• Tidak ada hasil yang ditemukan

Terimakasih kepada Allah SWT yang memberiku keluarga saleh/salehah:

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Terimakasih kepada Allah SWT yang memberiku keluarga saleh/salehah:"

Copied!
256
0
0

Teks penuh

(1)
(2)
(3)
(4)

iv

Terimakasih kepada Allah SWT yang memberiku

keluarga saleh/salehah:

Hj. Nella Nurdiana (istri) Endah Laelasari,S.Kom. (anak ke-1) dr. Eko H. Susanto, M.Kes, Sp.OG (menantu)

Nur Sofia (anak ke-2) Faiz Rahman, SSTP (menantu) Muh. Ikhsan Mushofa (anak ke-3)

serta cucu-cucu: Muh. Alif Auliya Muh. Aufa Auliya Muh. Faqih Rahman

(5)

iv

KATA PENGANTAR PENULIS

Assalaamu’alaikum W.W

Alhamdulillaahi robbil’alamiin. Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan rahmat, taufiq, dan hidayah sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan buku yang berjudul “Etika Pemerintahan Di Indonesia.”

Buku ini dibuat untuk menambah kepustakaan mengenai ‘etika pemerintahan’ yang jumlahnya di Indonesia saat ini masih sangat sedikit, sementara kebutuhannya meningkat, seiring dengan peningkatan jumlah mahasiswa yang belajar ilmu pemerintahan.

Melalui buku ini, penulis ingin menunjukkan arti penting etika, khususnya etika pemerintahan, sebagai salah satu pegangan dalam melakukan pekerjaan di bidang pemerintahan.

Selanjutnya, penulis mengangkat ‘sistem nilai dan norma etik dari kultur masyarakat Indonesia.’ Hal ini mungkin diperlukan oleh para akademisi dan praktisi terutama yang berkeinginan kuat untuk menjaga dan memelihara jatidiri bangsa. Penulis merasa terpanggil untuk memberikan warna ilmu pemerintahan yang berbasis nilai-nilai kebangsaan Indonesia dan nilai-nilai kearifan lokal yang sebenarnya sangat banyak dan relevan dengan kebutuhan masa kini dan yang akan datang.

Selain itu, penulis mengangkat ‘kompetensi etik,’ istilah yang relatif masih baru digunakan di lapangan ilmu pemerintahan dan karena itu masih sedikit orang yang mengetahui maknanya. Kompetensi etik merupakan kemampuan seseorang untuk

(6)

v berperilaku etis sebagai hasil perpaduan pengetahuan, sikap mental, dan keterampilan etiknya. Pemahaman akan hal ini rasanya diperlukan terutama bagi aparatur pemerintah yang merasa terpanggil untuk turut menjawab masalah-masalah yang dihadapi bangsa Indonesia sekarang. Pada saat ini kita sedang mengalami masalah berupa banyaknya kejadian yang menunjukkan pelanggaran etika. Kompetensi etik bagi aparatur pemerintah, insyaallah berguna untuk melengkapi kompetensi lainnya, seperti kompetensi manajerial dan kompetensi teknis.

Bahan-bahan penyusunan buku ini diperoleh dari beberapa sumber, antara lain dari karya-karya tulis yang bertemakan etika secara umum dan etika pemerintahan secara khusus, hasil-hasil penelitian tentang keetikan perilaku aparatur pemerintah, dan hasil observasi penulis sebagai praktisi selama masa aktif (34 tahun) sebagai PNS di lingkungan pemerintah daerah.

Dalam kesempatan ini, penulis menyampaikan terimakasih kepada berbagai pihak, terutama kepada:

1) Bapak Dr. Heronimus Rowa, Drs., M.Si. (Wakil Rektor III IPDN) yang telah menyemangati penerbitan buku ini;

2) Bapak Dr. Agus Subagyo, S.IP., M.Si., dekan FISIP-UNJANI yang telah berkenan menelaah dan memberikan kata pengantar; 3) Bapak Prof. Dr. H. Utang Suwaryo, Drs., MA, Ketua Prodi

MIP-FISIP UNJANI/Ketua APSIPI (Asosiasi Program Studi Ilmu Pemerintahan Indonesia) yang telah menyemangati penyusunan buku ini;

4) Bapak Dadan Kurnia, S.IP, M.Si. (Kajur IP/Sekprodi MIP-FISIP UNJANI); Lukman Munawar Fauzi, S.IP, M.Si. (Dosen FISIP

(7)

vi UNJANI); dan Angga Nurdin Rachmat,S.IP, MA (Dosen FISIP UNJANI); yang telah memfasilitasi penerbitan buku ini.

Penulis sangat menyadari kekurangan kualitas buku ini. Karena itu, dengan senang hati penulis menanti komentar atau koreksi pembaca guna penyempurnaannya. Walaupun keadaannya demikian, mudah-mudahan buku ini bermanfaat.

Wassalaamu’alaikum W.W.

Bandung, Januari 2016 Penulis

(8)

vii

KATA PENGANTAR

DEKAN FISIP UNJANI

Pada era reformasi dan globalisasi saat ini, perkembangan studi pemerintahan semakin maju dan banyak diminati oleh berbagai kalangan masyarakat di Indonesia, khususnya dengan adanya pemberlakuan kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah, sehingga menarik minat dari berbagai kalangan untuk mengetahui, mempelajari dan masuk menjadi mahasiswa di jurusan/program studi ilmu pemerintahan, baik pada strata 1, strata 2, maupun strata 3.

Sebagai konsekuensinya, banyak sekali berdiri program studi ilmu pemerintahan, baik program sarjana, magister, maupun doktor di lingkungan perguruan tinggi, sehingga menambah semarak cakrawala studi ilmu pemerintahan di Indonesia. Hal ini tentu sangat baik bagi perkembangan ilmu pemerintahan, mengingat studi ilmu pemerintahan merupakan studi yang sangat penting karena mempelajari tentang berbagai seluk beluk pemerintahan sebagai unsur utama dari negara.

Dalam perspektif umum ilmu politik dan pemerintahan, kita semua seringkali mendengar adagium: “tidak ada negara tanpa pemerintahan,” dimana negara bisa dikatakan sebagai sebuah negara yang berdaulat, mendapatkan pengakuan internasional, dan bisa berkinerja dengan baik, apabila di dalamnya terdapat, salah satunya, pemerintahan, yang aktor utamanya tentu adalah pemerintah. Pemerintah sebagai “lokomotif” utama pemerintahan yang menyelenggarakan fungsi-fungsi negara untuk melindungi,

(9)

viii

mengayomi, dan melayani warga negara/masyarakat tentunya harus memiliki kompetensi, kredibilitas, kapabilitas, dan akseptabilitas yang tinggi, sehingga kinerja pemerintah akan meningkat, kualitas pemerintahan akan menjadi baik, dan penyelenggaraan negara menjadi optimal.

Untuk menciptakan kualitas pemerintahan yang transparan, akuntabel dan profesional, maka diperlukan aparatur pemerintahan yang bersih, bermoral dan berwibawa. Aparat pemerintahan, yang umum dikenal dengan pegawai negeri sipil/Apartur Sipil Negara, yang ada di pusat maupun di daerah (propinsi, kabupaten/kota) harus memiliki kepribadian, moralitas, kebiasaan, watak dan karakter yang baik, jujur, konsisten, dan adil. Aparatur pemerintah yang demikian dapat terwujud salah satunya dengan menanamkan nilai-nilai etika pemerintahan ke dalam hati sanubari pada setiap aparat birokrasi pemerintahan, melalui pendidikan dan pelatihan, yang kemudian termanifestasikan dalam sikap, perilaku, dan perbuatan sehari-hari.

Etika pemerintahan yang dipahami, diamalkan dan diterapkan oleh setiap aparatur pemerintah dalam menjalankan tugas pokok dan fungsi pemerintahan, akan mampu menghindari berbagai praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) dalam penyelenggaraan pemerintahan. Pelayanan kepada masyarakat yang diberikan oleh aparatur pemerintah akan dapat berjalan dengan transparan dan akuntabel apabila dilandasi oleh etika pemerintahan yang diinternalisasi secara konsekuen dan konsisten.

Etika pemerintahan berkaitan dengan kebiasaan, watak, moral dan mental para penyelenggara pemerintahan yang tercermin dalam sikap, perilaku, dan tindakan sehari-hari, dalam

(10)

ix

melayani, mengayomi, dan melindungi masyarakat. Pelayanan masyarakat yang berstandar prima, berorientasi pada ‘customer

satisfaction,’ dan tanpa diskriminasi, tanpa pilih kasih, dan tanpa

pandang bulu, dapat terwujud apabila nilai-nilai etika dipahami, dihayati, dan diamalkan pada setiap aparat birokrasi pemerintahan, sehingga menjadi ‘code of conduct,’ yang terpatri dalam hati sanubari.

Kenyataan selama ini menunjukkan bahwa masih banyak aparat birokrasi pemerintahan yang belum optimal menerapkan etika pemerintahan dalam menjalankan tugas-tugas pemerintahan, sehingga justru menyimpang dari konsep dan manajemen pemerintahan modern dan melanggar prinsip good

governance. Sudah menjadi berita umum saat ini di berbagai media

cetak, media elektronik, dan media sosial yang memberitakan praktek KKN pegawai pemerintahan, pelayanan yang diskriminatif, aparat PNS yang tidak netral (dalam Pilkada, Pileg, dan Pilpres), kongkalingkong dengan rekanan, bermain politik, dan membudayakan “asal bapak senang” (ABS), yang berpotensi melanggar etika dan bahkan pidana, sehingga mencoreng citra aparat birokrasi pemerintahan.

Dalam konteks itulah, buku yang ditulis oleh Dr. Dadang Sufianto ini hadir di tengah pembaca, untuk memberikan pemahaman dan penyadaran tentang pentingnya nilai-nilai etika dalam penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia. Buku yang diberi judul “Etika Pemerintahan Di Indonesia” ini akan menambah cakrawala khazanah pustaka etika pemerintahan yang saat ini masih sangat minim dan terbatas. Buku ini sangat bagus dalam memberikan pengetahuan bahwa nilai-nilai etika pemerintahan

(11)

x

merupakan “senyawa” yang sangat penting bagi tatalaku, koridor, pedoman dan panduan bagi penyelenggaraan pemerintahan yang dijalankan oleh aparatur pemerintah di Indonesia.

Penulis buku ini juga menekankan pentingnya menggali potensi kearifan lokal, nilai-nilai budaya, adat istiadat, dan sistem nilai sosial budaya masyarakat yang sangat majemuk/plural untuk dijadikan sebagai salah satu sumber etika pemerintahan, sehingga menjadi ciri khas praktik pemerintahan di Indonesia yang berbasis pada etika lokal dan kearifan lokal, yang menjadi pembeda dengan praktik pemerintahan yang berasal dari Barat. Etika yang bersumber dari kearifan lokal harus diadopsi dalam praktik penyelenggaraan pemerintahan, khususnya semangat dan nilai-nilai gotong royong, tepa selira, dan nilai-nilai-nilai-nilai pemerintahan pada masa kerajaan yang baik untuk diterapkan pada era kekinian.

Melihat rekam jejak dan “jam terbang “ penulis buku ini, saya yakin bahwa buku ini layak untuk dibaca oleh semua akademisi dan praktisi pemerintahan di Indonesia, khususnya para peminat, penstudi dan mahasiswa ilmu pemerintahan. Hal ini dapat ditengok dari pengalaman penulis buku ini yang telah berpengalaman menjadi praktisi di lingkungan pemerintahan, menjadi PNS, alias menjadi aparatur pemerintah selama 34 tahun, sehingga sudah banyak sekali menguasai praktik-praktik pemerintahan.

Ditambah lagi dengan posisi penulis buku ini, yang saat ini, telah menjadi Dosen Tetap pada Program Studi Magister Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Jenderal Achmad Yani (MIP FISIP UNJANI) Cimahi sehingga lengkap sudah pengalaman sebagai praktisi dan akademisi melekat pada diri yang bersangkutan, sehingga kapasitas dan kredibilitasnya

(12)

xi

untuk menulis tentang etika pemerintahan sangat layak dan tidak perlu diragukan lagi.

Sebagai Dekan FISIP UNJANI, saya memberikan apresiasi yang sebesar-besarnya kepada Dr. Dadang Sufianto, yang telah memberikan darma bakti, loyalitas, profesionalitas, dan kinerja yang baik selama berada di FISIP UNJANI menjadi sebuah “keluarga” besar, yang selalu menumbuhkan nilai-nilai akademik, suasana akademik, dan kompetisi ilmiah, yang dibuktikan dengan hasil karya tulis ilmiah, berupa buku ini. Semoga dengan hadirnya buku ini dapat memberikan pencerahan kepada semua mahasiswa ilmu pemerintahan di UJANI pada khususnya dan di luar UNJANI pada umumnya. Terakhir, saya harapkan buku ini dapat memacu dan memotivasi dosen-dosen di lingkungan FISIP UNJANI untuk menulis karya ilmiah dalam bentuk buku, sehingga akan menambah citra, merk/brand, kualitas lembaga, dan meningkatkan akreditasi program studi di lingkungan FISIP UNJANI.

Cimahi, 14 Januari 2016 Dekan FISIP UNJANI,

(13)

xii

DAFTAR ISI

Hal.

KATA PENGANTAR PENULIS……….. iv

KATA PENGANTAR DEKAN FISIP UNJANI... vii

DAFTAR ISI... xii

DAFTAR GAMBAR ………... xv

DAFTAR TABEL ……… xvi

BAB I PENDAHULUAN... 1

1.1 Keetikan Perilaku Aparatur Pemerintah... 1

1.2 Hubungan Keetikan Perilaku Aparatur Pemerintah dengan Good Governance... 4

BAB II ETIKA SEBAGAI PEGANGAN PEMERINTAHAN……… 11

2.1 Konsep Pemerintahan... 11

2.2 Sistem Pemerintahan RI... 20

2.3 Pegangan Pemerintahan... 26 2.4 Konsep Etika... 34 2.4.1 Nilai Etik……….. 45 2.4.2 Norma Etik………. 57 BAB III ETIKA PEMERINTAHAN... 67

3.1 Konsep Etika Pemerintahan... 67

3.2 Sumber Etika Pemerintahan... 74

(14)

xiii

3.2.2 Norma dan Nilai dari Kebudayaan

Masyarakat……… 85

3.2.3 Pancasila………. 111

3.2.4 UUD 1945……….. 115

3.2.5 Etika Kehidupan Berbangsa……… 117

3.2.6 Undang-Undang dan Peraturan Pelaksanaannya……… 120

3.2.7 Peraturan Lain (Kementerian/ Kode Etik Profesi/Daerah/Unit Kerja)……… 129

3.2.8 Perintah/Petunjuk Atasan……….. 138

3.3 Aplikasi Etika Pemerintahan... 140

3.3.1 Kekuatan Aplikasi Etika Pemerintahan…… 141

3.3.2 Pola Aplikasi Etika Pemerintahan……… 146

3.4 Cotoh Kasus Aplikasi Etika Pemerintahan Dalam Pelayanan Publik……….. 155

BAB IV KOMPETENSI ETIK APARATUR PEMERINTAH... 162

4.1 Faktor-Faktor Keetikan Perilaku Aparatur Pemerintah... 162

4.2 Konsep Kompetensi Etik Aparatur Pemerintah... 178

4.2.1 Pengetahuan Etik……….. 186

4.2.2 Sikap Mental Etik……… 190

4.2.3 Keterampilan Etik……….. 195

4.3 Manfaat Kompetensi Etik Aparatur Pemerintah... 199

4.4 Pembinaan Kompetensi Etik Aparatur Pemerintah... 205

(15)

xiv

4.4.2 Penciptaan Iklim Etis……… 213 4.4.3 Keteladanan Para Tokoh Bangsa

/Pimpinan Instansi Pemerintah……… 222 BAB V

PENUTUP... 225 DAFTAR PUSTAKA... 228 IDENTITAS PENULIS... 238

(16)

xvi

DAFTAR TABEL

NOMOR JUDUL HALAMAN

1. Contoh Hubungan Nilai Instrumental dengan Nilai Terminal………..

(17)

1

BAB I

P E N D A H U L U A N

1.1 Keetikan Perilaku Aparatur Pemerintah

Salah satu fenomena pemerintahan yang selalu menjadi perhatian masyarakat adalah keetikan perilaku aparatur pemerintah. Dari waktu ke waktu, paling tidak sejak Socrates dan Plato membahas tentang keadilan dan kekuasaan berabad-abad yang lalu, perhatian pada fenomena ini tak pernah surut. Istilah

bureumania dari Vincent de Gournay (1712-1759) yang mengawali

kemunculan istilah birokrasi dan dikatakannya sebagai ‘penyakit dalam pemerintahan,’ merupakan salah satu tanda adanya perhatian juga terhadap hal ini.

Yang dimaksud dengan keetikan perilaku ialah derajat, kualitas, atau kadar baik-buruk secara moral perilaku seseorang. Istilah lain yang sepadan maksudnya dengan istilah ini adalah tingkat ketinggian ahlak atau tingkat keluhuran budi pekerti seseorang. Sedangkan yang dimaksud dengan aparatur pemerintah atau disebut juga aparatur negara adalah orang-orang yang diangkat untuk melakukan pekerjaan pemerintahan dalam arti luas (eksekutif, legislatif, yudikatif, dan sebagainya) di seluruh tingkatan pemerintahan. Mereka diangkat melalui pemilihan (dipilih oleh rakyat/wakilnya) seperti presiden, gubernur, bupati/walikota, dan anggota badan legislatif; atau melalui penunjukan (ditetapkan oleh pejabat yang berwenang) seperti para pegawai di lingkungan birokrasi pemerintahan. Mereka ditugasi untuk melakukan berbagai pekerjaan dalam menjalankan fungsi-fungsi pemerintah

(18)

2

menurut konstitusi negara berserta peraturan perundang-undangannya, terlepas dari status kepegawaiannya, apakah sebagai pegawai negeri atau bukan.

Keetikan perilaku berkaitan dengan kehormatan seseorang atau sekelompok orang sebagai manusia di manapun mereka berada. Bagi seseorang atau sekelompok orang yang mempunyai kesadaran etis, melakukan perbuatan etis merupakan cara terhormat dalam bergaul dengan sesamanya. Apalagi, bagi orang-orang yang bekerja di lapangan pemerintahan, keetikan perilakunya bukan hanya mengenai kehormatan dirinya, tetapi juga kehormatan lembaganya. Dalam kaitannya dengan hal ini, Dougle (dalam Widjaja, 1997:10) mengingatkan bahwa seluruh bidang pemerintahan harus diperlakukan sebagai bagian yang esensial dari hidup etis atau kesusilaan yang harus dijalani pada tingkat yang setinggi mungkin.

Bertolak dari kepentingan itu, pemerintah diharapkan terus berupaya membangun keetikan aparaturnya. Selama ini upaya-upaya tersebut telah dilakukan antara lain dengan cara mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang mengarahkan pembentukan iklim etis, mempersempit peluang penyelewengan-penyelewengan, perbaikan sistem pelayanan publik, dan penataan sistem kepegawaian negara. Kebijakan-kebijakan yang dimaksud dituangkan dalam berbagai peraturan perundang-undangan, seperti UU No. 28 tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih Dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi, Dan Nepotisme; Ketetapan MPR-RI No. VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa; UU No. 25 tahun 2009 tentang Pelayanan Publik; dan UU No.5 tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara, serta penetapan berbagai kode

(19)

3

etik profesi/organisasi dalam lingkungan pemerintahan berikut penataan manajemennya. Kebijakan-kebijakan tersebut terus disempurnakan baik rumusannya maupun implementasinya dengan memasukkan ide-ide baru yang disesuaikan dengan dinamika kehidupan masyarakat.

Walaupun telah ada upaya-upaya pemerintah tersebut, namun tak dapat dipungkiri, sampai saat ini masih banyak dijumpai masalah-masalah keetikan perilaku aparatur pemerintah. Penyakit di tubuh birokrasi pemerintahan sebagaimana dikemukakan Sondang P. Siagian (1994:35) sebagiannya masih ada, seperti penyalahgunaan wewenang, pengaburan masalah, pilih kasih, kecenderungan mempertahankan status quo, ketidak-pedulian terhadap kritik dan saran, menerima suap dan takut perubahan. Dari pengamatan sehari-haripun masih ditemui adanya masalah keetikan lain, seperti money politics dalam pemilukada/pemilu legislatif dan pelayanan publik bidang perizinan di instansi pemerintah tertentu yang masih berbelit-belit, pengenaan biaya yang tidak wajar, dan waktu penyelesaian yang tidak pasti. Sebagian masyarakat menilai bahwa upaya pemerintah dalam membina keetikan perilaku aparaturnya dirasakan masih kurang (Rismawan, dalam Rasyid, 2001:425).

1.2 Hubungan Keetikan Perilaku Aparatur Pemerintah dengan Good Governance

Sehari-hari, rakyat dan pemerintah saling menilai. Dari manapun arah penilaiannya, apakah dari arah pemerintah atau dari arah rakyat, maka yang diharapkan adalah nilai yang positif (baik, benar, bagus, penting, berarti, berguna, bermanfaat). Memang

(20)

4

wajar jika rakyat mengharapkan agar pemerintah bernilai positif dan pemerintahpun mengharapkan nilai yang sama terhadap rakyatnya. Sangat wajar apabila pemerintah terus menerus berupaya agar bernilai dalam menjalankan fungsinya untuk memajukan berbagai sendi kehidupan rakyat, seperti politik, ekonomi, sosial, budaya, hankam, dan agama, karena itulah tugasnya. Sangat wajar pula apabila rakyatpun dapat berperilaku yang bernilai terutama dalam mengurus hak-haknya dan memenuhi kewajibannya sebagai warga negara. Jika hal itu terwujud, barangkali itulah keadaan ideal yang mengindikasikan hubungan yang serasi antara pemerintah dengan rakyatnya. Walaupun sulit, keadaan itu dapat terwujud jika kedua belah pihak bersama-sama mengusahakannya dengan sungguh-sungguh. Paling tidak ada salah satu pihak yang menjadi penggeraknya, dalam hal ini tentu menunjuk pada pihak pemerintah, karena dalam hubungan pemerintahan di negara demokratis seperti Indonesia, pemerintah merupakan pihak yang mengemban amanat untuk membangun rakyatnya.

Dari pandangan etika sebagai ilmu, pembinaan etika oleh pemerintah bagi aparaturnya bukanlah imperatif hipotesis (kewajiban bersyarat) melainkan imperatif kategoris (kewajiban tidak bersyarat), karena pada diri pemerintah ada kewajiban untuk menunjukkan kinerja pemerintahan dalam menyejahterakan rakyatnya melalui aparaturnya. Secara etis, pemerintah dituntut untuk menunjukkan kinerja sampai tingkatan yang dapat diterima oleh rakyatnya. Kinerja yang diharapkan bukan hanya mengenai kesejahteraan masyarakat secara fisik saja tetapi juga nonfisik.

(21)

5

Hubungan keetikan antara negara yang diwakili pemerintah dan manusia (warga negara) terutama nampak melalui perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia dan upaya-upaya pemenuhan kebutuhan dasar manusia (Ndraha, 2005:216). Hal ini sejalan dengan maksud dibentuknya organisasi bagi dan oleh manusia sebagaimana dikemukakan Davis dan Newstrom (1985:5), “organization exist to serve people, rather than people existing to

serve organization.” Terjemahan bebasnya, organisasi ada untuk

melayani manusia ketimbang keberadaan manusia untuk melayani organisasi. Berdasarkan pemikiran ini, organisasi apapun termasuk negara ada atau diadakan oleh manusia adalah untuk lebih melayani manusia dalam mewujudkan keinginan-keinginannya, ketimbang keberadaan manusia melayani organisasi (negara)-nya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa secara etis semua kekuasaan negara yang dijalankan oleh pemerintah pada dasarnya adalah untuk melayani manusia yang menjadi penduduknya. Maksudnya, kinerja pemerintah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakatnya harus diupayakan sebaik mungkin dalam tujuannya, prosesnya, dan hasilnya.

Kinerja pemerintah berhubungan kuat dengan citranya. Apabila kesejahteraan rakyat terus meningkat dalam segala aspeknya terutama keamanan, ekonomi, pendidikan, dan kesehatan; maka citra pemerintahpun dapat positif dengan sendirinya. Sebaliknya, jika kesejahteraan rakyatnya memburuk, maka citra pemerintahpun negatif.

Pada gilirannya, citra pemerintah dapat berimplikasi pada legitimasinya. Jika dalam percakapan sehari-hari pemerintah menghadapi masalah krisis kepercayaan, maka itu berarti

(22)

6

pemerintah sedang mengalami krisis legitimasi. Dari pandangan etika, krisis legitimasi lebih disebabkan oleh rendahnya tingkat

kompetensi etik aparatur pemerintah pada umumnya dalam

membuat dan mengimplementasikan kebijakan publik terutama yang menyangkut fungsi pengaturan, pembangunan, dan pelayanan publik. Karena itu, pembinaan kompetensi etik aparatur pemerintah merupakan salah satu cara yang dinilai penting untuk menghadirkan legitimasi pemerintahan secara wajar.

Legitimasi berasal dari bahasa Latin lex yang berarti hukum dan padanannya adalah kewenangan atau keabsahan (Kumorotomo, 1992:49). Legitimasi merupakan pengakuan dan penerimaan masyarakat kepada pemimpin untuk memerintah, membuat dan melaksanakan keputusan politik (Fatoni, 2006:2). Legitimasi diperlukan agar kekuasaan mantap pada wewenang yang dimilikinya (Suseno, 2003:38).

Dari pandangan etika, legitimasi yang dimaksud adalah legitimasi etis pemerintahan. Ciri-ciri pemerintahan yang memiliki legitimasi etis menurut Max Weber (dalam Saefullah, 2006:166), yaitu:

1. Penyesuaian persoalan-persoalan kekuasaan secara etis, dalam arti kata, berdasarkan nilai-nilai moral dalam masyarakat.

2. Perilaku kekuasaan didasarkan pada landasan etika yang dihubungkan dengan ajaran atau ideologi.

3. Setiap perbuatan dilakukan untuk umum dan tidak karena kepentingan tertentu (vested interest).

Dari pandangan filsafat pemerintahan, legitimasi berkaitan erat dengan hakikat pemerintahan. Menurut Taliziduhu Ndraha

(23)

7

(2003:416), hakikat pemerintahan adalah ‘menyatunya’ pihak yang memerintah dengan pihak yang diperintah, yaitu dalam bentuk adanya mutual trust (saling mempercayai) antara keduanya. Kepercayaan dari pihak yang diperintah (sebagai output) akan ada jika terjadi proses penepatan janji (pemerintahan) oleh pihak yang memerintah. Janji atau komitmen yang memerintah (sebagai input) adalah janji/komitmen kepada Tuhan, kepada diri sendiri, dan kepada masyarakat, yang dinyatakan tatkala yang bersangkutan berdasarkan kehendak bebasnya mengangkat sumpah dan membubuhkan tanda tangan pada naskah kontrak. Selanjutnya dijelaskan bahwa pemenuhan janji merupakan penggunaan wewenang yang bertanggungjawab, dan pemenuhan kewajiban yang memerintah atas hak yang diperintah. Karena itu, pemerintahan yang legitimate adalah pemerintahan yang ternyata mampu membuktikan janjinya melalui pertanggungjawaban yang dapat diterima oleh yang diperintah pada tingkat tertentu.

Legitimasi bisa kuat jika aparatur pemerintah dapat menunjukkan praktik-praktik pemerintahan yang baik atau good

governance (disingkat: gg).Beberapa prinsip gg seperti supremasi hukum, transparansi, partisipasi, dan akuntabilitas, pada dasarnya mengandung nilai-nilai etik yang perlu dijunjung tinggi oleh semua pihak.

Dari pandangan etika, prinsip ‘supremasi hukum’ mengandung nilai etik setidak-tidaknya berupa ‘ketaatan terhadap kesepakatan,’ karena hukum itu sendiri merupakan salah satu bentuk kesepakatan dalam konteks kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Nilai ketaatan terhadap hukum perlu dimiliki semua pihak, karena dengan itu perilaku masing-masing

(24)

8

akan terdorong pada penciptaan suasana kehidupan bersama yang aman, adil, tertib dan teratur. Ketaatan terhadap kesepakatan merupakan salah satu bentuk perilaku yang bernilai amanah (dapat dipercaya) untuk membangun dan memelihara keharmonisan hidup di antara pihak-pihak yang telah bersepakat. Jika didekati dari agama (Islam), ketaatan terhadap hukum merupakan salah satu kriteria amal saleh. Sesuatu perbuatan dikatakan amal saleh apabila didasari niat yang tulus (untuk beribadah), dilaksanakan dengan baik dan bertanggungjawab yang sesuai dengan aturan, dan diarahkan untuk menggapai rida Allah SWT.

Prinsip ‘transparansi’ mengandung nilai etik setidak-tidaknya berupa ‘keterus-terangan’ sebagai bagian dari perilaku yang jujur. Keterus-terangan akan terjadi jika suatu aktivitas telah didasari niat yang tulus dan dilakukan sesuai dengan aturan. Dengan demikian, nilai etik yang terkandung dalam prinsip ini jika dipegang dan digunakan akan dapat mengarahkan perbuatan yang baik.

Prinsip ‘akuntabilitas’ mengandung nilai etik berupa ‘tanggungjawab, kerja keras, ikhlas dan siap berkorban demi kemaslahatan umum.’ Ekspresinya berupa perbuatan yang tidak asal-asalan (sebaik mungkin), menggunakan segenap kemampuan (tidak sekedar memenuhi kewajiban), dan siap menerima akibatnya dengan ikhlas walaupun terkadang pahit. Perilaku yang demikian itu dapat dikatakan sebagai perbuatan baik (ihsan) karena mendorong untuk mencapai efektivitas yang tinggi dalam mewujudkan tujuan bersama.

Prinsip ‘partisipasi’ mengandung nilai etik setidak-tidaknya berupa ‘kebersamaan dan tolong menolong.’ Nilai ini jika dipegang akan menghasilkan kesediaan untuk memberi kontribusi yang

(25)

9

proporsional dan didasari tanggungjawab dalam membangun kesejahteraan bersama.

Praktik berpemerintahan yang baik menurut prinsip-prinsip

gg, sebenarnya dapat dikatakan baru merupakan aktualisasi dari

sebagian nilai-nilai etik. Pemerintahan yang baik dari sudut pandang etika (ethical governance) lebih luas daripada itu, yaitu pemerintahan yang diselenggarakan dengan cara-cara yang menjunjung tinggi semua atau sebagian besar nilai-nilai etik dalam membuat kebijakan dan implementasinya. Pemerintah yang baik adalah pemerintah yang menunjukkan komitmen dan kemampuannya dalam mengaplikasikan norma-norma etik sebanyak, sesering, sekuat, dan sebagus mungkin.

Nilai-nilai etik dan norma-norma etik yang demikian banyaknya, terdapat di dalam berbagai sumber. Semakin banyak nilai etik yang dapat diaktualisasikan atau norma etik yang diaplikasikan dalam pemerintahan, semakin tinggi nilai gg-nya. Karena itu, upaya untuk membangun keetikan aparatur pemerintah yang dilakukan melalui pembinaan kompetensi etiknya merupakan upaya strategis dalam mewujudkan gg yang bernilai tinggi.

Jika dalam konsep gg dikenal adanya 3 (tiga) pilar penentu yaitu pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat; maka ketiga pilar tersebut perlu sama-sama konsisten dalam mengaplikasikan etika. Jika hanya salah satu pihak saja yang konsisten sementara yang lainnya lemah atau tidak sama sekali, dapat diduga praktik-praktik berpemerintahan yang baik menurut konsep gg tersebut sulit terwujud. Tidak sedikit peristiwa yang menunjukkan betapa banyaknya godaan dari sebagian oknum dunia usaha dan

(26)

10

masyarakat yang mengakibatkan beberapa aparatur pemerintah yang lemah akhirnya tersangkut masalah hukum.

Semangat kebersamaan ketiga pihak untuk berperilaku etis inilah yang sampai saat ini rasanya masih kurang. Inisiatif dan upaya-upaya untuk menghadapi masalah ini sangat diharapkan berada pada ketiga pihak itu. Karena itu, pembudayaan etika di kalangan aparatur pemerintah harus dibarengi dengan pembudayaan etika di kalangan dunia usaha dan masyarakat. Inilah pekerjaan seluruh komponen bangsa yang perlu terus menerus dilakukan dengan sungguh-sungguh.

(27)

---11

BAB II

E T I K A

SEBAGAI PEGANGAN PEMERINTAHAN

2.1 Konsep Pemerintahan

Kata ‘pemerintahan’ berasal dari kata perintah, pemerintah, dan kemudian pemerintahan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1996:756), perintah berarti 1) perkataan yang bermaksud menyuruh melakukan sesuatu, 2) aba-aba, komando, dan 3) aturan dari pihak atas yang harus dilakukan. Pemerintah berarti 1) sistem menjalankan wewenang dan kekuasaan mengatur kehidupan sosial, ekonomi dan politik, 2) sekelompok orang yang secara bersama-sama memikul tanggung-jawab terbatas untuk menggunakan kekuasaan, 3) penguasa suatu negara, 4) badan tertinggi yang memerintah suatu negara, 5) negara atau negeri, dan 6) pengurus, pengelola. Sedangkan pemerintahan berarti 1) proses, perbuatan, cara memerintah; dan 2) segala urusan yang dilakukan oleh negara dalam menyelenggarakan kesejahteraan masyarakat dan kepentingan negara. Berdasarkan kamus tersebut, kata pemerintah ditujukan pada orang atau badannya, sedangkan kata pemerintahan ditujukan pada aktivitas orang atau badan tersebut.

Dalam bahasa Inggris, kata yang digunakan untuk menunjukkan pemerintah dan pemerintahan adalah government. Menurut Cambridge International Dictionary of English (1996:614),

government is 1) the group of people who control a country, 2) all departments which operate the decisions made by the group of people who control the country, 3) the system of controlling a

(28)

12 country, city, group of people etc, 4) the activities involved in controlling a country, city, group of people etc. Terjemahan

bebasnya, government adalah 1) sekelompok orang yang mengendalikan sebuah negara; 2) seluruh departemen yang menjalankan keputusan yang dibuat sekelompok orang yang mengendalikan negara; 3) suatu sistem pengendalian negara, kota atau kelompok orang; dan 4) berbagai aktivitas dalam mengendalikan negara, kota, dan kelompok orang.

Secara etimologis, kata government berasal dari kata govern. Menurut Taliziduhu Ndraha (2001:76), kata govern (memerintah) berasal dari kata gubernare (bahasa Latin) atau kybernan (bahasa Gerik), yang berarti mengemudikan (kapal). Itulah sebabnya, semula lambang pemerintahan itu adalah ‘kemudi kapal.’ Hampir sama dengan itu, Muh. Yamin (dalam Kansil, 1986:346) berpendapat bahwa istilah ini berasal dari bahasa Latin

gubernaculums yang berarti kemudi. Istilah lain yang digunakan

sama dengan pengertian pemerintahan adalah administration (Ndraha, 1997:ixiii) atau administrasi negara (Sugandha, 1992:13) atau public administration (Uveges, 1982: v).

Secara terminologis, Leo Fonseka (1999:1) membedakan kata

government dengan governance. Ia berpendapat bahwa istilah government menunjukkan suatu unit politik yang menjalankan

fungsi pembuatan kebijakan, bukan fungsi administrasi (pelaksanaan) kebijakan. Kata governance menunjukkan tanggung-jawab menyeluruh terhadap keduanya yaitu fungsi politik dan fungsi administratif. Karena itu, istilah government dan governance walaupun mempunyai arti yang sama yakni pemerintahan, namun

(29)

13

berbeda dalam cakupannya. Governance lebih luas cakupannya dari pada government.

Government menurut Alfred Kuhn (1976: 332) adalah the formal and sovereign organization of a whole society. Artinya,

pemerintah adalah organisasi masyarakat keseluruhan yang resmi dan berdaulat. Definisi ini menegaskan bahwa kata government tidak menunjuk pada fungsi, tapi menunjuk pada organ, yakni organisasi yang menyelenggarakan kedaulatan (kekuasaan) negara. Sama dengan pendapat ini, Kansil (1981:21) mengemukakan bahwa pemerintah merupakan organ (alat) negara, sedangkan pemerintahan adalah fungsi yang dilakukan pemerintah.

Lebih rinci dari pendapat tersebut, Taliziduhu Ndraha (2001:83) menjelaskan arti pemerintah dari yang terluas sampai yang tersempit sebagai berikut:

1) Pemerintah dalam arti terluas adalah semua lembaga negara yang diatur dalam konstitusi (UUD) suatu negara.

2) Pemerintah dalam arti luas adalah semua lembaga negara yang oleh konstitusi suatu negara ditetapkan sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan (legislatif dan eksekutif).

3) Pemerintah dalam arti sempit adalah lembaga negara yang memegang kekuasaan negara dalam bidang eksekutif saja. 4) Pemerintah dalam arti tersempit adalah lembaga negara yang

menjalankan fungsi birokrasi. Birokrasi adalah aparatur pemerintah yang diangkat atau ditunjuk dan bukan yang dipilih atau terpilih melalui pemilihan oleh lembaga perwakilan. 5) Pemerintah dalam arti pelayan (civil servant) adalah pihak yang

(30)

14

6) Pemerintah dalam konsep pemerintah pusat, yaitu pengguna kekuasaan negara pada tingkat pusat (tertinggi). Pada umumnya dihadapkan pada konsep pemerintah daerah. 7) Pemerintah dalam konsep pemerintah daerah, yaitu

pemerintah yang dianggap mewakili masyarakat, karena daerah adalah masyarakat hukum.

8) Pemerintah dalam konsep pemerintah wilayah. Pemerintah dalam arti ini dikenal di negara yang menggunakan asas desentralisasi dan dekonsentrasi. Kekuasaan dan urusan pusat di daerah dikelola oleh Pemerintah Wilayah (aparat dekonsentrasi).

9) Pemerintah dalam konsep pemerintah dalam negeri, yaitu pamongpraja (Belanda : binnenlandsbestuur,BB).

10) Pemerintah dalam konteks ilmu pemerintahan, yaitu semua lembaga yang dianggap mampu (normatif) atau secara empirik memroses jasa publik dan layanan civil.

Keberadaan pemerintah di semua negara tidak terlepas dari tujuan pembentukannya. Menurut Ryaas Rasyid (1998:3), secara umum ada 2 tujuan pembentukan pemerintah suatu negara, yaitu: 1) Menegakkan keteraturan. Pemerintah dibentuk agar tercipta rasa aman di kalangan masyarakat suatu negara. Sebelum negara terbentuk, keadaan masyarakat sungguh kacau atau tidak teratur. Masing-masing membuat aturannya sendiri-sendiri sehingga timbul ketidak-amanan, misalnya perampokan dan pemerkosaan. Agar aman maka perlu ada pihak yang mengatur, dan yang mengaturnya itu adalah pemerintah.

(31)

15

2) Menciptakan suasana yang adil. Pemerintah dibentuk dengan harapan bahwa anggota masyarakatnya dapat difasilitasi untuk memperoleh peluang yang sama (adil) dalam berbagai segi kehidupan, misalnya dalam bidang politik, hukum dan ekonomi.

Dengan maksud pembentukannya itu, negara dengan pemerintahannya memiliki ‘kekuasaan.’ Menurut Hegel (dalam Budiman, 1996:15), dulu hanya ada satu orang yang berkuasa, yakni dalam pemerintahan monarki. Kemudian, ada beberapa

orang yang berkuasa, yakni dalam pemerintahan oligarki. Sekarang

dan di kemudian hari, muncul semua orang yang berkuasa, yakni dalam pemerintahan demokrasi. Yang dimaksud dengan semua orang di sini adalah seluruh rakyat suatu negara, karena pemerintahan di negara demokrasi sebagaimana telah diketahui bersama adalah pemerintahan dari, oleh, dan untuk rakyat.

Apa sajakah kekuasaan negara tersebut? Tentang hal ini, terdapat beberapa faham di antaranya faham ‘dwipraja, tripraja, caturpraja, dan pancapraja.’

Menurut faham dwipraja dari John Locke, kekuasaan dalam menjalankan pemerintahan negara dipisahkan menjadi 2 jenis, yaitu:

1) kekuasaan legislatif (membuat undang-undang dan hukum); dan

2) kekuasaan eksekutif dan yudikatif (melaksanakan undang-undang dan hukum).

Menurut faham tripraja dari Montesquieu (1689-1755) yang dikenal dengan ‘trias politica,’ kekuasaan dalam menjalankan pemerintahan negara dipisahkan menjadi 3 jenis, yaitu:

(32)

16

1) kekuasaan legislatif (membuat undang-undang) yang dipegang oleh lembaga perwakilan rakyat;

2) kekuasaan yudikatf (peradilan) yang dipegang oleh lembaga peradilan; dan

3) kekuasaan eksekutif (melaksanakan undang-undang) yang dipegang oleh lembaga yang menjalankan tugas-tugas negara sehari-hari.

Menurut faham caturpraja dari Van Volenhoven (dalam Ateng Syafrudin, 1976:5), kekuasaan negara dapat dibagi menjadi 4 jenis, yaitu:

1) bestuur atau pemerintahan, yakni kekuasaan untuk melaksanakan tujuan negara;

2) politie, yakni kekuasaan kepolisian untuk menjamin keamanan dan ketertiban umum dalam negara;

3) rechtsspraak atau peradilan, yakni kekuasaan untuk menjamin keadilan di dalam negara; dan

4) regeling, atau pengaturan perundang-undangan, yakni kekuasaan untuk membuat peraturan-peraturan umum dalam negara.

Menurut faham pancapraja dari Pamudji (1932-1993), sebelum UUD 1945 diamandemen tahun 1999-2002, kekuasaan negara di Indonesia bukan dipisahkan tetapi didistribusikan kepada 5 (lima) lembaga, yaitu:

1) kekuasaan eksekutif, yang dilaksanakan oleh Presiden dan para pembantunya;

2) kekuasaan legislatif, yang dilaksanakan Dewan Perwakilan Rakyat;

(33)

17

3) kekuasaan yudikatif, yang dilaksanakan oleh Mahkamah Agung;

4) kekuasaan inspektif, yang dilaksanakan Badan Pemeriksa Keuangan; dan

5) kekuasan konsultatif, yang dilaksanakan oleh Dewan Pertimbangan Agung.

Dengan merujuk pada pendapat-pendapat di atas, maka kata pemerintah mempunyai 2 arti, yaitu:

1) Pemerintah dalam arti luas adalah lembaga-lembaga negara yang menyelenggarakan semua jenis kekuasaan negara. 2) Pemerintah dalam arti sempit adalah lembaga negara yang

menyelenggarakan kekuasaan eksekutif.

Bertolak dari pengertian pemerintah tersebut, maka pemerintahanpun mempunyai 2 arti, yaitu:

1) Pemerintahan dalam arti luas adalah proses penyelenggaraan

kekuasaan negara yang dilakukan oleh semua lembaga negara.

2) Pemerintahan dalam arti sempit adalah proses penyelenggaran kekuasaan negara yang dilakukan oleh

lembaga eksekutif.

Baik dalam arti luas maupun dalam arti sempit, pemerintah mempunyai fungsi. Menurut Mc. Iver (1992:92), fungsi pemerintah itu ada 3, yaitu:

1) fungsi kultural, yakni mempromosikan, melengkapi, memberi nilai, menjamin dan menjaga kehidupan kultural yang ada dalam masyarakatnya;

2) fungsi kesejahteraan umum, yakni upaya-upaya yang ditujukan langsung pada perbaikan kondisi masyarakat, seperti lapangan

(34)

18

kerja, kesehatan, keamanan, perumahan, dan jaminan sosial; dan

3) fungsi kontrol ekonomi, yakni memajukan dan menstabilkan keadaan ekonomi masyarakatnya.

Berbeda dengan pendapat itu, Tjahya Supriatna (1998:8) mengemukakan adanya 4 fungsi pemerintah, yaitu:

1) political state (klasik), untuk memelihara, ketertiban dan ketenteraman, pertahanan dan keamanan, diplomatik, serta perpajakan;

2) welfare state, untuk menjalankan keadilan, kedaulatan, kemakmuran dan keadilan sosial;

3) law state, untuk menjalankan pengaturan, perlindungan dan peradilan terhadap warga; dan

4) administrative state, berdimensi pada pelayanan, pengelolaan, pengendalian, pemberdayaan, kesempatan dan kemitraan. Berbeda dengan pendapat tadi, Ryaas Rasyid (2000:59) mengemukakan bahwa pemerintah itu mempunyai 3 (tiga) fungsi yang hakiki, yaitu:

1) fungsi pelayanan (service) yang akan memudahkan masyarakat dalam mengurus kepentingannya;

2) fungsi pemberdayaan (empowering) yang akan mendorong masyarakat agar memiliki kemandirian; dan

3) fungsi pembangunan (development) yang akan menciptakan masyarakat agar memiliki kemakmuran.

Mirip dengan kedua pendapat tersebut, Taliziduhu Ndraha (2001:85) mengemukakan bahwa fungsi pemerintah ada 2, yaitu: 1) fungsi primer, yakni fungsi pelayanan masyarakat; dan

(35)

19

2) fungsi sekunder, yakni fungsi pembangunan, pemberdayaan dan pendidikan.

Dari berbagai pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa pemerintah mempunyai 3 (tiga) fungsi, yaitu:

1) fungsi pengaturan, yakni mengatur kehidupan masyarakat agar tertib dan teratur. Fungsi ini secara konkret dapat ditunjukkan antara lain dengan adanya wewenang pemberian izin (izin keramaian, izin bangunan), wewenang memeriksa, dan wewenang mengadili;

2) fungsi pelayanan, yakni melayani berbagai kepentingan umum masyarakat, agar masyarakat mudah mengurus kepentingan hidupnya. Fungsi ini secara konkret dapat

ditunjukkan antara lain dengan adanya

kewajiban/wewenang menjalankan pelayanan di bidang pendidikan, kesehatan, keamanan dan bidang-bidang kesejahteraan masyarakat lainnya; dan

3) fungsi pembangunan, yaitu membangun kehidupan masyarakat di berbagai bidang, agar masyarakat berdaya dan makmur. Fungsi ini secara konkret dapat ditunjukkan antara lain dengan adanya aktivitas membangun prasarana/sarana perekonomian, kebudayaan, pemerintahan, dan lain-lain.

(36)

20

2.2 Sistem Pemerintahan Republik Indonesia

Sistem pemerintahan negara di dunia dapat berbeda-beda satu dengan yang lainnya. Perbedaannya itu tergantung pada latar belakang sejarah pembentukan negaranya, tata nilai dan norma yang dianut bangsanya, dan faktor-faktor eksternal (situasi internasional). Secara otentik, sistem pemerintahannya itu dinyatakan dalam konstitusi masing-masing.

Konstitusi yang digunakan di Indonesia saat ini adalah Undang-Undang Dasar 1945 (setelah diamandemen tahun 1999, 2000, 2001, dan 2002). Dengan konstitusi ini, pemerintah diamanatkan untuk menyelenggarakan pemerintahan yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.

Dengan UUD 1945, bangsa Indonesia menganut bentuk negara ‘kesatuan,’ sedangkan bentuk pemerintahannya adalah ‘republik.’ Karena itu, negara Indonesia disebut Negara Kesatuan

Republik Indonesia (NKRI).

Dengan bentuk negara kesatuan (seperti Perancis, Belanda, dan Brunei), pemerintah Indonesia yang berdaulat ke luar dan ke dalam hanya satu yakni pemerintah pusat yang berkedudukan di ibukota negara, Jakarta. Berbeda halnya dengan di negara serikat (seperti Amerika Serikat, Jerman, Malaysia, dan bahkan Indonesia pada waktu menggunakan konstitusi RIS), pemerintah yang berdaulat ada dua, yaitu pemerintah federal yang berdaulat ke luar (lingkungan internasional), dan pemerintah negara bagian yang berdaulat ke dalam. Dengan bentuk pemerintahan republik, kepala

(37)

21

negara Indonesia ditentukan oleh rakyat melalui pemilihan secara demokratis, bukan seperti pada pemerintahan yang berbentuk monarki yang kepala negaranya turun temurun.

Dalam sistem pemerintahan RI, kekuasaan negara diselenggarakan (dipegang, digunakan, dan dipertanggung-jawabkan) oleh beberapa lembaga negara yaitu Presiden, Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Badan Pemeriksa Keuangan, Mahkamah Agung, dan Mahkamah Konstitusi. Prinsip yang digunakan, bukan pemisahan kekuasaan seperti trias politica, melainkan ‘pemilahan.’ Contoh, Presiden RI adalah Kepala Pemerintahan merangkap Kepala Negara. Sebagai Kepala Pemerintahan, ia berwenang menyelenggarakan kekuasaan eksekutif, tetapi sebagai Kepala Negara, ia berwenang dalam bidang yudikatif antara lain memberi grasi, amnesti, dan abolisi.

Presiden dibantu oleh Wakil Presiden. Keduanya dicalonkan oleh partai politik dan dipilih oleh rakyat secara langsung. Selain oleh Wakil Presiden, Presiden dibantu oleh Kabinet (para Menteri) dan jajaran eksekutif lainnya (misalnya Panglima TNI, Gubernur BI, Dewan Penasehat Presiden, dan sebagainya).

Jika dikaitkan dengan pengertian pemerintah dalam arti luas dan dalam arti sempit, pemerintah dalam arti luas dalam sistem pemerintahan RI adalah Presiden/Wakil Presiden dan jajarannya, MPR, BPK, MA, DPR, DPD, dan MK. Sedangkan yang dimaksud dengan pemerintah dalam arti sempit adalah Presiden/Wakil Presiden yang dibantu para menteri negara dan jajaran eksekutif lainnya.

(38)

22

Sistem pemerintahan yang dianut adalah presidensial. Semua menteri negara dan jajaran eksekutif lainnya ditunjuk oleh dan bertanggungjawab kepada Presiden (bukan bertanggungjawab kepada DPR). Presiden tidak dapat dijatuhkan oleh DPR, demikian pula sebaliknya. Keduanya sama-sama kuat.

Praktik penyelenggaraan pemerintahan di negara-negara kesatuan pada umumnya menggunakan cara sentralisasi dan desentralisasi. Dengan cara sentralisasi ekstrem, semua urusan pemerintahan (termasuk wewenangnya) dijalankan pemerintah pusat. Daerah hanya berperan sebagai pelaksana saja. Dulu, pada saat bangsa Indonesia dijajah Belanda sampai tahun 1903, pemerintah Hindia Belanda menggunakan cara sentralisasi. Pemerintahan dijalankan secara sentralistik oleh Gubernur Jendral. Sekarang, sistem seperti ini sudah sangat jarang digunakan, kecuali di negara-negara yang sangat kecil dengan jumlah penduduk yang sedikit (misalnya Brunei). Pada saat sekarang cara yang banyak digunakan adalah desentralisasi. Dengan cara ini, wewenang/urusan pemerintahan dibagi-bagi oleh pemerintah pusat. Ada wewenang/urusan yang tetap ditanganinya, dan ada yang diserahkan atau ditugaskan pengurusannya kepada daerah.

Pemerintahan di Indonesia diselenggarakan di tingkat pusat, daerah (provinsi, kabupaten/kota), dan desa. Karena itu, sebutan aparatur pemerintah dapat ditujukan bagi semua orang yang bertugas di semua tingkatan pemerintahan tersebut.

Seperti di negara kesatuan lainnya, daerah di Indonesia tidak bersifat negara, karena itu daerah tidak memiliki kekuasaan negara dan atribut kenegaraan lainnya seperti di tingkat pusat/nasional. Yang dimilikinya adalah wewenang sebagai turunan dari kekuasaan

(39)

23

negara untuk mengurus urusan pemerintahan ‘tertentu’ menurut asas-asas penyelenggaraan pemerintahan daerah.

Dari hasil telaahan terhadap berbagai aturan mengenai pemerintahan daerah yang pernah dikeluarkan sejak masa penjajahan sampai dengan sekarang, Indonesia menggunakan cara kombinasi sentralisasi-desentralisasi. Hal itu dapat dilihat dari adanya tiga asas penyelenggaraan pemerintahan di daerah, yaitu:

1) dekonsentrasi, 2) desentralisasi, dan 3) medebewind;

serta dua asas penyelenggaraan pemerintahan daerah, yaitu: 1) otonomi, dan

2) medebewind.

Dekonsentrasi, pada hakikatnya merupakan sentralisasi juga,

hanya teknis pelaksanaannya diperlunak dengan ‘melimpahkan wewenang kepada aparatur pemerintah pusat’ yang ada di daerah untuk menjalankan kebijakan pusat yang disesuaikan dengan kondisi daerah masing-masing. Karena itu, mereka sering disebut aparatur dekonsentrasi, seperti Gubernur, Pangdam, Kapolda, Kejati, dan Ka Kementerian Wilayah di tingkat provinsi; atau Dandim, Kapolres, Ka BPN, Kakemenag, dan Kajari di tingkat kabupaten/kota. Dulu dikenal ada pangrehpraja (zaman Jepang) dan kemudian diubah (setelah kemerdekaan) dengan istilah pamongpraja. Mereka adalah aparatur dekonsentrasi untuk menjalankan tugas pemerintahan umum di daerah.

Desentralisasi merupakan pembagian wewenang pemerintah

pusat kepada badan tertentu untuk menjalankan fungsi pemerintahan tertentu (desentralisasi fungsional), atau

(40)

24

penyerahan wewenang secara vertikal kepada Daerah yang dilakukan oleh pemerintah pusat untuk menjalankan urusan pemerintahan tertentu yang ditetapkan sebagai urusan rumah tangga daerah (desentralisasi teritorial). Dalam rangka desentralisasi fungsional, misalnya pemerintah pusat memberikan wewenang khusus kepada badan otorita (seperti Batam dan Jatiluhur). Sedangkan dalam rangka desentralisasi teritorial, pemerintah pusat memberikan otonomi daerah kepada Daerah.

Asas otonomi yang digunakan sebagai asas pemerintahan daerah menurut UU No. 22 tahun 1999, UU No. 32 tahun 2004, dan UU No. 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, pada hakikatnya adalah asas desentralisasi teritorial. Dengan didasari asas ini, daerah diberi otonomi, yakni wewenang untuk mengurus secara bebas berbagai urusan pemerintahan yang ditetapkan secara resmi sebagai urusan rumah tangga daerahnya sendiri. Yang dimaksud bebas di sini bukan bebas mutlak, tetapi bebas dalam ikatan NKRI.

Penggunaan asas-asas tadi berimplikasi pada pengelompokan urusan-urusan ‘pemerintahan di daerah,’ yaitu:

1) kelompok urusan pusat yang dikerjakan oleh aparatur pusat (dekonsentrasi);

2) kelompok urusan pusat yang pengerjaannya dibantu secara teknis oleh daerah (medebewind); dan

3) kelompok urusan daerah yang dikerjakan oleh aparatur daerah (desentralisasi/otonomi).

Dalam kaitannya dengan hal ini, Bayu Suryaningrat (1976:11) berpendapat bahwa pemerintahan dalam pengertian umum terdiri dari penyelenggaran urusan daerah dan urusan selebihnya yang

(41)

25

bukan daerah, yang biasanya disebut urusan pusat, urusan nasional, atau urusan umum. Karena itu pemerintahan yang diselenggarakan di daerah, tidak hanya sebatas pemerintahan yang mengurusi urusan daerah saja, atau urusan pusat saja, tetapi kedua-duanya. Hal itu terlihat jelas dalam praktik, selain adanya aktivitas alat daerah seperti gubernur, bupati/walikota dengan satuan kerja perangkat daerahnya (eksekutif) dan DPRD (legislatif); terdapat pula aktivitas alat-alat pusat seperti kodam/korem/kodim, polda/polres, kejaksaan tinggi/ negeri (jajaran eksekutif pusat yang bertugas di daerah), dan pengadilan tinggi/negeri (jajaran yudikatif pusat yang bertugas di daerah). Jadi, di daerahpun terselenggara pemerintahan dalam arti sempit dan dalam arti luas.

Dengan demikian perlu kehati-hatian dalam menggunakan istilah ‘pemerintahan di daerah’ (terdapat kata ‘di’) dan istilah ‘pemerintahan daerah’ (tanpa kata ‘di’), karena berbeda maknanya. Istilah ‘pemerintahan di daerah’ menunjukkan pengertian pemerintahan dalam arti luas, yaitu pemerintahan yang dijalankan oleh ‘semua’ instansi pemerintah di daerah. Sedangkan istilah ‘pemerintahan daerah’ menunjukkan aktivitas pemerintah daerah (Kepala Daerah dan Perangkat Daerah) bersama DPRD, atau pemerintahan dalam arti sempit (eksekutif) plus legislatif.

(42)

26

2.3 Pegangan Pemerintahan

Dalam menjalankan fungsinya agar stabil dan terarah pada tujuan negara, pemerintah memerlukan acuan, pedoman atau panduan yang oleh Taliziduhu Ndraha (2006:235) dinamai “pegangan pemerintahan.” Ia mengemukakan bahwa dalam pemerintahan terdapat 10 (sepuluh) jenis pegangan yang tidak boleh diabaikan, yaitu pegangan administratif, yuristik politik, adat, kebiasaan, fatwa otoritas, etiket, moral, etika, hukum alam, dan teologik. Pemahaman dan penggunaan pegangan-pegangan pemerintahan tersebut berakibat baik bagi setiap pribadi aparatur dan lembaga pemerintah. Ketidak-pahaman apalagi pengabaian terhadap pegangan pemerintahan tersebut dapat berakibat buruk bagi pribadi aparatur pemerintah dan lembaga pemerintahan, serta pada giliran berikutnya berdampak buruk pula bagi masyarakat, bangsa, dan negara.

Pegangan administratif, bersumber dari organisasi dan apabila diabaikan akan berakibat pengenaan sanksi administratif dari atasan.

Pegangan administratif banyak bentuknya, antara lain berupa juklak (petunjuk pelaksanaan) atau juknis (petunjuk teknis) dari atasan atau satuan atas instansi pemerintah. Pegangan ini diperlukan sebagai tuntunan, pedoman, acuan, dan standar untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan administratif, seperti urusan-urusan keuangan, barang, dan kepegawaian.

Walaupun oleh undang-undang (sejak UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan undang-undang penggantinya) daerah telah diberi otonomi yang luas, tidak berarti daerah boleh mengabaikan pegangan administratif dari pemerintah pusat,

(43)

27

karena daerah merupakan bagian dari sistem pemerintahan yang tidak terlepas dari peranan pemerintah pusat.

Organisasi pemerintahan di Indonesia ditata berdasarkan struktur keorganisasian birokrasi dengan ciri-cirinya antara lain, para pegawai diangkat oleh pemerintah berdasarkan kualifikasi profesional dan memenuhi persyaratan administratif serta lolos seleksi; terdapat hierarki jabatan yang jelas; serta adanya standarisasi perilaku dan kinerja. Dengan struktur yang demikian, jenjang kepegawaian dan kelembagaan pemerintahan yang lebih bawah harus menaati aturan, petunjuk, atau arahan dari jenjang yang lebih atas.

Pada saat-saat tertentu atau paling tidak setiap tahun, kepada setiap jenjang jabatan dan organisasi pemerintahan dilakukan pemeriksaan. Apabila terdapat ketidak-sesuaian antara yang dikerjakan dengan standar/kriteria, maka biasanya dijadikan temuan hasil pemeriksaan. Pada tahap awal, temuannya itu bersifat administratif sehingga tindak lanjut perbaikannya hanya bersifat administratif pula. Jika temuan administratif tersebut tidak ditindak-lanjuti dengan perbaikan oleh yang diperiksa, maka terhadap yang bersangkutan akan dikenakan sanksi administratif dari atasannya atau bahkan diangkat menjadi kasus hukum.

Yuristik politik, bersumber dari keputusan politik dan apabila diabaikan akan berakibat pengenaan sanksi hukum negara dari negara/hakim.

Yuristik politik biasanya berupa ketentuan perundang-undangan yang berada dalam lingkup hukum pemerintahan atau lingkup hukum yang lebih luas (Hukum Pidana, Hukum Perdata, dan sebagainya). Penetapan pejabat yang berwenang dalam struktur

(44)

28

pemerintahan diatur oleh hukum pemerintahan. Demikian pula mengenai kedudukan, tugas pokok, fungsi dan batas wewenangnya. Dalam pembuatan kebijakan publik misalnya, diatur mengenai pejabat dan mekanismenya. Lembaga pemerintahan atau aparaturnya tidak kebal hukum. Baik secara kelembagaan maupun secara pribadi dituntut ketaatannya terhadap hukum, jika melanggar, dapat dikenai sanksi hukum dari negara.

Salah satu pegangan yuristik politik adalah asas-asas umum penyelenggaraan negara sebagaimana dimuat dalam pasal 3 UU No. 28 tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih Dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi, Dan Nepotisme, yaitu:

1) asas kepastian hukum, yakni mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan, kepatutan, dan keadilan dalam setiap kebijakan penyelenggara negara;

2) asas tertib penyelenggara negara, yakni keteraturan, keserasian, dan keseimbangan dalam pengendalian penyelenggaraan negara;

3) asas kepentingan umum, yakni mendahulukan kesejahteraan umum dengan cara yang aspiratif, akomodatif, dan selektif; 4) asas keterbukaan, yakni membuka diri terhadap hak

masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif tentang penyelenggaraan negara, dengan tetap memperhatikan perlindungan atas hak asasi pribadi, golongan, dan rahasia negara;

5) asas proporsionalitas, yakni mengutamakan keseimbangan antara hak dan kewajiban penyelenggara negara;

(45)

29

6) asas profesionalitas, yakni mengutamakan keahlian yang berlandaskan kode etik dan ketentuan perundang-undangan yang berlaku;

7) asas akuntabilitas, yakni setiap kegiatan dan hasil akhir penyelenggaraan negara, harus dipertanggung-jawabkan kepada masyarakat atau rakyat;

8) asas efisiensi, yakni mengutamakan efisiensi dalam penyelenggaraan negara; dan

9) asas efektivitas, yakni mengutamakan hasil yang optimal dari setiap kegiatan penyelenggaraan negara.

Asas-asas tersebut bukan hanya untuk dipedomani oleh pemerintah di tingkat pusat saja, melainkan di semua tingkatan pemerintahan dari tingkat pusat, sampai dengan desa.

Adat, yang bersumber dari tradisi sakral atau leluhur, dan apabila diabaikan akan berakibat pengenaan sanksi kualat, karma, atau terkucil dari masyarakat atau kekuatan gaib.

Adat biasanya sangat kuat dipegang sebagai ukuran dan tuntunan perilaku bagi warga di lingkungan masyarakat tertentu. Aparatur pemerintah yang bekerja di lingkungan masyarakat yang kuat memegang ketentuan adatnya perlu kehati-hatian dalam bertindak. Pengabaian terhadap adat sangat potensial menimbulkan konflik dengan masyarakat adat atau menimbulkan konflik antara masyarakat adat dengan lingkungan luarnya. Tindakan aparatur pemerintah yang dianggap melanggar adat dapat menimbulkan protes keras bahkan bisa dikenai sanksi adat secara diam-diam atau terbuka. Kebijakan publik yang dirasakan melanggar adat bisa tidak efektif dalam implementasinya, diabaikan atau bahkan diprotes.

(46)

30

Kebiasaan, yang bersumber dari tradisi atau kebiaran, dan apabila diabaikan akan berakibat pengenaan sanksi sosial dari masyarakat penganutnya.

Kebiasaan di lingkungan masyarakat tertentu biasanya menjadi salah satu identitas masyarakat yang bersangkutan. Aparatur pemerintah di dalam menjalankan tugasnya perlu mengenal dan menghormati kebiasaan masyarakat di mana ia bekerja. Mengenali dan menghormati kebiasaan masyarakat setempat di mana ia bertugas, sangat bermanfaat karena akan dapat membantu kelancaran pelaksanaan tugasnya. Apalagi pada masyarakat adat terdapat nilai-nilai kearifan dalam berperilaku yang kadang-kadang tidak dimiliki atau tidak disadari oleh masyarakat yang merasa modern.

Tindakan yang menunjukkan penghormatan terhadap kebiasaan sepanjang kebiasaan tersebut baik menurut akal sehat atau tidak bertentangan dengan norma lain (hukum dan agama), dapat menghadirkan perasaan simpati dari masyarakat. Misalnya, kebiasaan untuk mengucapkan salam tatkala akan berpidato, kebiasaan untuk berdo’a sebelum atau sesudah melaksanakan acara resmi, dan kebiasaan-kebiasaan baik lainnya. Mengabaikan kebiasaan setempat dapat menimbulkan kesan asing dari masyarakat terhadap diri aparatur pemerintah yang bersangkutan. Ia akan dirasakan sebagai orang luar (out group feellings), sehingga dapat menimbulkan jarak psikologis yang merugikan.

Fatwa otoritas, yang bersumber dari keputusan lembaga otoritas (sosial), dan apabila diabaikan akan berakibat pengenaan sanksi sosial dari pemegang otoritas atau masyarakat pendukungnya.

(47)

31

Fatwa otoritas biasanya berupa pernyataan tentang boleh-tidaknya sesuatu benda digunakan, suatu organisasi diizinkan, atau sesuatu perbuatan dilakukan, yang ditetapkan oleh lembaga yang mempunyai otoritas sosial tertentu, misalnya fatwa Majelis Ulama Indonesia tentang makanan halal dan penolakan terhadap keberadaan organisasi tertentu yang dianggap beraliran sesat. Ketetapan yang dibuat oleh pemerintah sepatutnya memperhatikan fatwa ini. Jika diabaikan tentu saja akan berakibat buruk, misalnya diprotes atau bahkan diboikot oleh lembaga otoritas sosial yang bersangkutan atau oleh pihak masyarakat yang mengikuti atau menghormatinya.

Etiket, yang bersumber dari formalitas dan apabila diabaikan akan berakibat pengenaan sanksi sosial dari masyarakat tertentu yang menyepakatinya.

Etiket atau tatakrama merupakan tatacara atau aturan main untuk melakukan perbuatan tertentu pada situasi tertentu di lingkungan masyarakat tertentu agar dinilai sopan dan menimbulkan rasa simpati, misalnya tatacara makan dalam perjamuan resmi, tatacara penggunaan bahasa, dan tatacara berbusana. Masyarakat pada umumnya akan bersimpati terhadap aparatur pemerintah yang memperhatikan tatakrama. Sebaliknya, akan mencemoohkan bahkan antipati kepada yang tidak memperhatikannya, sehingga dapat berakibat penurunan wibawa pribadinya atau lembaganya.

Moral, yang bersumber dari norma sosial dan apabila diabaikan akan berakibat pengenaan sanksi moral dari masyarakat. Moral merupakan ukuran/acuan perilaku yang baik menurut kodrat, harkat, dan martabat manusia. Masyarakat pada umumnya

(48)

32

menjunjung tinggi moralitas sebagai ciri peradaban. Karena itu, masyarakat beradab pada umumnya tidak menerima perbuatan immoral yang dilakukan oleh siapapun termasuk aparatur pemerintah, seperti pemerkosaan, jual beli orang dan pelanggaran hak asasi manusia. Pelanggaran terhadap norma moral yang dilakukan aparatur pemerintah, selain menurunkan citra pribadinya, juga akan berakibat penurunan citra dan wibawa lembaga pemerintahan.

Etika, yang bersumber dari kesadaran, free will, atau self

commitment dan apabila diabaikan akan berakibat pengenaan

sanksi dari hati nurani diri sendiri, seperti rasa malu, penyesalan, rasa bersalah, minta maaf, mohon ampun, tobat, memberi tebusan, mempersembahkan korban, mengaku bersalah, mundur dari jabatan, mengasingkan diri, atau bahkan bunuh diri.

Yang dimaksud dengan etika sebagai pegangan pemerintahan disini adalah etika dalam artinya sebagai pedoman, acuan, dan ukuran praktis dalam berperilaku dengan bentuknya yang rinci dan operasional, dalam hal ini adalah asas-asas dan norma-norma etik yang dikemas di dalam berbagai aturan atau kode etik. Misalnya, kode etik profesi, kode etik organisasi, tata-tertib, naskah sumpah/janji pegawai, dan naskah sumpah/janji jabatan.

Bagi aparatur pemerintah, etika yang dijadikan pegangan adalah etika yang umum berlaku di kalangan masyarakat dan etika khusus berupa etika pemerintahan. Etika yang keberlakuannya universal, nasional, dan lokal banyak terdapat pada berbagai sumbernya. Memang kesannya seolah-olah ada pemisahan antara etika yang digunakan untuk kehidupan pribadi dan etika untuk

(49)

33

menjalankan pekerjaan pemerintahan. Yang sebenarnya tidak demikian, karena etika pemerintahanpun mengandung asas-asas, nilai-nilai, dan norma-norma etik yang berasal dari sumber-sumber menurut tata norma/nilai yang dianut masyarakatnya, misalnya, agama (bagi penganutnya) dan kebudayaan. Asas-asas, nilai-nilai, dan norma-norma etik tersebut digunakan dalam menjalani kehidupan pribadi dan tugas pemerintahan dari mulai penetapan kebijakan, sampai pada implementasi dan pertanggung-jawabannya.

Jika sumbernya banyak, tentu nilai-nilai/norma-norma etiknya-pun banyak (bahkan sukar dihitung), karena itu diperlukan kemauan dan kerajinan dari diri pribadi aparatur pemerintah masing-masing untuk mencari, menghimpun, memahami, menghayati, dan mengaktualisasikan/mengaplikasikannya. Selain itu, tentu perlu ditunjang pula oleh pemerintah agar lebih termotivasi, terarah, dan seusai dengan kebutuhan sistem pemerintahan.

Hukum alam, yang bersumber dari pengetahuan atau pengalaman dan apabila diabaikan akan berakibat pengenaan sanksi dari alam berupa bencana alam.

Hukum alam, baik disadari atau tidak memberikan informasi dan tuntunan bagi manusia tentang bagaimana memperlakukan alam dengan baik. Karunia Tuhan yang diberikan kepada manusia melalui alam ini tidak terhitung banyaknya. Perbuatan manusia yang merusak alam, cepat atau lambat menimbulkan kerugian bagi diri manusia itu sendiri, misalnya terjadi perubahan iklim seperti yang dirasakan sekarang sehingga bencana alam terjadi di mana-mana dengan akibat yang lebih hebat dari sebelumnya. Aparatur

(50)

34

pemerintah, baik melalui kebijakannya maupun tindakan pribadi-pribadinya seyogyanya memperhatikan hukum alam ini.

Teologik, yang bersumber dari kesadaran dan keyakinan, dan apabila diabaikan akan berakibat pengenaan sanksi neraka atau azab dari Tuhan.

Pegangan teologik merupakan pegangan pribadi masing-masing yang meyakini atau mengimaninya. Semakin kuat keyakinan/imannya kepada Tuhan YME, semakin kuat pula ketaatannya terhadap berbagai tuntunan ataupun aturan teologik yang dianutnya. Bagi orang yang kuat beragama, perbuatan sehari-harinya akan merupakan aplikasi dari norma-norma yang ditetapkan Tuhannya. Motif ‘teogenetis’ (motif ke-Tuhanan) sangat mewarnai tindakan aparatur pemerintah yang kuat beragama agar perbuatannya dapat dipertanggungjawabkan bukan saja di hadapan masyarakat, tetapi juga di hadapan Tuhannya.

2.4 Konsep Etika

Telah disinggung bahwa etika merupakan salah satu pegangan pemerintahan.

Istilah etika berasal dari bahasa Yunani kuno ethos. Dalam bentuk tunggalnya berarti tempat tinggal yang biasa, padang rumput, kandang, kebiasaan, adat, ahlak, watak, perasaan, sikap dan cara berpikir. Dalam bentuk jamaknya ta etha, yang berarti adat kebiasaan. Kata inilah menurut Bertens (2007:4) yang melatar-belakangi munculnya kata ethica yang digunakan Aristoteles untuk menunjukkan filsafat moral. Sedangkan istilah ‘moral’ berasal dari bahasa Latin mos (tunggal) atau mores (jamak) yang sama artinya dengan ethica dalam bahasa Yunani yaitu kebiasaan atau adat.

(51)

35

Karena itulah, maka istilah etika kadang-kadang dipertukarkan penggunaannya dengan istilah moral atau keduanya sering dipakai untuk saling menjelaskan. Misalnya, perbuatan yang etis adalah perbuatan yang baik secara moral, yakni perbuatan yang sesuai dengan kodrat, harkat dan martabat manusia terlepas dari kedudukan dan peranannya dalam kehidupan sosial. Sedangkan perbuatan yang tidak etis atau immoral berarti perbuatan buruk secara moral.

Bertens (2007:6) mengemukakan bahwa etika mempunyai tiga arti, yaitu:

1. Sebagai nilai-nilai dan norma-norma moral yang menjadi pegangan bagi seseorang atau sekelompok orang dalam mengatur tingkah lakunya. Arti ini dapat dikatakan sistem nilai. Contoh, Etika Suku Indian.

2. Sebagai kumpulan asas atau nilai moral. Arti ini dapat dikatakan kode etik. Contoh, Kode Etik Rumah Sakit Indonesia.

3. Sebagai ilmu tentang yang baik dan yang buruk. Dalam arti ini, etika adalah filsafat moral.

Definisi ini substansinya sama dengan definisi Hans Kung (1999:76-77) bahwa etika (Inggris: ethics) menunjuk pada teori sikap, nilai dan norma moral secara filosofis atau teologis. Sedangkan etik (Inggris: ethic) menunjuk pada sikap moral manusia yang mendasar. Tanpa menyebut artinya Hans Kung juga menggunakan kata ‘etis.’ Penulis menafsirkannya sebagai kata sifat, yakni sifat perbuatan yang baik secara moral.

Walaupun secara etimologis kata etika identik dengan moral seperti yang dikemukakan tadi, dalam perkembangannya

Referensi

Dokumen terkait

Penulisan daftar gambar sebagai judul halaman ditulis dengan menggunakan huruf kapital semuanya pada setiap huruf, berikut nomor urut gambar yang disusun satu per

Pengecualian dari instrumen ekuitas tersedia untuk dijual, jika, pada periode berikutnya, jumlah penurunan nilai berkurang dan penurunan dapat dikaitkan secara obyektif dengan sebuah

Ordonansi Pengangkutan Udara No. 100), yang menyatakan: “…Apabila luka tersebut mengakibatkan kematian, maka suami atau isteri dari yang meninggal dunia, anak-anaknya, atau

Melalui kegiatan berdiskusi, siswa mampu membuat peta pikiran mengenai urutan peristiwa dengan memperhatikan latar cerita pada teks nonfiksi dengan benar.. Dengan melakukan

Persyaratan dan metode untuk menentukan f ya dijabarkan sebagai berikut: a Untuk komponen struktur tekan yang menerima beban aksial dan komponen struktur lentur dengan nilai 

Selain itu selama diberlakukan kebijakan SMART Service Admission belum pernah dilakukan analisis yang berkaitan dengan kepuasan pasien saat menjalani proses

Pada pengujian ini menggunakan alat uji kekerasan Vickers (HV) dengan model DHV-50D. Alat ini digunakan untuk menguji kekerasan yang terdapat pada material baja AISI

Otonomi daerah dapat diartikan sebagai hak, wewenang, dan kewajiban yang diberikan kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan