• Tidak ada hasil yang ditemukan

Terapi Pada Pasien Lanjut Usia dengan Herpes Zoster. Treatment Approach for Elderly Patient with Herpes Zoster

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Terapi Pada Pasien Lanjut Usia dengan Herpes Zoster. Treatment Approach for Elderly Patient with Herpes Zoster"

Copied!
5
0
0

Teks penuh

(1)

Terapi Pada Pasien Lanjut Usia dengan Herpes Zoster

Monica Shendy

Fakultas Kedokteran, Universitas Lampung

Abstrak Herpes zoster merupakan penyakit infeksi oleh virus varicella zoster yang menyerang kulit dan mukosa. Infeksi ini merupakan reaktivasi virus varicella zoster yang masuk melalui saraf kutan selama episode awal cacar air, kemudian menetap di ganglion spinalis posterior. Seorang laki-laki usia 52 tahun mengeluh terdapat bintil-bintil kemerahan yang terasa perih dan panas dan semakin meluas sejak 5 hari yang lalu. Diagnosis herpes zoster pada pasien ini ditegakkan berdasarkan gambaran klinis berupa bintil-bintil bergerombol dalam satu dermatom disertai rasa nyeri. Pasien ini diberikan terapi antiviral dan analgesik, baik topikal maupun sistemik. Terapi antiviral yang diberikan adalah acyclovir 800 mg 5 kali sehari selama 7 hari. Terapi analgesik oral yang diberikan yaitu asam mefenamat dengan dosis 500 mg 3 kali sehari, sedangkan terapi analgesik topikal yang diberikan adalah bedak asetil salisilat 2%. Kata kunci: herpes zoster, terapi, virus varicella zoster

Treatment Approach for Elderly Patient with Herpes Zoster

Abstract

Shingles is an infection by the varicella zoster virus that attacks the skin and mucosa. This infection is the reactivation of the varicella zoster virus entering through cutaneous nerve during the initial episode of chickenpox, then settled in posterior spinal ganglion. A man aged 52 years with complaints are reddish rash that feels pain and hot and increasingly widespread since five days ago. Diagnosis of shingles is made by clinical features such as rash clustered within a dermatome accompanied by pain. This patien given antiviral therapy and analgesics, both topical and systemic. Antiviral therapy that has been given to this patient is acyclovirr at a dose 800 mg 5 times daily for 7 days. Oral analgesic therapy that has been given to this patient is mefenamic acid at a dose of 500 mg 3 times a day, while the topical analgesic therapy that has been given is acetyl salicylic powder 2%. Keywords: shingles, treatment, varicella zoster virus

Korespondensi: Monica Shendy, alamat jalan Soemantri Brojonegoro, Rajabasa, Bandar Lampung, HP 082175183452, e-mail mocshe999@gmail.com

Pendahuluan

Herpes zoster merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus varicella zoster yang menyerang kulit dan mukosa, infeksi ini merupakan reaktivasi virus varicella zoster yang masuk melalui saraf kutan selama episode awal cacar air, kemudian menetap pada ganglion spinalis posterior.1,2 Infeksi

pertama kali dari virus varicella zoster menyebabkan penyakit chickenpox. Sebanyak 15-30% orang yang pernah terinfeksi oleh virus varicella zoster akan mengalami reaktivasi dan mengalami penyakit herpes zoster yang biasanya muncul berupa bintil-bintil kemerahan dengan rasa nyeri dan gatal pada dermatoma yang terkena.3,4 Kejadian

herpes zoster meningkat tergantung usia, terutama pada usia lebih dari 50 tahun dan lebih sering terjadi pada orang-orang dengan penurunan sistem imun dan pada anak-anak dengan riwayat infeksi varicella intrauterin atau riwayat infeksi varicella yang terjadi pada

tahun pertama kehidupannya sehingga meningkatkan resiko untuk terkena herpes zoster pada usia yang lebih muda.3,5

Diagnosis herpes zoster tergantung pada gambaran klinis. Pada pasien dengan gejala klinis yang sesuai dengan herpes zoster dapat dilakukan pemeriksaan laboratorium walaupun konfirmasi dengan melakukan pemeriksaan laboratorium biasanya tidak diindikasikan. Tes serologi pada orang yang

terkena kontak biasanya tidak

direkomendasikan walaupun mungkin

diperlukan pada keadaan-keadaan tertentu (misalnya pada wanita hamil dan kontak risiko tinggi lainnya).3,6

Rasa nyeri yang persisten setelah lesi kulit pada dermatoma yang terkena menghilang, disebut juga sebagai postherpetic neuralgia (PHN), dapat berkembang dan seringkali muncul pada pasien-pasien dengan usia tua. PHN adalah komplikasi dari herpes

(2)

zoster yang paling menantang dan dapat meningkatkan kelemahan terutama pada pasien dengan penurunan sistem imun.7 Rasa

nyeri yang menetap atau muncul selama lebih dari 90 hari setelah onset lesi merupakan definisi yang diterima sebagai PHN.8 Rata-rata,

PHN berlangsung selama tiga hingga enam bulan, tapi dapat menetap lebih lama dari itu. Keparahan rasa nyeri yang dirasakan dapat berat dan berlangsung terus-menerus, intermiten, atau dicetuskan oleh stimulasi pada area yang terkena.9

Kasus

Tn. M, usia 52 tahun, datang dengan keluhan terdapat bintil-bintil kemerahan yang terasa perih dan panas dan semakin meluas sejak 5 hari yang lalu disertai seluruh badan terasa pegal-pegal, panas dingin, dan nyeri kepala. Bintil-bintil tersebut membentuk gerombolan di daerah punggung kiri yang disertai perih dan nyeri terutama jika terkena sentuhan, misalnya bila bergesekan dengan

pakaian yang dikenakan sehingga

mengganggu aktivitas pasien. Pasien tidak mengeluhkan adanya keluhan nyeri pada mata, maupun gangguan pada pendengaran dan pengecapan.

Pasien mengatakan bahwa ia pernah mengalami penyakit kulit seperti ini sebelumnya dan hanya meminum obat turun panas dan obat sakit kepala seperti yang diminumnya saat ini. Bintil-bintil tersebut hilang seminggu kemudian. Kali ini pasien memutuskan untuk pergi berobat ke dokter karena bintil-bintil meluas dan dirasakan sangat nyeri. Pasien mengatakan bahwa ia tidak menggunakan obat-obatan oles pada bintil-bintil yang muncul di kulitnya saat ini. Pasien juga mengatakan bahwa ia memiliki riwayat penyakit cacar air ketika kanak-kanak. Pasien tidak memiliki riwayat darah tinggi maupun kencing manis, tapi terdapat riwayat penyakit tersebut dalam keluarga. Pasien juga tidak memiliki riwayat penyakit keganasan maupun penyakit-penyakit sistem imun. Pasien merupakan seorang petani yang kesehariannya bekerja di sawah maupun ladang dari pagi hingga sore hari dan selalu terpapar tumbuh-tumbuhan dan juga hewan serangga. Pasien mengatakan bahwa ia beberapa kali mengalami luka akibat gigitan serangga berupa bintil kemerahan yang gatal baik pada tangan maupun kaki.

Pasien jarang berobat ke dokter apabila dirinya atau terdapat anggota keluarganya yang sakit. Ia lebih memilih membeli obat di warung atau apotek tergantung dari gejala yang dialami. Ia dan keluarga hanya pergi berobat ke tempat pelayanan kesehatan jika penyakit yang diderita tidak sembuh dengan obat-obatan yang dibelinya di warung/apotek atau bila penyakitnya tersebut bertambah parah hingga benar-benar mengganggu kehidupan keseharian.

Dari hasil pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum baik, tampak sakit ringan. Status gizi pasien baik dengan berat badan 67 kg, tinggi badan 168 cm, dan indeks massa tubuh (IMT) sebesar 23,73. Status dermatologi pada regio toraks dekstra anterior dan posterior setinggi T2-T5, terdapat vesikel di

atas dasar eritematous multiple, ukuran miliar sampai lentikuler tersebar konfluen. Kesan gambaran zosteriformis dengan batas tegas.

Pasien didiagnosis sebagai herpes zoster berdasarkan dari anamnesis gejala subjektif dan riwayat penyakit serta pemeriksaan fisik dan dermatologis. Pemeriksaan penunjang untuk herpes zoster, yaitu Tzank Test, tidak dilakukan pada pasien ini karena diagnosis sudah dapat ditegakkan dengan data-data klinis yang ada.

Tatalaksana nonfarmakologi dilakukan dengan memberikan edukasi kepada pasien bahwa penyakit yang dideritanya disebabkan oleh virus dan dapat menular menyebabkan penyakit cacar air pada orang/anak yang ditularkannya. Pasien juga diberikan edukasi bahwa penyakit ini dapat kambuh sewaktu-waktu pada saat sistem imun tubuh pasien sedang turun dan juga disarankan agar menghindari menggaruk lesi agar tidak memperburuk kondisi kulit saat ini. Tatalaksana farmakologi yang diberikan pada pasien ini dibagi menjadi dua, yaitu terapi sistemik dan topikal. Terapi sistemik yang diberikan adalah acyclovir 5x800 mg/hari selama 7 hari dan asam mefenamat 3x500 mg, sedangkan terapi topikal yang diberikan adalah bedak salisil 2% pada bintil-bintil yang belum pecah.

Pembahasan

Studi kasus dilakukan pada pasien Tn. M usia 52 tahun dengan keluhan berupa bintil-bintil kemerahan yang terasa perih dan panas dan semakin meluas sejak 5 hari sebelum

(3)

masuk rumah sakit (SMRS). Pasien adalah seorang petani dengan keseharian berada di lingkungan luar dan selalu terpapar tumbuhan dan juga hewan serangga serta melakukan pekerjaan fisik dari pagi hingga sore hari setiap hari.

Diagnosis herpes zoster ditegakkan secara klinis dengan adanya gejala prodormal, adanya lesi kulit yang khas, dan distribusi lesi yang jelas.10 Penampakan lesi kulit pada

herpes zoster cukup jelas sehingga diagnosis secara klinis biasanya akurat sehingga pemeriksaan penunjang biasanya tidak dilakukan.11 Proses penuaan manusia

berhubungan dengan penurunan imun selular yang merupakan predisposisi terjadinya herpes zoster.12 Diagnosis banding bagi herpes

zoster yaitu herpes simplex, impetigo, dematitis kontak, insect bites, dermatitis herpetiformis, dan peyakit kulit akibat erupsi obat.13,14 Pada pasien ini, diagnosis banding

yang mungkin adalah dermatitis kontak dan insect bites yang didapat dari pekerjaan.

PHN merupakan komplikasi yang paling ditakuti oleh pasien dengan herpes zoster. Risiko terjadinya PHN setelah terkena herpes zoster meningkat sesuai usia. Angka insidensi dan durasi kejadian PHN berhubungan langsung dengan usia penderita.10 PHN

didefinisikan sebagai rasa nyeri pada dermatom ditempat lesi sebelumnya berada yang masih dirasakan selama satu bulan atau lebih setelah onset lesi.14

Pasien yang pernah mengalami PHN mendeskripsikan rasa nyeri yang dialaminya sebagai rasa nyeri yang konstan, rasa sakit yang dalam atau rasa terbakar yang dirasakan sangat hebat yang dapat diprovokasi oleh stimulus yang biasanya tidak menimbulkan rasa sakit (allodynia).15,16 Satu dari empat orang akan terkena herpes zoster dalam hidupnya, dan risiko ini meningkat setelah usia 50 tahun, dan mengenai satu dari 2 orang lanjut usia dengan herpes zoster. Hal ini dikarenakan adanya penurunan imunitas selular terhadap virus varicella zoster yang bergantung usia.17,18

Pasien dengan herpes zoster

mendapatkan terapi antiviral, kortikosteroid, dan analgetik. Terapi antiviral yang digunakan adalah acyclovir (800 mg, 5 kali sehari), valacyclovir (1000 mg setiap 8 jam), dan famciclovir (500 mg setiap 8 jam). Semua obat antiviral tersebut dapat menurunkan insidensi

munculnya formasi lesi baru secara signifikan dan mempercepat penyembuhan dan resolusi nyeri akut yang dikeluhkan oleh pasien.19-21,25

Terapi antiviral sebaiknya dimulai dalam waktu 72 jam onset lesi. Walaupun belum terdapat bukti kuat yang mendukung kemanjuran terapi antiviral yang diberikan setelah 72 jam, terdapat penelitian yang menguji efektivitas acyclovir yang diberikan sebelum dengan sesudah 72 jam, keluhan rasa nyeri yang persisten pada penderita tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan, namun hal ini menunjukkan bahwa terdapat keuntungan bahkan pada pemberian acyclovir setelah 72 jam.21 Terapi acyclovir seharusnya

tetap diberikan pada semua pasien dengan ophtalmicus zoster dan orang-orang dengan penurunan sistem imun bahkan apabila pengobatan tertunda hingga lebih dari 72 jam.22,23 Obat-obatan antiviral, yaitu acyclovir,

valacyclovir, dan famciclovir, telah diakui sebagai terapi herpes zoster dan memiliki peran dalam mengurangi durasi PHN.24 Oleh

karena itu, pada pasien ini dengan usia lebih dari 50 tahun dimana pada usia tersebut terjadi penurunan sistem imun selular tetap diberikan terapi antiviral yaitu acyclovir 800 mg 5 kali sehari selama 7 hari walaupun onset lesi sudah lebih dari 72 jam.25

Sebagai pilihan terapi adjuvan pada pasien dengan infeksi herpes zoster, pemberian kortikosteroid oral telah menunjukkan bahwa ia dapat menurunkan proses inflamasi yang terjadi dan meningkatkan perbaikan kosmetik lesi serta mencegah terjadinya perlukaan lebih lanjut.23

Terdapat bukti yang menunjukkan bahwa penggunan steroid yang dikombinasikan dengan acyclovir dapat meningkatkan kualitas hidup terutama pada pasien berusia lebih dari 50 tahun dengan herpes zoster yang terlokalisir.19

Penggunaan kortikosteroid oral sebagai terapi pada pasien-pasien dengan infeksi virus varicella zoster merupakan hal yang kontroversial. Mereka yang menggunakan kortikosteroid menekankan pada kemampuan obat ini untuk menurunkan rasa nyeri yang berhubungan dengan aspek inflamatori yang diakibatkan oleh zoster, sedangkan yang menentang penggunaan kortikosteroid meyakini bahwa, ketika digunakan sebagai terapi adjuvan untuk agen antiviral, kortikosteroid memberikan keuntungan

(4)

tambahan yang terbatas. Lebih jauh lagi, kortikosteroid oral telah menunjukkan bahwa ia dapat menurunkan rasa nyeri yang akut tapi tidak untuk rasa nyeri kronik yang dihubungkan dengan adanya kejadian PHN.11,23,26 Selain itu, kortikosteroid juga

dapat mengakibatkan kerugian yang

berhubungan dengan sistem gastrointestinal bagian atas, seperti dispepsia, dan juga diketahui dapat meningkatkan diabetes, hipertensi, dan osteoporosis, yang sangat merugikan dimana mayoritas penderita herpes zoster merupakan individu golongan lansia.10,21,23

Terapi analgesik merupakan bagian dari pendekatan praktis untuk manajemen herpes zoster terkait rasa nyeri yang dimulai dengan opioid kerja cepat atau dikombinasikan dengan acetaminophen atau obat anti-inflamasi nonsteroid (OAINS). Regimen analgesik sebaiknya disesuaikan dengan kebutuhan pasien dan teloransi terhadap efek samping.21 Antidepresan trisiklik memiliki efek

samping potensial pada interaksi antar-obat dan telah diidentifikasi oleh American Geriatrics Society sebagai kelas obat yang harus dihindari penggunaannya pada pasien-pasien usia tua.27-28 Opioids memiliki efek

samping yang tak terhitung banyaknya, termasuk diantaranya yaitu konstipasi, nausea, dizziness/vertigo, somnolen, vomitus, pruritus, dan stimulasi Central Nervous Sistem (CNS); orang dengan usia tua lebih sensitif pada efek samping opioid. Pengguanaan opioid jangka panjang juga kontroversial karena efek toleransi obat dan memiliki potensi untuk terjadinya ketergantungan dan penyalahgunaan.13,29

Pada pasien ini, terapi analgesik yang menjadi pilihan pengobatan adalah asam mefenamat dengan dosis 500 mg 3 kali sehari. Terapi analgesik topikal juga diberikan pada pasien ini, yaitu bedak asetil salisilat 2% yang memiliki efek analgesik ringan.15,29

Kesimpulan

1. Risiko terjadinya PHN pada orang dengan reaktivasi infeksi virus varicella zoster lebih tinggi pada orang dengan penurunan sistem imun dan meningkat sesuai usia. 2. Penatalaksanaan herpes zoster terdiri dari

terapi antiviral, kortikosteroid, dan analgesik.

3. Terapi antiviral dapat diberikan setelah lebih dari 72 jam onset lesi pada pasien dengan ophtalmikus zoster dan pasien dengan penurunan sistem imun.

4. Terapi kortikosteroid dan analgesik golongan opioid perlu dipertimbangkan penggunaannya pada pasien-pasien lanjut usia mengingat banyaknya efek samping yang mungkin timbul.

Daftar Pustaka

1. Straus SE, Schmader KE. Varicella and herpes zoster. Dalam: Wolff KG, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ. Fitzpatrick’s dermatology in general medicine. Edisi ke-7. New York: McGraw Hill; 2008. hlm. 1886-98. 2. Habif TP. Clinical dermatology: a color

guide to diagnosis and therapy. USA: Mosby Elsevier; 2003.

3. Babahmoodi F, Alikhani A,

Ahangarkani F. Clinical manifestations of herpes zoster, Its comorbidities, and Its complications in North of Iran from 2007 to 2013. Neurol Res Int. 2015; 15(7):112-5.

4. Volpi A, Gatti A. Clinical and psychosocialcorrelates of post-herpeticneuralgia. J Med Virol. 2008; 80(9):1646-52.

5. Opstelten W, Mauritz JW. Herpes zoster and postherpetic neuralgia: incidence and risk indicators using a

general practice research

database. Fam Pract. 2002; 19(5):471– 5.

6. Wung PK, Holbrook JT, Hoffman GS.

Herpes zoster in

immunocompromised patients:

incidence, timing, and risk factors. Am J Med. 2005; 118(12):1416.

7. Pasqualucci A, Pasqualucci V.

Prevention of post-herpetic neuralgia: acyclovir and prednisolone versus epidural local anesthetic and methylprednisolone. Acta

Anaesthesiol Scand. 2000; 44(8):910– 8.

8. Oxman MN & Levin MJ. Vaccination

against herpes zoster and

postherpetic neuralgia. J Infect Dis. 2008; 197(Suppl 2): 228–36.

9. Katz J, Cooper EM, Walther RR, Sweeney EW, Dworkin RH. Acute pain

(5)

in herpes zoster and its impact on health-related quality of life. Clin Infect Dis. 2004; 39(3):342-8.

10. Sampathkumar P, Drage LA. Herpes zoster (shingles) and postherpetic neuralgia. Mayo Clin Proc. 2009; 84(3): 274–80.

11. Gnann JW & Whitley RJ. Herpes zoster. NEJM. 2002; 347(10):340-6. 12. Gagliardi AMZ, Silva BNG. Vaccines for

preventing herpes zoster in older adults. Sao Paulo Med J. 2014; 132(4):255.

13. Espy MJ, Teo R. Diagnosis of varicella-zoster virus infections in the clinical laboratory by LightCycler PCR. J Clin Microbiol. 2000; 38(9):3187-9.

14. Opstelten W, Eekhof J. Treatment of herpes zoster. Can Fam Physician. 2008; 54(3):373–7.

15. Sacks, Gerald M. Need in the treatment of postherpetic. Am J Manag Care. 2013; 19(1 Suppl):S207-13.

16. Truini A, Galeotti F, Haanpaa M.

Pathophysiology of pain in

postherpetic neuralgia: a clinical and neurophysiological study. Pain. 2008; 140(3):405-10.

17. Johnson RW, Bouhassira D. The impact of herpes zoster and post-herpetic neuralgia on quality-of-life. BMC Med. 2010; 8(10):37-40.

18. Johnson RW & Sacks GM. Herpes zoster and postherpetic neuralgia: a review of the effects of vaccination. Aging Clin Exp Res. 2009; 21(3):236-43.

19. Whitleya RJ, Volpib A. Management of herpes zoster and post-herpetic neuralgia now and in the future. J Clin

Virol. 2010; 48(Suppl 1):S20-8.

20. Gnann Jr JW, Whitley RJ. Clinical practice: herpes zoster. N Engl J Med. 2002; 347(5):340–6.

21. Thakur R, Phillip AG. Chronic pain perdpectives: treating herpes zoster and postherpetic neuralgia: an evidence-based approach. 2012; 61(9 Suppl):S9-S15.

22. Wehrhahn WC, Dwyer DE. Herpes zoster: epidemiology, clinical features, treatment and prevention. Aust Prescr. 2012; 35(5):143-7.

23. Galluzzi KE. Managing Herpes zoster and Postherpetic Neuralgia. J Am Osteopath Assoc. 2009; 109(6 Suppl 2):S7-12.

24. Rajan P, Rivers JK. Varicella zoster virus recent advances in management. Can Fam Physician CPC. 2001; 47:2299-304.

25. Djuanda A. Ilmu penyakit kulit dan kelamin. Edisi ke-5. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2007. hlm. 110-2.

26. Schmader K. Herpes zoster in older adults. Clin Infect Dis. 2001; 32(10): 1481-6.

27. Douglas MW, Johnson RW,

Cunningham AL. Tolerability of treatments for postherpetic neuralgia. Drug Saf. 2004; 27(15):1217-33.

28. Campanelli CM. The American

geriatrics society updated beers criteria for potentially innappropriate medication use in older adults. J Am Geriatr Soc. 2012; 60(4):616-31. 29. Smith H, Bruckenthal P. Implications

of opioid analgesia for medically complicated patients. Drugs Aging.

2010; 27(5):417-33.

Referensi

Dokumen terkait

Pada saat konverter frekuensi tersambung ke hantaran listrik AC, motor dapat dimulai dengan saklar eksternal, perintah bus serial, sinyal reference input, atau kondisi masalah

Berdasarkan hasil intrpretasi citra Landsat OLI tahun 2014 dan 2017 diketahui bahwa dalam kurun waktu tersebut telah terjadi deforestasi atau kehilanagan tutupan

orang yang tidak berhak tidak hanya berhasil mendapatkan akses informasi dari dalam sistem komputer, melainkan juga dapat melakukan perubahan terhadap informasi, contohnya

“Upaya Masyarakat Dalam Penanganan tempat Bermukim di Lingkungan Pesisir Kelurahan Bandengan Pekalongan Utara.” Jurnal Teknik Perencanaan Wilayah dan Kota Universitas

Widya Waskita Wijaya Cabang Cilacap masih menggunakan sistem manual baik dalam pembuatan semua jenis surat, pembuatan kwitansi, pencatatan pemasukan dan pengeluaran kas,

Sebuah kota terbangun dari rajutan budaya sepanjang sejarahnya, dan cerita tentang ini bisa dibaca dari ruang dan tempat kota yang tercipta.Kota Bandung mempunyai artifak

Surat Keputusan Pembetulan adalah surat keputusan yang membetulkan kesalahan tulis, kesalahan hitung, dan/atau kekeliruan dalam penerapan ketentuan tertentu dalam peraturan

Gerakan Pemuda Ansor (GP ANSOR), kehadirannya sebagai organisasi kepemudaan sangat harapkan dapat menyelesaikan masalah perilaku menyimpang yang dilakukan oleh