• Tidak ada hasil yang ditemukan

Referat Tonsilitis Difteri

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Referat Tonsilitis Difteri"

Copied!
36
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

Difteri adalah suatu penyakit infeksi akut yang sangat menular, disebabkan oleh karena toxin dari bakteri dengan ditandai pembentukan pseudomembran pada kulit dan atau mukosa dan penyebarannya melalui udara. Penyebab penyakit ini adalah Corynebacterium Diphteriae, dimana manusia merupakan salah satu reservoir dari bakteri ini. (1)

Infeksi biasanya terdapat pada faring, laring, hidung dan kadang pada kulit, konjugtiva, genitalia dan telinga. Infeksi ini menyebabkan gejala -gejala lokal dan sistemik,efeksistemik terutama karena eksotoksin yang dikeluarkan oleh mikroorganisme pada tempat infeksi. Masa inkubasi kuman ini antara 2 - 5 hari, penularan terjadi melalui kontak dengan penderita maupun carrier. (2)

Difteri merupakan penyakit yang harus didiagnosa dan diterapi dengan segera. Bayi baru lahir biasanya membawa antibody secara pasif dari ibunya yang biasanya akan hilang pada usia 6 bulan, oleh karena itu bayi-bayi diwajibkan di vaksinasi, yang mana vaksinasi ini telah terbukti mengurangi insidensi penyakit tersebut. (5)

Walaupun difteri sudah jarang di berbagai tempat di dunia, tetapi kadang-kadang masih ada yang terkena oleh penyakit tersebut. Di Indonesia difteri banyak terdapat di daerah berpenduduk padat dan keadaan lingkungan yang buruk dengan angka kematian yang cukup tinggi, 50% penderita difteri meninggal dengan gagal jantung. Kejadian luar biasa ini dapat terjadi terutama pada golongan umur rentan yaitu bayi dan anak. Tapi akhir-akhir ini berkat adanya Program Pengembangan Imunisasi (PPI) maka angka kesakitan dan kematian menurun secara drastis. (3)

(2)

BAB II

ANATOMI DAN IMUNOLOGI TONSIL II.1 Definisi

Tonsil adalah massa yang terdiri dari jaringan limfoid dan ditunjang oleh jaringan ikat dengan kriptus di dalamnya. Terdapat 3 macam tonsil yaitu tonsil faringal ( adenoid ), tonsil palatina dan tonsil lingual yang ketiga-tiganya membentuk lingkaran yang disebut cincin Waldeyer.(1)

II.2Anatomi dan Embriologi Tonsil (2) Embriologi :

Pada permulaan pertumbuhan tonsil, terjadi invaginasi kantong brakial ke II ke dinding faring akibat pertumbuhan faring ke lateral. Selanjutnya terbentuk fosa tonsil pada bagian dorsal kantong tersebut, yang kemudian ditutupi epitel. Bagian yang mengalami invaginasi akan membagi lagi dalam beberapa bagian, sehingga terjadi kripta. Kripta tumbuh pada bulan ke 3 hingga ke 6 kehidupan janin, berasal dari epitel permukaan.Pada bulan ke 3 tumbuh limfosit di dekat epitel tersebut dan terjadi nodul pada bulan ke 6, yang akhirnya terbentuk jaringan ikat limfoid. Kapsul dan jaringan ikat lain tumbuh pada bulan ke 5 dan berasal dari mesenkim, dengan demikian terbentuklah massa jaringan tonsil.

Secara histologis tonsil mengandung 3 unsur utama yaitu jaringan ikat atau trabekula (sebagai rangka penunjang pembuluh darah, saraf dan limfa), folikel germinativum (sebagai pusat pembentukan sel limfoid muda) serta jaringan interfolikel (jaringan limfoid dari berbagai stadium).

(3)

Gambar 1. Gambaran Histologi Tonsil

Anatomi Tonsil: a)Tonsil palatina

Tonsil palatina adalah suatu massa jaringan limfoid yang terletak di dalam fosa tonsil pada kedua sudut orofaring, dan dibatasi oleh pilar anterior (otot palatoglosus) dan pilar posterior (otot palatofaringeus). Tonsil berbentuk oval dengan panjang 2-5 cm, masing-masing tonsil mempunyai 10-30 kriptus yang meluas ke dalam jaringan tonsil. Tonsil tidak selalu mengisi seluruh fosa tonsilaris, daerah yang kosong diatasnya dikenal sebagai fosa supratonsilar. Tonsil terletak di lateral orofaring. Pada kutub atas tonsil seringkali ditemukan celah intratonsil yang merupakan sisa kantong faring yang kedua. Kutub bawah tonsil biasanya melekat pada dasar lidah. Permukaan medial tonsil bentuknya beraneka ragam dan mempunyai celah yang disebut kriptus. Epitel yang melapisi tonsil adalah epitel squamosa yang juga meliputi kriptus. Di dalam kriptus biasanya ditemukan leukosit, limfosit, epitel yang terlepas, bakteri dan sisa makanan. Permukaan lateral tonsil melekat pada fasia faring yang sering juga disebut kapsul tonsil. Kapsul ini tidak melekat erat pada otot faring sehingga mudah dilakukan diseksi pada tonsilektomi. Dibatasi oleh:

1. La t er a l – m. ko n s t r i k t o r f a r i n g s u p er i o r 2 . A n t e r i o r – m . p a l a t o g l o s u s

(4)

3 . P o s t e r i o r – m . p a l a t of a r i n geu s 4 . S u p e r i o r – p a l a t u m m o l e 5 . I n f e r i o r – t o n s i l l i n g u a l

. Gambar 2. Anatomi tonsil

Cincin Waldeyer merupakan jaringan limfoid yang mengelilingi faring. Bagian terpentingnya adalah tonsil palatina dan tonsil faringeal (adenoid). Unsur yang lain adalah tonsil lingual, gugus limfoid lateral faring dan kelenjar-kelenjar limfoid yang tersebar dalam fosa Rosenmuller, di bawah mukosa dinding posterior faring dan dekat orifisium tuba eustachius.

(5)

Gambar 3. Cincin Waldeyer

Fosa Tonsil

Fosa tonsil atau sinus tonsil dibatasi oleh otot-otot orofaring, yaitu batas anterior adalah otot palatoglosus, batas lateral atau dinding luarnya adalah otot konstriktor faring superior. Pilar anterior mempunyai bentuk seperti kipas pada rongga mulut, mulai dari palatum mole dan berakhir di sisi lateral lidah. Pilar posterior adalah otot vertical yang ke atas mencapai palatum mole, tuba eustachius dan dasar tengkorak dan ke arah bawah meluas hingga dinding lateral esophagus, sehingga pada tonsilektomi harus hati-hati agar pilar posterior tidak terluka. Pilar anterior dan pilar posterior bersatu di bagian atas pada palatum mole, ke arah bawah terpisah dan masuk ke jaringan di pangkal lidah dan dinding lateral faring.

Kapsul Tonsil

Bagian permukaan lateral tonsil ditutupi oleh suatu membran jaringan ikat, yang disebut kapsul. Walaupun para pakar anatomi menyangkal adanya kapsul ini, tetapi para klinis menyatakan bahwa kapsul adalah jaringan ikat putih yang menutupi 4/5 bagian tonsil.

(6)

Plika Triangularis

Di antara pangkal lidah dan bagian anterior kutub bawah tonsil terdapat plika triangularis yang merupakan suatu struktur normal yang telah ada sejak masa embrio. Serabut ini dapat menjadi penyebab kesukaran saat pengangkatan tonsil dengan jerat. Komplikasi yang sering terjadi adalah terdapatnya sisa tonsil atau terpotongnya pangkal lidah.

Pendarahan

Tonsil mendapat pendarahan dari cabang-cabang A. karotis eksterna, yaitu :

1. A. Maksilaris eksterna (A. fasialis) dengan cabangnya A. tonsilaris dan A. Palatina asenden. 2. A. Maksilaris interna dengan cabangnya A. palatina desenden.

3. A. Lingualis dengan cabangnya A. lingualis dorsal. 4. A. Faringeal asenden.

Kutub bawah tonsil bagian anterior diperdarahi oleh A. lingualis dorsal dan bagian posterior oleh A. palatine asenden, di antara kedua daerah tersebut diperdarahi oleh A. tonsilaris. Kutub atas tonsil diperdarahi oleh A. faringeal asenden dan A. palatina desenden. Vena-vena dari tonsil membentuk pleksus yang bergabung dengan pleksus dari faring. Aliran balik melalui pleksus vena di sekitar kapsul tonsil, vena lidah dan pleksus faringeal.

(7)

Aliran getah bening

Aliran getah bening dari daerah tonsil akan menuju rangkaian getah bening servikal profunda (deep jugular node) bagian superior di bawah M.Sternokleidomastoideus, selanjutnya ke kelenjar toraks dan akhirnya menuju duktus torasikus. Tonsil hanya mempunyai pembuluh getah bening eferen sedangkan pembuluh getah bening aferen tidak ada.

Persarafan

Tonsil bagian atas mendapat sensasi dari serabut saraf V melalui ganglion sfenopalatina dan bagian bawah dari saraf glossofaringeus (N.IX).

G a m b a r 5 . P er s a r a f an t on s i l b ) A d e n oid( 3 ) A d en o i d a t a u t on s i l a f a r i n ga l a d a l a h j a ri n gan l i mf o ep i t el b er b en t u k t r i a n gu l a r y a n g t er l e t a k p ad a a s p ek p o s t er i o r . A d en oi d b er b a t a s a n d en ga n k a v um n as i d an s i n us p ar a n a s a l i s p a da b a gi a n an t er i o r , ko mp l ek s t u b a eu s t a c h i u s - t el i n ga t en ga h - k av u m m as t o i d p a d a b a gi a n l a t e r a l . T er b en t u k s ej a k bu l a n k et i ga h i n gga k et u j u h em b r i o gen es i s . A d en oi d a k a n t e r u s b er t u m b uh h i n gga u s i a ku r a n g l eb i h 6 t a h u n , s et e l a h i t u a k an m en ga l a m i r e gr es i . A d en oi d t el a h m en j a di t em p a t k o l on i s a s i k u m an s ej a k l a h i r . U k u r an

(8)

m a k s i mu m a d en oi d t er c a p a i p a d a us i a an t a r a 3 - 7 t ah u n . P em b es a r a n y a n g t er j a d i s el a m a us i a k an a k- k an a k mu n c u l s eb a ga i r es p on mu l t i a n t i gen s ep er t i v i r us , b a k t e r i , a l er gen , m a k an a n d a n i r i t a s i l i n gk u n gan .

Gambar 5. Adenoid

II.3 Imunologi Tonsil

Tonsil merupakan jaringan limfoid yang mengandung sel limfosit, 0,1-0,2% dari keseluruhan limfosit tubuh pada orang dewasa. Proporsi limfosit B dan T pada tonsil adalah 50%:50%, sedangkan di darah 55-75%:15-30%. Pada tonsil terdapat sistem imun kompleks yang terdiri atas sel M (sel membran), makrofag, sel dendrit dan APCs (antigen presenting cells) yang berperan dalam proses transportasi antigen ke sel limfosit sehingga terjadi sintesis imunoglobulin spesifik. Juga terdapat sel limfosit B, limfosit T, sel plasma dan sel pembawa IgG. Tonsil merupakan organ limfatik sekunder yang diperlukan untuk diferensiasi dan proliferasi limfosit yang sudah disensitisasi. Tonsil mempunyai 2 fungsi utama yaitu :

i ) m en a n gk ap d a n m en gu m p u l k a n b ah an a s i n g d en ga n ef ek t i f

i i ) s eb a g a i o r ga n utama produksi antibodi dan sensitisasi sel limfosit T dengan antigen spesifik.

(9)

Lokasi tonsil sangat memungkinkan mendapat paparan benda asing dan pathogen, selanjutnya mentranspor ke sel limfoid. Aktivitas imunologi terbesar dari tonsil ditemukan pada usia 3-10 tahun. Pada usia lebih dari 60 tahun, Ig-positif sel B dan sel T berkurang banyak sekali pada semua kompartemen tonsil.

Secara sistematik proses imunologis di tonsil terbagi menjadi 3 kejadian yaitu respon imun tahap I, respon imun tahap II, dan migrasi limfosit. Pada respon imun tahap I terjadi ketika antigen memasuki orofaring mengenai epitel kripte yang merupakan kompartemen tonsil pertama sebagai barier imunologis. Sel M tidak hanya berperan mentranspor antigen melalui barier epitel tapi juga membentuk komparten mikro intraepitel spesifik yang membawa bersamaan dalam konsentrasi tinggi material asing, limfosit dan APC seperti makrofag dan sel dendritik. Respon imun tonsila palatina tahap II terjadi setelah antigen melalui epitel kripte dan mencapai daerah ekstrafolikular atau folikel limfoid. Respon imun berikutnya berupa migrasi limfosit. Perjalanan limfosit dari penelitian didapat bahawa migrasi limfosit berlangsung terus menerus dari darah ke tonsil melalui HEV (high endothelial venules) dan kembali ke sirkulasi melalui limfe.

Ukuran Tonsil (4) T0 : Post Tonsilektomi

T1 : Tonsil masih terbatas dalam Fossa Tonsilaris

T2 : Sudah melewati pillar anterior belum melewati garis paramedian (pillar post) T3 : Sudah melewati garis paramedian, belum melewati garis median

(10)

Garis median garis paramedian

(11)
(12)

BAB III DIFTERI III.1. Definisi

Difteri adalah infeksi akut yang disebabkan oleh Corynebacterium Diphteriae.Infeksi biasanya terdapat pada faring, laring, hidung dan kadang pada kulit, konjungtiva, genitalia dan telinga. Infeksi ini menyebabkan gejala-gejala lokal dan sistemik, efek sistemik terutama karena eksotoksin yang dikeluarkan oleh mikroorganisme pada tempat infeksi.(5,6)

III.2 Epidemiologi

Sebelum era vaksinasi, difteria merupakan penyakit yang sering menyebabkan kematian. Namun sejak mulai diadakannya program imunisasi DPT(di Indonesia pada tahun 1974), maka kasus dan kematian akibat difteria berkurang sangat banyak. Angaka mortalitas berkisar 5-10%, sedangkan angka kematian di Indonesia menurut laporan Parwati S. Basuki yang didapatkan dari rumah sakit di kota Jakarta(RSCM), Bandung(RSHS), Makasar(RSWS), Senmarang(RSK), dan Palembang(RSMH) rata-rata sebesar 15%.(12)

Difteria adalah penyakit yang jarang terjadi, biasanya menyerang remaja dan orang dewasa. Di Amerika Serikat selama tahun 1980-1996 terdapat 71% kasus yang menyerang usia kurang dari 14 tahun. Pada tahun 1994 terdapat lebih dari 39.000 kasus difteria dengan kematian 1100 kasus (CFR= 2,82%), sebagian besar menyerang usia lebih dari 15 tahun. Di Ekuador, Amerika Selatan, pada tahun 1993-1994 terjadi ledakan kasus sebedsar 200 kasus, yang 50%-nya adalah anak berusia 15 tahun atau lebih.1 Dari tahun 1980 sampai 2010, 55 kasus difteri dilaporkan CDC Nasional dilaporkan Penyakit Surveillance System. Sebagian besar kasus (77%) menyerang usia 15 tahun dan lebih ,empat dari lima kasus fatal terjadi di kalangan anak-anak yang tidak divaksinasi, kasus fatal yang kelima adalah seorang laki-laki, dalam 75 tahun kembali ke Amerika Serikat dari negara dengan penyakit endemic.9 Difteri tetap endemik di banyak bagian dunia berkembang, termasuk beberapa negara Karibia dan Amerika Latin, Eropa Timur, Asia Tenggara, dan Afrika. 9Dari wabah ini mayoritas kasus telah terjadi di kalangan remaja dan orang dewasa, bukan anak-anak. Karena, banyak dari remaja dan orang dewasa belum menerima vaksinasi rutin anak atau dosis booster toksoid difteri. (11)

Di Indonesia, dari data lima rumah sakit di Jakarta, Bandung, Makassar, Semarang, dan Palembang, Parwati S.Basuki melaporkan angka yang berbeda. Selama tahun 1991-1996, dari 473

(13)

pasien difteria, terdapat 45% usia balita, 27% usia kurang dari 1 tahun, 24% usia 5-9 tahun, dan 4% usia diatas 10 tahun. Berdasarkan suatu KLB difteria di kota Semarang pada tahun 2003, dilaporakan bahwa dari 33 pasien sebanyak 46% berusia 15-44 tahun serta 30% berusia 5-14 tahun.1 Khusus provinsi Sumatera Selatan, selama tahun 2003-2009 penemuan kasus difteri cenderung terjadi penurunan, kasus terbanyak pada tahun 2007 (12 kasus) dan terendah pada tahun 2003 (2 kasus), meskipun demikian Sumatera Selatan merupakan provinsi terbesar kedua untuk kasus difteri pada tahun 2008. (12)

Meskipun difteri sekarang dilaporkan hanya jarang di Amerika Serikat, di era prevaccine, penyakit ini adalah salah satu penyebab paling umum dari penyakit dan kematian pada anak-anak. (11)

III.3 Etiologi

Difteri disebabkan oleh bakteri Corynebacterium diphteriae, kuman ini dikenal juga dengan sebagai basil Klebs-Löffler, karena ditemukan pada tahun 1884 oleh bakteriolog Jerman, Edwin Klebs (1834-1912) dan Friedrich Löffler (1852-1915). Ada tiga strain C. diphtheriae yang berbeda yang dibedakan oleh tingkat keparahan penyakit mereka yang disebabkan pada manusia yaitu gravis, inter-medius, dan mitis. Ketiga subspesies sedikit berbeda dalam morfologi koloni dan sifat-sifat biokimia. Perbedaan virulensi dari tiga strain dapat dikait-kan dengan kemampuan relatif mereka untuk memproduksi toksin difteri (baik kualitas dan kuantitas), dan tingkat pertumbuhan masing-masing. Strain gravis memiliki waktu generasi (in vitro) 60 menit; strain

intermedius memiliki waktu generasi sekitar 100 menit, dan mitis memiliki waktu generasi sekitar

180 menit. Dalam tenggorokan (in vivo), tingkat pertumbuhan yang lebih cepat memungkinkan organisme untuk menguras pasokan besi lokal lebih cepat dalam menyerang jaringan. (2,3)

III.2.1Klasifikasi

Kingdom : Bakteri Filum : Actinobacteria Kelas : Actinobacteria

(14)

Order : Actinomycetales Keluarga : Corynebacteriaceae Genus : Corynebacterium Spesies : C. diphtheriae Sub spesies : a. C. diptheriae gravis b. C. diptheriae mitis c. C.diptheriae intermedius (2) III.2.2 Morfologi

Bakteri ini berbentuk batang ramping berukuran 1,5-5 um x 0,5-1 um, tidak berspora, tidak bergerak, terma-suk Gram positif, memiliki banyak bentuk (polymorph), memfermentasi glukosa, menghasilkan eksotoksin, dan tidak tahan asam. Bersifat anaerob fakultatif, namun pertumbuhan maksimal diperoleh pada suasana aerob. Ciri khas C. diphteriae adalah pembengkakan tidak teratur pada salah satu ujungnya, yang menghasilkan bentuk seperti "gada" (club shape). Di dalam batang tesebut (sering di dekat ujung) secara tidak beraturan tersebar granula-granula. Granula ini di-kenal dengan nama granula metakromatik Babes-Ernest. Dengan pewarnaan Neisser, tubuh bakteri berwarna kuning atau coklat muda sedangkan granulanya berwarna biru violet. Preparat yang dibuat langsung dari spesimen yang baru diambil dari pasien, letak bakteri seperti huruf-huruf L, V, W, atau tangan yang jarinya terbuka atau sering dikenal sebagai susunan sejajar/paralel/palisade/sudut tajam huruf V, L, Y/tulisan Cina. (2,3)

Penyebab difteri adalah Corynebacterium diphteriae merupakan basil gram positif (basil aerob), tidak bergerak, pleomorfik, tidak berkapsul, tidak membentuk spora, mati pada pemanasan 60ºC, tahan dalam keadaan beku dan kering. Organisme tersebut paling mudah ditemukan pada media yang mengandung penghambat tertentu yang memperlambat pertumbuhan

(15)

mikroorganisme lain (Tellurite). Koloni-koloni Corynebacterium diphteriae berwarna putih kelabu pada medium Loeffler.(5,7)

Kuman Corynebacterium diphteriae, kuman yang termasuk Gram positif dan hidung di saluran nafas bagian atas yaitu hidung, faring dan laring. Tidak semua orang yang terinfeksi oleh kuman ini akan menjadi sakit. Keadaan ini tergantung pada titer anti toksin dalam darah seseorang. Titer anti toksin sebesar 0,03 satuan per cc darah dapat dianggap cukup memberikan dasar imunitas. Hal inilah yang dipakai pada tes Schick.(1)

III.4. Prevalensi

Walaupun difteri sudah jarang di berbagai tempat di dunia, tetapi kadang-kadang masih ada yang terkena oleh penyakit tersebut. Di Indonesia difteri banyak terdapat di daerah berpenduduk padat dan keadaan lingkungan yang buruk dengan angka kematian yang cukup tinggi, 50% penderita difteri meninggal dengan gagal jantung. Kejadian luar biasa ini dapat terjadi terutama pada golongan umur rentan yaitu bayi dan anak. Tapi akhir-akhir ini berkat adanya Program Pengembangan Imunisasi (PPI) maka angka kesakitan dan kematian menurun secara drastis.(7) III.5. Manifestasi Klinis

Biasanya pembagian dibuat menurut tempat atau lokalisasi jaringan yang terkena infeksi.Pembagian berdasarkan berat ringannya penyakit juga diajukan oleh Beach, dkk (1950) sebagai berikut :

(16)

1. Infeksi ringan bila pseudomembran hanya terdapat pada mukosa hidung dengan gejala hanya nyeri menelan.

2. Infeksi sedang bila pseudomembran telah menyerang sampai faring (dinding belakang rongga mulut) sampai menimbulkan pembengkakan pada laring.

3. Infeksi berat bila terjadi sumbatan nafas yang berat disertai dengan gejala komplikasi seperti miokarditis (radang otot jantung), paralisis (kelemahan anggota gerak) dan nefritis (radang ginjal).(6)

Masa inkubasi difteri adalah 2-5 hari (berkisar, 1-10 hari). Penyakit ini dapat melibatkan hampir semua membrane mukosa. Gambaran klinik tergantung pada lokasi anatomi yang dikenai. Beberapa tipe difteri berdasarkan lokasi anatomi adalah pasien :

1. Difteri hidung

Yang mana pada awalnya meneyerupai common cold, dengan gejala pilek ringan tanpa atau disertai gejala sistemik ringan. Infeksi nares anterior (lebih sering pada bayi) menyebabkan rhinitis erosif, purulen, serosanguinis dengan pembentukan membrane. Ulserasi dangkal nares luar dan bibir sebelah dalam adalah khas. Pada pemeriksaan tampak membrane putih pada daerah septum nasi. Absorbsi toksin sangat lambat dan gejala sistemik yang timbul tidak nyata sehingga diagnosis lambat dibuat.(7)

2. Difteri faring dan tonsil

Paling sering dijumpai (kurang lebih 75%). Gejala mungkin ringan. Hanya berupa radang pada selaput lender dan tidak membentuk pseudomembran sedangkan diagnosis dapat dibuat atas dasar hasil biakan yang positif. Dapat sembuh sendiri dan memberikan imunitas pada penderita. Pada penyakit yang lebih berat, mulainya seperti radang akut tenggorok dengan suhu yang tidak terlalu tinggi, dapat ditemukan pada pseudomembran yang mula-mula hanya berupa bercak putih keabu-abuan yang cepat meluas ke nasofaring atau ke laring. Dapat ditemukan pula napas berbau dan timbul pembengkakan kelenjar regional sehingga leher tampak seperti leher sapi (bull neck). Brennernan dan Mc Quarne (1956) menyatakan bahwa setiap bercak keputihan diluar tonsil dapat dianggap sebagai difteria, sedangkan Herdarshee menegaskan lebih lanjut bahwa setiap membrane yang menutupi dinding posterior faring atau

(17)

Dapat terjadi salah menelan dan suara serak serta stidor insprasi walaupun belum terjadi sumbatan faring. Hal ini disebabakan oleh paresis palatum mole. Pada pemeriksaan darah dapat terjadi penurunan kadar hemoglobin dan leukositisis, polimofonukleus, penurunan jumlah eritrosit dan kadar albumin, sedangakan pada urin mungkin dapat ditemukan albuminaria ringan. Pada difteri jenis ini juga akan tampak membran berwarna putih keabu abuan kotor di daerah rongga mulut sampai dengan dinding belakang mulut (faring).(6)

4. Difteri laring

Gejalanya antara lain, tidak bisa bersuara, sesak, nafas berbunyi, demam sangat tinggi sampai 40 derajat celsius, sangat lemah, kulit tampak kebiruan, pembengkakan kelenjar leher. Difteri jenis ini merupakan difteri paling berat karena bisa mengancam nyawa penderita akibat gagal nafas. Lebih sering sebagai penjalaran difteria faring dan tonsil ( 3 kali lebih banyak ) daripada primer mengenai laring. Gejala gangguan napas berupa suara serak dan stidor inspirasi jelas dan berat dapat timbul sesak napas hebat, sinosis dan tampak retraksi suprastemal serta epigastrium. Pembesaran kelenjar regional akan menyebabkan bull neck ( leher sapi ). Pada pemeriksaan laring tampak kemerahan, sembab, banyak secret dan permukaan ditutupi oleh pseudomembran. (6)

5. Difteri kutaneus dan vaginal

Gejala berupa luka mirip sariawan pada kulit dan vagina dengan pembentukan membran diatasnya. Namun tidak seperti sariawan yang sangat nyeri, pada difteri, luka yang terjadi cenderung tidak terasa apa apa.(6)

III.6 Cara penularan

Sumber penularan penyakit difteri ini adalah manusia, baik sebagai penderita maupun sebagai carier . Cara penularannya yaitu melalui kontak dengan penderita pada masa inkubasi atau kontak dengan carier. Caranya melalui pernafasan atau droplet infection. Masa inkubasi penyakit difteri ini 2 – 5 hari, masa penularan penderita 2-4minggu sejak masa inkubasi, sedangkan masa penularan carier bisa sampai 6 bulan. Penyakit difteri yang diserang terutama saluran pernafasan

(18)

Kontaminasi barang pribadi yang dipakai bersamaan, seperti handuk, sendok,gelas yang belum dicuci, mainan dan lain-lain. (3)

Orang yang telah terinfeksi difteri dan belum diobati dapat menulari orang lain yang nonimmunized selama enam minggu, bahlan jika mereka belum menunjukan gejala apapun. (3) III.7 Patofisiologi

Setelah terinhalasi, Corynebacterium diphtheriae implantasi di atas mukosa dari saluran nafas atas dan menghasilakan eksotoksin yang kuat menyebabkan nekrosis dari epitel mukosa di ikuti oleh eksudat fibrinopuluren yang tebal yang membentuk pseudomembran abu-abu kotor yang klasik dan superfisial dari difteri. (8)

Kerja dari eksotoxins banyak mengubah sinyal intraseluler atau jalur peraturan. Sebagian besar memiliki enzimatis aktif (A) subunit dihubungkan oleh jembatan disulfida untuk subunit B yang mengikat reseptor pada permukaan sel dan memberikan subunit A ke dalam sitoplasma sel dengan endositosis . Dalam sitoplasma, ikatan disulfida toksin berkurang dan patah, melepaskan fragmen A. enzimatis aktif amino Dalam kasus racun diptheria subunit A mengkatalisis transfer adenosin difosfat (ADP)-ribosa dari nikotinamida adenin dinukleotida (NAD) untuk protein EF-2 (suatu faktor elongasi yang sangat penting untuk sintesis polipeptida), sehingga menonaktifkan . Satu molekul toksin sehingga dapat membunuh sel dengan ADP-ribosylating lebih dari 106 EF-2 molekul. Corynebacterium diphtheriae menguraikan seperti racun untuk menciptakan lapisan sel-sel mati di tenggorokan, di mana bakteri outgrows kompetisi. Sayangnya, penyebaran yang lebih luas dari toksin difteri menyebabkan manifestasi penyakit serius melalui disfungsi saraf dan miokard. (8)

Virulensi utama organisme terletak pada kemampuannya untuk menghasilkan eksotoksin 62-kd ampuh polipeptida, yang menghambat sintesis protein dan menyebabkan nekrosis jaringan lokal. Toksin difteri, yang disekresi oleh strain racun dari C diphtheriae, adalah polipeptida tunggal Mr. 58.342. Strain racun dari C diphtheriae membawa gen struktural tox ditemukan di corynebacteriophages lisogenik beta-tox +, gamma-tox +, dan omega-tox +.(8)

Strain yang sangat beracun memiliki 2 atau 3 gen + tox dimasukkan ke dalam genom. Ekspresi gen diatur oleh host dan kandungan zat besi. Dengan adanya konsentrasi rendah besi, regulator gen dihambat, sehingga produksi toksin meningkat. Toksin diekskresikan dari sel bakteri

(19)

dan mengalami pembelahan untuk membentuk 2 rantai, A dan B, yang diselenggarakan bersama oleh ikatan disulfida merantaikan antara residu sistein pada posisi 186 dan 201. Bersamaan dengan meningkatnya konsentrasi toksin, efek toksin melampaui area lokal karena distribusi toksin oleh sirkulasi. Toksin diphtheriae tidak memiliki target organ tertentu, tetapi miokardium dan perifer saraf yang paling sering terkena. (8)

Dalam beberapa hari pertama infeksi saluran pernapasan, sebuah koagulum nekrotik padat organisme, sel epitel, fibrin, leukosit, eritrosit dan bentuk, dan menjadi pseudomembran abu-abu kecoklatan yang melekat. Sulit untuk dipindahkan dan submukosa membengkak dan berdarah. Kelumpuhan dari langit-langit dan hipofaring adalah efek awal lokal toksin. Penyerapan toksin dapat menyebabkan nekrosis tubulus ginjal, trombositopenia, kardiomiopati, dan demielinasi saraf. Karena kardiomiopati dan demielinasi saraf dapat terjadi 2-10 minggu setelah infeksi mukokutan, mekanisme patofisiologis meruapakan mediasi imunologi pada beberapa pasien. (8,9)

Dalam deskripsi klasik dari difteri, fokus utama dari infeksi amandel atau faring di lebih dari 90% pasien; hidung dan laring adalah situs yang paling umum berikutnya. Setelah masa inkubasi rata-rata 2-4, tanda-tanda hari lokal dan gejala peradangan berkembang. Demam jarang lebih tinggi dari 39 ° C (9)

Ciri khas dari penyakit ini ialah pembekakan di daerah tenggorokan, yang berupa reaksi radang lokal, dimana pembuluh-pembuluh darah melebar mengeluarkan sel darah putih sedang sel-sel epitel disitu rusak, lalu terbentuklah disitu membaran putih keabu-abuan(psedomembrane). Membran ini sukar diangkat dan mudah berdarah. Di bawah membran ini bersarang kuman difteri dan kuman-kuman ini mengeluarkan exotoxin yang memberikan gejala-gejala yang lebih berat dan Kelenjer getah bening yang berada disekitarnya akan mengalami hiperplasia dan mengandung toksin. Eksotoksin dapat mengenai jantung dapat menyebabkan miyocarditis toksik atau mengenai jaringan perifer sehingga timbul paralisis terutama pada otot-otot pernafasan. Toksin ini juga dapat menimbulkan nekrosis fokal pada hati dan ginjal, malahan dapat timbul nefritis interstisial. Penderita yang paling berat didapatkan pada difterifauncial dan faringea karena terjadi penyumbatan membran pada laring dan trakea sehingga saluran nafas ada obstruksi dan terjadi gagal napas, gagal jantung yang bisa mengakibatkan kematian, ini akibat komplikasi yang sering pada bronkopneumoni. (10)

(20)

Organ-organ tubuh yang tergabung (10)

Kelenjar Getah bening : Jaringan limfoid baik di kelenjar getah bening regional dan sistemik (seperti dalam limpa) mengalami hiperplasia dengan pengembangan pusat-pusat germinal yang menonjol dan biasanya nekrotik di bagian tengah

Jantung: Toksin Difteri sangat beracun ke miokardium. Pada tahap awal, terjadi edema interstisial, pembengkakan berawan dari serat miokard, dan akumulasi butiran sitoplasma denda lipid terlihat mikroskopis. Kemudian perubahan ini menjadi luas dan lebih berat. Serat miokard akhirnya mengalami nekrosis, dan miokarditis interstisial fokus dengan eksudasi sel mononuklear terjadi. Keterlibatan jantung, baik secara akut dalam bentuk kolaps kardiovaskuler atau sebagai aritmia atau lebih kronis dalam bentuk gagal jantung kongestif, adalah ancaman yang paling umum untuk kehidupan di difteri.

Ginjal: Sebuah nefritis, nonspesifik interstisial non supuratif adalah sering pada difteri dan diyakini bertanggung jawab atas proteinuria sering diamati. Lesi ginjal biasanya sembuh sepenuhnya pada pasien yang sembuh.

Hati: Hati yang khas diperbesar, hepatosit menunjukkan pembengkakan berawan dan nekrosis kurang umum fokus.

Saraf: Toksin Diphtherial memiliki afinitas khusus untuk saraf perifer. Efek racun yang diwujudkan dalam degenerasi atau bahkan kerusakan selubung mielin. Silinder Axis mengalami nekrosis pembengkakan dan jarang. Efek lumpuh neuropati difteri sering tajam terlokalisasi. Kelumpuhan otot-otot sukarela dari langit-langit mulut dapat menghasilkan kualitas hidung yang aneh dari suara dan kecenderungan untuk memuntahkan cairan melalui hidung.

(21)

Mata: Keterlibatan otot luar mata dapat menghasilkan diplopia, dan keterlibatan dari badan siliar dapat mengakibatkan cacat akomodasi visual.

III.8 Histopatologi Gambaran histopatologi

Mukosa skuamosa faring ditutupi secara tebal dengan material basofilik yang pucat ( pseudomembran ). Inflamasi sedang submukosa terlihat disini.

Elektor mikograf scanning dari bentuk club batang tanpa flagella atau kapsul, konsisten dengan spesies Corynebacterium ("coryne" berarti cluPseudomembrane )

(22)

III.9 Pemeriksaan Penunjang

1. Bakteriologik. Preparat apusan kuman difteri dari bahan apusan mukosa hidung dan tenggorok (nasofaringeal swab).

2. Kultur lesi tenggorokan dibutuhkan untuk diagnose klinis, untuk isolasi primer menggunakan agar Loeffler, atau agar tellurite Tinsdale.

3. Menyusul isolasi awal C.diphteriae dapat diidentifikasi sebagai mitis, intermedius, atau biotipe gravis berdasar fermentasi karbohidrat karbohidrat dan hemolisis pada agar pelat darah domba. Strain ditentukan secara in vitro dan in vivo.

4. Darah lengkap : Hb, leukosit, hitung jenis leukosit, eritrosit,trombosit,LED 5. Urin lengkap : protein dan sedimen

6. Ureum dan kreatinin (bila dicurigai ada komplikasi ginjal)

7. EKG secara berkala untuk mendeteksi toksin basil menyerang sel otot jantung dilakukan sejak hari 1 perawatan lalu minimal 1x seminggu, kecuali bila ada indikasi biasa dilakukan 2-3x seminggu.

8. Tes schick:

Uji Schick ialah pemeriksaan untuk mengetahui apakah seseorang telah mengandung antitoksin. Pada seseorang yang tidak mengandung antitoksin, akan timbul vesikel pada bekas suntikan dan hilang setelah beberapa minggu. Pada yang mengandung antitoksin rendah, uji Schick

(23)

Uji Schick dikatakan negatif bila tidak didapatkan reaksi apapun pada tempat suntikan dan ini terdapat pada orang dengan imunitas atau mengandung antitoksin yang tinggi. Positif palsu terjadi akibat reaksi alergi terhadap protein antitoksin yang akan menghilang dalam 72 jam.

Uji ini berguna untuk mendiagnosis kasus-kasus difteri ringan dan kasus-kasus yang mengalami kontak dengan difteri, sehingga diobati dengan sempurna. Cara melakukan Schick test ialah, sebanyak 0,1 ml toksin difetri disuntikkan intrakutan pada lengan klien, pada lengan yang lain disuntikkan toksin yang sudah dipanaskan (kontrol). Reaksi dibaca pada hari ke-45, hasilnya positif bila terjadi indurasi eritema yang diameternya 10 mm atau lebih pada tempat suntikkan. Hasil positif berarti adanya antitoksin difteri dalam serumnya (menderita difteri).

Perlu diperhatikan bahwa hasil positif ini bisa juga ditimbulkan oleh reaksi alergi terhadap toksin, tapi hal ini dapat dibedakan yaitu reaksi eritema dan indurasinya menghilang dalam waktu 48-72 jam. Sedangkan yang positif karena adanya antitoksin akan menetap selama beberapa hari.(2)

9. Tes hapusan specimen

Diambil dari hidung, tenggorokan dan terdapat lesi mukokutan lain, berguna untuk identifikasi tempat spesies, uji toksigenitas dan kerentanan anti mikroba sebagai medikasi. (2)

III.10 Diagnosis Banding

1. Difteria Hidung, diagnosis bandingnya: • common cold

Bila sekret yang dihasilkan purulent : • sinusitis

• adenoiditis

• benda asing dalam hidung • snuffles (lues congenital). 2. Difteria Faring,diagnosis bandingnya:

• Pharingitis oleh streptococcus • Tonsillitis membranosa akut • Mononucleosis infeksiosa,

• Tonsillitis membranosa non-bakteria • Tonsillitis herpetika primer

(24)

• Blood dyscrasia • Pasca tonsilektomi

3. Difteria Laring, diagnosis bandingnya: • Laryngitis

• Laringo-trakeo bronkitis • Spasmodic croup

• Angioneurotic edema pada laring • Benda asing dalam laring.

• Akut epiglotitis

4. Difteria Kulit, diagnosis bandingnya: • impetigo

• infeksi kulit yang disebabkan oleh streptokokus atau stafilokokus. (1) III.11 Penatalaksanaan

Apabila seseorang diduga menderita difteri oleh dokter, maka pengobatan harus segera dilakukan tanpa menunggu hasil pemeriksaan penunjang.(1) Selain itu, kontak dekat, seperti anggota keluarga, kontak rumah tangga, dan karier harus menerima pengobatan profilaksis tanpa memandang status imunisasi atau usia, yaitu pengobatan dengan eritromisin atau penisilin selama 14 hari dan kultur pasca pengobatan untuk mengkonfirmasi ketiadaan bakteri.(2) Pengobatan yang paling efektif yaitu pada tahap awal penyakit, untuk mengurangi penularan, mengobati infeksi, dan mencegah perjalanan infeksi lebih jauh.(3,15)

Tatalaksana Umum

Pasien dengan difteri dirawat di rumah sakit selama pemberian antitoxin diberikan. Selama perawatan, yang biasanya dilakukan adalah

− Perawatan tirah baring selama 2 minggu dalam ruang isolasi sampai setidaknya 2 kultur berturut-turut setelah pengobatan selesai dengan jarak 24 jam memberikan hasil negatif

(25)

− Jamin intake cairan dan makanan. Bentuk makanan disesuaikan dengan toleransi, untuk hal ini dapat diberikan makanan lunak, saring/cair, bila perlu sonde lambung jika ada kesukaran menelan (terutama pada paralisis palatum molle dan otot-otot faring).

− Bila ada tanda-tanda obstruksi jalan nafas perbaiki segera. Berikan oksigen atau lakukan tindakan trakeostomi bila diperlukan.

− Monitoring jantung dan organ-organ vital lain. (1,4,5): Tatalaksana Medikamentosa

1. Anti Difteri Serum (ADS)

Antitoksin difteri adalah preparat steril yang mengandung globulin bersifat antitoksin spesifik yang memiliki kekuatan menetralisir toksin yang dibentuk oleh Corynebacterium

diphtheriae. Antitoxin ini dibuat dari plasma kuda yang sehat, yang telah terimunisasi dengan

suntikan toksin difteri. (6)

Antitoksin difteri tersedia dalam bentuk vial 5 ml (10.000 IU) dan 10 ml (20.000 IU), tiap ml mengandung 2000 IU antitoxin difteri dan 0,25% fenol v/v. Untuk pencegahan, dosis untuk anak-anak adalah 1000-3000 IU, sedangkan untuk dewasa 3000-5000 IU. Untuk pengobatan, dosis tergantung usia, berat gejala, dan lokasi membran. (7)

Dosis ADS Menurut Lokasi Membran

Tipe Difteria Dosis ADS (KI) Cara pemberian Difteria Hidung 20.000 IU Intramuscular

Difteria Tonsil 40.000 IU Intramuscular / Intravena Difteria Faring 40.000 IU Intramuscular / Intravena Difteria Laring 40.000 IU Intramuscular /Intravena Kombinasi lokasi diatas 80.000 IU Intravena

Difteria + penyulit, bullneck 80.000-100.000 IU Intravena Terlambat berobat (>72 jam) 80.000-100.000 IU Intravena

Serum antidifteri merupakan serum heterolog, maka dapat menimbulkan reaksi anafilaktik. Untuk mencegah hal tersebut, maka dilakukan hal-hal berikut(6,8) :

(26)

− Pengawasan tanda vital dan reaksi lainnya seperti perluasan membran, selama dan sesudah pemberian terutama sampai 2 jam setelah pemberian serum.

− Adrenalin 1:1000 dalam dalam semprit harus selalu disediakan untuk menanggulangi reaksi anafilaktik ( dosis 0,01 cc/kg BB intramuskuler, maksimal diulang tiga kali dengan interval 5-15 menit ).

− Sarana dan penanggulangan reaksi anafilaktik harus tersedia. − Uji kepekaan, yang terdiri dari :

o Tes kulit

Anti difteri serum 0,1 cc diencerkan dengan perbandingan 1:10 dalam NaCl 0,9% disuntikkan intrakutan. Hasilnya dibaca setelah 15-20 menit. Dianggap positif bila teraba indurasi dengan diameter paling sedikit 10 mm.

o Tes mata

Satu tetes anti difteri serum yang telah diencerkan dengan perbandingan 1:10 dalam NaCl 0,9% diteteskan pada salah satu kelopak mata bagian bawah. Satu tetes NaCl 0,9% digunakan sebagai kontras pada mata lainnya untuk perbandingan. Hasilnya dilihat setelah 15 – 20 menit kemudian. Dianggap positif bila ada tanda konjungtivitis ( merah, bengkak, lakrimasi ). Apabila terjadi konjungtivitis diobati dengan adrenalin 1:1000.

Bila salah satu tes kepekaan positif, maka ADS tidak diberikan secara sekaligus (single dose) tetapi secara bertahap, yaitu dengan dosis yang ditingkatkan secara perlahan-lahan (desensitisasi) dengan interval 20 menit. ADS diencerkan dalam NaCl 0,9% dengan dosis sebagai berikut(9):

(27)

Efek samping yang bisa terjadi pada pemberian antitoksin ini adalah(7) :

1. Reaksi anafilaktik jarang terjadi, tetapi bila ada timbulnya dengan segera atau dalam waktu beberapa jam sesudah suntikan.

2. Serum Sickness dapat timbul 7 - 10 hari setelah suntikan dan dapat berupa kenaikan suhu, gatal-gatal, eksantema, sesak nafas dan gejala alergi lainnya. Reaksi ini jarang terjadi bila menggunakan serum yang telah dimurnikan.

3. Demam dengan menggigil yang biasanya timbul setelah pemberian serum secara intravena. 4. Rasa nyeri pada tempat suntikan yang biasanya timbul pada penyuntikan serum dalam

jumlah besar. Reaksi ini biasanya terjadi dalam 24 jam. 2. Antibiotik

Terapi antimikroba diindikasikan untuk menghentikan produksi toksin, mengobati infeksi lokal, dan mencegah penularan. C. diphtheriae biasanya rentan terhadap berbagai agen in vitro, termasuk penisilin, eritromisin, klindamisin, rifampisin, dan tetrasiklin. Resistensi terhadap eritromisin sering terjadi karena obat tersebut telah digunakan secara luas. Eritromisin diberikan pada pasien dengan alergi penisilin. Eritromisin sedikit lebih unggul dari penisilin untuk pemberantasan infeksi nasofaring. Terapi antibiotik bukanlah pengganti untuk terapi antitoksin.

(28)

Pemberantasan bakteri harus didokumentasikan oleh setidaknya 2 kultur berturut-turut diperoleh 24 jam setelah selesai terapi. Pengobatan dengan eritromisin diulang jika hasil kultur tetap positif. (1,4,5)

Dosis(4,5) :

− Penisilin prokain 25.000-50.000 IU/kgBB/hari intramuskuler, selama 14 hari atau bila hasil biakan 3 hari berturut-turut negatif.

− Eritromisin 40-50 mg/kgBB/hari, maks 2 g/hari, per oral, tiap 6 jam selama 14 hari.

− Penisilin G kristal aqua 100.000-150.000 U/kgBB/hari, i.m. atau i.v. , dibagi dalam 4 dosis, diberikan selama 14 hari.

3. Kortikosteroid

Kortikosteroid 1,2 mg/kgBB perhari. 4. Simtomatis

Dapat diberikan antipiretik untuk menurunkan demam, jika pasien anak gelisah berikan sedatif, dan apabila batuk bisa diberikan antitusif.

Pengobatan Penyulit

Pengobatan terutama ditujukan untuk menjaga agar hemodinamika tetap baik. Penyulit yang disebabkan oleh toksin umumnya reversibel. Bila tampak kegelisahan, iritabilitas serta gangguan pernafasan yang progresif merupakan indikasi tindakan trakeostomi.

Trakeostomi/intubasi endotrakeal segera bila ada obstruksi larings. 

Alat pacu jantung bila ada blok jantung. 

DL-Carnitine 100 mg/kg BB dalam 2 dosis bila terjadi miokardistis 

Pengobatan Kontak

Pada anak yang kontak dengan pasien sebaiknya diisolasi sampai tindakan berikut terlaksana, yaitu biakan hidung dan tenggorok serta gejala klinis diikuti setiap hari sampai masa tunas terlampaui, pemeriksaan serologi dan observasi harian. Anak yang telah mendapat imunisasi dasar diberikan booster toksoid difteria.

(29)

Karier adalah mereka yang tidak menunjukkan keluhan, mempunyai uji Schick negatif tetapi mengandung basil difteria dalam nasofaringnya. Pengobatan yang dapat diberikan adalah penisilin 100 mg/kgBB/hari oral/suntikan, atau eritromisin40 mg/kgBB/hari selama satu minggu. Mungkin diperlukan tindakan tonsilektomi / adenoidektomi. (18,19,22)

III.12 PENCEGAHAN 1.Isolasi Penderita

Penderita difteria harus di isolasi dan baru dapat dipulangkan setelah pemeriksaan sediaan langsung menunjukkan tidak terdapat lagi Corynebacterium Diphtheriae (1,2,6)

2.Imunisasi

Imunisasi adalah cara terbaik untuk mencegah difteri. Vaksin difteri umumnya dikombinasikan dengan vaksin tetanus dan pertusis. Ada empat jenis kombinasi vaksin difteri, tetanus dan pertusis : DTaP, Tdap, DT, dan Td. DT tidak mengandung pertusis, dan digunakan sebagai pengganti DTaP untuk anak-anak yang tidak dapat mentoleransi vaksin pertusis. Td adalah vaksin tetanus-difteri yang diberikan kepada remaja dan orang dewasa sebagai booster setiap 10 tahun, atau bila terpapar tetanus dalam kondisi tertentu. Tdap mirip dengan Td tetapi juga mengandung perlindungan terhadap pertusis. (10,11)

Imunisasi DTaP untuk bayi dan anak-anak umumnya lima kali umumnya diberikan pada 2, 4, dan 6 bulan, dengan dosis keempat yang diberikan antara 15-18 bulan, dan dosis kelima pada usia 4-6 tahun. Karena kekebalan terhadap difteri berkurang seiring dengan waktu, maka pemberian booster dianjurkan.(10,11,18)

(30)

III.13. Komplikasi

Komplikasi yang paling sering ditemukan adalah miokarditis. Biasanya jelas didapatkan pada hari ke 10 – 14 tetapi dapat dijumpai sepanjang minggu 1 – 6, biarpun setelah gejala tonsillitis menghilang. Risiko cardiac toxicity terkait dengan derajat tonsillitis sendiri. Kelainan EKG yang tidak signifikan ditemukan pada 20 – 30% pasien, tetapi disosiasi atrioventrikular, complete heart block, dan aritmia ventricular bisa terjadi dan biasa diasosiasi dengan tingkat kematian yang tinggi. Gagal jantung juga bisa terjadi.(1,2)

Toksisitas system saraf bisa terjadi pada pasien dengan kasus tonsillitis difteria berat2. Toksin difteri mengakibatkan demyelinating polyneuropathy yang mengenai saraf cranial dan perifer. Kesan toksin biasanya bermula pada minggu 1 infeksi dengan kehilangan akomodasi ocular dan bulbar palsy, mengakibatkan disfagia serta regurgitasi nasal. Bisa juga didapatkan suara parau dan kelumpuhan otot pernafasan. Neuropati perifer pula terlihat sepanjang minggu 3 – 6. Neuropati terjadi secara motorik dan sensorik, walaupun symptom motorik lebih dominan. Resolusi terjadi dalam masa beberapa minggu (2,3,4)

Komplikasi yang paling berat melibatkan penutupan jalan nafas oleh pseudomembran yang mengakibatkan gejala sumbatan. Semakin muda usia pasien makin cepat pula timbul komplikasi ini. Selain itu bisa timbul gejala albuminuria sebagai akibat komplikasi ke ginjal yang menyebabkan nefritis. (4,6,21)

III.14. Prognosis

Prognosis tergantung kepada • Virulensi kuman

• Lokasi dan perluasan membrane • Kecepatan terapi

• Status kekebalan

• Umur penderita,karena makin muda umur anak prognosis makin buruk.

• Keadaan umum penderita,misalnya prognosisnya kurang baik pada penderita gizi kurang • Ada atau tidaknya komplikasi

(31)

. Secara umum, pasien dengan tonsillitis difteri tanpa komplikasi yang berespon baik terhadap pengobatan memiliki prognosis yang baik. Penyembuhan bisa mengambil masa yang lama dan kadar kematian adalah 5 – 10% bagi semua kasus difteri respiratorik. (5,20,21)

(32)

BAB IV KESIMPULAN

Difteri merupakan penyakit yang harus di diagnosa dan di therapi dengan segera, oleh karena itu bayi-bayi diwajibkan di vaksinasi. Dan ini telah terbukti dalam mengurangi insidensi penyakit tersebut, walaupun difteri sudah jarang di berbagai tempat di dunia tetapi kadang-kadang masih ada yang terkena penyakit ini.

Penyebab dari penyakit difteri ini adalah C diphtheriae yang merupakan kuman gram (+), ireguler,tidak bergerak, tidak berspora, bersifat leomorfik dan memperlihatkan bentuk seperti tulisan China.Masa inkubasi kuman ini 2-5 hari, dengan gejala klinis berupa sakit tenggorokan ringan, panas badan 38,9ºC.

Penyakit ini diklasifikasikan menurut lokasi membran yaitu difteri nasal, difteri tonsil dan faring, difteri laring, difteri kulit, difteri vulvovaginal, difteri konjungtiva, dan difteri telinga, akan tetapi yang paling terseringa adalah difteri tonsil faring.

Diagnosis dini difteri sangat penting karena keterlambatan pemberian antitoksin sangat mempengaruhi prognosa penderita. Diagnosa pasti dari penyakit ini adalah isolasi C. Diphtheriae dengan bahan pemeriksaan membran bagian dalam (kultur).

Dasar dari therapi ini adalah menetralisir toksin bebas dan eradikasi C. diphtheriae dengan isolasi, antibiotik dan ADS. Antibiotok penisilin dan eritromisin sangat efektif untuk kebanyakan strain C. diphtheriae.

Prognosis umumnya tergantung dari umur, virulensi kuman, lokasi dan penyebaran membran, status imunisasi, kecepatan pengobatan, ketepatan diagnosis, dan perawatan umum.

Pencegahan secara umum dilakukan dengan menjaga kebersihan dan memberi pengetahuan tentang bahaya difteri bagi anak dan juga dengan pemberian imunisasi DPT 0,5 mL intramuscular untuk anak kurang dari 7 tahun dan pemberian DT 0,5 mL intramuscular untuk anak lebih dari 7 tahun.

(33)

BAB V Daftar Pustaka

1. Tonsil. Available at http://www.scribd.com/doc/58952076/Tonsi l . Accesed at July, 28 2012.

2. Tonsil. Availabe at http://www.scribd.com/doc/38304135/Referat-Tonsil-It-Is-Kronis-Rendy. Accesed at July, 28 2012.

3. Tonsil. Available at http://www.scribd.com/doc/47784138/TONSIL. Accesed at July, 28 2012.

4. Tifus, Tonsilitis, dan Difteri. Available at : http://www.scribd.com/doc/92802818/TIPUS-TONSILITIS-DIFTERI. Accesed at July, 28 2012.

5. Difteria. Availabe at : http://www.blogdokter.net/2007/09/30/difteri-difteria/. Accesed at July, 28 2012

6. Difteriae. Available at http://referensikedokteran.blogspot.com/2010/07/referat-difteri_18.html. Accesed at July, 28 2012.

7. Kumar V, Abbas AK, Fausto N, Mitchell R. Basic of Pathology. 8ed. Elsevier.United Kingdom:2008

8. Demirci CS, Abuhammour W. Pediatric Diphhteria. Available at : http://emedicine.medscape.com/article/963334-overview#showall. Accesed at July, 28 2012.

9. The Histopathology of Tonsilitis Diphtheria. Available at : http://www.histopathology-india.net/Dipth.htm. Accesed at July, 28 2012.

10.CDC.DiphtheriaEpidemiology and Prevention of Vaccine-Preventable Diseases.Edisi 12.2011,diakses dari http://www.cdc.gov/vaccines/pubs/pinkbook/dip.html. Accesed at July, 28 2012.

11.CDC.Diphtheria.Edisi 5.2011, diakses dari

(34)

12.Zieve D, Kaneshiro NK. Diphtheria. Available at:

http://www.umm.edu/ency/article/001608trt.htm. Accessed July 28th 2012 13.Dale DC. Infections Due to Gram Positive Bacilli. In: In Infectious Diseases: The

Clinician's Guide to Diagnosis, Treatment, and Prevention. 16th ed. WebMD

Corporation; 2007.

14.Guy AM. Diphtheria in Emergency Medicine Medication. Available at:

http://emedicine.medscape.com/article/782051-medication#1. Accessed July 28th 2012. 15.Demirci CS. Pediatric Diphtheria Treatment & Management. Available at:

http://emedicine.medscape.com/article/963334-treatment#showall. Accessed July 28th 2012.

16.Rusmarjono, Efiaty AS. Faringitis,tonsillitis dan hipertrofi adenoid. Dalam : Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. Editor : Afiaty AS,Iskandar N,Bashiruddin J, Restuti RD. Edisi ke-6. Jakarta : Balai Penerbit FK UI.2008; hal 221-222.

17.Egyptian Company for Production. Diphtheria Anti-Toxin Serum (Equine). Available at: http://www.egyvac.com/egyproducts/Diphtheria%20Anti-Toxin.htm. Accessed July 28

th 2012.

18.Biofarma. Serum Anti Difteri. Available at: http://www.biofarma.co.id/index. php/detil/items/serum-anti-diptheri.html. Accessed July 28th 2012.

19.RxMed The Comprehensive Resource for Physician, Drugs and Ilness Information. Diphtheria Antitoxin (Equine). Available at: http://www.rxmed.com/b.main/b2. pharmaceutical/b2.1.monographs/CPS-%20Monographs/CPS-%20%28General%20 Monographs-%20D%29/Diphtheria%20Antitoxin.html. Accessed July 28th 2012. 20.American Academy of Pediatrics. Red book: 2006 Report of the Commitee on Infectious

Diseases. 27th ed. American Academy of Pediatrics; 2006. 21.Doerr S. Diphtheria. Available at: http://www.emedicinehealth.com

/diphtheria/page9_em.htm. Accessed July 28th 2012.

22.Centers for Disease Control and Prevention. Diphtheria, Tetanus, and Pertussis Vaccines. Available at: http://www.cdc.gov/vaccines/vpd-vac/diphtheria/ default.htm#vacc . Accesed July 28th 2012.

(35)

?????????????????????????????????????????????????????????????????????????

1. Diphtheria. http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/001608.htm

2. Bush L.M, Perez M.T. The Merck Manual: Diphtheria. Tersedia di:

http://www.merckmanuals.com/professional/infectious_diseases/gram-positive_bacilli/diphtheria.html?qt=Diphtheria&alt=sh#v1006046

3. GP Notebook. Complications of Tonsillar Diphtheriae

http://www.gpnotebook.co.uk/simplepage.cfm?ID=1745223704&linkID=12516&cook=no 4. buku ijo

5. Diphtheria: Division of Bacterial and Mycotic Diseases (US CDC). Tersedia di http://www.rightdiagnosis.com/artic/diphtheria_dbmd.htm. Diunduh pada 27 Juli 2012.

1 Diphtheria

• http://www.umm.edu/ency/article/001608trt.htm • Reviewed last on: 12/15/2010

• David Zieve, MD, MHA, Medical Director, A.D.A.M., Inc., and Neil K. Kaneshiro, MD, MHA, Clinical Assistant Professor of Pediatrics, University of Washington School of Medicine.

2. Dale DC, ed. 16 Infections Due to Gram-Positive Bacilli. In: Infectious Diseases: The

Clinician's Guide to Diagnosis, Treatment, and Prevention. WebMD Corporation; 2007.

3 Diphtheria in Emergency Medicine Medication Author

(36)

Allysia M Guy, MD Staff Physician, Department of Emergency Medicine, State University of New York Downstate Medical Center .

http://emedicine.medscape.com/article/782051-medication#1 4 Pediatric Diphtheria Treatment & Management

Cem S Demirci, MD Consulting Staff, Division of Endocrinology/Diabetes, Connecticut Children's Medical Center

http://emedicine.medscape.com/article/963334-treatment#showall 5 buku ijo

6. http://www.egyvac.com/egyproducts/Diphtheria%20Anti-Toxin.htm

7. Serum Antidifteri http://www.biofarma.co.id/index.php/detil/items/serum-anti-diptheri.html biofarma

8 rxmed http://www.rxmed.com/b.main/b2.pharmaceutical/b2.1.monographs/CPS-%20Monographs/CPS-%20%28General%20Monographs-%20D%29/Diphtheria

%20Antitoxin.html

9 American Academy of Pediatrics. Red book: 2006 report of the Committee on Infectious Diseases, 27th ed

http://bestpractice.bmj.com/best-practice/monograph/738/treatment/step-by-step.html 10 Medical Author:

Gambar

Gambar 3. Cincin Waldeyer
Gambar 5. Adenoid
Gambar 6. Ukuran tonsil

Referensi

Dokumen terkait

Morbili merupakan penyakit infeksi yang sangat menular yang disebabkan oleh virus, dengan gejala-gejala eksantem akut, demam, kadang kataral selaput lendir dan

Hampir keseluruhan otitis media efusi disebabkan gangguan fungsi tuba eustachius. Apabila peradangan dan infeksi bakteri akut telah jelas, kegagalan dari mekanisme pembersihan

Tonsilitis merupakan peradangan pada tonsil yang disebabkan oleh infeksi bakteri streptococcus atau infeksi virus. Diagnosis dapat ditegakkan dengan mengetahui tanda dan

Difteria adalah suatu infeksi akut yang mudah menular,sangat berbahaya pada anak –anak terutama menyerang saluran pernafasan bagian atas,penularannya melalui

Virus herpes simplex adalah virus yang terdiri dari DNA yang menyebabkan infeksi akut pada kulit yang ditandai dengan vesikel berkelompok di atas kulit yang sembab.. Terdapat 2

Difteria adalah suatu infeksi akut yang mudah menular,sangat berbahaya pada anak –anak terutama menyerang saluran pernafasan bagian atas,penularannya

Cerebritis menunjukkan tahap pembentukan abses dan infeksi bakteri yang sangat merusak jaringan otak, sedangkan ensefalitis akut umumnya infeksi virus dengan

Infeksi dari pusat catheter seperti central line paling umumnya disebabkan oleh kolonisasi bakteri di kulit dan mukosa .Invasi bakteri atau mikroorganisme menyebabkan terjadinya