• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kajian Pembentukan Desa Wisata Selorejo Kecamatan Dau Kabupaten Malang 2011

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Kajian Pembentukan Desa Wisata Selorejo Kecamatan Dau Kabupaten Malang 2011"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

Page | 7

BAB. II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Definisi Pariwisata (tourism)

Pengertian Pariwisata menurut definisi yang luas adalah perjalanan dari satu tempat ke tempat lain, bersifat sementara, dilakukan perorangan maupun kelompok, sebagai usaha mencari keseimbangan atau keserasian dan kebahagiaan dengan lingkungan hidup dalam dimensi sosial, budaya, alam dan ilmu. Suatu perjalanan dianggap sebagai perjalanan wisata bila memenuhi tiga persyaratan yang diperlukan, yaitu : (Smith and French, 1994).

a. Harus bersifat sementara

b. Harus bersifat sukarela (voluntary) dalam arti tidak terjadi karena dipaksa.

c. Tidak bekerja yang sifatnya menghasilkan upah ataupun bayaran. Dalam kesimpulannya pariwisata adalah keseluruhan fenomena (gejala) dan hubungan-hubungan yang ditimbulkan oleh perjalanan dan persinggahan manusia di luar tempat tinggalnya. Dengan maksud bukan untuk tinggal menetap dan tidak berkaitan dengan pekerjaan-pekerjaan yang menghasilkan upah.

Definisi tentang pariwisata yang berkembang di dunia sangat beragam, multidimensi, dan sangat terkait dengan latar belakang keilmuan pencetusnya. Pada dasarnya, definisi-definisi tersebut dapat dikelompokkan ke dalam tiga kategori, yaitu yang melihat pariwisata dari sisi demand saja, sisi supply saja, dan yang sudah menggabungkan sisi demand dan supply.

Kategori pertama merupakan definisi pariwisata yang didekati dari sisi wisatawan, sangat kental dengan dimensi spasial (tempat dan jarak). Kategori kedua merupakan definisi pariwisata yang dipandang dari dimensi industri/bisnis, sedangkan kategori ketiga memandang pariwisata dari dimensi akademis dan sosial budaya.

(2)

Page | 8

1. Dimensi Spasial

Definisi pariwisata yang dipandang dari dimensi spasial merupakan definisi yang berkembang lebih awal dibandingkan definisi-definisi lainnya (Gartner, 1996). Dimensi ini menekankan definisi pariwisata pada pergerakan wisatawan ke suatu tempat yang jauh dari lingkungan tempat tinggal dan atau tempat kerjanya untuk waktu yang sementara, seperti yang dikemukakan oleh Airey pada tahun 1981 (Smith and French, 1994): “Tourism is the temporary short-term movement of people to destinations outside the places where they normally live and work, and their activities during their stay at these destinations”.

Selain pergerakan ke tempat yang jauh dari lingkungan tempat tinggal dan tempat kerja, Airey menambahkan kegiatan wisatawan selama berada di destinasi pariwisata sebagai bagian dari pariwisata. Definisi pariwisata yang dikemukan oleh World Tourism Organization (WTO) pun memfokuskan pada sisi demand dan dimensi spasial, dengan menetapkan dimensi waktu untuk perjalanan yang dilakukan wisatawan, yaitu tidak lebih dari satu tahun berturut-turut.

“Tourism comprises the activities of persons travelling to and staying in places outside their usual environment for not more than one consecutive year for leisure, business and other purposes not related to the exercise of an activity remunerated from within the place visited”.(www.world-tourism.org; 2010)

Definisi WTO di atas juga menekankan pada tujuan perjalanan yang dilakukan, yaitu untuk leisure, bisnis, dan tujuan lain yang tidak terkait dengan kegiatan mencari uang di tempat yang dikunjunginya. Beberapa definisi lain juga menetapkan nilai-nilai tertentu untuk jarak tempuh dan lama perjalanan, yang biasanya dikembangkan untuk memudahkan perhitungan statistik pariwisata:

(3)

Page | 9

a. Committee of Statistical Experts of the League Nations (1937) menetapkan waktu paling sedikit 24 jam bagi perjalanan yang dikategorikan perjalanan wisata. (Gartner, 1996)

b. The United States National Tourism Resources Review Commission (1973) menetapkan jarak paling sedikit 50 mil untuk perjalanan wisata.

c. United States Census Bureau (1989) menetapkan angka 100 mil untuk perjalanan yang dikategorikan sebagai perjalanan wisata. d. Canada mensyaratkan jarak 25 mil untuk mengategorikan

perjalanan wisata.

e. Biro Pusat Statistik Indonesia menetapkan angka lama perjalanan tidak lebih dari 6 bulan dan jarak tempuh paling sedikit 100 km untuk perjalanan wisata. (Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, 2003)

f. Definisi pariwisata dari dimensi spasial ini di Indonesia didefinisikan sebagai kegiatan wisata, seperti yang tercantum dalam Undang-Undang Kepariwisataan No. 10 tahun 2009 pasal 1, yaitu kegiatan perjalanan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang dengan mengunjungi tempat tertentu untuk tujuan rekreasi, pengembangan pribadi, atau mempelajari keunikan daya tarik wisata yang dikunjungi dalam jangka waktu sementara.

2. Dimensi Industri/Bisnis

Dari sisi supply, pariwisata lebih banyak dilihat sebagai industri/bisnis. Buku-buku yang membahas tentang definisi pariwisata dari dimensi ini merupakan buku dengan topik bahasan manajemen atau pemasaran. Definisi pariwisata yang dipandang dari dimensi industri/bisnis memfokuskan pada keterkaitan antara barang dan jasa untuk memfasilitasi perjalanan wisata.

(4)

Page | 10

Seaton and Bennett (1996) mendefinisikan pariwisata sebagai kumpulan usaha yang menyediakan barang dan jasa untuk memfasilitasi kegiatan bisnis, bersenang-senang, dan memanfaatkan waktu luang yang dilakukan jauh dari lingkungan tempat tinggalnya.

“..the aggregate of all businesses that directly provide goods or services to facilitate business, pleasure, and leisure activities away from the home environment”.

Sementara itu, Craig-Smith and French (1994) mendefinisikan pariwisata sebagai keterkaitan antara barang dan jasa yang dikombinasikan untuk menghasilkan pengalaman berwisata.

“..a series of interrelated goods and services which combined make up the travel experience”.

Definisi pariwisata sebagai industri/bisnis inilah yang di dalam Undang-Undang Kepariwisataan No. 10 tahun 2009 didefinisikan sebagai pariwisata, yaitu berbagai macam kegiatan wisata dan didukung berbagai fasilitas serta layanan yang disediakan oleh masyarakat, pengusaha, pemerintah, dan pemerintah daerah.

3. Dimensi Akademis

Dimensi akademis, mendefinisikan pariwisata secara lebih luas, tidak hanya melihat salah satu sisi (supply atau demand), tetapi melihat keduanya sebagai dua aspek yang saling terkait dan mempengaruhi satu sama lain. Pariwisata dari dimensi ini didefinisikan sebagai studi yang mempelajari perjalanan manusia keluar dari lingkungannya, juga termasuk industri yang merespon kebutuhan manusia yang melakukan perjalanan, lebih jauh lagi dampak yang ditimbulkan oleh pelaku perjalanan maupun industri terhadap lingkungan sosial budaya, ekonomi, maupun lingkungan fisik setempat. Definisi tersebut dikemukakan oleh Jafar Jafari, 1977 (Gartner, 1996).

(5)

Page | 11

“Tourism is a study of man away from his usual habitat, of the industry which responds to his needs and of the impacts that both he and the industry have on the host sosiocultural, economic and physical environment”.

Definisi Jafar Jafari ini mengeliminasi dimensi spasial sebagai faktor pembatas perjalanan wisata. Definisi tersebut menyatakan bahwa begitu seseorang melakukan perjalanan meninggalkan lingkungannya (tempat tinggal, tempat kerja), dia sudah dinyatakan melakukan perjalanan wisata.

4. Dimensi Sosial Budaya

Definisi pariwisata dari dimensi sosial budaya menitikberatkan perhatian pada:

Pertama, upaya memenuhi kebutuhan wisatawan dengan berbagai karakteristiknya, seperti definisi yang dikemukakan oleh Mathieson and Wall dalam Gunn, (2002) berikut ini:

“Tourism is the temporary movement of people to destinations outside their normal places of work and residence, the activities undertaken during their stay in those destinations, and the facilities created to cater to their needs”.

Definisi lainnya juga dikemukakan oleh Chadwick, 1994 (ibid) sebagai berikut:

“…identified three main concepts: the movement of people; a sector of the economy or industry; and a broad system of interacting relationship of people, their needs, and services that respond to these needs”.

Kedua, interaksi antara elemen lingkungan fisik, ekonomi, dan sosial budaya, seperti yang dikemukakan oleh Leiper, 1981 (Gartner, 1996) yang mendefinisikan pariwisata sebagai

“an open system of five elements interacting with broader environments; the human element; tourists; three geographical elements: generating region, transit route, and destination region; and an economic element, the tourist industry. The five are arranged in functional and spatial

(6)

Page | 12

connection, interacting with physical, technological, social, cultural, economic, and political factors. The dynamic element comprises persons undertaking travel which is to some extent, leisure-based and which involves a temporary stay away from home of at least one night”.

Definisi lain yang lebih sederhana dikemukakan oleh Hunziker, 1951 (French, Craig-Smith, Collier, 1995), yang mendefinisikan pariwisata sebagai berikut

“.. the sum of the phenomena and relationship arising from the travel and stay of non-residents, in so far as the do not lead to permanent residence and are not connected with any earning activity”.

Ketiga, kerangka sejarah dan budaya, seperti yang dikemukakan oleh MacCannell (1992) berikut ini

“Tourism is not just an aggregate of merely commercial activities; it is also an ideological framing of history, nature and tradition; a framing that has the power to reshape culture and nature to its own needs”.

Definisi pariwisata dari dimensi akademis dan dimensi sosial budaya yang memandang pariwisata secara lebih luas, di Indonesia dikenal dengan istilah kepariwisataan (UU No. 10 tahun 2009 tentang Kepariwisataan), yaitu keseluruhan kegiatan yang terkait dengan pariwisata dan bersifat multidimensi serta multidisiplin yang muncul sebagai wujud kebutuhan setiap orang dan negara serta interaksi antara wisatawan dan masyarakat setempat, sesame wisatawan, pemerintah, pemerintah daerah, dan pengusaha.

Berdasarkan definisi-definisi yang dijelaskan di atas, dapat dikemukakan bahwa elemen-elemen penting yang menjadi fokus perhatian pada istilah pariwisata untuk masing-masing dimensi adalah sebagaimana tabel di bawah ini:

(7)

Page | 13 Tabel 2.1

Elemen Penting Pariwisata Berdasarkan Dimensi

Pariwisata DIMENSI SPASIAL DIMENSI

INDUSTRI/ BISNIS AKADEMIS DIMENSI DIMENSI SOSIAL BUDAYA - Perjalanan manusia ke luar lingkungan tempat tinggal dan tempat kerjanya - Waktu sementara Keterkaitan antara barang dan jasa untuk membentuk pengalaman berwisata Studi: - Perjalanan manusia ke luar lingkungan yang biasa ditinggalinya - Industri untuk melayani kebutuhan wisatawan - Dampak yang ditimbulkan - Pemenuhan kebutuhan wisatawan - Interaksi antara lingkungan fisik, ekonomi, sosial budaya - Kerangka pembentuk

sejarah, alam, dan budaya

Sumber : McChanell, 1992

Berpijak dari definisi-definisi tersebut, dapat diambil satu kesimpulan tentang definisi pariwisaya, yaitu:

Sistem yang mengaitkan antara lingkungan fisik, ekonomi, dan sosial budaya, dan industri dalam upaya untuk memenuhi kebutuhan perjalanan seseorang yang dilakukan ke luar lingkungan tempat tinggal atau tempat kerjanya dengan motivasi selain mencari nafkah di tempat tujuannya, dan sekaligus mempertimbangkan dampak yang ditimbulkan terhadap alam dan budaya.

2.2. Definisi Desa Wisata (village tourism)

Desa Wisata (village tourism) menurut Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Malang adalah suatu wilayah pedesaan yang memiliki potensi keunikan dan daya tarik wisata yang khas, baik berupa karakter fisik lingkungan alam pedesaan maupun kehidupan sosial budaya kemasyarakatan. Selain itu juga dikelola dan dikemas secara menarik dan alami dengan pengembangan fasilitas pendukung wisata dalam suatu tata

(8)

Page | 14

lingkungan yang harmonis serta terencana sehingga siap untuk menerima kunjungan wisata (Disbudpar Kab. Malang, 2006).

Pada definisi lain disebutkan bahwa desa wisata adalah suatu bentuk integrasi antara atraksi, akomodasi dan fasilitas pendukung yang disajikan dalam suatu struktur kehidupan masyarakat yang menyatu dengan tata cara dan tradisi yang berlaku. (Nuryanti, Wiendu. 1993).

Menurut Pariwisata Inti Rakyat (PIR), yang dimaksud dengan Desa Wisata adalah suatu kawasan pedesaan yang menawarkan keseluruhan suasana yang mencerminkan keaslian pedesaan baik dari kehidupan sosial ekonomi, sosial budaya, adat istiadat, keseharian, memiliki arsitektur bangunan dan struktur tata ruang desa yang khas, atau kegiatan perekonomian yang unik dan menarik serta mempunyai potensi untuk dikembangkannya berbagai komponen kepariwisataan, misalnya : atraksi, akomodasi, makanan-minuman, dan kebutuhan wisata lainnya. Berdasarkan hal tersebut, pembangunan desa wisata ini merupakan realisasi dari pelaksanaan Undang-Undang Otonomi Daerah (UU. No. 22/99). Oleh karena itu setiap Kabupaten perlu memprogramkan pembangunan desa wisata di daerahnya, sesuai dengan pola PIR tersebut.

2.2.1. Komponen Utama Desa Wisata

Terdapat dua konsep yang utama dalam komponen desa wisata menurut Edward Inskeep, yaitu :

a. Akomodasi : sebagian dari tempat tinggal para penduduk setempat dan atau unit-unit yang berkembang atas konsep tempat tinggal penduduk.

b. Atraksi : seluruh kehidupan keseharian penduduk setempat beserta setting fisik lokasi desa yang memungkinkan berintegrasinya wisatawan sebagai partisipasi aktif seperti : kursus tari, bahasa dan lain-lain yang spesifik.

(9)

Page | 15

Edward Inskeep dalam Tourism Planning An Integrated and Sustainable Development Approach, memberikan definisi bahwa;

“Village Tourism, where small groups of tourist stay in or near traditional, often remote villages and learn about village life and the local environment”.

Inskeep juga mengatakan wisata pedesaan dimana sekelompok kecil wisatawan tinggal dalam atau dekat dengan suasana tradisional, sering di desa-desa yang terpencil dan belajar tentang kehidupan pedesaan dan lingkungan setempat.

Penjabaran konsep Access, Attractions dan Amenities guna dirujuk dalam pembahasan

A. Definisi Akses

Dalam pariwisata, 'akses' istilah mengambil banyak bentuk karena perubahan dalam konteks yang berbeda. Ini konteks dan isu-isu yang timbul dari mereka sering tumpang tindih (Chris Veitch, 2004):

Kecacatan mungkin paling akrab konteks mengenai akses di

sektor pariwisata. Masalah paling umum di sini adalah hambatan fisik dan sikap pelayanan. Namun, akses dan cacat juga terkait dengan isu-isu sosial yang lebih luas, seperti stereotip , serta keyakinan bahwa perubahan dan beradaptasi produk untuk membuatnya dapat diakses dan tidak perlu mahal karena permintaan yang terbatas. Sementara banyak orang penyandang cacat mampu untuk pergi berlibur, pilihan mereka terbatas karena dibatasi kesempatan.

Inklusi sosial . Kebijakan pemerintah saat ini bertujuan untuk

mengatasi hambatan untuk holiday taking antara mereka bagian dari populasi yang berada pada tidak hadir untuk menikmati akses ke pariwisata dan rekreasi. Sepenuhnya-inklusif pariwisata tidak hanya bentuk penting untuk memastikan kesempatan yang sama,

(10)

Page | 16

juga menawarkan potensi untuk memperluas pasar dan memperpanjang musim. Dalam konteks ini sejumlah kelompok-kelompok yang berbagi beberapa hambatan umum.

Populasi yang menua . Jumlah orang selama 55 diperkirakan

akan meningkat lebih dari 3,5 juta dalam 15 tahun mendatang, untuk membentuk 30% dari populasi. Meskipun diakui bahwa kelompok ini akan memiliki lebih banyak pendapatan pakai daripada di masa lalu, juga kasus yang banyak yang akan tidak mampu membayar hari libur atau istirahat, terutama orang-orang terpengaruh oleh masalah pensiun.

Ketenagakerjaan . Pariwisata adalah perusahaan terbesar kelima

di Inggris, mendukung sekitar 2.1m pekerjaan [1]. Namun orang-orang penyandang cacat masih mengalami sikap diskriminatif dari majikan [2]. Jadi persepsi sosial, daripada cacat itu sendiri, dipandang sebagai hambatan kunci untuk kerja.

Transportasi . Kemampuan untuk mendapatkan dari satu tempat

ke tempat lain dapat menjadi penghalang mendasar untuk mengakses pariwisata.

Masalah perkotaan dan pedesaan . Kota dan kota-kota oleh

alam mereka, organisasi dan perencanaan, merupakan lingkungan semakin kompleks, terutama untuk orang dengan gangguan.Dalam konteks ini adalah mungkin untuk mengenali sejumlah hambatan untuk akses yang berhubungan dengan skala dan sifat perkembangan. Beberapa hambatan fisik yang nyata, seperti biaya dan ketersediaan transportasi umum, sementara yang lain yang dirasakan, seperti jenis tertentu dari perkembangan kota dan ruang. Demikian pula, dalam pedesaan, ada konteks yang berbeda dari aksesibilitas yang melibatkan akses fisik serta rasa tidak dimiliki, terutama umum di kalangan orang-orang dari beberapa kelompok etnis. Dalam kedua kasus, pemerintah lokal dan

(11)

Page | 17

perencana perlu lebih sensitif terhadap pengertian tentang aksesibilitas.

Publik / swasta . Penciptaan ruang rekreasi baru harus sesuai

dengan kebutuhan seluruh masyarakat, bukan segmen pasar tertentu. Perkembangan kebutuhan ruang tersebut, karena itu, untuk melibatkan masyarakat dan merangkul pendekatan inklusif.

Pemasaran dan informasi . Pemasaran pesan menggunakan

gambar dan kata-kata ditargetkan pada khalayak yang spesifik, dapat merupakan penghalang jika kelompok-kelompok tertentu merasa mereka tidak terwakili oleh mereka dan, karenanya, tidak diterima. Akses ke informasi tentang produk tersebut juga bisa menjadi penghalang jika tidak tersedia dalam format alternatif, misalnya brosur cetak besar, website diakses, textphones dan sebagainya.

B. Definisi Attractiions

Untuk menggambarkan suatu Atraksi Wisatawan tidaklah sederhana. Di sini adalah dua definisi:

a. Suatu kondisi fisik atau corak budaya tempat tertentu yang individu pelancong atau wisatawan merasa mampu untuk bertemu satu atau lebih kebutuhan terkait dengan kesenangan spesifik mereka. seperti corak atau mungkin berkenaan dengan lingkungan secara alami (misalnya. iklim, kultur, tumbuh-tumbuhan atau pemandangan), atau mereka mungkin (adalah) dikhususkan untuk suatu penempatan, seperti suatu capaian teater, suatu musium atau air terjun.

b. Hal positif atau atribut baik dari suatu area untuk aktivitas ditentukan atau satuan aktivitas yang diinginkan oleh wisatawan ditentukan atau pasar, mencakup iklim, pemandangan, aktivitas, kultur.

(12)

Page | 18

1. Laki-Laki atraksi yang dibuat adalah phisik struktur (Misalnya Jembatan Suramadu,dll) atau festival-festival.

2. Atraksi alami adalah gejala [dianggap/disebut] tidak biasa dan / atau indah

3. Atraksi sekunder mempunyai pendekatan wisatawan, tetapi bukanlah alasan yang utama untuk mengunjungi suatu penempatan.

4. Suatu atraksi hal negatif adalah suatu atribut dari suatu area yang [tuju/ cenderung] untuk membuat pelanggan beberapa atau pasar tidak memilih untuk mengunjungi perihal polusi contoh atau kejahatan

2.2.2. Pendekatan Pengembangan Desa Wisata

Pengembangan dari desa wisata harus direncanakan secara hati-hati agar dampak yang timbul dapat dikontrol. Berdasar dari penelitian dan studi-studi dari UNDP/WTO dan beberapa konsultan Indonesia, dicapai dua pendekatan dalam menyusun rangka kerja/konsep kerja dari pengembangan sebuah desa menjadi desa wisata, yaitu melalui pendekatan pasar dan pendekatan fisik.

Pertama, Pendekatan Pasar untuk Pengembangan Desa Wisata antara lain sebagai berikut ;

a. Interaksi tidak langsung

Model pengembangan didekati dengan cara bahwa desa mendapat manfaat tanpa interaksi langsung dengan wisatawan. Bentuk kegiatan yang terjadi semisal : penulisan buku-buku tentang desa yang berkembang, kehidupan desa, arsitektur tradisional, latar belakang sejarah, pembuatan kartu pos dan sebagainya.

(13)

Page | 19

Bentuk-bentuk one day trip yang dilakukan oleh wisatawan, kegiatan-kegiatan meliputi makan dan berkegiatan bersama penduduk dan kemudian wisatawan dapat kembali ke tempat akomodasinya. Prinsip model tipe ini adalah bahwa wisatawan hanya singgah dan tidak tinggal bersama dengan penduduk.

c. Interaksi Langsung

Wisatawan dimungkinkan untuk tinggal/bermalam dalam akomodasi yang dimiliki oleh desa tersebut. Dampak yang terjadi dapat dikontrol dengan berbagai pertimbangan yaitu daya dukung dan potensi masyarakat setempat. Alternatif lain dari model ini adalah penggabungan dari model pertama dan kedua. (UNDP and WTO. 1981).

Kedua, Pendekatan Fisik Pengembangan Desa Wisata dimana pendekatan ini merupakan solusi yang umum dalam mengembangkan sebuah desa melalui sektor pariwisata dengan menggunakan standar-standar khusus dalam mengontrol perkembangan dan menerapkan aktivitas konservasi.

Mengonservasi sejumlah rumah yang memiliki nilai budaya dan arsitektur yang tinggi dan mengubah fungsi rumah tinggal menjadi sebuah museum desa untuk menghasilkan biaya untuk perawatan dari rumah tersebut. Contoh pendekatan dari tipe pengembangan model ini adalah Desa Wisata di Koanara, Flores. Desa wisata yang terletak di daerah wisata Gunung Kelimutu ini mempunyai aset wisata budaya berupa rumah-rumah tinggal yang memiliki arsitektur yang khas. Dalam rangka mengkonservasi dan mempertahankan rumah-rumah tersebut, penduduk desa menempuh cara memuseumkan rumah tinggal penduduk yang masih ditinggali. Untuk mewadahi kegiatan wisata di daerah tersebut dibangun juga sarana wisata untuk wisatawan yang akan mendaki Gunung Kelimutu dengan fasilitas berstandar resor minimum dan kegiatan budaya lain.

Mengonservasi keseluruhan desa dan menyediakan lahan baru untuk menampung perkembangan penduduk desa tersebut dan sekaligus

(14)

Page | 20

mengembangkan lahan tersebut sebagai area pariwisata dengan fasilitas-fasilitas wisata. Contoh pendekatan pengembangan desa wisata jenis ini adalah Desa Wisata Sade, di Lombok.

Mengembangkan bentuk-bentuk akomodasi di dalam wilayah desa tersebut yang dioperasikan oleh penduduk desa tersebut sebagai industri skala kecil. Contoh dari bentuk pengembangan ini adalah Desa Wisata Wolotopo di Flores. Aset wisata di daerah ini sangat beragam antara lain : kerajinan tenun ikat, tarian adat, rumah-rumah tradisional dan pemandangan ke arah laut. Wisata di daerah ini dikembangkan dengan membangun sebuah perkampungan skala kecil di dalam lingkungan Desa Wolotopo yang menghadap ke laut dengan atraksi-atraksi budaya yang unik. Fasilitas-fasilitas wisata ini dikelola sendiri oleh penduduk desa setempat. Fasilitas wisata berupa akomodasi bagi wisatawan, restaurant, kolam renang, peragaan tenun ikat, plaza, kebun dan dermaga perahu boat.

2.2.3. Kriteria Desa Wisata

Pada Pendekatan Pasar ini diperlukan beberapa kriteria yaitu : a. Atraksi wisata; yaitu semua yang mencakup alam, budaya dan hasil

ciptaan manusia. Atraksi yang dipilih adalah yang paling menarik dan atraktif di desa.

b. Jarak Tempuh; adalah jarak tempuh dari kawasan wisata terutama tempat tinggal wisatawan dan juga jarak tempuh dari ibukota provinsi dan jarak dari ibukota kabupaten.

c. Besaran Desa; menyangkut masalah-masalah jumlah rumah, jumlah penduduk, karakteristik dan luas wilayah desa. Kriteria ini berkaitan dengan daya dukung kepariwisataan pada suatu desa. d. Sistem Kepercayaan dan kemasyarakatan; merupakan aspek

(15)

Page | 21

komunitas sebuah desa. Perlu dipertimbangkan adalah agama yang menjadi mayoritas dan sistem kemasyarakatan yang ada.

e. Ketersediaan infrastruktur; meliputi fasilitas dan pelayanan transportasi, fasilitas listrik, air bersih, drainase, telepon dan sebagainya.

Masing-masing kriteria digunakan untuk melihat karakteristik utama suatu desa untuk kemudian menetukan apakah suatu desa akan menjadi desa dengan tipe berhenti sejenak, tipe one day trip atau tipe tinggal inap.

Pada sisi lain kriteria suatu desa dapat dikembangan menjadi desa wisata, apabila memiliki beberapa faktor-faktor pendukung antara lain; (1) Memiliki potensi produk dan daya tarik, (2) memiliki dukungan sumber daya manusia (SDM), (3) motivasi kuat dari masyarakat, (4) memiliki dukungan sarana dan prasarana yang memadai, (5) mempunyai fasilitas pendukung kegiatan wisata, (6) mempunyai kelembagaan yang mengatur kegiatan wisata, dan (7) ketersediaan lahan/area yang dimungkinkan untuk dikembangkan menjadi tujuan wisata (Disbudpar Kab malang, 2006).

2.2.4. Prinsip dasar dari pengembangan desa wisata

Agar pengelolaan dan pembentukan desa wisata tidak kontraproduktif dengan konsep Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Malang, maka beberapa prinsip pembentukan desa wisata antara lain; pertama mengembangkan berbagai potensi desa (alam dan social budaya) serta sarana dan prasarana masyarakat setempat secara arif dan berkelanjutan, sehingga dapat melindungi warisan alam dan budaya local. Kedua, menguntungkan masyarakat setempat dalam berbagai aspek, baik ekonomi, social dan budaya, sehingga eksistensi desa wisata dapat terus dipertahankan secara mandiri. Ketiga, skala

(16)

Page | 22

pembentukan desa wisata yang sesuai dengan kemampuan dan potensi desa, sehingga memungkinkan untuk terjalinnya hubungan timbal balik dengan masyarakat setempat. Keempat, pengelolaan desa wisata dilakukan secara partisipatif dengan melibatkan masyarakat setempat. Kelima menerapkan pengembangan produk wisata pedesaan.

Pengembangan fasilitas-fasilitas wisata dalam skala kecil beserta pelayanan di dalam atau dekat dengan desa.

Fasilitas-fasilitas dan pelayanan tersebut dimiliki dan dikerjakan oleh penduduk desa, salah satu bisa bekerja sama atau individu yang memiliki.

Pengembangan desa wisata didasarkan pada salah satu “sifat” budaya tradisional yang lekat pada suatu desa atau “sifat” atraksi yang dekat dengan alam dengan pengembangan desa sebagai pusat pelayanan bagi wisatawan yang mengunjungi kedua atraksi tersebut.

2.2.5. Jenis Wisatawan Pengunjung Desa Wisata

Karena bentuk wisata pedesaan yang khas maka diperlukan suatu segmen pasar tersendiri. Terdapat beberapa tipe wisatawan yang akan mengunjungi desa wisata ini yaitu :

a. Wisatawan Domestik

Wisatawan domestik ; terdapat tiga jenis pengunjung domestik yaitu :

Pertama, wisatawan atau pengunjung rutin yang tinggal di daerah dekat desa tersebut. Motivasi kunjungan : mengunjungi kerabat, membeli hasil bumi atau barang-barang kerajinan. Pada perayaan tertentu, pengunjung tipe pertama ini akan memadati desa wisata tersebut.

Kedua, wisatawan dari luar daerah (luar propinsi atau luar kota), yang transit atau lewat dengan motivasi, membeli hasil kerajinan setempat.

(17)

Page | 23

Ketiga, wisatawan domestik yang secara khusus mengadakan perjalanan wisata ke daerah tertentu, dengan motivasi mengunjungi daerah pedesaan penghasil kerajinan secara pribadi.

b. Wisatawan Manca Negara

Wisatawan yang suka berpetualang dan berminat khusus pada kehidupan dan kebudayaan di pedesaan. Umumnya wisatawan ini tidak ingin bertemu dengan wisatawan lainnya dan berusaha mengunjungi kampung dimana tidak begitu banyak wisatawan asing.

Wisatawan yang pergi dalam grup (di dalam suatu biro perjalanan wisata). Pada umumnya mereka tidak tinggal lama di dalam kampung dan hanya tertarik pada hasil kerajinan setempat.

Wisatawan yang tertarik untuk mengunjungi dan hidup di dalam kampung dengan motivasi merasakan kehidupan di luar komunitas yang biasa dihadapinya.

2.2.6. Tipe Desa Wisata

Menurut pola, proses dan tipe pengelolanya desa atau kampung wisata di Indonesia sendiri, terbagi dalam dua bentuk yaitu tipe terstruktur dan tipe terbuka.

a. Tipe terstruktur (enclave)

Tipe terstruktur ditandai dengan karakter-karakter sebagai berikut : Lahan terbatas yang dilengkapi dengan infrastruktur yang spesifik untuk kawasan tersebut. Tipe ini mempunyai kelebihan dalam citra yang ditumbuhkannya sehingga mampu menembus pasar internasional.

Lokasi pada umumnya terpisah dari masyarakat atau penduduk lokal, sehingga dampak negatif yang ditimbulkannya diharapkan terkontrol. Selain itu pencemaran sosial budaya yang ditimbulkan akan terdeteksi sejak dini.

(18)

Page | 24

Lahan tidak terlalu besar dan masih dalam tingkat kemampuan perencanaan yang integratif dan terkoordinir, sehingga diharapkan akan tampil menjadi semacam agen untuk mendapatkan dana-dana internasional sebagai unsur utama untuk “menangkap” servis-servis dari hotel-hotel berbintang lima.

Contoh dari kawasan atau perkampungan wisata jenis ini adalah kawasan Nusa Dua, Bali dan beberapa kawasan wisata di Lombok. Pedesaan tersebut diakui sebagai suatu pendekatan yang tidak saja berhasil secara nasional, melainkan juga pada tingkat internasional. Pemerintah Indonesia mengharapkan beberapa tempat di Indonesia yang tepat dapat dirancang dengan konsep yang serupa.

b. Tipe Terbuka (spontaneus)

Tipe ini ditandai dengan karakter-karakter yaitu tumbuh menyatunya kawasan dengan struktur kehidupan, baik ruang maupun pola dengan masyarakat lokal. Distribusi pendapatan yang didapat dari wisatawan dapat langsung dinikmati oleh penduduk lokal, akan tetapi dampak negatifnya cepat menjalar menjadi satu ke dalam penduduk lokal, sehingga sulit dikendalikan. Contoh dari tipe perkampungan wisata jenis ini adalah kawasan Prawirotaman, Yogyakarta.

2.2.7. Persyaratan Desa Wisata.

Merujuk kepada definisi desa wisata, desa-desa yang bisa dikembangkan dalam program desa wisata akan memberikan contoh yang baik bagi desa lainnya, penetapan suatu desa dijadikan sebagai desa wisata harus memenuhi persyaratan-persyaratan, antara lain sebagai berikut :

a. Aksesbilitasnya baik, sehingga mudah dikunjungi wisatawan dengan menggunakan berbagai jenis alat transportasi.

(19)

Page | 25

b. Memiliki obyek-obyek menarik berupa alam, seni budaya, legenda, makanan local, dan sebagainya untuk dikembangkan sebagai obyek wisata.

c. Masyarakat dan aparat desanya menerima dan memberikan dukungan yang tinggi terhadap desa wisata serta para wisatawan yang datang ke desanya.

d. Keamanan di desa tersebut terjamin.

e. Tersedia akomodasi, telekomunikasi, dan tenaga kerja yang memadai.

f. Beriklim sejuk atau dingin.

g. Berhubungan dengan obyek wisata lain yang sudah dikenal oleh masyarakat luas.

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan dari penelitian ini adalah mengembangkan sebuah sistem untuk melakukan human tracking pada area tertentu yang tertutup dengan memanfaatkan teknologi RFID, IP Camera

Mendownload & Memantau Data Hotspot harian dari Website Sipongi untuk Wilayah Kerja Daops Dumai adalah Nihil4. Mendownload, Memantau dan mengolah Data AWS/SPBK di

Lubrical Suga Sejahtera tidak ada proses seleksi yang dilakukan untuk menyeleksi suksesor karena calon suksesor perusahaan hanya terdapat satu calon saja, Christ

Adapun maksud dari penulisan karya ilmiah dengan judul “UPAYA PENINGKATAN MOTORIK HALUS ANAK MELALUI METODE ROLE GAME PADA ANAK KELOMPOK B DI TAMAN KANAK-KANAK NEGERI PEMBINA

Namun, mengingat masih melekatnya budaya patriarki dan juga adat ataupun kebiasaan yang sudah mengakar pada masyarakat Indonesia ditambah dengan kurangnya pemahaman

Kegiatan memberikan bantuan sebesar 1 miliar rupiah melalui Baz- nas DKI Jakarta, memberikan bantuan alat kesehatan pada paramedic dan kolaborasi antara JNE dan

rencana fisik dari perencanaan pra kampus terpadu menjadi. perencanaan kampus

Kondisi dan persepsi pengunjung/jamaah pada Masjid Agung Jawa Tengah adalah pengunjung Masjid Agung Jawa Tengah mayoritas adalah jamaah domestik yang berasal dari