• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Tuntutan masyarakat yang makin besar terhadap pendidikan serta

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Tuntutan masyarakat yang makin besar terhadap pendidikan serta"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Tuntutan masyarakat yang makin besar terhadap pendidikan serta kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, membuat pendidikan tidak mungkin lagi dikelola hanya dengan melalui pola tradisional, di samping cara ini tidak sesuai lagi dengan kebutuhan dan tuntutan masyarakat. Revolusi ilmu pengetahuan dan teknologi, perubahan masyarakat, pemahaman cara belajar, kemajuan media komunikasi dan sebagainya memberikan arti tersendiri bagi kegiatan pendidikan dan tuntutan ini pulalah yang membuat kebijaksanaan untuk memanfaatkan media teknologi dan pendekatan teknologis dalam pengelolaan pendidikan. Pendidikan sebagai bagian dari kebudayaan merupakan sarana penerus nilai-nilai, gagasan-gagasan, sehingga setiap orang mampu berperan serta dalam transformasi nilai demi kemajuan bangsa dan negara. Hal ini berarti bahwa pendidikan adalah wadah untuk mentransformasikan ilmu pengetahuan dan teknologi demi kepentingan hidup manusia (Danim, 1995).

Dunia pendidikan mengalami berbagai perubahan menuju ke arah perkembangan sebagai upaya untuk menyesuaikan diri dengan perkembangan teknologi (Darwanto, 2007). Pemanfaatan teknologi komunikasi untuk kegiatan pendidikan, teknologi pendidikan serta media pendidikan dilakukan dalam rangka kegiatan belajar mengajar. Melalui pendekatan ilmiah, sistematis, dan rasional, maka tujuan pendidikan yang efektif dan efisien akan tercapai (Danim, 1995).

(2)

Media elektronik televisi sebagai salah satu bentuk teknologi komunikasi yang banyak mendapat perhatian akhir-akhir ini telah menunjukkan pengaruhnya yang sangat besar, yaitu dalam berlangsungnya perubahan sosial, dalam penyebaran budaya populer, dan dalam mempengaruhi bahkan membentuk persepsi masyarakat terhadap realitas hidup (Miarso, 2004).

Perkembangan teknologi televisi memang kian tidak terkendali dan hal ini berpengaruh ke dalam segala aspek kehidupan serta sangat dirasakan khususnya oleh negara-negara berkembang termasuk di Indonesia. Dalam dunia pendidikan mengakibatkan berbagai perubahan menuju ke arah perkembangan sebagai upaya untuk menyesuaikan diri dengan perkembangan dan kemajuan teknologi tersebut. Dengan demikian, antara keduanya terjadi saling mengisi (Darwanto, 2007).

Kehadiran televisi yang belum tentu bernilai edukatif merupakan produk teknologi canggih yang tidak terpisahkan dari kehidupan setiap individu. Televisi memang berwajah dua, satu sisi positif dan sisi lainnya bisa berwajah menyeramkan atau negatif. Pada saat tertentu televisi dapat menjadi media yang bernilai tontonan dan sekaligus tuntunan. Pada saat yang lain, televisi juga dapat menjadi media yang bernilai sebaliknya. Pada era teknologi informasi semua informasi dari manapun datangnya akan masuk ke rumah setiap individu tanpa permisi. Satu hal yang dapat dilakukan oleh orangtua dan masyarakat adalah membentengi anak dengan nurani dan moralitas yang tangguh melalui pendidikan yang mencerdaskan (Suparlan, 2004).

(3)

Medium televisi pada dasarnya memang tidak diciptakan untuk fungsi pendidikan, melainkan untuk hiburan dan penerangan. Meskipun demikian banyak yang berpendapat bahwa idealnya ketiga fungsi itu (pendidikan, hiburan, dan penerangan) tergabung menjadi satu, yakni bahwa hiburan mengandung nilai edukatif dan normatif, dan informasi harus mendidik dan menghibur. Bersamaan dengan makin berkembangnya penyiaran televisi, berkembang pula keprihatinan dan kepedulian sebahagian individu tentang isi pesan yang terkandung dalam penyiaran itu. Hal yang menjadi permasalahan adalah bagaimana potensi televisi yang besar itu dapat diambil manfaatnya dalam keperluan belajar (Miarso, 1994).

Televisi memang telah memberikan kesempatan bagi instruksi teknologi ketika pada waktu yang bersamaan televisi ternyata juga menyebabkan masalah di mana anak menghabiskan waktu mereka sebelum layar televisi menayangkan program-program komersial serta tanpa bimbingan untuk memperhatikan nilai dari apa yang sedang mereka tonton. Para psikolog dan pendidik harus turut bertanggung jawab atas efek menonton televisi tersebut karena hal ini menjadi sebuah bagian yang cukup penting dari pengalaman sang anak tersebut (Berliner & Calfee, 1996).

Beberapa anak menghabiskan banyak waktunya di depan televisi daripada berkumpul dengan orangtua mereka. Pada tahun 1990-an, anak menonton televisi rata-rata 26 jam dalam seminggu. Hal ini tentu saja telah mengurangi jumlah waktu anak untuk mengerjakan pekerjaan rumah dan aktivitas yang berhubungan dengan sekolah. (Santrock, 2004). Bahkan berdasarkan hasil perhitungan yang dilakukan oleh YPMA (Yayasan Pengembangan Media Anak) pada tahun 2006

(4)

bahwa jumlah jam menonton televisi pada anak di Jakarta-Bandung mendapati angka sekitar 1.600 jam dalam setahun sementara anak belajar di sekolah dalam setahun hanya 740 jam (Guntarto, 2007). Sementara berdasarkan hasil pra-survei di SMP Negeri 1 Medan sendiri didapatkan bahwa jumlah jam menonton yang siswa miliki sangat tinggi, yakni sekitar 1.800 jam dalam setahun atau 35 jam dalam seminggu. Hal ini tentu menunjukkan bahwa jumlah jam menonton para siswa semakin meningkat dari tahun ke tahun di mana berarti pula bahwa media televisi telah berhasil mempengaruhi pemirsanya yang selalu menantikan setiap sajian yang televisi berikan untuk mereka.

Namun berbagai kekhawatiran yang semula ada tampaknya juga kurang terbukti di mana masyarakat telah mengubah sudut pandangnya mengenai televisi ke arah yang lebih positif. Jadi kalau semula televisi dipersalahkan karena menyebabkan anak enggan ke sekolah, kini masyarakat mulai menyadari bahwa mungkin sekolahlah yang salah karena tidak berhasil memberikan sesuatu yang menarik dan merangsang anak. Guru pun mulai menyadari bahwa pengetahuan dan kemampuannya perlu ditingkatkan terus-menerus, agar dapat mengimbangi jiwa siswa-siswa yang semakin kritis (Miarso, 1994).

Hal senada diungkapkan oleh Mahdarina, 29 tahun/orangtua (Komunikasi Personal, 11 Januari 2008) mengenai media televisi, yaitu :

“...yah mungkin juga bukan televisi yang salah, kadang kita tu gak sadar... Ya sebenarnya ya kita sendiri lah yang harus bentengi diri kita, ya kalo saya sebagai orangtua, yah harus jaga anak supaya jangan di depan tivi aja...kadang sekolah ni juga kan formal kali sifatnya...anak kan kadang gak suka yang formal-formal kek gitu, maunya sekolah bisa pinter-pinter bikin apa kek gitu supaya anak rajin belajar, gak nonton tivi aja kerjanya...”

(5)

Bagi remaja, televisi telah memberikan sebuah dunia yang berbeda dengan segala sesuatu yang ada di mana mereka tinggal. Hal ini berarti bahwa melalui televisi, remaja dipertunjukkan sebuah variasi yang lebih mendalam mengenai pandangan dan pengetahuan daripada ketika mereka hanya diinformasikan oleh orang tua, guru, dan juga teman sebaya (Santrock, 1996).

Tahap operasional formal merupakan suatu tahap perkembangan kognitif bagi para remaja, di mana idealnya para remaja sudah memiliki pola pikir sendiri dalam usaha memecahkan masalah-masalah yang kompleks dan abstrak (Setiono, 2002). Menurut Soendjojo (dalam Guntarto, 2004), pada tahap operasional formal ini, remaja seharusnya memiliki minat terhadap televisi yang mulai menurun, kemampuan memahami dan mengingat isi pokok acara lebih meningkat, kemampuan menangkap isi cerita berkembang dengan baik, kemampuan yang baik untuk menyatukan hubungan antar adegan, perhatian pada iklan mulai menurun, mengganti saluran televisi jika ada iklan muncul, kurang percaya pada iklan, lebih mampu mengingat dan memahami iklan, serta memahami maksud dan persuasif dari iklan.

Berbagai tayangan sinetron di televisi dengan tema remaja berkecenderungan mengekploitasi kehidupan remaja dalam satu sisi semata. Apabila muncul plot cerita, terjadi simplifikasi, penyederhanaan dengan kasus-kasus yang sangat tipologis, dan mengabaikan sisi sosiologis dan psikologisnya. Akibatnya remaja tidak memiliki kesempatan mempelajari hakikat kehidupan yang sebenarnya, selain hanya melihat yang serba artifisal. Demikian pula dalam pembentukan tipe idealitas, media televisi bisa menjadi pelaku atau hanya sekadar

(6)

agen perantara bagi munculnya konsep-konsep tertentu bagi para remaja (Wirodono, 2006).

Tanpa disadari atau tidak, televisi memang telah menjadi suatu media pembelajaran bagi remaja. Secara tidak langsung, siaran televisi telah dapat mempengaruhi sikap dan cara berpikir remaja tersebut. Bandura (dalam Parsons, 2001) mengemukakan tentang figur observational learning atau disebut juga dengan modelling mengenai pengaruh televisi terhadap perilaku remaja yaitu merupakan suatu strategi pembelajaran sosial di mana mengutamakan pembelajaran dengan menonton atau meniru figur lain. Kekuatan potensial dari modelling secara langsung ataupun tidak telah mempengaruhi remaja bahwa hasil modelling terhadap tayangan televisi merupakan hal-hal yang harus dipertimbangkan, dikaji ulang, serta diteliti kembali.

Seperti yang dikemukakan oleh Siti Arima, 12 tahun/kelas 1 SMP (Komunikasi Personal, 9 September 2007) mengenai tayangan televisi yaitu :

“... tayangan tivi tuh ada yang bagus dan ada yang jelek, yang bagusnya sinetron-sinetron Ramadhan karena bisa nambah ilmu agama sedikit-sedikit, yang jeleknya seperti sinetron-sinetron remaja yang pake baju seksi...trus yang miskin diinjak-injak...perlu lah ada pelajaran tentang tivi...cocok gak ama kenyataan kita...tapi didampingi orangtua...pagi itu waktu yang tepat buat nonton, karena kalo malam kan belajar...”

Berdasarkan pemaparan tersebut, tidak semua tayangan televisi mempunyai akibat negatif dan menciptakan suatu figur observational learning yang dapat berdampak buruk bagi para remaja. Remaja yang idealnya telah berada pada tahap perkembangan kognitif operasional formal berusaha untuk menyeleksi tayangan yang tepat untuk ditonton. Untuk itulah diperlukan sebuah pelajaran

(7)

mengenai televisi agar remaja memahami tentang tayangan televisi yang tidak selalu sesuai dengan kenyataan hidup.

Literacy, yang mana sedang berkembang saat ini merupakan hal yang memungkinkan bagi perkembangan remaja untuk mengerti dan menggunakan beberapa sistem abstrak yang menopang representasi yang bervariasi dari dunia nyata di mana dia berada; salah satunya adalah narasi audio-visual yang nyata dari televisi (Davies, 1997).

Menonton televisi dapat menjadi suatu kegiatan pasif yang mematikan apabila orang tua tidak mengarahkan apa-apa yang boleh dilihat oleh para remaja dan sekaligus mengajarkan remaja tersebut untuk menonton secara kritis serta untuk belajar dari apa-apa yang mereka tonton (Greenfield, 1989 dikutip dari Darwanto, 2007).

Untuk mengendalikan pengaruh negatif dari media khususnya televisi ini diperlukan pembekalan diri tentang media literacy. Pemahaman media literacy yang diperoleh sejak usia dini diperkirakan dapat mengendalikan pengaruh negatif dari media tersebut. Oleh sebab itu media literacy sebaiknya diperkenalkan sejak usia dini melalui proses pembelajaran di lingkungan keluarga dan memperoleh kesinambungan dari lingkungan luar keluarga seperti kelompok sosial informal ataupun sekolah (Dina, 2002).

Seperti tersebut di atas, media televisi sangat berpengaruh dalam pendidikan apabila melibatkan orangtua untuk memberikan pengarahan. Sebab belajar pada hakikatnya tidak mungkin dapat dilakukan tanpa adanya usaha dari anak sendiri dan melibatkan pihak lain untuk aktif dalam proses belajar. Karena

(8)

itulah, khususnya bagi negara berkembang (termasuk Indonesia) perlu digalakkan media literacy ini terhadap tayangan televisi (Darwanto, 2007).

Media literacy menjelaskan cara-cara agar remaja mampu mengkritisi media yang dibantu oleh orang tua. Beberapa hal yang bisa diterapkan antara lain dengan membatasi jam menonton televisi, memonitor media apa saja yang dikonsumsi termasuk televisi. Memberikan penjelasan yang mereka butuhkan, menanyakan perasaan mereka setelah menyaksikan tayangan televisi, membantu mereka agar mampu membedakan antara yang fiktif dan yang riil. Sehingga para remaja menjadi tahu bahwa semua itu ada konsekuensinya (Khairina, 2006).

Remaja yang mengerti bahwa apa yang ditampilkan oleh media tidaklah nyata, mereka tidak akan mudah untuk mengadopsi sikap tidak sehat atau perilaku yang ditampilkan oleh media tersebut. Melalui media literacy, remaja mampu mengakses, menganalisa, mengevaluasi, bahkan memproduksi media. Beberapa studi menyatakan bahwa beberapa pendidikan pada kenyataannya kurang menyentuh remaja. Studi mengenai program media literacy yang berusaha untuk mendidik remaja mengenai advertising, sebagai contoh yang telah ditunjukkan secara efektif dalam meningkatkan keterampilan menonton yang kritis mengenai advertising (DeBenedittis, 2005).

Berbagai pengukuran terhadap media literacy remaja telah menjadi perhatian, dengan adanya pengertian mereka terhadap hubungan antara kenyataan dengan gambaran yang mewakili. Mengajarkan remaja untuk mengerti bagaimana proses mengedit visual yang mungkin digunakan dalam cara-cara literasi ini harusnya menjadi sebuah bagian dari pendidikan media literacy (Davies, 1997).

(9)

Sadiman (1996) menyatakan bahwa televisi merupakan media yang menyampaikan pesan-pesan pembelajaran secara audio-visual dengan disertai unsur gerak. Dilihat dari sudut jumlah penerima pesannya televisi tergolong ke dalam media massa. Wirodono (2006) menyatakan bahwa media televisi dengan tingkat penetrasi yang tinggi dibanding media-media massa lainnya, mempunyai tingkat efektivitas dan efisiensi besar dalam mempengaruhi pikiran, perasaan, emosi dan akhirnya perilaku serta karakter seseorang. Apalagi jika televisi itu dikonsumsi oleh seseorang yang tidak memiliki daya imunitas tertentu karena keterbatasan nalar atau emosinya. Maka dari itu dibutuhkan sebuah literacy televisi.

Pengertian literacy televisi mungkin memberi kesempatan untuk menghubungkan dua area dari pendidikan media (tentang apa yang remaja telah siap ketahui mengenai televisi dan untuk menanyakan bagaimana mengidentifikasikan apa yang remaja telah ketahui) serta penelitian penonton terhadap dasar yang menjadi garis besar mengenai bahasa (Buckingham, 1993).

Hubungan antara pengendalian pengaruh negatif televisi pada remaja sangat dipengaruhi banyak hal. Seperti telah disebutkan di atas adalah dengan media literacy. Banyak cara yang dapat dipilih untuk menyampaikan pembelajaran media literacy ini diantaranya adalah melalui pendekatan humanistik. Proses pembelajaran yang diterapkan menggunakan pendekatan teori belajar humanistik sebagai upaya mengembangkan strategi dan teknologi yang lebih manusiawi dalam rangka memberikan ketahanan dan ketrampilan manusia dalam menghadapi kehidupan yang terus menerus berubah. Pendidik diharapkan

(10)

mampu memfasilitasi aspek kognitif, afektif dan psikomotorik anak didik dalam proses pembelajaran. Sehingga terbangun suasana belajar yang kondusif dan siswa mampu belajar mandiri (self directed learning) dengan metode learning by doing yang dapat mewujudkan ekspresi cara berpikir kreatif dan aktif (Dina, 2002).

Pendidikan media literacy merupakan pendidikan kecakapan hidup, sehingga penerapannya sangat praktis untuk dilakukan. Pendidikan media literacy memiliki nilai lebih, karena pendidikan ini menempatkan anak didik sebagai subjek. Hal tersebut membuat perkembangan emosi, pola pikir, karakter, serta perilaku anak didik lebih terkontrol, karena anak didik dibekali dengan kemampuan untuk memilih dan memaknai pesan media, sehingga anak didik bukan lagi sebagai imitator media. Hal tersebut menunjukkan bahwa pendidikan media literacy tidak hanya mencakup kemampuan kognitif, tetapi juga membangun daya analisis, membuat anak didik dapat menyikapi apa yang terjadi di luar dirinya (Yayasan Pengembangan Media Anak, 2006).

Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia (YKAI) telah melakukan sebuah proyek percontohan untuk mengupayakan tumbuhnya media literacy dengan tujuan agar anak mampu berinteraksi dengan media terutama televisi secara kritis melalui pembelajaran media literacy di sekolah dan di rumah serta untuk mendisain dan mengevaluasi kurikulum dan metode pembelajaran media literacy dengan fokus media televisi (Guntarto & Dina, 2002).

Pembelajaran media literacy diharapkan mencakup “segala cara mengkaji, mempelajari dan mengajarkan pada semua tingkat (dasar, menengah, tinggi,

(11)

dewasa dan pendidikan seumur hidup) dan dalam semua konteks, sejarah, kreativitas, penggunaan dan evaluasi media sebagai suatu ketrampilan teknis dan praktis sekaligus sebagai lahan yang ditempati oleh media dalam masyarakat, dampak sosialnya, implikasi komunikasi bermedia, partisipasi, modifikasi modus dari persepsi yang dihasilkannya, peran karya kreatif dan akses ke media” (UNESCO, 1979 dalam Nasution, 1994).

Menurut Dina (2002), pembelajaran media literacy lebih banyak dioptimalkan melalui jalur sekolah. Pendekatan yang digunakan dalam menyampaikan media literacy di sekolah umumnya adalah model inkuiri. Menurut Pusat Perbukuan Departemen Pendidikan Nasional (2003), belajar berbasis inkuiri (inquiry based-learning) ini merupakan belajar dengan pendekatan pengajaran menggunakan strategi pembelajaran yang mengikuti metodologi sains dan menyediakan kesempatan untuk pembelajaran bermakna.

Guntarto & Dina (2002) menyatakan bahwa setelah siswa memperoleh pembelajaran mengenai media literacy dengan fokus media televisi, maka diharapkan para siswa mengetahui bagaimana berinteraksi dengan televisi secara kritis, memiliki sikap dan keinginan yang positif terhadap pola menonton televisi yang kritis, mengurangi jumlah jam menonton televisi dan dapat memilih acara televisi yang aman.

Media terutama televisi sering sekali melebih-lebihkan kejadian menjadi terlihat sangat luar biasa dan terkadang melengkapi informasi-informasi yang diberikan berdasarkan sumber-sumber yang kurang reliabel. Tidak ada suatu garansi bahwa media televisi memberikan suatu kebenaran. Keterampilan berpikir

(12)

kritis sangat diperlukan dalam hal ini untuk membuat suatu kesimpulan mendalam mengenai apa yang seseorang percaya dan lakukan, termasuk proses untuk mengevaluasi argumen terhadap informasi apapun yang diterima (Moore, 2004).

Pada umumnya, proses mental mengenai berpikir tentang berpikir, dan berpikir tentang yang orang lain pikirkan telah ditunjukkan untuk memperbaiki periode selama duduk di bangku sekolah dasar (Gardner, 1991 dalam Davies, 1997). Namun bagaimanapun, Buckingham, 1988 (dalam Davies, 1997) membantah bahwa level proses yang lebih tinggi mungkin telah dikembangkan pada usia dini dalam memproses material-material televisi, dimana menghendaki remaja yang berada pada tahap perkembangan kognitif operasional formal ini untuk mengikuti narasi yang kompleks dan membuat atribusi pragmatik tentang karakter dan kejadian-kejadian.

Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka dianggap penting untuk mengadakan penelitian dengan judul efektivitas pembelajaran media literacy televisi terhadap media literacy pada remaja.

B. Identifikasi Permasalahan

Perumusan masalah dalam penelitian ini adalah : “Apakah pembelajaran media literacy televisi efektif terhadap media literacy pada remaja?”

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk melihat efektivitas pembelajaran media literacy televisi terhadap media literacy pada remaja.

(13)

D. Manfaat Penelitian

Melalui penelitian ini diharapkan dapat diperoleh manfaat, antara lain: 1. Manfaat teoritis

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dalam memperkaya kajian ilmu psikologi, khususnya di bidang psikologi pendidikan mengenai pembelajaran media literacy televisi bagi remaja.

2. Manfaat praktis

a. Dapat digunakan sebagai informasi mengenai pembelajaran media literacy televisi sehingga diharapkan dapat membantu sistem pendidikan sekolah untuk mengembangkan langkah-langkah tertentu untuk menumbuhkan pembelajaran media literacy terhadap media televisi.

b. Penelitian ini juga dapat dijadikan bahan bagi peneliti-peneliti lain yang ingin mengadakan penelitian lanjutan tentang pembelajaran media literacy televisi.

E. Sistematika Penulisan Bab I : Pendahuluan

Berisikan uraian latar belakang mengenai media literacy serta pembelajaran media literacy televisi pada remaja, identifikasi permasalahan, tujuan penelitian serta manfaat penelitian.

(14)

Bab II : Landasan Teori

Berisikan teori-teori mengenai media literacy yang mencakup pengertian dan elemen-elemen. Teori tentang televisi, media literacy televisi, pembelajaran media literacy televisi, dan tahap perkembangan remaja serta mengemukakan hipotesis penelitian.

Bab III : Metodologi Penelitian

Berisikan identifikasi variabel penelitian, defenisi operasional variabel penelitian, rancangan penelitian, teknik kontrol, populasi dan metode pengambilan sampel, instrumen dan alat ukur, prosedur pelaksanaan penelitian, dan metode analisis data untuk pengujian hipotesis yang digunakan peneliti dalam penelitian.

Bab IV : Analisa Data dan Hasil Penelitian

Berisi pengolahan dan pengorganisasian data penelitian serta membahas data-data penelitian dengan teori yang relevan.

Bab V : Kesimpulan, Diskusi dan Saran

Berisikan kesimpulan dan diskusi mengenai hasil penelitian serta saran-saran berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh.

Referensi

Dokumen terkait

Apa kendala yang dihadapi hakim Pengadilan Negeri Surakarta dalam menerapkan asas Audi Et Alteram Partem pada tahap pembuktian dalam sengketa perdata dan bagaimana

Deskripsi Matakuliah : Matatakuliah ini mengkaji : pendekatan dan sistematika filsafat, filsafat pendidikan, kebudayaan sebagai isi pendidikan, teori-teori kebenaran, teori

• Praktik dispensing yang baik adalah suatu proses praktik yg memastikan bahwa suatu bentuk yg efektif dari obat yg benar. – Dihantarkan kepada pasien

Secara lengkapnya adalah sebagai berikut: Bab I merupakan bab pendahuluan yang berisikan : a Latar Belakang Penelitian, b Identifikasi Masalah Penelitian, c Rumusan Masalah, d

Berdasarkan hasil analisis yang dikemukakan di atas ternyata hipotesis alternatif yang diajukan diterima kebenarannya, selanjutnya akan dikemukakan pembahasan yang lebih

[r]

4) Jika sumber itu merupakan karya tulis seseorang dalam suatu kumpulan tulisan banyak orang. Cara penulisan urut dimulai dari nama pengarang, tahun., judul kumpulan tulisan,

Media pokok yang sering digunakan oleh guru pada saat mengajar adalah buku fiqih terbitan Tiga Serangkai, Buku Lembar Kerja Siswa (LKS) dan Al-Qur’an dan