• Tidak ada hasil yang ditemukan

Referat Tatalaksana Anemia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Referat Tatalaksana Anemia"

Copied!
38
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

Anemia masih menjadi masalah utama bagi banyak negara dengan perkiraan dua juta manusia di dunia menderita karena anemia. The Household Health Survey 2001 melaporkan Indonesia sebagai daerah yang endemis malaria dan helminthiasis dimana prevalensi anemia pada anak usia sekolah dan remaja adalah 26,5%. Penyebab utama anemia pada anak di Indonesia adalah defisiensi besi. Pada kondisi yang kronis manifestasi klinisnya adalah lelah, lemah dan penurunan konsentrasi. Hal ini juga dihubungkan dengan helminthiasis, malaria dan tuberkulosis. Deteksi dini pada anemia sangat dibutuhkan sehingga intervensi dapat segera dilakukan untuk mencegah morbiditas yang tinggi.1

Transfusi darah sering menyelamatkan kehidupan, misalnya dalam kasus-kasus yang gawat, perawatan neonatus prematur yang intensif modern, anak dengan kanker, dan penerima cangkok organ adalah tidak mungkin tanpa transfusi.2 Transfusi darah merupakan tindakan pengobatan pada pasien (anak, bayi dan dewasa) yang diberikan atas indikasi. Kesesuaian golongan darah antara resipien dan donor merupakan salah satu hal yang mutlak.

Banyak hal yang harus diperhatikan dan dipersiapkan sehingga transfusi dapat dilaksanakan secara optimal. Oleh karena itu, salah satu tugas besar di masa yang akan datang adalah meningkatkan pemahaman akan penggunaan transfusi darah sehingga penatalaksanaannya sesuai dengan indikasi dan keamanannya dapat ditingkatkan. Referat ini diharapkan dapat menjadi penyegaran pengetahuan bagi kita dalam menghadapi kasus anak dan bayi yang memerlukan tindakan transfusi.

(2)

BAB II ANEMIA

II.1. Darah sebagai organ

Darah yang semula dikategorikan sebagai jaringan tubuh, saat ini telah dimasukkan sebagai suatu organ tubuh terbesar yang beredar dalam sistem kardiovaskular, tersusun dari komponen korpuskuler atau seluler dan komponen cairan. Komponen korpuskuler yaitu materi biologis yang hidup dan bersifat multiantigenik, terdiri dari sel darah merah, sel darah putih dan keping trombosit, yang kesemuanya dihasilkan dari sel induk yang senantiasa hidup dalam sumsum tulang. Ketiga jenis sel darah ini memiliki masa hidup terbatas dan akan mati jika masa hidupnya berakhir. Agar fungsi organ darah tidak ikut mati, maka secara berkala pada waktu- waktu tertentu, ketiga butiran darah tersebut akan diganti, diperbaharui dengan sel sejenis yang baru. Komponen cair yang juga disebut plasma, menempati lebih dari 50 volume % organ darah, dengan bagian terbesar dari plasma (90%) adalah air, bagian kecilnya terdiri dari protein plasma dan elektrolit. Protein plasma yang penting diantaranya adalah albumin, berbagai fraksi globulin serta protein untuk faktor pembekuan dan untuk fibrinolisis.3,4

Peran penting darah adalah sebagai organ transportasi, khususnya oksigen(O2), yang dibawa dari paru- paru dan diedarkan ke seluruh tubuh dan kemudian mengangkut sisa pembakaran (CO2) dari jaringan untuk dibuang keluar melalui paru- paru. Fungsi pertukaran O2 dan CO2 ini dilakukan oleh hemoglobin, yang terkandung dalam sel darah merah. Protein plasma ikut berfungsi sebagai sarana transportasi dengan mengikat berbagai materi yang bebas dalam plasma, untuk metabolisme organ- organ tubuh.3,4

Selain itu, darah juga berfungsi sebagai organ pertahanan tubuh(imunologik), khususnya dalam menahan invasi berbagai jenis mikroba patogen dan antigen asing. Mekanisme pertahanan ini dilakukan oleh leukosit (granulosit dan limfosit) serta protein plasma khusus (immunoglobulin).3,4

Fungsi lain yang tidak kalah penting yaitu peranan darah dalam menghentikan perdarahan (mekanisme homeostasis) sebagai upaya untuk mempertahankan volume darah apabila terjadi kerusakan pada pembuluh darah. Fungsi ini dilakukan oleh mekanisme fibrinolisis, khususnya jika terjadi aktifitas homeostasis yang berlebihan.3,4

Apabila terjadi pengurangan darah yang cukup bermakna dari komponen darah korpuskuler maupun non korpuskuler akibat kelainan bawaan ataupun karena penyakit yang

(3)

didapat, yang tidak dapat diatasi oleh mekanisme homeostasis tubuh dalam waktu singkat maka diperlukan penggantian dengan jalan transfusi darah, khususnya dari komponen yang diperlukan.3,4

II. 2. Definisi Anemia

Anemia didefinisikan sebagai penurunan volume eritrosit atau kadar Hb sampai dibawah rentang nilai yang berlaku untuk orang sehat.5

II. 3. Etiologi

Penyebab anemia bisa saja langsung berkaitan dengan sel darah merah namun bisa juga berkaitan dengan faktor eksternal, oleh karena itu dapat dibagi menjadi 3 kategori utama penyebab anemia, yaitu :

 Anemia karena penurunan jumlah pembentukan sel darah merah o Kegagalan sumsum tulang

 Diamond-Blackfan anemia

Anemia jenis ini relatif jarang sekali terjadi. Biasanya menyerang neonatus hingga 1 tahun. Diagnosis yang cepat sangat penting karena pengobatan dengan kortikosteroid akan memberikan hasil peningkatan eritropoeisis. Mekanisme terjadinya masih belum jelas tapi diduga genetik dari autosomal dominan & autosomal resesif sangat berperan dalam mekanisme anemia jenis ini. Gejala klinis nya adalah pucat bahkan biasanya sampai diikuti dengan penyakit jantung kongestif. Temuan laboratorium dari anemia jenis ini adalah anemia makrositik dengan retikulositopenia, netrofil biasanya normal atau bisa saja menurun, platelet normal atau naik. Sumsum tulang didapatkan penurunan dari prekursor eritroid. Terapi kortikosteroid oral harus langsung diberikan ketika diagnosa dibuat dengan dosis 2 mg/kg/hari. Jika pasien tidak memberikan perbaikan dengan kortikosteroid bisa diberikan transfusi PRC. Angka remisi pada kasus pasien dengan anemia jenis ini mencapai 20%. Prognosis pasien yang responsif terhadap kortikosteroid adalah bagus, sedangkan yang memerlukan transfusi darah agak kurang bagus mengingat efek samping yang ditimbulkan.

(4)

Anemia ini relatif sering menjadi penyebab dari acquired anemia pada anak anak, biasanya menyerang anak umur 6 bulan hingga 4 tahun. Gejala klinis nya adalah pucat, jenis anemia adalah normositik dengan retikulositopenia. Hitung platelet normal atau meningkat, netrofil normal atau menurun, coombs test (-). Pemeriksaan sumsum tulang menunjukkan hipoplasia eritroid awalnya. Terapinya adalah pemberian PRC bila ada gangguan jantung. Anemia teratasi bila terjadi peningkatan hitung retikulosit selama 4-8 minggu setelah ditegakkan diagnosis.

o Gangguan produksi eritropoietin

 Anemia pada penyakit gagal ginjal

Pada penyakit ginjal anemia yang terjadi adalah anemia mikrositik. Pemeriksaan sel darah putih dan platelet adalah normal, sumsum tulang menunjukkan hipoplasia eritroid dan penurunan hitung retikulosit. Terapinya dengan memberi PRC, atau dengan human rekombinan eritropoesis.

 Anemia karena penyakit infeksi kronis

Anemia biasa menyertai suatu infeksi kronis atau penyakit inflamasi. Derajat anemia bervariasi dimulai dari ringan, sedang dengan hemoglobin level 8-12 g/dL. Anemia terjadi karena sitokin inflamasi yang menginhibisi eritropoesis, dan merusak pelepasan besi dari sel retikuloendotelial. Kadar eritropoetin rendah pada anemia yang parah. Kadar serum iron rendah, tapi total iron binding capacity (TIBC) rendah berbeda dengan anemia defisiensi Fe. Terapinya adalah mencari penyebab inflamasi nya, bila terkontrol umumnya akan menormalkan kebali kadar hemoglobin.

 Anemia karena hipotiroid

Beberapa orang dengan hipotiroid menderita anemia. Kadang kadang anemia terdeteksi sebelum diagnosa hipotiroid ditegakkan. Penurunan kecepatan pertumbuhan anak dengan anemia perlu dicurigai menderita hipotiroid. Anemia nya adalah mikrositik atau makrositik. Terapi replacement dengan hormone tiroid sangat efektif untuk mengkoreksi anemia.

(5)

o Anemia karena gangguan nutrisi Anemia karena defisiensi Fe

Bayi cukup bulan terlahir dengan cadangan besi yang cukup untuk 4-5 bulan pertama.Setelah itu, besi yang cukup sangat diperlukan untuk kecepatan pertumbuhan. Karena alasan ini nutrisi besi sangat diperlukan pada usia 6-24 bulan. Defisiensi kurang dari 6 bulan bisa disebabkan karena premature, berat bayi lahir rendah, neonatal anemia. Setelah itu defisiensi sering disebabkan karena kehilangan darah. Anemia defisiensi besi merupakan hasil akhir keseimbangan besi yang berlangsung lama. Bila kemudian keseimbangan besi yang negatif ini menetap akan menyebabkan cadangan besi yang berkurang. Ada tiga tahap dari anemia defisiensi besi, yaitu :

1. Iron depletion atau iron deficiency

ditandai dengan berkurangnya cadangan besi atau tidak adanya cadangan besi. Hemoglobin dan fungsi protein besi lainnya masih normal. Pada keadaan ini terjadi peningkatan absorpsi besi non heme. Feritin serum menurun sedangkan pemeriksaan lain untuk mengetahui adanya kekurangan besi masih normal

2. Iron deficient erythropoietin

Didapatkan suplai besi yang tidak cukup untuk menunjang eritropoiesis. Dari hasil pemeriksaan laboratoium diperoleh nilai besi serum menurun dan saturasi transferin menurun sedangkan total iron binding capacity(TIBC) meningkat dan free erytrocyt porphyrin (FEP) meningkat.

3. iron deficiency anemia

Keadaan ini merupakan stadium lanjut dari defisiensi Fe. Keadaan ini ditandai dengan cadangan besi yang menurun atau tidak ada, kadar Fe serum rendah, saturasi transferin rendah, dan kadar Hb atau Ht yang rendah.

(6)

Gejalanya bervariasi, defisiensi besi ringan biasanya asimtomatik, pada defisiensi yang lebih berat didapatkan kulit pucat, lemas, iritabilitas, hambatan dalam perkembangan motorik. Pada pemeriksaan darah tepi Sel darah merahnya mikrositik & hipokromik diiikuti dengan penurunan nilai MCV & MCH. Terdapat sel target, teardrop, elliptical, fragmented sel darah merah.Platelet meningkat dengan morfologi normal. Serum iron dan ferritin rendah, peningkatan TIBC disertai dengan penurunan saturasi transferin. Terapi dengan pemberian preparat besi 6 mg/kg/hari dibagi dalam tiga dosis. Pemantauan terapi ini adalah meningkatnya retikulosit dalam 3-5 hari maksimal 5-7 hari (kasus ringan). Pada kasus sedang sampai berat peningkatan retikulosit dilihat dalam 1 minggu setelah terapi inisiasi. Total memerlukan 4-6 minggu untuk mengalami resolusi dari anemia ini setelah pemberian terapi yang adekuat. Namun terapi dilanjutkan selama beberapa bulan untuk keperluan mengisi cadangan besi tubuh.

Anemia megaloblastik

Anemia megaloblastik adalah jenis anemia makrositik yang disebabkan oleh defisiensi kobalamin, asam folat. Kobalamin defisiensi karena kekurangan asupan makanan bisa terjadi pada bayi yang diberikan ASI dari seorang ibu yang seorang vegetarian. Pada anak defisiensi kobalamin bisa disebabkan karena malabsorpsi usus, seperti pada crohn disease, pertumbuhan bakteri berlebihan pada usus.

Pada defisiensi asam folat bisa disebabkan karena intake yang tidak adekuat, malabsorpsi, peningkatan kebutuhan folat. Asam folat diserap di jejunum.Bayi dengan anemia ini gejalanya adalah pucat, ikterus ringan. Pada anak bisa memberikan gejala parestesi, lemas, penurunan sensai proprioceptif. Temuan laboratorium berupa peningkatan nilai MCV dan MCH. Gambaran darah tepi menunjukkan anisositosis dan poikilositosis. Netrofil besar dan memiliki segmen. Sel darah putih dan trombosit normal, namun bisa juga menurun. Pemeriksaan sumsum tulang menunjukkan hyperplasia eritroid dengan precursor erithroid dan myeloid yang besar. Serum bilirubin indirek meningkat.

Anak dengan defisiensi kobalamin memiliki serum vitamin B12 yang rendah, tapi 30% anak dengan defisiensi asam folat juga menunjukkan serum vitamin B12 yang rendah.

(7)

Serum metabolit intermediate seperti asam metilmalonil dan homosistein dapat membantu dalam penegakkan diagnosis. Peningkatan asam metilmalonil adalah defisiensi kobalamin, sedangkan peningkatan homosistein adalah karena defisiensi kobalamin dan asam folat.

Terapinya adalah dengan perbaikan intake yang adekuat dengan suplemen oral. Pada kasus malabsorpsi usus harus dibantu dengan nutrisi parenteral. Defisiensi asam folat diatasi dengan oral asam folat. Bayi dengan resiko terkena defisiensi asam folat karena premature misalnya sering diberi asam folat untuk profilaksis.

 Anemia karena kerusakan sel darah merah (hemolitik)  Hemoglobinopathies

 α thalasemia

Terjadi karena delesi pada satu atau lebih rantai α globin pada kromosom nomor 16. Normal diploid sel memiliki 4 rantai α globin Oleh karena itu keburukan dari α thalasemia sindrom ini tergantung dari nomor gen yang mengalami delesi. Gejala klinis tergantung pada jumlah gen α yang terdelesi. Anak dengan satu gen delesi asimtomarik dan tidak memiliki kelanan hematologi. Hemoglobin dan MCV level normal. Elektroforesis Hb pada periode neonatal menunjukkan 0-3% Hb bart’s. Anak dengan dua gen delesi biasanya masih asimtomatik. Nilai MCV kurang dari 100 fl pada saat lahir. Pemeriksaan hematologi menunjukkan nilai hemoglobin yang rendah diikuti dengan nilai MCV yang rendah juga. Gambaran darah tepi menunjukkan gambaran dengan target sel. Elektroforesis Hb menunjukkan 2-10% Hb bart’s. Anak dengan tiga gen delesi menunjukkan gejala mikrositik hemolitik anemia ringan sedang. Kemungkinan juga bisa disertai hepaomegali dan kelainan tulang karena proses infiltrasi. Hitung retikulosit meningkat, elektroforesis Hb menunjukkan 15-30% Hb bart’s. Anak dengan empat gen delesi mengalami anemia intrauterine, asfiksia dan terjadi kematian neonates setelah lahir. Kulit yang sangat pucat serta hepatomegali yang ekstrim merupakan gejala klinis khas. Elektroforesis Hb menunjukkan >75% Hb bart’s.

(8)

Anak dengan 2 gen delesi (trait) tidak memerlukan terapi. Hb H disease ( 3 gen delesi ) memerlukan terapi berupa suplemen asam folat. Anemia ini bisa mengalami eksaserbasi maka transfuse akan diperlukan.Hipersplenisme bisa terjadi dan memerlukan splenectomi. Konseling genetic dan diagnosis prenatal sangat diperlukan oleh suatu keluarga yang berisiko terhadap hydrop fetalis.

 β thalassemia

Normal pada diploid sel memiliki dua β globin gen pada kromosom 11, Ada yang tidak terbentuk rantai β sama sekali dikenal dengan β° thalasemia, jika masih rantai β masih terbentuk namun jumlahnya tidak cukup dikenal dengan β+ thalasemia. Anak dengan β thalasemia bisa heterozigot atau homozigot. Anak dengan heterozigot gen β thalasemia akan menderita β thalasemia minor. Untuk yang homozigot gen β thalasemia akan menderita β thalasemia mayor (cooley anemia).

Anak dengan β thalasemia minor biasanya asimtomatik dengan pemeriksaan fisik ang normal. Pada β thalasemia mayor normal pada saat lahir namun akan menderita anemia yang progresif dalam satu tahun pertama. Bila kelainan ini tidak di transfuse anak akan menderita gangguan tumbuh kembang, hepatosplenomegali, pelebaran medulla space dengan penipisan cortex tulang yang berujung pada deformitas wajah (prominent forehead & maxilla).

Pada β thalasemia minor nilai MCV akan menurun disertai atau tidak diserta anemia ringan. Gambaran darah tepi terlihat hipokrom, target sel, basofilik stripling. Elektroforesis Hb dilakukan pada umur 6-12 bulan akan menunjukkan level dari Hb A2 dan Hb F yang meningkat. Suspek β thalasemia mayor bila tidak ditemukan Hb A pada neonatal skrining. Bayi terlahir dengan hematologi normal namun akan menderita anemia yang berat setelah umur 1 bulan. Gambaran darah tepi menunjukkan hipokrom, mikrositik anemia dengan anisositosis &

(9)

poikilositosis. Target sel sangat jelas. Level Hb biasanya turun jauh menjadi 5-6 g/dL. Platelet, sel darah putih & serum bilirubin meningkat. Pemeriksaan sumsum tulang menunjukkan hyperplasia eritroid.

Terapi untuk β thalasemia mayor adalah dengan transfuse dengan iron chelation dan transplantasi sel. Target Hb dinaikkan sampai 9-10 g/dL. Transplantasi sumsum tulang akan mengobati smpai 90%, bisa dilakukan pada pasien yang memiliki donor dari saudara kandung dengan HLA yang identik.

Β thlasemia minor tidak ada terapi yang spesifik.  Sickle cell disease

Anak dengan kelainan ini terlahir normal tapi gejala muncul sebelum 3-4 bulan. Anemia hemolitik sedang berat terjadi pada umur 1 tahun dengan gejala pucat, lemas, ikterus, splenomegali.

Anak dengan sickle sel anemia menunjukkan nilai Hb 7-10g/dL. Hitung retikulosit meningkat. Gambaran darah tepi menunjukkan gambaran khas sickle cell dan target cell.

Profilaksis penisilin diberikan pada umur 2 bulan-5 tahun. Transfusi diperlukan untuk meningkatkan pembawas oksigen. Transfusi tukar dilakukan untuk mengurangi sickle cell yang bersirkulasi tujuannya adalah mengurangi vasooklusif. Transplantasi stem sel bisa menyembuhkan sickle cell anemia, tapi aplikasinya sangat terbatas karena terlalu berisiko tinggi Identifikasi awal dikombinasikan dengan pengobatan yang komprehensif terbukti mngurangi kematian pada anak.

 Kelainan metabolisme sel darah merah  defisiensi enzim G6PD

defisiensi enzim ini adalah penyebab yang sering pada defek membrane sel darah merah. Mekanismnya adalah ketika terjadi ketidak stabilan enzim ini maka tidak bisa terbentuk nicotinamide adenine dinucleotide phosphate untuk menjaga penurunan glutathione  melindungi sel darah merah dari stress oksidatif. Oleh karena itu anak dengan enzim ini bukan

(10)

menderita anemia kronik tapi hanya episodic saja ketika terpajan zat oksidatif.

Bayi dengan defisiensi enzim ini akan menderita hiperbilirubin dan memerlukan fototerapi atau tranfusi tukar. Gejala defisiensi enzim ini pada anak adalah asimtomatik dan normal diantara episode kejadian.

Pada pemeriksaan laboratorium Hemoglobin, hitung retikulosit, gambaran darah tepi adalah normal. Saat serangan bisa terjadi penurunman Hb, blister or bite sel akan terlihat, hitung retikulosit akan menigkat.

Pengobatannya adalah dengan menghindari zat zat oksidatif. Bila disertai infeksi bisa diberikan antibiotic. Transfusi diperlukan bila ada gejala kardiovaskular.

 Anemia karena kehilangan darah

 Mencari daerah yang diduga menjadi sumber kehilangan darah ( Saluran pencernaan, intra abdomen, saluran pernafasan)

II. 4. Epidemiologi

Di negara-negara berkembang, prevalensi anemia sangat tinggi. Hal ini terutama berlaku pada anak usia prasekolah, di mana prevalensi mencapai setinggi 90% dari populasi sampel yang diteliti. Meskipun kekurangan zat besi diidentifikasi sebagai faktor utama, seringkali etiologi multifaktorial, termasuk infeksi berulang atau kronis (bakteri, parasit), kekurangan gizi,dan kekebalan berkurang. Selain itu, prevalensi bentuk anemia keturunan tertentu (misalnya, talasemia, penyakit sel sabit) bervariasi dengan etnis dan, dengan demikian, dengan geografi. Sebagai contoh, talasemia α, yang mungkin merupakan kelainan gen tunggal yang paling umum di dunia, memiliki frekuensi sebanyak 68% di Pasifik barat daya, 20-30% di Afrika barat, dan 5-10% di wilayah Mediterania . mutasi talasemia β memiliki frekuensi tinggi di Mediterania, Afrika utara, Asia Tenggara, dan India, tetapi mereka memiliki frekuensi rendah di Inggris, Islandia, dan Jepang.

Anemia defisiensi besi (ADB) merupakan masalah defisiensi nutrien tersering pada anak di seluruh dunia terutama di negara sedang berkembang termasuk Indonesia. Penyakit ini disebabkan oleh kurangnya zat besi dalam tubuh penderita.

Secara epidemiologi, prevalens tertinggi ditemukan pada akhir masa bayi dan awal masa kanak-kanak diantaranya karena terdapat defisiensi besi saat kehamilan dan percepatan

(11)

tumbuh masa kanak-kanak yang disertai rendahnya asupan besi dari makanan, atau karena penggunaan susu formula dengan kadar besi kurang. Selain itu ADB juga banyak ditemukan pada masa remaja akibat percepatan tumbuh, asupan besi yang tidak adekuat dan diperberat oleh kehilangan darah akibat menstruasi pada remaja puteri. Data SKRT tahun 2007 menunjukkan prevalens ADB . Angka kejadian anemia defisiensi besi (ADB) pada anak balita di Indonesia sekitar 40-45%. Survai Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 2001 menunjukkan prevalens ADB pada bayi 0-6 bulan, bayi 6-12 bulan, dan anak balita berturut-turut sebesar 61,3%, 64,8% dan 48,1%.6

II. 5. Gejala Klinis

Berbagai macam gejala dari bermacam macam jenis anemia, yaitu :  Muka pucat, kelelahan, lesu

 Pusing, dan anoreksia.  Ikterik  Urin gelap  Takikardi  Sesak  Intoleransi dingin  Konstipasi II. 6. Diagnosis  Anamnesis

 Menanyakan ada tidaknya gejala gejala anemia

 Menanyakan riwayat keluarga adakah penyakit gangguan pembekuan darah  Pemeriksaan fisik

 Tanda vital : takikardi, takipnoe

 Mata : melihat apakah disertai dengan konjugtiva anemis atau tidak  Jantung : mencari kelainan jantung seperti kardiomegali

 Abdomen : mencari adanya hepatosplenomegali  Kulit & integumen : pucat

 Pemeriksaan penunjang  Laboratorium

Pemeriksaan dasar :

 Pemeriksaan darah lengkap  Hitung retikulosit

 Pemeriksaan darah tepi Pemeriksaan tambahan :

 Kadar bilirubin

 Elektroforesa hemoglobin  SI & TIBC

 Thyroxine & TSH  Asprasi sumsum tulang

(12)

 Rontgen

 Ultrasonografi  untuk mengkonfirmasi adanya pembesaran hepar & lien

II. 7. Pengobatan

Perawatan awal dimulai dengan penilaian hati-hati dari tanda-tanda gejala anemia. Tindakan yang mendukung, seperti pemberian oksigen murni, resusitasi cairan untuk hipovolemia, dan istirahat di tempat tidur atau pembatasan kegiatan untuk kelelahan, mungkin diperlukan. Transfusi dengan sel darah merah dikemas (PRBC) adalah pengobatan secara universal bagi sebagian besar individu dengan anemia akut parah. Adapun tujuan dari transfuse adalah mengembalikan dan mempertahankan volume yang normal peredaran darah, mengganti kekurangan komponen seluler atau kimia darah, meningkatkan oksigenasi jaringan, memperbaiki fungsi homeostasis, tindakan terapi khusus. RBC (PRBC) dosis 10-15 mL / kg selama 3-4 jam. Tingkat transfusi dapat dimodifikasi sesuai dengan situasi klinis. Transfusi dapat diberikan lebih cepat pada individu dengan kehilangan darah akut atau lebih lambat atau dalam Aliquot lebih kecil pada orang dengan gagal jantung kongestif (CHF). Obat-obatan untuk bentuk-bentuk khusus dari anemia mungkin diindikasikan di samping pemberian transfusi darah (misalnya, kortikosteroid untuk anemia hemolitik autoimun, terapi besi untuk anemia kekurangan zat besi).

II. 8. Komplikasi

 Kegagalan jantung

 Kerusakan otak, kegagalan multiorgan, dan kematian.  Gagal tumbuh & kembang

II. 9. Prognosis

Tergantung pada berat ringan nya penyakit dan tatalaksana yang adekuat. Beberapa jenis anemia yang sudah dijelaskan diatas bisa mengalami eksaserbasi. Pada α thalasemia dengan delesi empat gen α memiliki prognosis yang buruk.

(13)

BAB III

TATALAKSANA PASIEN ANEMIA

III. 1. Anemia (yang tidak berat)6

Anak (umur < 6 tahun) menderita anemia jika kadar Hb < 9,3 g/dl (kira-kira sama dengan nilai Ht < 27%). Jika timbul anemia, atasi - kecuali jika anak menderita gizi buruk. Beri pengobatan (di rumah) dengan zat besi (tablet besi/folat atau sirup setiap hari) selama 14 hari. Jika anak sedang mendapatkan pengobatan sulfadoksin-pirimetamin, jangan diberi zat besi yang mengandung folat sampai anak datang untuk kunjungan ulang 2 minggu berikutnya. Folat dapat mengganggu kerja obat anti malaria.

• Minta orang tua anak untuk datang lagi setelah 14 hari. Jika mungkin, pengobatan harus diberikan selama 2 bulan. Dibutuhkan waktu 2 – 4 minggu Untuk menyembuhkan anemia dan 1-3 bulan setelah kadar Hb kembali normal untuk mengembalikan persediaan besi tubuh.

• Jika anak berumur ≥ 2 tahun dan belum mendapatkan mebendazol dalam kurun waktu 6 bulan, berikan satu dosis mebendazol (500 mg) untuk kemungkinan adanya infeksi cacing cambuk atau cacing pita.

• Ajari ibu mengenai praktik pemberian makan yang baik Anemia defisiensi Besi7

Bila kekurangan zat besi terjadi pada masa kehamilan maka akan meningkatkan risiko perinatal serta mortalitas bayi. Gejala yang paling sering ditemukan adalah pucat yang berlangsung lama (kronis) dan dapat ditemukan gejala komplikasi, a.l. lemas, mudah lelah, mudah infeksi, gangguan prestasi belajar, menurunnya daya tahan tubuh terhadap infeksi dan gangguan perilaku.

(14)

a. Bayi kurang dari 1 tahun :

1. Cadangan besi kurang, a.l. karena bayi berat lahir rendah, prematuritas, lahir kembar, ASI ekslusif tanpa suplementasi besi, susu formula rendah besi, pertumbuhan cepat dan anemia selama kehamilan.

2. Alergi protein susu sapi Anak umur 1-2 tahun :

1. Asupan besi kurang akibat tidak mendapat makanan tambahan atau minum susu murni berlebih.

2. Obesitas

3. Kebutuhan meningkat karena infeksi berulang/kronis. 4. Malabsorbsi.

Anak umur 2-5 tahun :

1. Asupan besi kurang karena jenis makanan kurang mengandung Fe jenis heme atau minum susu berlebihan.

2. Obesitas

3. Kebutuhan meningkat karena infeksi berulang/kronis baik bakteri, virus ataupun parasit).

4. Kehilangan berlebihan akibat perdarahan (divertikulum Meckel/poliposis dsb). Anak umur 5 tahun-remaja

1. Kehilangan berlebihan akibat perdarahan(a.l infestasi cacing tambang) dan 2. Menstruasi berlebihan pada remaja puteri.

Penanganan anak dengan anemia defisiensi besi yaitu : 1. Mengatasi faktor penyebab.

(15)

a. Oral

 Dapat diberikan secara oral berupa besi elemental dengan dosis 3 mg/kgBB sebelum makan atau 5 mg/kgBB setelah makan dibagi dalam 2 dosis.

 Diberikan sampai 2-3 bulan sejak Hb kembali normal

 Pemberian vitamin C 2X50 mg/hari untuk meningkatkan absorbsi besi.

 Pemberian asam folat 2X 5-10 mg/hari untuk meningkatkan aktifitas eritropoiesis

 Hindari makanan yang menghambat absorpsi besi (teh, susu murni, kuning telur, serat) dan obat seperti antasida dan kloramfenikol.

 Banyak minum untuk mencegah terjadinya konstipasi (efek samping pemberian preparat besi)

b. Parenteral Indikasi:

 Adanya malabsorbsi

 Membutuhkan kenaikan kadar besi yang cepat (pada pasien yang menjalani dialisis yang memerlukan eritropoetin)

 Intoleransi terhadap pemberian preparat besi oral Pencegahan

1. Meningkatkan pengetahuan masyarakat :

 Tentang gizi dan jenis makanan yang mengandung kadar besi yang tinggi dan absorpsi yang lebih baik misalnya ikan, hati dan daging.

 Kandungan besi dalam ASI lebih rendah dibandingkan dengan susu sapi tetapi penyerapan/bioavailabilitasnya lebih tinggi (50%). Oleh karena itu pemberian ASI ekslusif perlu digalakkan dengan pemberian suplementasi besi dan makanan tambahan sesuai usia.

2. Penyuluhan mengenai kebersihan lingkungan untuk mengurangi kemungkinan terjadinya infeksi bakteri/infestasi parasit sebagai salah satu penyebab defisiensi besi.

(16)

Suplementasi besi:

Diberikan pada semua golongan umur dimulai sejak bayi hingga remaja III. 2. Anemia (yang berat)6

Transfusi darah adalah suatu rangkaian proses pemindahan darah donor ke dalam sirkulasi darah resipien sebagai upaya pengobatan. Bahkan sebagai upaya untuk menyelamatkan kehidupan. Berdasarkan asal darah yang diberikan transfusi dikenal: (1) Homologous transfusi; berasal dari darah orang lain, (2)Autologous transfusi; berasal dari darah sendiri.8

Tujuan transfusi darah adalah mengembalikan dan mempertahankan volume yang normal peredaran darah, mengganti kekurangan komponen seluler atau kimia darah, meningkatkan oksigenasi jaringan, memperbaiki fungsi homeostasis, (5)tindakan terapi khusus.8

Beri transfusi darah sesegera mungkin untuk:6

- Semua anak dengan kadar Ht ≤ 12% atau Hb ≤ 4 g/dl

- Anak dengan anemi tidak berat (haematokrit 13–18%; Hb 4–6 g/dl) dengan beberapa tampilan klinis berikut:

• Dehidrasi yang terlihat secara klinis • Syok

• Gangguan kesadaran • Gagal jantung

• Pernapasan yang dalam dan berat

• Parasitemia malaria yang sangat tinggi (>10% sel merah berparasit).

• Jika komponen sel darah merah (PRC) tersedia, pemberian 10 ml/kgBB selama 3–4 jam lebih baik daripada pemberian darah utuh. Jika tidak tersedia, beri darah utuh segar (20 ml/kgBB) dalam 3–4 jam.

• Periksa frekuensi napas dan denyut nadi anak setiap 15 menit. Jika salah satu di antaranya mengalami peningkatan, lambatkan transfusi. Jika anak tampak mengalami kelebihan cairan karena transfusi darah, berikan furosemid 1–2 mg/kgBB IV, hingga jumlah total maksimal 20 mg.

• Bila setelah transfusi, kadar Hb masih tetap sama dengan sebelumnya, ulangi transfusi.

(17)

• Pada anak dengan gizi buruk, kelebihan cairan merupakan komplikasi yang umum terjadi dan serius. Berikan komponen sel darah merah atau darah utuh, 10 ml/kgBB (bukan 20 ml/kgBB) hanya sekali dan jangan ulangi transfusi. Gunakan darah yang telah diskrining dan bebas dari penyakit yang dapat ditularkan melalui transfusi darah. Jangan gunakan darah yang telah kedaluwarsa atau telah berada di luar lemari es lebih dari 2 jam. Transfusi darah secara cepat dan jumlah yang besar dengan laju >15 ml/kgBB/jam dengan darah yang disimpan pada suhu 4°C, dapat menyebabkan hipotermi, terutama pada bayi kecil.

Indikasi pemberian transfusi darah9

Secara garis besar Indikasi Transfusi Darah adalah:

1. Untuk mengembalikan dan mempertahankan suatu volume peredaran darah yang normal, misalnya pada anemia karena perdarahan, trauma bedah, atau luka bakar luas. 2. Untuk mengganti kekurangan komponen seluler atau kimia darah, misalnya pada anemia, trombositopenia, hipoprotrombinemia, hipofibrinogenemia, dan lain-lain. Keadaan Anemia yang Memerlukan Transfusi Darah:

1. Anemia karena perdarahan

Biasanya digunakan batas Hb 7 – 8 g/dL. Bila Hb telah turun hingga 4,5 g/dL, maka penderita tersebut telah sampai kepada fase yang membahayakan dan transfusi harus dilakukan secara hati-hati.

2. Anemia hemolitik

Biasanya kadar Hb dipertahankan hingga penderita dapat mengatasinya sendiri. Umumnya digunakan patokan 5 g/dL. Hal ini dipertimbangkan untuk menghindari terlalu seringnya transfusi darah dilakukan.

3. Anemia aplastik

4. Leukemia dan anemia refrakter 5. Anemia karena sepsis

6. Anemia pada orang yang akan menjalani operasi

Memberikan Transfusi Darah

(18)

• Golongan darah donor sama dengan golongan darah resipien dan nama anak serta nomornya tercantum pada label dan formulir (pada kasus gawat darurat, kurangi risiko terjadinya ketidakcocokan atau reaksi transfusi dengan melakukan uji silang golongan darah spesifik atau beri darah golongan O bila tersedia)

• Kantung darah transfusi tidak bocor

• Kantung darah tidak berada di luar lemari es lebih dari 2 jam, warna plasma darah tidak merah jambu atau bergumpal dan sel darah merah tidak terlihat keunguan atau hitam

• Tanda gagal jantung. Jika ada, beri furosemid 1mg/kgBB IV saat awal transfusi darah pada anak yang sirkulasi darahnya normal. Jangan menyuntik ke dalam kantung darah.

Lakukan pencatatan awal tentang suhu badan, frekuensi napas dan denyut nadi anak. Jumlah awal darah yang ditransfusikan harus sebanyak 20 ml/kgBB darah utuh, yang diberikan selama 3-4 jam.

Catatan: Buret digunakan untuk mengukur volume darah dan lengan anak dibidai untuk mencegah siku fleksi

2. Selama transfusi

• Jika tersedia, gunakan alat infus yang dapat mengatur laju transfusi • Periksa apakah darah mengalir pada laju yang tepat

• Lihat tanda reaksi transfusi (lihat di bawah), terutama pada 15 menit pertama transfusi

• Catat keadaan umum anak, suhu badan, denyut nadi dan frekuensi napas setiap 30 menit

• Catat waktu permulaan dan akhir transfusi dan berbagai reaksi yang timbul.

3. Setelah transfusi

• Nilai kembali anak. Jika diperlukan tambahan darah, jumlah yang sama harus ditransfusikan dan dosis furosemid (jika diberikan) diulangi kembali.

Reaksi yang timbul setelah transfusi

Jika timbul reaksi karena transfusi, pertama periksa label kemasan darah dan identitas pasien. Jika terdapat perbedaan, hentikan transfusi segera dan hubungi bank darah.

(19)

Tanda dan gejala: Ruam kulit yang gatal Tatalaksana:

 Lambatkan transfusi

 Beri klorfenamin 0.1 mg/kgBB IM, jika tersedia

 Teruskan transfusi dengan kecepatan normal jika tidak terjadi perburukan gejala setelah 30 menit

 Jika gejala menetap, tangani sebagai reaksi hipersensitivitas sedang (lihat bawah).

2. Reaksi sedang-berat (karena hipersensitivitas yang sedang, reaksi non-hemolitik,

pirogen atau kontaminasi bakteri) Tanda dan gejala:

 Urtikaria berat

 Kulit kemerahan (flushing)

 Demam > 38°C (demam mungkin sudah timbul sebelum transfusi  diberikan)

 Menggigil  Gelisah

 Peningkatan detak jantung. Tatalaksana:

 Stop transfusi, tetapi biarkan jalur infus dengan memberikan garam normal  Beri hidrokortison 200 mg IV, atau klorfenamin 0.25 mg/kgBB IM, jika

tersedia

 Beri bronkodilator, jika terdapat wheezing

 Kirim ke bank darah: perlengkapan bekas transfusi darah, sampel darah dari tempat tusukan lain dan sampel urin yang terkumpul dalam waktu 24 jam  Jika terjadi perbaikan, mulai kembali transfusi secara perlahan dengan darah

baru dan amati dengan seksama

 Jika tidak terjadi perbaikan dalam waktu 15 menit, tangani sebagai reaksi yang mengancam jiwa (lihat bagian bawah) dan laporkan ke dokter jaga dan bank darah.

3. Reaksi yang mengancam jiwa (karena hemolisis, kontaminasi bakteri dan syok

septik, kelebihan cairan atau anafilaksis) Tanda dan gejala:

 demam > 380 C (demam mungkin sudah timbul sebelum transfusi diberikan)  menggigil

(20)

 peningkatan detak jantung  napas cepat

 urin yang berwarna hitam/gelap (hemoglobinuria)  perdarahan yang tidak jelas penyebabnya

 bingung

 gangguan kesadaran.

Catatan: pada anak yang tidak sadar, perdarahan yang tidak terkontrol atau syok mungkin merupakan tanda satu-satunya reaksi yang mengancan jiwa.

Tatalaksana

 Stop transfusi, tetapi biarkan jalur infus dengan memberikan garam normal  Jaga jalan napas anak dan beri oksigen (lihat halaman 4)

 Beri epinefrin 0.01 mg/kgBB (setara dengan 0.1 ml dari 1 dalam larutan 10 000)

 Tangani syok

 Beri hidrokortison 200 mg IV, atau klorfeniramin 0.25 mg/kgBB IM, jika tersedia

 Beri bronkodilator jika terjadi wheezing

 Lapor kepada dokter jaga dan laboratorium sesegera mungkin

 Jaga aliran darah ke ginjal dengan memberikan furosemid 1 mg/kgBB IV  Beri antibiotik untuk septisemia

BERBAGAI SEDIAAN DARAH UNTUK TRANSFUSI

A. Transfusi Eritrosit

Eritrosit adalah komponen darah yang paling sering ditransfusikan. Eritrosit ini diberikan untuk meningkatkan kapasitas angkut oksigen darah dan untuk mempertahankan oksigen jaringan yang cukup. Pedoman untuk transfusi eritrosit pada anak dan remaja serupa dengan para dewasa.

Anak dan remaja

Kehilangan akut > 15% volume darah sirkulasi Hb < 80 g/L pada periode preoperatif

Hb < 130 g/L dan penyakit kardiopulmonal berat Hb < 80 g/L dan anemia kronis bergejala

Hb <80 g/L dan gagal sumsusm tulang Bayi dalam umur 4 bulan pertama Hb < 130 g/L dan penyakit paru berat Hb < 100g/L dan penyakit paru sedang Hb < 130 g/L dan penyakit jantung berat Hb < 100 g/L dan operasi besar

(21)

Hb < 80 g/L dan anemia bergejala

Betapapun, transfusi mungkin lebih ketat bagi anak karena kadar Hb normal pada anak lebih rendah dibanding dewasa dan, kecuali pada keadaan tertentu, anak biasanya tidak mempunyai penyakit kardiorespirasi yang mendasari. Jadi, anak seharusnya memiliki kemampuan yang tidak terganggu untuk mengkompensasi kehilangan eritrosit. Benar seperti pada orang dewasa, cara terpenting untuk terapi perdarahan akut, yang terjadi pada pembedahan atau luka pada anak, adalah pertama-tama mengendalikan perfusi jaringan , dengan larutan kristaloid dan/atau koloid. Kemudian, jika keadaan penderita tetap tidak stabil, transfusi eritrosit mungkin terindikasi.

Dengan anemia yang timbul perlahan-lahan, keputusan untuk transfusi eritrosit tidak boleh hanya didasarkan atas kadar Hb, karena anak dengan anemia kronis mungkin tidak bergejala meskipun kadar Hb sangat rendah. Penderita dengan defisiensi besi, misalnya, sering berhasil diterapi dengan besi oral saja, meskipun kadar Hb dibawah 50 g/L. Faktor selain konsentrasi Hb yang perlu dipertimbangkan pada keputusan transfusi eritrosit meliputi : 1. Gejala, tanda dan kapasitas fungsional penderita; (2) adanya atau tidakadanya penyakit kardiorespirasi atau susunan saraf pusat; (3) penyebab dan antisipasi perjalanan anemia; dan (4) terapi alternatif. Pada anemia yang menurut perkiraan akan menetap, harus dipertimbangkan efek anemia pada pertumbuhan dan perkembangan, dan toksisitas potensial transfusi berulang-ulang.

Untuk neonatus, indikasi untuk transfusi eritrosit yang jelas disepakati, yang didasarkan atas penelitian ilmiah terkontrol, tidak ada. Biasanya, eritrosit diberikan untuk mempertahankan Hb darah yang diyakini paling diinginkan untuk tiap status klinis neonatus. Selama minggu pertama kehidupan, semua neonatus yang mengalami penurunan massa eritrosit yang beredar disebabkan oleh faktor fisiologi dan, pada bayi prematur sakit, oleh kehilangan darah akibat flebotomi. Pada bayi cukup bulan sehat, nilai Hb terendah jarang turun sampai dibawah 9 g/dL pada umur kira-kira 10-12 minggu. Penurunan ini terjadi lebih awal dan lebih nyata pada bayi prematur, bahkan pada bayi tanpa komplikasi penyakit, pada bayi dengan kadar Hb rerata turun sampai kira-kira 8 g/dL pada bayi dengan berat lahir 1,0-1,5kg, dan sampai 7 g/dL pada bayi <1,0 kg. Alasan pokok mengapa titik terendah nilai Hb bayi prematur lebih

(22)

rendah daripada bayi cukup bulan adalah bahwa pada prematur curah pada eritropoietin (EPO) relatif berkurang dalam responsnya terhadap anemia.

Pilihan produk eritrosit untuk anak dan remaja adalah suspensi standar eritrosit yang dipisahkan dari darah lengkap dengan pemusingan dan disimpan dalam anti koagulan/medium pengawet pada nilai hematokrit kira-kira 605. Dosis biasa adalah 10-15ml/kg, tetapi volume transfusi sangat bervariasi tergantung pada keadaan klinis (misalnya, perdarahan terus menerus atau sudah berhenti, hemolisis, dan sebagainya). Untuk neonatus, produk pilihan adalah konsentrat PRC (Ht 70-90%) yang diinfuskan perlahan-lahan (2-4 jam) dengan dosis kira-kira 15ml/kgBB.

Di bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM Jakarta, dosis transfusi didasarkan atas makin anemis seorang resipien, makin sedikit jumlah darah yang diberikan per et mal dalam suatu seri transfusi darah dan makin lambat pula jumlah tetesan yang diberikan, untuk menghindari komplikasi gagal jantung. Di bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM Jakarta, dosis yang dipergunakan untuk menaikkan Hb adalah dengan menggunakan modifikasi rumus empiris sebagai berikut:2,3,5

Bila yang digunakan sel darah merah pekat (packed red cells), maka kebutuhannya adalah 2/3 dari darah lengkap, menjadi: 2,3

BB (kg) x 4 x (Hb diinginkan - Hb tercatat)

Untuk anemia yang bukan karena perdarahan, maka teknis pemberiannya adalah dengan tetesan. Makin rendah Hb awal makin lambat tetesannya dan makin sedikit volume sel darah merah yang diberikan. Jika menggunakan packed red cells untuk anemia, lihat tabel 3.3 Tabel 3.3. Dosis PRC untuk transfusi3

Hb penderita (g/dl) Jumlah PRC yg diberikan dlm 3-4 jam

7- 10 10 ml/ kgBB *

5- 7 5 ml/ kgBB **

<5,> 3 ml/ kgBB**

<5,> 3 ml/ kg BB** + furosemid

<5,> Transfusi tukar, parsial atau lengkap

B. Transfusi Trombosit

Suspensi trombosit dapat diperoleh dari 1 unit darah lengkap segar donor tunggal, atau dari darah donor dengan cara/ melalui tromboferesis. Komponen ini masih mengandung sedikit sel darah merah, leukosit, dan plasma. Komponen ini ditransfusikan dengan tujuan menghentikan perdarahan karena trombositopenia, atau

(23)

untuk mencegah perdarahan yang berlebihan pada pasien dengan trombositopenia yang akan mendapatkan tindakan invasive.

Transfusi trombosit harus diberikan kepada penderita dengan angka trombosit <50x109/L, jika ada perdarahan atau direncanakan untuk mengalami prosedur invasif. Penelitian pada penderita trombositopenia dengan gagal sumsum tulang menunjukkan bahwa perdarahan spontan meningkat tajam jika trombosit turun menjadi <20>9/L. Dengan alasan ini maka banyak dokter anak menganjurkan transfusi trombosit profilaksis untuk mempertahankan trombosit >20 x109/L pada anak dengan trombositopenia karena gagal sumsum tulang. Pemberian komponen ini sebagai profilaksis pada pasien tanpa perdarahan terutama menjadi kontroversi bidang onkologi pediatric. Angka tersebut juga menimbulkan kontroversi karena banyak ahli memilih transfusi pada batas 5-10x109/L untuk penderita tanpa komplikasi. Meskipun demikian, transfusi dengan komponen ini mutlak diperlukan oleh pasien leukemia akut yang sedang menjalani kemoterapi, dan mengalami trombositopenia berat (trombosit <>2 , dengan perkiraan setiap unit trombosit akan dapat meningkatkan jumlah trombosit sebesar 10.000/m2

C. Transfusi Neutrofil (Granulosit)

Penggunaan komponen ini untuk profilaksis juga masih kontroversi. Suspensi terbukti tidak/ kurang memberi manfaat, kecuali pada granulositopenia berat. Transfusi granulosit harus dipertimbangkan pada penderita neuropenia, karena sering meninggal karena infeksi bakteri atau jamur yang progresif. Transfusi granulosit ditambahkan pada penderita neutropenia berat (<0,5x109/L) yang disebabkan oleh gagal sumsum tulang. Penderita neutropenia yang mengalami infeksi biasa memberi respon kepada terapi antimikroba saja asalkan fungsi sumsum tulang membaik pada awal infeksi. Penggunaan transfusi granulosit untuk sepsis bakteri yang tidak responsif terhadap antibiotika pada penderita dengan neutropenia berat (<0,5>9/L) telah didukung oleh sebagian besar penelitian, telah dilaporkan selama ini.

Neonatus dan bayi dengan berat badan kurang dari 10 Kg harus menerima 1 -2 x109/Kg neutrofil tiap transfusi granulosit. Bayi dan anak yang lebih besar harus mendapat dosis total 1x1010 tiap transfusi granulosit, sedangkan remaja 2 - 3x1010. Transfusi granulosit harus diberikan setiap hari sampai infeksi menyurut atau neutrofil meningkat hingga 0,5 x109/L.

Di bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM Jakarta, transfusi granulosit juga diberikan pada penderita leukemia, penyakit keganasan lain dan anemia aplastik

(24)

dengan jumlah hitung leukosit < 2000/mm3 dengan suhu > 39°C. Komponen yang disediakan oleh LTD-PMI adalah suspensi buffy coat yang golongan darah ABO-nya cocok.

D. Transfusi Plasma Beku Segar (Fresh Frozen Plasma)

Plasma segar beku adalah bagian cair dari darah lengkap yang dipisahkan kemudian dibekukan dalam waktu 8 jam setelah pengambilan darah. Hingga sekarang, komponen ini masih diberikan untuk defisiensi berbagai factor pembekuan. (Bila ada/ tersedia, harus diberikan factor pembekuan yang spesifik sesuai dengan defisiensinya).Plasma beku segar ditransfusikan untuk mengganti kekurangan protein plasma yang secara klinis nyata, dan defisiensi faktor pembekuan II, V, VII, X dan XI. Kebutuhan akan plasma beku segar bervariasi menurut faktor spesifik yang akan diganti.

Komponen ini dapat diberikan pada trauma dengan perdarahan hebat atau renjatan (syok), penyakit hati berat, imunodefisiensi tanpa ketersediaan preparat khusus, dan pada bayi dengan enteropati disertai kehilangan protein (protein losing enteropathy). Meskipun demikian, penggunaan komponen ini sekarang semakin berkurang. Dan bila diperlukan, maka dosisnya 20-40 ml/ kgBB/hari.

Indikasi lain transfusi plasma beku segar adalah sebagai cairan pengganti selama penggantian plasma pada penderita dengan purpura trombotik trombositopenik atau keadaan lain dimana plasma beku segar diharapkan bermanfaat, misalnya tukar plasma pada penderita dengan perdarahan dan koagulopati berat. Transfusi plasma beku segar tidak lagi dianjurkan untuk penderita dengan hemofilia A atau B yang berat, karena sudah tersedia konsentrat faktor VIII dan IX yang lebih aman. Plasma beku segar tidak dianjurkan untuk koreksi hipovolemia atau sebagai terapi pengganti imunoglobulin karena ada alternatif yang lebih aman, seperti larutan albumin atau imunoglobulin intravena.

Pada neonatus, transfusi plasma beku segar memerlukan pertimbangan khusus. Indikasi transfusi plasma beku segar untuk neonatus meliputi: (1)Mengembalikan kadar eritrosit agar mirip darah lengkap untuk kepentingan transfusi masif, misalnya pada transfusi tukar atau bedah jantung; (2)Perdarahan akibat defisiensi vitamin K; (3)Koagulasi intravaskuler diseminata (DIC) dengan perdarahan; (4)Perdarahan pada defisiensi faktor koagulasi kongenital bila terapi yang lebih spesifik tidak tersedia atau tidak memadai.

(25)

E. Transfusi Kriopresipitat

Komponen ini diperoleh dengan mencairkan plasma segar beku pada suhu 40ºC dan kemudian bagian yang tidak mencair, dikumpulkan dan dibekukan kembali. Komponen ini mengandung faktor VIII koagulan/ anti hemophilic globulin(AHG) sebanyak 80-120 unit, factor XIII yang cukup banyak, factor von Willebrand, dan 150-200 mg fibrinogen.

Komponen ini digunakan untuk pengobatan perdarahan, atau pada persiapan pembedahan penderita hemofilia A, penyakit von Willebrand, dan hipofibrinogenemia serta kadang diberikan juga pada DIC. Dosis yang dianjurkan secara empiris 40-50 unit/ kgBB sebagai loading dose, yang diteruskan dengan 20-25 unit / kgBB setiap 12 jam, sampai perdarahan telah sembuh.

Penggunaannya pada penderita hemofilia A, yaitu untuk menghentikan perdarahan karena berkurangnya AHG. AHG ini tidak bersifat genetic marker antigen seperti granulosit, trombosit, atau eritrosit, tetapi pemberian yang berulang-ulang dapat menimbulkan pembentukkan antibodi yang bersifat inhibitor terhadap faktor VIII. Oleh karena itu pemberiannya tidak dianjurkan sampai dosis maksimal, tetapi diberikan sesuai dosis optimal untuk suatu keadaan klinis.

Hubungan faktor VIII dan gejala perdarahan pada hemofilia Kadar Faktor VIII

(%)

Gejala

1 Perdarahan spontan sendi dan otot 1 – 5 Perdarahan hebat setelah luka kecil 5 – 25 Perdarahan hebat setelah operasi

25 – 50 Cenderung perdarahan setelah luka atau operasi

Cara pemberian kriopresipitat adalah dengan menyuntikkan secara IV langsung, tidak melalui tetesan infus. Komponen ini tidak tahan dalam suhu kamar, jadi diberikan sesegera mungkin setelah mencair.

F. Albumin

Albumin merupakan protein plasma yang dapat diperoleh dengan cara fraksionisasi Cohn. Larutan 5% albumin bersifat isoosmotik dengan plasma, dan dapat segera meningkatkan volume darah. Komponen ini digunakan juga untuk hipoproteinemia (terutama hipoalbuminemia), luka bakar hebat, pancreatitis, dan

(26)

neonatus dengan hiperbilirubinemia. Dosis disesuaikan dengan kebutuhan, misal pada neonatus hiperbilirubinemia perlu 1-3g/kgBB dalam bentuk larutan albumin 5%. G. Imunoglobulin

Komponen ini merupakan konsentrat larutan materi zat anti dari plasma, dan yang baku diperoleh dari kumpulan sejumlah besar plasma. Komponen yang hiperimun didapat dari donor dengan titer tinggi terhadap penyakit seperti varisela, rubella, hepatitisB, atau rhesus. Biasanya diberikan untuk mengatasi imunodefisiensi, pengobatan infeksi virus tertentu, atau infeksi bakteri yang tidak dapat diatasi hanya dengan antibiotika dan lain-lain. Dosis yang digunakan adalah 1-3 ml/kgBB.

H. Transfusi darah autologus

Transfusi jenis ini menggunakan darah pasien sendiri, yang dikumpulkan terlebih dahulu, untuk kemudian ditransfusikan lagi. Hal ini sebagai pilihan jika pasien memiliki zat anti dan tak ada satu pun golongan darah yang cocok, juga jika pasien berkeberatan menerima donor orang lain. Meski demikian, tetap saja tidak lepas sama sekali dari efek samping dan reaksi transfusi seperti terjadinya infeksi. Efek samping lain dan resiko lain transfusi

Komplikasi dari transfusi massif

Transfusi massif adalah transfusi sejumlah darah yang telah disimpan, dengan volume darah yanglebih besar daripada volume darah resipien dalam waktu 24 jam.

Pada keadaan ini dapat terjadi hipotermia bila darah yang digunakan tidak dihangatkan, hiperkalemia, hipokalsemia dan kelainan koagulasi karena terjadi pengenceran dari trombosit dan factor- factor pembekuan. Penggunaan darah simpan dalam waktu yang lama akan menyebabkan terjadinya beberapa komplikasi diantaranya adalah kelainan jantung, asidosis, kegagalan hemostatik, acute lung injury.

Penularan penyakit Infeksi a. Hepatitis virus

Penularan virus hepatitis merupakan salah satu bahaya/ resiko besar pada transfusi darah. Diperkirakan 5-10 % resipien transfusi darah menunjukkan kenaikan kadar enzim transaminase, yang merupakan bukti infeksi virus hepatitis. Sekitar 90% kejadian hepatitis pasca transfusi disebabkan oleh virus hepatitis non A non B. Meski sekarang ini sebagian besar hepatitis pasca transfusi ini dapat dicegah melalui seleksi donor yang baik dan ketat,

(27)

serta penapisan virus hepatitis B dan C, kasus tertular masih tetap terjadi. Perkiraan resiko penularan hepatitis B sekitar 1 dari 200.000 dan hepatitis C lebih besar yaitu sekitar 1:10.000. b. AIDS (Acquired Immune Deficiency syndrome)

Penularan retrovirus HIV telah diketahui dapat terjadi melalui transfusi darah, yaitu dengan rasio 1:670.000, meski telah diupayakan penyaringan donor yang baik dan ketat. c. Infeksi CMV

Penularan CMV terutama berbahaya bagi neonatus yang lahir premature atau pasien dengan imunodefisiensi. Biasanya virus ini menetap di leukosit danor, hingga penyingkiran leukosit merupakan cara efektif mencegah atau mengurangi kemungkinan infeksi virus ini. Transfusi sel darah merah rendah leukosit merupakan hal terbaik mencegah CMV ini.

d. Penyakit infeksi lain yang jarang

Beberapa penyakit walaupun jarang, dapat juga ditularkan melalui transfusi adalah malaria, toxoplasmosis, HTLV-1, mononucleosis infeksiosa, penyakit chagas (disebabkan oleh trypanosoma cruzi), dan penyakit CJD ( Creutzfeldt Jakob Disease).

Pencemaran oleh bakteri juga mungkin terjadi saat pengumpulan darah yang akan ditransfusikan. Pasien yang terinfeksi ini dapat mengalami reaksi transfusi akut, bahkan sampai mungkin renjatan. Keadaan ini perlu ditangani seperti pada RTHA ditambah dengan pemberian antibiotic yang adekuat

e. GVHD(Graft versus Host disease)

GVHD merupakan reaksi/ efek samping lain yang mungkin terjadi pada pasien dengan imunosupresif atau pada bayi premature. Hal ini terjadi oleh karena limfosit donor bersemai (engrafting) dalam tubuh resipien dan bereaksi dengan antigen penjamu. Reaksi ini dapat dicegah dengan pemberian komponen SDM yang diradiasi atau dengan leukosit rendah. Pemeriksaan Yang Berhubungan Dengan Transfusi Darah

Untuk mengetahui jenis pemeriksaan yang harus dilakukan sebelum transfusi dan hal-hal yang kemungkinan akan terjadi setelah transfusi, haruslah diketahui beberapa unsur yang ada di dalam darah yang akan ditransfusikan.Unsur penting yang harus diketahui karena mempunyai unsur antigenik adalah:

1. Eritrosit:

Untuk eritrosit, diperlukan pemeriksaan penggolongan darah menggunakan sistem ABO, Rhesus (Rh), MNS dan P, Kell, Lutheran, Duffy, Kidd, Lewis, dan lain-lain.

(28)

Walaupun sifat antigenik pada leukosit dan trombosit relatif lemah, tetapi saat ini menjadi penting sekali di bidang transplantasi organ, karena bersifat antigen jaringan.

3. Serum:

Sifat antigeniknya lemah, tetapi kadang dapat menimbulkan reaksi transfusi 5,6,9

Transfusi darah yang ideal haruslah mempunyai sifat antigeni darah donor yang cocok seluruhnya terhadap antigen resipien. Hal ini sangat sulit dalam pelaksanaannya. Untuk keperluan praktis, umumnya secara rutin dilakukan pengujian sebagai berikut:

1. Golongan darah donor dan resipien dalam sistem ABO dan Rhesus, untuk menentukan antigen eritrosit. Menentukan golongan Rhesus dilakukan dengan meneteskan complete anti D pada eritrosit yang diperiksa (lihat tabel 5.1).5

Uji golongan darah ABO

Eritrosit Golongan Ditetesi uji sera

Anti A Anti B Anti AB

A + - +

B - + +

AB + + +

O - -

-2. Reverse Grouping, yaitu menentukan antibodi dalam serum donor dan resipien, terutama mengenai sistem ABO (lihat tabel 5.2).

Reverse Grouping

Serum Golongan Darah Ditetesi eritrosit yang diketahui

Sel A Sel B A - + B + -AB - -O + + 3. Cross match

Setelah golongan darah ditentukan, kemudian dilakukan cross match dari darah donor dan resipien yang bersangkutan. Ada dua macam cross match, yaitu major cross match (serum resipien ditetesi eritrosit donor), dan minor cross match (serum donor ditetesi eritrosit resipien). Cross match yang lengkap haruslah dalam tiga medium, yaitu:

a. NaCl Fisiologis

b. Enzim (metode enzim)

c. Serum Coombs (metode Coombs tidak langsung)

Semua pemeriksaan harus dilakukan dalam tabung serologis dan setiap hasil yang negatif harus dipastikan secara mikroskopis. Untuk pemeriksaan yang lengkap tersebut

(29)

diperlukan waktu 2 jam. Dalam keadaan darurat dapat dikerjakan cross match dalam NaCl fisiologis pada gelas obyek. Bahayanya adalah tidak dapat ditentukan adanya incomplete antibody dalam darah resipien atau donor, sehingga risiko reaksi transfusi makin besar.

BAB IV ILUSTRASI KASUS

Pasien 1 2

Nama An. F An. R

Usia/Jenis Kelamin 7 tahun/Perempuan 3 tahun/Laki-laki KU Semakin sulit makan sejak 9 hari

SMRS

Demam sejak 12 hari SMRS RPS Semakin sulit makan sejak 9 hari

SMRS. 1 bulan yang lalu, BB pasien 12 kg, sekarang turun jadi 10 kg.

Demam sejak 12 hari SMRS. Demam muncul mendadak pada pagi hari, hangat melalui

(30)

Sulit makan diikuti dengan demam yang teraba hangat, tidak pernah tinggi dengan perabaan tangan. Tidak ada keluhan BAB, BAB lancar 3x sehari. Jika bermain pasien sering merasa cepat lelah. Pasien jarang mau makan, suka mengorek-ngorek dinding rumah kemudian semennya dimakan.

perabaan tangan dan berlangsung sepanjang hari, pasien sudah berobat, demam turun jika diberikan obat, kemudian naik lagi. Tidak ada keluhan batuk, pilek, BAB, dan BAK. Tidak ada keluhan mimisan dan gusi berdarah. Semenjak sakit, pasien lebih banyak tidur, badan terasa lemas dan tampak pucat.

Riwayat Makanan ASI eksklusif hingga usia 4 bulan. 4-6 bulan dicampur susu formula SGM, pisang, biskuit, bubur susu. 6-12 bulan sudah makan nasi tim. > 1 tahun- sekarang, makan nasi 1-2x/hari, 1 sendok nasi besar, jarang habis. Kadang mau makan sayur bayam, 2x/minggu, 2-3 sendok, daging (-), telur ikan tahu tempe (+), susu SGM jarang minum, 1x/bulan, suka makan mie instan.

ASI eksklusif hanya sampai umur 1 bulan. Setelah 1 bulan, ibu tidak memberikan ASI lagi, hanya susu formula hingga umur 6 bulan. 6-12 bulan, ibu memberikan susu formula, biskuit, bubur susu dan nasi tim. 1 tahun- sekarang pasien tidak ada kesulitan makan.

Pemeriksaan Fisik Keadaan Umum/ Kesadaran

Tampak sakit sedang, compos mentis, tampak pucat.

Tampak sakit sedang, compos mentis, tampak sangat pucat. Status gizi BB/TB = 10/15,5 X 100% = 64,5 %  gizi buruk BB/TB = Tanda vital TD = 90/70mmHg N = 104x/menit S = 37,4oC P = 32x/menit TD = 90/60mmHg N = 120x/menit S = 38oC P = 28x/menit Status generalis yang bermakna Mikrosefali(LK 46 cm), konjungtiva anemis +/+, bibir pucat, perut cekung, hepar teraba 1cm dibawah arcus costae, lien ttm, oedem -/-,

Normosefali (LK 48 cm), konjungtiva anemis +/+, bibir pucat, perut datar, hepar teraba 1cm dibawah arcus costae, lien

(31)

hipotoni, akral dingin, kulit pucat, kering dan bersisik, turgor kulit baik, baggy pants -.

ttm, oedem -, kulit pucat, akral dingin. Laboratorium Leukosit : 11.000/µl Eritrosit : 6,1juta/µl Hb : 10,2 g/dl Ht : 38 % Trombosit : 380.000/µl LED : 10mm/jam Albumin : 4,4g/dl MCV : 38/6,1 x 10 = 62,2 fl (normal 82-92)  mikrositik MCH : 10,2/6,1 x 10 = 16,7 pg (normal 27-31)  hipokrom MCHC : 10,2/38 x 10 = 26,8 % (normal 32-36) Leukosit : 13.600/µl Eritrosit : 1,32 juta/µl Hb : 3,8 g/dl Ht : 10,8 % Trombosit : 153.000/µl MCV : 10,8/1,32 x 10 = 82 fl (normositik) MCH : 3,8/1,32 x 10 = 28,7 pg (normokrom) MCHC : 3,8/10,8 x 10 = 35 % (normal) Besi (Fe/iron) : 91 µg/dl (normal 60-160)

TIBC (daya ikat total) :258 µg/dl (normal 240-400)

Retikulosit : 4% (normal 0,5-1,5) meningkat

Diagnosis Kerja Gizi Buruk Marasmus

Anemia mikrositik hipokrom e.c suspek defisiensi besi

Anemia gravis

Terapi Energi 80 – 100 kkal/kgBB/hari  800 kkal/hari  Diet ML LC 3x175 kal + SF (dancow) 3x100cc Vitamin A 1x200.000 IU As. Folat 1x1 mg PCT 100mg jika suhu ≥ 38oC O2 2l/nasal

IVFD Kaen IB 3cc/kgBB/jam Transfusi PRC I 100cc

Transfusi PRC II 125cc Transfusi PRC III 125 cc Saat transfusi intra lasik 10mg Diet ML LC

PCT 110mg jika suhu ≥38oC Inj. Ampi 4x500mg

Pasien 3 4

(32)

Usia/Jenis Kelamin 2 bulan 3 minggu/Laki-laki 9 bulan/Perempuan

KU Kuning sejak 1 hari SMRS Mencret sejak 2 hari SMRS RPS Kuning sejak 1 hari SMRS. Kuning

awalnya muncul sejak 1 bulan SMRS dengan kuning hanya pada mata saja kemudian merata ke seluruh tubuh sejak 1 hari SMRS. Pasien demam sejak 1 minggu SMRS, demam naik turun dengan perabaaan hangat. Keluar cairan bening bercampur darah dari telinga ka-ki sejak 4 hari SMRS, berhenti setelah 3 jam kemudian muncul kembali sejak 1 hari SMRS. Memiliki riwayat terjatuh dari ayunan 1 bulan yang lalu dengan ketinggian 1 meter, posisi jatuh tengkurap dan keluar darah dari hidung lalu berhenti sendiri. BAB pasien lebih lembek sejak 1 bulan yang lalu, ampas warna kecoklatan, frekuensi 2x/hari. BAK lancar warna kuning biasa.

Mencret 7-10x/hari, awalnya amapas + air, lendir +, darah -. Lalu air>ampas, lendir -, darah -, bau asam. Disertai muntah 2-3x/hari, isi muntah susu + makanan, muntah tidak didahului batuk. 3 hari SMRS, pasien demam, namun tidak tinggi, hangat. Dibawa ke puskesma, dikasih puyer namun keluhan masih ada. 1 minggu SMRS batuk berdahak sulit keluar. Awalnya ASI, namun 2 minggu sebelum sakit diberikan susu formula tambahan Nutrilon, kemudian pasien mencret, sejak sakit diganti SGM LLM.

Riwayat Makanan Awalnya ASI, lalu susu SGM seminggu setelah lahir. Berhenti, dan lanjut ASI lagi sampai sekarang. ASI ibu sedikit. Tidak lagi menggunakan susu formula karena tidak ada biaya.

ASI eksklusif sampai usia 6 bulan. Sampai sekarang masih ASI, dan dibantu susu formula SGM LLM. Bubur susu dan nasi tim sudah diberikan. Pemeriksaan Fisik

Keadaan Umum/ Kesadaran

Tampak sakit berat, somnolen, tampak sangat ikterik.

Tampak sakit sedang, compos mentis, rewel.

Status gizi BB/TB = 3,8/5 x 100 % = 76 %  gizi kurang

BB/TB = 7/9 x 10 = 77%  gizi kurang

Tanda vital N = 132x/menit S = 33,1oC

N = 140x/menit S = 37,7oC

(33)

P = 40x/menit P = 28x/menit Status generalis

yang bermakna

Normosefali, konjungtiva anemis +/ +, sklera ikterik +/+, bercak darah kering di hidung, nch +, retraksi otot leher, hepatomegali 2 cm dibawah arcus costae, turgor sangat menurun, akral dingin dan pucat.

Mikrosefali (LK 42,5 cm), UUB sedikit cekung, konjungtiva anemis +/+, palpebra sedikit cekung, bibir kering, perut sedikit kembung, BU 7x/menit, hepar lien ttm, turgor kulit sedikit turun, Laboratorium Leukosit : 18400/µl Eritrosit : 6,8 juta/µl Hb : 2,1 g/dl Ht : 6 % Trombosit : 494.000/µl MCV : 6/6,8 x 10 = 88 fl (normositik) MCH : 2,1/6,8 x 10 = 30 ( normokrom) MCHC : 2,1/6 x 10 = 35 (normal) Leukosit : 6400/µl Eritrosit : 3,6 juta/µl Hb : 9,6 g/dl Ht : 26 % Trombosit : 348.000/µl MCV : 26/3,6 x 10 = 72,2 fl (mikrositik) MCH : 9,6/3,6 x 10 = 26,6 pg (hipokrom) MCHC : 9,6/26 x 10 = 36,9 % (normal)

Diagnosis Kerja Anemia gravis Diare akut dengan dehidrasi sedang e.c lactose intolerance Anemia mikrositik hipokrom e.c suspek defisiensi besi

Terapi IVFD RL 3cc/kgBB/jam

NGT terbuka

Inj Cefotaxim 3x100 mg

Transfusi PRC I 20cc dengan lasix 4 mg, lalu lanjutkan PRC 2x50 CC Vit. K 1x10mg

Diet Bubur Breda + ASI + LLM

IVFD Kaen 3B 5cc/kgBB/jam Dialac 3x1/2 sct

PCT 4x70mg

Pasien 5 6

Nama An. A An. Z

Usia/Jenis Kelamin 1 tahun 6 bulan/perempuan 5 tahun/perempuan KU Batuk dahak sejak 2 minggu

SMRS

Gusi berdarah sejak 1 hari SMRS

(34)

Frekuensi batuk cukup sering setiap harinya menurut ibu pasien. Pasien sudah dibawa ke klinik dekat rumahnya sebelumnya & diberikan obat namun ibu pasien lupa nama obat obatnya tetapi pasien tidak ada perbaikan. Batuk disertai dengan demam yang terus menerus Pilek (-). Nafsu makan jadi menurun. Buang air kecil dan buang air besar dalam batas normal. Namun pada saat masuk rumah pasien mengalami diare, dengan frekuensi 2 kali, volume kurang lebh 1/3 aqua gelas menurut ibu pasien, ampas (+), warna kuning kehijauan, lender dan darah (-).

Selain itu juga pasien mengeluh panas yang naik turun selama 2 minggu terakhir. Disertai dengan pusing, muntah, lemas, dan pucat. Menurut ibu pasien, pasien pucat sudah beberapa bulan belakangan ini. Pasien tidak begitu mengeluhkan tentang lebam-lebam kebiruan yang terdapat pada kedua tungkainya karena pasien sering seperti ini mulai umur 4 tahun. menurut pengakuan ibu pasien, lebam-lebam kebiruan ini sering hilang timbul dan tempatnya juga berpindah-pindah kadang di tungkai kadang di badan. Pasien mengaku jika terbentur sedikit saja langsung timbul memar dan lebam-lebam. Nafsu makan pasien menurun. BAB N tidak berdarah. BAK banyak, warna kuning jernih.

Riwayat Makanan ASI eksklusif 4 bulan. > 4 bulan ditambah susu formula SGM. 6 bulan – 1 tahun diberikan buah pisang, pepaya, bubur susu, biskuit dan nasi tim. > 1 tahun, pasien mau mkn nasi tapi sedikit. Ayam (+) ½ potong, pasien tidak suka bayam dan hati ayam. Tahu, tempe, wortel + ½ potong/kali makan. Susu sudah jarang.

ASI eksklusif hingga umur 6 bulan. > 6 bulan pasien tetap diberikan ASI dan pisang. Pasien juga sudah mulai mengkonsumsi bubur susu. >1 tahun, nasi 3x/hari, ikan jarang, sayur 1x/hari wortel bayam sedikit, daging, telur, tahu tempe +. Susu kental manis 3x/minggu

(35)

Keadaan Umum/ Kesadaran

Tampak sakit sedang, compos mentis

Tampak sakit sedang, compos mentis.

Status gizi BB/TB = 8,5/10,4 x 100 % = 81,7%  gizi kurang

BB/TB = 15/17,7 x 100% = 86,7%  gizi baik.

Tanda vital N = 120x/menit S = 36,2oC P = 50x/menit TD = 100/60 N = 100x/menit S = 37,2oC P = 28x/menit Status generalis yang bermakna

Normosefali, konjungtiva anemis, sklera ikterik -, nafas cuping hidung -, retraksi sela iga +, ekspirasi memanjang, sn vesikuler, rh +/+, wh -/-, sianosis -, akral dingin -, kulit pucat.

Normosefali, konjungtiva anemis, perdarahan pada gusi, mukosa mulut anemis, hepar dan lien tidak teraba membesar, ekimosis pada dada dan lengan (sedikit), ekstrimitas bawah kanan-kiri (banyak)

Laboratorium Hb : 8,4 g/dl

Leukosit : 3000/uL

Ht : 26%

Trombosit : 322.000/uL Eritrosit : 4,2 juta /uL

MCV : 26/4,2 x 10 = 60 fl (mikrositik) MCH : 8,4/4,2 x 10 = 19 pg (hipokrom) MCHC: 8,4/26 x 10 = 32 pg (normal) LED : 37 mm/jam Hb : 4 g/dl Leukosit : 3400/µl Ht : 12,2 % Trombosit : 16000/ µl Eritrosit : 1,24 juta/ µl MCV : 98,4 MCH : 32,3 MCHC : 32,8 LED : 135mm

Analisa darah tepi dengan kesan pansitopenia dengan limfositosis atipik.

Diagnosis Kerja Suspek bronkopneumoni Anemia mikrositik hipokrom

Anemia Aplastik

Terapi IVFD KaEN 3B 12 tpm

Salbutamol syr 3x0,5 cth PCT syr 3x1 cth

Ceftriaxone 2x400 mg

Bed rest

Hindari provokasi perdarahan IVFD RL 10 tts/menit makro Cefotaxim 2X300 mg

Pyridol 2x1 tab Imudator syr 1x1 cth

(36)

Transfusi PRC 150 cc Transfusi TC 250 cc Transfusi PC 500 cc

1. Dari hasil penelitian pada 6 sample pasien anak yang diambil secara acak, didapatkan bahwa 4 anak perempuan menderita anemia dan 2 anak laki-laki. Tapi hal ini tidak bisa menjadi patokan, karena anemia dapat mengenai anak jenis kelamin apapun dan yang berusia berapapun.

2. Keluhan utama pasien anemia yang datang tidak selalu dengan pucat. Pasien bisa datang dengan gejala demam, mencret, batuk , ikterik, sulit untuk makan ataupun gusi berdarah.

3. Anemia defisiensi besi biasanya baru diketahui diderita pasien ketika pasien melakukan cek darah saat sakit, atau bisa terdeteksi jika pasien memiliki gizi kurang ataupun gizi buruk

4. Pada pemeriksaan fisik ditemukan konjungtiva anemis, kulit tampak pucat atau ikterik, terdapat manifestasi perdarahan.

5. Pada pemeriksaan laboratorium sangat penting diketahui nilai MCV, MCH, MCHC untuk mengetahui secara morfologi pasien termasuk dalam anemia mikrositik hipokrom, normositik normokrom, ataupun makrositik normokrom.

6. Tatalaksana pasien dengan anemia disesuaikan dengan jenis anemia apa yang diderita pasien. Jika anemia berat, yang paling sering diberikan adalah transfusi PRC.

(37)

DAFTAR PUSTAKA

1. Rusmawatiningtyas D, Setyowireni D, Mulatsih S, Sutaryo. Early detection of anemia among school children using the World Health Organization Hemoglobin Color Scale 2006. Paediatrica Indonesiana, Vol. 49, No. 3, May 2009. Hal 135-8.

2. Strauss RG. Transfusi Darah dan Komponen Darah. Nelson Ilmu Kesehatan Anak (Nelson Textbook of Pediatrics), 1996, Jakarta, EGC, volume 2, Edisi 15, hal 1727-32

3. Djajadiman G. Penatalaksanaan Transfusi Pada Anak. Updates in Pediatrics Emergency, 2002, Jakarta, Balai Penerbit FKUI, halaman: 28-41

4. Ramelan S, Gatot D. Transfusi Darah Pada Bayi dan Anak. Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan (Continuing Medical Education) Pediatrics Updates, 2005, Jakarta, IDAI cabang Jakarta, halaman: 21-30

5. Camitta BM. Anemia. Nelson Ilmu Kesehatan Anak (Nelson Textbook of Pediatrics), 1996, Jakarta, EGC, volume 2, Edisi 15, halaman: 1680-1719

6. World Health Organization. Pocket Book of Hospital Care for Children, Guidelines for the management of Common Illnesses with Limited Resources. 2005.

7. Windiastuti E. Anemia Defisiensi Besi Pada Bayi dan Anak. UKK Hematologi-Onkologi Ikatan Dokter Anak Indonesia. Available at : http://www.idai.or.id/kesehatananak.asp. Accesed on May 23, 2012.

8. Sudarmanto B, Mudrik T, AG Sumantri, Transfusi Darah dan Transplantasi dalam Buku Ajar Hematologi- Onkologi Anak, 2005, Jakarta, Balai Penerbit IDAI, halaman: 217-225 9. Gary, R Strange, William R, Steven L, 2002, Pediatric Emergency Medicine, 2nd edition.

Boston: Mc Graw Hill, halaman: 527-529

10. E. Shannon cooper,1992, Clinic in Laboratory Medicine, Volume 12, Number 4, Philadelphia: WB Saunders Company, halaman: 655-665

11. Agustian L, Sembiring T, Ariani A, Lubis B. Effect of iron treatment on nutritional status of children with iron deficiency anemia. Paediatr Indones, Vol. 49, No. 3, May 2009. Halaman 160-164.

(38)

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait

Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat dampak perkembangan toko modern terhadap kinerja pedagang produk pertanian pada pasar tradisional di Kota Bekasi serta

Kemudian peneliti malakukan wawancara dengan guru mata pelejaran IPA Terpadu dan siswa kelas VIII (Lampiran 1 dan 2). Adapun hasil yang diperoleh dari hasil wawancara

Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 16 Tahun 2007 tentang Tata Cara Evaluasi Rancangan Peraturan Daerah tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah dan

Hubungan Mekanika Tubuh Perawat Dengan Resiko Terjadinya Low Back Pain (LBP) pada Perawat Pelaksana di Rumah Sakit Umum Dr Pirngadi Medan Tahun 2014.. xv + 54 hal + 6 tabel + 1 skema

Alamat asal : Semolowaru Elok Blok Q no.3 Kel.Semolowaru Kec.Sukolilo Surabaya Kode Pos 60119. Nama : Yefta Kornelius Sasiang Prodi : Ilmu

stylosa dari Samboja, Kalimantan Timur memiliki aktivitas inhibitor tirosinase yang lebih baik dalam hal monofenolase.. mucronata yang berasal dari

Penganut Aboge tidak hanya menggunakan hisab ini dalam penetapan awal puasa dan pelaksanaan hari raya, tetapi masih banyak lagi kegiatan- kegiatan yang dikerjakan

Abstrak : Limpasan internal disebabkan oleh alih fungsi lahan hijau menjadi lahan terbangun dimana jika terjadi hujan dengan intensitas curah hujan yang tinggi