• Tidak ada hasil yang ditemukan

4 HASIL DAN PEMBAHASAN. Karakteristik Getah Pepaya Segar, Getah Pepaya Kering, dan Papain

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "4 HASIL DAN PEMBAHASAN. Karakteristik Getah Pepaya Segar, Getah Pepaya Kering, dan Papain"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakteristik Getah Pepaya Segar, Getah Pepaya Kering, dan Papain Tabel 2 menunjukkan hasil pengujian terhadap karakteristik getah pepaya segar, getah pepaya kering, dan papain yang terdiri dari kadar air, rendemen, dan aktivitas proteolitik. Kadar air getah pepaya segar berdasarkan hasil yang diperoleh adalah sebesar 80.96% dan kadar air getah pepaya kering sebesar 9.75%. Rodrigues et al. (2009b) menyatakan bahwa getah pepaya merupakan cairan dengan penampakan menyerupai susu dan meskipun belum diketahui secara pasti, diperkirakan mengandung air sekitar 85% serta beberapa biomolekul yang terdiri dari proteinase sistein (~30%) dan protein lain (~10%). Kadar air papain kasar yang diperoleh berdasarkan Tabel 2 adalah sebesar 3.35 ± 0.08 dan berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Caro et al. (2000) yang mengukur kadar air beberapa jenis papain diperoleh kadar air untuk papain yang dimurnikan adalah sebesar 4.6% dan untuk getah pepaya yang diperoleh dari tanaman pepaya varietas Madagaskar adalah sebesar 6.6%. Pengukuran kadar air getah pepaya segar, getah pepaya kering, dan papain dilakukan untuk menghitung aktivitas proteolitik ketiga komponen tersebut berdasarkan jumlah padatannya untuk mendapatkan hasil yang setara.

Berdasarkan berat kering bahan, aktivitas proteolitik getah pepaya segar lebih tinggi dibandingkan getah pepaya kering. Berkurangnya aktivitas proteolitik getah pepaya setelah dikeringkan ini diduga disebabkan rusaknya gugus tiol yang merupakan sisi aktif dari enzim proteolitik yang dikandung getah pepaya akibat pemanasan (Yapa et al. 1994). Aktivitas proteolitik dinyatakan dalam satuan unit/menit mg jumlah enzim. Unit aktivitas enzim yang dimaksud adalah jumlah produk berupa tirosin yang dihasilkan per satuan waktu per satuan jumlah enzim (Irena 2010). Chaiwut et al. (2007) mengukur aktivitas proteolitik getah pepaya kering sebesar 1623 U/g. Perbedaan karakteristik yang diperoleh pada penelitian ini dipengaruhi oleh beberapa faktor, di antaranya adalah metode pengeringan serta varietas pepaya yang digunakan sebagai sumber getah. Perbandingan aktivitas proteolitik antara getah pepaya segar, getah pepaya kering, dan papain yang diperoleh selanjutnya digunakan sebagai acuan untuk menentukan jumlah getah pepaya kering dan papain yang akan digunakan pada pengujian aktivitas antibakteri yang diekuivalenkan dengan jumlah getah pepaya segar yang digunakan pada praktik di lapangan.

Tabel 2 Karakteristik getah pepaya segar, getah pepaya kering dan papain dari getah pepaya

Komponen Kadar air (bk) (%) Rendemen (%) Aktivitas proteolitik (U/mg)a Aktivitas proteolitik (U/mg)b Getah segar 80.96 ± 0.29 - 1944.86 ± 9.86 371.35 ± 1.88 Getah kering 9.75 ± 0.21 17.12 ± 1.26 722.48 ± 19.97 652.04 ± 18.02 Papain 3.35 ± 0.08 1.5 ± 0.28 677.93 ± 5.44 655.22 ± 5.26 a

Aktivitas per berat kering bahan b

(2)

Getah pepaya yang digunakan pada penelitian ini diperoleh dari kebun University Farm IPB dan merupakan pepaya varietas Calina IPB. Pengumpulan getah dilakukan pada pagi hari sekitar pukul 6.00 sampai 9.00 dengan cara menyayat buah pepaya muda menggunakan pisau dengan kedalaman kurang lebih 2 sampai 3 mm sebanyak 5 hingga 6 sayatan pada satu buah (Gambar 2a). Waktu pengumpulan getah dilakukan pada pagi hari sebab jumlah getah yang mengalir lebih maksimal dibanding jumlah yang mengalir pada siang hari (Gurung et al. 2009). Getah pepaya merupakan cairan yang berwarna putih dan bersifat lengket yang dikeluarkan dari tanaman yang memiliki bagian laticifer atau penghasil getah. Getah pada pepaya dapat diperoleh dari beberapa bagian, seperti buah yang masih muda, daun, serta batang. Pada penelitian ini buah pepaya digunakan sebagai sumber getah sebab pada bagian buah jumlah dan aktivitas getah pepaya lebih tinggi dibandingkan getah yang diperoleh dari bagian batang dan daun (Kusumadjaja et al. 2005).

(a) (b) (c)

Gambar 2 Proses pengeringan getah pepaya dimulai dari (a) pengumpulan getah dari pohon, (b) getah yang telah dikumpulkan dan menggumpal, dan (c) getah kering

.Getah pepaya mengandung beberapa komponen aktif yang bila telah disadap dari bagian tubuh tanaman pepaya harus ditangani dengan baik untuk mempertahankan aktivitasnya. Salah satu usaha yang dilakukan menurut Rodrigues et al. (2009a) adalah dengan menyimpan getah pepaya segar pada suhu rendah (-20 atau 5 ). Usaha lain yang dapat dilakukan adalah dengan melakukan pengeringan getah pepaya sehingga dapat disimpan pada suhu yang lebih tinggi. Getah yang telah dikumpulkan dari tanaman pepaya akan segera mengalami penggumpalan bila dibiarkan pada kondisi ruang (Gambar 2b). Pengeringan getah pepaya pada penelitian ini dilakukan dengan menggunakan oven vakum pada suhu ±55 selama 22 jam hingga diperoleh getah kering dengan kadar air sebesar 9.75% kemudian dihaluskan menggunakan mortar hingga diperoleh bubuk getah pepaya kering (Gambar 2c). Getah kering yang diperoleh disimpan pada suhu 4 sampai 8 seperti yang dilaporkan oleh Chaiwut et al. (2007). Pengeringan dengan menggunakan oven vakum merupakan metode pengeringan yang lebih baik dibanding metode pengeringan menggunakan matahari. Hal ini dikarenakan penggunaan oven vakum memungkinkan pengaturan suhu yang lebih stabil dibanding pengeringan menggunakan matahari. Selain itu, pengeringan dengan oven mampu mengurangi reaksi oksidasi yang dapat merusak gugus thiol papain yang merupakan aktivator papain. Perbandingan pengeringan menggunakan oven vakum dengan pengeringan menggunakan

(3)

matahari telah dilakukan oleh Yapa et al. (1994) dan hasil yang diperoleh menunjukkan aktivitas proteolitik papain yang dikeringkan menggunakan oven vakum lebih tinggi. Proses pengeringan getah pepaya kering pada penelitian ini menghasilkan jumlah getah pepaya kering sebanyak 17.12% dari jumlah awal getah pepaya yang digunakan.

Enzim proteolitik yang dikandung getah pepaya terdiri atas beberapa jenis yaitu papain, kimopapain, caricain, lisozim, dan lipase (Aravind et al. 2013). Papain digolongkan sebagai salah satu enzim protease sulfihidril yang akivitasnya tergantung pada keberadaaan gugus sulfihidril pada sisi aktifnya. Papain mampu bekerja pada suhu yang cukup tinggi dibanding proteolitik lainnya dengan suhu optimum berkisar antara 50 sampai 60 dan pH 5 sampai 7 (Yuniwati et al. 2008). Sebagai komponen aktif dari getah pepaya, papain diduga memiliki peranan terhadap aktivitas antibakteri getah pepaya seperti yang dilaporkan oleh Seenivasan et al. (2010), dimana papain mampu menghambat pertumbuhan Escherichia coli, Staphylococcus aureus, Pseudomonas aeruginosa, dan Bacillus subtilis. Ekstraksi papain dari getah pepaya pada penelitian ini dilakukan untuk menentukan peranan papain terhadap aktivitas antibakteri getah pepaya, khususnya pengaruh terhadap membran S. aureus.

Papain kasar dapat dipisahkan dari getah pepaya melalui serangkaian proses yang diawali dengan menghomogenkan getah pepaya dengan melarutkannya pada buffer posfat pH 8. pH larutan selanjutnya dibuat menjadi pH 5 menggunakan HCl dan diaduk selama 15 menit pada suhu 4 untuk membantu melarutkan komponen protein yang dikandungnya dan memberikan efek recovery aktivitas protease yang lebih tinggi. Hal ini sesuai dengan yang dilaporkan oleh Nitsawang et al. (2006). Komponen yang tidak larut dipisahkan dengan filtrasi dan papain kasar yang larut pada filtrat diendapkan menggunakan etanol 70% dengan perbandingan 1:6 (v/v) dan diaduk selama 30 menit pada suhu 4 kemudian dipisahkan dengan sentrifugasi. Presipitat yang diperoleh selanjutnya dikeringkan dengan menggunakan oven vakum pada suhu 55 hingga diperoleh serbuk papain kasar sesuai dengan yang dilakukan oleh Yapa et al. (1994).

Salah satu tahap penting pada proses isolasi papain kasar adalah presipitasi yang bertujuan untuk memisahkan protein yang diinginkan dari komponen lainnya. Presisipitasi protein dapat dilakukan dengan beberapa metode, di antaranya adalah dengan menggunakan alkohol dan garam, hal ini dikarenakan protein tidak dapat larut pada kedua senyawa ini sehingga protein yang diinginkan dapat dipisahkan. Selain itu, pengendapan protein juga dapat dilakukan dengan mengubah pH larutan protein hingga mencapai pH isoelektriknya, dimana pada kondisi ini protein akan mengalami pengendapan. Presipitasi papain kasar pada penelitian ini dilakukan dengan menggunakan etanol sebab berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Chawiut et al. (2007) dan Chanda et al. (2011) presipitasi enzim proteolitik dari getah yang dilakukan dengan menggunakan etanol menghasilkan enzim dengan aktivitas proteolitik yang lebih tinggi dibandingkan dengan proses presipitasi menggunakan garam. Hal ini dikarenakan protease pada getah memiliki sifat hidrofobik yang lebih tinggi sehingga akan lebih mudah mengendap pada larutan alkohol dibanding garam. Papain digolongkan sebagai salah satu enzim proteolitik yang memiliki gugus sistein sebagai sisi aktifnya. Papain merupakan salah satu protease yang memiliki spektrum luas (broad specificity) sehingga papain mampu bekerja pada berbagai jenis substrat

(4)

(Nitsawang et al. 2006). Beberapa substrat yang mampu dihidrolisis oleh papain sebagai enzim proteolitik berdasarkan Ha et al. (2012) adalah ester, kasein, dan kolagen.

Aktivitas Antibakteri Getah Pepaya Kering dan Papain Penghambatan S. aureus pada media pertumbuhan

Getah pepaya kering mampu menurunkan jumlah S. aureus dari jumlah awal yaitu dari 2.96×103 CFU/mL menjadi 2.45×102 CFU/mL (Gambar 3). Pemaparan S. aureus dengan papain menunjukkan kemampuan papain untuk cenderung mempertahankan jumlah S. aureus yaitu 2.66×103CFU/mL pada awal inkubasi menjadi 4.7×103 CFU/mL pada akhir waktu inkubasi bila dibandingkan dengan kontrol yang tidak dikontakkan dengan getah pepaya kering dan papain yaitu dari 2.84×103 CFU/mL menjadi 3.49×108 CFU/mL. Pebedaan hasil ini secara visual dapat dilihat pada Gambar 4a dan 4b, dimana setelah inkubasi selama 24 jam terjadi perubahan tingkat kekeruhan suspensi bakteri. Hal ini menunjukkan getah pepaya memiliki kemampuan menurunkan jumlah S. aureus lebih tinggi bila dibandingkan dengan papain meskipun secara statistik tidak menunjukkan perbedaan yang nyata. Kemampuan getah pepaya yang lebih tinggi ini dipengaruhi oleh kandungan getah pepaya yang lebih kompleks bila dibandingkan papain. Getah pepaya selain mengandung papain sebagai komponen aktifnya juga mengandung beberapa senyawa bioaktif lain yang berperan terhadap aktivitas antibakteri getah pepaya (Cowan 1999).

Hasil uji statistik dengan uji Duncan memperlihatkan pada kondisi akhir inkubasi terdapat perbedaan yang nyata antara jumlah S. aureus yang tumbuh pada kontrol dengan jumlah S. aureus yang tumbuh pada media yang ditambahkan getah pepaya dan papain, sedangkan jumlah S. aureus yang tumbuh pada media yang diberi perlakuan getah pepaya dan papain tidak menunjukkan perbedaan yang nyata (Lampiran 1).

Gambar 3 Aktivitas antibakteri getah pepaya kering dan papain terhadap S. aureus pada media pertumbuhan dengan metode kontak pada suhu 37 selama 24 jam. Huruf di samping angka pada gambar batang menunjukkan perbandingan rata-rata jumlah S. aureus berdasarkan Uji Duncan (p<0.05).

(5)

Beberapa penelitian menunjukkan getah beberapa jenis tanaman memiliki kemampuan sebagai senyawa antibakteri, seperti yang dilakukan oleh Ganpati et al. (2011) yang menggunakan getah segar Euphorbia thymifolia yang dilarutkan sebagai bahan antibakteri dan memperoleh KHM untuk S. aureus sebesar 1:13. Arekemase et al. (2011) menggunakan ekstrak dan getah dari tanaman Jatropha curcas dan KHM getah segar yang diperoleh adalah sebesar 0.05 mL. Hasil yang diperoleh menunjukkan penggunaan getah pepaya dengan konsentrasi sebesar 0.0227 g/100 mL mampu menurunkan jumlah S. aureus sebesar 1 log. Bila dibandingkan dengan aktivitas antibakteri getah tanaman yang lain seperti yang disebutkan sebelumnya, aktivitas antibakteri getah pepaya lebih tinggi.

Penggunaan ekstrak getah pepaya sebagai antibakteri dan kemampuan penghambatannya terhadap bakteri patogen dengan metode difusi agar telah dilakukan oleh Ashok et al. (2011). Selain itu, Pakki et al. (2009) menemukan kemampuan penghambatan krim papain terhadap S. aureus pada media glucose nutrient agar (GNA) menggunakan metode sumur. Pada penelitian ini, aktivitas antibakteri getah pepaya pada media pertumbuhan diuji dengan menggunakan metode kontak untuk mengkuantifikasi kemampuan getah pepaya menghambat pertumbuhan bakteri. Pengujian dilakukan dengan menambahkan getah pepaya kering dan papain pada konsentrasi yang sama dengan yang digunakan pada pembuatan dangke (0.0227 mg/100 mL untuk getah pepaya dan 0.0011 mg/100 mL untuk papain)ke dalam media cair yang mengandung S. aureus sebanyak 104 CFU/mL. Media yang telah berisi antibakteri dan S. aureus ini kemudian diinkubasi menggunakan inkubator bergoyang selama 24 jam pada suhu 37 ± 2 setelah terlebih dahulu dihitung jumlahnya. Kemampuan bahan antibakteri (getah pepaya kering dan papain) menghambat pertumbuhan ditentukan dengan menghitung jumlah S. aureus pada akhir waktu inkubasi yang dibandingkan dengan jumlah awal S. aureus sebelum diinkubasi.

Beberapa senyawa fitokimia yang dikandung getah pepaya dan diperkirakan memiliki peranan terhadap aktivitas antibakteri adalah alkaloid, saponin, flavonoid dan terpenoid seperti yang ditemukan pada senyawa antibakteri lainnya yang berasal dari getah tanaman. Bila dibandingkan dengan papain, aktivitas antibakteri getah pepaya kering lebih tinggi sebab papain merupakan komponen protease yang dipisahkan dari getah pepaya sehingga telah kehilangan komponen-komponen lain yang tidak ikut terekstrak bersama protease (Chaiwut et al. 2007).

(a) (b)

Gambar 4 Penghambatan S. aureus oleh antibakteri sebelum inkubasi (a) dan setelah inkubasi 24 jam (b) pada media pertumbuhan. (A) papain, (B) kontrol tanpa antibakteri, dan (C) getah pepaya

(6)

Penghambatan S. aureus pada dangke selama penyimpanan

Kemampuan getah pepaya menghambat S. aureus pada dangke ditentukan dengan menghitung jumlah S. aureus pada penyimpanan dangke selama 24 jam dan 48 jam. Gambar 5 menunjukkan pada awal penyimpanan jumlah S. aureus tidak jauh berbeda untuk dangke yang dibuat dengan getah pepaya kering, papain, dan CaSO4 yaitu 1.86×104 CFU/mL, 2.45×104 CFU/mL, dan 3.32×104 CFU/mL. Setelah penyimpanan selama 24 jam, terjadi peningkatan jumlah S. aureus khususnya pada dangke yang dibuat menggunakan CaSO4 yaitu sebanyak 1.74×105 CFU/mL sedangkan untuk dangke yang dibuat menggunakan getah pepaya kering dan papain adalah sebanyak 2.75×104 CFU/mL dan 2.97×104 CFU/mL. Peningkatan lebih tinggi terjadi setelah penyimpanan selama 48 jam, yaitu untuk dangke yang dibuat menggunakan getah pepaya kering, papain, dan CaSO4 berturut-turut adalah 7×107 CFU/mL, 2.5×107 CFU/mL, dan 1.17×108 CFU/mL. Keberadaan S. aureus pada awal masa penyimpanan dipengaruhi oleh beberapa hal, di antaranya adalah proses pemanasan yang tidak memadai untuk membunuh bakteri yang mencemari susu sehingga masih mampu bertahan, selain itu kontaminasi yang dapat terjadi selama proses pembuatan dangke juga berpengaruh terhadap jumlah S. aureus pada dangke sehingga setelah penyimpanan selama 48 jam jumlah S. aureus yang ditemukan cukup tinggi. Cemaran S. aureus pada produk olahan susu juga ditemukan oleh de Olievera et al. (2011) pada susu pasteurisasi di daerah Bahia, Brazil, dimana pada contoh susu pasteurisasi yang diuji ditemukan S. aureus sebanyak 3.5×103 CFU/ mL.

Hasil uji statistik yang membandingkan pengaruh getah pepaya kering dan papain terhadap jumlah S. aureus selama penyimpanan menunjukkan selama penyimpanan 0 jam tidak terdapat perbedaan jumlah S. aureus yang nyata antara masing-masing perlakuan. Perbedaan yang nyata terlihat setelah penyimpanan selama 24 jam, dimana jumlah S. aureus yang tumbuh pada dangke yang digumpalkan dengan CaSO4 lebih banyak dibanding jumlah S. aureus yang tumbuh pada dangke yang digumpalkan dengan getah pepaya kering dan papain (Lampiran 2).

Gambar 5 Aktivitas antibakteri getah pepaya kering dan papain terhadap S. aureus pada dangke selama penyimpanan suhu ruang. Huruf di samping angka pada gambar batang menunjukkan perbandingan rata-rata jumlah S. aureus berdasarkan Uji Duncan (p<0.05).

(7)

Jumlah S. aureus pada dangke yang dibuat dengan menggunakan getah pepaya dan papain selama penyimpanan 24 jam tidak menunjukkan kenaikan yang signifikan (Gambar 5). Hasil uji statistik menunjukkan terdapat perbedaaan jumlah S. aureus yang nyata pada penyimpanan 24 jam antara dangke yang dibuat dengan menggunakan bahan penggumpal berupa CaSO4 bila dibandingkan dengan dangke yang dibuat dengan menggunakan penggumpal berupa getah pepaya dan papain yang tidak menunjukkan perbedaan nyata satu sama lain. Perbedaan ini dipengaruhi aktivitas antibakteri getah pepaya dan papain, dimana getah pepaya dan papain diketahui mengandung enzim proteolitik sebagai komponen aktifnya.

Susu sapi segar pada pembuatan dangke terlebih dahulu dipanaskan hingga mencapai suhu 63 dan dipertahankan selama 10 menit, hal ini dilakukan untuk membunuh sebagian bakteri patogen yang mengkontaminasi susu. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Suhu selanjutnya diturunkan hingga mencapai 50 dan getah pepaya kering dan papain ditambahkan untuk menggumpalkan protein susu dan juga digunakan dan batu tahu (CaSO4) sebagai kontrol. Interaksi antara getah pepaya atau papain dengan susu mampu menggumpalkan protein susu sebab getah pepaya dan papain mengandung enzim proteolitik sebagai komponen aktifnya. Penggumpalan protein oleh enzim proteolitik terjadi akibat terganggunya struktur tiga dimensi protein sehingga mengakibatkan perubahan konformasi yang berakibat terjadinya koagulasi protein. Proses ini seperti yang dijelaskan oleh Geantaresa et al. (2010), kasein yang dikandung susu berinteraksi dengan enzim proteolitik yang dikandung oleh getah pepaya dan papain mengakibatkan gangguan ikatan peptida pada ĸ-kasein dan merusak strukturnya hingga terbentuk para-kappa-kasein yang memiliki bagian hidrofobik yang kemudian akan berikatan satu sama lain membentuk struktur protein yang terkoagulasi (Gambar 6).

Penurunan suhu awal pemasakan dangke yang sebelumnya mencapai 63 menjadi 50 dilakukan dengan tujuan untuk mencapai suhu optimum aktivitas getah pepaya yang menurut Kusumadjaja et al. (2005) dan Yapa et al. (1994) adalah berkisar antara 50 sampai 60 . Dangke merupakan produk yang dibuat dengan menggunakan bahan dasar berupa susu, baik susu sapi maupun susu kerbau. Hasil analisis statistik yang diperoleh menunjukkan kandungan gizi dan karakteristik dangke yang dibuat dengan menggunakan susu sapi dan susu kerbau tidak menunjukkan perbedaan nyata.

Masyarakat secara umum menggunakan getah pepaya segar sebagai bahan penggumpal pada pembuaan dangke. Pada penelitian ini digunakan getah pepaya kering sehingga memudahkan dalam penyimpanan dan penggunaannya sebab getah pepaya kering dapat disimpan pada suhu yang lebih tinggi yaitu pada suhu 4 sampai 8 dibandingkan getah pepaya segar yang membutuhkan suhu penyimpanan -20 (Gurung et al. 2009). Selain itu, sebagian besar industri menggunakan getah pepaya yang telah dikeringkan sebagai sumber papain untuk mempercepat proses produksi dan mengurangi bahaya bagi lingkungan (Macalood et al. 2013). Penggunaan getah pepaya kering dianggap lebih efektif sebab berdasarkan Tabel 2, aktivitas proteolitik getah pepaya dalam kondisi kering lebih tinggi dibanding dalam kondisi segar sebab kadar airnya yang lebih rendah. Kemampuan getah pepaya kering sebagai penggumpal dangke tidak berbeda jauh jika dibandingkan dengan dibandingkan dengan getah pepaya segar berdasarkan

(8)

parameter waktu pembuatan dangke dan perbandingan whey dan curd yang dihasilkan (Tabel 3). Jumlah susu yang digunakan untuk membuat dangke pada penelitian ini adalah sebanyak 500 ml.

Tabel 3 Hasil pembuatan dangke menggunakan dua macam penggumpal

Penggumpal Waktu (menit) Rendemen curd

(%)

Getah pepaya segar (0.04 g/100 mL) 10 8.22

Getah pepaya kering (0.0027 g/100 mL) 13.5 9.62

Enzim proteolitik yang dikandung getah pepaya dan papain memiliki kemampuan memutus ikatan peptida pada protein sehingga dapat mengakibatkan gangguan fungsi protein. Hal inilah yang berperan dalam menghambat pertumbuhan S. aureus pada dangke, dimana enzim proteolitik mampu memutus ikatan peptida protein sehingga mengganggu struktur dinding dan membran sel bakteri (Eshamah et al 2013). Hasil yang sama juga ditunjukkan oleh Seenivasan et al. (2010), dimana enzim proteolitik yang diekstraksi dari getah pepaya mampu menghambat pertumbuhan S. aureus yang diakibatkan oleh terganggunya struktur protein yang menyusun membran selnya. Getah pepaya selain mengandung enzim proteolitik sebagai komponen aktifnya juga mengandung beberapa komponen lain yang diduga berperan terhadap aktivitas antibakteri getah pepaya. Getah pepaya mengandung beberapa komponen bioaktif yang terdiri atas adalah alkaloid, flavonoid, steroid, triterpenoid, dan saponin. Komponen-komponen inilah yang diduga berperan terhadap aktivitas antibakteri getah pepaya seperti yang dinyatakan oleh Baskaran et al. (2012).

(a) (b)

Gambar 6 Proses pembuatan dangke, (a) pemanasan dan penambahan penggumpal, (b) Curd yang telah dipisahkan cairan dengan padatannya

Peningkatan jumlah S. aureus setelah penyimpanan selama 24 jam hingga 48 jam diakibatkan beberapa organisme yang tidak mati pada awal kontak mampu beradapatasi dan melanjutkan pertumbuhannya. Hal ini dimungkinkan karena antibakteri terikat secara tidak dapat balik dengan sel bakteri atau komponen bahan pangan sehingga antibakteri kehilangan aktivitasnya terhadap sel lain yang belum berikatan (Rhoades et al. 2000). Berdasarkan hasil perhitunganjumlah S. aureus yang ada pada dangke, baik pada kondisi awal maupun setelah penyimpanan maka dianjurkan sebelum mengkonsumsi produk ini perlu dilakukan peroses pemasakn terlebih dahulu untuk mengurangi jumlah bakteri

(9)

yang mencemari produk ini. Selain itu, untuk mempertahankan mutu produk dan memperpanjang masa simpan maka penyimpanan produk sebaiknya dilakukan pada suhu rendah.

Ekstrak Etanol Getah Pepaya

Hasil pengujian aktivitas antibakteri getah pepaya dengan menggunakan metode kontak menunjukkan getah pepaya memiliki kemampuan untuk menurunkan jumlah S. aureus yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan papain. Hal ini diduga disebabkan kerena getah pepaya masih mengandung beberapa komponen aktif yang berperan terhadap aktivitas antibakteri getah pepaya. Untuk mempelajari lebih lanjut komponen getah pepaya yang aktif sebagai antimikroba, digunakan ekstrak etanol getah pepaya. Etanol dipilih sebagai pelarut sebab etanol mampu mengekstrak komponen yang lebih banyak dibanding pelarut jenis lainnya khususnya yang bersifat polar karena mampu melarutkan komponen-komponen seperti tanin, polifenol, poliasetilen, flavonol, terpenoid, sterol, alkaloid, dan propolis (Cowan 1999). Rendemen yang diperoleh dari proses ekstraksi dengan proses ultrasonikasi adalah sebesar 17.27% ± 0.49. Ekstrak etanol tersebut yang selanjutnya digunakan pada pengujian aktivitas antibakteri untuk mengetahui pengaruh komponen selain papain terhadap aktivitas antibakteri getah pepaya. Ekstraksi dilakukan dengan menggunakan metode ultrasonikasi dengan tujuan untuk mempersingkat waktu ekstraksi dan memperoleh rendemen yang lebih tinggi. Optimasi proses ekstraksi dengan menggunakan metode ultrasonikasi telah beberapa kali diuji dengan dibandingkan dengan metode ekstraksi konvensional seperti maserasi dan soxlet (Rodriguz-Rojo et al. 2012; Kongkiatpaiboon e al. 2013; Jadhav et al. 2009). Proses ekstraksi menggunakan metode ultasonikasi menunjukkan hasil ekstraksi yang lebih tinggi dilihat dari rendemen dan aktivitas ekstrak yang diperoleh dibandingkan dengan proses ekstraksi dengan metode konvensional.

Proses ekstraksi dengan menggunakan metode ultrasonikasi lebih efektif bila dibandingkan dengan ekstraksi menggunakan metode konvensional disebabkan kemampuan proses ini untuk mengakibatkan destruksi sel yang lebih cepat. Gelombang suara yang dipancarkan pada proses sonikasi mampu mengakibatkan terbentuknya gelembung yang dapat mengakibatkan terjadinya efek kapitasi, dimana gelembung-gelembung ini akan mengisi ruang pelarut. Selama siklus komplesi, gelembung dan gas yang ditimbulkan juga akan mengalami kompresi sehingga mengakibatkan peningkatan suhu dan tekanan. Hal ini mengakibatkan pecahnya gelembung dan terjadi ‘kejut gelombang’ yang akan meningkatkan pencampuran antara pelarut dan bahan (Rodriguez-Rojo et al, 2012).

Aktivitas Antibakteri Ekstrak Etanol Getah Pepaya

Aktivitas antibakteri ekstrak etanol kasar getah pepaya ditentukan dengan terlebih dahulu melakukan skrining terhadap kemampuan ekstrak etanol kasar getah pepaya menghambat pertumbuhan S. aureus. Pengujian dilakukan dengan dengan mengukur luas daerah penghambatan terhadap pertumbuhan S. aureus pada media padat menggunakan metode difusi sumur berdasarkan Basrakan et al. (2012). Pengujian dilakukan dengan menggunakan beberapa tingkat konsentrasi

(10)

ektrak etanol kasar kemudian diukur diameter penghambatannya berdasarkan zona bening yang terbentuk setelah inkubasi selama 24 jam. Hasil yang diperoleh menunjukkan semakin tinggi konsentrasi ekstrak yang digunakan maka zona bening yang terbentuk juga semakin tinggi (Tabel 4). Luas zona penghambatan yang diperoleh dari berbagai konsentrasi ini kemudian digunakan untuk menentukan nilai konsentrasi hambat minimum (KHM) ektrak etanol kasar terhadap S. aureus, dimana pada penentuan KHM digunakan konsentrasi 16 mg/mL sebagai konsentrasi tertinggi sebab berdasarkan hasil pengujian zona hambat, pada konsentrasi ini ekstrak etanol kasar masih memiliki kemampuan menghambat pertumbuhan S. aureus dan merupakan konsentrasi terendah yang memberikan hasil yang berbeda nyata (Lampiran 3).

Tabel 4 Diameter penghambatan ekstrak etanol getah pepaya terhadap S. aureus

Konsentrasi Ekstrak (mg/mL) 4 8 16 32 100 Diameter Zona Hambat (mm) 0,57 ± 0,14 c 0,41 ± 0,13c 0,76 ± 0,04c 6,17 ± 0,71b 12,67 ± 0,94a Huruf di samping angka menunjukkan perbandingan rata-rata zona penghambatan S. aureus berdasarkan Uji Duncan (p<0.05).

Penentuan KHM dilakukan dengan menggunakan metode pengenceran makro atau macrodilution. Prinsip metode ini adalah bahan antibakteri dikontakkan dengan suspensi bakteri pada konsentrasi tertentu. Konsentrasi ekstrak tertinggi yang digunakan adalah 16 mg/mL lalu dibuat pengenceran dengan kelipatan dua (16, 8, 4, dan 2 mg/mL) untuk kemudian dikontakkan dengan S. aureus. Jumlah awal bakteri yang ditambahkan dihitung berdasarkan metode BAM (2003) dan kontak dilakukan selama 24 jam menggunakan inkubator bergoyang untuk memudahkan terjadinya kontak yang merata antara bakteri uji dengan komponen antibakteri. Perbedaan kemampuan penghambatan masing-masing kosentrasi ekstrak etanol yang digunakan dapat dilihat dari perbedaan kekeruhan suspensi sebelum dan setelah inkubasi selama 24 jam (Gambar 8). Jumlah S. aureus yang tumbuh setelah inkubasi selama 24 jam dihitung kemudian ditentukan KHM-nya, dimana KHM adalah konsentrasi antibakteri yang mampu menurunkan jumlah bakteri sebanyak 1 logaritma dari jumlah awal (Cosentino et al. 1999). Penghambatan ekstrak etanol getah pepaya pada tabel 4 menunjukkan konsentrasi yang mampu menurunkan jumlah S. aureus sebanyak 1 logaritma dari jumlah awal pada konsentrasi 8 mg/ml, dimana konsentrasi awal yang digunakan adalah 1×105 CFU/ml dan jumlah akhir S. aureus yang dipaparkan dengan ekstrak etanol getah pepaya pada konsentrasi 8 mg/ml adalah sebesar 4,45×104 CFU/ml (Gambar 7).

Komponen-komponen fitokimia yang terdapat pada ekstrak etanol getah pepaya berdasarkan Tabel 5 masing-masing diketahui memiliki peranan sebagai antibakteri. Alkaloid memiliki kemampuan menghambat beberapa bakteri seperti Escerichia coli, Stahpylococcus aureus, Klesbiella pneumonia, Bacillus subtilis, dan Pseudomonas aeruginosa (Maatalah et al. 2012). Komponen flavonoid yang diekstraksi dari tanaman juga diketahui memiliki aktivitas antibakteri terhadap beberapa bakteri seperti Bacillus cereus, Bacillus subtilis, Staphylococcus aureus, Pseudomonas aeruginosa, Klesbiella pneumonia, dan Escerichia coli (Hendra et

(11)

al. 2011). Saponin dilaporkan oleh Hassan et al. (2010) mampu menghambat Escerichia coli, Stahpylococcus aureus, Lactobacillus spp, dan Salmonella Typhimurium dan aktivitas antibakteri saponin ini dipengaruhi oleh gugus aglikon yang dimilikinya. Cowan (1999) melaporkan aktivitas komponen alkaloid sebagai senyawa antibakteri adalah dengan berinterkalasi dengan dinding sel dan atau dengan DNA, sedangkan terpenoid mampu mengakibatkan kerusakan membran sel. Komponen-komponen yang dikandung oleh ekstrak etanol getah pepaya inilah yang diduga berperan terhadap aktivitas antibakteri ekstrak etanol getah pepaya.

Gambar 7 Penghambatan ekstrak etanol getah pepaya terhadap S. aureus dengan metode pengenceran makro pada suhu 37 selama 24 jam

Tabel 5 Komponen fitokimia ekstrak etanol getah pepaya

Senyawa Ekstrak Etanol

Alkaloid +++ Flavonoid + Fenol hidroquinon - Steroid + Triterpenoid ++ Tanin - Saponin ++

Ket : (+) teridentifikasi; (-) tidak teridentifikasi

(a) (b)

Gambar 8 Penentuan MIC ekstrak etanol getah pepaya, (a) sebelum inkubasi, (b) setelah inkubasi 24 jam

(12)

Pengaruh Getah Pepaya Kering terhadap Membran S. aureus Efek pemaparan selama 2 jam terhadap jumlah sel S. aureus

Bedasarkan Gambar 9, getah pepaya kering dan ekstrak etanol mampu menurunkan jumlah S. aureus sebanyak 1 log setelah pemaparan selama 2 jam pada suhu 37 . Hal berbeda ditunjukkan oleh papain yang tidak menunjukkan efek reduksi terhadap S. aureus melainkan hanya mampu mempertahankan jumlah S. aureus selama kontak 2 jam.

Penurunan jumlah S. aureus setelah pemaparan selama 2 jam menunjukkan getah pepaya kering dan ekstrak etanol getah pepaya memiliki kemampuan untuk mereduksi S. aureus. Gambar 9 menunjukkan papain tidak mengakibatkan efek reduksi terhadap jumlah S. aureus, hasil yang sama diperoleh setelah pemaparan selama 24 jam pada media TSB berdasarkan hasil yang ditunjukkan pada Gambar 3. Hasil ini memperlihatkan setelah 2 jam kemampuan papain menghambat pertumbuhan S. aureus tidak menunjukkan perubahan hingga waktu inkubasi 24 jam.

Gambar 9 Jumlah S. aureus setelah pemaparan dengan antibakteri selama 2 jam pada suhu 37 pada media TSB

Kemampuan antibakteri menghambat pertumbuhan bakteri dapat berlangsung melalui beberapa mekanisme, di antaranya adalah gangguan pada membran, inaktivasi enzin, pengikatan ke protein sel dan interaksi dengan DNA sel (Cowan 1999). Salah satu mekanisme yang dianggap paling mungkin terjadi adalah terganggunya membran bakteri akibat aktivitas antibakteri seperti yang dilaporkan oleh Xing et al. (2009). Pemeriksaan efek antibakteri terhadap membran bakteri dapat dilakukan melalui bebapa metode seperti yang dilaporkan oleh O’Neil et al. (2004), di antaranya adalah dengan pemeriksaan kebocoran β-galaktosidase, kebocoran material yang mampu menyerap cahaya pada panjang gelombang 260 nm, pelepasan ATP, dan pemeriksaan dengan BacLight.

Pelepasan material sitoplasma

Absorbansi supernatan masing-masing perlakuan menunjukkan terdapat perubahan untuk tiap konsentrasi yang digunakan. Sebagai kontrol negatif dan

(13)

pembanding digunakan suspensi antibakteri dalam larutan garam fisiologis. Pengukuran absorbansi yang dilakukan untuk masing-masing perlakuan menunjukkan perubahan nilai absorbansi seiring perubahan konsentrasi antibakteri yang digunakan, dimana semakin tinggi konsentrasi nilai absorbansi yang diperoleh juga semakin tinggi (Gambar 10). Perubahan nilai absorbansi supernatan menandakan terjadi perubahan jumlah komponen yang mampu menyerap cahaya pada panjang gelombang 260 nm akibat aktivitas antibakteri. Material yang mampu menyerap cahaya pada panjang gelombang 260 nm ini berasal dari dalam sel bakteri yang mengalami kebocoran akibat aktivitas antibakteri, sehingga semakin tinggi konsentrasi antibakteri yang digunakan jumlah material dalam sel yang dikeluarkan juga akan semakin banyak (Liu et al. 2004).

Gambar 10 Absorbansi supernatan S. aureus pada panjang gelombang 260 nm setelah pemaparan dengan antibakteri selama 2 jam Konsentrasi yang dimaksud adalah jumlah yang digunakan pada pembuatan dangke untuk getah pepaya kering dan papain serta nilai KHM untuk ekstrak etanol getah pepaya

Kebocoran membran akibat aktivitas antibakteri dapat mengakibatkan beberapa efek bagi bakteri. Salah satunya adalah terlepasnya beberapa material yang terdapat di dalam sel seperti beberapa ion serta molekul-molekul yang berberat molekul rendah termasuk nukleotida dan komponen strukturnya (purin, pirimidin, pentosa, dan posfat inorganik), asam amino dan ion inorganik (Oonmetta-aree et al. 2006). Pelepasan material sitoplasma dari sel bakteri dapat diperiksa dengan mengukur absorbansi supernatan pada panjang gelombang 260 nm seperti yang dilakukan oleh Xing et al. (2009) dimana pada panjang gelombang tersebut, level purin dan pirimidin serta turunannya dapat diukur. Pengaruh atibakteri terhadap membran S. aureus ditentukan dengan terlebih dahulu memaparkan antibakteri dengan S. aureus pada beberapa konsentrasi, yaitu ½, 1, 2, dan 3 kali konsentrasi yang digunakan pada pembuatan dangke untuk getah pepaya kering dan papain serta ½, 1, dan 2 kali MIC untuk ekstrak etanol getah pepaya. Suspensi S. aureus yang berumur 18 sampai 24 jam terlebih dahulu disentrifugasi lalu diambil peletnya dan kemudian disuspensikan kembali pada larutan garam fisiologis. Suspensi S. aureus dengan konsentrasi 108 CFU/mL

(14)

kemudian dipaparkan dengan antibakteri pada berbagai konsentrasi dan diinkubasi selama 2 jam sesuai dengan waktu yang digunakan pada pembuatan dangke. Supernatan selanjutnya dipisahkan dengan sentrifugasi kemudian diukur absorbansinya pada panjang gelombang 260 nm.

Getah pepaya kering mampu mengakibatkan kebocoran pada membran sel bakteri akibat aktivitas senyawa-senyawa aktif yang dikandungnya, antara lain adalah enzim papain, yang merupakan salah satu enzim proteolitik (El Moussaoui et al. 2001). Protein yang menyusun membran sel bakteri inilah yang menjadi target kerja papain yang terdapat pada getah pepaya. Terganggunya struktur protein pada membran sel mengakibatkan gangguan permeabilitas membran sel seperti yang dilaporkan oleh Seenivasan et al. (2010) membran sel bakteri Gram positif dilapisi oleh dinding sel yang tersusun atas peptidoglikan yang mengandung GlcNAc, N-acetyl murmeric acid dan asam amino D- dan L- yang mampu berikatan dengan ion positif dari senyawa antibakteri. Ikatan yang terbentuk ini menyebabakan gangguan pada membran sel hingga terjadi kebocoran akibat perubahan tekanan osmotik

Deteksi kebocoran membran S. aureus pada penelitian ini dilakukan dengan mengukur densitas supernatan pada panjang gelombang 260 nm. Pengujian dengan mengukur OD 260 menurut merupakan metode yang paling efektif digunakan bila dibandingkan dengan metode yang lain sebab metode ini lebih cepat dan mudah dikerjakan serta memberikan hasil yang cukup akurat dibanding pengujian lainnya seperti pengukuran kebocoran potasium dan posfat (O’ Neill et al. 2004).

Pengamatan dengan mikroskop fluoresens

Hasil pengujian aktivitas antibakteri getah pepaya kering, papain, dan ekstrak etanol getah pepaya dengan menggunakan mikroskop fluoresens disajikan pada Gambar 11. Pada kondisi awal sel bakteri yang tidak dipaparkan bahan antibakteri dan diwarnai dengan DNA probe menunjukkan fluoresensi hijau (Gambar 11a). Pemaparan bahan antibakteri terhadap S. aureus mengakibatkan terganggunya membran sel yang diperlihatkan dengan perubahan warna fluoresensi menjadi merah (Gambar 11b). Gambar 11c memperlihatkan semakin tinggi konsentrasi antibakteri yang digunakan, jumlah sel yang berwarna merah yang terlihat semakin banyak. Fluoresensi hijau dan merah yang dihasilkan oleh S. aureus merupakan hasil dari interaksi antara pewarna yang digunakan dengan DNA bakteri. Pada penelitian ini digunakan dua jenis pewarna atau yang biasa disebut DNA probe yaitu SYBR Green dan propidium iodida.

SYBR Green merupakan pewarna yang banyak digunakan untuk mewarnai DNA bakteri maupun sel lainnya. Hasil pewarnaan dengan SYBR Green menghasilkan fluoresensi yang tidak terlalu terang seperti yang tampak pada Gambar 11a, hal ini dikarenakan fluoresensi yang dihasilkan dari pewarnaan DNA menggunakan SYBR Green dapat hilang dalam waktu yang cepat seperti yang dilaporkan oleh Suzuki et al. (1997). Penggunaan SYBR Green sebagai pewarna pada penelitian ini dikarenakan proses pewarnaan yang lebih sederhana dan tidak memerlukan perlakuan RNA-se sehingga dapat memberikan hasil dalam waktu yang lebih cepat (Marie et al. 1997).Pemanfaatan SYBR Green untuk deteksi dan enumerasi bakteri telah digunakan pada beberapa penelitian, seperti

(15)

yang dilakukan Broadaway et al. (2003) yang mendeteksi keberadaan bakteri dalam jumlah yang sedikit dengan cepat menggunakan laser-cytometry. Vítová et al. (2005) menggunakan SYBR Green untuk mewarnai DNA Chlorophyta, Rhodophyta, dan Cyanophyta.

(a) (b) (c)

Gambar 11 Pewarnaan S. aureus dengan SYBR Green dan PI sebelum dan sesudah pemaparan dengan getah pepaya kering, (a) sebelum pemaparan (b) pemaparan dengan 1 kali konsentrasi antibakteri, (c) pemaparan dengan 3 kali konsentrasi antibakteri dengan perbesaran 10×100. Warna hijau menunjukkan bakteri dengan membran sel utuh, warna merah menunjukkan sel dengan membran yang rusak. Konsentrasi yang dimaksud adalah jumlah yang digunakan pada pembuatan dangke.

Aktivitas antibakteri yang mampu mengakibatkan kebocoran membran sel bakteri dapat diperiksa dengan melakukan pewarnaan DNA bakteri yang menghasilkan fluoresensi pada eksitasi tertentu (Nocker et al. 2010). Pewarnaan dilakukan dengan menggunakan dua jenis pewarna yang memiliki mekanisme yang berbeda sehingga dapat dijadikan pembeda antara sel yang hidup dan mati, metode pewarnaan yang banyak dilakukan adalah dengan menggunakan kit BacLight seperti yang dilakukan oleh Berney et al. (2007). Prinsip yang dimanfaatkan pada pengujian ini adalah mekanisme yang digunakan oleh pewarna untuk masuk ke dalam sel. Pewarna pertama yang digunakan adalah SYBR Green yang mampu berdifusi ke dalam sel dan mewarnai DNA sehingga terbentuk fluoresensi hijau di bawah mikroskop (Bennett et al. 2004). Hasil yang diperoleh dari pewarnaan menggunakan PI setelah pemaparan S. aureus dengan antibakteri menghasilkan fluoresensi merah, hal ini mengindikasikan terjadinya kebocoran pada membran sel. Hal ini dikarenakan propidium iodida (PI) merupakan pewarna yang hanya mampu masuk ke dalam sel melalui membran yang mengalami kebocoran. PI tidak mampu berdifusi melalui membran yang utuh karena ukuran molekulnya yang besar (BM 668,4) sehingga PI hanya dapat masuk ke dalam sel bila terdapat bagian yang lubang pada membran sel (Santo et al. 2011).

Gambar

Tabel  2    Karakteristik  getah  pepaya  segar,  getah  pepaya  kering  dan  papain  dari  getah pepaya
Gambar 2  Proses  pengeringan  getah  pepaya  dimulai  dari  (a)  pengumpulan  getah  dari  pohon,  (b)  getah  yang  telah  dikumpulkan dan menggumpal, dan (c) getah kering
Gambar 3  Aktivitas antibakteri getah pepaya kering dan papain  terhadap S. aureus pada media pertumbuhan dengan  metode  kontak  pada  suhu  37    selama  24  jam
Gambar  5    Aktivitas  antibakteri  getah  pepaya  kering  dan  papain  terhadap S. aureus pada dangke selama penyimpanan  suhu  ruang
+3

Referensi

Dokumen terkait

IMOBILISASI CRUDE ENZIM PAPAIN YANG DIISOLASI DARI GETAH BUAH PEPAYA (Carica papaya L) DENGAN MENGGUNAKAN KAPPA.. KARAGENAN DAN KITOSAN SERTA PENGUJIAN AKTIVITAS

Untuk mencapai tujuan dilakukan penelitian di laboratorium dengan penahapan sebagai berikut : penyediaan getah buah pepaya, pengaktifan enzim protease, perlakuan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa perbedaan frekuensi pengambilan getah pada kedua kelompok sampel tidak mempengaruhi bobot protein dan aktivitas papain

Papain kasar yang dihasilkan dengan metode pengeringan matahari juga menghasilkan aktivitas proteolitik yang cukup tinggi dibandingkan dengan metode pengeringan kabinet yang

Manfaat yang diperoleh dari penelitian ini adalah enzim papain yang diisolasi dari getah pepaya muda dapat diimobilisasi dengan kappa karagenan dan dapat digunakan

Isolasi Enzim Papain Dari Getah Pepaya Muda (Carica papaya) Serta Aplikasinya Sebagai Penggumpal Dalam Pembuatan.. Keju Dari

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektifitas antelmintik getah pepaya (papain) terhadap infeksi cacing Toxocara cati pada kucing ( Felis catus ), dengan menganalisa

Daya antibakteri getah buah pepaya (Carica papaya) tidak lepas dari kandungan yang ada didalamnya yaitu papain, kimopapain, dan lisozim yang dapat melisiskan