OPEN ACCES
Vol. 13 No. 2: 391-402 Oktober 2020 Peer-Reviewed
Jurnal AgribisnisPerikanan(E-ISSN 2598-8298/P-ISSN 1979-6072)
URL: https:https://ejournal.stipwunaraha.ac.id/index.php/AGRIKAN/
DOI: 10.29239/j.agrikan.13.2.391-402
Pengaruh Hormon 17
α
-Metiltestosteron dengan Dosis Berbeda terhadap
Persentase Kelamin Jantan, Pertumbuhan Berat Mutlak, dan Kelangsungan
Hidup pada Ikan Tetra Kongo (
Micraleptus interruptus
)
(
Effect 17
α
-Metiltestosterone Hormone with Different Dosage to Percentage
Male Sex, Absolute Weigh Growth, and Survival to Congo Tetra Fish
(Micraleptus interruptus)
)
Muhammad Irfan
1, Nursanti Abdullah
1dan Siti Fadilla Paputungan
11 Program Studi Budidaya Perairan Fakultas Perikanan dan Kelautan, Universitas Khairun. Ternate. Indonesia,
Email : ifan_fanox@yahoo.co.id; nursantiabdullah7@gmail.com; sitipaputungan208@gmail.com
Info Artikel: Diterima: 31 Okt. 2020 Disetujui 11 Nov. 2020 Dipublikasi: 20 Nov. 2020
Reserch Article Keyword: 17α-methyltestosterone, Congo Tetra, absolute weight growth, survival rate. Korespondensi: Muhammad Irfan
Universitas Khairun. Ternate, Indonesia
Email: ifan_fanox@yahoo.co.id
Copyright© Oktober 2020 AGRIKAN
Abstrak. Ikan Tetra kongo merupakan salah satu jenis ikan hias air tawar yang banyak diminati karena nilai ekonomisnya yang tinggi. Ikan tetra kongo jantan memiliki nilai jual yang lebih tinggi dibandingkan ikan betina, karena morfologi tubuhnya terlihat lebih menarik, terutama warnanya yang lebih cerah dan sirip yang panjang. Teknologi sex reversal merupakan salah satu teknik yang dapat digunakan untuk memperoleh keturunan monoseksual jantan. Hormon 17α-methyltestosteron pada ikan jantan dapat meningkatkan spermatogenesis dan menentukan tanda-tanada kelamin sekunder pada ikan jantan melalui pembentukan ciri seksual pada morfologi ikan dan warna tubuh. Pemberian hormon 17α-metiltestosteron dengan dosis yang tepat dapat meningkatkan persentase jenis kelamin jantan ikan tetra kongo. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh pemberian hormon 17α-metiltestosteron dengan dosis berbeda terhadap persentase jenis kelamin jantan, pertumbuhan berat mutlak, dan kelangsungan hidup ikan tetra kongo, untuk menentukan dosis hormon 17α-metiltestosteron yang paling berpengaruh terhadap persentase jenis kelamin jantan, pertumbuhan berat mutlak, dan kelangsungan hidup ikan tetra kongo. Penelitian ini dilakukan di Unit Pelayanan Teknis Daerah Balai Benih Ikan Kota Ternate. Waktu pelaksanaan penelitian dimulai dari bulan Maret hingga Mei 2020. Dalam penelitian ini digunakan 4 perlakuan dosis hormon yang masing-masing perlakuan diulang sebanyak 3 kali. Perlakuan yang dicoba adalah sebagai berikut: Perlakuan A: Dosis 2 mg l, Perlakuan B: Dosis 3 mg / l, Perlakuan C: Dosis 4 mg /l, Perlakuan D: Dosis 0 mg/l (kontrol). Hasil penelitian menunjukkan bahwa Hormon 17α-metil testosteron dengan dosis berbeda berpengaruh sangat nyata terhadap persentase jenis kelamin jantan ikan tetra kongo, namun tidak berbeda nyata terhadap pertumbuhan berat mutlak dan kelangsungan hidup ikan tetra kongo. Persentase jenis kelamin jantan tertinggi pada ikan tetra kongo terdapat pada perlakuan C (dosis 4 mg/ l) yaitu 86,6%, nilai pertumbuhan berat mutlak tertinggi terdapat pada perlakuan A (dosis hormon 2 mg/l) sebesar 1.083 gram, dan kelangsungan hidup tertinggi terdapat pada perlakuan D (kontrol) sebesar 90.473%.
Abstract.Congo Tetra fish is one of the freshwater ornamental fish species which is in great demand because of its high economic value. Male congo tetra fish have a higher selling value than female fish, because the morphology of their bodies looks more attractive, especially their brighter colors and long fins. Sex reversal technology is one technique that can be used to obtain male monosexual offspring.The hormone 17α-methyltestosterone in male fish can increase spermatogenesis and determine secondary sex markers in male fish through the formation of sexual characteristics in fish morphology and body color.The administration of the hormone 17α-methyltestosterone with the right dose can increase the percentage of male sex of Congo Tetra fish.The purpose of this study was to determine the effect of the hormone 17α-methyltestosterone with different doses on the percentage of male sex, absolute weight growth, and survival of congo tetra fish, to determine which 17α-methyltestosterone hormone dose had the best effect on the percentage of male sex, growth in absolute weight, and survival in congo tetra fish.This research was conducted at the Regional Technical Service Unit of the Fish Seed Center for Ternate City. The time for conducting the research starts from March to May, 2020.In this study, 4 treatment doses of hormones were used, each treatment was repeated 3 times. The treatments tried were as follows:Treatment A: Dose 2 mg/l,Treatment B: Dose 3 mg/l,Treatment C: Dose 4 mg/l,Treatment D:Dose 0 mg/l(control).The results showed that the hormone 17α-methyl testosterone with different doses had a very significant effect on the male sex percentage of congo tetra fish, but it was not significantly different on the growth in absolute weight and survival of congo tetra fish. The highest average percentage of male sex in congo tetra fish was found in treatment C (dose 4 mg/l) which was 86.6%, the highest average value of growth in absolute weight was found in treatment A (hormone dose 2 mg/l) of 1.083 grams, and the highest survival was found in treatment D (control) of 90.473%.
392
I. PENDAHULUAN
Ikan tetra kongo merupakan salah satu spesies ikan hias air tawar yang banyak diminati karena bernilai ekonomis tinggi. Ikan tetra kongo jantan memiliki nilai jual lebih tinggi daripada ikan betina, karena morfologi tubuhnya yang tampak lebih menarik terutama warnanya yang lebih cerah serta memiliki bentuk sirip yang panjang.Keindahan ikan tetra kongo terletak pada sisiknya yang dapat memantulkan warna pelangi cerah menyala, sisi tubuhnya berwarna warni antara kuning hijau dan biru, perut keperakan dan bentuk siripnya yang panjang berumbai, serta diantara cagak ekor tumbuh jari-jari sirip memanjang seperti kucir. Keindahan dari ikan tetra kongo tersebut hanya akan nampak pada ikan jantan saja, sehingga harga jual ikan tetra kongo jantan lebih mahal dibanding tetra kongo betina. Harga jual ikan tetra kongo jantan per ekor
sekitar Rp. 20.000 – Rp. 25.000, dan ikan tetra
kongo betina sekitar Rp.15.000 – Rp. 20.000 (Ulfa,
2018).
Teknologi pengubahan kelamin (sex
reversal) merupakan salah satu teknik yang dapat
dilakukan untuk memperoleh keturunan
monoseks jantan. Hormon yang dapat digunakan adalah steroid androgen misalnya testosteron. Derivat dari hormon ini yang merupakan hormon steroid sintetis dan telah berhasil digunakan dalam merangsang perubahan jenis kelamin dari
betina menjadi jantan adalah hormon 17α
-metiltestosteron.Hormon androgen sintetis
memiliki evektivitas yang lebih tinggi
dibandingkan yang alami. Hal ini disebabkan
karena hormon 17α-metiltestosteron dapat bereaksi lebih lama pada sel target dibandingkan dengan androgen alami (Laining, 2000).
Hormon 17α-metiltestosteron pada ikan
jantan dapat meningkatkan spermatogenesis dan menentukan tanda-tanda kelamin sekunder pada ikan jantan melalui pembentukan ciri-ciri seksual pada morfologi dan warna tubuh ikan (Matty, 1985). Derajat keberhasilan perubahan jenis kelamin yang tinggi dengan menggunakan hormon bergantung pada beberapa faktor. Salah satu faktor tersebut adalah dosis hormon (Matty, 1985).Selanjutnya dikatakan bahwa pemberian
hormon 17α-metiltestosteron dengan dosis yang tepat dapat menigkatkan persentase kelamin jantan ikan tetra kongo.
Untuk mendapatkan dan memproduksi ikan tetra kongo jantan sebanyak mungkin, maka dilakukan berbagai upaya, salah satunya adalah
dengan menggunakan tekonologi pengalihan
kelamin secara monoseks jantan dengan
menggunakan hormon (Arfah dkk; 2002). Bertolak dari hal inilah, maka dilakukan penelitian dengan
judul” Pengaruh Hormon 17α-Metil Testosteron Dengan Dosis Berbeda Terhadap Persentase
Kelamin Jantan Pada Ikan Tera Kongo
(Micraleptus interruptus).Tujuan dari penelitian
ini adalah untuk mengetahui pengaruh hormon
17α-metiltestosteron dengan dosis berbeda
terhadap persentase kelamin jantan, pertumbuhan berat mutlak, dan kelangsungan hidup ikan tetra
kongo, menentukan dosis hormon 17α
-metiltestosteron mana yang memberikan pengaruh terbaik terhadap persentase kelamin jantan, pertumbuhan berat mutlak, dan kelangsungan hidup pada ikan tetra kongo.
II.BAHAN DAN METODE 2.1.Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitan ini dilaksanakan di Unit
Pelayanan Teknis Daerah (UPTD) Balai Benih Ikan Kota Ternate. Waktu pelaksanaan penelitian dimulai dari bulan Maret sampai dengan bulan Mei, 2020.
2.2. Prosedur pelaksanaan
2.2.1.Persiapan wadah
Wadah percobaan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu toples kapasitas 16 liter sebanyak 12 buah. Sebelum toples digunakan dibersihkan terlebih dahalu dengan cara dibilas atau dicuci dengan air dan deterjen hingga bersih
kemudian dijemur atau dikeringkan dan
didiamkan selama satu hari sebelum digunakan. Kemudian toples diisi air sebanyak 1 liter, lalu di beri aerator sebagai penyuplai oksigen.
2.2.2. Persiapan Pemijahan Induk Ikan
Pemijahan ikan tetra kongo dilakukan secara alami dan dilakukan secara massal dalam akuarium dengan perbandingan jantan-betina 3:5. Induk matang gonad yang ditandai dengan perut gendut, kemudian dimasukkan induk tersebut ke dalam akuarium pemijahan. Pada umumnya induk jantan selalu siap dikawinkan sehingga pemilihan induk hanya dilihat dari keseragaman besarnya dengan harapan kualitasnya akan sama.
2.2.3. Persiapan Ikan Uji (Larva)
Ikan yang digunakan dalam penelitian ini adalah larva ikan tetra kongo yang berumur 7 hari dengan berat 0,01 gram yang diperoleh dari hasil pemijahan secara alami. Telur yang diperoleh diinkubasi selama 7 hari sampai menetas. Larva uji
393
berasal dari hasil pemijahan alami dalam bak terkontrol di UPTD Balai Benih Ikan Kota Ternate.
2.2.4. Perendaman Larva
Penetesan dilakukan sama seperti yang dilakukan pada metode perendaman telur, namun pada proses ini telur yang ditetaskan tidak di rendam terlebih dahulu, melainkan dilakukan setelah telur menetas. Setelah menetas, larva dipelihara sampai berumur 7 hari. Selanjutnya larva ikan dimasukkan kedalam wadah dengan volume air sebanyak 2 liter yang sudah dicampur
dengan hormon 17α-metiltestosteron sesuai dengan kosentrasi pada masing-masing perlakuan dengan jumlah larva 7 ekor per wadah dengan berat larva 0,01 gram, perendaman larva pada hormon dilakukan selama 8 jam.Setelah 8 jam perendaman ikan dipindahkan ke wadah yang sama dengan air sebanyak 16 liter yang sudah diendapkan selama 1 hari. Setelah itu ikan hasil perendaman dipelihara sampai dilakukan proses identifikasi kelamin pada akhir penelitan.
2.3. Tahap Pelaksanaan
Pada tahap pelaksanaan ini dicobakan masing 4 perlakuan dosis hormon, masing-masing perlakuan diulang sebanyak 3 kali. Perlakuan yang dicobakan adalah sebagai berikut:
Perlakuan A : Dosis 2 mg/l
Perlakuan B : Dosis 3 mg/l Perlakuan C : Dosis 4 mg/l
Perlakuan D : Dosis 0 mg/l (kontrol)
Penentuan dosis hormon didasarkan pada kebutuhan ikan tetra kongo yang sesuai yaitu dosis 0-15 mg/l (Matty, 1985). Pelarutan hormon dilakukan dengan cara memasukkan hormon ke dalam 1 ml alkohol 70%, kemudian dimasukkan ke dalam wadah perendaman. Larva yang direndam sebanyak 7 ekor dalam setiap wadah selama 8 jam. Setelah perendaman, larva dipindahkan ke wadah pemeliharaan dengan wadah yang sama.
2.4. Tahap Pengumpulan Data
Pengumpulan data dalam penelitan ini meliputi: persentase kelamin jantan ikan tetra kongo, pertumbuhan berat mutlak, kelangsungan hidup, dan kualitas air (suhu, pH, DO), yang masing-masing tahapan datanya diuraikan sebagai berikut:
2.4.1. Penentuan Jenis Kelamin Ikan
Untuk menentukan jenis kelamin jantan dan betina dilakukan dengan dua cara yaitu:
1. Pengamatan Secara Morfologi
Pengamatan secara morfologi dilihat
berdasarkan perbedaan bentuk tubuh dan warna pada ikan tetra kongo jantan dan betina. 2. Pengamatan Secara Histologis
Penentuan jenis kelamin secara histologis dilakukan dengan cara pemeriksaan jaringan gonad melalui pawarnaan dengan asetokarmin. Ikan uji dibedah dan diambil gonadnya lalu diletakkan diatas gelas objek. Gonad dicincang sampai halus dan diberi 2-3 tetes larutan asetokarmin dan dibiarkan beberapa menit. Gelas penutup diletakkan dengan penekanan secara perlahan. Preparat yang sudah siap diamati dengan menggunakan mikroskop pembesaran 100 kali.
Penentuan jenis kelamin mengikuti petunjuk Laining (2000) sebagai berikut:
1. Jantan: Jaringan gonad mengandung sel bakal
sperma (testis).
2. Betina: Jaringan gonad mengandung sel bakal
telur (ovari).
3. Hermaprodit: Jaringan gonad mengandung sel
bakal sperma dan sel bakal telur.
4. Steril: Jaringan gonad berbentuk seperti
benang dan mengandung lembaran jaringan penghubung didalamnya sering mengandung oosit maupun spermatogonia dalam fase perkembangan yang terhambat.
Untuk menghitung persentase kelamin jantan (J) dan betina (B) dengan menggunakan formula menurut Zairin (2002) sebagai berikut:
2.4.2. Pertumbuhan Berat Mutlak
Data pertumbuhan diperoleh dari hasil penimbangan berat ikan pada saat awal ikan ditebar, dan penimbangan ikan pada saat akhir
pemeliharaan. Pertumbuhan berat mutlak
diperoleh dari selisih antara berat rataan akhir penelitian dengan berat rataan awal saat ikan ditebar.Untuk menghitung pertumbuhan berat mutlak ikan tetra kongo digunakan rumus menurut Weatherly (1972) dalam Irfan (2003) sebagai berikut:
394 Keterangan:
W = Pertumbuhan berat mutlak (gram) Wt = Berat akhir (gram)
W0 = Berat awal (gram)
2.4.3. Kelangsungan Hidup
Kelangsungan hidup adalah persentase ikan yang hidup pada akhir pemeliharaan dari jumlah seluruh ikan awal yang dipelihara dalam suatu wadah. Untuk mengetahui tingkat kelangsungan hidup ikan dapat menggunakan rumus menurut Weatherly (1972) dalam Irfan (2003) sebagai berikut:
Keterangan: SR = Survival Rate (Kelangsungan hidup)
2.4.4. Kualitas air
Kualitas air yang diukur meliputi suhu, pH, dan oksigen terlarut. Pengukuran suhu, pH, dan oksigen terlarut dilakukan dengan menggunakan alat ukur Hanna multi parameter. Pengukuran suhu, pH, oksigen terlarut dilakukan setiap minggu sekali pada waktu pagi pukul 09.00 WIT, selama penelitian.
2.5. Analisis Data
Analisis data yang digunakan adalah analisis Rancangan Acak Lengkap (RAL). Hal ini didasarkan pada asumsi bahwa seluruh satuan percobaan dianggap homogen.Untuk analisis datanya menggunakan analisis sidik ragam (Steel
dan Torrie (1993). Apabila dari perlakuan
yang dicobakan memberikan pengaruh yang berbeda terhadap persentase kelamin jantan ikan tetra kongo, maka dilanjutkan dengan uji Beda Nyata Terkecil (BNT).
III.HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1. Persentase Kelamin Jantan Ikan Tetra Kongo
Keberhasilan persentase kelamin ikan tetra kongo jantan diketahui dari adanya kenaikan persentase ikan jantan dari tanpa pemberian hormon dibandingkan dengan pemberian hormon saat perendaman. Persentase kelamin jantan pada
ikan tetra kongo berdasarkan dosis hormon 17α -metil testosteron yang berbeda dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Persentase Kelamin Jantan Ikan Tetra Kongo pada Setiap Perlakuan
Ulangan Perlakuan A B C D 1 2 3 85,71 66,66 100 100 100 57,14 100 60 100 57,14 14,28 28,57 Jumlah 252,37 257,14 260,00 99,99 Rataan 84,12 85,71 86,66 33,33
Keterangan : A = Dosis 2 mg/l B = Dosis 3 mg/l C = Dosis 4 mg/l D = kontrol (Dosis 0 mg/l)
Data pada Tabel diatas, menunjukkan bahwa rataan persentase kelamin jantan tertinggi pada ikan tetra kongo adalah pada perlakuan C yaitu sebesar 86,6 %. Kemudian diikuti oleh perlakuan B 85,71 %, A 84,12 % dan D 33,33 %. Dari hasil ini dapat diketahui bahwa persentase jantan tertinggi terdapat pada perlakuan C yaitu dosis
hormon 4 mg/l dan yang terendah pada perlakuan D (kontrol).
Untuk mengetahui perbedaan pengaruh dari
perlakuan-perlakuan yang dicobakan maka
dilakukan analisis keragaman. Hasil analisis
keragaman pengaruh perlakuan terhadap
persentase kelamin jantan dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Analisis Keragaman pengaruh Perlakuan Terhadap Persentase Kelamin Jantan Ikan Tetra Kongo
Sumber Keragaman dB JK KT Fhit Ftab 0,05 0,01 Perlakuan Galat 3 8 6134,006 3803,01 2044,66 1.242,16 16,4605** 4,07 7,59 Total 11 4546,68
395
Hasil analisis keragaman pada Tabel 5,
menunjukkan bahwa penggunaan hormon 17
-metil testosteron dengan dosis berbeda
memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap persentase kelamin jantan ikan tetra kongo. Hal ini terlihat jelas dimana F hitung lebih besar dari F tabel baik pada taraf uji 0,05 maupun taraf uji 0,01. Ini berarti bahwa dari perlakuan yang dicobakan memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap persentase kelamin jantan.
Untuk mengetahui perbedaan pengaruh dari setiap perlakuan maka dilanjutkan dengan uji BNT yang hasilnya dijelaskan bahwa perlakuan C memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata terhadap perlakuan B pada taraf 5 % dan 1 %. Perlakuan C ke A berbeda nyata pada taraf 5 % dan tidak nyata pada taraf 1%. Perlakuan C terhadap perlakuan D sangat berbeda nyata. Perlakuan B terhadap perlakuan A tidak berbeda nyata, perlakuan B ke D sangat berbeda nyata. Perlakuan A terhadap perlakuan D berbeda nyata pada taraf 5 % dan 1 %. Dari hasil ini, menunjukkan bahwa perlakuan C (dosis 4 mg/l) memberikan hasil terbaik terhadap persentase kelamin jantan ikan tetra kongo. Hasil yang diperoleh ini sama seperti yang diperoleh Arfah dkk (2002) yang mendapatkan persentase tertinggi ikan tetra kongo pada dosis 4 mg/l sebesar 87,17%. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi dosis hormon yang digunakan semakin tinggi tingkat persentase jantannya.
Terjadinya perbedaan persentase kelamin jantan ikan tetra kongo cenderung diakibatkan oleh dosis hormon yang digunakan. Dimana dosis hormon yang lebih tinggi hasilnya akan semakin baik, sehingga meningatkan persentase jantannya. Hal ini terbukti dengan dosis hormon 4 mg/l mampu menghasilkan persentase kelamin jantan ikan tetra kongo sebesar 86,66% dibanding dengan dosis hormon lainnya yang digunakan. Tingginya persentase kelamin jantan ikan tetra kongo yang
dihasilkan dengan dosis hormon 4 mg/l,
disebabkan karena semakin besar dosis hormon yang diberikan semakin besar pula pengaruhnya terhadap perkembangan alat kelamin (gonad), namun penggunaan horon tersebut harus sesuai dengan kebutuhan dosis yang dibutuhkan. Matty (1985) menyatakan bahwa kebutuhan dosis hormon yang sesuai bagi ikan tetra kongo adalah pada dosis sekitar 0-15 mg/l. Menurut Suseno dkk
(1992), keberhasilan penggunaan hormon
pengubah kelamin sangat bergantung pada dosis hormon yang digunakan, waktu awal, jenis
hormon, lamanya perlakuan, spesies ikan yang digunakan, dan suhu air perlakuan. Pemberian dosis hormon harus tepat dalam proses pengalihan
kelamin.Harahap (1994) dalam Irfan (2003)
menyatakan bahwa pencampuran hormon dengan dosis yang terlalu tinggi atau rendah akan
mengakibatkan terbentuknya ikan betina
(Paradoxial feminization). Matty (1985)
menyatakan bahwa tingkat keberhasilan dengan menggunakan hormon pembentuk kelamin jantan dapat meningkat apabila pemberian hormon diberikan selama periode yang sensitif pada awal perkembangan seksual. Hal ini didukung oleh Shepard dan Bromage (1988) yang menyatakan bahwa pemberian hormon steroid adalah sebelum dan atau sesudah periode diferensiasi seksual. Chen dan Yeung (1983) menyatakan bahwa pemberian hormon androgen (hormon jantan) dengan dosis tepat menyebabkan pembentukan ovari terhambat dan pembentukan testis semakin berkembang sehingga gonad akan berdiferensiasi menjadi testis. Keberhasilan maskulinisasi (proses
penjantanan) dipengaruhi ketepatan teknik
manipulasi faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap produksi steroid. Waktu yang tepat untuk melakukan pembalikan kelamin ikan adalah pada masa diferensiasi seks suatu individu. Diferensiasi seks (alih kelamin) adalah proses gonad belum terdeferensiasi menjadi testis atau
ovarium sesuai dengan genetiknya yang
dipengaruhi oleh lingkungan (Ayuningtyas dkk; 2015).
Terjadinya peningkatan persentase kelamin jantan ikan tetra kongo disebabkan pemberian dosis hormon yang sesuai dan pada fase yang tepat yaitu fase diferensiasi kelamin. Zairin (2002) menyatakan bahwa pemberian hormon pada fase
diferensiasi kelamin dapat mengakibatkan
peningkatan jumlah ikan jantan. Pada hormon
17α-metiltestosteron terdapat kecenderungan
pemberian dosis hormon yang terlalu rendah menyebabkan proses pengarahan jenis kelamin
kurang sempurna dan sebaliknya dapat
menyebabkan ikan menjadi steril, abnormalitas, dan bahkan dapat menyebabkan kematian ikan (Zairin, 2002).
Proses penyerapan hormon pada tubuh larva terjadi melalui difusi, yang masuk ke dalam tubuh melalui pori-pori, selanjutnya akan menuju sel target melalui aliran darah. Penambahan
hormon ke dalam media perendaman
menyebabkan adanya perbedaan konsentrasi hormon dalam cairan tubuh larva dengan
396
konsentrasi di dalam media. Perbedaan ini selanjutnya menyebabkan terjadinya proses difusi (Arfah dkk; 2002). Menurut Djojosoebagio (1990)
mekanisme kerja hormon steroid termasuk 17α
-metil testosteron untuk mempengaruhi
diferensiasi kelamin, dimulai dari masuknya hormon steroid ke sel melintasi membran plasma secara difusi, berinteraksi dengan reseptor spesifik yang terdapat dalam sitoplasma kemudian berpindah ke dalam inti yang terikat pada reseptor yang terdapat pada kromatin. Bila keadaan ini telah tercapai maka terdapat rangkaian RNA spesifik sehingga efek-efek hormon steroid dapat dimanifestasikan dalam bentuk fenomena biologis dan fisiologis. Faktor lain yang menyebabkan terjadinya perubahan kelamin ikan adalah faktor lingkungan terutama suhu air. Perubahan kelamin ikan dapat terjadi pada suhu air sekitar 25-29 ° C (Carman dkk; 2009).
Pada perlakuan D (kontrol) yang tidak
diberi hormon 17α-metil testosteron, diperoleh persentase kelamin jantan terendah sebesar 33,33%. Atau dengan kata lain diperoleh
persentase kelamin betina yang lebih tinggi dari persentase jantan. Hal ini disebabkan karena pada perlakuan D (kontrol) tidak diberi hormon sehingga perkembangan gonad ikan tetra kongo berlangsung secara alamiah. Selain itu juga, disebabkan oleh faktor penentu kelamin betina lebih dominan daripada faktor penentu kelamin jantan. Kondisi ini sesuai dengan pendapat Arfah dkk (2002) yang menyatakan bahwa perbedaan jumlah antara benih ikan yang berkelamin jantan dengan yang berkelamin betina kemungkinan disebabkan oleh sifat genetik penentu kelamin yang tidak seimbang. Jadi dalam hal ini ada faktor penentu kelamin yang lebih dominan, adalah yang betina.
3.2. Pertumbuhan Berat Mutlak
Pertumbuhan berat mutlak diperoleh dari selisih antara berat rataan akhir penelitian dengan berat awal ikan saat ditebar. Hasil analisis pertumbuhan berat mutlak ikan tetra kongo disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3. Pertumbuhan Berat Mutlak Ikan Tetra Kongo Pada Setiap Perlakuan
Ulangan Perlakuan Jumlah
A B C D 1 1,04 0,88 1,10 0,97 3,99 2 1,07 1,19 1,01 1,08 4,35 3 1,14 1,16 1,11 0,91 4,32 Total 3,25 3,23 3,22 2,96 12,66 Rata-rata 1,083 1,076 1,072 0,986
Nilai rata-rata pertumbuhan berat mutlak tertinggi terdapat pada perlakuan A (dosis hormon 2 mg/l) sebesar 1,083 gram, disusul oleh perlakuan B (dosis 3 mg/l) 1,076 gram, perlakuan C (dosis 4 mg/l), 1,072 gram, dan terendah pada perlakuan D (kontrol) sebesar 0,986 gram.
Untuk mengetahui perbedaan pengaruh dari
perlakuan-perlakuan yang dicobakan maka
dilakukan analisis keragaman. Hasil analisis
keragaman pengaruh perlakuan terhadap
pertumbuhan berat mutlak dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Analisis Keragaman Pengaruh Perlakuan Terhadap Pertumbuhan Berat Mutlak Ikan Tetra Kongo Sumber keragaman dB JK KT Fhitung Ftabel 5% 1% Perlakuan 3 0,018 0,006 0,6tn 4,07 7,59 Galat 8 0,099 0,010 Total 11 0,117
Keterangan: tn = tidak nyata
Berdasarkan Tabel 4, dapat dilihat bahwa F hitung < F tabel baik pada taraf 5% maupun 1%. Hal ini berarti dari perlakuan yang dicobakan memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata
terhadap pertumbuhan berat mutlak ikan tetra kongo.Terjadinya perbedaan nilai pertumbuhan berat mutlak pada setiap perlakuan disebabkan karena adanya perbedaan dosis hormon yang
397
digunakan selama masa perendaman ikan tetra kongo. Pemanfaatan dosis hormon yang tepat
selama masa perendaman mengakibatkan
efektifitas hormon akan bekerja secara maksimal yang dapat memicu perubahan kelamin dan meningkatkan pertumbuhan.
Pertumbuhan berat mutlak yang diperoleh tidak jauh berbeda antara satu perlakuan dengan perlakuan lainnya,dengan pertumbuhan berat mutlak tertinggi terdapat pada perlakuan A (dosis 2 mg/l) sebesar 1,083 gram. Hal ini disebabkan karena kemampuan ikan tetra kongo dapat memanfaatkan pakan yang diberikan secara optimal pada dosis tersebut. Laju kecepatan makan ikan berbeda pada setiap dosis hormon yang diberikan (Sudradjat dkk, 2007). Hal ini menunjukkan bahwa secara faktual laju kecepatan makan ikan tetra kongo pada dosis 2 mg/l
dianggap optimal sehingga meningkatkan
pertumbuhannya.
Tingginya nilai pertumbuhan berat mutlak pada perlakuan A (dosis 2 mg/l) disebabkan oleh faktor lain seperti osmoregulasi pada tubuh ikan yang layak sehingga proses fisiologis dalam tubuh
ikan berjalan normal, sehingga dapat
meningkatkan pertumbuhannya. Pamungkas
(2012) menyatakan bahwa osmoregulasi adalah pengaturan tekanan osmotik cairan tubuh yang layak bagi kehidupan ikan sehingga proses-proses
fisiologis tubuhnya berjalan normal.
Osmoregulasi sangat penting pada hewan air karena tubuh ikan bersifat permeabel terhadap
lingkungan maupun larutan garam. Peran
osmoregulasi pada ikan ini juga diatur oleh hormon. Selanjutnya dikatakan bahwa kelenjar endokrin yang bertanggung jawab terhadap proses osmoregulasi antara lain pituitary, ginjal, dan urophisis melalui aksi beberapa hormonnya.
Rata-rata pertumbuhan berat mutlak yang terjadi dalam penelitian ini berkisar 0,986 gram - 1,083 gram, dengan pertumbuhan berat mutlak meningkat pada semua perlakuan dosis hormon sehingga lebih tinggi dari pertumbuhan berat mutlak yang dicapai pada perlakuan D (kontrol).
Hal ini menunjukkan bahwa hormon 17α-metil
testosteron, memiliki pengaruh positif terhadap pertumbuhan berat mutlak ikan tetra kongo. Tinggi rendahnya pertumbuhan berat mutlak disebabkan oleh dosis hormon yang diberikan. Kusmiati (1988) menyatakan bahwa salah satu
fungsi hormon adalah meningkatkan
pertumbuhan ikan yang dipelihara. Dari
pernyataan ini, dapat dikatakan bahwa pemberian
hormon 17α-metil testosteron dapat meningkatkan
pertumbuhan berat mutlak ikan tetra kongo, dibanding dengan pertumbuhan berat mutlak pada perlakuan kontrol atau yang tidak diberi hormon. Arfah dkk (2002) menyatakan bahwa
hormon 17α-metil testosteron dapat memacu pertumbuhan melalui tiga cara yaitu merangsang nafsu makan, merangsang sintesa protein dan menekan perkembangan gonad. Selanjutnya Matty (1985) menyatakan bahwa bila steroid ditambahkan pada makanan, maka jumlah makanan yang diberikan harus ditingkatkan. Peningkatan ini dilakukan karena senyawa ini akan merangsang rasa lapar ikan sehingga ikan akan aktif mencari makanan serta selalu merasa lapar. Hal ini akan menyebabkan pertumbuhan ikan menjadi lebih cepat. Pemberian hormon androgen dapat meningkatkan laju pencernaan
dan kecepatan absorbsi makanan dan
meningkatkan aktivitas enzim protease didalam usus serta dapat meningkatkan pertumbuhan ikan. Sehubungan dengan pernyataan tersebut, hormon
17α-metil testosteron yang menyatu dengan pakan
tidak memberikan pengaruh negatif pada
pertumbuhan ikan, namun juga belum memacu pertumbuhan dengan cepat (Suseno dkk; 1992; Irfan, 2003). Rojak (2016) menyatakan bahwa berat ikan tetra kongo pada masa pemeliharaan 2-3 bulan mencapai 1,90-2,50 gram. Arfah dkk (2002) mendapatkan berat ikan tetra kongo sebesar 1,65
gram dengan menggunakan dosis hormon 17α -metil testosteron 4 mg/l. Jika dibandingkan dengan rata-rata pertumbuhan berat mutlak yang dicapai dalam penelitian masih belum optimal atau masih rendah.
3.3. Tingkat Kelangsungan Hidup
Kelangsungan hidup merupakan persentase perbandingan antara jumlah ikan yang hidup pada akhir pemeliharaan dengan jumlah ikan pada saat
awal pemeliharaan. Hasil analisis tingkat
kelangsungan hidup ikan tetra kongo selama penelitian dapat dilihat pada Tabel 5.
Berdasarkan Tabel 5, dapat dilihat bahwa tingkat kelangsungan hidup ikan tetra kongo tertinggi terdapat pada perlakuan D (kontrol) sebesar 90,473%, disusul perlakuan A (dosis hormon 2 mg/l) sebesar 85,71%, perlakuan B (dosis hormon 3 mg/l) sebesar 76,183%, dan terendah pada perlakuan C (dosis 4 mg/l) sebesar 57,137%.
398 Tabel 5. Kelangsungan Hidup (%) Ikan Tetra Kongo Selama Penelitian
Ulangan Perlakuan Jumlah
A B C D (kontrol) 1 85,71 71,42 42,85 100 299,98 2 71,42 85,71 71,42 71,42 299,97 3 100 71,42 57,14 100 328,56 Total 257,13 228,55 171,41 271,42 928,51 Rata-rata 85,71 76,183 57,137 90,473
Tabel 6. Analisis Keragaman Pengaruh Perlakuan Terhadap Kelangsungan Hidup Ikan Tetra Kongo Sumber Keragaman Derajat Bebas Jumlah Kuadrat Kuadrat Tengah Fhitung Ftabel 5% 1% Perlakuan 3 1,956 652 3,48tn 4,07 7,59 Galat 8 3,453 187 Total 11 5,409
Keterangan: tn = tidak nyata
Untuk mengetahui perbedaan pengaruh dari
perlakuan-perlakuan yang dicobakan maka
dilakukan analisis keragaman yang hasilnya dapat dilihat pada Tabel 6. Dari Tabel 6, dapat dilihat bahwa F hitung < F tabel baik pada taraf 5% maupun 1%. Hal ini berarti dari perlakuan yang dicobakan memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata terhadap kelangsungan hidup ikan tetra kongo. Tingkat kelangsungan hidup dalam penelitian ini berkisar 57,137% - 90,473%. Tingkat kelangsungan hidup yang diperoleh masih termasuk dalam kategori tinggi. Sutrisna dan Sutarmanto (1995) menyatakan bahwa tingkat kelangsungan hidup dikatakan tinggi jika berada dalam kisaran > 50%. Hal ini menunjukkan bahwa ikan tetra kongo yang direndam dalam larutan
hormon 17α-metil testosteron yang berbeda dosis, mampu bertahan hidup secara baik selama masa pemeliharaan serta dosis yang diberikan cukup tepat. Nur dkk (2015) mengemukakan bahwa
pemberian hormon 17α-metil testosteron dengan dosis tepat dapat meningkatkan daya tahan tubuh ikan sehingga berpengaruh terhadap tingkat kelangsungan hidupnya Sebaliknya pemberian dosis hormon yang tidak tepat atau dosis rendah dapat menyebabkan kematian dan bahkan
menyebakan gonad ikan menjadi steril.
Selanjutnya Vandian dan Varadaraj (1990) mengemukakan bahwa dosis hormon yang terlalu
banyak akan dapat menyebabkan tingkat
kematian yang tinggi pula karena hormon tersebut akan menyebabkan ikan menjadi lemah terutama apabila diberikan pada stadia larva. Faktor lain yang mendukung sehingga kelangsungan hidup yang diperoleh tinggi, disebabkan karena kondisi kualitas air yang masih sesuai dengan kehidupan
ikan tetra kongo, sehingga mampu ditolerir oleh ikan tetra kongo serta pakan alami yang diberikan masih sesuai dan dimanfaatkan oleh ikan tetra kongo selama fase perendaman maupun fase pemeliharaan.
Tingginya tingkat kelangsungan hidup pada perlakuan D (kontrol) yang tidak diberi hormon disebabkan karena ikan tetra kongo tidak mengalami proses perendaman hormon, sehingga secara fisiologis energi yang didapatkan dari
pakan dimanfaatkan secara utuh untuk
mempertahankan kelangsungan hidupnya, tanpa
digunakan untuk proses diferensiasi
kelamin.Dengan demikian, kemampuan
mempertahankan tubuhnya dalam media air selama pemeliharaan terjaga dengan sempurna. Sudradjat dkk (2007) menyatakan bahwa tingkat
kelangsungan hidup yang lebih tinggi
menggambarkan kondisi pemeliharaan dan
kondisi fisiologi yang baik, serta kualitas air yang mendukung pertumbuhan ikan.
Pada perlakuan D (kontrol), memiliki kelangsungan hidup yang rendah, demikian juga dengan persentase kelamin jantan yang diperoleh juga rendah. Hal ini disebabkan karena efektifitas
hormon kelamin jantan (17α-metil testosteron)
hanya bekerja secara maksimal dalam
mempengaruhi diferensiasi kelamin jantan,
sehingga meningkatkan persentase kelamin
jantannya, dibandingkan dengan yang tidak diberi hormon.Sebaliknya kelangsungan hidupnya yang tinggi pada perlakuan kontrol, menunjukkan bahwa daya bertahan hidup ikan ini tinggi tanpa
pemberian hormon 17α-metil testosteron. Chen dan Yeung (1983) menyatakan bahwa fungsi kerja
399
hal mempengaruhi diferensiasi kelamin jantan bukan mempengaruhi kelangsungan hidup ikan tetra kongo.
2.6. 3.4. Kualitas Air
Parameter kulaitas air yang diukur selama penelitian meliputi suhu, pH, dan oksigen terlarut, yang hasil pengukurannya dapat dilihat pada Tabel 7.
Tabel 7. Hasil Pengukuran Kualitas Air Selama Penelitian
Parameter Kisaran
Suhu (°C) 26,2-28,8
pH 6,0-7,1
DO (ppm) 3-5
3.4.1.Suhu
Suhu merupakan faktor utama yang
mempengaruhi pertumbuhan karena suhu
mempengaruhi proses metabolisme dari biota air. Suhu juga berpengaruh terhadap kadar oksigen yang larut dalam air, reproduksi dan nafsu makan ikan (Asmawi, 1986).
Suhu air yang diperoleh selama penelitian berkisar 26,2-28,8°C. Reich (2016) menyatakan bahwa suhu air yang baik untuk pertumbuhan dan kelangsungan hidup ikan tetra kongo berkisar 22,8-27,8°C. Menurut Arfisda (2018) larva dan benih ikan tetra kongo mampu mentolerir suhu air sekitar 25-28°C,sedangkan untuk induk tetra kongo sekitar 24-29°C. Ulfa (2018) menyatakan bahwa untuk pertumbuhan dan kelangsungan hidupnya ikan tetra kongo membutuhkan suhu air sekitar 26-30°C. Arfah dkk (2002) menyatakan bahwa suhu air 25-27°C, mampu mendukung proses perubahan kelamin pada ikan tetra kongo.
Selanjutnya pada suhu 25°C, hormon 17α-metil testosteron, akan efektif bekerja dalam proses pengalihan kelamin (Nagy; 1983). Dari hasil pengukuran suhu air selama penelitian dapat dikatakan bahwa suhu air yang diperoleh dapat
mendukung proses pengalihan kelamin,
pertumbuhan dan kelangsungan hidup ikan tetra kongo.
3.4.2. pH
pH atau derajat keasaman suatu perairan menunjukan tinggi rendahnya konsenterasi ion hidrogen perairan tersebut. Kondisi perairan dengan pH netral sampai sedikit basa sangat ideal untuk kehidupan ikan air. Perairan yang memiliki pH rendah dapat mengakibatkan aktivitas pertumbuhan menurun atau ikan menjadi lemah serta lebih mudah terinfeksi penyakit dan
biasanya diikuti dengan tingginya tingkat
kematian (Asmawi, 1986).
Nuraini (1990) menyatakan bahwa ikan akan tumbuh dengan baik pada air yang memiliki nilai
pH antara 6,0 – 9,0.Sedangkan Boyd (1986)
menyatakan bahwa jika nilai pH air kurang dari 6,0 dan lebih dari 9,5 dalam waktu yang relatif lama, maka akan mengganggu pertumbuhan dan sistem reproduksi ikan.
Hasil pengukuran pH air selama penelitian berkisar 6,0-7,1. pH yang baik untuk pertumbuhan dan kelangsungan hidup ikan tetra kongo berkisar 6-8; (Rojak, 2016); 6,0-7,3 (Reish, 2016); 6,5-7,5 (Arfisda, 2018). Menurut Chan (2014) untuk kelangsungan hidup dan pertumbuhannya ikan tetra kongo membutuhkan pH dengan kisaran 6,2-7,6, sedangkan Gray (2017) mengemukakan bahwa ikan tetra kongo mampu bertahan hidup pada kisaran nilai pH antara 6,0-7,2.Dengan demikian, nilai pH yang diperoleh selama penelitian masih mendukung pertumbuhan dan kelangsungan hidup ikan tetra kongo.
3.4.3. Oksigen Terlarut (DO)
Oksigen terlarut meruakan faktor utama yang mempengaruhi kelangsungan hidup dan pertumbuhan ikan. Hal ini disebabkan karena oksigen terlarut berperan dalam proses pernapan (respirasi) bagi ikan (Nugroho, 2006).
Hasil pengukuran oksigen terlarut selama penelitian diperoleh kisaran 3-5 ppm. Hal ini menunjukkan bahwa kandungan oksigen terlarut yang diperoleh masih layak untuk mendukung pertumbuhan dan kelangsungan hidup ikan tetra kongo. Pernyataan ini sejalan dengan pendapat Chan (2014) yang menyatakan bahwa ikan tetra kongo membutuhkan kandungan oksigen terlarut pada kisaran 3-5 ppm. Sementara itu, Arfisda (2018) mendapatkan kisaran kandungan oksigen terlarut yang berkisar 3-4 ppm, masih mendukung pertumbuhan dan kelangsungan hidup ikan tetra kongo.Rojak (2016) mengemukakan bahwa kisaran oksigen terlarut 3-5 ppm, sangat mendukung pertumbuhan dan kelangsungan ikan tetra kongo yang dibudidayakan. Secara umum nilai kisaran
400
oksigen terlarut yang diperoleh masih optimal untuk kelangsungan hidup ikan tetra kongo.
IV. PENUTUP
Berdasarkan hasil penelitian ini, dibuat kesimpulan sebagai berikut:
1. Hormon 17α-metil testosteron dengan dosis berbeda memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap persentase kelamin jantan ikan tetra kongo, namun tidak berbeda nyata terhadap pertumbuhan berat mutlak dan kelangsungan hidup ikan tetra kongo.
2. Dosis hormon 17α-metil testosteron 4 mg/l,
memberikan hasil terbaik terhadap persentase kelamin jantan ikan tetra kongo sebesar 86,66%.
3. Rata-rata pertumbuhan berat mutlak yang
terjadi dalam penelitian ini berkisar 0,986 gram - 1,083 gram, dengan pertumbuhan berat mutlak meningkat pada semua perlakuan dosis hormon.
4. Tingkat kelangsungan hidup dalam penelitian
ini berkisar 57,137% - 90,473%. UCAPAN TERIMA KASIH
Terima kasih disampaikan kepada Kepala UPTD Balai Benih Ikan Kota Ternate, atas dukungan dan
bantuannya, sehingga penelitian ini dapat
terlaksana dengan baik.
RFERENSI
Arfah, H, Alimuddin, Sumantadinata, K, dan J. Ekasari. 2002. Sex Reversal Pada Ikan Tetra Kongo stadia Larva. Jurnal akuakultur Indonesia, 1 (2): 69-74.
Arfisda, N, 2018. Cara Merawat Ikan Tetra Kongo. Sarana Graha. Jakarta. 54 hal. Asmawi, S. 1986. Pemeliharaan Ikan Dalam Karamba. PT. Gramedia. Jakarta. 82 hal.
Ayuningtyas Q.S, Zairin, M.J, Soelistiawaty, T.D. 2015. Alih Kelamin Jantan Ikan Nila Menggunakan
17α-Metiltestosteron Melalui Pakan dan Peningkatan Suhu. Jurnal Akuakultur Indonesia, 14
(2): 159–163.
Bird, K. 1986. Tetra Congo Fish Culture. Academic Press. London. 126 p.
Boyd, C.E. 1986. Water Quality Mangement In Pond Fish Culture. Auburn University. Agriculture Experimental Station. Alabama. 52 p.
Budisetijono, 1989. Pengaruh Metil Testosteron Terhadap Perubahan Jenis Kelamin Pada Benih Ikan Mas
Berumur 25, 30, Dan 35 Hari. Tesis. Fakultas Pascasarjana. IPB. Bogor. 50 hal.
Carman, O, Saputra, A, Alimuddin, Maskur, Hardianto, E.D, Aliah, S.R, Sumantadinata, K, Yuniarti, T,
2009. Performa Ikan Nila (Oreochromis niloticus) Hasil Sex Reversal Genetically Male dan YY
Pada Fase Pendederan Pertama. J. Ris. Akuakultur, 4 (1): 33-38. Chan, A. 2014. Aquarium Industries-Community Fish. Co.Ltd. Australia. 5 p.
Chen dan Yeung, 1983. Sex Control and Sex Reversal in G.Thunders (Editor)) Fish Physiology.Academic
Press. New York. p.67-79.
Daelami, D. A. S. 2001. Usaha Pembenihan Ikan Air Tawar. Penebaran Swadaya (Anggota IKAPI).
Jakarta. 166 hal.
Djojosoebagio, S. 1990. Fisiologi Kelenjar Endokrin. PAU IPB.247 hal.
401
Fachrurrozi, 2000. Pengaruh Perendaman Larva Ikan Patin (Pangasius hypophthalmus) Umur 7 Hari
Dalam Larutan 17α-metiltestosteron Pada Suhu Berbeda Terhadap Rasio Jenis Kelamin, Laju Pertumbuhan dan Kelangsungan Hidup. Skripsi. Program Studi Budidaya Perairan. IPB. Bogor. Frandson, R.D. 1992. Anatomi dan Fisiologi Ternak. Gajahmada University Press. Yogyakarta. 436 hal.. Grey, K.C. 2017. Congo Tetra. Seashore Aquarium. ww.com.
Irfan, M, 2003. Maskulinisasi Benih Ikan Nila (Oreochromis niloticus) Yang Berbeda Umur Dengan
Hormon 17α-Metiltestosteron. Tesis. Program Pasca Sarjana. Universitas Sam Ratulangi. Manado.
Kadriah. I.AK. 2000. Efek Manipulasi Hormon 17α-Metiltestosteron Pada Berbagai Variasi Termperatur
Terhadap Rasio Kelamin Ikan Gapi (Poecilia reticulate). Skiripsi. Program Studi Teknologi dan
Manajemen Akuakultur, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor . Kusmiati, T. 1988. Aplikasi Isotop Pada Penetapan Hormon. Departemen Perindustrian Pusbinlat
Industri. SMAK. Bogor. 76 Hal.
Laining, A. 2000. Pengaruh Lama Waktu Perendaman Embrio Di Dalam Larutan 17 α-Metiltestosteron
Terhadap Nisbah Kelamin Ikan Tetra Kongo (Micralestes interruptus). Jurnal Penelitian
Perikanan Indonesia Volume 6 (3-4). Sekjen Departemen Perikanan dan Kelautan dan
Puslitbang Eksplorasi Laut dan Perikanan. Hal 51-57.
Lingga, P dan Susanto, H. 1991. Ikan Hias Air Tawar. Seri Perikanan. Penebar Swadaya, Jakarta. 235 pp.
Matty, A. J. 1985. Fish Endocnirology.Croom Helm. London and Sydeny. 259 pp.
Muarif, 2010. Karakteristik Suhu Perairan di Kolam Budidaya Perikanan. Jurnal Mina Sains, 2 (2): 10-18.
Nagy, A. 1983. Sex reversal in carp, Cyprinus carpio by oral administration of methyltestosterone.
Canadian Journal of Fisheries and Aquatic Science, 38: 725-728.
Nugroho, A. 2006. Bioindikator Kualitas Air. Universitas Trisakti. Jakarta.145 hal.
Nur,S. Yustiati, A, dan Sriati, 2015. Pengaruh Pemberian 17 Alfa Metiltestosteron Secara Oral Terhadap
Maskulinisasi Ikan Nilem (Osteichilus haselti) Menggunakan Jantan Fungsional. Jurnal
Perikanan Kelautan, 6 (2): 101-106.
Nuraini, 1990. Pengaruh Metil Testosteron Terhadap Terjadinya Perubahan Kelamin Pada Ikan Mas Betina Hasil Ginogenesis. Fakultas Pascasarjana IPB. Bogor. 60 hal.
Reish, T, 2016. Congo Tetra Fish Profile. Feeding Ring. 20 p.
Pamungkas, W. 2012. Aktivitas Osoregulasi, Respon Pertumbuhan, dan energetic Cost Pada Ikan Yang Dipelihara Dalam Lingkungan Bersalinitas. Media Akuakultur, 7 (1): 44-51.
Partodihardjo, 1980. Ilmu Reproduksi Hewan. Mutiara. Jakarta. 560 hal.
Purdom, 1995. Genetic and Fish Breeding. Champan and Holl.Academic Press. London.
Rojak, 2016. Budidaya Ikan Tetra Kongo: Hal Penting yang Harus Diperhatikan. Jitunews. 54 hal.
Shepard dan Bromage. 1988. Intensive Fish Farming. Oxford Blackwell Scientific Publication. London.
421p.
402
Sudradjat, O.A, I.D Astutik, dan H. Arfah. 2007. Seks Reversal Ikan Nila Merah (Oreochromis sp)
Melalui Perendaman Larva Menggunakan Aromatase Inhibitor. Jurnal Akuakultur Indonesia,
6(1): 103–108.
Suherman, H, Iskandar, dan Atuti, S. 2002. Studi Kualitas Air Pada Petakan Pendederan Benih Udang
Windu (Penaeus monodon Fab) di Kabupaten Indramayu. Laporan Penelitian. Fakultas
Pertanian Universitas Padjajaran. Bandung. 56 hal.
Suseno, D., Nirmala dan Dharma. 1992. Hormon Fluoksimesteron Dalam Pakan Untuk Pengalihan Jenis Kelamin Ikan Nila Merah. Prosiding Seminar Hasil Penelitian Air Tawar 1992/1993. Sukamandi, 24-26 Mei 1993. Subang. Hal 10-15.
Sutrisna, H, dan Sutarmanto, 1995. Pembenihan Ikan Air Tawar. Kanisius Yogyakarta. 120 hal. Ulfa, R. 2018. Budidaya Ikan Tetra Kongo. Peluang Cerah Si Sisik Indah. Financecom. 3 hal.
Vandian dan Varadaraj, 1990. Technique To Produce 100 % Male Tilapia. Naga The Iclaram Quarterly. Manila : 13 (3). p. 5-9.
Yatim, W. 1983. Genetika. Edisi 11. Penerbit Tarsito. Bandung. 397 hal.
Zairin, M. Jr. 2000. Pengaruh Perendaman Embrio di dalam Larutan 17α- Metiltestosteron Terhadap
Nisbah Kelamin Ikan Tetra Kongo (Phenacogrammus interruptus). Jurnal Biosains, Bandung. 5:
7-12.
Zairin, M. 2002. Sex Reversal Memproduksi Benih Ikan Jantan Atau Betina. Penebar Swadaya. Bogor.
Zairin, M. Jr., A Yunianti, R.R.S.P.S. Dewi, dan K. Sumantadinata. 2002. Pengaruh Lama Waktu
Pery.Ndaman Induk di dalam Larutan Hormon 17α- Metiltestosteron Terhadap Nisbah
Kelamin Anak Ikan Gapi (Poecilia reticolata Peters). Jurnal Akuakultur Indonesia, Bogor. 1 (1):
31-35 (2002).
Zonneveld, N.E.A. Huisman , J. H. Boon. 1991. Prinsip-Prinsip Budidaya Ikan. PT. Gramedia. Jakarta. 318 hal.