• Tidak ada hasil yang ditemukan

Konsep Kompetensi Etik Aparatur Pemerintah

KOMPETENSI ETIK APARATUR PEMERINTAH

4.2 Konsep Kompetensi Etik Aparatur Pemerintah

Setiap orang sesuai dengan fitrahnya memiliki potensi (daya, kekuatan) berpikir, bersikap, dan berbuat. Melalui proses pengembangan, baik dengan cara-cara alami maupun dengan proses pendidikan, potensi tersebut dapat berubah menjadi kompetensi. Jika diibaratkan barang, potensi merupakan bahan baku, sedangkan kompetensi merupakan barang jadi. Secara umum, nilai guna barang jadi lebih tinggi dari pada bahan baku.

Istilah kompetensi telah banyak digunakan dalam berbagai lapangan pekerjaan dan kajian berkenaan dengan pengembangan sumber daya manusia. Kompetensi menunjukkan kemampuan seseorang untuk melakukan pekerjaan tertentu sesuai dengan bidangnya. Contohnya dalam bidang pendidikan, menurut kurikulum 2013, setiap peserta didik harus mengikuti pembelajaran agar memiliki 4 (empat) macam kompetensi yang sesuai dengan kelasnya, yaitu Kompetensi Inti (KI)-1 Sikap Spiritual, KI-2 Sikap Sosial, KI-3 Pengetahuan, dan KI-4 Keterampilan. Untuk mencapai keempat kompetensi inti (kelas) tersebut, peserta didik harus mengikuti pembelajaran agar memiliki Kompetensi Dasar (KD) tiap-tiap mata pelajaran.

Di lapangan pemerintahan, kompetensi dipakai antara lain sebagai bahan pertimbangan dalam rekrutmen, pendidikan,

179

penggajian, pembinaan, penilaian, dan penempatan aparatur pemerintah dalam posisi-posisi tertentu. Selama ini standar kompetensi aparatur pemerintah masih ditekankan pada keperluan manajemen dan teknis berupa kompetensi manajerial (kompetensi melakukan pekerjaan sebagai manajer), dan kompetensi teknis (kompetensi melakukan pekerjaan operasional tertentu). Kompetensi dalam keetikan perilaku hanya merupakan bagian dari kompetensi-kompetensi tersebut.

Dari pandangan etika, kompetensi yang sepatutnya dimiliki juga oleh aparatur pemerintah adalah apa yang dinamakan dengan ‘kompetensi etik’ (Inggris: ethical competency). Kompetensi etik dapat dijadikan penambah dan penguat jenis-jenis kompetensi lainnya. Apalagi jika dikaitkan dengan tuntutan untuk membangun pemerintahan yang etis (ethical governance), yaitu pemerintahan yang diselenggarakan dengan cara-cara yang menjunjung tinggi nilai-nilai etik dan menaati norma-norma etik dalam membuat kebijakan dan implementasinya.

Dari hasil pengamatan ditemukan fenomena keetikan perilaku aparatur pemerintah yang berragam. Kesatu, ada aparatur pemerintah yang secara mental bersikap negatif untuk berperilaku etis. Mereka cenderung berbuat semaunya. Tidak begitu peduli pada norma-norma etik yang sepatutnya ditaati. Norma tersebut dianggapnya sebagai penghalang untuk mewujudkan keinginannya. Nasehat tentang etika dari guru, tokoh agama, teman, tetangga, atasan, bahkan dari orangtuanya sendiri diabaikan. Kedua, ada aparatur pemerintah yang bersikap mental

180

positif terhadap etika, tetapi kurang pengetahuan etiknya. Perilaku aparatur ini ini lebih baik dari yang pertama. Mereka cenderung ingin berbuat etis dalam banyak situasi, namun kurang rajin belajar etika sehingga pengetahuan tentang hal itu sedikit. Pengetahuan etiknya hanya sebatas yang ditemukan dari lingkungan di sekitarnya. Ketiga, ada aparatur pemerintah yang memiliki pengetahuan etik dan bersikap mental positif terhadap etika, tetapi kurang terampil dalam mengaplikasikannya. Golongan ini lebih baik dari golongan pertama dan kedua. Mereka hanya kurang rajin berlatih dalam menggunakan pengetahuannya. Keempat, ada aparatur pemerintah yang berpengetahuan etik cukup, sikap mental terhadap etika positif, dan memiliki keterampilan di dalam mempraktikkan ketaatan terhadap etikanya. Golongan ini paling baik dari yang lainnya.

Fenomena tersebut menunjukkan adanya tingkatan kemampuan beretika atau tingkatan kompetensi etik yang berbeda-beda sehingga tingkat keetikan perilakunya berbeda-beda pula. Semakin tinggi tingkat kompetensi etik seseorang, semakin tinggi pula tingkat keetikan perilakunya, dengan asumsi faktor eksternalnya kondusif (gambar 4).

181

Secara hipotetik dapat dikatakan bahwa tingkat keetikan perilaku seseorang merupakan fungsi dari tingkat kompetensi etiknya.

Dari Cambridge International Dictionary of English tahun 1995 diketahui bahwa istilah kompetensi (Inggris: competency) adalah ‘the ability to do something to a level that is acceptable.’ Terjemahan bebasnya, kompetensi adalah kemampuan mengerjakan sesuatu sampai pada tingkatan yang dapat diterima. Dari Universal Competencies Home Page-US (2007) diketahui bahwa kompetensi adalah sebuah gugusan pengetahuan,

keterampilan, dan sikap mental yang saling berkaitan dan

berkorelasi dengan kinerja suatu jabatan, peranan atau tanggungjawab, yang dapat diukur dengan standar yang telah diterima dan dapat ditingkatkan dengan pelatihan dan pengembangan. Senada dengan itu, Jayagopan Ramasamy (2007:2) berpendapat bahwa kompetensi seseorang yang secara langsung mempengaruhi perilakunya (behaviour) dalam bekerja, terdiri dari tiga unsur utama, yaitu:

1) pengetahuan yang berada di ranah kognitif (cognitive domain), Gambar 4:

MODEL HUBUNGAN KOMPETENSI ETIK DENGAN KEETIKAN PERILAKU

182

2) sikap/kualitas pribadi yang berada di ranah afektif (affective

domain), dan

3) keterampilan yang berada di ranah psikomotorik (psychomotor domain).

Ia menyontohkan bagaimana seorang petani sukses karena memiliki kompetensi bertani. Agar sukses, petani tersebut mencari ‘pengetahuan’ pertanian misalnya keadaan tanah, musim, benih, penyakit tanaman, dan sebagainya. Ia juga berlatih agar memiliki ‘keterampilan,’ misalnya bagaimana mengatur air, mengoperasikan alat-alat pertanian, dan menaburkan pupuk. Selain itu, ia perlu menyiapkan ‘sikap mental’ yang sabar, disiplin, dan sense of urgency terhadap pekerjaannya.

Selain dari sumber tersebut, dari Keputusan Kepala Badan Kepegawaian Negara Nomor: 43/KEP/2001 tentang Standar Kompetensi Jabatan Struktural Pegawai Negeri Sipil diketahui bahwa yang dimaksud dengan kompetensi adalah kemampuan dan karakteristik yang dimiliki oleh seorang Pegawai Negeri Sipil berupa pengetahuan, keahlian dan sikap perilaku yang diperlukan dalam pelaksanan tugas jabatannya.

Dari beberapa sumber tadi, penulis menyimpulkan bahwa

kompetensi merupakan kemampuan seseorang yang dihasilkan dari perpaduan pengetahuan, sikap mental dan keterampilannya untuk melakukan pekerjaan dalam bidang tertentu. Pengetahuan

berada pada ranah kognisi (dimensi kognitif), sikap mental pada ranah afeksi (dimensi afektif), dan keterampilan pada ranah psikomotor (dimensi psikomotorik).

183

Dalam konteks etika, kompetensi yang dimaksud merupakan kompetensi etik atau kompetensi beretika atau kompetensi untuk mengaktualisasikan nilai-nilai etik melalui aplikasi norma-norma etik dalam sikap/perilakunya. Dengan demikian, kompetensi etik ialah kemampuan seseorang yang dihasilkan dari perpaduan

pengetahuan, sikap mental, dan keterampilan etiknya untuk melakukan perbuatan yang bernilai baik secara moral.

Istilah kompetensi etik masih jarang digunakan di lapangan ilmu pemerintahan karena kemunculannya-pun masih baru. Di lapangan ilmu-ilmu lain, istilah ini telah banyak digunakan, di antaranya oleh Sofia Kalvemark Sporrong di lapangan ilmu kesehatan pada disertasi doktornya tahun 2005 di Uppsala University Swedia yang berjudul ‘Ethical Competence and Moral

Distress in the Health Care Sector.’ Inti pendapatnya ialah bahwa

kompetensi etik mengandung kesadaran untuk merealisasikan tanggung jawab, kemampuan dalam menyikapi konflik keetikan, dukungan terhadap proses keetikan dalam organisasi, dan kemauan untuk membuat keputusan-keputusan yang sulit.

Sarjana lain yang menggunakannya adalah Earl W. Spurgin di lapangan ilmu bisnis dengan istilah Business Ethics Competency sebagai mata pelajaran yang ia ajarkan kepada para mahasiswa

Department of Philosophy-John Carroll University AS. Pada

pokoknya ia menerangkan bahwa kompetensi etik terdiri dari: 1) ethics knowledge (pengetahuan tentang etika),

2) ability/capacity for moral deliberation (kemampuan atau kapasitas untuk membuat pertimbangan moral), dan

184

3) the actualization and application of moral virtue (aktualisasi dan aplikasi kebajikan moral).

Istilah kompetensi etik ini digunakan pula oleh Iordanis Kavathatzopoulos di lapangan pembelajaran komputer, oleh Dr. Franklin di lapangan pekerjaaan sosial dan oleh Tor Nordenstam di lapangan pembangunan. Penggunaan di berbagai lapangan ilmu/pekerjaan tersebut menunjukkan kesamaan maksud yakni bahwa kompetensi etik merupakan kemampuan seseorang untuk beretika di lingkungan kehidupannya.

Kompetensi etik memiliki wujud, proses, dan fungsi, dengan unsur, ciri, dan sifatnya masing-masing.

Wujud/bentuk/rupanya mengandung unsur-unsur

pengetahuan etik, sikap mental etik, dan keterampilan etik. Cirinya,

menunjukkan kemampuan manusia dalam berperilaku yang bernilai baik-buruk secara moral. Sedangkan sifatnya, bertingkat (berskala ordinal rendah-tinggi). Secara hipotetik dapat dikatakan bahwa kompetensi etik seseorang menjadi lebih tinggi jika pengetahuan etiknya bertambah, sikap mental etiknya positif menguat, dan keterampilan etiknya meningkat.

Prosesnya terdiri dari unsur-unsur pemahaman, penerimaan, dan pelembagaan nilai-nilai etik; serta penaatan norma-norma etik. Cirinya, proses tersebut berlangsung dengan pola peragaan (berasal dari kesadaran dalam diri pelaku), dan pola pelakonan (berasal dari luar diri pelaku). Sedangkan sifatnya, pengetahuan, sikap mental, dan keterampilan etik satu sama lainnya saling berpengaruh. Pada suatu saat, pengetahuan etik berpengaruh