1.1 Latar Belakang
Pembangunan berkelanjutan (sustainable development) sebenarnya bukanlah konsep baru, baik secara nasional maupun global. Di Indonesia, konsep ini telah menjadi bahan perbincangan sejak lebih dari tiga dasawarsa lalu. Di tingkat global, cikal bakal pembahasan pembangunan berkelanjutan bermula dari Konferensi Stockholm pada tahun 1972.
Dalam perkembangannya, seperti yang ditulis oleh Keraf (2002), istilah pembangunan berkelanjutan baru digunakan pertama kali dalam “World Conservation Strategy” dari The International Union for the Conservation of Nature (IUCN) pada tahun 1980. Istilah ini kemudian dipakai oleh Brown (1981) dalam bukunya yang berjudul “Building a Sustainable Society” dan kemudian menjadi sangat populer melalui laporan World Comission on Environment and Development (WECD) yang berjudul “Our Common Future,” pada tahun 1987. Sejak saat itu, pembangunan berkelanjutan mulai menjadi perhatian banyak negara di dunia.
Dalam laporan “Our Common Future” disebutkan bahwa “sustainable development is defined as development which meets the needs of the present without compromising the ability of future generations to meet their own needs.” (WECD, 1987:8). Pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan yang memenuhi kebutuhan saat ini tanpa mengorbankan kemampuan generasi selanjutnya untuk memenuhi kebutuhannya. Di samping itu, IUCN bersama United Nations Environmental Programme (UNEP) juga mengeluarkan rumusan pembangunan berkelanjutan yang tertuang dalam laporan “Caring for the Earth: The Strategy for Sustainable Living” (1991) sebagai pengganti “World Conservation Strategy”. Dalam rumusan tersebut pembangunan berkelanjutan dipahami sebagai berikut.
“Sustainable development means improving the quality of human life while living within the carrying capacity of supporting ecosystem. A sustainable economy is the product of sustainable development. It maintains its natural resources base, it can continue to develop by adopting and through improvement in knowledge, organization, technical
efficiency and wisdom” (IUCN dan UNEP, 1991:221).
Selain rumusan di atas, masih banyak lagi penafsiran dan definisi lain tentang pembangunan berkelanjutan yang dikemukakan oleh berbagai pakar di seluruh dunia. Berbagai konvensi internasional dan pertemuan-pertemuan besar, seperti KTT Rio de Janeiro dan KTT Johannesburg juga telah melahirkan berbagai gagasan dan kesepakatan mengenai konsep pembangunan berkelanjutan. Walaupun demikian, hingga kini, sosok final pembangunan berkelanjutan masih belum terlihat jelas. Istilah pembangunan berkelanjutan, menurut Santoso (Dalam Abdurrahman, 2003), masih mengandung berbagai penafsiran yang berbeda-beda karena terminologi pembangunan berkelanjutan sangat terbuka untuk ditafsirkan dengan berbagai pengertian. Hal ini, menurut Prabatmodjo (2005), membuka peluang munculnya berbagai gagasan kreatif, meskipun di lain pihak dapat menghasilkan kesimpangsiuran pemahaman dan menyebabkan kebingungan yang besar dalam upaya memaknai dan mewujudkan pembangunan berkelanjutan.
Dalam konteks pembangunan wilayah, pendekatan-pendekatan baru dan beragam juga terus dihasilkan dalam memaknai pembangunan wilayah yang berkelanjutan. Secara umum, pembangunan wilayah berkelanjutan, seperti yang dituliskan dalam Vision Mackay-2010 (1998), akan memiliki bentuk sebagai berikut.
(1) Mencakup pendekatan holistik, terintegrasi terhadap semua isu, salah satunya mengkaji keterkaitan antara lingkungan, sosial, dan ekonomi serta mencari gangguan buatan dan struktur penghambat yang menghalangi pengambilan keputusan lokal.
(2) Mencukupi kebutuhan ekonomi saat ini dan masa depan untuk kesejahteraan materi masyarakat, sambil menjawab isu ekologis dan kebutuhan sosial-budaya masyarakat.
(3) Berbeda dari satu tempat ke tempat lain bergantung pada permintaan masyarakat, lingkungan dan ekonomi, serta memiliki kemampuan untuk bersikap responsif, fleksibel dan tangguh.
(4) Menjadi dasar bagi partisipasi lokal dalam mengidentifikasi permasalahan dan kepedulian lokal terhadap masalah dan proses.
Sampai saat ini, konsep pembangunan wilayah berkelanjutan masih terus berkembang. Banyak negara di dunia, termasuk Indonesia, berupaya menerjemahkan dan mewujudkan konsep keberlanjutan dalam pembangunan wilayahnya. Mengingat masih banyaknya wilayah tertinggal1 di Indonesia dengan beragam karakteristik dan persoalan yang ada, maka pembahasan mengenai aspek keberlanjutan dalam pembangunan wilayah tertinggal semestinya menjadi agenda yang penting dan strategis. Sayangnya, hingga saat ini masih sedikit sekali pembahasan mengenai hal tersebut. Padahal wilayah tertinggal dengan berbagai macam dimensi ketertinggalannya seringkali menimbulkan berbagai persoalan yang dapat mengancam keberlanjutan, seperti kerusakan lingkungan maupun persoalan kemiskinan yang seperti lingkaran tak berujung pangkal (vicious circle). Persoalan ketidakberlanjutan pembangunan wilayah tertinggal juga dapat mempengaruhi keberlanjutan wilayah lain maupun nasional. Oleh sebab itu, kajian mengenai keberlanjutan pembangunan wilayah tertinggal di Indonesia penting dilakukan agar berbagai kerusakan lingkungan, ekonomi, maupun sosial yang mengancam keberlanjutan wilayah maupun nasional dapat dicegah sedini mungkin.
Dalam rangka memperkaya pemahaman mengenai aspek keberlanjutan dalam pembangunan wilayah di Indonesia, maka penelitian ini melakukan kajian mengenai keberlanjutan pembangunan wilayah tertinggal. Lokasinya difokuskan di Wilayah Jawa Barat Selatan karena isu keberlanjutan di wilayah ini sangat aktual dan menarik untuk dikaji. Wilayah Jawa Barat Selatan termasuk dalam kategori wilayah tertinggal dengan angka desa tertinggal yang tinggi.
Wilayah Jawa Barat Selatan memang sejak dulu direncanakan pemerintah sebagai kawasan konservasi dan kawasan lindung. Sekurang-kurangnya 60% kawasan lindung dan konservasi di Jawa Barat berada di Wilayah Jawa Barat Selatan. Oleh sebab itu, wilayah ini kurang mendapatkan prioritas dan menjadi relatif steril dari jamahan pembangunan. Kawasan rawan bencana yang cukup tersebar, kondisi geografis yang bergunung, serta kondisi
1
Wilayah tertinggal adalah wilayah yang relatif kurang berkembang dibandingkan dengan wilayah lainnya dalam skala nasional berdasarkan kondisi dan fungsi inter dan intra spasial baik pada aspek alam, aspek manusianya maupun prasarana pendukungnya (Bappenas, 2005). Berdasarkan tipologinya, wilayah tertinggal dapat berupa wilayah pedalaman/ terisolir, kepulauan/ pulau terpencil/pulau-pulau kecil, perbatasan, dan enclave. (www. kawasan. or.id/ktertinggal/ktertinggal. htm).
geologinya yang labil juga menyebabkan Wilayah Jawa Barat Selatan sulit berkembang, tertinggal dalam pembangunan infrastruktur, dan menjadi terisolasi. Ketertinggalan dan keterisolasian wilayah dihadapkan pada perkembangan jumlah penduduk dan kebutuhan pembangunan yang semakin besar telah menimbulkan tekanan yang cukup berat terhadap sumber daya alam dan lingkungan sehingga lambat-laun akan mengancam keberlanjutan wilayah itu.
1.2 Rumusan Masalah
Wilayah Jawa Barat Selatan sebagai benteng lingkungan dan kebumian Jawa Barat tengah menghadapi berbagai persoalan yang mengancam keberlanjutannya akibat mendesaknya kebutuhan pembangunan seiring dengan perkembangan jumlah penduduk. Meskipun pemerintah maupun masyarakat telah menyadari persoalan tersebut tapi perhatian nyata masih dirasakan kecil, terbukti dengan terus munculnya berbagai persoalan sosial, ekonomi, maupun lingkungan yang mengancam keberlanjutannya.
Pentingnya penerapan pembangunan yang berkelanjutan untuk Wilayah Jawa Barat Selatan telah disadari sejak lama, tapi pemahamannya seringkali baru sebatas konteks lingkungan. Akibatnya, pembangunan Wilayah Jawa Barat Selatan seringkali masih dilihat dalam perspektif ancaman berupa kerusakan lingkungan. Padahal di sisi lain, kebutuhan pembangunan di wilayah tersebut makin mendesak mengingat jumlah penduduk Wilayah Jawa Barat Selatan yang terus bertambah dengan tingkat kesejahteraan yang secara umum masih tertinggal.
Penelitian yang mengukur kinerja pembangunan Wilayah Jawa Barat Selatan, terutama dari sisi keberlanjutan juga belum pernah ada. Padahal pengukuran tersebut diperlukan untuk menyelaraskan kemajuan yang dicapai dengan sasaran pembangunan berkelanjutan yang ditetapkan. Hal tersebut juga diperlukan untuk memberikan peringatan dini sebelum masalah kerusakan lingkungan, ekonomi maupun sosial yang mengancam keberlanjutan makin memburuk.
Berangkat dari permasalahan di atas, maka penting diketahui: (1) bagaimana konsep pembangunan berkelanjutan dipahami dalam konteks pembangunan Wilayah Jawa Barat Selatan, dan (2) bagaimana kinerja pembangunan Wilayah Jawa Barat Selatan, terutama menyangkut aspek
keberlanjutan. Untuk itu perlu dirumuskan indikator pembangunan wilayah yang berkelanjutan guna mengukur kinerja pembangunan di Wilayah Jawa Barat Selatan. Secara lebih spesifik, masalah penelitian ini dirumuskan sebagai berikut. (1) Apa konsep pembangunan wilayah yang berkelanjutan?
(2) Indikator apa yang dapat digunakan untuk mengukur kinerja pembangunan wilayah, terutama ditinjau dari aspek keberlanjutan?
(3) Berdasarkan kerangka indikator pembangunan wilayah berkelanjutan yang telah dirumuskan, bagaimanakah kinerja Wilayah Jawa Barat Selatan dikaitkan dengan isu pembangunan berkelanjutan?
(4) Bagaimanakah langkah strategis bagi peningkatan keberlanjutan pembangunan di Wilayah Jawa Barat Selatan?
1.3 Tujuan dan Sasaran Studi
Sesuai rumusan masalah di atas, maka penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi seberapa jauh Wilayah Jawa Barat Selatan mampu mewujudkan keberlanjutan pembangunannya. Sasaran dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.
(1) Memahami kerangka konseptual pembangunan wilayah yang berkelanjutan. (2) Mengkaji indikator untuk mengukur kinerja pembangunan wilayah, terutama
dari sisi keberlanjutan.
(3) Menganalisis kinerja dan keberlanjutan pembangunan Wilayah Jawa Barat Selatan berdasarkan kerangka indikator pembangunan wilayah berkelanjutan yang telah ditetapkan.
(4) Menyusun rekomendasi bagi peningkatan keberlanjutan pembangunan di Wilayah Jawa Barat Selatan.
1.4 Ruang Lingkup
Ruang lingkup penelitian ini meliputi dua hal, yaitu ruang lingkup wilayah dan ruang lingkup materi yang akan dijelaskan sebagai berikut.
1.4.1 Lingkup Wilayah
Penelitian ini mengambil Wilayah Jawa Barat Selatan sebagai objek studi, mengingat Wilayah Jawa Barat Selatan termasuk dalam kategori wilayah
tertinggal dengan jumlah desa tertinggal yang tinggi sehingga isu keberlanjutan di wilayah ini menjadi sangat aktual untuk diangkat. Lingkup wilayah studi di Wilayah Jawa Barat Selatan ini mencakup lima bagian wilayah, yaitu Kabupaten Ciamis, Tasikmalaya, Garut, Cianjur, dan Sukabumi (Gambar I.1)
1.4.2 Lingkup Materi
Penelitian ini akan terfokus pada penilaian kinerja pembangunan Wilayah Jawa Barat Selatan, terutama ditinjau dari aspek keberlanjutan. Ruang lingkup materi dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.
(1) Pembahasan mengenai konsep pembangunan wilayah yang berkelanjutan. (2) Pembahasan mengenai indikator untuk mengevaluasi kinerja pembangunan
Wilayah Jawa Barat Selatan, terutama dari sisi keberlanjutan. Penentuan indikator itu akan didasarkan dan dikembangkan dengan mempertimbangkan tiga hal sebagai berikut.
a. Hasil tinjauan teoritis mengenai konsep pembangunan wilayah berkelanjutan dan kriteria pemilihan indikator pembangunan berkelanjutan.
b. Hasil kajian literatur mengenai model-model indikator pembangunan wilayah yang telah ada.
c. Ketersediaan data dalam publikasi statistik
(3) Pembahasan mengenai kondisi umum Wilayah Jawa Barat Selatan yang terkait dengan isu keberlanjutan.
(4) Pembahasan mengenai kinerja dan keberlanjutan pembangunan Wilayah Jawa Barat Selatan berdasarkan indikator pembangunan wilayah berkelanjutan yang telah ditetapkan.
(5) Pembahasan mengenai langkah strategis bagi peningkatan keberlanjutan pembangunan di Wilayah Jawa Barat Selatan.
1.5 Metoda Penelitian
Metoda dalam penelitian ini meliputi pengumpulan data dan teknik analisis yang masing-masing akan dijelaskan sebagai berikut.
1.5.1 Pengumpulan Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder, berupa data-data statistik Wilayah Jawa Barat Selatan yang diperoleh dari Biro Pusat Statistik (BPS) dan Badan Pengendalian Lingkungan Hidup (BPLHD) Provinsi Jawa Barat. Data tersebut meliputi data kondisi umum wilayah dan data kinerja ekonomi, sosial, dan lingkungan. Untuk memperkaya informasi mengenai situasi pembangunan di Wilayah Jawa Barat Selatan digunakan pula beberapa data dan informasi yang terdapat dalam beberapa dokumen publik, antara lain: dokumen RTRW Provinsi Jawa Barat Tahun 2002-2012, buku Panduan Pengelolaan Lingkungan Hidup Propinsi Jawa Barat Tahun 2005 yang diperoleh dari Badan Pengendalian Lingkungan Hidup (BPLHD) Propinsi Jawa Barat, serta Laporan Akhir Rencana Pusat Pengembangan Agribisnis Cipamatuh Tahun 2005 dan Laporan Antara Rencana Induk Pengembangan Wilayah Jawa Barat Selatan Tahun 2006 yang diperoleh dari Badan Perencanaan Daerah (Bapeda) Propinsi Jawa Barat.
1.5.2 Teknik Analisis
Analisis diawali dengan evaluasi kinerja pembangunan Wilayah Jawa Barat Selatan secara per aspek (ekonomi, sosial, lingkungan, dan pendukung) menggunakan beberapa indikator yang sebelumnya telah ditetapkan dalam kajian literatur pada Bab II. Metoda analisis yang digunakan adalah analisis deskriptif kuantitatif, yaitu mendeskripsikan berbagai data kuantitatif empirik berupa data-data indikator ekonomi, sosial, lingkungan, dan pendukung dalam perioda 1993-2004.
Hasil evaluasi kinerja pembangunan digunakan sebagai petunjuk dalam analisis keberlanjutan wilayah. Pembangunan dianggap lebih mengarah pada keberlanjutan jika kinerja seluruh indikator, terutama di ketiga aspek (ekonomi, sosial, maupun lingkungan) memperlihatkan kecenderungan membaik secara sinergis. Berhubung tiap aspek terdiri dari beberapa indikator yang kinerjanya dapat berbeda-beda (sebagian mungkin membaik dan/atau sebagian lainnya
memburuk), maka untuk menentukan kinerja secara agregat dibuat beberapa indeks komposit, meliputi indeks ekonomi, sosial, dan lingkungan. Indeks ekonomi akan menggambarkan kinerja agregat dari seluruh indikator aspek ekonomi. Begitu pula, indeks sosial dan lingkungan menggambarkan kinerja agregat dari seluruh indikator aspek sosial dan lingkungan.
Indeks yang nilainya tinggi diasumsikan mencerminkan kondisi kinerja yang lebih baik. Untuk memenuhi asumsi tersebut, maka semua indikator penyusun indeks juga perlu dikondisikan agar sejalan dengan asumsi tersebut, yaitu mencerminkan kondisi kinerja yang lebih baik jika nilainya semakin tinggi. Beberapa indikator ekonomi, seperti Rasio Gini, persentase penduduk miskin, dan pengangguran terbuka (Tabel II.1) yang justru menunjukkan kinerja lebih buruk jika nilainya semakin tinggi perlu dibalik ukurannya sehingga memenuhi asumsi di atas. Dengan demikian, dalam pembuatan indeks ekonomi, ukuran ketiga indikator tersebut diubah menjadi seperti berikut.
1. Rasio Gini dibalik ukurannya menjadi: 1-Rasio Gini
2. Persentase penduduk miskin dibalik menjadi: 100%-persentase penduduk miskin (menunjukkan persentase penduduk di atas garis kemiskinan). 3. Persentase pengangguran terbuka dibalik menjadi: 100%-persentase
pengangguran terbuka (menunjukkan persentase angkatan kerja yang bekerja).
Tiap indikator penyusun indeks diasumsikan memiliki bobot atau peran yang seimbang. Nilai indeks minimum ditetapkan sama dengan 0, sedangkan nilai maksimumnya sama dengan 1. Masing-masing indeks nilai maksimumnya bisa lebih dari 1 karena salah satu atau beberapa indikator penyusunnya memiliki kemungkinan bernilai lebih tinggi dari target yang ditetapkan. Dengan asumsi dan ketetapan tersebut, maka rumus perhitungan indeks yang digunakan adalah sebagai berikut.
Indeks(k) = Bobot x ∑ (X(i) Capaian/ X(i) Target) Bobot = 1/ N(k)
Keterangan:
N(k) = Jumlah indikator dalam indeks k (k= ekonomi, sosial, lingkungan)
X(i) capaian = Nilai capaian untuk indikator penyusun indeks k yang ke-i (i = 1,2,3, ...)
X(i) target= Nilai target untuk indikator penyusun indeks k yang ke-i (i = 1,2,3,...)
Adapun nilai target untuk tiap indikator penyusun indeks dapat dilihat pada Tabel I.1 berikut.
Tabel I.1
Nilai Target Indikator Penyusun Indeks
Indeks Indikator Penyusun Indeks Target Keterangan
PDRB per kapita Rp 54.000.000 Target Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005-2025 Æ PDB per kapita Indonesia = 6000 US$ (US$ 1 = Rp 9000)
1-Rasio Gini 0,801 - Kesepakatan Gubernur dengan Bupati/Walikota se-Jawa Barat tentang Sinergitas Penyelenggaraan
Pemerintahan dan Pembangunan Jawa Barat Tahun 2004-2008 Æ angka Rasio Gini < 0,20
- Menurut Todaro (1978), Rasio Gini antara 0,20 s.d 0,35 sudah menunjukkan distribusi pendapatan yang relatif merata Persentase angkatan
kerja yang bekerja 95 Target Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005-2025 Æ Angka pengangguran tidak lebih dari 5%
Ekonomi
Persentase penduduk di atas garis
kemiskinan
95 Target Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005-2025 Æ Angka kemiskinan tidak lebih dari 5% Angka harapan hidup 73,7 Target Rencana Pembangunan Jangka
Panjang Nasional (RPJPN) 2005-2025 Angka melek huruf 100 Sesuai kesepakatan global dalam
Millenium Development Goal (MDG) dan program pemberantasan buta huruf yang dicanangkan pemerintah sejak awal PJPT II (GBHN 1993)
Sosial
Persentase penduduk usia 10 tahun ke atas yang tamat SLTP ke atas
100 Sesuai program wajib belajar 9 tahun yang dicanangkan pemerintah sejak awal PJPT II (GBHN 1993)
Lanjutan Tabel I.1
Nilai Target Indikator Penyusun Indeks
Indeks Indikator Penyusun Indeks Target Keterangan
Luas lahan sawah
beririgasi Mempertahankan rasio antara jumlah penduduk dengan luas sawah irigasi masing-masing kabupaten pada tahun 1990
Berdasarkan kebijakan pemerintah yang intinya melarang penggunaan lahan pertanian, khususnya sawah beririgasi teknis untuk penggunaan non pertanian. Kebijakan tersebut tertuang dalam: - Keppres RI No.33 Tahun 1990 yang
memuat tentang pemberian ijin penggunaan tanah untuk industri yang tidak boleh mengurangi areal pertanian
- Surat Meneg/Ka.BPN No. 410-1850, tanggal 15 Juni 1994, perihal
perubahan penggunaan tanah sawah beririgasi teknis untuk penggunaan non pertanian
- Surat Meneg/ Ka. BPN No. 410-1851, tanggal 15 Juni 1994 perihal pencegahan perubahan penggunaan tanah sawah beririgasi teknis untuk penggunaan non pertanian melalui penyusunan Rencana Tata Ruang (RTR) yang ditujukan kepada Gubernur KDH Tk. I, Bupati/walikota KDH Tk. II seluruh Indonesia
Lingkungan
Luas hutan Perhutani
unit III 30% dari luas wilayah masing-masing kabupaten
Luas hutan ideal untuk menunjang keseimbangan ekosistem ─seperti yang tercantum dalam UU no.41 tentang Kehutanan─ minimal harus 30% dari luas wilayah. Dengan luasan tersebut
diharapkan sebagian curah hujan yang turun pada musim hujan dapat disimpan dalam lapisan tanah dan dialirkan sebagai aliran dasar atau (base flow) pada musim kemarau
Nilai masing-masing indeks menunjukkan proporsi dari target kinerja agregat indikator masing-masing aspek yang berhasil dicapai. Nilai tersebut divisualisasikan ke dalam segitiga keberlanjutan untuk menggambarkan hubungan antara aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan yang merupakan tiga pilar utama pembangunan berkelanjutan. Visualisasi segitiga keberlanjutan tersebut dapat dilihat pada Gambar II.2. Segitiga berwarna abu-abu yang berada
dalam segitiga besar menunjukkan situasi keberlanjutan di kabupaten/wilayah yang diamati. Sedangkan segitiga sama sisi menunjukkan situasi yang optimum.
Gambar I.2 Segitiga Keberlanjutan 0 1 Ekonomi Sosial Lingkungan 1 1
Dalam penelitian ini, indeks komposit (ekonomi, sosial, dan lingkungan) hanya akan disajikan dalam dua tahun amatan, yaitu tahun 1996 dan 2004. Indeks tahun 1996 akan mewakili situasi/kinerja pembangunan pada periode sebelum reformasi. Sedangkan indeks tahun 2004 mewakili situasi/kinerja pembangunan pada periode setelah reformasi. Penetapan tahun 1996 dan 2004 didasarkan pada ketersediaan data tahun paling awal (sebelum reformasi) dan paling akhir (setelah reformasi) yang terlengkap untuk seluruh indikator. Penilaian keberlanjutan pada masa sebelum dan sesudah reformasi tersebut menjadi fokus mengingat adanya perubahan yang bersifat struktural pada perioda tersebut.
Hasil perbandingan nilai indeks kedua tahun tersebut dapat memberikan indikasi mengenai keberlanjutan pembangunan di Wilayah Jawa Barat Selatan. Pembangunan wilayah dianggap lebih mengarah pada keberlanjutan jika kinerja seluruh aspek membaik dan mengarah pada kondisi keseimbangan antara kinerja ekonomi, sosial, dan lingkungan. Kondisi tersebut ditunjukkan oleh nilai indeks ekonomi, sosial, dan lingkungan yang semakin meningkat dan mengarah pada nilai yang seimbang/sama. Kondisi yang mengarah pada keberlanjutan ditunjukkan oleh bentuk segitiga abu-abu yang semakin mengembang dan mengarah ke bentuk segitiga sama sisi.
1.6 Kerangka Penelitian Gambar I.3 Kerangka Penelitian PENDAHULUAN Latar Belakang Rumusan Masalah
- Pentingnya pembangunan berkelanjutan di Wilayah Jawa Barat Selatan telah disadari, tapi pemahamannya baru sebatas konteks lingkungan.
- Pengukuran kinerja dan keberlanjutan pembangunan di Wilayah Jawa Barat Selatan belum pernah dilakukan padahal perlu untuk menyelaraskan kemajuan yang dicapai dengan sasaran pembangunan berkelanjutan yang telah ditetapkan dan memberikan peringatan dini sebelum masalah kerusakan lingkungan, ekonomi maupun sosial yang mengancam keberlanjutan makin memburuk.
ANALISIS KINERJA PEMBANGUNAN WILAYAH JAWA BARAT SELATAN, DITINJAU DARI ASPEK KEBERLANJUTAN
KAJIAN LITERATUR - Konsep pembangunan wilayah berkelanjutan
- Kriteria dan model-model indikator pembangunan wilayah berkelanjutan
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI UNTUK MENINGKATKAN KEBERLANJUTAN PEMBANGUNAN DI WILAYAH JAWA BARAT SELATAN
INDIKATOR PEMBANGUNAN WILAYAH BERKELANJUTAN
PERLU STUDI UNTUK MEMPERJELAS PEMAHAMAN MENGENAI KEBERLANJUTAN PEMBANGUNAN WILAYAH TERTINGGAL DI INDONESIA
WILAYAH JAWA BARAT SELATAN SEBAGAI KASUS STUDI
Wilayah Jawa Barat Selatan merupakan wilayah tertinggal dengan berbagai persoalan yang mengancam keberlanjutan.
- Indonesia menghadapi banyak sekali wilayah tertinggal dengan berbagai karakteristik dan persoalan yang dapat mengancam keberlanjutan
- Ketidakberlanjutan dalam pembangunan wilayah tertinggal dapat mempengaruhi keberlanjutan wilayah lain maupun nasional
Berkembang beragam penafsiran mengenai pembangunan berkelanjutan, tapi sedikit pembahasan tentang pembangunan berkelanjutan di wilayah tertinggal
KONDISI UMUM PEMBANGUNAN DI WILAYAH JAWA BARAT SELATAN
1.7 Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan laporan tugas akhir ini dapat diuraikan sebagai berikut.
BAB I PENDAHULUAN
Pada bab ini diuraikan mengenai latar belakang penelitian, rumusan masalah, tujuan dan sasaran penelitian, ruang lingkup penelitian (berupa ruang lingkup wilayah dan materi), metodologi dan sistematika pembahasan.
BAB II PEMBANGUNAN WILAYAH BERKELANJUTAN
Bab ini menjelaskan tentang konsep pembangunan wilayah berkelanjutan dan indikator-indikatornya.
BAB III GAMBARAN UMUM WILAYAH JAWA BARAT SELATAN
Bab ini menjelaskan kondisi umum Wilayah Jawa Barat Selatan yang terkait dengan isu keberlanjutan
BAB IV ANALISIS KINERJA PEMBANGUNAN
Bab ini menguraikan hasil analisis kinerja pembangunan Wilayah Jawa Barat Selatan ditinjau dari aspek keberlanjutan.
BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
Bab ini berisi kesimpulan studi berdasarkan analisis yang telah dilakukan serta rekomendasi untuk meningkatkan keberlanjutan pembangunan di Wilayah Jawa Barat Selatan.