• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pola Aplikasi Etika Pemerintahan

ETIKA PEMERINTAHAN 3.1 Konsep Etika Pemerintahan

5) Peraturan Daerah

3.3 Aplikasi Etika Pemerintahan

3.3.2 Pola Aplikasi Etika Pemerintahan

Kata ‘pola’ digunakan untuk menunjukkan 1) kerangka untuk mencetak bentuk sesuatu (seperti pola baju), 2) keajegan bentuk sesuatu atau kejadian (seperti pola cuaca), dan 3) kerangka acuan (seperti pola dasar pembangunan). Yang akan digunakan dalam tulisan ini adalah kata pola yang berarti ‘kerangka bentuk untuk mencetak sesuatu.’ Dengan bertolak dari arti ini, yang dimaksud dengan pola aplikasi etika pemerintahan adalah kerangka proses

pembentukan perilaku aparatur pemerintah dalam mengaplikasikan etika pemerintahan. Kerangka proses yang

dialami seseorang dalam beretika menunjukkan bagaimana cara seseorang, baik yang disadari atau tidak disadarinya, memiliki pengetahuan, sikap mental dan keterampilan etik. Proses yang demikian dapat terjadi pada manusia yang berada dalam pergaulan sosial (keluarga, masyarakat, organisasi, pekerjaan).

Dari analisis atas hasil pengamatannya, Taliziduhu Ndraha (2006:246) berpendapat bahwa aplikasi etika pada umumnya dilakukan dengan 2 (dua) pola yaitu pola peragaan dan pola

pelakonan.

Kesatu, pola peragaan (gambar 2). Pola ini terjadi melalui

learning process (proses pembelajaran). Bermula dalam diri pelaku

budaya, dari suatu kebenaran, keyakinan, anggapan dasar atau kepercayaan dasar yang dipegang teguh sebagai pendirian, dan kemudian diaktualisasikan menjadi kenyataan (meraga) melalui sikap dan perilaku.

147

Kebenaran itu diperoleh melalui pengalaman atau pengkajian,

trial and error, dan pembuktian. Setiap kali pelaku menghadapi

masalah, solusi yang dipilih dan ditetapkannya adalah peragaan pendiriannya tersebut.

Secara teoritik, pola peragaan merupakan pola aplikasi etika yang ideal karena relatif lebih konsisten dan stabil daripada pola pelakonan. Pola peragaan didasari pendirian yang kuat pada diri seseorang tentang bagaimana beretika. Inilah pola yang menjadi pengantar yang kuat untuk menuju ke keadaan etika yang diaplikasikan atas kesadaran dan keteguhan diri pelaku.

Dengan pola peragaan, nilai etik yang dipegang seseorang menjadi nilai intrinsik (nilai yang menyatu di dalam jiwa), sehingga

self controll (kontrol diri) dalam mengaplikasikan normanya terjadi

dengan sendirinya. Apalagi jika pelaku memiliki kebebasan eksistensial yang kuat. Perbuatan etisnya sudah tidak mempersoalkan lagi diketahui atau tidak diketahui orang lain.

Dalam praktik pemerintahan, pola itu tidak dapat dipakai secara murni (seutuhnya), karena aparatur pemerintah berada

Gambar 2:

POLA PERAGAAN

SIKAP PERILAK RAGA (KENYATAAN)

PENDIRIAN di dalam pelaku

budaya

PERAGAAN PENDIRIAN

148

dalam bingkai aturan formal yang membatasi dirinya untuk menunjukkan kebebasan eksistensialnya. Karena itu, pola peragaan perlu digabungkan dengan pola pelakonan yang merupakan konsekuensi dari statusnya sebagai aparatur pemerintah.

Kedua, pola pelakonan (gambar 3). Pola ini terjadi melalui proses penurutan, peniruan, penganutan dan penaatan suatu skenario (tradisi, perintah) dari atas atau dari luar pelaku budaya yang bersangkutan.

Dalam pola pelakonan ini, aplikasi etika oleh aparatur pemerintah dipengaruhi pihak luar dirinya, dalam hal ini berupa karakteristik organisasi pemerintahan (struktur, kultur, proses, kepemimpinan, wewenang, dan tanggungjawab). Penurutan, peniruan, penganutan, dan penaatan terhadap norma etik lebih banyak dilakukan aparatur pemerintah dari perilaku orang-orang

Gambar 3:

POLA PELAKONAN

Penaatan Penganutan Peniruan

Penurutan Skenario

dari luar, dari atas

Tradisi, perintah

149

di dalam organisasi pemerintahan, terutama atasannya di masing-masing instansi/unit kerja.

Jika pola ini digunakan sepenuhnya (tanpa menggabungkan dengan pola peragaan) bisa jadi akan mengantarkan diri pelaku ke etika yang diaplikasikan secara terpaksa, bukan atas kesadaran, keihklasan, dan keteguhan diri pelaku.

Dalam pola pelakonan, sesuai dengan kedudukannya dalam struktur, seluruh bawahan perlu didampingi, diarahkan dan dibimbing oleh pejabat atau lembaga yang lebih atas menurut hierarki dalam struktur pemerintahan. Kalau tidak demikian bisa timbul ‘gangguan’ pada sistem. Apalagi sebagian besar aparatur pemerintah berada dalam struktur birokrasi pemerintahan yang salah satu karakteristiknya mempunyai standarisasi perilaku dan kinerja. Tanpa pola pelakonan, bisa terjadi aplikasi etika pemerintahan oleh aparatur pemerintah ada yang bertentangan dengan kepentingan sistemnya.

Jika dikaitkan dengan pendapat Immanuel Kant, seorang filsuf Jerman (dalam Bertens, 2007:256), pola peragaan merupakan aplikasi etika otonom (kehendak bebas dari dirinya sendiri), sedangkan pola pelakonan merupakan aplikasi etika heteronom (yang dikendalikan dari luar). Kedua pola ini sekalipun secara teoritik mudah dibedakan namun secara praktik tidak demikian. Keduanya membaur dan saling melengkapi/menguatkan. Mungkin pada saat seseorang belum menjadi aparatur pemerintah, aplikasi etika yang umum (selain etika pemerintahan) dilakukan melalui pola peragaan. Tetapi setelah mereka menjadi aparatur pemerintah mereka dituntut mengaplikasikan etika pemerintahan,

150

sehingga dalam waktu yang bersamaan, pola pelakonanpun dilakukan.

Contoh pengunaan kedua pola aplikasi etika pemerintahan oleh aparatur pemerintah terlihat dari hasil penelitian disertasi yang telah penulis lakukan beberapa tahun yang lalu (2007). Walaupun hasil penelitiannya memiliki keterbatasan transferabilitas karena konsep baru yang diangkat masih merupakan hasil penelitian secara kasuistis pada konteks kehidupan masyarakat di suatu daerah yakni di kabupaten Cianjur, namun dapat membantu pemahaman lebih dalam tentang pola aplikasi etika pemerintahan dengan pola peragaan dan pelakonan. Penulis memperoleh temuan bahwa etika pemerintahan yang bersumber dari agama (Islam) dan kebudayaan (Sunda) diaplikasikan oleh aparatur pemerintah (dalam hal ini petugas pelayanan publik perizinan) dengan pola peragaan karena mereka lebih akrab dengan sumber-sumber etika tersebut. Mereka telah belajar dan beradaptasi dalam waktu yang cukup lama di lingkungan sosial masyarakat Cianjur yang kulturnya Islami dan kesundaan (nyunda). Mereka tidak begitu akrab dengan sumber-sumber etika pemerintahan lainnya seperti ideologi negara, konstitusi, ketetapan MPR, undang-undang dan peraturan perundang-undangan lainnya. Kode Etik KORPRI walaupun sering diucapkan dalam apel pagi setiap hari Senin, tidak diketahui/ disadarinya sebagai sumber etika.

Agama, terutama Islam, sangat mewaranai kehidupan sosial masyarakat Cianjur. Para ulama/kiayi/ustadz di pesantren-pesantren, madrasah-madrasah, dan majelis-majelis pengajian merupakan nara sumber pengetahuan agama. Nara sumber

151

tersebut sering diundang pula untuk memberikan ceramah keagamaan di kantor-kantor dimana aparatur pemerintah (petugas pelayanan perizinan) bekerja terutama pada peringatan Hari-Hari Besar Islam (muludan, rajaban, dan sebagainya). Dari mereka didapatkan ajaran-ajaran etika menurut agama Islam (akhlaqulkarimah) yang bersumber dari Al Qur’an dan Al Hadist, yakni ajaran berperilaku baik kepada Allah SWT dan Rasul-Nya, kepada sesama manusia (makhluk) dan kepada lingkungan alam (termasuk hewan dan tumbuh-tumbuhan).

Dari kegiatan keagamaannya, mereka memperoleh pengetahuan mengenai berbagai nilai etik seperti setia, tulus hati, jujur, pema’af, benar, menepati janji, adil, memelihara kesucian diri, menjaga kehormatan, malu melanggar aturan, berani, menguasai jiwanya, sabar, kasih sayang, murah hati, mau menolong, damai, persaudaraan, hemat, menghormati tamu, rendah hati, menundukan diri kepada Allah, dan memelihara kebersihan. Para pegawai memperoleh pengetahuan tentang cara untuk mencegah ahlak yang buruk/tercela baik sebagai manusia maupun sebagai petugas dan balasan yang akan diterimanya, yakni kerugian/kesulitan hidup di dunia dan di akhirat.

Bagi aparatur pemerintah yang semakin kuat keimanannya tehadap Allah SWT akibat kerajinan mengikuti acara-acara keagamaan, terlihat semakin meningkat kesadaran etisnya yang ditunjukkan oleh perilakunya yang semakin baik. Mereka malu dan takut terhadap Allah SWT jika tidak berperilaku baik dalam kehidupan sehari-hari, termasuk dalam menjalankan tugasnya. Berbeda dengan aparatur pemerintah yang tidak rajin menimba ilmu agama, mereka hanya sedikit memiliki pengetahuan etika.

152

Apalagi jika keimanannya lemah, maka perilakunyapun kurang etis. Mereka sepertinya tidak kuat keyakinannya terhadap hari perhitungan (hisab) yang pasti akan dialaminya, sehingga mereka sedikit rasa malu dan takutnya terhadap Allah SWT. Akibatnya, dalam bahasa Sunda, tunggul dirarud catang dirumpak (apapun dilakukan tanpa mempedulikan halal-haramnya).

Pada umumnya aparatur pemerintah melaksanakan kegiatan-kegiatan ritual sesuai dengan ajaran Islam, seperti sembahyang wajib lima waktu, sembahyang Jum’at, dan menjalankan ibadah haji (pegawai yang mampu). Kegiatan lainnya juga dilakukan seperti mengikuti pengajian-pengajian, memberikan sedekah, melayat jenazah, menyantuni anak yatim, membangun mesjid/mushola, membaca Qur’an, menghormati ulama/ustadz, dan sebagainya. Kerukunan hidup beragama di lingkungan kantornya terpelihara, yang ditandai dengan tidak adanya konflik di antara pemeluk agama yang berbeda. Cara berpakaian pegawai wanita pada umumnya menurut kaidah agama (berjilbab), kecuali nonmuslim. Hampir di setiap kantor unit kerja daerah diselenggarakan sembahyang berjamaah setiap hari, pengajian Qur’an setiap pagi/Jum’at, dan menyelenggarakan perayaan hari-hari besar Islam (pengajian muludan, pengajian rajaban). Nilai-nilai keutamaan hidup dari agama yang dianutnya yang biasa dipelihara dalam kehidupannya di lingkungan keluarga atau di lingkungan masyarakat dimana mereka bertempat tinggal, dibawa pula ke dalam lingkungan kedinasannya dimana mereka bertugas. Nilai-nilai keutamaan hidup tertentu secara tidak disadari mewarnai sikap dan perilakunya dalam pergaulan hidup sehari-hari di lingkungan pekerjaannya.

153

Selain dari agama, perilaku mereka diwarnai pula oleh budaya yang berkembang dalam kehidupan keluarga dan masyarakat di sekitarnya. Karena masyarakat Cianjur merupakan bagian dari masyarakat Sunda, sebagian besar dari mereka berkehidupan “nyunda” (berperilaku menurut budaya suku bangsa Sunda). Pesan-pesan ketikan yang terdapat dalam berbagai unsur kebudayaan seperti telah dibahas dalam bagian terdahulu, disadari atau tidak mewarnai keetikannya.

Jika etika pemerintahan yang bersumber dari agama (Islam) dan kebudayaaan (Sunda) diaplikasikan dengan pola peragaan, etika pemerintahan yang bersumber dari perintah/petunjuk atasan diaplikasikan dengan pola pelakonan. Hal ini dapat dipahami, karena atasanlah terutama atasan langsung yang sehari-hari paling dekat dengan bawahannya dalam melakukan pekerjaan pemerintahan.

Dengan pola ini, bawahan meniru dan mengikuti aplikasi etika dari atasannya walaupun terkadang tak dapat diterima batinnya karena berbeda keyakinan dengan atasannya. Keadaan itu dapat dimengerti karena atasan mempunyai wewenang yang dapat ‘menentukan nasib’ bawahannya. Hubungan kerja atasan-bawahan di lingkungan birokrasi pemerintahan sangat kuat diwarnai sifat strukturnya yang sarat dengan standarisasi perilaku (birokrasi mesin) dan kinerja (birokrasi profesional). Atasan berwenang mengarahkan dan menilai perilaku bawahannya. Misalnya, dengan Peraturan Pemerintah No. 30 tahun 1980 tentang Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil, atasan diberikan wewenang untuk menjatuhkan sanksi ringan, sedang, dan berat kepada bawahannya yang melanggar disiplin. Penilaian dilakukan

154

oleh masing-masing atasan setiap tahun menurut tata cara yang diatur dalam PP No. 10 tahun 1979 tentang Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan Pegawai Negeri Sipil (dikenal dengan DP 3) yang meliputi aspek-aspek kesetiaan, prestasi kerja, tanggungjawab, ketaatan, kejujuran, kerjasama, prakarsa, dan kepemimpinan.

Dengan kondisi itu aplikasi etika pemerintahan dengan pola pelakonan diwarnai fear factor (faktor takut). Bawahan merasa takut kalau berbuat sesuatu yang menyebabkan atasannya tidak senang sekalipun mungkin menurut pandangan normatif yang diyakininya dapat dibenarkan. Selain itu, kultur hubungan

patron-klien juga mewarnai aplikasi etika pemerintahan dengan pola

pelakonan ini. Atasan patronnya, dan bawahan kliennya. Dengan dilatar-belakangi hubungan khusus misalnya atasan yang memberikan jasa baik kepada bawahannya dalam berbagai bentuk seperti promosi dan peluang untuk memperoleh penghasilan lebih; atasan diperlakukan sebagai patron yang begitu dipatuhinya oleh bawahan sebagai kliennya. Kadang-kadang bawahan sebagai klien ‘terpaksa’ melakukan sesuatu yang bertentangan dengan etika yang dianutnya karena atasan menghendakinya.

Sangat beruntung bagi bawahan yang memiliki atasan yang berkesadaran etis tinggi sehingga perintah/petunjuknya sarat dengan muatan etika. Sebaliknya, tidak beruntung bagi bawahan yang atasannya mengabaikan etika sehingga bisa jadi perintah/petunjuknya tidak etis. Karena itu, secara etis diwajibkan kepada setiap atasan pada masing-masing struktur pemerintahan untuk memberikan perintah/petunjuknya yang bernilai etik dan diwajibkan pula kepada bawahannya untuk menaati perintah/ petunjuk tersebut. Sebaliknya diwajibkan secara etis kepada

155

bawahan untuk tidak menaati perintah/petunjuk atasan yang bertentangan dengan norma etik dari sumber yang di atasnya, walaupun untuk berbuat itu diperlukan keberanian dan keihlasan menerima risiko yang mungkin harus ditanggungnya.

Pola peragaan dan pola pelakonan dapat saling melengkapi/menguatkan satu sama lainnya. Pendirian yang kuat dari aparatur pemerintah dalam mengaplikasikan etika dapat menunjang pembentukan iklim etis di instansi/unit kerjanya. Apalagi jika ditunjang oleh pimpinannya yang kuat berkomitmen untuk membangun kompetensi etik bawahannya. Kondisi demikian dapat memberikan ruang gerak yang lebih luas bagi bawahannya untuk mempertinggi tingkat keetikan perilakunya.

3.4 Contoh Kasus: Aplikasi Etika Pemerintahan Dalam