Volume 4 - Juli/Agustus 2014
buletin
IATMI
|
1
IATMI IKUT MENYAMBUT
PEMERINTAH BARU
J
oko Widodo dan Jusuf Kalla bulan
Oktober mendatang akan memulai
pemerintahan baru untuk masa lima
tahun ke depan. Pantas seluruh rakyat,
tak terkecuali para insan pelaku bisnis
migas, menaruh harapan besar.
Bagi pemangku kepentingan di lingkungan
industri, termasuk migas tentu saja yang
paling ditunggu bagaimana kebijakan, apa
rencana pemerintah yang baru. Apalagi
pemerintah nanti menghadapi kenyataan yang
kurang menyenangkan : merosotnya produksi
minyak, berkurangnya minat investor.
IATMI sebagai organisasi profesional
perminyakan maupun masing-masing
anggotanya berharap yang terbaik bagi
masa depan negera. “Sebagai organisasi
insan profesional perminyakan Indonesia
dan saya sebagai Ketua Umum IATMI
sangat mengharapkan presiden dan
pemerintahan baru memberikan perhatian
ke sektor energi termasuk minyak dan
gas, karena minyak dan gas masih
memegang peran yang sangat penting
bagi Indonesia”, kata Bambang Ismanto
di Sekretariat IATMI. “Dengan penurunan
produksi
minyak
dan
menurunnya
aktivitas eksplorasi sudah saatnya kita
menganggap bahwa kita sudah dalam
tahap krisis energi yang perlu ditangani
secara cepat”, lanjut dia.
Ia menilai presiden terpilih Joko Widodo
adalah figur yang bisa bekerja cepat.
Sejak munculnya dua pasangan kandidat
pemilihan presiden dan wakil presiden,
Bambang terus memonitor perkembangan
dengan menyaksikan debat khususnya,
termasuk melalui media sosial. Dari situ
ia melihat hal yang lucu-lucu. “Ternyata
pengertian orang tentang migas banyak
Hal. 3 : KOLOM
MENINGKATKAN KEGIATAN
MIGAS FAKTA DAN HARAPAN
Hal. 4 : KOMENTAR
HARAPAN KAMI, HARAPAN
“ORANG MIGAS”
Hal. 7 : KOLOM
MEMENUHI PASOKAN ENERGI INDONESIA
Hal. 8 : BOX
SALAH KAPRAH DAN SALAH PENGERTIAN
bersambung ke hal. 2 ...
Kita bersyukur pemilihan
presiden bisa dilalui dengan
damai dan relatif aman. Pemilu
pada 9 Juli yang lalu bukan
hanya sekedar memilih presiden
dan wakil presiden, melainkan
juga mempertaruhkan nasib
bangsa. Melalui proses yang
panjang dan agak menegangkan,
rakyat Indonesia akhirnya
memutuskan masa depannya.
yang jauh dari kenyataan”, kata dia
sambil memberi beberapa contoh. (Baca:
“Salah Kaprah dan Salah Pengertian:
di halaman 8). Secara garis besar,
Ketua Umum IATMI itu mengharapkan
pemerintah melakukan hal-hal berikut
ini :
•
Bersama DPR untuk menyelesaikan
Revisi UU Migas pro investasi
dan pro rakyat sehingga dapat
mempercepat peningkatan produksi
dan peningkatan cadangan migas.
•
Memangkas proses birokrasi dalam
perijinan dalam eksplorasi, ekploitasi
dan produksi migas. Proses perijinan
satu atap yang cepat sangat
diperlukan.
•
Koordinasi
antar
departemen
termasuk
masalah
perpajakan,
tumpang tindih lahan dan pemberian
insentif untuk kegiatan EOR dan
eksplorasi migas konvensional dan
unconventional.
•
Kebijakan
yang
mendorong
eksplorasi
dan
eksploitasi
untuk
lapangan
marginal
dan
unconventional (CBM dan shale gas)
misalnya dengan insentif dan harga
gas yang kompetitif.
•
Mendorong Peningkatan kualitas
sumber daya manusia di bidang migas
untuk mendukung kegiatan investasi
migas. Selain itu remunerasi yang
kompetitif juga perlu ditingkatkan
sehingga tenaga profesional yang
handal bisa bertahan di dalam
negeri
untuk
menyumbangkan
kontribusinya ke tanah air.***
... sambungan dari hal. 1“...remunerasi yang
kompetitif juga
perlu ditingkatkan
sehingga tenaga
profesional yang
handal bisa bertahan
di dalam negeri untuk
menyumbangkan
kontribusinya ke tanah
air.”
P
ada awal Oktober 2014, MPR akan melantik Presiden dan Wakil Presiden baru. Salah satu agenda yang cukup mendesak untuk diputuskan oleh Presiden dan Wakil Presiden yang akan datang ialah melupakan retorika selama Pilpres dan memfokuskan usahanya untuk meningkatkan investasi, baik dari dalam maupun luar negeri, karena bagaimanapun juga kebijakan politik harus memperhatikan realita ekonomi. Selain menyesuaikan harga BBM, di sektor migas masalah-masalah yang urgent bagi Presiden baru adalah menerbitkan UU Migas baru menggantikan UU No. 22/2001. Rancangan UU Migas baru pada saat ini dalam pembahasan di parlemen, tetapi mungkin tidak akan selesai ketika Presiden Yudhoyono mengakhiri jabatannya dalam bulan Oktober 2014 yang akan datang. Dalam hal demikian, Presiden baru mungkin harus menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPPU).Pembubaran BPMIGAS dan pembentukan SKK MIGAS telah menambah ketidakpastian usaha, yang pada gilirannya mengurangi investasi untuk menunjang kegiatan eksplorasi dan pengembangan. Hasilnya, sementara produksi minyak dunia terus meningkat, Indonesia malah terus mengalami penurunan produksi. Cadangan minyak terbukti Indonesia menurun dari 5,6 milyar barrel pada tahun 1992 menjadi 3,7 milyar pada akhir 2012. Dengan demikian, program Pemerintah harus termasuk peningkatan kegiatan EOR dan eksplorasi, terutama di laut-laut dalam dan wilayah terpencil, kegiatan ini akan membutuhkan investasi yang besar dan insentif untuk menariknya. Meskipun di sisi lain produksi gas terus meningkat, data statistik mengenai penemuan gas mungkin kurang memberikan gambaran mengenai keadaan yang sebenarnya. Pertama, kebanyakan sumur-sumur dibor untuk memperoleh minyak dan baru diklasifikasikan sebagai penemuan setelah menemukan gas. Belum tersedianya pasar ekspor dan domestik dan pemanfaatan dibatasi pada pemakaian sendiri untuk bahan bakar menyebabkan sejumlah lapangan gas yang ditemukan pada tahun 1970-an terpaksa ditutup dan sebagian ditinggalkan. Kedua, meningkatnya permintaan akan gas di dunia dan dalam negeri sejak tahun 1980-an untuk pemb1980-angkit1980-an tenaga listrik bersama1980-an deng1980-an perbaik1980-an kebijak1980-an harga gas untuk pasaran dalam negeri telah menumbuhkan minat baru pada gas bumi. Penemuan gas yang pada awalnya dipandang sebagai suatu hal sambil lalu (incidentially), akhirnya memberikan hasil yang bermanfaat untuk mengimbangi penurunan cadangan minyak. Namun, demikian hal ini tidak akan berjalan terlalu lama, karena seperti minyak, gas merupakan depleted asset.
Selanjutnya, survei yang oleh Indonesian Petroleum Association (IPA) dan lembaga-lembaga lain seperti Price Waterhouse Coopers (PWC) dan Wood Mackenzie menunjukkan adanya keprihatinan di antara para eksekutif perusahaan minyak melihat terganggunya stabilitas KBH setelah berlakunya UUMIGAS 2001. Selain kepatuhan terhadap kontrak
(contract sanctity), isu atau permasalahan yang dikedepankan meliputi antara lain
buletin
IATMI
|
3
tidak jelasnya UUMIGAS 2001 beserta Peraturan Pemerintah untuk pelaksanaannya, masalah berkaitan dengan perpajakan dan kepastian hukum.
Situasi ini mencerminkan bahwa selama 15 tahun di bawah Presiden Megawati dan Susilo Bambang Yudhoyono, Pemerintah tidak berhasil memperbaiki iklim investasi untuk pengembangan sumber daya migas. Meningkatnya semangat nasionalisme dan pemberian kewenangan yang lebih besar berkaitan dengan otonomi daerah telah menimbulkan banyaknya peraturan perundang-undangan baru di Pusat dan Daerah. Ketidakselarasan terjadi antara UUMIGAS 2001 dengan UU lain menimbulkan masalah dalam pelaksanaan Kontrak Bagi Hasil, terkait dengan dengan perpajakan, koordinasi pengambilan keputusan tentang tata guna lahan yang tumpang tindih, prosedur memperoleh izin penggunaan lahan dan penerbitan surat izin dari Pemerintah Daerah serta koordinasi persyaratan audit lintas badan pemerintahan dan penghapusan persyaratan yang redundan. Ketidakselarasan ini disebabkan kurang adanya koordinasi di antara pembuat undang-undang dan pemerintah dan berakibat banyaknya peraturan yang saling bertentangan antara satu dengan yang lain, atau tidak jelas dampaknya pada kontrak-kontrak yang sedang berjalan dan dibuat berdasarkan peraturan perundang-undangan terdahulu. Potensi adanya konflik dalam peraturan perundang-undangan meliputi Peraturan Daerah (PERDA), pungutan-pungutan dari pemerintah daerah, peraturan perundang-undangan tentang ketenagakerjaan, kehutanan dan sumber daya air. Selanjutnya, sejalan dengan perkembangan otonomi daerah, masyarakat di wilayah-wilayah produsen migas mulai menuntut bagian atau porsi yang lebih besar dari hasil produksi migas.
Di bidang perpajakan, sekalipun diakui bahwa terhadap KBH diberlakukan ketentuan perpajakan yang bersifat lex specialis, dalam kenyataan Ditjen Pajak mempunyai pertimbangan lain untuk menerapkan kebijakan umum, seperti halnya dengan cara pembayaran PPN. Dihapuskannya perlakuan khusus (lex specialis) di sektor migas menyusul diberlakukannya peraturan perpajakan oleh Ditjen Pajak yang tidak sesuai dengan kesepakatan dalam KBH, atau mengikis persyaratan komersial KBH, yaitu dalam arti mengurangi hak-hak investor secara finansial yang disepakati dalam KBH. Permasalahan lain berhubungan dengan kepastian hukum adalah kontroversi berkaitan dengan Peraturan Pemerintah No. 79/2010 tentang pengembalian biaya operasional yang diklaim oleh kontraktor (cost
recovery claim). Kontroversi berkembang sejalan dengan menurunnya
produksi dan meningkat biaya produksi yang diklaim oleh kontraktor berkaitan dengan kewajaran dari biaya-biaya operasional yang dibebankan oleh kontraktor baik dari segi jumlah maupun klasifikasi biaya.
Sebagai industri yang berisiko tinggi dan berjangka panjang, Kontrak Migas rentan terhadap perubahan keadaan. Risiko yang tinggi ini memberikan pembenaran mengapa asas kepastian hukum merupakan masalah krusial
dalam Kontrak Migas di Indonesia. Sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Kepastian hukum ini dikendalikan oleh negara yang diberi kekuasaan, karena negara memiliki kemauan dan kekuasaan untuk melakukannya.
Selanjutnya, melihat perkembangan migas di Indonesia, dapat disimpulkan bahwa konsep pengusahaan sumber daya alam migas di Indonesia juga menghadapi antinomies dari dua asas yang saling dibutuhkan tetapi juga tidak sejalan, yakni nasionalisme dan manfaat. Asas nasionalisme yang merupakan cita-cita bangsa mengandung arti mengedepankan rasa kebangsaan yang dalam realisasinya memberikan preferensi, kemudahaan atau perlakuan khusus kepada produk dan sumber daya berasal dari dalam negeri. Kebangsaan ini hanya menetapkan semangat dan bukan jenis dari perlakuan, dan karenanya dalam pengertian kebangsaan ini harus ditambahkan aspek lain dalam konsep pengusahaan sumber daya alam migas, yaitu manfaat (expendiency). Diarahkan kepada terwujudnya kesejahteraan rakyat, asas kemanfaatan ini bersandar pada gagasan yang lebih luas mengenai sasaran yang ingin dicapai dalam pengusahaan sumber daya alam migas yang kemudian dapat mempengaruhi cara-cara pelaksanaannya, termasuk antara lain mengedepankan pragmatisme dan kepastian hukum. Bertolak dari pemikiran tersebut, dapat disimpulkan bahwa konsep pengusahaan sumber daya alam migas bertumpu pada landasan bahwa pengelolaannya harus dapat secara maksimal memberikan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat, yaitu untuk generasi sekarang dan yang akan datang. Dasar moral bagi tanggung jawab generasi sekarang untuk meningkatkan kemanfaatan, termasuk pembangunan berkelanjutan dan perlestarian lingkungan hidup dilandasi pada teori utilitarisme, yaitu suatu perbuatan atau aturan adalah baik, kalau memaksimalkan manfaat. Seperti dikatakan oleh John Rawls, dengan menerapkan ‘the just savings principle’ generasi sekarang harus menghemat dalam memakai sumber daya alam, sehingga masih tersisa bagi generasi-generasi yang akan datang. Sifat sumber daya alam migas adalah tak terbarukan, sehingga dalam ini keadilan hanya menuntut generasi sekarang menyediakan sumber-sumber alternatif bagi generasi yang akan datang.
Pertumbuhan kegiatan migas di Indonesia harus juga dipandang untuk membuka peluang bagi industri-industri penunjang berpartisipasi dan mendapatkan manfaat dari kegiatan tersebut. Untuk Indonesia, memperkuat daya saing industri nasional akan menempatkan negara ini dalam keadaan lebih baik menghadapi dampak dari globalisasi dan hari kiamat (doomsday) pada saat Indonesia tidak menarik lagi untuk kegiatan migas. Menghadapi hari depan, Indonesia harus mulai memfokuskan upayanya dalam pembangunan industri pendukung migas dan sumber daya manusia.***
MENINGKATKAN KEGIATAN MIGAS
FAKTA DAN HARAPAN
HARAPAN KAMI, HARAPAN “ORANG MIGAS”
P
ilpres yang sudah berlalu telah mencekam banyak orang. Kita membaca dari media massa, media sosial, menonton di layar televisi. Kitamengikuti dan mengenal para capres dan cawapres serta ikut mempelajari visi dan misi mereka dan bahkan menyimak debat-debat mereka. Kini pasangan pemenang telah terpilih. Tak ada salahnya kita berharap. Di tengah masalah ketahanan energi makin mencuat, termasuk maraknya isu subsidi BBM, kontroversi ini makin terkait mengingat produksi minyak kita tidak mampu memenuhi kebutuhan dalam negeri. Buletin IATMI mencoba menghimpun komentar dan harapan dari anggota yang aktif dalam berbagai kegiatan berbeda. Kepada beberapa orang yang kami pilih secara random, kami ajukan pertanyaan:
1. Apa harapan Anda kepada pemerintah yang baru, khususnya di bidang pengembangan ESDM ? 2. Apa kekurangan di waktu yang lalu yang Anda lihat ? dan
3. Apa saran Anda agar kesalahan itu tak tertulang lagi ?
Beberapa orang tidak menjawab, namun inilah pendapat mereka yang bersedia berbagi :
Untung Suryanto, Sr. Geoscientist, Dosen Fakultas Sumber Daya Alam dan Lingkungan UIN
SKKMigas
Tidak
Perlu
Ikut
Campur…
“Pertama, pilih menteri ESDM yang berpendidikan geologi, tambang atau teknik perminyakan yang berwawasan dan pengalaman dalam bidangnya setidaknya 15 tahun. Kawal first tranche petroleum sebagai sumber dana investasi migas nasional. First tranche petroleum adalah bagian pertama
crude oil (biasanya 10%) dari produksi yang di split secara proporsional
antara pemerintah dan operator. Sebelum pemotongan cost recovery, pajak dan lain-lain.
Kedua, SKKMIGAS tidak perlu ikut campur manajemen KKKS seperti menentukan Presdir dan pejabat inti lainnya. Ukur kinerjanya saja. SKKMIGAS bukan Kementerian BUMN.
Ketiga, kalau jadi menteri ESDM... ambil Andang Bachtiar atau Karen Agustiawan. Perhatikan kriteria dalam AFTA agar kita bisa mengambil keuntungan di masa depan.”
Pri Agung Rakhmanto, Direktur Eksekutif ReforMiner Institute
Lakukan Sinkronisasi Peraturan
“Saya mengharapkan agar di dalam jangka pendek (sangat segera; 1 tahun pertama), pemerintahan baru nanti, khususnya Kementerian ESDM dan jajarannya, segera mengambil langkah-langkah nyata menyelesaikan dua agenda prioritas, yaitu: 1) bottleneck dalam eksekusi project migas; dan (2) tidak adanya kepastian hukum dan iklim investasi sektor migas yang tidak kondusif.
Bottleneck dalam eksekusi project migas di antaranya adalah lambatnya
pengambilan keputusan (persetujuan) atas rencana investasi dan eksekusi
project Indonesian Deepwater Development, pengembangan Train 3 LN
Tangguh, dan pengembangan Lapangan Gas Abadi-Masela; juga berbelit dan berlarut-larutnya proses perijinan dan pembebasan lahan. Kepastian hukum dan iklim investasi sektor migas dalam beberapa tahun cenderung
sangat tidak kondusif. Terbitnya regulasi yang tidak sejalan dengan substansi kontrak dan kasus bioremediasi Chevron merupakan contoh kasus yang perlu segera diselesaikan. Beberapa program perlu segera dilakukan di antaranya: (1) mempercepat penyusunan dan penyelesaian revisi Undang-Undang Migas bersama dengan DPR; (2) menata kembali sistem pengusahaan dan institusi di dalam pengelolaan migas - sistem Kontrak Kerja Sama (Production Sharing), Tax-Royalty System, dan tugas fungsi pokok SKK Migas dan BPH Migas; (3) memberikan keputusan definitif terhadap blok-blok migas yang berakhir masa kontraknya - salah satu contoh Blok Mahakam; dan (4) melakukan sinkronisasi peraturan untuk mengurai masalah inkonsistensi peraturan yang berlaku, misal antara PSC dengan aturan yang dibuat kemudian (misal PP.79/2010, UU Perpajakan, dan Penetapan PBB dan pungutan lain saat eksplorasi).”
Tri Atmaja Sugeng Riyadi, Medco E&P Indonesia
Sebaiknya Mengajarkan Nilai-nilai
Luhur
“Wah, kebijakan migas adalah hasil dari sikap... Semua kebijakan sudah baik, tetapi yang tidak baik ‘kan pelaksanaannya. Banyak kepentingan sehingga tujuannya menjadi melenceng. Seperti untuk dapat surat ijin migas saja semua ‘kan diduitkan, diproyekkan... Menurut saya, yang utama adalah sikap dan komitmen. Karena itu saya berpendapat : 1. Pejabat sebaiknya mengajarkan nilai-nilai luhur pendiri bangsa dan
nenek moyang, seperti adiluhung, mengabdi ke pada negara dan rakyat, rendah hati, andap asor, ramah dan lain-lain.
2. Jangan menunjukkan simbol-simbol kekuasaan dan hedonis (seperti setiap saat mengungkap dirinya menteri, pejabat, minta perlakuan istimewa dan bahkan sampai minta kendaraan dinas yang mahal-mahal. Saya bukan iri, tapi muak melihat pejabat-pejabat yang sok, hedonis dan malah dianggap pahlawan.
3. Bersikaplah “iso rumongso”, bisa merasakan bukan malah seperti yang sudah-sudah rumongso iso (merasa bisa semuanya).
4. Jalan komunikasi terbuka dengan rakyatnya, jangan pakai birokrasi pakai ajudan dan lain-lain yang ujungnya biaya beban rakyat. 5. Berbicara dengan bahasa rakyat yang ditunjukkan dengan sikap dan
perilaku yang mulia penuh harga diri bangsa.
6. Menyadari bahwa kata “pejabat” dan “penjahat” hanya berbeda dua huruf yaitu n dan b(h)… Karena batas keduanya sangat tipis, hari ini menjadi pejabat kemudian hari jangan jadi penjahat.”
buletin
IATMI
|
5
Tutuka Ariadji, Ph.D, pengajar FakultasTambang dan Teknik Perminyakan ITB
Berikan Kriteria, Guideline dan
SOP yang Komprehensif
“Harapan saya pertama, Pemerintah secara serius melakukan perbaikan tata kelola dan efektivitas Institusi Pengelola Usaha Hulu Migas serta Institusi terkait untuk mendorong secara riil peningkatan produksi migas dengan tujuan mempercepat peningkatan produksi dan kemandirian energi migas nasional.
Kedua, Pemerintah telah memahami kendala-kendala yang terjadi dalam pengeloaan industri migas, yang terdiri dari kendala imternal yaitu pada tubuh Pengelola Usaha Hulu Migas dan Pelaku usaha (KKKS) Migas, dan eksternal yaitu instansi pemerintah terkait (Pemerintah Daerah dan Kementrian Lingkungan Hidup) dan masyarakat setempat. Kendala-kedala tersebut antara lain permasalahan :
Internal
• Makin sulitnya menemukan lapangan baru dari blok-blok yang ditawarkan Pemerintah.
• Internal KKKS (Finansial dan lain-lain). • Teknis Subsurface dan Surface (Operasional).
• Ketersediaan data, alat dan jasa penunjang serta proses pengadaannya.
Eksternal
• Tumpang tindih lahan dengan kehutanan, batubara, perkebunan, cagar budaya, dan sejenisnya.
• Sosial Masyarakat. • Masalah perbatasan.
Strategi yang dapat dilakukan untuk mengatasi permasalahan di atas antara lain :
1. Pemerintah perlu lebih aktif dan in-depth dalam menyiapkan data dan analisis awal untuk blok-blok yang ditawarkan untuk dikelola oleh KKKS.
2. Pemerintah menangani permasalahan pengeloaan migas secara terintegrasi di antara instansi-instansi terkait (KLH, Pemda, dan sebagainya) dan berkomitmen untuk melaksanakan cara-cara penanganan secara konsisten.
3. Pemerintah memberikan kriteria, guidelines dan SOP yang komprehensif dan mempercepat proses dalam pengelolaan dan Teknis Operasional (Subsurface dan Surface) secara resmi, terbuka dan langsung kepada pelaku-pelaku usaha hulu migas.
4. Pemerintah mendorong penerapan teknologi EOR secara masif melalui kaidah-kaidah teknis yang diakui dunia industri perminyakan dan pengelolaan Lapangan gas berdasarkan konsep eksploitasi dan keekonomian yang win-win antara pemerintah dan KKKS.”
W. Yudiana Ardiwinata, Chairman Ephindo, perusahaan pelaku bisnis CBM
Pangkas Birokrasi, Tinjau Ulang
Peraturan Pajak
“Saya hanya ingin menjawab pertanyaan nomor 3 yang nota bene merupakan bagian
terpenting, yaitu harapan perubahan/perbaikan di industri migas yang perlu dilakukan oleh pemerintahan baru. Menurut saya yang harus dilakukan adalah :
1. Memangkas birokrasi. Menurut catatan IPA sekarang ini terdapat 69 macam perijinan yang diperlukan untuk bisnis hulu migas yang mencakup 284 proses yang terdapat di 17 instansi pemerintah. 2. Meninjau ulang Peraturan Pemerintah No. 79/2010 tentang cost
recovery dan Perpajakan. Peraturan Pemerintah ini (populer disebut
GR 79) sebenarnya bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang kedudukannya lebih tinggi. Dalam pelaksanaannya ternyata memiliki multi interpretasi dan dapat menimbulkan biaya serta pajak tambahan yang akan menghambat peningkatan kegiatan eksplorasi yang tidak sejalan dengan keinginan pemerintah untuk menggiatkan eksplorasi dan produksi seperti dituangkan dalam Instruksi Presiden No 2 tahun 2012.
3. Meninjau ulang Peraturan Perpajakan. Pada bulan Juni 2013, Kantor Pajak mengeluarkan peraturan tentang Pajak Tanah dan Bangunan yang sangat memberatkan kontrak PSC yang ditandatangani setelah tahun 2011 karena perturan ini dikenakan atas seluruh wilayah kerja, baik di permukaan maupun di bawah permukaan tanah. Hal ini telah dan akan berakibat berkurangnya keinginan investor untuk melakukan kegiatan eksplorasi.
4. Memberi insentif untuk proyek eksplorasi. Disamping mengurangi hambatan-hambatan yang mengurangi minat investor untuk melakukan kegiatan eksplorasi, Pemerintah juga perlu memberikan insentif untuk menggairahkan kembali minat investor melakukan kegiatan eksplorasi.
5. Memperbaiki terms and conditions untuk usaha CBM. Khusus mengenai bisnis migas CBM (Coal Bed Methane), sangat disayangkan bahwa setelah sekian tahun melakukan kegiatan eksplorasi, perusahaan-perusahaan CBM sampai saat ini belum menujukkan hasil yang diharapkan. Pemerintah perlu meninjau ulang persyaratan kontrak (terms and conditions) yang telah diberlakukan maupun untuk kontrak-kontrak yang akan datang.
Sebagai tambahan, saya sampaikan juga dua hal berikut ini yang perlu menjadi perhatian pemerintah baru yaitu :
1. Pembatasan ringfencing agar dilonggarkan kembali seperti yang terdapat pada kotrak PSC model lama. Pada kontra-kontrak yang ditandatangani belakangan ini terdapat pembatasan yang membuat kegiatan eksplorasi di wilayah kerja PSC menjadi kurang menarik karena cost recovery dibatasi per POD (Plan of Development). 2. Kriminalisasi PSC. Kejadian yang menimpa Chevron dengan masalah
bioremediasi hendaknya dihindari. Apabila terdapat pertikaian
(dispute) tentang pelaksanaan kontrak PSC, seharusnya dibawa ke
ranah hukum perdata, bukan pidana.”
Bambang Widarsono, Kepala PPPTMGB “LEMIGAS”
Perbaiki Kordinasi Institusi Riset
dan Industri
“Problem yang senantiasa ada di hadapan kita selama ini adalah bagaimana bisa meningkatkan produksi migas, terutama minyak yang terus menerus mengalami penurunan secara alamiah, meski kita ketahui bahwa para operator dengan koordinasi SKK Migas
... sambungan dari hal. 5
telah berusaha sekuatnya untuk memperkecil laju penurunan tersebut. Dengan kondisi demikian, paling sedikit ada dua hal normatif yang dapat dilakukan yaitu menemukan cadangan baru dan meningkatkan cadangan dari lapangan-lapangan yang telah berproduksi.
Dari sisi eksplorasi intensifikasi dapat dilakukan pemerintah dengan penugasan institusi-institusi Pemerintah terkait untuk melakukan survei secara intensif dan ekstensif, serta menyiapkan wilayah-wilayah kerja eksplorasi dengan informasi dan hasil kajian awal yang memadai. Pemberian insentif berupa pembebasan pajak, misalnya, juga dapat diberikan kepada investor yang melakukan eksplorasi. Dari sisi peningkatan cadangan dari lapangan berproduksi, peningkatan cadangan secara berarti hanya dapat dilakukan dengan penerapan teknik pengurasan lanjut (enhanced oil recovery, EOR). Memang tidak mudah melaksanakan EOR di lapangan-lapangan Indonesia yang umumnya memiliki aspek kegeologian yang rumit, tapi pendekatan “thinking out of the box” seperti pemberian insentif secara berarti, bahkan jika perlu pemberlakuan jenis kontrak jenis lain di luar KKS, dapat ditempuh untuk merangsang operator melaksanakan EOR. Pemerintah juga harus memberikan perhatian yang serius dan masif untuk mendorong sumber-sumber penghasil minyak lain di luar bahan bakar fosil seperti nabati, contohnya mikro-alga dan kemiri sunan. Kedua sumber nabati tersebut diketahui bahkan memberikan “yield” yang jauh lebih tinggi dibanding kelapa sawit.
Dalam hal kendala, saya tidak hendak masuk ke ranah regulasi dan sistem kontrak kerja, tapi lebih ingin menyoroti aspek koordinasi antar institusi riset dan antara institusi riset dan industri. Sebagai contoh adalah koordinasi dalam mendorong berhasilnya penerapan EOR dan bahan bakar minyak (BBM) nabati. Kita tahu beberapa institusi penelitian, universitas, dan perusahaan swasta telah mengembangkannya, tapi kita juga belum lihat adanya usaha yang masif dan terkonsentrasi dari pemerintah untuk merangkai dan mendorongnya melalui kebijaksanaan, regulasi, dan dukungan finansial. Kita belum melihat usaha dan prakarsa pemerintah yang sangat terkoordinasi dan serius pada skala seperti saat pengalihan dari pemakaian minyak tanah menjadi pemakaian LPG untuk rumah tangga, untuk hal ini. Tentu banyak kendala yang juga dihadapi, tetapi tanpa keseriusan pada level seperti itu saya kira hasil yang diharapkan tidak akan tercapai. Sejalan dengan permasalahan perlunya peningkatan produksi minyak nasional, pendidikan dan perluasan cakrawala pengetahuan para praktisi di sektor hulu industri migas juga tidak boleh diabaikan. Pengetahuan mengenai teknologi-teknologi baru eksploitasi dan eksplorasi, pengalaman sukses dalam aplikasinya, serta penambahan wawasan mengenai sumber-sumber alternatif (migas non-konvensional dan nabati misalnya) perlu untuk terus-menerus disebarkan ke seluruh jajaran praktisi di industri hulu migas. Tugas pemerintahlah untuk mengalokasikan dana “plough
back” ini untuk mempertahankan kinerja sektor produktif, yang
dalam hal ini adalah industri hulu migas, dan bersama dengan asosiasi-asosiasi profesi mengimplementasikannya. Hal ini sudah pernah dilakukan pada era pemerintahan yang lalu tapi kemudian dihentikan, sehingga pada saat ini harus segera dipikirkan, dirancang, dan dilaksanakan kembali.” ***
S
ejarah eksplorasi Gas Metana Batubara (GMB) yang dikenal sebagaiCoalbed Methane (CBM) di Indonesia dimulai dengan proyek
percontohan Lemigas tahun 2007 di lapangan Rambutan, Sumatera Selatan. Lemigas bekerja sama dengan Medco berhasil memproduksi gas untuk pembangkit tenaga listrik sebesar 12KVA. Tahun 2008 Production
Sharing Contract GMB pertama di Indonesia ditandatangani oleh Medco
Energi dan Ephindo Energi sebagai Kontraktor Kontrak Kerjasama bersama pemerintah Indonesia. Sampai saat ini total 54 Production Sharing Contract (PSC) GMB telah ditandatangani oleh pemerintah Indonesia dengan perusahaan-perusahaan nasional dan internasional. Lebih 50 PSC tersebut memasuki industri GMB di Indonesia dengan pola pikir migas konvensional dan harapan kegiatan awal eksplorasi mereka berhasil seperti lapangan San Juan di Amerika Serikat (AS) atau lapangan Fairview di Queensland, Australia. Kedua lapangan tersebut adalah lapangan GMB terbaik di dunia dengan tingkat produksi menyamai rata-rata sumur migas konvensional.
Negara-negara seperti AS, China dan Australia telah berhasil memproduksi gas dari sumur GMB secara komersial. AS dengan estimasi sumber daya gas GMB sebesar 700 TCF berproduksi sejak 1980-an. Pada akhir 1970-an, pemerintah AS memberi dorongan kepada produksi gas GMB dalam negeri dengan membebaskan keterikatan harga jual gas dari kontrol pemerintah federal. Sebagai tambahan, pemerintah AS mengeluarkan keputusan insentif fiskal seperti pengurangan pajak kepada industri GMB dalam negeri. Sesuai harapan, akhir 1980-an produksi GMB di AS meningkat signifikan. Produksi tahun 2012 mencapai 1,65 TCF setara 4,5 BCF per hari. Australia, yang mengenal GMB sebagai Coal Seam Gas (CSG), juga menjadi contoh sukses industri GMB di dunia. Dengan estimasi sumber daya gas GMB 250 TCF yang jauh lebih kecil dari Indonesia, Australia berhasil memproduksi gas GMB sebesar 252 BCF pada 2011 dan terus meningkat. Sukses pelaku industri GMB di Australia tidak terlepas dari pengaruh rezim fiskal yang menguntungkan dan harga jual gas yang mengikuti pasar. China mempunyai potensi GMB sebesar 1300 TCF. Eksplorasi GMB di China mulai awal 1990-an d1990-an melalui masa perkemb1990-ang1990-an y1990-ang s1990-angat lambat sampai tahun 1996 dimana pemerintah China membentuk perusahaan GMB nasional bekerjasama dengan perusahaan asing dan berhasil mendorong proyek GMB di Qinshui Basin, China ke tahap komersialisasi. Statistik dunia menunjukkan, dari tiap lapangan GMB yang berproduksi saat ini 80% produksi gas didapatkan hanya dari 20% sumur yang ada. Ini menunjukkan bahwa peluang mendapatkan sumur produksi setara lapangan Fairview adalah sebesar 20%. Ini di luar sumur yang dibor pada masa eksplorasi sampai titik komersial.
Pemain Kunci dan Status Industri GMB di Indonesia
Perusahaan nasional pelopor industri GMB di Indonesia antara lain adalah Medco, Pertamina dan Ephindo yang menandatangani Kontrak Kerjasama (KK) pada 2008 untuk blok GMB Sekayu I dan Sangatta I. Saat ini para pelopor itu masih menjadi pemain kunci industri GMB Indonesia, ditambah Vico yang berhasil menjual gas hasil produksinya sebagai Pre-POD Gas Sales
Agreement dengan PLN setempat. Namun sayang, perusahaan-perusahaan
besar asing seperti Exxon, BP dan Total yang bisa disebut “the big majors” memutuskan keluar dari industri GMB di Indonesia dengan alasan tingginya biaya pengeboran sumur eksplorasi yang tidak sesuai dengan perhitungan keekonomian mereka dan proses perijinan yang memakan waktu sangat lama. Dengan alasan tersebut, perusahaan besar asing yang punya portofolio asset yang luas, menempatkan proyek GMB di Indonesia pada skala prioritas
buletin
IATMI
|
7
MEMENUHI PASOKAN ENERGI INDONESIA
Oleh: Sammy Hamzah
Industri GMB :
Pimpinan pelaku bisnis GMB dan Vice President IPA
STATUS, POTENSI, DAN SOLUSI YANG DIBUTUHKAN INDUSTRI DAN PEMERINTAH
rendah dan pada akhirnya meninggalkan proyek tersebut. Perkembangan industri GMB di Indonesia berjalan lambat dan saat ini stagnan. Ppada tahun 2013 tidak ada KK GMB yang ditandatangani oleh pemerintah. Hasil pengeboran GMB yang kurang bagus didukung oleh biaya yang tinggi dan sulitnya perijinan mendorong pelaku industri ini untuk meninjau kembali anggaran investasi GMB mereka di Indonesia. Menurut data SKK Migas, total sumur yang telah dibor antara 2009-2013 sebanyak 80. Bandingkan dengan industri GMB di China. Setelah pemerintah China membentuk perusahaan GMB nasional, sekitar 1000 sumur dibor dalam jangka waktu 10 tahun (1996 – 2006). Dari 23 Wilayah Kerja (WK) yang telah melewati jangka waktu tiga tahun masa eksplorasi, hanya empat WK yang memenuhi komitmen pasti. Jika dibandingkan dengan industri GMB di dunia industri GMB Indonesia yang masih sangat muda boleh dikatakan telah melalui tiga tahap yaitu: kelahiran Industri GMB di Indonesia; euforia masuknya pemain-pemain lokal dan dunia termasuk “the big majors”, dan kekecewaan para kontraktor khususnya “the big majors” karena hasil yang dicapai tidak memenuhi harapan mereka semula. Kita sekarang berada pada akhir tahap ketiga yang, sayangnya, menampilkan citra industri GMB di Indonesia secara keseluruhan.
Dengan fakta dan data di atas marilah kita analisa industri ini dengan pandangan lebih luas. Setelah lebih 50 kontrak kerjasama ditandatangani pemerintah Indonesia, tidak banyak perusahaan yang melakukan investasi yang nyata di industri GMB ini. Sebagian besar perusahaan tersebut hanya mengambil kesempatan pada tahap euphoria diatas dan mengikuti tren industri migas di Indonesia. Dari mereka yang telah menandatangani kontrak kerjasama dengan pemerintah Indonesia hanya segelintir yang mempunyai pengalaman di hulu migas dengan track record yang cukup bagus. Pertanyaannya adalah: dimana titik kesalahan sehingga pemerintah memberikan persetujuan kontrak kepada perusahaan-perusahaan yang tidak mempunyai kesungguhan? Sebagian besar perusahaan yang keluar dari industri GMB di Indonesia adalah perusahaan multinasional ternama dunia sehingga segala aksi mereka menentukan presepsi industri GMB kita. Pertanyaannya adalah: benarkah kesimpulan para stakeholder, industri keuangan, jasa penunjang, pemerintah lokal dan pusat bahwa potensi GMB di Indonesia sulit dikembangkan ? Fakta yang kita ketahui sewaktu memasuki industri ini bahwa eksploitasi GMB adalah bisnis marginal. Sebab itu salah satu kunci keberhasilan mengembangkan bisnis GMB ke tahap komersialisasi adalah sejauh mana para pemain industri ini dapat menekan biaya operasional serendah mungkin agar dapat memenuhi kriteria keekonomian mereka. Sampai saat ini bisa diperhatikan bahwa pengeboran sumur GMB di Indonesia menggunakan alat-alat termasuk rig yang didesain untuk pekerjaan sumur migas konvesional dengan pola pikir yang juga konvensional. Sebagai catatan, 80 sumur yang dibor sampai tahun 2013 kurang lebih memakan biaya sebesar US$ 700 juta, yang berarti secara kasar bisa kita hitung bahwa per sumur biaya yang dikeluarkan adalah sebesar hampir US$ 9 juta. Pertanyaannya:
Apakah model operasional yang diterapkan digunakan para pelaku di Indonesia selama ini dapat membawa industri GMB Indonesia ke tahap komersialisasi?
Apa kesimpulan yang kita bisa ambil?
Negara-negara yang berhasil mengembangkan industri GMB, umumnya industri ini waktu kurang lebih 20 tahun sejak lahirnya industri ini sampai mencapai komersialisasi. GMB adalah industri unconventional yang harus melalui proses trial and error maka untuk mencapai titik komersialisasi, industri ini membutuhkan ratusan sampai ribuan sumur. Sebagai contoh nyata di Queensland, Australia sumur GMB pertama dibor di Bowen basin pada tahun 1976 dan komersialisasi tercapai pada 1996 setelah membor lebih 1000 sumur. Industri GMB di negara-negara tersebut diprakarsai oleh perusahaan lokal yang kecil karena perusahaan kecil memiliki fleksibilitas operasional, struktur organisasi lebih ramping dan tidak terikat pada proses internal yang kaku seperti di perusahaan multinasional ternama sehingga waktu untuk operasi bisa ditekan dengan biaya minim. Melihat sejarah industri GMB di dunia, kita tidak seharusnya terbawa sikap pesimistis yang diciptakan oleh keluarnya perusahaan-perusahaan besar dari industri ini di Indonesia. Bila serius ingin mengembangkan industri GMB, Indonesia maka perlu mengubah pola pikir yang terpaku pada migas konvensional dan telah kita kenal dengan struktur biaya yang tinggi. Opini ini bukan tanpa alasan. Karena sifat eksploitasi GMB dengan tekanan sumur yang tidak tinggi sehingga operasi pengeboran sumur ini mempunyai resiko keselamatan relatif lebih rendah. Salah satu penyebab tingginya biaya operasi lainnya adalah proses yang harus dilalui berkaitan dengan jenis kontrak kerjasama GMB di Indonesia.
Kemanakah arah industri GMB di Indonesia?
Dengan potensi sumber daya GMB sebesar 453 TCF dan keadaan defisit kebutuhan energi Indonesia yang besar, apakah Indonesia bisa mengabaikan industri GMB? Menurut perhitungan bila 10% (atau 45 TCF) saja sumber daya GMB dapat dieksploitasi, maka angka ini mencapai 50% dari cadangan gas konvensional terbukti saat ini atau 7 miliar barel minyak yang setara dengan dua kali lebih besar dari cadangan minyak terbukti saat ini. Dari data di atas, seharusnya industri GMB tidak lagi dipertanyakan, melainkan diberi dukungan untuk dikembangkan. Dibutuhkan pemikiran “out of the box” dan keberanian mengambil keputusan untuk melakukan perubahan-perubahan yang perlu dan harus terjadi. Hal-hal yang dapat mendukung industri ini antara lain adalah kerjasama yang optimal antara perusahaan- perusahaan pemain dan pemerintah lokal maupun sentral, sistem regulasi yang lebih sesuai dengan industri migas non-konvensional (dari mulai standarisasi sampai sistem pengadaan), dan juga perubahan sistem fiskal yang pada saat ini lebih mengarah ke migas konvensional.***
Penasehat :
Bambang Ismanto
Penanggung Jawab :
Judha Sumarianto
Wakil Penanggung Jawab :
Ratnayu Sitaresmi
Tim Redaksi :Renville Almatsier
Andry Halim
Taufik Fathaddin
Boni Swadesi
Redaktur Pelaksana :Renville Almatsier
Layout & Foto :
Alief Syahru
Abdul Manan
Alamat Redaksi :
Patra Office Tower, 1
stFloor, Suite 1-C
Jl. Jend. Gatot Subroto Kav. 32-34
Jakarta Selatan 12950
Telp/Fax :021-5203057
Email :pusat@iatmi.or.id
www.iatmi.or.id
BI edisi kali ini boleh dikatakan agak khusus. Karena sepinya kegiatan
organisasi IATMI di bulan-bulan lalu, terutama karena bulan puasa dan kegiatan pilpres, kami agak kesulitan melaporkan aktivitas kita kepada para pembaca. Namun kemudian muncul isu baru yang sangat menarik. Pilpres yang baru usai itu selama bulan-bulan kemarin sangat menjadi perhatian masyarakat. Agaknya itu merupakan cerminan betapa rakyat juga peduli akan masa depan pemerintahnya, masa depan negaranya.
Pada nomor BI kali ini, bukan berniat ikut “bicara politik”, kami menyajikan berbagai harapan dan komentar warga IATMI terhadap pemerintah yang akan datang. Kami merasa dalam forum media internal ini, kita bisa dan boleh menyampaikan aspirasi kita. Bukan sekedar ikut “bicara politik”, tetapi sebagai cerminan bahwa sebagai profesional migas dan energi, kita pun peduli. Kita pun punya pengharapan. Sebagai insan profesional kita pun berhak menyampaikan isi hati kita.
Redaksi
Dari Redaksi
Redaksi
Di tengah persiapan men-jelang Kongres XIII IATMI bulan Desember mendatang yang antara lain akan memilih ketua baru, Ketua Umum yang sekarang, Bambang Ismanto menyatakan tak
Bambang Ismanto
M
emantau
dan
mengamati
banyaknya komentar terkait
masalah migas dalam
per-bincangan selama kampanye pilpres
yang
lalu,
Ketua
Umum
IATMI
Bambang Ismanto mencatat beberapa
kesalahkaprahan dalam masyarakat,
ter-masuk oleh pengamat atau wakil rakyat
sekali pun, tentang berbagai istilah. Ia
melihat ini adalah tugas IATMI untuk
meluruskannya. Beberapa hal yang perlu
diluruskan :
Kok produksi minyak menurun ?
Sebagai sumber daya yang terbatas dan
tidak terbarukan, produksi migas pasti
menurun karena dikuras. Supaya tidak
menurun ya harus melakukan pekerjaan
untuk mengurangi penurunan misalnya
dengan pekerjaan workover, drilling, EOR
dan yang lebih penting lagi eksplorasi.
Idealnya yang kita produksi ‘kan harus kita
ganti dengan penemuan dan penambahan
cadangan dengan EOR atau eksplorasi.
Kok Cost Recovery Naik
Cost Recovery adalah bagian penting
dari upaya mempertahankan produksi
yang makin menurun. Semakin tua suatu
lapangan semakin banyak cost yang
diperlukan karena memerlukan perbaikan
fasilitas, kerja ulang, pemboran sumur
tambahan dan sebagainya. Karena itu,
sepanjang cost recovery merupakan upaya
yang berhubungan dengan operasi dan
SALAH KAPRAH DAN SALAH PENGERTIAN
produksi hal itu wajar dan diperlukan.
Yang tidak boleh adalah pemborosan.
Apa itu Sense of Urgency ?
Dalam industri migas berlaku “time is
money” karena diperlukan keputusan
yang cepat dikarenakan beberapa
komponen biaya yang sangan besar
misalnya sewa rig per hari bisa mencapai
USD 200,000 atau lebih dari Rp 2 milyar,
jadi keterlambatan akan menyebabkan
kenaikan biaya yang luar biasadisamping
keterlambatan berproduksi.
Mengenai Investor Asing
Dunia migas membutuhkan dana.
Agaknya tak dapat dielakkan pentingnya
pemodal, sekalipun asing. Betul pemodal
atau investasi, darimana saja - nasional
dan internasional, sangat diperlukan.
Kalau tidak, ya... mengikuti takdir...
produksi pasti menurun…
Indonesia Kurang Menarik
Indonesia di lingkungan calon investor
dianggap “ tidak dalam list”. Maksudnya,
Indonesia tidak masuk dalam daftar
incaran
perusahaan
internasional.
Apa
sebabnya?
Indonesia
harus
berkompetisi dengan negara lain agar
investor terutama, eksplorasi, masuk
ke Indonesia. Sekarang ini Indonesia
memang kurang menarik beberapa
investor besar.***
akan mencalonkan diri lagi. Mengapa? “Saya mendukung regenerasi seperti di SPE agar ada kesinambungan”, kata dia dalam obrolan di Sekretariat. Tak ada penyiapan calon pengganti. “Biarlah alami saja, semua bisa menjadi kandidat”, kata dia pula. Sebenarnya AD/ART memungkinkan seseorang menjabat lebih dari
satu kali. “Namun saya rasa regenerasi di IATMI sangat diperlukan...”, kata Bambang pula. Apa komentar Pak Ketua bagi calon/ketua yang akan datang? “Sebagai incumbent saya sangat welcome calon-calon Ketua IATMI yang baru. Silahkan membuat program kerja guna mendukung para anggota IATMI di seluruh dunia dan juga membantu stakeholders dalam mengatasi krisis migas sekarang ini”, kata dia. “Pekerjaan di IATMI memang pekerjaan volunteer jadi dedikasi yang all out sangat diperlukan”, tambah Ketua IATMI ini pula.***