• Tidak ada hasil yang ditemukan

SEBAGAI PEGANGAN PEMERINTAHAN 2.1 Konsep Pemerintahan

2.3 Pegangan Pemerintahan

2.3 Pegangan Pemerintahan

Dalam menjalankan fungsinya agar stabil dan terarah pada tujuan negara, pemerintah memerlukan acuan, pedoman atau panduan yang oleh Taliziduhu Ndraha (2006:235) dinamai “pegangan pemerintahan.” Ia mengemukakan bahwa dalam pemerintahan terdapat 10 (sepuluh) jenis pegangan yang tidak boleh diabaikan, yaitu pegangan administratif, yuristik politik, adat, kebiasaan, fatwa otoritas, etiket, moral, etika, hukum alam, dan teologik. Pemahaman dan penggunaan pegangan-pegangan pemerintahan tersebut berakibat baik bagi setiap pribadi aparatur dan lembaga pemerintah. Ketidak-pahaman apalagi pengabaian terhadap pegangan pemerintahan tersebut dapat berakibat buruk bagi pribadi aparatur pemerintah dan lembaga pemerintahan, serta pada giliran berikutnya berdampak buruk pula bagi masyarakat, bangsa, dan negara.

Pegangan administratif, bersumber dari organisasi dan apabila diabaikan akan berakibat pengenaan sanksi administratif dari atasan.

Pegangan administratif banyak bentuknya, antara lain berupa juklak (petunjuk pelaksanaan) atau juknis (petunjuk teknis) dari atasan atau satuan atas instansi pemerintah. Pegangan ini diperlukan sebagai tuntunan, pedoman, acuan, dan standar untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan administratif, seperti urusan-urusan keuangan, barang, dan kepegawaian.

Walaupun oleh undang-undang (sejak UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan undang-undang penggantinya) daerah telah diberi otonomi yang luas, tidak berarti daerah boleh mengabaikan pegangan administratif dari pemerintah pusat,

27

karena daerah merupakan bagian dari sistem pemerintahan yang tidak terlepas dari peranan pemerintah pusat.

Organisasi pemerintahan di Indonesia ditata berdasarkan struktur keorganisasian birokrasi dengan ciri-cirinya antara lain, para pegawai diangkat oleh pemerintah berdasarkan kualifikasi profesional dan memenuhi persyaratan administratif serta lolos seleksi; terdapat hierarki jabatan yang jelas; serta adanya standarisasi perilaku dan kinerja. Dengan struktur yang demikian, jenjang kepegawaian dan kelembagaan pemerintahan yang lebih bawah harus menaati aturan, petunjuk, atau arahan dari jenjang yang lebih atas.

Pada saat-saat tertentu atau paling tidak setiap tahun, kepada setiap jenjang jabatan dan organisasi pemerintahan dilakukan pemeriksaan. Apabila terdapat ketidak-sesuaian antara yang dikerjakan dengan standar/kriteria, maka biasanya dijadikan temuan hasil pemeriksaan. Pada tahap awal, temuannya itu bersifat administratif sehingga tindak lanjut perbaikannya hanya bersifat administratif pula. Jika temuan administratif tersebut tidak ditindak-lanjuti dengan perbaikan oleh yang diperiksa, maka terhadap yang bersangkutan akan dikenakan sanksi administratif dari atasannya atau bahkan diangkat menjadi kasus hukum.

Yuristik politik, bersumber dari keputusan politik dan apabila diabaikan akan berakibat pengenaan sanksi hukum negara dari negara/hakim.

Yuristik politik biasanya berupa ketentuan perundang-undangan yang berada dalam lingkup hukum pemerintahan atau lingkup hukum yang lebih luas (Hukum Pidana, Hukum Perdata, dan sebagainya). Penetapan pejabat yang berwenang dalam struktur

28

pemerintahan diatur oleh hukum pemerintahan. Demikian pula mengenai kedudukan, tugas pokok, fungsi dan batas wewenangnya. Dalam pembuatan kebijakan publik misalnya, diatur mengenai pejabat dan mekanismenya. Lembaga pemerintahan atau aparaturnya tidak kebal hukum. Baik secara kelembagaan maupun secara pribadi dituntut ketaatannya terhadap hukum, jika melanggar, dapat dikenai sanksi hukum dari negara.

Salah satu pegangan yuristik politik adalah asas-asas umum penyelenggaraan negara sebagaimana dimuat dalam pasal 3 UU No. 28 tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih Dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi, Dan Nepotisme, yaitu:

1) asas kepastian hukum, yakni mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan, kepatutan, dan keadilan dalam setiap kebijakan penyelenggara negara;

2) asas tertib penyelenggara negara, yakni keteraturan, keserasian, dan keseimbangan dalam pengendalian penyelenggaraan negara;

3) asas kepentingan umum, yakni mendahulukan kesejahteraan umum dengan cara yang aspiratif, akomodatif, dan selektif; 4) asas keterbukaan, yakni membuka diri terhadap hak

masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif tentang penyelenggaraan negara, dengan tetap memperhatikan perlindungan atas hak asasi pribadi, golongan, dan rahasia negara;

5) asas proporsionalitas, yakni mengutamakan keseimbangan antara hak dan kewajiban penyelenggara negara;

29

6) asas profesionalitas, yakni mengutamakan keahlian yang berlandaskan kode etik dan ketentuan perundang-undangan yang berlaku;

7) asas akuntabilitas, yakni setiap kegiatan dan hasil akhir penyelenggaraan negara, harus dipertanggung-jawabkan kepada masyarakat atau rakyat;

8) asas efisiensi, yakni mengutamakan efisiensi dalam penyelenggaraan negara; dan

9) asas efektivitas, yakni mengutamakan hasil yang optimal dari setiap kegiatan penyelenggaraan negara.

Asas-asas tersebut bukan hanya untuk dipedomani oleh pemerintah di tingkat pusat saja, melainkan di semua tingkatan pemerintahan dari tingkat pusat, sampai dengan desa.

Adat, yang bersumber dari tradisi sakral atau leluhur, dan apabila diabaikan akan berakibat pengenaan sanksi kualat, karma, atau terkucil dari masyarakat atau kekuatan gaib.

Adat biasanya sangat kuat dipegang sebagai ukuran dan tuntunan perilaku bagi warga di lingkungan masyarakat tertentu. Aparatur pemerintah yang bekerja di lingkungan masyarakat yang kuat memegang ketentuan adatnya perlu kehati-hatian dalam bertindak. Pengabaian terhadap adat sangat potensial menimbulkan konflik dengan masyarakat adat atau menimbulkan konflik antara masyarakat adat dengan lingkungan luarnya. Tindakan aparatur pemerintah yang dianggap melanggar adat dapat menimbulkan protes keras bahkan bisa dikenai sanksi adat secara diam-diam atau terbuka. Kebijakan publik yang dirasakan melanggar adat bisa tidak efektif dalam implementasinya, diabaikan atau bahkan diprotes.

30

Kebiasaan, yang bersumber dari tradisi atau kebiaran, dan apabila diabaikan akan berakibat pengenaan sanksi sosial dari masyarakat penganutnya.

Kebiasaan di lingkungan masyarakat tertentu biasanya menjadi salah satu identitas masyarakat yang bersangkutan. Aparatur pemerintah di dalam menjalankan tugasnya perlu mengenal dan menghormati kebiasaan masyarakat di mana ia bekerja. Mengenali dan menghormati kebiasaan masyarakat setempat di mana ia bertugas, sangat bermanfaat karena akan dapat membantu kelancaran pelaksanaan tugasnya. Apalagi pada masyarakat adat terdapat nilai-nilai kearifan dalam berperilaku yang kadang-kadang tidak dimiliki atau tidak disadari oleh masyarakat yang merasa modern.

Tindakan yang menunjukkan penghormatan terhadap kebiasaan sepanjang kebiasaan tersebut baik menurut akal sehat atau tidak bertentangan dengan norma lain (hukum dan agama), dapat menghadirkan perasaan simpati dari masyarakat. Misalnya, kebiasaan untuk mengucapkan salam tatkala akan berpidato, kebiasaan untuk berdo’a sebelum atau sesudah melaksanakan acara resmi, dan kebiasaan-kebiasaan baik lainnya. Mengabaikan kebiasaan setempat dapat menimbulkan kesan asing dari masyarakat terhadap diri aparatur pemerintah yang bersangkutan. Ia akan dirasakan sebagai orang luar (out group feellings), sehingga dapat menimbulkan jarak psikologis yang merugikan.

Fatwa otoritas, yang bersumber dari keputusan lembaga otoritas (sosial), dan apabila diabaikan akan berakibat pengenaan sanksi sosial dari pemegang otoritas atau masyarakat pendukungnya.

31

Fatwa otoritas biasanya berupa pernyataan tentang boleh-tidaknya sesuatu benda digunakan, suatu organisasi diizinkan, atau sesuatu perbuatan dilakukan, yang ditetapkan oleh lembaga yang mempunyai otoritas sosial tertentu, misalnya fatwa Majelis Ulama Indonesia tentang makanan halal dan penolakan terhadap keberadaan organisasi tertentu yang dianggap beraliran sesat. Ketetapan yang dibuat oleh pemerintah sepatutnya memperhatikan fatwa ini. Jika diabaikan tentu saja akan berakibat buruk, misalnya diprotes atau bahkan diboikot oleh lembaga otoritas sosial yang bersangkutan atau oleh pihak masyarakat yang mengikuti atau menghormatinya.

Etiket, yang bersumber dari formalitas dan apabila diabaikan akan berakibat pengenaan sanksi sosial dari masyarakat tertentu yang menyepakatinya.

Etiket atau tatakrama merupakan tatacara atau aturan main untuk melakukan perbuatan tertentu pada situasi tertentu di lingkungan masyarakat tertentu agar dinilai sopan dan menimbulkan rasa simpati, misalnya tatacara makan dalam perjamuan resmi, tatacara penggunaan bahasa, dan tatacara berbusana. Masyarakat pada umumnya akan bersimpati terhadap aparatur pemerintah yang memperhatikan tatakrama. Sebaliknya, akan mencemoohkan bahkan antipati kepada yang tidak memperhatikannya, sehingga dapat berakibat penurunan wibawa pribadinya atau lembaganya.

Moral, yang bersumber dari norma sosial dan apabila diabaikan akan berakibat pengenaan sanksi moral dari masyarakat. Moral merupakan ukuran/acuan perilaku yang baik menurut kodrat, harkat, dan martabat manusia. Masyarakat pada umumnya

32

menjunjung tinggi moralitas sebagai ciri peradaban. Karena itu, masyarakat beradab pada umumnya tidak menerima perbuatan immoral yang dilakukan oleh siapapun termasuk aparatur pemerintah, seperti pemerkosaan, jual beli orang dan pelanggaran hak asasi manusia. Pelanggaran terhadap norma moral yang dilakukan aparatur pemerintah, selain menurunkan citra pribadinya, juga akan berakibat penurunan citra dan wibawa lembaga pemerintahan.

Etika, yang bersumber dari kesadaran, free will, atau self

commitment dan apabila diabaikan akan berakibat pengenaan

sanksi dari hati nurani diri sendiri, seperti rasa malu, penyesalan, rasa bersalah, minta maaf, mohon ampun, tobat, memberi tebusan, mempersembahkan korban, mengaku bersalah, mundur dari jabatan, mengasingkan diri, atau bahkan bunuh diri.

Yang dimaksud dengan etika sebagai pegangan pemerintahan disini adalah etika dalam artinya sebagai pedoman, acuan, dan ukuran praktis dalam berperilaku dengan bentuknya yang rinci dan operasional, dalam hal ini adalah asas-asas dan norma-norma etik yang dikemas di dalam berbagai aturan atau kode etik. Misalnya, kode etik profesi, kode etik organisasi, tata-tertib, naskah sumpah/janji pegawai, dan naskah sumpah/janji jabatan.

Bagi aparatur pemerintah, etika yang dijadikan pegangan adalah etika yang umum berlaku di kalangan masyarakat dan etika khusus berupa etika pemerintahan. Etika yang keberlakuannya universal, nasional, dan lokal banyak terdapat pada berbagai sumbernya. Memang kesannya seolah-olah ada pemisahan antara etika yang digunakan untuk kehidupan pribadi dan etika untuk

33

menjalankan pekerjaan pemerintahan. Yang sebenarnya tidak demikian, karena etika pemerintahanpun mengandung asas-asas, nilai-nilai, dan norma-norma etik yang berasal dari sumber-sumber menurut tata norma/nilai yang dianut masyarakatnya, misalnya, agama (bagi penganutnya) dan kebudayaan. Asas-asas, nilai-nilai, dan norma-norma etik tersebut digunakan dalam menjalani kehidupan pribadi dan tugas pemerintahan dari mulai penetapan kebijakan, sampai pada implementasi dan pertanggung-jawabannya.

Jika sumbernya banyak, tentu nilai-nilai/norma-norma etiknya-pun banyak (bahkan sukar dihitung), karena itu diperlukan kemauan dan kerajinan dari diri pribadi aparatur pemerintah masing-masing untuk mencari, menghimpun, memahami, menghayati, dan mengaktualisasikan/mengaplikasikannya. Selain itu, tentu perlu ditunjang pula oleh pemerintah agar lebih termotivasi, terarah, dan seusai dengan kebutuhan sistem pemerintahan.

Hukum alam, yang bersumber dari pengetahuan atau pengalaman dan apabila diabaikan akan berakibat pengenaan sanksi dari alam berupa bencana alam.

Hukum alam, baik disadari atau tidak memberikan informasi dan tuntunan bagi manusia tentang bagaimana memperlakukan alam dengan baik. Karunia Tuhan yang diberikan kepada manusia melalui alam ini tidak terhitung banyaknya. Perbuatan manusia yang merusak alam, cepat atau lambat menimbulkan kerugian bagi diri manusia itu sendiri, misalnya terjadi perubahan iklim seperti yang dirasakan sekarang sehingga bencana alam terjadi di mana-mana dengan akibat yang lebih hebat dari sebelumnya. Aparatur

34

pemerintah, baik melalui kebijakannya maupun tindakan pribadi-pribadinya seyogyanya memperhatikan hukum alam ini.

Teologik, yang bersumber dari kesadaran dan keyakinan, dan apabila diabaikan akan berakibat pengenaan sanksi neraka atau azab dari Tuhan.

Pegangan teologik merupakan pegangan pribadi masing-masing yang meyakini atau mengimaninya. Semakin kuat keyakinan/imannya kepada Tuhan YME, semakin kuat pula ketaatannya terhadap berbagai tuntunan ataupun aturan teologik yang dianutnya. Bagi orang yang kuat beragama, perbuatan sehari-harinya akan merupakan aplikasi dari norma-norma yang ditetapkan Tuhannya. Motif ‘teogenetis’ (motif ke-Tuhanan) sangat mewarnai tindakan aparatur pemerintah yang kuat beragama agar perbuatannya dapat dipertanggungjawabkan bukan saja di hadapan masyarakat, tetapi juga di hadapan Tuhannya.