• Tidak ada hasil yang ditemukan

HUBUNGAN HUKUM ANTARA DOKTER DAN PASIEN DALAM PERJANJIAN PELAYANAN MEDIK

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "HUBUNGAN HUKUM ANTARA DOKTER DAN PASIEN DALAM PERJANJIAN PELAYANAN MEDIK"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

1 HUBUNGAN HUKUM ANTARA DOKTER DAN PASIEN

DALAM PERJANJIAN PELAYANAN MEDIK

(Dipublikasikan dalam Jurnal Ilmu Hukum ”Lex Humana”, Forum Doktor Alumni FHUB Malang, Vol. 1 No. 1, Juni 2012, h. 37-50)

Abdul Rokhim1 Abstrak

Dalam transaksi terapeutik, pemberian bantuan pelayanan medik bertujuan untuk meningkatkan kemampuan pasien menolong dirinya sendiri dalam menghadapi masalah kesehatannya. Untuk itulah diperlukan adanya perjanjian dalam pelayanan medik (transaksi terapeutik) dari individu yang ditolong (pasien), sehingga terciptalah hubungan hukum antara pelayan medik (dalam hal ini dokter) dengan pasien berdasarkan kerjasama yang baik, kejujuran, serta sikap saling percaya. Dengan demikian, timbulnya hubungan hukum dalam pelayanan medik di samping disebabkan adanya kewajiban setiap individu (pasien) untuk memelihara dan meningkatkan kesehatannya, juga adanya kewajiban dokter terhadap pasien yang membutuhkan pertolongannya selaku profesional medik.

Kata Kunci: Hubungan Hukum, Perjanjian, Pelayanan Medik

1. Pendahuluan

Yang dimaksud hubungan hukum dalam tulisan ini adalah hubungan (relasi) yang dilakukan berdasarkan hukum serta dapat menimbulkan akibat hukum berupa hak dan kewajiban di antara kedua belah pihak yang saling berinteraksi. Hubungan hukum antara dokter dan pasien didasarkan pada semakin meningkatnya peranan hukum dalam pelayanan kesehatan antara lain disebabkan semakin meningkatnya kebutuhan masyarakat akan pelayanan kesehatan, meningkatnya perhatian terhadap hak yang dimiliki manusia untuk memperoleh pelayanan kesehatan, pertumbuhan yang sangat cepat di bidang ilmu kedokteran dihubungkan dengan kemungkinan penanganan secara lebih luas dan mendalam terhadap manusia, adanya spesialisasi dan pembagian kerja yang telah membuat pelayanan kesehatan itu lebih merupakan kerja sama dengan pertanggungjawaban di antara sesama pemberi bantuan dan pertanggungjawaban terhadap pasien, serta meningkatnya pembentukan lembaga pelayanan kesehatan.

Di samping itu, ilmu kedokteran kadang-kadang harus dihubungkan dengan usaha para penguasa untuk menguasai individu, misalnya seperti diperlukannya pertolongan para dokter untuk membantu orang yang sakit. Dalam hal seperti itu, ternyata pembentukan kode etik profesional secara medis tidak selalu dapat dihindarkan dari kekejaman ketidakmanusiawian dan ketidakberhargaan. Demikian juga dalam hal lain, seperti pada percobaan dengan menggunakan

(2)

2 manusia, ternyata hal-hal yang harus dilakukan oleh para dokter itu tidak selalu ditujukan semata-mata untuk kepentingan pasien.2

Dengan demikian, adanya gejala seperti itulah yang mendorong orang untuk berusaha menemukan dasar yuridis bagi pelayanan kesehatan. Lagi pula, perbuatan yang dilakukan oleh para pelaksana pelayanan kesehatan itu sebenarnya juga merupakan perbuatan hukum yang mengakibatkan timbulnya hubungan hukum, walaupun hal tersebut seringkali tidak disadari oleh para pelaksana pelayanan kesehatan pada saat dilakukannya perbuatan yang bersangkutan. Pelayanan kesehatan itu sebenarnya tidak hanya meliputi kegiatan atau aktivitas profesional di bidang pelayanan kuratif dan preventif untuk kepentingan perorangan, tetapi juga meliputi misalnya lembaga pelayanannya, sistem kepengurusannya, pembiayaannya, pengelolaannya, tindakan pencegahan umum dan penerangan. Dalam pembahasan ini difokuskan pada pemahaman tentang timbulnya hubungan hukum dalam pelayanan kesehatan perorangan atau individual yang disebut pelayanan medik, dasar hukum hubungan pelayanan medik, kedudukan hukum para pihak dalam pelayanan medik, dan resiko dalam pelayanan medik.

2. Prinsip-prinsip dalam Pelayanan Medik

Untuk dapat memahami timbulnya hubungan hukum dalam pelayanan medik, perlu diuraikan lebih dulu prinsip pemberian bantuan dalam pelayanan kesehatan, tujuan pemberian pelayanan kesehatan, dan kedudukan hukum para pihak dalam pelayanan medik.

a. Prinsip Pemberian Bantuan dalam Medik

Prinsip ini didasarkan pada pemikiran bahwa tidak semua masalah kesehatan memerlukan pemecahan secara profesional. Prinsip ini juga dikenal dengan istilah zelfhulp (menolong diri sendiri) atau saling membantu antar sesama. Di dalam zelfhulp itu seringkali digunakan keahlian para profesional, dan bantuan profesional itu merupakan bentuk pemberian bantuan tersendiri. Dengan demikian, jika di dalam zelfhulp, pelayanan terhadap diri sendiri tidak dianggap sebagai pemberian bantuan secara profesional, maka hal itu tidak perlu dipandang sebagai bertentangan dengan bantuan secara profesional. Dilihat dari sisi pemikiran yuridis, yaitu dari aspek individual dan sosial, maka hak untuk mendapatkan pelayanan atau bantuan profesional termasuk juga pelayanan kesehatan, adalah sama dengan hak untuk mendapatkan bantuan yang teliti berdasarkan satu keahlian.3

b. Tujuan Pemberian Bantuan Pelayanan Medik

Tujuan pemberian pelayanan medik adalah untuk memulihkan dan memperbesar kemampuan orang untuk dapat mengatur dirinya sendiri sebaik-baiknya. Dengan demikian, pemberian bantuan pelayanan medik tidak boleh bertentangan dengan usaha untuk dapat mengatur diri sendiri. Oleh karena itu, pembatasan yang kadang-kadang harus dilakukan sesuai dengan sifat dari pemberian bantuan tersebut, misalnya mewajibkan seseorang untuk istirahat, pembiusan, dan sebagainya. Tidak boleh melebihi kebutuhan. Dengan kata lain, kedudukan pemberian bantuan dalam bidang pelayanan kesehatan secara nyata ditentukan oleh hubungan timbal balik antara hak untuk mendapatkan pelayanan dengan hak untuk dapat mengatur diri sendiri.

2 H.J.J. Leenen dan P.A.F. Lamintang, Pelayanan Kesehatan dan Hukum, Bina Cipta, Jakarta, 1991, h.

9-10.

(3)

3 Apabila tujuan pemberian bantuan secara profesional agar orang dapat mengatur diri sendiri itu tidak dilaksanakan, maka hal tersebut akan menjadi bertentangan dengan sifat dari pemberian bantuannya itu sendiri. Padahal, dapat mengatur diri sendiri adalah sifat dan hak yang fundamental seorang manusia. Seandainya dalam pemberian bantuan pelayanan kesehatan hal itu kurang dipertimbangkan, manusia akan menolak dan membela dirinya.4

Pemberian bantuan itu akan menjadi diperlukan didalam masyarakat, karena manusia telah menghendakinya, dan manusia itu juga dapat menolak bantuan tersebut, antara lain dengan alasan memiliki hak untuk mengatur diri sendiri. Dengan demikian, hubungan antara pasien dengan pemberi bantuan profesional (mengatur diri sendiri dengan profesionalitas) lebih tepat untuk dianggap sebagai hubungan kerja sama, dan masing-masing mempunyai kedudukan yang sama. Akan tetapi, tidak dapat dijamin bahwa hubungan kerja sama itu akan mencapai hasil seperti yang diharapkan, sehingga apabila terjadi tidak tercapainya hasil yang diharapkan, maka pemberi bantuan profesional tidak dengan sendirinya dapat dipersalahkan. Setiap orang dapat memperoleh bantuan secara profesional yang diberikan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan di bidang kesehatan, dan dalam melakukan tugasnya tenaga kesehatan berkewajiban antara lain menghormati hak pasien. Adapun hak pasien yang dimaksud dalam hal ini adalah hak untuk memberikan persetujuan.

Dari uraian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa tujuan pemberian bantuan pelayanan medik adalah untuk meningkatkan kemampuannya menolong dirinya sendiri dalam menghadapi masalah kesehatannya. Untuk itulah diperlukan adanya persetujuan dari individu yang ditolong, sehingga terciptalah hubungan hukum yang didasarkan kerja sama yang baik, kejujuran, serta sikap saling percaya. Dengan demikian, timbulnya hubungan hukum dalam pelayanan medik di samping disebabkan adanya kewajiban setiap individu untuk memelihara dan meningkatkan kesehatannya, juga adanya kewajiban dokter terhadap seseorang yang membutuhkan pertolongannya selaku profesional sampai orang tersebut mampu untuk berusaha mengatasi masalah kesehatannya melalui kerja sama dengan yang merawatnya.

c. Kedudukan Hukum Para Pihak dalam Pelayanan Medik

Kedudukan seorang dokter selaku profesional di bidang medik mempunyai peran aktif dalam pelayanan medis dan pasien sebagai penerima pelayanan medik mempunyai penilaian terhadap penampilan dan mutu pelayanan medik yang diterimanya. Hal ini disebabkab, dokter bukan hanya melaksanakan pekerjaan melayani atau memberi pertolongan semata-mata tetapi juga melaksanakan profesi (ahli) yang terkait pada kode etik profesi.

Di samping itu, kenyataan menunjukkan bahwa dengan semakin terdidiknya masyarakat umum dan semakin banyak beredarnya buku pengetahuan popular tentang penyakit dan kesehatan, maka kaum awam juga semakin kritis terhadap pelayanan medis yang diterimanya. Kesenjangan pengetahuan, yang secara klasik telah menyababkan ketidakseimbangan hubungan antara dokter dan pasien, sekarang semakin mengecil dan mempengaruhi penilaian awam terhadap dokter. Lebih dari itu, makin besar pembagian tugas (devision of labor) dalam bidang kedokteran pada berbagai jenis tenaga paramedik dan tenaga non-medik, maka makin berkurang pula wewenang dokter, dan makin terbuka terhadap penilaian dan kritik.5 Dengan kata lain, mengecilnya kesenjangan pengetahuan antara pasien dan dokter, dan semakin terbaginya

4 Ibid.

(4)

4 otonomi profesi dokter kepada pihak lain, akan banyak berpengaruh dalam penilaian dan pengendalian profesi dokter.

Dengan demikian, dokter maupun pasien mempunyai hak dan kewajiban yang dilindungi oleh undang-undang sehingga kedudukan hukumnya seimbang dan sederajat. Hal ini dapat ditemukan dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, yaitu:

- Pasal 2, “setiap orang mempunyai hak yang sama dalam memperoleh derajat kesehatan yang optimal”.

- Pasal 3, “setiap orang berkewajiban untuk ikut serta dalam memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan perseorangan, keluarga, dan lingkungannya”.

- Pasal 53 ayat (1), “tenaga kesehatan berhak memperoleh perlindungan hukum dalam melakukan tugas sesuai dengan profesi”.

- Pasal 53 ayat (2), ”tenaga kesehatan dalam melakukan tugasnya berkewajiban untuk mematuhi standar profesi dan menghormati hak pasien”.

3. Hubungan Hukum antara Dokter dan Pasien

Berbagai faktor yang turut mempengaruhi hubungan antara dokter dan pasien adalah faktor ekonomis, perubahan dalam masyarakat, sikap pribadi pasien terhadap dokter baik terhadap pelayanannya maupun dalam hal berkomunikasi dengan pasien. Di samping itu, para dokter seringkali mempunyai perasaan tertentu yang tidak dapat ditunjukkan dalam hubungannya dengan seorang pasien, misalnya kekecewaan mengenai hasil perawatan yang telah diberikan, antipati dan simpati, perasaan takut, khawatir untuk mengatakan yang sebenarnya. Kebiasaan untuk menahan perasaan seperti itu mempunyai pengaruh terhadap sikap dokter terhadap pasien. Selanjutnya, posisi yang lebih kuat dari para dokter juga mempunyai pengaruh terhadap hubungan antara dokter dan pasien, karena baik disadari maupun tidak terbuka peluang bagi dokter untuk dapat memanipulasi pasiennya, terlebih lagi didukung oleh perasaan takut oleh pasien mengenai pasiennya.6 Dengan demikian, dokter seringkali mengabaikan kenyataan bahwa pasien itu mempunyai pengetahuan yang tidak dimiliki oleh dirinya, misalnya aspek esensial dan aspek kemanusiaan dari penyakitnya itu sendiri. Terlebih pengetahuan yang dimiliki oleh pasien dengan penyakit yang telah menahun (kronik).

Adakalanya sikap pasien juga mempengaruhi hubungan dokter dengan pasien. Pasien seringkali kurang mau melihat masalah kemungkinan pemberian bantun itu menurut pandangan seorang dokter, dan kurang terbuka terhadap dokter yang merawatnya karena kurangnya pengertian. Oleh karena itu, menurut Leenen, hubungan antara dokter dan pasien harus dipandang sebagai hubungan kerja sama yang berada di bawah pengaruh faktor-faktor tersebut di atas, sehingga dapat dikatakan bahwa kedudukan para pihak dalam kerja sama yang demikian adalah tidak sederajat. Meskipun sebenarnya kedudukan dokter dan pasien dalam memberikan pelayanan medik adalah sederajat menurut pandangan hukum perdata. Hukum pada hakikatnya mengatur semua hubungan hukum yang dilakukan oleh setiap subjek hukum, termasuk dokter dalam melaksanakan profesinya yaitu dalam pengobatan (terapeutik) dan dalam penelitian klinik serta penelitian bio-medik non-klinik.7

Pelaksanaan profesi dokter tidak terlepas dari kemajuan ilmu kedokteran yang bertumpu pada penelitian yang pada akhirnya sebagian harus didasarkan atas percobaan pada manusia. Penelitian yang lansung menyangkut diri manusia itu harus bertujuan untuk menyempurnakan

6 H.J.J. Leenen dan P.A.F. Lamintang, Op. Cit., h. 65-66. 7 Ibid., h. 67.

(5)

5 tata cara diagnostik (penentuan jenis penyakit yang diderita), terapeutik (cara pengobatan), pencegahan, serta pengetahuan etiologis (asal mula atau penyebab penyakit), dan patogenesis (perjalanan atau perkembangan penyakit). Oleh karena itu, dalam bidang penelitian kedokteran ada dua macam penelitian yang dibedakan secara mendasar, yaitu:8

(1) Penelitian kedokteran yang tujuan utamanya adalah diagnostik dan terapeutik bagi pasien. Penelitian jenis ini adalah kombinasi antara penelitian kedokteran dan perawatan profesional, atau disebut riset klinis.

(2) Penelitian kedokteran yang tujuan utamanya adalah ilmiah murni tanpa nilai diagnostis dan terapeutis bagi subyek yang diteliti itu sendiri. Jenis penelitian ini merupakan penelitian kedokteran non-terapeutik atau disebut biomedik non-klinis.

Kebanyakan prosedur diagnostis dan terapeutis ataupun pencegahan penyakit dalam praktik kedokteran masa kini mengandung berbagai resiko, terlebih didalam penelitian kedokteran yang langsung menyangkut manusia, sehingga World Medical Association telah menyusun rekomendasi sebagai pedoman setiap dokter dalam penelitian atau riset biomedis atau riset kedokteran yang melibatkan subjek manusia, yang dikenal sebagai Declaration of Helsinki yang disempurnakan oleh World Medical Assembly ke-29 di Tokyo pada tahun 1975, dan oleh Worid Medical Assembly ke-35 di Venesia, Italia tahun 1983.9

Namun, pedoman tersebut merupakan pedoman umum bagi semua dokter di seluruh dunia, sehingga tidak berarti bahwa dokter dibebaskan dari tanggung jawabnya menurut hukum yang berlaku di negara masing-masing. Sebagaimana seharusnya hubungan hukum antara dua subjek hukum, hubungan antara dokter dengan subjek penelitian juga merupakan perikatan. Masing-masing pihak mempunyai hak dan kewajiban secara timbal balik, dan bertanggung jawab atas pemenuhannya. Akan tetapi, mengikat adanya resiko yang cukup tinggi, dalam prinsip dasar ditentukan bahwa tanggung jawab atas manusia yang diteliti harus selalu terletak pada tenaga medik yang kompeten, meskipun subjek penelitian yang bersangkutan mempunyai kebebasan kehendak untuk memberikan persetujuannya. Dengan demikian, penelitian hanya dapat dilakukan secara sah apabila kepentingan tujuan penelitian itu sepadan atau seimbang dengan resiko terkait (inherent) yang akan dihadapi subjek.

Oleh karena itu, di dalam pasal 69 Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 ditegaskan bahwa penelitian dan pengembangan kesehatan dilaksanakan untuk memilih dan menetapkan ilmu pengetahuan dan teknologi tepat guna yang diperlukan dalam meningkatkan derajat kesehatan. Untuk itu, penelitian, pengembangan, dan penerapan hasil penelitian pada manusia dilaksanakan dengan memperhatikan etik penelitian dan norma yang berlaku dalam masyarakat, yaitu norma hukum, norma agama, norma kesusilaan dan norma kesopanan. Selain itu, penerapan dan penggunaan hasil penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan serta teknologi kesehatan di Indonesia harus disesuaikan kebutuhan pembangunan kesehatan. Selanjutnya, di dalam Pasal 71 Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 ditegaskan bahwa penyelenggaraan kesehatan merupakan tanggung jawab besama pemerintah dan masyarakat. Dengan demikian, masyarakat tidaklah menjadi objek semata, tetapi sekaligus merupakan subjek penyelenggaraan upaya kesehatan.

Berdasarkan paparan tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa kedudukan hukum para pihak dalam pelayanan medik adalah seimbang sesuai dengan tanggung jawab masing-masing. Pasien bertanggung jawab atas kesehatannya dan atas segala upaya kesehatan yang dilakukan

8 Veronica Komalawati, Peran Informed Consent dalam Transaksi Terapeutik, Citra Aditya Bakti,

Bandung, 1999, h. 22.

(6)

6 terhadap dirinya, dan dokter bertanggung jawab selaku profesional di bidang medik yang memiliki ciri pelayanan berupaya pemberian bantuan atau pertolongan yang seharusnya selalu berupaya meningkatkan keahlian dan keterampilannya melalui penelitian.

Hak-hak Pasien yang menjadi kewajiban dokter untuk menghormati dan mentaatinya adalah sebagai berikut:

a. Hak atas informasi

Hak atas informasi ini terproses secara evolusi, sejalan dengan perkembangan hak asasi manusia. Inti hak atas informasi ini adalah hak pasien untuk mendapatkan informasi dari dokter, tentang hal-hal yang berhubungan dengan kesehatannya, dalam hal ini terjadi hubungan dokter dan pasien.

Pada mulanya, hak ini hanyalah mendapatkan pengakuan dalam etika kedokteran. Adalah tindakan yang baik bila dokter menginformasikan kepada pasien tentang kesehatannya. Hak ini kemudian digabungkan dengan hak untuk menentukan nasib atas diri pribadi, dilembagakan menjadi lembaga yang dikenal dengan nama informed consent (persetujuan atas dasar informasi). Lembaga ini di Indonesia menjadi lembaga hukum sejak diundangkannya Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 585a Tahun 1989 tentang Persetujuan Tindak Medik. Pada dasarnya ditentukan bahwa pemberian informasi dalam setiap tindakan medik menjadi kewajiban dokter, dokter harus memberikan informasi kepada pasien, baik diminta maupun tidak oleh pasien.10

Mengenai isi informasi yang harus diberikan oleh dokter, belum diatur secara rinci. Hanya disebutkan informasi yang diberikan mencakup keuntungan dan kerugian dari tindaskan medik yang akan dilakukan baik didiagnositik ataupun terapeutik. Diharapkan dalam peraturan pelaksanaan Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 akan dirinci tentang isi minimal informasi yang harus disampaikan oleh dokter kepada pasien.

Idealnya isi minimal informasi yang harus disampaikan oleh dokter adalah: a. diagnose;

b. resiko dalam tindakan medik;

c. alternatif terapi, trmasuk keuntungan dan kerugian dari setiap alternatif terapi; d. prognose.

Apabila diperluas isi informasi dalam persetujuan tindakan medik (informed consent), maka yang harus ditambahkan meliputi:

a. cara kerja dokter dalam proses tindakan medik;

b. keuntungan dan kerugian dalam tiap alternatif terapi secarra luas ; c. semua resiko yang munkin terjadi ;

d. kemungkinan rasa sakit setelah tindakan medik.11

Tetapi kendala yang dihadapi dokter dalam perluasan pemberian informasi adalah waktu dan rutinitas pekerjaan. Apakah dokter mempunyai waktu untuk memberikan seluruh informasi? Karena dokter tidak hanya menghadapi satu atau dua pasien per hari, dengan pemberian informasi yang berlebihan malah dapat menyebabkan terbuangnya waktu dokter untuk memberikan pelayanan medik bagi orang yang membutuhkan. Kiranya, bila setiap dokter dapat menyampaikan empat macam informasi minimal pada setiap tindakan medik bukan merupakan

10 Hermien Hadiati Koeswadji, Hukum dan Masalah Medik, Airlangga University Press, Surabaya, 1984, h.

51.

(7)

7 suatu operasi, dirasakan cukup memadai. Dalam hal-hal tertentu sebagai misal sebelum dilakukan tindakan operasi akan diberikan informasi yang lebih lengkap.12

Kendala lain yang dihadapi dokter dalam menyampaikan informasi adalah keadaan pasien yang sedang keadaan sakit, yang biasanya bukan hanya sakit fisik, akan tetapi kadang-kadang disertai sakit psikis, di mana pada saat itu pasien tidak dapat menerima dan mengerti keseluruhan dari informasi yang diberikan dokter. Bila dokter terlalu banyak memberikan informasi, ada kemungkinan pasien yang dalam keadaan lemah dan sakit menjadi takut atau shock, malah akan memperburuk proses penyembuhan. Selain itu, pasien karena takutnya mungkin akan menolak tindakan medik yang ditawarkan, sehingga memperburuk keadaan.

Sebaliknya, kalau terlalu sedikit memberikan informasi bisa juga menyebabkan salah penafsiran. Misalnya, dokter dalam memberikan informasi kepada pasien tentang prognose penyakit pasien, untuk menjaga agar pasien tidak terlalu mendengar bahwa penyakitnya cukup serius, akan memberi informasi kepada pasien dengan kata-kata yang samar-samar dan diinterprestasikan oleh pasien bahwa penyakitnya tidak serius. Bisa saja pasien karena merasa penyakitnya tidak serius, melakukan tindakan yang justru akan membuat penyakitnya bertambah parah.13

Selanjutnya, dokter dituntut untuk memberikan informasi yang wajar, benar dan bijak. Pada pelaksanaannya pemberian informasi yang wajar, benar dan bijak sangat sulit untuk dilaksanakan, karena dipengaruhi oleh berbagai faktor, terutama faktor kemanusiaan yang tiap-tiap induvidu berbeda. Setiap-tiap kasus dalam pelayanan medik mempunyai keunikan tersendiri, tidak pernah kasus yang satu sama persis dengan kasus yang lain. Sehingga dokter dalam memberikan informasi juga harus memperhatikan kondisi pasien kasus per kasus.14

b. Hak atas persetujuan

Hak untuk menentukan diri sendiri (the right of self determination) merupakan bagian dari hak asasi manusia. Dihubungkan dengan tindakan medis, maka hak untuk menentukan nasib diri sendiri diformulasikan dengan apa yang dikenal dengan persetujuan atas dasar informasi (informed consent). Adalah hak asasi pasien untuk menerima ataupun menolak tindakan medis yang ditawarkan oleh dokter, setelah dokter memberikan informasi. Dengan perkataan lain, pasien harus menerima informasi terlebih dahulu sebelum memberikan persetujuan. Lembaga ini dikenal dengan lembaga informed consent. Lembaga informed consent mendapatkan kekuatan hukum dengan diundangkannya Permenkes No. 585a/1989 tentang Persetujuan Tindakan Medik. Dengan demikian, informasi dan persetujuan menjadi hak pasien.15 Dalam pasal 2 ayat (1) Permenkes No. 585a/1989 dikatakan bahwa, semua tindakan medis yang akan dilakukan terhadap pasien harus mendapatkan persetujuan. Bentuk persetujuan ini bisa tertulis bisa pula lisan.

Persetujuan tertulis diperlukan untuk setiap tindakan medis yang mengandung resiko tinggi. Persetujuan tersebut ditandatangani oleh yang berhak memberikan persetujuan, yaitu pasien sendiri atau keluarganya. Kecuali bagi pasien di bawah umur (belum dewasa), tidak sadar atau tidak cakap melaksanakan perbuatan hukum, maka persetujuan diberikan oleh walinya. Dalam hal pasien tidak sadar (pingsan), serta tidak didampingi oleh keluarga terdekat, secara

12 Wila Chandrawila, Hukum Kedokteran, Mandar Maju, Bandung, 2001, h. 17. 13 Hermien Hadiati Koeswadji, Op. Cit., h. 21.

14 Wila Chandrawila, Op. Cit., h. 18. 15 Ibid., h. 8

(8)

8 medik dalam keadaan gawat dan atau darurat, yang segera memerlukan tindakan medis, maka tidak diperlukan persetujuan siapapun.16

Seringkali informed consent ini dihubungkan dengan izin operasi. Dokter berasumsi, bila sudah ada izin operasi dari pasien dalam bentuk penandatanganan formulir, maka dokter sudah cukup mendapatkan perlindungan hukum. Perlindungan hukum terkait dengan risiko kegagalan tindakan medis (misalnya, operasi) yang terjadi di luar kesalahan dokter. Dengan melaksanakan informed consent, berarti dokter telah melaksanakan kewajibannya memberikan informasi dan mendapatkan persetujuan. Dokter telah memenuhi kewajibannya, yaitu menghormati hak pasien dan bekerja sesuai dengan standar profesi dokter.

Masalah lain yang sering timbul dalam hal pemberian persetujuan adalah syarat dari dokter atau rumah sakit, yang mensyaratkan persetujuan keluarga dalam setiap tindakan medis, tidak peduli bahwa pasien sebenarnya cakap untuk melakukan perbuatan hukum. Dalam hal keluarga pasien tidak mau memberikan persetujuan, maka dokter atau rumah sakit dihadapkan pada dilema atas peraturan yang dibuatnya sendiri.

c. Hak atas rahasia kedokteran

Kerangka pemikiran tentang rahasia kedokteran timbul pertama-tama dari kewajiban profesional untuk merahasiakan keterangan yang diperoleh dalam melaksanakan profesi. Keterangan yang didapat oleh para profesional dalam melakukan profesi dikenal dengan nama rahasia jabatan. Sedangkan, keterangan yang diperoleh dokter dalam melaksanakan profesinya dikenal dengan nama rahasia kedokteran. Dokter berkewajiban untuk merahasiakan keterangan tentang nama pasien, penyakit yang diderita pasien. Kewajiban dokter ini menjadi hak dari pasien.17

Para profesional mendapatkan perlindungan hukum dalam hal ia menolak untuk membuka rahasia kedokteran. Sehubungan dengan proses peradilan, seorang dokter mempunyai hak untuk menolak membuka rahasia kedokteran (verschonings-recht van de art). Dokter harus meminta penetapan dari hakim agar dibebaskan untuk menjadi saksi dalam sidang pengadilan, tetapi kata akhir tetap pada hakim. Hakim menentukan apakah permintaan dokter dapat dikabulkan atau tidak.18

Hak atas rahasia kedokteran adalah hak individu dari pasien, hak individu ini akan dikesampingkan dalam hal hak masyarakat menuntut, misalnya pasien dapat membahayakan masyarakat seperti yang daya tularnya mudah dan sangat cepat contohnya SARS (Severe Acute Respiratory Syndrome) atau sindrom pernafasan akut, maka dokter berkewajiban untuk membuka rahasia tersebut kepada pihak yang berwenang, walaupun pasien menolaknya.19 Dokter tidak berhak untuk membuka rahasia tersebut kepada kepada tetangga dokter ataupun orang lain selain kepada pihak yang berwenang. Jadi kepentingan umum mengesampingkan kepentingan individu.

d. Hak atas pendapat kedua (second opinion)

Hubungan dokter dan pasien adalah hubungan kepercayaan. Seringkali dalam praktik, dokter merasa tersinggung, dalam hal pasien menginginkan pendapat dokter lain (second opinion), tentang penyakitnya. Dokter menganggap sebagai pelecehan terhadap kemampuannya.

16 Ibid., h. 19.

17 Hermien Hadiati Koeswadji, Op. Cit., h. 36. 18 Wila Chandrawila, Op. Cit., h. 19.

(9)

9 Dokter merasa pasien meragukan hasil pekerjaannya. Memang memerlukan jiwa yang besar untuk dapat menerima permintaan pasien untuk mendapatkan pendapat dokter lain, karena hal itu memang merupakan salah satu hak pasien yang juga harus dihormati dokter.

Fakta membuktikan bahwa kadang-kadang terdapat perbedaan pendapat dari dokter pertama dan dokter kedua. Dapat saja seorang pasien diam-diam pergi sendiri ke dokter kedua tanpa sepengetahuan dokter pertama. Tetapi hambatan yang akan dia dapatkan pengulangan pemeriksaan pertama, yang bukan saja membuang uang tetapi juga membuang waktu. Selain itu, selama tidak ada kerjasama antara dokter satu dan dokter kedua, upaya pasien tidak akan ada gunanya. Adanya perbedaan pendapat antara dokter pertama dan dokter kedua, malah membuat pasien menjadi lebih bingung.

Yang dimaksud dengan pendapat kedua (second opinion) adalah adanya kerjasama antara dokter pertama dan dokter kedua. Dokter pertama akan memberikan seluruh hasil pekerjaannya kepada dokter kedua. Kerjasama ini bukan atas inisiatif dokter yang pertama, tetapi atas inisiatif pasien. Kalau inisiatif datang dari dokter, maka terjadi apa yang dikenal dengan rujuk. Pasien dirujukkan kepada dokter yang lebih ahli.20

Dalam hak atas pendapat yang kedua, dokter kedua akan mempelajari hasil kerja dokter pertama dan bila ia melihat perbedaan pendapat, maka ia akan menghubungi dokter pertama, membicarakan tentang perbedaan diagnosa yang dibuat keduanya.

Dengan dilembagakannya hak atas pendapat kedua ini sebagai hak pasien, maka keuntungan yang didapat oleh pasien sangat besar. Pertama, pasien tidak perlu mengulangi pemeriksaan rutin lagi. Kedua, dokter pertama dapat berkomunikasi dengan dokter kedua, sehingga dengan keterbukaan dari para pakar yang setingkat dengan kemampuannya dapat menghasilkan pendapat yang lebih baik.

Akan menjadi masalah apabila pasien mempergunakan hak ini semena-mena. Bayangkan apabila setiap pasien yang mampu selalu menggunakan hak ini, akan rancu dunia kedokteran. Sehingga peraturan tentang hak atas pendapat kedua ini memerlukan pengaturan dan penerapan yang cukup bijaksana, agar tidak merugikan para pihak, yakni dokter dan pasien.

e. Hak untuk melihat rekam medik

Kebiasaan dari tenaga kesehatan membuat catatan tentang pasien, yang seringkali dikenal dalam istilah kedokteran: status pasien, kini telah menjadi kewajiban dari setiap tenaga kesehatan yang bekerja dalam sarana kesehatan, untuk membuatnya. Nama yang kini dikenal dan memasyarakat adalah rekam medik (medical record). Membuat rekam medik merupakan kewajiban dari dokter atau rumah sakit. Sejak diundangkannya Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 749a Tahun 1989 tentang Rekam Medik.21

Pengertian tentang rekam medik menurut pasal 1 butir a Permenkes Nomor 749a Tahun 1989 adalah sebagai berikut: “Rekam medik adalah berkas yang berisi catatan, dan dokumen yang berisi tentang identitas pasien, pemeriksaan, pengobatan, tindakan dan pelayanan lain kepada pasien pada sarana pelayanan kesehatan”. Sedang, pasal 2 Permenkes Nomor 749a Tahun 1989 menetapkan sebagai berikut: “Setiap sarana pelayanan kesehatan yang melakukan pelayanan rawat jalan, maupun rawat inap wajib membuat rekam medik”. Selanjutnya dalam Pasal 10 Permenkes Nomor 749a Tahun 1989 ditentukan bahwa berkas rekam medik adalah milik sarana kesehatan, sedangkan isi rekam medik milik pasien.

20 Hermien Hadiati Koeswadji, Op. Cit., h. 37. 21 Wila Chandrawila, Op. Cit., h. 20.

(10)

10 Seringkali menjadi masalah adalah tentang kepemilikan dari rekam medik ini, berkasnya milik sarana kesehatan, tetapi isinya milik pasien. Kalau isi rekam medik adalah milik pasien, berhakkah pasien untuk melihat rekam medik tersebut? Atau berhakkah pasien mendapatkan salinan dari rekam medik yang isinya adalah milik pasien? Hal ini tidak diatur dalam Permenkes tersebut di atas.

Pendapat para pakar hukum kesehatan adalah hak pasien untuk melihat rekam medik, termasuk untuk mendapatkan kopi dari rekam medik yang isinya milik pasien. Pernyataan selanjutnya yang juga merupakan masalah adalah tentang tulisan yang mana saja yang dapat dilihat oleh pasien? Apakah semua tulisan dokter yang ditulis di dalam rekam medik boleh dilihat pasien?

Terdapat pendapat bahwa dokter tidak perlu memperlihatkan kepada pasien catatan yang berisi pendapat pribadi. Seringkali dokter menulis pendapat pribadinya di sisi kertas. Pendapat pribadi ini dikenal sebagai “persoonlijke aantekeningen”. Disarankan agar dokter menulis pendapat pribadinya dalam kertas yang lain, khusus untuk keperluan tersebut. Dalam hal dokter harus memenuhi hak pasien untuk melihat rekam medik, adalah hak dokter untuk tidak memperlihatkan tulisan yang berisi pendapat pribadinya kepada pasien.22

Masalah yang dihadapi oleh pasien adalah seringnya penolakan dari yang memiliki berkas rekam medik (dokter atau rumah sakit) dalam hal pasien ingin melihat rekam medik. Dokter atau rumah sakit berasumsi bahwa pasien bertujuan untuk menggugat dokter dan rekam medik akan dipergunakan sebagai alat bukti. Pihak dokter atau rumah sakit tidak perlu takut untuk memperlihatkan rekam medik kepada pasien, sebab dengan keterbukan justru akan dapat menghindari salah paham.

Masalah ini akan dihadapi dokter atau rumah sakit apabila pasien mempergunakan hak ini semena-mena. Apabila pasien selalu ingin mangetahui rekam medik, karena merasa adalah haknya, maka dimana letak hak privacy dari dokter? Lagi pula betapa repotnya dokter atau rumah sakit melayani setiap permintaan pasien untuk melihat rekam medik. Hendaknya diatur juga tentang pembahasan dari penggunaan hak ini, agar para pihak dengan jelas mengetahui tentang hak dan kewajiban serta mentaatinya secara proporsional.

4. Kesimpulan

Dalam transaksi terapeutik (hubungan dokter dan pasien dalam upaya penyembuhan), tujuan pemberian bantuan pelayanan medik adalah untuk meningkatkan kemampuan pasien menolong dirinya sendiri dalam menghadapi masalah kesehatannya. Untuk itulah diperlukan adanya persetujuan dari individu yang ditolong (pasien), sehingga terciptalah hubungan hukum yang didasarkan kerja sama yang baik, kejujuran, serta sikap saling percaya. Dengan demikian, timbulnya hubungan hukum dalam pelayanan medik di samping disebabkan adanya kewajiban setiap individu untuk memelihara dan meningkatkan kesehatannya, juga adanya kewajiban dokter terhadap seseorang yang membutuhkan pertolongannya selaku profesional sampai orang tersebut (pasien) mampu untuk berusaha mengatasi masalah kesehatannya.

Tanggungjawab seorang dokter terhadap pasien dalam pelayanan medik tidak terlepas dari adanya hubungan hukum antara dokter dengan pasien, dimana hubungan hukum ini dapat terjadi didasarkan pada:

a. Perikatan hukum yang didasarkan pada persetujuan antara dokter dengan pasiennya yang dikenal dengan istilah “transaksi terapeutik”. Apabila transaksi terpeutik (perjanjian penyembuhan) tidak dipenuhi oleh dokter maka akan terjadi wanprestasi, sehingga tuntutan

(11)

11 seorang pasien bisa berdasarkan pada wanprestasi, artinya dokter tidak dapat memenuhi apa yang disepakati bersama dengan pasien.

b. Perikatan hukum yang didasarkan pada ketentuan undang-undang, yang dalam hal ini demi kepentingan pesien, misalnya pasien yang mengalami gangguan jiwa atau anak yang belum dewasa (minderjarig), maka apabila dokter malakukan kesalahan profesi, gugatannya didasarkan pada perbuatan melawan hukum (onrechtmatig daad).

(12)

12 DAFTAR PUSTAKA

Benyamin Lumenta, Pelayanan Medis: Citra, Konflik dan Harapan, t.p., Yogyakarta, 1989 Fred Ameln, Kapita Selekta Hukum Kesehatan, Grafitama Jaya, Jakarta, 1991

Hermien Hadiati Koeswadji, Hukum dan Masalah Medik, Airlangga University Press, Surabaya, 1984

Leenen, H.J.J., dan P.A.F. Lamintang, Pelayanan Kesehatan dan Hukum, Bina Cipta, Jakarta, 1991

Veronica Komalawati, Peran Informed Consent dalam Transaksi Terapeutik, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999

Wila Chandrawila, Hukum Kedokteran, Mandar Maju, Bandung, 2001 Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan

Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 585a Tahun 1989 tentang Persetujuan Tindak Medik Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 749a Tahun 1989 tentang Rekam Medik

(13)
(14)
(15)
(16)

Referensi

Dokumen terkait

7.2 Kondisi untuk penyimpanan yang aman, termasuk ketidakcocokan Bahan atau campuran tidak cocok. Pertimbangan untuk nasihat lain •

Penelitian ini akan menguji variabel faktor-faktor yang mempengaruhi pengungkapan CSR dengan judul pengaruh ukuran perusahaan, kemampulabaan, leverage , dan ukuran dewan komisaris

Sebelum adanya sistem kesultanan yang diperkenalkan oleh Islam di Kesultanan Tenate, Tidore, Bacan, Jailolo, maka Jazirah Bomberay (fakfak dan kaimana) serta

mengenakan batik.Pegusul memperkenalkan jilbab batik yang modern dapat digunakan untuk semua kalangan dan harga berahabat dengan judul “Jilbab Batik, Muslimah

Keragaan pasar dalam sistem pemasaran kubis di Kecamatan Gisting menunjukkan producer share masih rendah (hanya ≤ 54,49 %), marjin pemasaran masih cenderung tinggi

Gambar karikarur “Gurita Cikeas” yang ada pada surat kabar Jawa Pos edisi 29 Desember 2009 merupakan penggambaran suatu dari peristiwa yang sedang dialami oleh bangsa Indonesia

Aplikasi dari model persamaan yang diperoleh dapat digunakan untuk memprediksi variabel terhadap kejadian infestasi STH pada siswa SD Desa Sukarami Kecamatan

Tujuan penelitian ini adalah merancang suatu pengukuran kinerja dengan pendekatan BSC bagi PT Sayuran Siap Saji dengan terlebih dahulu menganalisis sasaran strategik dan