• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peralihan Fungsi.., Rahdil Pahlefi Dasril, FIB UI, 2013

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Peralihan Fungsi.., Rahdil Pahlefi Dasril, FIB UI, 2013"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

PERALIHAN FUNGSI DAN PERANAN ABRI PADA PASCA

REFORMASI

Rahdil Pahlefi Dasril

Sarjana Ilmu Sejarah, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, Depok, 16424, Indonesia

E-mail: rahdilpahlefi@hotmail.com

Abstrak

Penelitian yang berjudul Peralihan Fungsi dan Peranan ABRI pada Proses Awal Reformasi (1997-1999), membahas mengenai peralihan fungsi ABRI dari masa Orde Baru ke masa Reformasi dan kebijakan-kebijakan yang dilakukan oleh ABRI dalam rangka memenuhi tuntutan masyarakat agar ABRI melakukan reformasi internal pasca runtuhnya Orde Baru. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode sejarah yang terdiri dari empat tahapan yaitu heuristik, kritik, interpretasi, dan historiografi. Hasil penelitian ini adalah bahwa mundurnya militer dari politik tidak secara otomatis menjadikan militer profesional. Profesionalisme militer masih berada pada tataran kebijakan yang menghadapi kendala teknis implementasinya.

Transition Function and Role of the Indonesian Military Army on the After

of the Reform

Abstract

The focus of this study is to explain the transition of ABRI function on the New Order era to the Reform era, moreover the policies which conducted by the ABRI in order to fulfill the demands from society that ABRI has to do internal reforms after the collapse of New Order. The method used in this study is the historical method consists of four stages: heuristic, critic, interpretation, and historiography. The result of this study is that the with drawal of the military from politics doesn’t automatically make professional military. The professionalism of military is still facing the obstacle of technical implementation.

Keywords: Indonesian Military Army (ABRI), Dual-Function, Reform

1. Pendahuluan

Salah satu organ yang perlu dimiliki oleh Pemerintah suatu negara adalah militer, yang merupakan satu kelompok orang-orang yang diorganisir dengan disiplin untuk melakukan pertempuran, yang diperbedakan dari orang-orang sipil. Tujuan pokok adanya adanya militer dalam suatu negara yaitu untuk

bertempur dan memenangkan peperangan guna memepertahankan dan memelihara eksistensi negara (Finer, 1962:3). Dari dua pernyataan tersebut dapat disimpulkan bahwa fungsi militer di dalam negara adalah melakukan tugas di bidang pertahanan dan keamanan, yang disebut “fungsi militer”. sedang

(3)

tugas di luar bidang pertahanan dan keamanan negara menjadi tugas golongan sipil. Tugas ini disebut “fungsi non-militer” atau “fungsi sipil”. Dengan demikian akan terdapat perbedaan yang jelas tentang prinsip tanggung jawab dan fungsi pokok antara golongan militer dan golongan sipil dalam kehidupan negara. Menurut Amos Perlmutter terdapat tiga jenis organisasi militer dalam negara nasional modern, tiga jenis itu adalah: (1) prajurit profesional klasik yang hadir dalam sistem-sistem politik yang stabil, (2) prajurit pretorian yang berkembang dalam lingkungan politik yang tidak stabil, (3) prajurit revolusioner yang terkait pada orde politik yang stabil meskipun asal-usulnya adalah berasal dari suatu sistem politik baru atau suatu sistem politik yang sedang merosot dan yang tidak stabil (Perlmutter, 1977:9-17). Dari ketiga jenis tersebut, Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) termasuk jenis yang ketiga, sebagai suatu angkatan bersenjata yang lahir dalam rahim suatu revolusi, yakni Revolusi Nasional Indonesia. Akan tetapi jelas, dengan fungsi sosial politiknya ABRI juga memliki cirri-ciri prajurit pretorian. Pada masa Orde Baru, fungsi sosial politik ABRI dilaksanakan lewat fungsi kekaryaan. Konsep ini mengacu pada anggota ABRI yang bertugas di luar Departemen Pertahanan dan Keamanan. Karyawan ditempatkan dalam badan-badan legislatif dan eksekutif dengan banyak fungsi sebagai menteri, gubernur propinsi, manajer perusahaan negara maupun duta besar. Sebagai bagian dari konsesus partai-partai politik, di mana ABRI diberi sejumlah kursi dalam badan-badan perwakilan, para anggota ABRI dilarang berpatisipasi dalam pemilihan. Dasar pemikirannya adalah untuk mencegah perselisihan dalam tubuh ABRI yang disebabkan oleh afilasi-afilasi politik sebagaimana terjadi pada periode Demokrasi Liberal.

Praktisnya, konsep dwifungsi ABRI berarti bahwa militer di Indonesia telah mengalami perluasan peran. Perluasan peran militer menunjuk pada masuknya para perwira angkatan bersenjata, entah secara kolektif maupun sebagai individu, ke dalam bermacam bidang institusional,

seperti kegiatan ekonomi, pendidikan, dan pelatihan tenaga kerja sipil, memenuhi fungsi-fungsi administratif sipil, dan melibatkan diri dalam berbagai bentuk politik kekuasaan (Lissak, 1976:3). Dengan perluasan peran ini militer mengemban fungsi-fungsi sipil. Walaupun jelas ada perluasan peran militer Indonesia, tidak berarti militer menggantikan orang-orang sipil. Jadi, dalam keadaan ini, perlu memahami dwifungsi secara lebih saksama, karena perluasan peran ABRI terutama terarah pada penentuan agenda nasional dan perluasan ke posisi-posisi kunci, khususnya pada tahun-tahun awal Orde Baru. Sebagaimana dinyatakan oleh Nasution, “Prajurit harus berpatisipasi dalam memutuskan kebijakan nasional, karena kebijakan nasional adalah induk dari kebijakan politik, ekonomi dan militer”(Perlmutter, 1980:103).

Dari sisi pemerintahan, rezim Orde Baru yang berkuasa selama 32 tahun terlalu menekankan fungsi regulatif untuk mengekang kebebasan bersuara, berekspresi, berkumpul dan berorganisasi “tampak dari paket lima Undang-Undang Politik”, kebebasan pers (UU Pers), dan ekstraktif (penyedotan pajak dan kekayaan alam), namun kurang distributf, baik dari sisi distribusi kekuasaan antara eksekutif, legislatif, dan yudikatif; antara pemerintahan pusat dan daerah; distribusi kekayaan; distribusi posisi dan jabatan; distribusi penghargaan; dan kurang aspiratif terhadap tuntutan-tuntutan rakyat. Sistem politik Orde Baru juga tidak mampu melaksanakan fungsi-fungsi pemeliharaan dan adaptasi sistem secara baik. Jika pemeliharaan sistem berjalan secara alamiah, di mana terjadi rekrutmen politik dan suksesi kepemimpinan secara teratur sesuai dengan asas demokrasi melalui pemilihan umum, maka kemungkinan besar sistem politik akan dapat bertahan. Selain itu, jika sistem politik dapat mengadaptasi diri, yaitu menyesuaikan diri dengan kemajuan ekonomi yang dicapai yang menyebabkan semakin kritisnya rakyat, semakin independennya kelompok-kelompok professional dan intelektual, semakin terintegrasinya sistem politik Indonesia dengan

(4)

lingkungan di luar sistem, maka bukan hal yang mustahil sistem tersebut akan dapat bertahan.

Jatuhnya Presiden Soeharto dipercepat oleh krisis ekonomi, terbunuhnya empat mahasiswa Universitas Trisakti pada tanggal 12 Mei 1998, kerusuhan dan penjarahan di Jakarta, Bogor, Tanggerang, Bekasi pada tanggal 13-15 Mei 1998, dan tidak bersedianya empat belas menteri kabinet Soeharto untuk membantunya kembali membangun kabinet reformasi versi Soeharto. Ketika gelombang reformasi tersebut semakin tidak terbendung lagi, tiada jalan lain bagi Soeharto selain mundur dari jabatannya. Selain dari perhitungan-perhitungan politik dan ekonomi yang menguntungkan pribadi dan keluarganya, mundurnya Soeharto mungkin demi mencegah pertumpahan darah yang lebih meluas.

Berdasarkan latar belakang penelitian diatas, permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah tentang peranan ABRI pada saat akhir pemerintahan Soehrto hingga reformasi yang dikaitkan dengan kebijakan internal dikalangan ABRI. Untuk menjawab permasalahan tersebut diajukan beberapa pertanyaan penelitian, yaitu: (1)Bagaimana kondisi sosial politik di

Indonesia hingga tahun 1998? (2) Mengapa ABRI melakukan reformasi internal setelah runtuhnya Orde Baru? (3) Langkah-langkah internal dan eksternal apa yang dilakukan ABRI selama berlangsungnya proses reformasi? Tujuan dari penelitian ini adalah memaparkan peralihan fungsi ABRI dari masa Orde Baru ke masa Reformasi, dengan menyoroti Angkatan Darat yang selalu memegang peranan dominan dalam politik dan kebijakan-kebijakan yang dilakukan oleh ABRI dalam rangka memenuhi tuntutan masyarakat agar ABRI dapat melakukan reformasi internal pasca runtuhnya Orde Baru. Selain itu penelitian ini diharapkan dapat melengkapi historiografi sejarah Indonesia khususnya sejarah ABRI. Lingkup pembahasan penelitian ini dimulai pada tahun 1997 hingga tahun 1999. Tahun 1997 dijadikan awal kajian karena pada tahun 1997 terjadi krisis ekonomi yang dialami oleh Indonesia. Krisis tersebut berdampak pada kehidupan masyarakat Indonesia yang berakibat pada krisis politik yang menjadi awal mula runtuhnya pemerintahan Orde Baru. Tahun 1999 dipilih sebagai akhir pembahasan karena pada tahun itu mulai dilakukan langkah-langkah reformasi internal ABRI.

2. Metode Penelitian

Metode yang dilakukan dalam penelitian ini adalah metode sejarah yang terdiri dari empat tahap, yaitu Heuristik, Kritik, Interpretasi dan Historiografi. Dalam tahap Heuristik yaitu pencarian dan pengumpulan sumber, dengan menggunakan studi kepustakaan, yaitu suatu upaya untuk mengumpulkan sumber atau hasil penelitian yang telah dilakukan baik oleh perorangan maupun instansi terkait dengan masalah yang dibahas dalam penelitian ini. Pada tahap ini ditemukan sumber primer berupa buku berjudul “Dwifungsi ABRI: Asal-usul, Aktualisasi dan Implikasinya bagi stabilitas dan Pembangunan” yang ditulis oleh Bilveer Singh yang diterjemahkan oleh Robert Hariono

Imam dan diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama pada tahun 1996. Buku ini menyajikan analisis mendalam mengenai dwifungsi ABRI, Uraian dalam buku ini dimulai dengan melacak perkembangan ABRI sejak tahun 1945. Kemudian dipaparkan pula aspek-aspek dwifungsi: perkembangan konsep dan perwujudannya. Selain itu, dipetakan argumen yang mendukung maupun menentang dwifungsi dan implementasinya, ketahanan serta perlunya rekonseptualisasi terhadapnya. Sumber lain yang ditemukan adalah buku berjudul “…Bila ABRI Menghendaki”: Desakan Kuat Reformasi Atas Konsep Dwifungsi ABRI yang ditulis berdasarkan penelitian yang dilakukan para peneliti

(5)

Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang diketuai oleh Dr. Indria Samego dan diterbitkan oleh Mizan, pada tahun 1997. Buku ini mengupas tentang problematika dwifungsi ABRI. Buku ini juga mengusulkan berbagai bentuk reformasi dwifungsi ABRI berikut implikasi-implikasi yang menyertainya. Setelah sumber-sumber itu ditemukan tahap selanjutnya adalah melakukan pengujian melalui kritik internal maupun kritik eksternal dengan cara membandingkan buku “…Bila ABRI Menghendaki”: Desakan Kuat Reformasi atas Konsep Dwifungsi ABRI dengan beberapa artikel, yaitu artikel yang berjudul Pemisahan Polri dari ABRI dan Paradigma Baru ABRI yang terdapat di surat kabar maupun majalah sezaman

sehingga kita dapat mengetahui apakah data tersebut fakta atau bukan fakta. Selanjutnya pada tahap Interpretasi, penulis memberikan arti pada fakta yang telah ditemukan atau diperoleh hingga sampai pada tahap Historiografi, yaitu penulisan sejarah mengenai peralihan fungsi ABRI dari masa Orde Baru ke masa Reformasi dan peranan ABRI dalam proses reformasi. Akan dilampirkan juga peristiwa-peristiwa menarik dan kebijakan-kebijakan yang dilakukan oleh ABRI pada masa peralihan pemerintahan Orde Baru ke masa Reformasi

.

3. Pembahasan

Ketika Orde Baru tumbang digantikan Orde Reformasi, ABRI berusaha merubah visinya. Di dalam buku yang dikeluarkan ABRI yang diberi judul Peran ABRI Abad XXI: Redefinisi, Reposisi, dan Reaktualisasi peran ABRI dalam Kehidupan Bangsa, terlihat adanya keinginan untuk mengadakan suatu perubahan, yang menjelaskan adanya paradigma baru ABRI dalam memahami kehidupan berbangsa dan bernegara. Paradigma ini dilandasi cara berpikir yang bersifat analitis dan prospektif ke masa depan berdasarkan pendekatan komprehensif yang memandang ABRI sebagai bagian dari sistem nasional. Dalam kaitan ini, cita-cita dalam rangka mewujudkan tujuan nasional dilaksanakan secara terpadu oleh segenap komponen bangsa berdasarkan satu visi nasional. Hal ini tentunya berbeda dengan masa Orde Baru yang menempatkan ABRI selalu di depan. Posisi mereka sangat sentralistis sehingga menganggap dirinya adalah yang paling bertanggung jawab terhadap keselamatan bangsa dan negara. Paradigma lama ini kemudian melahirkan adanya pendekatan keamanan yang melihat segala dinamika masyarakat dari kacamata keamanan. Munculnya paradigma baru ABRI ini sebagai akibat dari gencarnya kritik terhadap peran ABRI selama Orde Baru. Mereka tampaknya ingin meredefinisi, mereposisi, dan mereaktualisasikan peran diri mereka.dengan paradigma baru itu,

seakan mereka mulai ingin suatu kehidupan baru. Segala bentuk tindakan lama yang tidak begitu disenangi masyarakat, akan diredefinisi.

Sebelum munculnya buku ABRI Abad XXI: Redefinisi, Reposisi, dan Reaktualisasi peran ABRI dalam Kehidupan Bangsa, di Sekolah dan Komando (Sesko) ABRI Bandung, diadakan seminar yang bertemakan “Peran ABRI abad XXI”. Dalam seminar yang diselenggarakan pada 22-24 September 1998 itu terungkap bahwa doktrin dwifungsi ABRI telah mengalami distorsi penafsiran yang cukup serius selama pemerintahan Orde Baru. Selama kurun waktu itu, doktrin dwifungsi ABRI telah direkayasa sedemikian rupa, sehingga disadari atau tidak, ABRI telah menjadi alat belaka dari kekuasaan yang terpusat di tangan satu orang. Khususnya distorsi ini terjadi pada interpretasi terhadap fungsi sosial politik ABRI. Di bawah pemerintahan Soeharto, fungsi sosial politik ABRI dilaksanakan secara eksesif. ABRI dijadikan sekadar alat dari rezim yang berkuasa, dan doktrin dwifungsi ABRI digunakan untuk mendukung dan memperkuat kekuasaan Soeharto. Sementara itu, fungsi sosial politik ABRI telah diartikan oleh masyarakat luas sebagai tidak lebih dari sekadar menempatkan perwira-perwira ABRI dalam berbagai jabatan sipil.

(6)

Oleh karena itu, ABRI ingin mengubah dirinya, citranya, dan perannya. Mereka ingin memperbaiki kondisi yang ada dalam tubuh ABRI, terutama dari fungsi sosial politiknya. Fungsi itu dalam paradigma baru ABRI, mengambil bentuk implementasi sebagai berikut. Pertama, ABRI berusaha mengubah posisi dan metode yang dahulu selalu harus di depan. Dalam posisi dan metode baru, mereka tidak selalu harus di depan. Artinya, posisi sentral yang mereka pegang pada masa Orde Baru kini diubah untuk memberi kesempatan pada masing-masing institusi yang memang seharusnya melaksanakan hal yang bersangkutan.

Kedua, ABRI mengubah konsep dari menduduki menjadi mempengaruhi. Pada masa Orde Baru, penugasan di luar struktur ABRI mencakup lingkup yang sangat luas, kini lingkup tersebut makin diperkecil dan dibatasi pada posisi yang memiliki nilai strategis serta mengurangi keterlibatannya dalam kegiatan politik praktis.

Ketiga, ABRI ingin mengubah cara-cara mempengaruhi secara langsung menjadi tidak langsung. Hal ini dilakukan untuk menghindari keterlibatan ABRI yang berlebihan dalam berbagai kegiatan yang tidak berkaitan dengan tugas utamanya. Keempat, ABRI bersedia untuk melakukan kebersamaan dalam pengambilan keputusan penting kenegaraan dan pemerintahan dengan komponen bangsa lainnya. Jalinan dan pembagian peran dengan mitra sipil akan menempatkan peran institusi masing-masing secara fungsional.

Dengan paradigma baru tersebut, visi ABRI di era reformasi ini secara menyeluruh dapat disebutkan bahwa ABRI tetap merupakan kekuatan pertahanan keamanan yang professional, efektif, efisien, dan modern, serta senantiasa siap untuk mengamankan dan memberikan sumbangan darma bakti yang diperlukan bagi kelancaran pembangunan bangsa menuju pencapaian tujuan nasional, bersama-sama dengan komponen strategis bangsa lainnya.ABRI tetap menyadari hak dan kewajibannya

terhadap bangsa, dengan kesadaran bahwa negara ini dibangun atas dasar paham kekeluargaan. Dengan mempertimbangkan persoalan kebangsaan yang berkembang makin kompleks, darma bakti ABRI akan senantiasa disesuaikan dengan perkembangan lingkungan. Atas dasar pertimbangan tersebut, ABRI akan selalu peduli atas nasib bangsa dan ABRI akan memikul tanggung jawab atas bangsa bersama seluruh komponen bangsa, dan sebagai bagian dari sistem nasional. Dari visi ABRI di masa reformasi seperti tercantum di atas, terlihat adanya kemauan untuk berbagi peran dengan mitra sipil. ABRI mengaku sebagai salah satu komponen dalam membangun bangsa dan negara, serta mengaku sebagai salah satu bagian dari sistem nasional. Artinya, ABRI tidak perlu berpihak pada satu kekuatan apapun, termasuk misalnya, Golkar atau partai yang lain, yang menguasai pemerintahan. Sebagai salah satu komponen bangsa, ABRI harus netral dan mengambil jarak yang sama dengan kekuatan politik apapun.

Jenderal Wiranto, selaku Panglima ABRI, menjelaskan dalam suatu dialog interaktif yang diselenggarakan oleh Forum Komunikasi Kesatuan Bangsa bahwa visi ABRI ke depan “merupakan kekuatan pertahanan keamanan yang profesional, efektif, efesien, dan modern yang senantiasa siap mengamankan dan memberikan sumbangan darma bakti bagi kelancaran pembangunan bangsa dan pembangunan nasional (Wiranto, 1999: 107-115).

Pengertian dasar itu kemudian dijabarkan ke dalam enam peran ABRI yang meliputi: mempertahankan kedaulatan tanah air dari ancaman eksternal, menjaga keamanan dalam negeri dari ancaman internal, memberikan sumbangan aktif kepada pembangunan bangsa, mendorong pengembangan demokrasi dan masyarakat madani, membantu meningkatkan kesejahteraan rakyat dalam arti seluasnya, dan berperan aktif dalam tugas-tugas pemeliharaan perdamaian dalam rangka upaya mewujudkan perdamaian dunia.

(7)

Rumusan di atas dianggap tidak lagi menunjukkan peran ABRI yang dikotomik, sebagaimana paradigma lama yang memisahkan peran sebagai kekuatan hankam (pertahanan keamanan) dan sospol (sosial politik). Sebagai konsekuensi logis dari peran baru ABRI ini, mereka tidak perlu lagi terlibat dalam politik praktis.

karena itu, menurut Wiranto, dalam pemilu 1999, ABRI tidak lagi melakukan upaya dan tindakan untuk membantu memenangkan salah satu partai. ABRI tidak berpihak dan mengambil jarak yang sama dengan partai politik manapun. Tidak ada lagi keharusan dan larangan bagi anggota Keluarga Besar ABRI dalam menetukan pilihan politiknya. langkah perubahan mendasar peran ABRI tengah mulai dilaksanakan. Ada empat belas perubahan mendasar yang ingin menjawab agenda reformasi di tubuh ABRI. Dengan adanya perubahan mendasar itu, ABRI hendak membangun citra baru tentang korpsnya. Hal ini mereka anggap penting untuk menjawab berbagai tuntutan yang berkembang dalam masyarakat pada saat Orde Reformasi ini. Tanpa berbuat seperti itu, ABRI bisa jadi akan semakin dicercaoleh sebagian masyarakat. Keempat belas perubahan mendasar tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:

1. Sikap dan pandangan politik ABRI tentang paradigma baru peran ABRI abad ke-21.

2. Sikap dan pandangan politik ABRI tentang paradigma baru peran sospol ABRI.

3. Pemisahan kepolisian RI (Polri) dari tubuh ABRI yang telah menjadi keputusan pemimpin ABRI mulai 1 April 1999 sebagai transformasi awal.

4. Penghapusan Dewan Sosial Politik Pusat (Wansospolpus) dan Dewan Sosial Politik Daerah (Wansospolda) tingkat I.

5. Perubahan Staf Sosial Politik menjadi Staf Teritorial.

6. Likuidasi Staf Karyawan (Syawan) ABRI, Kamtibmas ABRI, dan Badan Pembinaan Kekaryaan (Babinkar) ABRI

7. Penghapusan sospoldam, babinkardam, sospolrem, dan sospoldim.

8. Penghapusan kekaryaan ABRI melalui pension atau alih status. 9. Pengurangan jumlah fraksi ABRI di

DPR, DPRD I/II.

10. ABRI tidak akan lagi terlibat dalam politik praktis.

11. Pemutusan hubungan organisatoris dengan partai Golkar dan mengambil jarak yang sama dengan partai politik yang ada.

12. Komitmen dan konsistensi netralitas ABRI dalam pemilu.

13. Perubahan paradigma hubungan ABRI dan Keluarga Besar ABRI. 14. Revisi piranti lunak berbagai doktrin

ABRI disesuaikan era reformasi dan peran ABRI abad ke 21 (Wiranto, 1999).

Langkah konkret dari penghapusan kekaryaan ABRI adalah dengan menawarkan tiga pilihan bagi semua anggota ABRI yang terlibat dalam jabatan sipil. Pertama, tetap dinas sebagai anggota ABRI dan melepaskan jabatan sipil. Kedua, alih status dari anggota ABRI menjadi pegawai negeri sipil. Ketiga, pensiun dari dinas ABRI.

Kesimpulan

Cara-cara militeristik yang dipakai dalam memecahkan persoalan, tidak relevan lagi dipakai pada masa transisi demokrasi di era reformasi yang lebih mengedepankan pola persuasif dan dialogis. Untuk itu militer ditempatkan sebagai alat pertahanan negara yang tidak berhubungan secara langsung dengan urusan kemasyarakatan sebagaimana di masa Orde Baru. Pemikiran dwifungsi yang masih melekat, menyisakan adanya minat politik di kalangan militer, sehingga muncul pemikiran di dalam masyarakat segera mendorong adanya masa transisi. Profesionalisme militer merupakan salah satu jawaban dan upaya para pemimpin militer bersama pemerintah untuk mengikis minat politik militer sehingga militer dapat konsisten sebagai alat pertahanan belaka.

Kondisi sosial-politik hingga tahun 1998 yang menginginkan terciptanya perubahan secara cepat dan drastis di

(8)

semua lini kehidupan masyarakat menyebabkan pula diinginkannya perubahan pada sistem politik demokratis tanpa keterlibatan militer di dalamnya, sehingga kemudian menyebabkan terjadinya peralihan fungsi ABRI yang dicanangkan pada Juni 1998. Komitmen militer untuk mendukung pelaksanaan agenda reformasi nasional yang berlangsung sejak 21 Mei 1998 diwujudkan dengan dihapuskannya lembaga kekaryaan ABRI, serta sejumlah institusi ABRI yang berhubungan dengan masalah sosial-politik, larangan bagi prajurit untuk rangkap jabatan sipil (April 1999). Langkah-langkah ini adalah sebagian kebijakan reformasi internal militer yang dapat dilihat nyata dan dirasakan dampaknya oleh masyarakat. Reformasi telah mengubah wajah militer yang represif dan alat kekuasaan penindas menjadi militer yang terarah bagi kepentingan pertahanan negara (kemudian diatur dalam TAP MPR No. VII/MPR/2000 tentang peran TNI/Polri). Pemisahan Polri dari ABRI berimplikasi juga terhadap pembatasan wewenang peran militer. Tanggung jawab menjaga keamanan masyarakat telah beralih menjadi tugas kepolisian. Pemisahan Polri dari ABRI pada 1 April 1999, menandai pembagian tugas atau wewenang yang jelas antara keduanya. Sebagaimana disebutkan dalam pasal 6, TAP MPR No. VII/MPR/2000:

“Kepolisian Negara RI merupakan alat negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, memberikan pengayoman dan memberikan pelayanan kepada masyarakat”

Alasan utama ABRI melakukan reformasi internal setelah runtuhnya Orde Baru adalah kuatnya desakan masyarakat yang tidak lagi menghendaki militer berpolitik dan menuntut dihapuskannya dwifungsi ABRI. Desakan ini selaras dengan kesadaran internal militer yang memandang perlunya redefinisi dwifungsi ABRI agar tidak lagi menitikberatkan pada masalah-masalah politik belaka, serta mengurangi dominasi militer di lembaga-lembaga sipil (kekaryaan ABRI).

Panglima ABRI Jenderal Wiranto memiliki andil yang besar dan menentukan dalam merumuskan dan memutuskan kebijakan reformasi internal ABRI. Kesadaran di kalangan militer melihat realitas masyarakat yang tidak mendukung rezim kekuasaan orde baru pimpinan Presiden Soeharto, melahirkan kesepakatan kolektif untuk mendukung proses reformasi nasional secara konstitusional. Reformasi internal ABRI merupakan konsekuensi logis dukungan militer terhadap pelaksanaan agenda reformasi nasional yang dimulai pada 21 Mei 1998.

Militer di Indonesia mengambil langkah-langkah internal dan eksternal yang dilakukan ABRI selama berlangsungnya proses reformasi. Peralihan tersebut terbagi menjadi tiga hal mendasar, pertama perubahan staf sosial politik menjadi staf teritorial, kedua terjadinya demiliterisasi jabatan di kalangan tentara ABRI, serta ketiga, Adanya reformasi birokrasi yang menjadi pemisahan Polisi dari ABRI.

Secara kelembagaan, penghapusan doktrin dwifungsi ABRI juga melakukan pembubaran-pembubaran lembaga-lembaga sosial-politik ABRI, penghapusan fungsi kekaryaan ABRI, selesainya perwakilan ABRI di lembaga legislatif. Langkah-langkah peralihan fungsi ABRI memiliki Empat belas agenda reformasi internal ABRI yang ditandai dengan berubahnya nama ABRI menjadi Tentara Nasional Indonesia (TNI), kemudian diikuti paradigma baru peran TNI, pemisahan Polri dari TNI hingga penghapusan doktrin dwifungsi dan diakhiri dengan tugas wakil-wakil militer di DPR.

Mundurnya militer dari politik tidak secara otomatis menjadikan militer professional. Profesionalisme militer di Indonesia merupakan upaya yang memerlukan waktu panjang untuk mewujudkannya. Tekad dan komitmen pimpinan ABRI (yang kemudian diubah menjadi TNI) terhadap profesionalisme militer menghadapi dua kendala utama yaitu keterbatasan anggaran militer dan faktor budaya/mentalitas prajurit yang

(9)

belum sepenuhnya menyesuaikan dengan kultur pasca dwifungsi ABRI.

Profesionalisme militer masih berada pada tataran kebijakan yang menghadapi kendala teknis implementasinya. Sejauh ini profesionalisme diartikan kalangan militer, baru sebatas lepasnya militer dari urusan politik dan fokusnya terhadap tugas pertahanan negara. Profesionalisme sejauh ini, belum menyentuh aspek peralatan, persenjataan dan fasilitas

militer yang memadai/ modern sebagai prasyarat dimilikinya kekuatan militer yang professional di awal-awal reformasi.

Daftar Acuan

Lissak, Moshe. Military Roles in Modernisation: Civil-Military Relations in Thailand and Burma. Bevery Hill, California: Sage Publications. 1976. Perlmutter, Amos. The Military and Politics in Modern Times: On Professionals, Praetorians and Revolutionary Soldiers. New Haven and London. 1977.

Samego, Indria. “…Bila ABRI Menghendaki”: Desakan Kuat Reformasi Atas Konsep

Dwifungsi ABRI. Bandung: Mizan. 1998.

Wiranto. Bersaksi di Tengah Badai. Jakarta: Ide Indonesia. 2003.

Referensi

Dokumen terkait

Metode pengambilan sampel yang digunakan adalah metode Sensus, dimana metode ini digunakan karena jumlah yang melaksankan usaha persemaian bibit Ulin di kelurahan

Penelitian dengan judul “Perbedaan Naratif Film Soekarno Versi Bioskop dan Versi Televisi” ini bertujuan untuk menganalisa perbedaan unsur naratif yang terjadi pada film

Jadi, dengan adanya kegiatan maintenance ini, maka fasilitas maupun peralatan pabrik dapat digunakan untuk produksi sesuai dengan rencana dan tidak mengalami kerusakan

Hilangnya markas kekuasaan di negara asal membuat gerakan ini melakukan inovasi yakni dengan cara mencari kawasan baru yang akan digunakan sebagai markas baru dan

Pola Penataan Ruang dan Implikasinya terhadap Interaksi dan Hirarki Sosial Manusia Masa Lampau pada Situs Gunung Kawi, Kabupaten Gianyar, Bali.. Situs Gunung Kawi merupakan

dalam penelitian ini adalah antologi cerpen “Mandi Api” karya Gde Aryantha Soethama dengan judul Tembok Puri, Ibu Guru Anakku, Sekarang Dia Bangsawan, Terompong

Data menunjukkan bahwa prosentase yang paling besar adalah bahwa mahasiswa FIA kurang mengerti tentang rencana pembangunan gazebo tersebut. Analisa kritisnya berarti

Puji syukur kepada Tuhan Yesus Kristus atas segala kasih dan karunia-Nya sehingga Tugas Akhir dengan judul “Perencanaan Sistem Pewadahan dan Pengumpulan Sampah Di Permukiman