dan cacing tanah yang diperoleh dari kebun dan/atau halaman rumah tempat ayam mencari pakan.

Ransum untuk ayam yang dipelihara secara semiintensif mengandung protein minimal 130 g/kg dengan energi 2.700 kkal ME/kg (Iskandar et al. 1992). Ransum

(5)

tersebut merupakan ransum komplit ko-mersial (tersusun dari bungkil kedelai, jagung, tepung ikan, dan sebagainya), yang dicampur dengan dedak dan/atau jagung. Sementara itu, ransum untuk ayam yang dipelihara secara intensif mengan-dung protein 150-170 g/kg dengan energi 2.600-2.700 kkal ME/kg, bahkan tidak jarang para peternak memberikan ransum komplit untuk ayam ras dengan kadar protein di atas 200 g/kg (Sinurat 1999; BPTP Bengkulu 2003; BPTP Kalbar 2003; BPTP Papua 2003).

Kualitas ransum yang diberikan pada tiga sistem pemeliharaan tersebut diduga belum menyediakan protein dan energi yang cukup untuk menunjang produk-tivitas maksimum ayam lokal. Pada awalnya, kebutuhan protein dan energi ransum untuk ayam lokal yang dipelihara secara intensif untuk produksi daging mengacu pada kebutuhan protein dan energi ayam ras impor. Dalam perkem-bangannya, acuan tersebut tidak sesuai karena pertumbuhan dan kapasitas ayam lokal dalam mencerna zat gizi lebih ren-dah dibandingkan dengan ayam ras impor (Washburn et al. 1975; Iskandar 1989; Iskandar dan Pym 1998).

Pertumbuhan ayam lokal yang relatif rendah dan hanya mencapai bobot hidup 0,5 kg /ekor pada umur 7 minggu, diduga membutuhkan protein ransum yang lebih rendah dari kebutuhan protein ayam ras impor yang dapat mencapai bobot hidup 2,5 kg pada umur yang sama. Namun, bila kadar protein ransum terlalu rendah akan menyebabkan pertumbuhan yang rendah pula (Bregendahl et al. 2002). Sebaliknya, bila tingkat protein ransum terlalu tinggi maka pertumbuhan akan meningkat, namun tidak sepadan dengan biaya peningkatan protein ransum (Swennen et al. 2004). Oleh karena itu, salah satu inovasi teknologi

ayam lokal yang diperlukan adalah kadar optimum protein dan energi dalam ransum yang dapat mendukung pertumbuhan maksimum sampai umur 12 minggu.

OPTIMALISASI KADAR PROTEIN DAN ENERGI DALAM RANSUM

AYAM LOKAL

Optimalisasi protein dan energi ransum merupakan upaya untuk meningkatkan efisiensi ekonomis penggunaan ransum oleh ternak sesuai dengan kapasitas laju pertumbuhan genetis ternak itu sendiri. Kekurangan asupan protein dan energi menyebabkan tertahannya kapasitas genetik tumbuh sehingga ternak tumbuh kurang optimal. Sebaliknya, apabila asupan protein dan energi berlebihan, ternak akan mengeluarkan kelebihan protein tersebut sehingga merupakan pemborosan.

Optimalisasi Kadar Protein Ransum

Penerapan teknologi nutrisi, khususnya ransum, menghasilkan beberapa alternatif pilihan untuk meningkatkan produktivitas ayam lokal melalui optimalisasi protein ransum. Untuk menekan biaya produksi, berbagai upaya telah dilakukan. Menurun-kan kadar protein ransum sampai 150 g/kg dengan menambahkan pakan imbuhan

(supplement) asam amino lisin dan

meti-onin 1,5 kali lebih besar dari kebutuhan baku ayam ras memberikan bobot tubuh rata-rata 0,916 kg/ekor, dengan efisiensi penggunaan ransum 3,34 dan karkas 65,9%, (Iskandar et al. 1999, 2000, 2002; Iskandar 2006). Namun, capaian kinerja ransum ini masih terlalu rendah dari bobot

(6)

rata-rata ayam ras yang biasa dipasar-kan.

Ransum tunggal dengan kadar protein 170 g/kg memberikan bobot hidup ayam lokal jantan dan betina umur 12 minggu rata-rata 1,1 kg/ekor, dengan konsumsi ransum 3,25 kg dan efisiensi penggunaan ransum 3,05, dengan nilai finansial (income

over feed cost) Rp4.156/ekor (Iskandar et

al. 1998b; Iskandar 2006). Ransum dengan kadar protein 170 g/kg ini memberikan pertumbuhan yang sama pada ayam lokal dengan periode umur yang sama yang diberi ransum tunggal dengan kadar protein 190 g atau 220 g/kg (Iskandar et al.

1998a; Iskandar dan Resnawati 1999; Resnawati et al. 2000; Iskandar 2006; Iskandar et al. 2010).

Pemberian ransum ganda dengan kadar protein 210 g/kg pada masa starter (0-4 minggu), yang diikuti oleh pemberian 170 g/kg pada masa grower (5-12 minggu), memberikan kelebihan bobot hidup 106 g/ ekor dan efisiensi penggunaan ransum 150 g/kg pertambahan bobot tubuh, dengan kelebihan hasil jual (income over feed cost) 12,4% (Rp516/ekor) (Iskandar et al. 1998b; Iskandar 2006). Demikian pula penggunaan energi dan nitrogen termetabolis serta efisiensi penggunaan protein, sedikit lebih baik dari ayam lokal yang diberi ransum tunggal berkadar protein 170 g/kg (Iskandar dan Resnawati 1999; Iskandar

et al. 2001). Sementara kadar protein,

lemak, air karkas, serta keempukan daging dada dan daging paha mempunyai kualitas yang sama (Iskandar et al. 1998b).

Konsep ransum ganda akhir-akhir ini semakin mencuat dengan adanya konsep

early nutrition, yang memberikan

perhatian khusus pada anak ayam yang baru menetas sampai berumur tujuh hari. Ukuran tubuh yang kecil menyebabkan kebutuhan zat gizi anak ayam juga kecil

untuk hidup pokok (maintenance). Zat gizi yang dikonsumsi sebagian besar akan dimanfaatkan untuk pertumbuhan pada umur selanjutnya karena didukung oleh perkembangan saluran pencernaan yang lebih cepat (Krogdahl 1985; Noy dan Skanlan 1997; Lilburn 1998; Dibner dan Yi 2002). Oleh karena itu, konsep ransum ganda dengan pemberian kadar protein yang tepat perlu diteliti lebih lanjut.

Penentuan kebutuhan kadar protein pada ransum juga dapat dilakukan dengan menggunakan nilai kecernaan asam amino bahan pakan yang digunakan. Namun, penentuan kadar protein dengan cara ini membutuhkan biaya dan peralatan yang cukup mahal (Swennen et al. 2007). Pemberian ransum bebas pilih (free choice

feeding) merupakan teknik lain untuk

menentukan kebutuhan protein ayam lokal (Iskandar 2011).

Dari bahasan di atas dapat disimpulkan bahwa pemberian ransum tunggal dengan kadar protein 170 g/kg pada ayam kampung umur 0-12 minggu, dapat menjadi alterna-tif pilihan dalam mengelola usaha ternak dengan jumlah ternak sedikit dan terdiri atas berbagai umur. Ransum yang berkadar protein optimum untuk produksi daging maksimal adalah ransum ganda, yang terdiri atas ransum starter dengan kan-dungan protein 210 g/kg untuk ayam umur 0-4 minggu, dan ransum finisher yang mengandung protein 170 g/kg untuk ayam umur 5-12 minggu.

Optimalisasi Imbangan Energi terhadap Protein

Pada saat sumber energi utama (pati dan lemak) berkurang dalam tubuh, protein (asam amino) dimanfaatkan sebagai sum-ber energi (Scott et al. 1982). Proses ini

(7)

merupakan proses yang tidak efisien. Oleh karena itu, untuk mengatasi ter-jadinya pembakaran protein untuk di-jadikan energi, imbangan energi terhadap protein ransum perlu diperhatikan (NRC 1994).

Pemberian ransum dengan kadar energi rendah dapat meningkatkan kon-sumsi ransum. Sebaliknya, apabila kadar energi ransum ditingkatkan maka kon-sumsi ransum akan menurun. Strategi ini biasa dipraktikkan terutama pada saat suhu lingkungan menurun, namun harus dilakukan dengan hati-hati agar tidak mengakibatkan penurunan pertumbuhan karena berkurangnya konsumsi zat-zat gizi lain yang diperlukan ternak (Washburn

et al. 1975; Leeson dan Summers 1991;

Sidadolog dan Yuwanta 2009).

Kadar energi ransum berkaitan erat dengan kadar protein sehingga cara yang paling mudah dalam menentukan kadar optimum energi adalah menghitung kebutuhan energi berdasarkan imbangan dengan kadar protein ransum. Imbangan energi dengan protein ransum untuk ayam lokal cukup luas, berkisar antara 14-20 kkal ME: 1 g protein, dengan rata-rata 17:1 (Resnawati et al. 1991; Iskandar et al. 1999; Resnawati 2010). Oleh karena itu, ransum tunggal dengan kadar energi 2.850 kkal ME/kg dengan kadar protein 170 g/kg dapat memberikan pertumbuhan yang maksimum pada ayam lokal (Resnawati

et al. 1989; Iskandar et al. 1998b). Pada

sistem pemberian ransum ganda, untuk ransum starter dibutuhkan energi 2.950 kkal ME/kg dengan kadar protein 210 g/ kg, dan untuk ransum grower dibutuh-kan energi 2.850 kkal ME/kg dengan kadar protein 170 g/kg (Krogdahl 1985; Iskandar et al. 2002; Naseem et al. 2005; Resnawati dan Bintang 2005; Iskandar 2007).

Penambahan Mineral dan Vitamin dalam Ransum

Mineral dan vitamin selain diperlukan oleh tubuh untuk fungsi-fungsi tertentu, juga dibutuhkan dalam proses metabolisme energi maupun protein. Namun kedua kelompok zat gizi ini hanya diperlukan dalam jumlah sedikit dalam ransum (Zainuddin dan Iskandar 1988; Iskandar

et al. 1992; NRC 1994; Resnawati 2010).

Kadar mineral dan vitamin untuk ransum ayam lokal selama ini masih menggunakan nilai untuk ransum ayam ras impor petelur tipe ringan (NRC 1994).

Kebutuhan kalsium (Ca) dalam ransum ayam lokal berkisar antara 0,9-1,1% dan fosfor (P) 0,4-0,6% (NRC 1994). Kebutuhan kalium (K) dan natrium (Na) berkisar antara 0,25-0,30% (Washburn et al. 1975). Namun, dalam kondisi panas seperti di Indonesia (Sayadi et al. 2005), kebutuhan K dan Na masing-masing dapat meningkatkan sam-pai 1,5% dalam bentuk KCl dan 0,5% dalam bentuk NaHCO3. Mineral mikro seperti besi (Zn), magnesium (Mg), dan kobalt (Co) diperlukan masing-masing 40, 600, dan 5 mg/kg.

Kebutuhan vitamin dalam ransum ayam lokal sangat kecil. Vitamin A, E, niasin, B12, dan kolin dibutuhkan masing-masing 1.500 IU, 10 IU, 27 mg, 0,01 mg, dan 1.000 mg/kg. Untuk menjamin keter-sediaan mineral dan vitamin mikro lainnya, dianjurkan ransum dicampur dengan 20 g/ kg mineral-vitamin premix komersial (NRC 1994; Sayadi et al. 2005).

ARAH DAN STRATEGI PENGEMBANGAN

Sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi maka arah dan

(8)

strategi pengembangan ransum berkadar protein dan energi optimum adalah sebagai berikut.

Arah Pengembangan

1. Peningkatan efisiensi penggunaan ransum dan pengembangan ayam lokal melalui pengembangan dan penggu-naan ransum berkadar protein dan energi optimum pada masa pertum-buhan (0-12 minggu).

2. Pengembangan ransum ayam lokal dengan memanfaatkan dan mene-rapkan inovasi teknologi nutrisi yang dinamis dan mengikuti perkembangan terbentuknya galur-galur ayam lokal unggul.

Strategi Pengembangan

Ransum berkadar protein dan energi optimum untuk produksi daging ayam lokal masih belum diaplikasikan secara menyeluruh. Oleh karena itu diperlukan strategi sebagai berikut:

1. Perluasan penyebaran inovasi ransum berkadar protein dan energi optimum untuk melengkapi upaya pengembang-an pempengembang-anfaatpengembang-an bahpengembang-an pakpengembang-an lokal dpengembang-an pabrik pakan mini.

2. Peningkatan kerja sama dengan para pengawas mutu pakan pada dinas peternakan melalui pemanfaatan inovasi ransum berkadar protein dan energi optimum.

3. Perluasan penyebaran inovasi peng-gunaan ransum berkadar protein dan energi optimum kepada para pengguna melalui intensifikasi diseminasi dan partisipasi aktif para pemangku kepen-tingan.

4. Peningkatan pemahaman para penentu kebijakan akan pentingnya manfaat dan peran ransum dalam mening-katkan produktivitas ayam lokal. 5. Peningkatan efisiensi dan efektivitas

penerapan teknik penentuan kebu-tuhan zat gizi yang lebih akurat dan didukung oleh fasilitas penelitian yang memadai.

KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN

Kesimpulan

1. Kontribusi daging ayam lokal dalam menunjang kehidupan masyarakat Indonesia cukup nyata. Budi daya ayam lokal telah berkembang ke arah intensif yang pada gilirannya akan meningkatkan penggunaan ransum. 2. Ransum terbaik untuk ayam lokal

adalah ransum ganda, yang terdiri atas ransum starter yang mengandung protein 210 g/kg dengan energi 2.950 kkal ME/kg untuk ayam yang berumur 0-4 minggu, dan ransum finisher yang mengandung protein 170 g/kg dengan energi 2.850 kkal ME/kg untuk yang berumur 5-12 minggu.

3. Sejalan dengan pengembangan indus-tri ayam lokal, ransum optimum harus selalu diperbaharui.

4. Pemeliharaan ayam lokal yang saat ini didorong untuk dilakukan secara intensif, diharapkan dapat meningkat-kan keamanan dari serangan penyakit ternak maupun keamanan pangan berupa daging ayam. Oleh karena itu, upaya yang dilakukan harus berbasis pendekatan keuntungan ekonomis,

(9)

terutama dalam pemanfaatan ransum dengan kadar gizi optimal.

Implikasi Kebijakan

1. Kebijakan yang terkait dengan du-kungan pemerintah merupakan strategi yang berkaitan dengan pengembangan inovasi yang disarankan, misalnya: (a) subsidi dan bantuan teknis kepada para peternak ayam lokal; dan (b) koordinasi para pemangku kepentingan di pusat dan daerah dalam pelaksanaan program peningkatan pemanfaatan ransum dengan protein dan energi optimum untuk ayam lokal.

2. Kebijakan investasi penelitian untuk mendukung pengembangan teknologi ransum perlu difokuskan pada: (a) penentuan kebutuhan asam amino, energi, mineral, dan vitamin berdasar-kan kecernaan; (b) cara pemberian ransum yang lebih efisien; dan (c) pem-bentukan galur-galur unggul ayam lokal.

DAFTAR PUSTAKA

Adijaya, D.S., F. Yazri, T.L. Anmi, S. Duryatno, dan T. Susanti. 2010. Ayam kampung: Panen 30 hari lebih cepat. Trubus No. 484 , Maret 2010/XLI: 11-15.

BPTP (Balai Pengkajian Teknologi Perta-nian) Bengkulu. 2003. Pemeliharaan ayam buras. Leaflet Rekomendasi Teknologi Spesifik Lokasi. http://www. p u s t a k a - d e p t a n . g o . i d / a g r i t e k / bkl0406.pdf [09 Maret 2010].

BPTP (Balai Pengkajian Teknologi Per-tanian) Kalimantan Barat. 2003. Budi

daya ayam buras. Leaflet Rekomen-dasi Teknologi Spesifik Lokasi. http:// www.pustaka-deptan.go.id/agritek/ klbr0406.pdf [09 Maret 2010]. BPTP (Balai Pengkajian Teknologi

Per-tanian) Papua. 2003. Pembuatan pakan ternak ayam buras. Leaflet Rekomen-dasi Teknologi Spesifik Lokasi. http:// www.pustaka-deptan.go.id/agritek/ ppua0407.pdf [09 Maret 2010]. Bregendahl, K., J.L. Sell, and D.R.

Zim-merman. 2002. Effect of low-protein diets on growth performance and body composition of broiler chicks. Poult. Sci. 81(8): 1156-1167.

Creswell, D.C. dan B. Gunawan. 1982. Ayam-ayam lokal Indonesia: Sifat-sifat produksi pada lingkungan yang baik. Laporan Balai Penelitian Ternak, Bogor, Nomor 2. 6 hlm.

Dessie, T. and B. Ogle. 1997. Studies on village poultry production in central highlands of Ethiopia. Trop. Anim. Health Prod. 33(6): 521-537.

Dibner, J.J. and G. Yi. 2002. Early nutrition affects mucosal immune development. h t t p ; / / w w w. d s m . c o m / n l _ N L / downloads/dnpus/anc_05_Dibner.pdf [20 April 2010].

Ditjennak (Direktorat Jenderal Peternakan). 2008. Statistik Peternakan. Ditjennak, Jakarta.

Diwyanto, K. and S. Iskandar. 1999. Kampung chicken: A key part of Indonesian’s livestock sector. In

Livestock Industries of Indonesia prior to the Asian Financial Crisis. FAO Regional Office for Asia and the Pacific RAP Publication-1999/37. AB986E/ ab986e03.htm [20 March 2010] Dozier, W.A.III, R.W. Gordon, J. Anderson,

M.T. Kidd, A. Corzo, and S.L. Branton. 2006. Growth, meat yield, and economic responses of broilers provided

(10)

three-and four-phase schedules formulated to moderate and high nutrient density during a fifty-six-day production period. J. Appl. Poult.Res. 15(2): 312-325.

Iskandar, S. dan D. Zainuddin. 1984. Energi metabolis, kalori atau joule? Wartazoa 1(4): 55-67.

Iskandar, S. 1989. Genotype x Nutrition Interaction in Chickens Selected for Increased Growth Rate, Appetite of Food Efficiency and Commercial Broiler Strains. PhD Dissertation, University of Queensland, Brisbane, Australia. Iskandar, S., E. Juarini, D. Zainuddin, H.

Resnawati, B. Wibowo, dan Sumanto. 1991. Teknologi Tepat Guna Ayam Buras. Balai Penelitian Ternak, Ciawi, Bogor. 45 hlm.

Iskandar, S., Ratnadi, N. Rusmana, B. Wibowo, dan A.P. Sinurat. 1992. Ketersediaan dedak padi dan kualitas hasil penyimpanannya pada anggota kelompok peternak ayam buras di desa Pangradin, Kecamatan Jasinga, Kabu-paten Bogor. Ilmu dan Peternakan 5(1): 36-39.

Iskandar, S. and R.A. Pym. 1998. The effect of nutrient density upon growth, nutritional anatomy and physiological in four different lines of selected chickens. Bull. Anim. Sci. (Suppl. Ed.): 547-555.

Iskandar, S., D. Zainuddin, S. Sastro-dihardjo, T. Sartika, P. Setiadi, dan T. Susanti. 1998a. Respon pertumbuhan ayam kampung dan ayam silangan pelung terhadap pakan berbeda kan-dungan protein. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner 3(1): 8-14.

Iskandar, S., H. Resnawati, D. Zainuddin, Y.C. Raharjo, and B. Gunawan. 1998b. Performance of pelung x kampung (pelung-cross) chickens as influenced

by dietary protein. Bull. Anim. Sci. (Suppl. Ed.): 539-546.

Iskandar, S. dan H. Resnawati. 1999. Potensi daging ayam silangan (F1) pelung x kampung yang diberi pakan berbeda protein pada dua fase starter. Jurnal Pengembangan Peternakan Tropis (Edisi Khusus): 29-42.

Iskandar, S., H. Resnawati, dan D. Zainuddin. 1999. Karkas dan potong-an bagipotong-an karkas ayam F1 silpotong-angpotong-an pelung-kampung, yang diberi ransum berbeda protein. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner 4(1): 28-34.

Iskandar, S., H. Resnawati, D. Zainuddin, dan B. Gunawan. 2000. Pengaruh dua periode starter dan protein pakan yang berbeda pada pertumbuhan ayam silangan (pelung-kampung). hlm. 325-331. Prosiding Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner, Bogor, 18-19 Oktober 1998. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peter-nakan, Bogor.

Iskandar, S., P. Handayani, dan D. Sudrajat. 2001. Retensi energi dan nitrogen dan laju percernaan ayam silangan pelung-kampung pada pola pemberian pakan dengan protein berbeda. hlm. 596-604. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner, Bogor, 17-18 September 2001. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor. Iskandar, S., T. Pasaribu, and H. Resnawati.

2002. Growth and carcass responses of three lines of local chicken and its crossing to dietary lysine and methi-onine. p. 351-357. Proceeding of the 3rd International Seminar on Tropical

Animal Production. Part 2, Supporting Papers. Yogyakarta, 15-16 October 2002.

Iskandar, S. 2005. Pertumbuhan dan per-kembangan karkas ayam silangan kedu

(11)

x arab pada dua sistem pemberian ransum. Jurnal Ilmu Ternak dan Vete-riner 10(4): 253-259.

Iskandar, S., H.L. Prasetyo, A.R. Setioko, Abubakar, G.T. Pambudi, Natsir, dan A. Sutanto. 2005. Kinerja produksi telur dan daging ayam arab dan silangan-nya. Laporan Penelitian. Proyek/Bagian Proyek Pengkajian Teknologi Pertanian Partisipatif (PAATP), Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Jakarta.

8 hlm.

Iskandar, S. 2006. Ayam silangan pelung-kampung: Tingkat protein pakan untuk produksi daging umur 12 minggu. Wartazoa 16(2): 65-71.

Iskandar, S. 2007. Tata laksana peme-liharaan ayam lokal. hlm. 131-152.

Dalam Keanekaragaman Sumberdaya

Hayati Ayam Lokal Indonesia: Manfaat dan potensi. Pusat Penelitian Biologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Bogor.

Iskandar, S. 2010. Native chicken: Small scale enterprise and conservation in Indonesia. International Seminar-Workshop on the Utilization of Native Animalsin Building Rural Enterprise in Warm Climate Zones, Monoz City, 19-23 July 2010, the Philippines. Iskandar, S., T. Sartika, C. Hidayat, dan

Kadiran. 2010. Penentuan kebutuhan protein kasar ransum ayam Kampung Unggul Balitnak (KUB) masa per-tumbuhan (0-22 minggu). Laporan Penelitian. Balai Penelitian Ternak, Ciawi, Bogor. 28 hlm.

Iskandar, S. 2011. Laying performance of wareng chicken under free choice feeding and different cage density. Media Peternakan 34(1): 58-63. Krogdahl, A. 1985. Digestion and

absorp-tion of lipids in poultry. J. Nutr.115: 675-685.

Leeson, S. and J.D. Summers. 1991. Com-mercial Poultry Nutrition. University Books, Guelph, Ontario, Canada. 416 pp.

Liano, D. 2009. Program restrukturisasi perunggasan. Makalah disajikan pada Pertemuan Koordinasi Kegiatan Budidaya Ternak Nonruminansia Tahun 2009, Jambi, 7-8 Desember 2009. Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Jambi, Jambi. Lilburn, M.S. 1998. Practical aspects of

early nutrition for poultry. J. Appl. Poult. Res. 7(4): 420-424.

Naseem, M.T., S. Naseem, M. Younus, Z.Ch. Iqbal, A. Gafoor, A. Aslam, and S. Akhter. 2005. Effect of potassium chloride and sodium bicarbonate supplementation on thermotolerance of broiler exposed to heat stress. Int. J. Poult. Sci. 4(11): 891-895.

Noy, Y. and D. Skanlan. 1997. Posthatch development in poultry. J. Appl. Poult. Res.6(3): 344-354.

NRC (National Research Council). 1994. Nutrient Requirement for Poultry. NRC. National Academic Press, Washington, DC.

Rashid, M., B.C. Roy, and Asaduzzaman. 2004. Chemical composition of crop of local scavenging chickens. Pakistan J. Nutr. 3(1): 26-28.

Resnawati, H., D. Zainuddin, A.G. Nata-amijaya, dan R. Zein. 1989. Kebutuhan protein dan energi dalam pakan ayam buras. hlm. 598-605. Prosiding Seminar Nasional Peternakan dan Pengem-bangan Peternakan di Sumatera dalam Menyongsong Era Tinggal Landas. Fakultas Peternakan Universitas Andalas, Padang, 4-15 September 1988. Resnawati, H., A. Gozali, dan Supriadi. 1991. Kebutuhan imbangan protein dan energi dalam ransum ayam nunukan

(12)

periode pertumbuhan. hlm. 204-208. Prosiding Seminar Pengembangan Peternakan dalam Menunjang Pem-bangunan Ekonomi Nasional, Purwo-kerto, 4 Mei 1991. Fakultas Peternakan, Universitas Jenderal Soedirman, Pur-wokerto.

Resnawati, H., A.G. Nataamijaya, U. Kusnadi, H. Hamid, S.Iskandar, dan Sugiono. 2000. Optimalisasi teknologi budidaya ternak ayam lokal penghasil daging dan telur. hlm. 172-176. Pro-siding Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner, Cisarua, Bogor, 18-19 September 2000. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor.

Resnawati, H. dan I.A.K. Bintang. 2005. Kebutuhan pakan ayam kampung pada periode pertumbuhan. hlm. 138-141. Prosiding Lokakarya Nasional Inovasi Teknologi Pengembangan Ayam Lokal, Semarang, 26 Agustus 2005. Kerjasama Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan dengan Fakultas Peternakan Universitas Dipo-negoro, Semarang.

Resnawati, H. 2010. Inovasi Teknologi Pemanfaatan Bahan Pakan Lokal Mendukung Pengembangan Industri Ayam Kampung. Orasi Pengukuhan Profesor Riset Bidang Pakan dan Nutrisi Ternak. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Jakarta. 66 hlm.

Sartika, T. dan S. Iskandar. 2007. Mengenal Plasma Nutfah Ayam Indonesia. Balai Penelitian Ternak, Bogor. 140 hlm. Sayadi, A.J., B. Navisdshad, A.

Abol-ghasemi, M. Royan, and R. Seighalani. 2005. Effects of dietary minerals premix reduction or withdrawal on broiler per-formance. Int. J. Poult. Sci. 4(11): 896-899.

Scott, M.L., M.C. Neishem, and R.J. Young. 1982. Chicken Nutrition. 3rd Ed. M.L.

Scott & Associates, Ithaca, New York. Sidadolog, J.H.P. dan T. Yuwanta. 2009. Pengaruh konsentrasi protein-energi pakan terhadap pertambahan berat badan, efisiensi energi dan efisiensi protein pada masa pertumbuhan ayam merawang. J. Anim. Prod.11(1): 15-22. Sinurat, A.P. 1999. Penggunaan bahan

pakan lokal dalam pembuatan pakan ayam buras. Wartazoa 9(1): 12-20. Swennen, Q., G.P.J. Janssens, E.

Decuy-pere, and J. Buyse. 2004. Effect of substitution between fat and protein on feed intake and its regulatory mechanisms in broiler chicken: Energy and protein metabolism and diet-induced thermogenesis. Poult. Sci. 83(12): 731-742.

Swennen, Q., E. Decuypere, and J. Buyse. 2007. Implications of dietary macro-nutrients for growth and metabolism in broiler chickens. World Poult. Sci. Assoc. J. 63(4): 541-556.

Washburn, K.W., R.A. Guill, and H.M. Edwards, Jr. 1975. Influence of genetic differences in feed efficiency of young chickens on derivation of metabolizable energy from the diet and nitrogen retention. J. Nutr. 105: 726-732. Zainuddin, D. dan S. Iskandar. 1988. Pakan

ayam pedaging komersial dicampur dengan dedak padi yang diberikan pada anak ayam kampung (buras). hlm. 619-630. Prosiding Pengembangan Peter-nakan di Sumatera dalam Menyong-song Era Tinggal Landas, Padang, 14-15 September 1988. Fakultas Peter-nakan Universitas Andalas.

Referensi

Dokumen terkait

Menurut Ibu / Bapak, bagaimana kualitas MATA ACARA...program acara BERITA (NEWS) di stasiun televisi selama ini dalam hal...... Apakah sangat baik, baik, biasa saja, buruk atau

Vevi Oktriana   Tgl/Honor 2008   Alamat Cot Mesjid Kec.Samatiga Kab. Aceh Barat.   Sumber Anggaran – Keterangan Bakti  32... Kenyamanan belajar murid 

Secara simultan, variabel kompensasi (X1) dan variabel pengembangan karier (X2) sama-sama memiliki pengaruh yang positif terhadap variabel komitmen kerja (Y). Hal

lainnya secara mandiri, maka Busuu.com layak dikunjungi dan mendaftar sebagai pengguna agar dapat menguasai materi pelajaran bahasa yang telah disusun dengan baik dan

Abstrak: Pada tataran tertentu, para ulama berbeda dan tidak sepakat tentang beberapa persoalan hukum. Ketidaksepakatan itu dilatarbelakangi oleh berbagai hal, salah satu di

Pengawasan dan pengendalian juga merupakan tindakan preventif untuk mencegah agar para tenaga kependidikan tidak melakukan penyimpangan dan lebih berhati-hati dalam

1) Sistem pendukung keputusan pengadaan raw material pembuatan mie instan menggunakan metode AHP ini menjadi bagian dari proses penentuan pengambilan keputusan raw material