• Tidak ada hasil yang ditemukan

FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PRESTASI AKADEMIK MURID SEKOLAH MENENGAH PERTAMA DI JAKARTA YANG MENGALAMI GANGGUAN TIDUR TESIS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PRESTASI AKADEMIK MURID SEKOLAH MENENGAH PERTAMA DI JAKARTA YANG MENGALAMI GANGGUAN TIDUR TESIS"

Copied!
109
0
0

Teks penuh

(1)

UNIVERSITAS INDONESIA

FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PRESTASI

AKADEMIK MURID SEKOLAH MENENGAH PERTAMA

DI JAKARTA YANG MENGALAMI GANGGUAN TIDUR

TESIS

Fijri Auliyanti 0806359971

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS INDONESIA PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS

ILMU KESEHATAN ANAK JAKARTA

(2)

i

UNIVERSITAS INDONESIA

FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PRESTASI

AKADEMIK MURID SEKOLAH MENENGAH PERTAMA

DI JAKARTA YANG MENGALAMI GANGGUAN TIDUR

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Dokter Spesialis Anak

TESIS

Fijri Auliyanti 0806359971

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS INDONESIA PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS

ILMU KESEHATAN ANAK JAKARTA

(3)
(4)
(5)

iv

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena berkat ridho dan rahmatNya, penulis dapat menyelesaikan tesis ini. Tugas akhir ini disusun untuk memenuhi persyaratan pendidikan sebagai peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis Anak di Departemen Ilmu Kesehatan Anak, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Pada kesempatan ini, penulis ingin menghaturkan hormat dan terima kasih sebesar-besarnya kepada:

1. Dr. dr. Rini Sekartini, Sp.A(K) selaku pembimbing materi yang dengan penuh perhatian dan kesabaran senantiasa membimbing penulis sejak penulisan sari pustaka, usulan penelitian, pelaksanaan penelitian, sampai penyusunan tesis.

2. Dr. dr. Irawan Mangunatmadja, Sp.A(K) selaku pembimbing metodologi, yang telah memberikan bimbingan, pengarahan, dan petunjuk yang sangat berarti kepada penulis dalam menyusun tesis ini.

3. Prof. dr. Taralan Tambunan, Sp.A(K), Dr. dr. Aryono Hendarto, Sp.A(K), dan Dr. dr. Pustika Amalia Wahidiyat, Sp.A(K), selaku dewan penguji, yang telah meluangkan waktu untuk memberikan masukan dan kritikan yang sangat bermanfaat untuk penyempurnaan tesis ini.

4. Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, serta kepada Prof. Dr. dr. Bambang Supriyatno, Sp.A(K) selaku Kepala Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI/RSCM dan Dr. dr. Partini P. Trihono, Sp.A(K), M.Med (Paed) selaku Ketua Program Studi Ilmu Kesehatan Anak, yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti pendidikan dokter spesialis anak dan memacu penulis untuk menyelesaikan pendidikan ini.

5. Seluruh staf pengajar Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI/RSCM yang telah memberikan bimbingan dan bekal ilmu pengetahuan selama penulis mengikuti pendidikan.

6. Kepala sekolah SMPN 30 Jakarta Dra. AMT Sri Eko Yaniati, MM, Kepala sekolah SMPN 216 Jakarta Dr. Hj. Ajisarni L.Z. M.Pd, Kepala sekolah SMPN 115 Jakarta Dra. Pesta Maria Y.S. M.Pd, Kepala sekolah SMPN 75

(6)

v

Jakarta Drs. H. Siddik Tawad, dan Kepala sekolah SMPN 255 Jakarta Drs H. Jojo Zaenudin Dimyati M.Pd, yang telah memberikan izin kepada penulis untuk melaksanakan penelitian.

7. Wakil Kepala Sekolah SMPN 30 Jakarta Drs. H. Muhamad Efendi, M.Si, Staf Kesiswaan SMPN 216 Jakarta Bapak Drs. Saman A.S. dan Ibu Edeh Djubaedah M.Pd, Staf UKS SMPN 115 Jakarta Dra. Budiyawati, Staf Humas SMPN 75 Jakarta Drs. Mulyadi MM, serta Ibu Tiyur dan Henik Karjati, S.Pd dari SMPN 255 Jakarta yang telah membantu dan memberikan kemudahan kepada penulis dalam melaksanakan penelitian.

8. Jovita Maria Ferliana, M.Psi, Psikolog yang telah membantu dan memberikan masukan kepada penulis dalam penyusunan tesis ini.

9. Rekan-rekan PPDS IKA khususnya teman-teman PPDS IKA angkatan Juli 2008: Mbak Alvi, Anisa, Ayijati, Mas Daniel, Mas Dave, Teh Dede, Debora, Dewi, Mbak Emilda, Fathy, Ihat, Mbak Ina, Liza, Mbak Rita Mey, Mas Adhi, Reni, Mas Renno, Mas Satria, Teh Teti, Mbak Swanty, dan Mbak Sita yang senantiasa memberikan semangat dan mendukung dalam suka dan duka selama masa pendidikan. Kalian telah menjadi teman bersama dalam jatuh-bangun, berbagi cerita dan pembangkit semangat.

10. Saya persembahkan tesis ini kepada suami saya tercinta Endang Saputro, ST, yang telah memberikan dukungan dari segala segi, baik moril maupun materiil. “Aa” selalu memberikan perhatian, dukungan, pengertian, doa, dan cinta kepada penulis sehingga penulis mampu mencapai tahap ini. Kepada kedua putriku tercinta Nada Nafisah dan Hanin Raihanah, yang selalu memberikan semangat dan doa serta mengorbankan waktu bersama ibunya selama penulis menjalani pendidikan.

11. Ibunda dan ayahanda tersayang, Tati Hartiana dan Bahrul SH, yang telah membesarkan dan mendidik penulis dengan kasih sayang hingga saat ini. Rasa hormat, cinta, dan terima kasih sebesar-besarnya penulis haturkan untuk mereka. Kepada Bapak Sutanto dan Ibu Poni, penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya atas dukungan dan doa yang diberikan kepada penulis. Semoga Allah senantiasa melindungi mereka dan memberi penulis

(7)

vi

kesempatan dan kemampuan untuk berbakti dan membalas segala jasa dan budi mereka.

12. Eni dan Yuni, asisten rumah tangga yang telah menggantikan tugas penulis dalam mengurus rumah serta menjaga Nada dan Hanin dengan penuh kasih sayang selama penulis tidak berada di rumah.

13. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu, yang telah banyak membantu penulis selama menjalani proses pendidikan dan penelitian ini.

Akhir kata, semoga Allah SWT membalas kebaikan semua pihak yang telah membantu penulis. Saran dan kritik yang membangun senantiasa penulis harapkan demi penyempurnaan di masa mendatang. Semoga penelitian ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Jakarta, Mei 2013

(8)
(9)

viii ABSTRAK Nama : Fijri Auliyanti

Program studi : Pendidikan Dokter Spesialis Ilmu Kesehatan Anak

Judul : Faktor yang Berhubungan dengan Prestasi Akademik Murid Sekolah Menengah Pertama di Jakarta yang Mengalami Gangguan Tidur

Latar belakang. Gangguan tidur pada remaja memiliki prevalens yang tinggi dan dapat memengaruhi prestasi akademik di sekolah. Namun, sejauh ini di Indonesia, belum terdapat studi yang meneliti prestasi akademik pada remaja dengan gangguan tidur serta faktor yang berhubungan.

Tujuan. Penelitian ini untuk mengetahui: (1) prevalens dan pola gangguan tidur berdasarkan SDSC, (2) proporsi murid SMP dengan gangguan tidur yang memiliki prestasi akademik di bawah rerata, (3) hubungan antara: jenis kelamin, motivasi dan strategi belajar, nilai IQ, tingkat pendidikan ibu, tingkat sosial ekonomi keluarga, struktur keluarga, pendidikan di luar sekolah, adanya TV/komputer di kamar tidur, durasi tidur di hari sekolah, perbedaan waktu tidur dan bangun, dan prestasi akademik murid SMP dengan gangguan tidur.

Metode. Penelitian potong lintang analitik di lima SMP di Jakarta pada bulan Januari hingga Maret 2013. Skrining gangguan tidur dengan kuesioner Sleep Disturbance Scale for Children dilakukan terhadap 491 orang murid SMP di Jakarta. Murid yang memenuhi kriteria gangguan tidur diminta mengisi kuesioner motivasi dan strategi pembelajaran. Peneliti meminta nilai IQ subjek penelitian. Hasil. Terdapat 129 subjek yang memenuhi kriteria gangguan tidur. Empat orang subjek di drop-out karena tidak memiliki nilai IQ. Prevalens gangguan tidur sebesar 39,7% dengan jenis gangguan tidur terbanyak adalah gangguan memulai dan mempertahankan tidur (70,2%). Sebanyak 47,6% subjek memiliki prestasi akademik di bawah rerata. Sebagian besar subjek perempuan (71%), termasuk sosial ekonomi menengah ke bawah (58,9%), memiliki motivasi dan strategi belajar yang cukup (72,6%), dan mengikuti pendidikan di luar sekolah (87,9%). Tiga belas subjek yang memiliki nilai IQ di bawah rata-rata tidak diikutsertakan dalam analisis bivariat dan multivariat. Berdasarkan uji regresi logistik, faktor yang paling berhubungan dengan prestasi akademik di bawah rerata secara berurutan, yaitu pendidikan di luar sekolah (> 2 jenis, non-akademik), nilai IQ rata-rata, dan jenis kelamin lelaki.

Simpulan. Prevalens gangguan tidur pada murid SMP di Jakarta adalah 39,7% dengan jenis gangguan tidur terbanyak adalah gangguan memulai dan mempertahankan tidur. Sebanyak 47,6% subjek memiliki prestasi akademik di bawah rerata. Faktor yang terbukti berhubungan dengan prestasi akademik di bawah rerata adalah pendidikan di luar sekolah (> 2 jenis, non-akademik), nilai IQ rata-rata, dan jenis kelamin lelaki.

(10)

ix ABSTRACT Name : Fijri Auliyanti

Program : Pediatrics

Title : Factors Related to Academic Achievement in Junior High School Students in Jakarta with Sleep Disorders

Background. Sleep disorders are prevalent in adolescents and may influence their academic achievement at school. However, in Indonesia, no research has ever been done to study academic achievement in students with sleep disorders and related factors.

Objectives. This study aimed to define: (1) the prevalence of sleep disorders and their patterns based on the SDSC questionnaire, (2) the proportion of junior high school students having low average academic achievement, (3) the relationship between factors; i.e gender, motivation and learning strategies, IQ level, mothers' educational level, socioeconomic level, family structure, non-formal education, TV/computer set inside the bedroom, sleep duration during schooldays, bedtime-wakeup time difference; and the academic achievement in junior high school students with sleep disorders.

Method. This was an analytical cross-sectional study, performed at five junior high schools in Jakarta between January to March 2013. Screening for sleep disorders, based on the Sleep Disturbance Scale for Children questionnaires, was done in 491 junior high school students. Students who fulfilled the criteria of sleep disorders, were asked to fill in the Motivated Strategies for Learning Questionnaire (MSLQ). The IQ level of each subjects was also measured.

Results. There were 129 subjects who fulfilled the sleep disorders criteria. Four subjects were dropped out due to they didn’t have IQ level. The prevalence of sleep disorder in this study was 39.7%, mostly difficulty in initiating and maintaining sleep (70.2%). There were 47.6% subjects had low average academic achievement. As many as 13 subjects had low average IQ level and were not included in bivariate and multivariate analysis. Subjects mostly female (71%), with middle-low income (58.9%), had moderate motivation and learning strategies (72.6%), and attended non-formal education (87.9%). Based on the logistic regression analysis, the most influencing factors to the low average academic achievement are consecutively: the non-formal education ( > 2 types, non-academic), the average IQ level, and male sex.

Conclusion. The prevalence of sleep disorders in junior high school students in Jakarta are 39.7%, mostly difficulty in initiating and maintaining sleep. There were 47.6% subjects had low average grade. Factors related to the low average academic achievement are non-formal education ( > 2 types, non-academic), the average IQ level, and male sex.

(11)

x DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL... i

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS... . ii

HALAMAN PENGESAHAN... iii

KATA PENGANTAR... iv

HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI... vii

ABSTRAK... viii

ABSTRACT... ix

DAFTAR ISI... x

DAFTAR TABEL... xiii

DAFTAR GAMBAR... xiv

DAFTAR LAMPIRAN... xv

DAFTAR SINGKATAN... xvi

1. PENDAHULUAN ... 1 1.1 Latar Belakang... 1 1.2 Rumusan Masalah... 3 1.3 Pertanyaan Penelitian... 3 1.4 Hipotesis Penelitian... 4 1.5 Tujuan Penelitian... 4 1.5.1 Tujuan Umum... 4 1.5.2 Tujuan Khusus... 4 1.6 Manfaat Penelitian... 5 1.6.1 Bidang Akademik... 5

1.6.2 Bidang Pengembangan Penelitian... 5

1.6.3 Bidang Pengabdian Masyarakat... 5

2. TINJAUAN PUSTAKA... 7

2.1 Prestasi Akademik... 7

2.1.1 Faktor yang Memengaruhi Prestasi Akademik... 8

2.1.1.1 Faktor Individu... 8

2.1.1.2 Faktor Lingkungan... 10

2.2 Fisiologi Tidur... 12

2.3 Perkembangan Pola Tidur Anak... 13

2.3.1 Perkembangan Pengaturan Tidur... 13

2.3.2 Perkembangan Pola Tidur Remaja... 13

2.4 Faktor yang Memengaruhi Perkembangan Tidur... 15

2.4.1 Faktor Budaya dan Keluarga... 15

2.4.2 Faktor Perkembangan Anak... 15

2.4.3 Faktor Organik... 15

2.4.4 Faktor Lingkungan... 15

2.4.5 Faktor Orangtua... 16

2.4.6 Faktor Sekolah dan Aktivitas Ekstrakulikuler... 16

2.5 Fungsi Tidur... 16

2.6 Gangguan Tidur pada Remaja... 17

2.6.1 Definisi Gangguan Tidur... 17

2.6.2 Epidemiologi ... 17

(12)

xi

2.6.3.1 Disomnia... 18

2.6.3.2 Parasomnia... 21

2.6.4 Dampak Gangguan Tidur pada Remaja... 23

2.7 Hubungan Waktu Mulai Sekolah dengan Gangguan Tidur dan Prestasi Akademik... 23

2.8 Skrining Gangguan Tidur... 24

2.8.1 Sleep Disturbance Scale for Children (SDSC)... 24

2.9 Diagnosis Gangguan Tidur... 26

2.10 Tata Laksana Gangguan Tidur... 27

2.10.1 Edukasi... 27 2.10.2 Terapi Perilaku... 28 2.10.3 Terapi Medis ... 29 3. KERANGKA TEORI... 30 4. KERANGKA KONSEP... 31 5. METODOLOGI PENELITIAN... 32 5.1 Desain Penelitian... 32

5.2 Tempat dan Waktu Penelitian... 32

5.3 Populasi Penelitian... 32

5.4 Kriteria Inklusi dan Eksklusi... 32

5.5 Besar Sampel dan Cara Pengambilan Sampel... 33

5.6 Pelaksanaan Penelitian... 35 5.6.1 Pra-Penelitian... 35 5.6.2 Penelitian... 35 5.6.3 Pasca-Penelitian... 36 5.7 Alur Penelitian... 37 5.8 Identifikasi Variabel... 38 5.9 Definisi Operasional... 38

5.10 Manajemen dan Analisis Data... 44

5.11 Etik Penelitian... 44

6. HASIL PENELITIAN... 46

6.1 Alur Subjek Penelitian... 46

6.2 Karakteristik Subjek Penelitian... 47

6.3 Prevalens Gangguan Tidur pada Murid SMP di Jakarta... 49

6.4 Kebiasaan Tidur Subjek Penelitian... 49

6.5 Jenis Gangguan Tidur pada Subjek Penelitian... 49

6.6 Persepsi Orangtua Mengenai Gangguan Tidur pada Anak... 50

6.7 Prestasi Akademik Subjek Penelitian... 50

6.8 Pendidikan di Luar Sekolah Subjek Penelitian... 50

6.9 Faktor yang Berhubungan dengan Prestasi Akademik... 51

6.10 Analisis Multivariat terhadap Faktor yang Berhubungan dengan Prestasi Akademik... 53

7. PEMBAHASAN... 55

7.1 Keterbatasan Penelitian... 55

7.2 Karakteristik Subjek Penelitian... 57

(13)

xii

7.4 Kebiasaan Tidur Subjek Penelitian... 58

7.5 Jenis Gangguan Tidur pada Subjek Penelitian... 59

7.6 Persepsi Orangtua Mengenai Gangguan Tidur pada Anak... 59

7.7 Prestasi Akademik Subjek Penelitian... 60

7.8 Pendidikan di Luar Sekolah Subjek Penelitian... 60

7.9 Faktor yang yang Berhubungan dengan Prestasi Akademik .. 60

7.10 Analisis Multivariat terhadap Faktor yang yang Berhubungan dengan Prestasi Akademik... 66

8. SIMPULAN DAN SARAN... 69

8.1 Simpulan... 69

8.2 Saran... 69

(14)

xiii

DAFTAR TABEL

Tabel 6.2. Karakteristik Subjek Penelitian... 48

Tabel 6.4. Kebiasaan Tidur Subjek Penelitian... 49

Tabel 6.5. Jenis Gangguan Tidur pada Subjek Penelitian... 49

Tabel 6.8.1. Pendidikan di Luar Sekolah Subjek Penelitian... 50

Tabel 6.8.2. Prestasi Akademik Subjek Penelitian yang Mengikuti Pendidikan di Luar Sekolah... 51

Tabel 6.9. Hubungan Jenis Kelamin, Pendidikan Ibu, Sosial Ekonomi Keluarga, Struktur Keluarga, Nilai IQ, Motivasi dan Strategi Belajar, Durasi Tidur Sekolah, Perbedaan Waktu Tidur, Perbedaan Waktu Bangun, TV/Komputer di Kamar Tidur, dan Pendidikan di Luar Sekolah dengan Prestasi Akademik... 52

Tabel 6.10. Hubungan Jenis Kelamin, Nilai IQ, Struktur Keluarga, Pendidikan di Luar Sekolah, Sosial Ekonomi Keluarga, serta Motivasi dan Strategi Belajar dengan Prestasi Akademik... 54

(15)

xiv

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.2.1. Proporsi REM dan NREM... 13

Gambar 3. Kerangka Teori... 30

Gambar 4. Kerangka Konsep... . 31

Gambar 5.7. Alur Penelitian... 37

(16)

xv

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Penjelasan penelitian 78

Lampiran 2. Surat pernyataan persetujuan orangtua ikut serta dalam

penelitian 80

Lampiran 3. Surat pernyataan persetujuan murid ikut serta dalam

penelitian 81

Lampiran 4. Survei karakteristik subjek 82 Lampiran 5. Kuesioner Sleep Disturbance Scale for Children 83

Lampiran 6. SDSC scoring sheet 88

Lampiran 7. Kuesioner mengenai motivasi dan strategi pembelajaran 89 Lampiran 8. Keterangan Lolos Kaji Etik Penelitian 92

(17)

xvi

DAFTAR SINGKATAN ACG aktigrafi

AAP The American Academy of Pediatrics

BDI-2 Batelle Developmental Inventory-second edition BEDS Behavioral Evaluation of Disorders of Sleep BSID-III Bayley Scales of Infant Development-III

DSM IV Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, fourth edition)

EEG elektroensefalografi

FKUI Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia GPA grade point average

IK interval kepercayaan IQ intelligence quotient MA madrasah aliyah

MAK madrasah aliyah kejuruan MI madrasah ibtidaiyah MTs madrasah tsanawiyah

MSLQ motivated strategies for learning questionnaire NREM non-rapid eye movement

OSA obstructive sleep apnea

OECD Organization for Economic Cooperation and Development PPDGJ pedoman penggolongan dan diagnosis gangguan jiwa PSG polisomnografi

REM rapid eye movement RLS restless legs syndrome RP rasio prevalens

RSBI Rintisan Sekolah Berstandar Internasional PLMD periodic limb movement disorder

RSCM Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo SDSC sleep disturbance scale for children SMPN sekolah menengah pertama negeri SMA sekolah menengah atas

SMK sekolah menengah kejuruan SMS short message service SAI school achievement index WHO World Health Organization

WISC-IV Wechsler Intelligence Scale for Children-fourth edition

(18)

1 Universitas Indonesia

1.1 Latar Belakang

Tidur merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia dan berperan sangat penting dalam perkembangan anak. Tidur tidak hanya berdampak pada pertumbuhan dan perkembangan fisik maupun emosional namun juga sangat terkait dengan fungsi kognitif, pembelajaran, dan atensi.1,2 Pola tidur berkembang sesuai dengan usia. Bayi baru lahir tidur hampir sepanjang waktu, tetapi setelah usia 6 bulan bayi tidur sekitar 13 jam per hari. Anak usia 2 tahun tidur 12 jam per hari, usia 4 tahun tidur 10-12 jam dan remaja tidur 8-9 jam per hari.3

Pola tidur remaja berbeda dibandingkan tahap usia lain karena adanya perubahan hormonal dan pergeseran irama sirkadian. Remaja mulai mengantuk pada tengah malam sedangkan mereka harus bangun pagi untuk berangkat ke sekolah.4 Wolfson dan Carskadon5 menilai kebiasaan tidur-bangun pada 3120 anak sekolah usia 13-19 tahun di Amerika Serikat dan menemukan bahwa rerata lama tidur malam adalah 7,3 jam. Waktu tidur malam adalah pukul 22:35 dan bangun pagi pukul 06:05. Pada hari libur, waktu tidur dimulai pukul 00:25 dan bangun pagi pukul 09:32, dengan durasi tidur 9 jam 7 menit.

Beberapa penelitian “self report” menyatakan bahwa banyak remaja tidak memiliki tidur yang adekuat, mereka terbangun hingga tengah malam pada hari sekolah dan tidur di hari libur.4,6-10 Penelitian di Indonesia yang dilakukan oleh Natalita dkk11 melaporkan bahwa berdasarkan pemeriksaan wrist actigraphy didapatkan rerata waktu subjek tidur adalah pukul 22:12 WIB dan waktu bangun pukul 05:55 WIB, sehingga total waktu tidur 6 jam 47 menit.

Gangguan tidur didefinisikan sebagai pola tidur yang tidak memuaskan bagi orangtua, anak, atau dokter, yang dicirikan dengan gangguan dalam jumlah, kualitas, atau waktu tidur pada seorang individu.12 Diagnosis gangguan tidur sulit ditegakkan karena adanya perbedaan pola tidur pada setiap tahap perkembangan anak dan toleransi keluarga terhadap perilaku tidur anak sangat bervariasi.13,14

(19)

Universitas Indonesia

Prevalens gangguan tidur pada murid sekolah menengah pertama (SMP) berusia 12-15 tahun di Jakarta Timur dilaporkan sebesar 62,9% dengan menggunakan Sleep Disturbance Scale for Children (SDSC).15 Jenis gangguan tidur yang sering ditemukan adalah gangguan memulai dan mempertahankan tidur.16

Gangguan tidur pada remaja dipengaruhi oleh faktor medis dan non-medis. Faktor non-medis antara lain: jenis kelamin, pubertas, kebiasaan tidur, status sosioekonomi, keadaan keluarga, gaya hidup, dan lingkungan. Faktor medis yaitu gangguan neuropsikiatri dan penyakit kronik.17,18 Dampak gangguan tidur pada remaja adalah meningkatkan angka ketidakhadiran di sekolah; memengaruhi prestasi akademik; meningkatkan risiko penggunaan alkohol, rokok, dan risiko terjadinya obesitas.9 Chung dkk19 menemukan bahwa remaja dengan nilai akademik yang baik memiliki waktu tidur yang lebih awal dan jarang mengalami rasa mengantuk di siang hari dibandingkan remaja yang memiliki nilai akademik yang rendah.

Prestasi akademik sekolah dipengaruhi oleh faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal berasal dari anak itu sendiri sementara faktor eksternal berasal dari lingkungan, termasuk di antaranya: lingkungan keluarga, teman bermain, sekolah, dan komunitas tempat tinggal.20,21 Pengukuran prestasi akademik sekolah dapat dilakukan dengan menggunakan beberapa cara. Ng dkk22 pada tahun 2009 melakukan penelitian terhadap remaja di Hong Kong untuk mencari hubungan antara lama tidur dan prestasi akademik di sekolah. Indikator yang digunakan adalah nilai matematika dan bahasa Inggris.

Penelitian mengenai prestasi akademik pada remaja dengan gangguan tidur belum banyak dilakukan. Penelitian di Italia23, Belgia24, dan Amerika Serikat5 menemukan hubungan bermakna antara pola tidur, kebiasaan tidur (perbedaan waktu tidur, durasi tidur di hari sekolah, dan perbedaan waktu bangun), serta skor gangguan tidur dengan prestasi akademik remaja. Faktor lain yang dapat memengaruhi prestasi akademik remaja di antaranya adalah: tingkat pendidikan orangtua, tingkat pendidikan ibu, enuresis, dan kelelahan anak.23,24

(20)

Universitas Indonesia

Tingginya prevalens gangguan tidur pada remaja serta pengaruhnya terhadap prestasi akademik membutuhkan adanya deteksi dini gangguan tidur dan penanganan yang optimal. Keluhan gangguan tidur seringkali tidak disampaikan oleh remaja kepada orangtuanya dan lagi pula pola tidur remaja tidak lagi menjadi pusat perhatian orangtua. Hal tersebut menyebabkan gangguan tidur pada remaja seringkali tidak terdeteksi, dan pada akhirnya tidak ditangani dengan baik. Sleep Disturbance Scale for Children (SDSC) dapat mendeteksi adanya enam jenis gangguan tidur pada anak. Penelitian mengenai gangguan tidur pada remaja di Indonesia sangat terbatas. Hingga saat ini belum terdapat penelitian mengenai faktor yang memengaruhi prestasi akademik remaja dengan gangguan tidur. Oleh karena itu peneliti akan melakukan penelitian mengenai faktor yang berhubungan dengan prestasi akademik pada murid SMP di Jakarta yang mengalami gangguan tidur.

1.2 Rumusan Masalah

Menurut penelitian di luar negeri gangguan tidur pada remaja sangat berpengaruh pada prestasi akademik. Di Indonesia, murid SMP memiliki waktu sekolah lebih lama daripada durasi tidur harian yaitu 7,5-8 jam per hari dibandingkan 6 jam 47 menit (durasi tidur normal 8-9 jam).11 Murid SMP memulai sekolah pukul 6:30 WIB dan pulang pukul 14:00-14:30 WIB, kemudian 76% di antaranya harus mengikuti pendidikan tambahan baik di dalam maupun di luar lingkungan sekolah. Hingga saat ini belum terdapat data penilaian prestasi akademik pada remaja dengan gangguan tidur di Indonesia. Berdasarkan masalah tersebut, peneliti ingin mengetahui prevalens gangguan tidur pada remaja, prestasi akademik pada remaja dengan gangguan tidur serta hal-hal yang memengaruhinya.

1.3 Pertanyaan Penelitian

Peneliti merumuskan beberapa pertanyaan penelitian, sebagai berikut:

1. Bagaimana prevalens dan pola gangguan tidur murid SMP di Jakarta berdasarkan SDSC pada tahun 2012?

(21)

Universitas Indonesia

2. Bagaimana kebiasaan tidur (durasi tidur di hari sekolah dan hari libur, perbedaan waktu tidur dan bangun) murid SMP di Jakarta pada tahun 2012? 3. Berapakah proporsi murid SMP dengan gangguan tidur yang memiliki prestasi

akademik di bawah rerata?

4. Apakah terdapat hubungan antara: jenis kelamin, motivasi dan strategi belajar, nilai intelligence quotient (IQ), tingkat pendidikan ibu, tingkat sosial ekonomi keluarga, struktur keluarga, pendidikan di luar sekolah, adanya televisi (TV)/komputer di kamar tidur, durasi tidur di hari sekolah, perbedaan waktu tidur dan perbedaan waktu bangun, dan prestasi akademik murid SMP dengan gangguan tidur?

5. Bagaimana probabilitas seorang murid SMP dengan gangguan tidur untuk memiliki prestasi akademik di bawah rerata?

1.4 Hipotesis Penelitian

Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan penelitian tersebut maka diajukan hipotesis sebagai berikut :

Prestasi akademik di bawah rerata pada murid SMP yang mengalami gangguan tidur berhubungan dengan jenis kelamin lelaki, motivasi dan strategi belajar kurang, nilai IQ di bawah rata-rata, tingkat pendidikan ibu yang rendah, tingkat sosial ekonomi keluarga yang rendah, orangtua tunggal, adanya pendidikan di luar sekolah, adanya TV/komputer di kamar tidur, kurangnya durasi tidur di hari sekolah, adanya perbedaan waktu tidur dan bangun.

1.5 Tujuan Penelitian 1.5.1 Tujuan Umum

Mengetahui faktor yang berhubungan dengan prestasi akademik murid SMP di Jakarta yang mengalami gangguan tidur.

1.5.2 Tujuan Khusus

1. Mengetahui prevalens dan pola gangguan tidur berdasarkan SDSC pada murid SMP di Jakarta pada tahun 2012.

(22)

Universitas Indonesia

2. Mengetahui kebiasaan tidur (durasi tidur di hari sekolah dan hari libur, perbedaan waktu tidur dan bangun) murid SMP di Jakarta pada tahun 2012. 3. Mengetahui proporsi murid SMP dengan gangguan tidur yang memiliki

prestasi akademik di bawah rerata.

4. Mengetahui hubungan antara: jenis kelamin, motivasi dan strategi belajar, nilai IQ, tingkat pendidikan ibu, tingkat sosial ekonomi keluarga, struktur keluarga, pendidikan di luar sekolah, adanya TV/komputer di kamar tidur, durasi tidur di hari sekolah, perbedaan waktu tidur dan perbedaan waktu bangun, dan prestasi akademik murid SMP di Jakarta yang mengalami gangguan tidur.

5. Mengetahui probabilitas seorang murid SMP dengan gangguan tidur untuk memiliki prestasi akademik di bawah rerata.

1.6 Manfaat Penelitian 1.6.1 Bidang Akademik

1. Mengetahui kebiasaan tidur (durasi tidur di hari sekolah dan hari libur, perbedaan waktu tidur dan bangun) pada remaja.

2. Mengetahui prevalens dan pola gangguan tidur pada remaja.

3. Mengetahui hubungan antara: jenis kelamin, motivasi dan strategi belajar, nilai IQ, tingkat pendidikan ibu, tingkat sosial ekonomi keluarga, struktur keluarga, pendidikan di luar sekolah, adanya TV/komputer di kamar tidur, durasi tidur di hari sekolah, perbedaan waktu tidur dan perbedaan waktu bangun, dan prestasi akademik murid SMP dengan gangguan tidur.

1.6.2 Bidang Pengembangan Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan menjadi landasan dan data dasar bagi penelitian lebih lanjut mengenai prestasi akademik pada remaja dengan gangguan tidur. 1.6.3 Bidang Pengabdian Masyarakat

1. Memberi gambaran mengenai kebiasaan tidur dan gangguan tidur pada remaja.

(23)

Universitas Indonesia

2. Instrumen SDSC diharapkan dapat digunakan oleh tenaga kesehatan sebagai alat skrining deteksi dini adanya gangguan tidur pada remaja.

3. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi pemerintah untuk menetapkan kebijakan sekolah yang dapat memengaruhi pola tidur anak remaja.

(24)

7 Universitas Indonesia

2.1 Prestasi Akademik

Prestasi memiliki arti hasil yang telah dicapai (dari yang telah dilakukan, dikerjakan, dsb). Prestasi akademik didefinisikan sebagai hasil pelajaran yang diperoleh dari kegiatan belajar di sekolah atau perguruan tinggi yang bersifat kognitif dan biasanya ditentukan melalui pengukuran dan penilaian.25 Performa seorang anak di sekolah terdiri dari faktor yang memengaruhi kesuksesan anak di sekolah. Faktor-faktor tersebut adalah:

a. Perilaku dan keterampilan kognitif, meliputi kemampuan kognitif dasar, seperti fungsi eksekutif, atensi, memori, verbal comprehension, dan proses informasi.

b. Perilaku akademik, meliputi perilaku yang memiliki dampak pada prestasi akademik murid sekolah. Indikator yang umum digunakan antara lain: on-task behaviour, organisasi, perencanaan, kehadiran, penjadwalan, dan kontrol impuls.

c. Prestasi akademik, meliputi skor ujian yang telah distandardisasi seperti penilaian membaca, matematika dan bahasa, penilaian di kelas (nilai rapor), indeks prestasi, dan penilaian formal lain.20

Penilaian prestasi akademik murid merupakan salah satu cara untuk mengetahui mutu pengajaran dalam sekolah. Ada beberapa cara untuk mengevaluasi “mutu” murid yang berkaitan dengan pendidikan formal, tetapi indikator yang paling dapat dilacak adalah bagaimana kinerja murid yang bersangkutan ketika mengikuti suatu ujian.26 Ujian yang diberikan kepada murid dapat bersifat harian, yang diberikan oleh guru dan hasil penilaiannya akan dimasukan ke dalam rapor murid, atau ujian yang dilakukan di tingkat nasional. Ujian merupakan indikator objektif, terutama ujian yang dilaksanakan pemerintah di tingkat nasional, karena sekolah atau guru tidak dapat memberikan nilai rendah atau tinggi kepada murid berdasarkan alasan pribadi atau alasan lainnya. Hasil ujian juga dapat dipercaya karena setiap murid akan memperoleh hasil sesuai dengan kemampuannya,

(25)

Universitas Indonesia

terutama kemampuan yang diajarkan dan diperoleh di lembaga pendidikan formal. Ujian yang telah distandardisasi secara nasional juga memungkinkan pemerintah secara objektif mengevaluasi tingkat mutu sekolah relatif terhadap sekolah lainnya.27

Terdapat beberapa hal tidak menguntungkan yang disebabkan oleh penggunaan hasil ujian sebagai alat evaluasi. Pertama: guru mungkin hanya mengajarkan bahan pelajaran yang akan diuji. Hal ini sangat mungkin terjadi bila tanggal dan bahan ujian sudah diketahui terlebih dahulu. Kedua: kemungkinan munculnya upaya untuk memanipulasi hasil ujian. Ketiga: keterampilan murid yang diperoleh secara khusus, misalnya karena latar belakang dan kondisi sosial ekonomi murid, akses terhadap fasilitas dan keterampilan, dianggap dan telah terbukti dalam sejumlah studi ternyata mempunyai peran penting dalam menentukan kinerja murid ketika ujian.26

2.1.1 Faktor yang Memengaruhi Prestasi Akademik

Faktor yang dapat memengaruhi prestasi akademik anak terbagi menjadi dua bagian, yaitu faktor internal (individu) dan faktor eksternal (lingkungan).21

• Faktor individu antara lain kognitif dan fisik

• Faktor lingkungan antara lain sekolah, rumah, dan lingkungan tempat tinggal

2.1.1.1 Faktor Individu 1. Faktor Kognitif Anak

Kognitif adalah kemampuan untuk mempelajari, mengingat, dan menggambarkan informasi serta memecahkan masalah. Kemampuan kognitif anak berkembang sesuai dengan bertambahnya usia. Proses pembelajaran dan pengolahan informasi menjadi lebih cepat, daya ingat menjadi lebih lama, dan kemampuan abstrak semakin berkembang. Kemajuan perkembangan kognitif juga berhubungan dengan pengalaman dan pembelajaran.28,29

Perkembangan kognitif merupakan bagian dari lima jenis perkembangan anak yang ada, yaitu: perkembangan komunikasi, fisik, sosial-emosional, dan adaptif.

(26)

Universitas Indonesia

Evaluasi perkembangan kognitif dibutuhkan untuk menilai perkembangan anak normal atau tidak sehingga bila terdapat gangguan perkembangan harus segera diatasi. Perkembangan kognitif pada anak dapat diuji dengan berbagai metode di antaranya Bayley Scales of Infant Development-III (BSID-III), Batelle Developmental Inventory-second edition (BDI-2), dan Wechsler Intelligence Scale for Children-fourth edition (WISC-IV) yang dengan nama lain merupakan IQ. Kemampuan kognitif meningkat seiring dengan bertambahnya usia sehingga sangat penting mengevaluasi setiap tahap perkembangan kognitif untuk mendeteksi gangguan secara dini.29

2. Faktor Fisik Anak

Kondisi fisik anak sangat memengaruhi prestasi akademiknya. Penyakit kronik pada anak, dari yang ringan seperti rhinitis alergi, hingga yang berat seperti kanker, dapat menyebabkan penurunan prestasi akademik. Obesitas pada anak dapat mengurangi kepercayaan dirinya, anak akan merasa terisolasi, sehingga prestasi akademiknya menurun.30

Prestasi akademik anak perempuan biasanya lebih baik daripada anak lelaki. Penelitian Buckingham pada tahun 2003 di Australia menemukan bahwa nilai rerata rapor murid perempuan di kelas lebih tinggi daripada murid lelaki.31

3. Faktor Kepribadian

Motivasi belajar adalah dorongan internal dan eksternal pada diri seseorang yang sedang belajar untuk mengadakan perubahan tingkah laku, pada umumnya dengan beberapa indikator dan atau unsur yang mendukung. Hal itu mempunyai peranan besar dalam keberhasilan seseorang dalam belajar. Indikator motivasi belajar dapat diklasifikasikan sebagai adanya hal-hal berikut: (1) hasrat dan keinginan berhasil; (2) dorongan dan kebutuhan dalam belajar; (3) harapan dan cita-cita masa depan; (4) penghargaan dalam belajar; (5) kegiatan yang menarik dalam belajar; (6) lingkungan belajar yang kondusif, sehingga memungkinkan seseorang untuk belajar dengan baik.32

(27)

Universitas Indonesia

Anak dengan kepercayaan diri dan motivasi untuk berhasil memiliki prestasi akademik yang lebih baik. Anak yang tidak percaya bahwa mereka memiliki kemampuan untuk berhasil akan menjadi frustasi dan depresi, sehingga sulit untuk mencapai kesuksesan.33 Penilaian motivasi berprestasi seseorang dapat dilakukan dengan berbagai cara, baik itu wawancara langsung maupun dengan metode pengisian kuesioner. Kuesioner mengenai motivasi berprestasi seorang murid yang banyak digunakan adalah kuesioner Motivated Strategies for Learning Questionnaire (MSLQ) yang dikembangkan oleh Pintrich pada tahun 1990. Kuesioner ini terdiri atas 44 pernyataan yang diisi dengan menggunakan skala Likert. Pernyataan-pernyataan di kuesioner ini menentukan bagaimana motivasi seorang murid untuk berprestasi dan strateginya dalam mencapai prestasi akademik tersebut.34

2.1.1.2 Faktor Lingkungan 1. Sekolah

Berbagai penelitian menunjukkan bahwa sistem pendidikan sekolah mempunyai hubungan dengan prestasi akademik murid, baik mutu sekolah, mutu pengajaran, gaji guru, dan lain-lain.27 Sekolah yang bagus memiliki atmosfir yang tidak menindas dan teratur. Kepala sekolah aktif dan guru berperan dalam mengambil keputusan. Kepala sekolah dan guru memiliki harapan yang besar terhadap murid, lebih menekankan akademik daripada aktivitas ekstrakurikuler, serta memperhatikan kinerja muridnya.33

2. Rumah

Pengaruh keluarga menjadi faktor yang sangat menentukan. Berdasarkan hasil penelitian, pendidikan ibu dikatakan memiliki hubungan dengan prestasi akademik anak. Suatu studi di negara-negara Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) menunjukkan bahwa murid yang orangtuanya (terutama ibu) memegang ijazah sekolah menengah atas atau kualifikasi yang lebih tinggi mempunyai prestasi akademik yang lebih baik dibandingkan teman-temannya yang setara.35

(28)

Universitas Indonesia

3. Lingkungan tempat tinggal

Status sosial ekonomi memiliki pengaruh kuat terhadap prestasi akademik anak, melalui pengaruhnya terhadap suasana keluarga, pilihan lingkungan tempat tinggal, dan cara orangtua membesarkan anak. Anak dengan orangtua yang miskin dan tidak berpendidikan cenderung memiliki suasana keluarga dan sekolah yang negatif dan menegangkan. Status sosial ekonomi yang tinggi meningkatkan kesempatan anak untuk memperoleh pendidikan yang lebih tinggi. Pendapatan keluarga yang cukup tinggi memungkinkan keluarga untuk membiayai pendidikan tambahan bagi anak di luar sekolah. Akan tetapi, banyak juga anak dengan status sosial ekonomi rendah tetap memiliki prestasi akademik yang baik, hal ini dikarenakan adanya social capital, yaitu sumber daya dari keluarga dan lingkungan yang dapat dimanfaatkan oleh anak.33

4. Penggunaan media visual

Sharif dkk36 melakukan penelitian potong lintang berbasis populasi pada tahun 2008 di Amerika Serikat terhadap murid sekolah kelas 5-8 untuk mengetahui hubungan antara paparan terhadap media, yaitu televisi dan video game, dengan prestasi akademik murid sekolah kelas 5-8. Hasilnya menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara paparan terhadap media tersebut, baik waktu yang dihabiskan maupun materi yang diterima, dengan prestasi akademik murid tersebut.36 Penelitian lain terhadap anak usia 10-14 tahun di AS pada tahun 2003, yang bertujuan mengetahui mekanisme pengaruh penggunaan media visual (televisi, film video, dan video game) terhadap prestasi akademik remaja. Peneliti melakukan survei melalui telepon sebanyak empat kali dalam waktu 2 tahun. Hasil penelitian menunjukkan bahwa lama paparan terhadap media visual serta isi media visual yang ditonton memengaruhi prestasi akademik.37

Barr-Anderson dkk38 meneliti prevalens remaja yang memiliki TV di dalam kamar tidur mereka serta hubungannya dengan karakteristik perilaku dan sosial. Peneliti mendapatkan hasil bahwa hampir dua pertiga subjek memiliki TV di dalam kamar. Remaja yang menonton TV lebih lama memiliki aktivitas fisik yang kurang serta kebiasaan makan dan prestasi akademik yang lebih buruk.38

(29)

Universitas Indonesia

The American Academy of Pediatrics (AAP) merekomendasikan untuk tidak menempatkan TV di dalam kamar tidur anak. Cara termudah agar hal ini tercapai adalah dengan memberikan edukasi kepada orangtua mengenai efek berbahaya program TV pada anak dan membuat batasan yang tegas sejak awal terhadap anak. Orangtua harus dapat mengontrol acara TV yang dapat ditonton oleh anak baik ketika anak sendiri maupun ditemani. Penelitian menunjukkan bahwa orangtua dapat mengatasi berbagai potensi program TV yang berbahaya dengan cara mendiskusikan acara tersebut dengan anak mereka.39

2.2 Fisiologi Tidur

Tidur adalah keadaan tidak sadar saat otak relatif lebih responsif terhadap stimulus internal dibandingkan dengan stimulus eksternal. Selama peralihan dari bangun ke tidur, yang juga disebut tidur tahap 1, otak berangsur-angsur menjadi kurang responsif terhadap stimulus visual, auditorik, dan stimulus dari lingkungan lainnya.40 Tidur normal dibagi menjadi tidur non-rapid eye movement (NREM) dan rapid-eye movement (REM). Tidur NREM dibagi lagi menjadi 4 tahap (stadium), yaitu: tahap 1 (tidur ringan), tahap 2 (tidur konsolidasi), tahap 3 dan 4 (tidur dalam atau tidur gelombang lambat).40-43

Perubahan aktivitas korteks serebri selama tidur dikelompokkan dalam 5 tahap. Saat kita siap untuk tidur, terbaring rileks, tonus otot mulai menurun dan mata masih terbuka, gelombang listrik otak memperlihatkan ‘gelombang alfa’ dengan penurunan voltase, keadaan ini sering disebut tidur tahap 1. Keadaan tidur masuk tahap 2 apabila timbul gelombang tidur (sleep spindle). Pada tahap ini kedua bola mata berhenti bergerak dan tonus otot masih terpelihara.40-43

Dalam tidur tahap 3, kita tertidur cukup pulas dan tonus otot lenyap sama sekali. Elektroensefalografi (EEG) memperlihatkan gelombang lambat delta 20% - 50%. Tahap 4 adalah tidur paling nyenyak dan sulit dibangunkan. Gambaran EEG menunjukkan dominasi gelombang delta (>50%) dan gelombang tidur sulit didapat. Setelah berlangsungnya tahap 4, tiba-tiba bola mata mulai bergerak cepat, sehingga tidur ini disebut REM (tahap 5). Mimpi terjadi pada tahap ini. 42,44-46

(30)

Universitas Indonesia

2.3 Perkembangan Pola Tidur Anak 2.3.1 Perkembangan Pengaturan Tidur

Konsolidasi dan regulasi adalah dua proses biopsikososial yang berinteraksi untuk membentuk pola tidur-bangun. Konsolidasi, sebagai tidur sepanjang malam, merefleksikan perkembangan gradual dari pola diurnal untuk tidur panjang saat malam hari dan terjaga di siang hari.44-46 Self-regulation mengacu pada proses saat bayi menjadi lebih baik untuk mengendalikan keadaan terjaga dan memulai tidur tanpa bantuan saat awal tidur atau saat terbangun di tengah malam. Peningkatan kemampuan regulasi mandiri selama tidur di malam hari disebut self-soothing.44,45 Durasi tidur nokturnal cenderung menurun pada anak usia sekolah (5-12 tahun) dengan lama tidur harian adalah 10-11 jam per hari. Penurunan jumlah tidur juga diikuti dengan penurunan proporsi REM dan NREM, dari 16,5 jam pada umur 1 minggu, menjadi 11 dan 10 jam pada umur 5 dan 9 tahun. Pada usia remaja durasi tidur normal adalah 8-9 jam per hari (Gambar 2.2.1).43

Gambar 2.2.1. Proporsi REM dan NREM43 2.3.2 Perkembangan Pola Tidur Remaja

World Health Organization (WHO) mendefinisikan remaja sebagai individu berusia 10-19 tahun.47 Kepustakaan lain membagi remaja menjadi fase awal (usia 10-13 tahun), pertengahan (usia 14-16 tahun), dan lanjut (usia 17-20 tahun).48

(31)

Universitas Indonesia

Remaja adalah suatu fase dari periode tumbuh kembang yang memiliki karakteristik adanya perubahan penting dalam fungsi kognitif, perilaku, sosial, dan emosional sesuai dengan perkembangan biologis, serta adanya fungsi dan tuntutan baru dalam lingkungan keluarga maupun sosial. Perubahan tersebut terjadi karena adanya rangkaian perubahan hormonal dan struktur sosial, menghasilkan transisi dari fase anak ke dewasa yang dikenal masa remaja.48,49 Perubahan biologis dan fisiologis yang bermakna di antaranya adalah perkembangan tanda seks sekunder dan pertumbuhan tinggi badan. Selain itu pada remaja terdapat perubahan dalam pola tidur-bangun, termasuk berkurangnya durasi tidur, tertundanya waktu tidur, dan bertambahnya perbedaan antara pola tidur pada hari sekolah dan akhir pekan; dengan hasil akhir kualitas tidur yang cenderung berkurang.49 Perubahan dari segi psikososial terutama dalam hal interaksi terhadap keluarga yang jauh berkurang, dan meningkatnya interaksi dengan kelompok sebaya. Hal tersebut akan cenderung bertambah seiring dengan perjalanan fase remaja, sehingga jarak interaksi dengan keluarga akan bertambah jauh, sedangkan interaksi dengan kelompok sebaya semakin bertambah.48

Pola tidur remaja perlu mendapat perhatian karena berhubungan dengan prestasi sekolah. Dua puluh tahun terakhir ini, para peneliti menyadari perbedaan perubahan pola tidur pada remaja yaitu jam biologis remaja (irama sirkadian). Pada permulaan masa pubertas, remaja lebih waspada pada malam hari dan sulit tidur sehingga waktu tidur menjadi lebih malam dan telat bangun di pagi hari. Terjadinya tidur distimulasi oleh pengeluaran melatonin. Ketika sinar matahari muncul, melatonin terhenti dan terjadi peningkatan kortisol yaitu hormon untuk bangun tidur. Sebuah penelitian menunjukkan bahwa pengeluaran melatonin membuat remaja sulit tidur awal di malam hari dan bangun cepat di pagi hari.50-52 Liu dkk9 menyatakan bahwa rerata lama tidur di malam hari adalah 7,64 jam dan menurun dengan meningkatnya usia. García-Jiménez dkk17 melakukan penelitian pada remaja dengan usia rerata 14,03 +/- 1,86 tahun dan mendapatkan rerata tidur harian 8 jam 18 menit di hari sekolah dan 9 jam 40 menit saat hari libur.

(32)

Universitas Indonesia

2.4 Faktor yang Memengaruhi Perkembangan Tidur 2.4.1 Faktor Budaya dan Keluarga

Penelitian potong lintang Crosby dkk53 pada anak usia pra-sekolah dan sekolah di Mississipi Utara menemukan adanya perbedaan signifikan pada perilaku tidur siang anak berkulit hitam dan kulit putih berusia 2-8 tahun. Anak berkulit hitam lebih sering tidur siang dibandingkan anak berkulit putih dan memiliki durasi tidur yang lebih pendek di malam hari.53 Variabilitas rasial dalam hal tidur siang berkaitan dengan beberapa faktor, yaitu perbedaan kecenderungan untuk tidur siang oleh anak dan pengasuhnya, perbedaan perilaku kebiasaan tidur siang pada suatu keluarga dan perbedaan genetik dalam hal fungsi tidur atau mekanisme homeostasis pengaturan tidur.53 Budaya memiliki pengaruh kuat terhadap pola tidur, di antaranya adalah kebiasaan tidur bersama dan pemahaman orangtua tentang pentingnya tidur sebagai suatu perilaku sehat.40,54

2.4.2 Faktor Perkembangan Anak

Carskadon dkk55 menyatakan bahwa irama sirkadian berhubungan dengan tingkat kematangan pubertas, menyebabkan perubahan sistem biologis dalam pengaturan waktu tidur. Hal ini menyebabkan jumlah waktu tidur remaja lebih pendek dan terdapat perbedaan antara waktu tidur-bangun di hari sekolah dan hari libur. 2.4.3 Faktor Organik

Bukti-bukti yang menunjukkan hubungan antara komplikasi masa perinatal dan gangguan tidur masih menjadi perdebatan.55-57 Anak dengan kondisi medis tertentu memiliki risiko yang lebih tinggi untuk mengalami gangguan tidur seperti anak dengan penyakit asma. Anak dengan gangguan mood dan cemas juga lebih rentan mengalami gangguan tidur. Anak dengan retardasi mental berat 30-80% mengalami masalah tidur yang signifikan.58

2.4.4 Faktor Lingkungan

Kondisi lingkungan rumah yang memengaruhi pola tidur anak meliputi kondisi fisik, yaitu kebisingan, ruang tidur, tempat tidur, dan adanya televisi di dalam

(33)

Universitas Indonesia

kamar tidur. Faktor lain adalah komposisi keluarga antara lain jumlah orang dalam keluarga, usia, status kesehatan anggota keluarga, dan gaya hidup.58

Schochat dkk59 melaporkan bahwa adanya media elektronik di kamar tidur, menonton televisi lebih dari 3 jam per hari, dan penggunaan fasilitas internet 2,5 jam per hari akan meningkatkan risiko sleep latency dan mengurangi waktu tidur anak.

2.4.5 Faktor Orangtua

Pembentukan pola tidur anak dipengaruhi oleh kedisiplinan, tingkat pendidikan dan pengetahuan mengenai perkembangan anak, kondisi mental, serta kualitas dan kuantitas tidur orangtua.58 Stimulasi berlebihan orangtua berupa pengawasan yang terlalu ketat dan responsif juga memengaruhi perkembangan tidur anak.1

2.4.6 Faktor Sekolah dan Aktivitas Ekstrakulikuler

Epstein dkk60 melakukan penelitian terhadap 600 remaja dengan waktu masuk sekolah pukul 7:10 dan pukul 8:00. Hasilnya adalah anak dengan waktu sekolah lebih awal memiliki waktu tidur yang lebih pendek. Remaja dengan banyak aktivitas ekstrakulikuler akan memiliki keterlambatan waktu tidur malam, pengurangan durasi tidur, kesulitan dibangunkan pada pagi hari, dan lebih banyak tertidur di kelas pada siang hari. Milman dkk61 melaporkan bahwa murid kelas 11 dan 12 yang bekerja lebih dari 20 jam per minggu memiliki masalah perilaku tidur-bangun dibandingkan teman sekolahnya yang bekerja kurang dari 20 jam per minggu. Kelompok ini juga dilaporkan memiliki tingkat konsumsi kafein, alkohol, dan rokok yang lebih tinggi.

2.5 Fungsi Tidur

Fungsi tidur di antaranya adalah menetralisir hipnotoksin, konversi energi, pertumbuhan badan dan otak, restorasi tubuh, regulasi suhu, dan meningkatkan fungsi imunitas.62 Tidur penting untuk kesehatan fisik dan mental. Anak yang tidak dapat tidur malam dengan baik akan menjadi irritable dan depresi, sulit mengerjakan sesuatu, dan sulit berkonsentrasi di sekolah.43

(34)

Universitas Indonesia

2.6 Gangguan Tidur pada Remaja 2.6.1 Definisi Gangguan Tidur

Gangguan tidur adalah pola tidur yang tidak memuaskan bagi orangtua, anak, dan dokter.14 Tidur yang terganggu sulit dibedakan dengan tidur normal. Kebiasaan tidur yang sama dapat diartikan berbeda oleh klinisi, orangtua, dan anak, bergantung pada usia dan status perkembangan anak.42,63 Neonatus tidak memiliki pola tidur teratur dan konsisten, namun tidak dianggap masalah. Setelah periode neonatal, tidur normal memiliki kuantitas dan kualitas tidur NREM dan REM yang diperlukan untuk memulihkan anak.64 Gangguan tidur merupakan pola tidur yang memengaruhi fungsi restoratif tidur atau mengganggu tidur orang lain.40,63,65 2.6.2 Epidemiologi

Studi oleh Ipsiroglu dkk66 terhadap anak usia 11-15 tahun menyatakan 12% anak mengalami gangguan tidur setiap malam, 76% kadang-kadang mengalami gangguan tidur, dan hanya 12% yang tidak mengalami gangguan tidur. Liu dkk1 menyatakan 17% anak usia 12-18 tahun mengalami gangguan memulai dan mempertahankan tidur. Prevalens gangguan tidur pada murid SMP di Jakarta Timur adalah sebesar 62,9% dengan gangguan tersering adalah gangguan transisi tidur-bangun.15

2.6.3 Jenis Gangguan Tidur pada Remaja

Gangguan tidur terdiri dari disomnia, parasomnia, dan gangguan tidur sekunder. Istilah disomnia berhubungan dengan masalah jumlah, saat memulai dan mempertahankan tidur. Parasomnia terdiri dari sekelompok masalah yang berhubungan dengan keadaan terjaga; terjaga sebagian atau transisi tahapan tidur. Masalah ini dapat mengganggu tidur, tetapi biasanya tidak menyebabkan keadaan mengantuk yang berlebihan. Gangguan tidur sekunder dihubungkan dengan gangguan psikiatri, neurologi, atau masalah medis lain.67

Klasifikasi penyakit gangguan tidur berdasarkan International Classification of Diseases (ICD-10) dan Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders,

(35)

Universitas Indonesia

fourth edition (DSM IV TR). Diagnosis tidur pada ICD-10 termasuk dalam kategori F51 (nonorganic sleep disorders) dan G47 (organic sleep disorders). Kategori F51 selanjutnya dibagi menjadi disomnia dan parasomnia. Tidak ada kriteria khusus untuk anak, tetapi ICD-10 menekankan masalah tidur pada anak tidak perlu berhubungan dengan kualitas tidur, melainkan lebih berhubungan dengan ketidakmampuan orangtua untuk mengontrol waktu tidur.68

Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia III (PPDGJ III) membagi gangguan tidur menjadi dua, yaitu disomnia dan parasomnia. Golongan disomnia meliputi insomnia, hipersomnia, dan gangguan jadwal tidur. Parasomnia terdiri dari somnanbulisme, teror tidur, dan mimpi buruk. 69

2.6.3.1 Disomnia

Gangguan tidur disomnia antara lain: 1. Insufficient sleep

Insufficient sleep didefinisikan sebagai tidur di malam hari yang tidak adekuat jika dibandingkan dengan kebutuhan tidur. Insufficient sleep biasanya diakibatkan oleh kesulitan memulai dan atau mempertahankan tidur, dengan adanya fragmentasi tidur yang berulang atau sering. Lama tidur yang tidak adekuat, terutama pada anak yang lebih besar atau remaja, dapat merupakan keputusan yang disadari karena ingin menyelesaikan aktivitas sosial atau tugas sekolah yang lebih diprioritaskan. Kekurangan tidur kronik berdampak pada fungsi harian dan rasa kantuk yang berlebihan sepanjang hari.54,63

2. Kebiasaan tidur yang tidak sehat

Gangguan tidur ini meliputi kebiasaan yang menyebabkan anak mudah terbangun dan tidak sejalan dengan pengaturan tidur. Kebiasaan yang menyebabkan anak mudah terbangun di antaranya: konsumsi kafein, menonton televisi sampai larut malam, dan menggunakan tempat tidur sebagai tempat bermain pada waktu tidur. Kebiasaan yang tidak sejalan dengan pengaturan tidur meliputi tidur siang yang

(36)

Universitas Indonesia

terlambat atau terlalu sore, membiarkan kekacauan jadwal tidur terjadi terus-menerus, dan tinggal terlalu lama di tempat tidur walaupun sudah terbangun.16,54 3. Insomnia primer

Insomnia primer merupakan suatu kondisi tidur yang tidak memuaskan secara kuantitas dan kualitas, dan berlangsung untuk suatu kurun waktu tertentu. Diagnosis insomnia primer tidak ditegakkan berdasarkan taraf penyimpangan kuantitas tidur karena sifatnya subjektif.Kriteria diagnosis berdasarkan DSM IV TR adalah keluhan kesulitan memulai atau mempertahan tidur atau tidur yang tidak menyegarkan, selama paling kurang 1 bulan; gangguan tersebut menimbulkan gangguan fungsi atau penderitaan secara klinis.69

Insomnia primer ditegakkan bila penyebab lain (narkolepsi, gangguan tidur berhubungan dengan pernapasan, gangguan tidur irama sirkardian, parasomnia) sudah disingkirkan. Tidak didapatkan gangguan mental lain atau efek fisiologis langsung dari zat atau kondisi medis lainnya.68 Insomnia tersering yang ditemukan pada remaja adalah psychophysiologic insomnia, yaitu individu mengalami ansietas terkondisi menyangkut kesulitan memulai atau mempertahankan tidur.63 4. Hipersomnia primer

Kondisi tidur berlebihan maupun serangan kantuk (tidak disebabkan tidur yang kurang) atau membutuhkan tenggang waktu lebih lama untuk pulih segar setelah bangun.69 Keluhan yang predominan adalah mengantuk berlebihan di siang hari selama kurang lebih 1 bulan atau lebih singkat bila berulang, dengan episode tidur memanjang atau tidur di siang hari yang terjadi hampir setiap hari. Keluhan tidak disebabkan oleh insomnia, gangguan tidur lain, jumlah tidur yang tidak adekuat, atau akibat efek zat dan kondisi medis lainnya. Kondisi ini menimbulkan penderitaan secara klinis atau gangguan fungsi.68

5. Narkolepsi

Keadaan menyerupai hipersomnia, namun disertai gejala tambahan seperti katapleksi, paralisis nokturnal, dan halusinasi hipnagogik.69 Serangan tidur tidak

(37)

Universitas Indonesia

dapat ditahan, setelah itu bangun dengan perasaan segar, terjadi setiap hari selama kurang lebih 3 bulan disertai katapleksi (episode singkat hilangnya tonus otot bilateral secara mendadak, sering terkait emosi), dan/atau kekacauan berulang elemen tidur REM. Gangguan ini tidak disebabkan oleh efek fisiologis langsung zat atau kondisi medis lainnya.68

6. Gangguan tidur berhubungan dengan pernapasan

Keadaan yang menyerupai hipersomnia, yaitu berupa tidur siang berlebihan, dengan gejala tambahan seperti riwayat terhentinya napas pada malam hari, suara mendengkur yang khas secara intermiten, obesitas, hipertensi, impotensi, gangguan kognitif, hipermotilitas, keringat banyak, sakit kepala pada pagi hari, dan inkoordinasi.69 Kriteria diagnosis adalah kekacauan tidur yang menyebabkan mengantuk berlebihan atau insomnia, dipertimbangkan disebabkan oleh kondisi pernapasan yang berhubungan dengan tidur (misalnya sindrom apnea tidur obstruktif atau sentral atau sindrom hipoventilasi alveolar sentral) dan tidak disebabkan gangguan mental lain, efek fisiologis zat, atau kondisi medis lain.68 Karakteristik obstructive sleep apnea (OSA) adalah terjadinya episode obstruksi aliran udara melalui mulut dan hidung yang terjadi berulang selama waktu tidur, baik total (apnea) maupun parsial (hipopnea). Periode ini menyebabkan penurunan kadar oksigen dan peningkatan kadar karbondioksida sementara yang menimbulkan episode terjaga pada malam hari.63

7. Gangguan tidur irama sirkardian

Gangguan ini adalah bentuk gangguan jadwal tidur, yaitu inkoherensi jadwal tidur-bangun seseorang dengan jadwal tidur-bangun yang diinginkan untuk lingkungannya.69 Pola menetap atau berulang dari kekacauan tidur menyebabkan mengantuk berlebihan atau insomnia. Gangguan ini menimbulkan penderitaan secara klinis atau gangguan fungsi lainnya, dan terjadi bukan karena gangguan tidur lainnya atau efek zat atau kondisi medis lainnya.68

Gangguan tidur irama sirkardian terdiri dari beberapa tipe, antara lain: (1) tipe fase tidur lambat, yaitu pola menetap dari onset tidur dan terjaga yang terlambat,

(38)

Universitas Indonesia

dengan ketidakmampuan untuk memulai tidur dan terjaga lebih awal pada waktu yang dikehendaki; (2) tipe jet-lag, yaitu mengantuk dan terjaga terjadi pada waktu yang tidak sesuai menurut waktu setempat, terjadi setelah berulang kali bepergian melewati lebih dari satu zona waktu; (3) tipe pergeseran kerja, yaitu insomnia selama periode tidur utama atau mengantuk berlebihan selama periode terjaga utama berhubungan dengan pergeseran kerja malam atau sering.68

8. Restless Legs Syndrome (RLS)/Periodic Limb Movement Disorder (PLMD)

Restless legs syndrome merupakan gangguan tidur neuromotorik yang menyebabkan adanya sensasi ‘menjalar’ dan kegelisahan motorik terutama pada ekstremitas bawah. Sensasi tersebut meningkat pada sore hari dan periode istirahat, menghilang dengan pergerakan serta dapat menyebabkan awitan tidur terlambat. Adanya dasar genetik, dapat diperberat oleh berbagai faktor antara lain: asupan kafein, defisiensi besi, dan kehamilan. Sekitar 80% pasien RLS juga mengalami episode pergerakan ritmik berulang pada ekstremitas bawah selama tidur, dikenal sebagai PLM. Individu tidak menyadari pergerakan tersebut serta menyebabkan fragmentasi tidur, timbulnya rasa kantuk berlebihan di siang hari, gangguan konsentrasi dan hiperaktivitas.63

2.6.3.2 Parasomnia

Parasomnia merupakan periode perilaku nokturnal yang melibatkan disorientasi kognitif dan gangguan otonom serta otot skeletal. Gangguan tidur parasomnia antara lain mimpi buruk, teror tidur, bruksisme, dan gangguan tidur berjalan.63 1. Mimpi Buruk

Mimpi buruk merupakan pengalaman mimpi yang penuh dengan kecemasan atau ketakutan, dan teringat secara terinci oleh individu tersebut.69 Gambaran klinisnya antara lain terbangun berulang kali dari periode tidur utama atau tidur sejenak, dengan ingatan terperinci tentang mimpi yang panjang dan sangat menakutkan, biasanya berupa ancaman terhadap kehidupan, keamanan, dan harga diri. Anak dapat terbangun kapan saja pada saat tidur, namun umumnya pada separuh bagian kedua fase tidur. Saat terbangun anak siaga penuh dengan orientasi yang baik. Hal

(39)

Universitas Indonesia

ini berbeda dengan gangguan teror tidur, pengalaman mimpi tersebut menyebabkan penderitaan secara klinis atau gangguan fungsi lainnya.68,69 Gangguan tidak terjadi akibat gangguan mental lain, efek zat, atau kondisi medis lain.68

2. Teror Tidur

Teror tidur ialah episode nokturnal dari teror ekstrim yang membuat panik dan umumnya terjadi pada awal tidur. Anak mengalami episode menakutkan yang terjadi saat terbangun dari tidur gelombang lambat dan sering disertai dengan menjerit, menangis, dan agitasi dengan aktivitas simpatetik yang meningkat (takikardia, midriasis, kulit kemerahan).14,64 Anak sering sulit dibangunkan dan memiliki ingatan yang terbatas mengenai isi mimpinya. Gangguan tidak terjadi akibat efek zat atau kondisi medis umum lainnya.68,69 Teror tidur terjadi sebanyak 6% dan lebih umum pada anak lelaki dibandingkan perempuan. Teror tidur umumnya membaik pada masa remaja dan tidak membutuhkan tata laksana.70 3. Bruksisme

Bruksisme merupakan gerakan menggesekkan gigi berulang-ulang ketika tidur, melibatkan gerakan mengunyah yang ritmis dan periode kontraksi otot rahang. Suara gesekan gigi, walaupun tidak selalu terdengar dapat mengganggu orang lain dan ini merupakan awal kepedulian orangtua.54

4. Somnanbulisme

Gangguan tidur berjalan adalah keadaan perubahan kesadaran ketika fenomena tidur dan bangun bercampur pada saat yang sama.69 Pada somnanbulisme, terjadi episode bangkit dari tempat tidur saat tidur dan jalan berkeliling yang berulang, biasanya terjadi pada sepertiga awal tidur malam. Pandangan individu kosong, menatap ke depan, tidak respons terhadap rangsangan, tidak dapat berkomunikasi, dan sulit dibangunkan. Saat bangun individu tidak mengingat episode tersebut, tidak ada gangguan aktivitas mental, dan bukti gangguan mental organik.68,69 Gangguan ini menyebabkan penderitaan klinis dan gangguan fungsi sosial, serta tidak disebabkan efek zat atau kondisi medis lain.68

(40)

Universitas Indonesia

2.6.4 Dampak Gangguan Tidur pada Remaja

Remaja membutuhkan tidur selama 9 jam. Pada remaja terjadi banyak perubahan dalam pola tidur yang dapat memengaruhi kualitas dan kuantitas tidur.61 Kualitas dan kuantitas tidur yang kurang mengakibatkan timbulnya rasa kantuk berlebihan di siang hari. Keadaan ini dapat memengaruhi performa seseorang, kesehatan, dan keamanan. Rasa kantuk pada anak mengakibatkan terjadinya perubahan mood, gangguan perilaku seperti hiperaktivitas, kendali impuls yang buruk, dan gangguan neurokognitif. Pada akhirnya remaja dapat mengalami gangguan dalam kehidupan sosial, sekolah, dan proses pembelajaran.55 Mercer dkk71 melaporkan bahwa ketika seseorang merasa mengantuk, terjadi penurunan kewaspadaan dan kemampuan kognitif sehingga meningkatkan risiko untuk melakukan kesalahan dan kecelakaan. Ketika mengantuk, seseorang dapat memulai kerja dengan baik, namun terjadi penurunan performa dalam menyelesaikan perkerjaan.

Remaja dengan gangguan tidur dilaporkan mengalami peningkatan gangguan mood dan atau kesulitan dalam pengaturan mood. Hal ini mungkin karena pengaruh stress dan emotional arousal pada tidur remaja dengan masalah emosi. Bukti lain menunjukkan bahwa gangguan tidur dapat menyebabkan gangguan mood pada remaja.61 Remaja dengan narkolepsi sering memiliki masalah perilaku dan emosional. Dahl dkk72 menemukan bahwa 12 di antara 16 remaja dengan narkolepsi memiliki masalah emosional.

2.7 Hubungan Waktu Mulai Sekolah dengan Gangguan Tidur dan Prestasi Akademik

Saat ini di Amerika Serikat sekitar 35% dari 50 sekolah menengah memiliki waktu mulai sekolah pukul 7:30 pagi, hampir 50% antara pukul 7:30 dan 8:14 dan hanya 16% yang memulai antara pukul 8:15 dan 8:55.61 Di Indonesia terdapat kebijakan baru mengubah waktu jam sekolah menjadi pukul 6:30 dan 6:45 sejak tahun 2008.73 Waktu mulai sekolah akan memengaruhi jumlah durasi tidur remaja. Penelitian Epstein dkk60 terhadap 600 remaja dengan waktu masuk sekolah pukul 7:10 dan 8:00 dan menyimpulkan bahwa murid dengan waktu mulai sekolah lebih awal memiliki waktu tidur yang lebih pendek.

(41)

Universitas Indonesia

Wolfson dan Carskadon74 menyatakan bahwa berkurangnya waktu tidur dan jadwal tidur yang tidak teratur berhubungan dengan buruknya prestasi akademik sekolah remaja.Meijer dkk75 melaporkan hubungan antara pola tidur-bangun dan kemampuan persepsi di sekolah dapat memengaruhi hasil peringkat akademik dan nilai ujian remaja. Remaja dengan kesulitan bangun tidur kurang termotivasi untuk melakukan sesuatu di sekolah, sedangkan remaja dengan kualitas tidur yang lebih baik mudah menerima pengajaran guru, lebih memiliki pandangan positif terhadap dirinya dan motivasi lebih tinggi di sekolah. Gangguan tidur dapat berdampak pada kehidupan berkeluarga, seperti efek negatif pada orangtua, tekanan pada keluarga, gangguan dalam pernikahan, serta masalah sosial lain.54 2.8 Skrining Gangguan Tidur

Cara untuk menilai tidur adalah dengan perkiraan secara subjektif menggunakan kuesioner atau wawancara. Cara tersebut pada penelitian epidemiologi seringkali merupakan alternatif yang paling mungkin. Kuesioner mudah dibuat dan dianalisis, namun validitas dan reliabilitasnya amat rendah. Beberapa kuesioner yang pernah diajukan kepada orangtua dan telah divalidasi misalnya Children’s Sleep Behaviour Scale, the Children’s Sleep Disturbance Scale, the Pediatric Sleep Questionnaire dan the Children’s Sleep Habit Questionnaire. Kekurangan menggunakan data dari laporan orangtua adalah bahwa orangtua mungkin kurang memperhatikan kualitas tidur anaknya. Laporan-diri oleh anak tampaknya berhubungan lebih baik dibandingkan dengan laporan orangtua atau gurunya.43,46 2.8.1 Sleep Disturbance Scale for Children (SDSC)

Sleep Disturbance Scale for Children merupakan suatu kuesioner yang disusun dalam rangka standardisasi penilaian terhadap gangguan tidur pada anak dan remaja melalui sistem skoring tidur yang mudah digunakan, menciptakan basis data dari populasi besar untuk mendapatkan standar nilai normal, mengidentifikasi anak dengan gangguan tidur dan skrining gangguan tidur spesifik.16

Kuesioner SDSC dibuat berdasarkan pengalaman klinis dan tinjauan terhadap kuesioner gangguan tidur sebelumnya yang telah dilaporkan di kepustakaan.

(42)

Hal-Universitas Indonesia

hal yang menggambarkan gejala khas dari gangguan tidur tersering dipilih, walaupun terdapat dalam kekerapan yang rendah pada populasi umum. Kuesioner awal, yang terdiri dari 45 pertanyaan, diuji coba pada penelitian yang subjeknya dipilih secara acak di dua sekolah dasar (SD) di Roma. Beberapa pertanyaan dari kuesioner tidak dapat dimengerti oleh ibu subjek penelitian sehingga peneliti harus mengklarifikasi pertanyaan tersebut. Setelah didapatkan hasil, peneliti melakukan pengukuran ulang terhadap reliabilitas dan konsistensi pertanyaan hingga akhirnya mereka menghilangkan beberapa pertanyaan yang memiliki korelasi rendah dengan hasil akhir tanpa merubah konsistensi internal kuesioner.16 Blunden dkk76 melakukan penelitian terhadap anak dan remaja berusia 4,5 – 16,5 tahun di Adelaide dengan menggunakan SDSC. Instrumen SDSC terdiri dari 26 pertanyaan. Orangtua diinstruksikan untuk mengingat pola tidur anak mereka pada waktu keadaan sehat selama enam bulan terakhir. Menurut Bruni dkk16 periode waktu 6 bulan digunakan karena rendahnya kekerapan beberapa jenis gangguan tidur pada populasi serta untuk membedakan antara gangguan tidur yang bersifat sementara atau menetap.

Kuesioner SDSC memiliki enam faktor gangguan tidur yaitu: (1) gangguan pernapasan waktu tidur (frekuensi mendengkur, apnea, dan kesulitan bernapas), (2) gangguan memulai dan mempertahankan tidur (awitan tidur lama, bangun malam hari), (3) gangguan kesadaran (berjalan saat tidur, mimpi buruk, dan teror tidur), (4) gangguan transisi tidur-bangun (restless legs, head banging, bicara saat tidur), (5) somnolen berlebihan (mengantuk saat pagi hari dan sepanjang hari), dan (6) hiperhidrosis (night sweating).16,76

Penilaian SDSC menggunakan angka 1-5. Dua pertanyaan pertama berdasarkan skala intensitas sementara 24 pertanyaan lainnya menggunakan skala kekerapan. Skala kekerapan yang dimaksud adalah 1=tidak pernah; 2=jarang (1-2 kali per bulan); 3=kadang-kadang (1-2 kali seminggu); 4=sering (3-5 kali seminggu); dan 5= selalu (setiap hari). Setelah itu nilai dijumlahkan dan didapatkan penilaian adanya gangguan tidur pada anak.16,76

(43)

Universitas Indonesia

Total skor gangguan tidur didapatkan dengan menjumlahkan seluruh nilai faktor tidur. Standardisasi digunakan untuk menghitung angka T (mean=50, SD=10), dengan angka T lebih besar dari 70 maka dinyatakan terdapat gangguan tidur. Gangguan tidur anak dibagi menjadi dua kategori klinis berdasarkan total angka T yaitu: (1) borderline (angka T >64-70); dan (2) patologis (angka T>70, yaitu >persentil 95). Dalam penelitian ini total angka faktor gangguan tidur dibagi menjadi dua variabel: borderline dan patologis.76

Penelitian yang ada sebelumnya mendapatkan prevalens gangguan tidur pada murid SMP sebesar 62,9% dengan menggunakan nilai SDSC lebih dari 39.15 Sensitivitas SDSC untuk mendeteksi adanya gangguan tidur sebesar 71,4% dan spesifisitasnya 54,5%.11

Pada penelitian ini cut off point yang digunakan adalah skor total > 46 (persentil T skor > 64). Apabila subjek penelitian memiliki skor total > 46 tetapi ≤ 51 maka subjek penelitian memenuhi kriteria gangguan tidur borderline patologis. Namun apabila subjek penelitian memiliki skor total > 51 maka sesuai dengan kriteria gangguan tidur patologis. Kuesioner SDSC memiliki sensitivitas 89% dan spesifisitas 74%.16

2.9 Diagnosis Gangguan Tidur

Gambaran pola tidur anak dari orangtua memberikan informasi penting penilaian gangguan tidur pada anak. Anamnesis meliputi riwayat tidur dan cara apa saja yang telah dilakukan untuk mengatasi masalah ini. Sleep diary dapat memberikan informasi secara lebih spesifik mengenai jadwal tidur-bangun. Informasi tentang perilaku tidur anak perlu dilengkapi dengan keterangan rasa kantuk sepanjang hari dan perilaku lain yang berhubungan dengan rasa kantuk tersebut.14,72 Penyebab medis seperti penyakit kronik dan masalah pernapasan juga perlu ditanyakan.56,64 Pemeriksaan fisis dapat berada dalam batas normal, kecuali pada penyakit organik yang menimbulkan gangguan tidur. Pembesaran tonsil dan adenoid, anomali kraniofasial, serta obesitas dapat mengarah pada OSA syndrome (OSAS).77

(44)

Universitas Indonesia

Metode objektif yang tersedia untuk mempelajari tidur yaitu aktigrafi (ACG) dan polisomnografi (PSG). Polisomnografi didasarkan pada rekaman EEG, sedangkan ACG menggunakan aktivitas motorik. Pemeriksaan PSG dapat memberi informasi lengkap perubahan keadaan tidur-bangun sedangkan ACG memberikan perkiraan kualitas tidur.2,46,78 Indikasi tersering pemeriksaan PSG adalah kecurigaan klinis terhadap adanya gangguan pernapasan saat tidur. Pemeriksaan PSG sebagai instrumen diagnosis untuk penelitian epidemiologi gangguan tidur pada anak memiliki beberapa kelemahan. Pertama, peralatan tidak praktis. Kedua, skoring PSG bergantung pada penilaian subjektif dari rekaman EEG, dan kesenjangan inter-informant. Ketiga, PSG umumnya dilakukan di laboratorium tidur, yang dapat memengaruhi kualitas tidur.2,46,77,78

Penggunaaan ACG berdasarkan pengetahuan bahwa keadaan tidur-bangun dapat diketahui dari aktivitas motorik yang menghilang saat subjek tertidur dan meningkat kembali saat terbangun. Pemeriksaan menggunakan alat yang diletakkan di tangan, dapat merekam dan menyimpan data aktivitas motorik.2,46,78 Kelemahan ACG adalah kurang peka untuk mendeteksi keadaan terjaga. Subjek dengan masalah sulit memulai tidur yang berbaring tenang di tempat tidur dapat salah didata sebagai keadaan tidur. Kelemahan lainnya adalah gerakan malam hari dapat salah diinterpretasi sebagai keadaan terjaga. Pada kenyataannya, ACG tidak diindikasikan untuk diagnosis rutin pada setiap masalah tidur. Keterbatasan ACG adalah bahwa alat ini hanya dapat memberi perkiraan kualitas tidur.2,46

2.10 Tata Laksana Gangguan Tidur

Pada umumnya langkah awal untuk mengatasi gangguan tidur akibat kondisi medis atau psikiatri adalah dengan mengoptimalkan terapi terhadap penyakit yang mendasarinya. Cara farmakologi dan non-farmakologi diperlukan untuk terapi gangguan tidur, namun penatalaksanaan utama mencakup aspek non-farmakologi. 2.10.1 Edukasi

Orangtua perlu diberikan pemahaman bahwa setiap anak berbeda dalam pola, kebiasaan, dan kebutuhan tidur baik antara anak-anak sebayanya, maupun

Gambar

Gambar 2.2.1. Proporsi REM dan NREM 43 2.3.2 Perkembangan Pola Tidur Remaja
Gambar 3. Kerangka teori  - Gangguan mood  - Gangguan perilaku - Peningkatan konsumsi alkohol dan rokok  - Nilai rapor  - Nilai Matematika - Nilai Bahasa Indonesia
Gambar 4. Kerangka konsep
Gambar 5.7. Alur penelitian Penilaian motivasi dan strategi belajar anak
+7

Referensi

Dokumen terkait

Simpulan penelitian pengembangan ini adalah (1) Dihasilkan modul pembelajaran fisika dengan strategi inkuiri terbimbing pada materi fluida statis yang tervalidasi; (2)

Secara teoritis dapat dijadikan sumbangan informasi dan keilmuan yang yang berarti bagi lembaga yang berkompeten mengenai pentingnya kondisi fisik atlet, khususnya atlet

skor penilaian yang diperoleh dengan menggunakan tafsiran Suyanto dan Sartinem (2009: 227). Pengkonversian skor menjadi pernyataan penilaian ini da- pat dilihat

KONTRIBUSI POWER TUNGKAI DAN KESEIMBANGAN DINAMIS TERHADAP HASIL DRIBBLE-SHOOT DALAM PERMAINAN FUTSAL.. Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu

Pengertian zakat secara syar'i adalah “Sejumlah harta tertentu (jenisnya) yang diwajibkan Allah untuk dikeluarkan kepada golongan tertentu dengan nilai dan ukuran tertentu

pengguna menganggap melakukan pembelian melalui sosial media lebih beresiko karena tidak adanya garansi mengenai suatu produk yang ditawarkan, kasus kasus penipuan

dengan orang orang lain lain.. Saya Saya mengerjakan mengerjakan yang yang terbaik terbaik jika jika saya saya dibimbing dibimbing orang. orang lain

Persentil ke 25 berada pada posiis nilai antara pertama dan kedua dengan selisih 0,75. Nilai pada posisi pertama adalah 43 dan nilai pada posisi kedua