• Tidak ada hasil yang ditemukan

Modul Perpajakan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Modul Perpajakan"

Copied!
110
0
0

Teks penuh

(1)

MODUL

“PERPAJAKAN”

D3 KEUANGAN DAN PERBANKAN

PENYUSUN :

ADIYAS, SE.,MM.

FAKULTAS EKONOMI

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL

“VETERAN” JAKARTA

Jl.RS. Fatmawati, Pondok Labu Jakarta Selatan 12450 021 – 7692856

(2)

MODUL

“PERPAJAKAN”

D3 KEUANGAN DAN PERBANKAN

PENYUSUN :

ADIYAS,SE,MM

Nama Mahasiswa :

Nomor Pokok Mahasiswa :

Semester / Kelas :

Nama Dosen :

FAKULTAS EKONOMI

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL

“VETERAN” JAKARTA

Jl.RS. Fatmawati, Pondok Labu Jakarta Selatan 12450 021 – 7692856

(3)
(4)

KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur penyusun panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas Rahmat dan karunia-Nya penyusun dapat menyelesaikan Modul Perkuliahan Perpajakan ini.

Modul Perkuliahan Perpajakan ini berisi ringkasan materi perpajakan yang sudah disesuaikan dengan Satuan Acara Perkuliahan, sehingga diharapkan dapat menunjang pencapaian kompetensi keahlian yang diinginkan.

Penyusun menyadari bahwa modul ini belum sempurna, karena itu saran dan kritikan dari semua pihak sangat diharapkan guna perbaikan di masa mendatang.

Pada kesempatan ini penyusun menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah banyak membantu hingga tersusunnya modul ini.

Terakhir penyusun berharap semoga modul ini bermanfaat bagi mahasiswa Program D3 Keuangan dan Perbankan Fakultas Ekonomi khususnya dan umumnya bagi paca pembaca sekalian.

Jakarta, Januari 2010 Penyusun

(5)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR i

DAFTAR ISI ii

Gambaran Umum UU PPh ………. 1

Kebijakan dan Teknis Pemotongan PPh Pasal 21 …………. 11

Kebijakan dan Teknis Pemotongan PPh Pasal 22 …………. 23

Kebijakan dan Teknis Pemotongan PPh Pasal 23 …………. 36

Kebijakan dan Teknis Pemotongan PPh Pasal 24 …………. 42

Kebijakan dan Teknis Perhitungan Penilaian Persediaan, Penjualan dan Pengalihann Harta ...……...…. 47

Kebijakan dan Teknis Perhitungan Penyusutan, dan Amortisasi Aktiva ...……….…. 61

Kebijakan dan Teknis Perhitungan Pajak yang Terutang (khusus WP Orang Pribadi) ...…………. 67

Teknis Perhitungan PPN dan PPnBM ... 74

Kebijakan Umum Mengenai PBB ………. 84

Kebijakan Umum Mengenai Bea ………. 90

(6)

FAKULTAS EKONOMI

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL ”VETERAN” JAKARTA

POKOK BAHASAN

GAMBARAN UMUM UNDANG-UNDANG PPh

ADIYAS, SE, MM.

A. PENDAHULUAN

Pajak Penghasilan (PPh) merupakan salah satu sumber penerimaan negara yang berasal dari penghasilan masyarakat. Dalam proses pemungutan perlu diatur dengan UU agar dapat memberikan kepastian hukum, sesuai dengan kehidupan dalam negara demokrasi Pancasila. Dalam sistem peraturan perpajakan yang lama, pengenaan pajak atas penghasilan diatur dalam beberapa UU, yaitu : Ordonansi Pajak Perseroan 1925, Ordonansi Pajak Pendapatan 1944, UU Pajak atas bunga. Dividen dan Royalti 1970, UU No. 8 tahun 1967.

Sejak akhir tahun 1983 pemerintah mengadakan pembaharuan peraturan perpajakan di Indonesia/Reformasi perpajakan Maksud dari pembahuruan pajak itu adalah umtuk menyederhanakan struktur pajak, seperti jenis-jenis pajak, tarif dan cara pemenuhan kewajiban pajak. Sistem pemungutan pajak lebih banyak memberikan tanggung jawab perpajakan pada diri wajib pajak (WP), dengan menganut simtem self-assesment. UU Perpajakan itu meliputi: UU no. 7 tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (PPh).

Dalam UU Pajak Penghasilan ini mengatur materi pengenaan pajak yang pada dasarnya meliputi: subjek pajak (siapa yang akan dikenakan ), objek pajak (apa yang dikenakan atau penyebab pengenaan

1

MODUL PERTEMUAN I

Perpajakan (3 SKS)

(7)

pajak) dan tarif pajak sebagai cara penentuan jumlah pajak.Tarif pajak ditetapkan secara wajar berdasarkan prinsip-prinsip pemerataan dalam pamungutan pajak dan keadilan dalam pembebanan pajak. Struktur tarif disederhanakan dan bersifat progresif, artinya semakin tinggi penghasilan semakin tinggi pula persentase tarif pajak.Sedangkan tatacara pungutannya diatur dalam UU tersendiri, yaitu dalam UU no.6 Tahun 1983. Tarif untuk orang Pribadi/Perseorangan sama dengan tarif untuk Badan dengan tingkat tarif maksimal yang lebih rendah daripada tarif lama.

B. KEBAIKAN-KEBAIKAN SISTEM PERPAJAKAN YANG BARU

Ada bebrapa kelebihan atau kebaikan pada penerapan sistem perpajakan yang baru, antara lain :

a. Serderhana, bagi Wajib Pajak (WP) akan mudah melakukan penghitungan jumlah pajak yang harus dibayarnya. Demikian juga bagi Kantor Pajak, akan mudah menguji perhitungan pajak yang dilakukan oleh WP.

b. Adil dan merta, tarf pajak diberlakukan sama terhadap tingkat penghasilan yang sama dari manapun penghasilan itu diterima atau diperoleh.

c. Meningkatkan kepatuhan wajib pajak, tarif marginal tertinggi adalah 35%. Hal ini akan meningkatkan kesediaan WP untuk membayar pajak. Meningkatkan kerelaan membayar dan bertambah mudahnya bagi administrasi pajak untuk menguji akan lebih meningkatkan kepatuhan WP.

d. Mengurangi pengalihan penghasilan dari badan kepada perorangan atau sebaliknya sebab pengalihan semacam itu tidak memberikan manfaat kepada wajib pajak.

(8)

C. PERBEDAAN SISTEM LAMA DAN SISTEM BARU

Adapun perbedaan sistem perpajakan lama dan sistem baru mencakup hal-hal berikut ini :

No Bidang Sistem Lama Sistem Baru

1. Struktur peraturan a. peraturan pajak sangat beraneka ragam sehingga membingungkan wajib pajak. b. adanya pembebanan pajak berganda. c. ada beberapa jenis pajak. d. sudah ketinggalan jaman.

Hak & kewjiban WP tidak jelas. a. disederhanakan dengan memberlakukan satu peraturan PPh. b. Mengeliminir adanya pajak berganda. c. hanya ada satu

jenis pajak. d. Untuk menyesuaikan dengan perkembangan zaman.

Hak & kewajiban WP jelas.

2. Sistem pemungutan a. sangat

tergantung pada aparat perpajakan b. Official assessment. a. ditentukan oleh WP sendiri b. self assessment.

(9)

3. Tata cara pemungutan a. berbelit-belit b. pengisian SPT hanya sebagai laporan c. hasil pemungutan pajak tidak memadai d. WP diperlukan sebagai “objek” a. lebih sederhana b. pengisian SPT sebagai tindakan Hk c. WP menghitung & menyetorkan pajak sendiri WP diperlakukan sebagai “subjek”

4. Tarif Pajak a. tarif pajak berbeda antara WP badan & WP perseorangan b. tarif pajak cukup

tinggi

c. ada berbagai bentuk insentif pajak

a. tarif pajak berlaku untuk WP badan & WP perseorangan b. tarif pajak diturunkan c. menghapus segala bentuk insentif pajak D. DASAR-DASAR PERPAJAKAN

Definisi dan unsur pajak menurut Prof. Dr. Soemitro, SH. adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan Undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal (kontraprestasi) yang langsung dapat ditunjukan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum.

(10)

Dari definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa pajak memiliki unsur :

1. Iuran dari rakyat kepada negara, yang berhak memungut pajak hanya negara. Iuran tersebut berupa uang (bukan barang).

2. Berdasarkan Undang-undang Pajak dipungut atau dengan kekuatan Undang-undang, serta aturan pelaksanaannya.

3. Tanpa jasa timbal atau kontraprestasi dari negara yang secara langsung dapat ditunjukkan. Dalam pembayaran pajak tidak dapat ditunjukan adanya kontraprestasi individual oleh Pemerintah.

4. Digunakan untuk membiayai Rumah Tangga Negara, yakni pengeluaran-pengeluaran yang bermanfaat bagi masyarakat luas.

Adapun fungsi pajak ada dua, yaitu :

1. Fungsi budgeter, pajak merupakan sumber dana bagi pemerintah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran negara.

2. Fungsi regulerend (mengatur), pajak sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijakan pemerintah dalam bidang sosial dan ekonomi.

Contoh :

a. Pajak yang tinggi dikenakan terhadap minuman keras (label merah) untuk mengurangi konsumsi minuman keras.

b. Pajak yang tinggi dikenakan terhadap barang-barang mewah untuk mengurangi gaya hidup mewah.

c. Tarif pajak untuk ekspor sebesar 0% untuk mendorong ekspor produksi Indonesia di pasaran dunia internasional.

Agar pemungutan pajak tidak menimbulkan hambatan atau perlawanan, maka pemungutan pajak harus memenuhi syarat sebagai berikut :

(11)

2. Pemungutan pajak, berdasarkan Undang-undang (syarat yuridis). Di Indonesia diatur dengan UUD 45, pasal 23 ayat 2 : memberi jabatan hukum untuk menyatakan keadilan, baik negara dan warganya.

3. Tidak mengganggu perekonomian (syarat ekonomis). 4. Pemungutan pajak harus efisien (syarat finansial). 5. Sistem pemungutan pajak harus sederhana.

Sedangkan hukum perpajakan dapat dikelompokan menjadi Hukum Pajak Materil dan Hukum Pajak Formil :

1. Hukum Pajak Materil (langsung), yaitu pajak yang dipikul sendiri oleh WP dan tidak dapat dibebankan/dilimpahkan kepada orang lain, seperti Pajak Penghasilan (PPh).

2. Hukum Pajak formil, memuat bentuk/tatacara untuk mewujudkan hukum materil menjadi kenyataan (cara melaksanakan hukum pajak materil).

E. PENGELOMPOKAN PAJAK 1. Menurut Golongannya :

a. Pajak langsung, yaitu pajak harus dipikul sendiri oleh WP dan tidak dapat dibebankan/dilimpahkan kepada orang lain, seperti Pajak Penghasilan (PPh).

b. Pajak tidak langsung, yaitu pajak yang pada akhirnya dapat dilimpahkan kepada orang lain, seperti Pajak Pertambahan Nilai (PPN).

2. Menurut Sifatnya :

a. Pajak subjektif, yaitu pajak yang bepangkal/berdasarkan pada subjeknya dalam arti memperhatikan keadaan diri WP, seperti PPh.

(12)

b. Pajak objektif, yaitu pajak yang bepangkal/berdasarkan pada objeknya, tanpa memperhatikan kedaan diri WP, seperti PPN dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPnBM).

3. Menurut Lembaga Pemungutannya :

a. Pajak Pusat, dipungut oleh Pemerintah Pusat dan digunakan untuk membiayai Rumah Tangga Negara, seperti PPN & PPnBM, PBB dan Bea materai.

b. Pajak Daerah, yaitu pajak yang dipungut oleh PEMDA dan digunakan untuk membiayai Rumah Tangga Daerah.

Pajak Daerah terdiri atas :

- Pajak DATI I (Propensi), seperti Pajak Kendaraan Bermotor dan Bea Balik Nomor (BBN) Kendaraan Bermotor.

- Pajak DATI II (Kota Madya/Kabupaten), seperti Pajak Pembangunan, Pajak Penerangan Jalan, dan Pajak Bangsa Asing (WNA).

F. TATACARA PEMUNGUTAN PAJAK 1. Stelsel Pajak :

Pemungutan pajak dapat dilakukan atas 3 stelsel : a. Stelsel nyata (riel stelsel).

Pengenaan pajak atas dasar objek (penghasilan yang nyata), sehingga pemungutannya baru dapat dilakukan pada akhir tahun pajak.

b. Stelsel Anggapan (fictieve Stelsel).

Pengenaan pajak didasarkan pada suatu anggapan yang diatur oleh UU misal : penghasilan suatu tahun dianggap sama dengan tahun sebelumnya.

(13)

c. Stelsel Campuran.

Merupakan kombinasi antara stelsel nyata dan anggapan, Pada awal tahun, besarnya pajak dihitung berdasarkan suatu anggapan, kemudian pada akhir tahun besarnya pajak disesuaikan dengan keadaan yang sebenarnya.

2. Azas Pemungutan Pajak :

a. Azas domilisi (azas tempat tinggal).

Negara berhak mengenakan pajak atas penghasilan WP yang bertempat tinggal diwilayahnya.

b. Azas sumber.

Negara berhak mengenakan pajak atas penghasilan yang bersumber di wilayahnya tanpa memperhatikan tempat tinggal WP.

c. Azas Kebangsaan.

Pengenaan pajak dihubungkan dengan kebangsaan suatu negara. Missal : pajak bangsa asing (WNA). Atas azas ini berlaku WP luar negeri.

3. Sistem Pemungutan Pajak : a. Offcial Assessment system.

Adalah suatu sistem pemungutan yang memberi wewenang kepada Pemerintah (fiscus) untuk besarnya pajak yang terutang oleh WP.

b. Self Assessment Syatem.

Adalah suatu sistem pemungutan pajak memberi wewenang kepada WP untuk menentukan sendiri besarnya pajak yang terutang.

(14)

c. With Holding Syistem .

Adalah suatu sistem pemungutan pajak memberikan wewenang kepada pihak ketiga (bukan fiscus dan bukan WP bersangkutan) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh WP.

G. TIMBUL DAN HAPUSNYA HUTANG PAJAK

Ada 2 ajaran yang mengatur timbulnya utang pajak :

1. Ajaran Formil, Utang pajak tibul kaena dikeluarkannya Surat Keterangan Pajak (SKP) Oleh fiscus. Ajaran ini diterapkan kepada official assessment system.

2. Ajaran Materil, Utang pajak timbul karena U.U seseorang dikenai pajak karena keadaan dan perbuatannya. Ajaran ini diterapkan pada seassessment System.

Sedangkan hapusnya utang pajak dapat disebabkan beberapa hal, yaitu hambatan terhadap pemungutan pajak yang dikelompokan : 1. Perlawanan Pasif .

Masyarakat enggan (pasif ) membayar pajak, yang dapat disebabkan antara lain :

a. Perkembangan intelektual dan moral masyarakat.

b. Sistem perpajakan yang mungkin sulit dipahami masyarakat.

c. Sistem kontrol tidak dapat dilakukan / dilaksanakan dengan baik.

2. Perlawanan Aktif.

Perlawanan aktif meliputi semua usaha dan perbuatan yang secara langsung ditujukan kepada fiscus dengan tujuan untuk menghindari pajak, bentuknya antara lain :

a. Tax avoidance, usaha meringankan beban pajak dengan tidak melanggar undang-undang.

(15)

b. Tax evasion, usaha meringankan beban pajak dengan cara yang melanggar undang-undang. ( menggelapkan pajak ). H. TARIF PAJAK

Ada 4 tarif pajak, yaitu :

1. Tarif sebanding/proporsional, dikenai pajak, sehingga besarnya pajak yang terutang proporsional terhadap besarnya nilai yang dikenai pajak contoh : untuk penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) didalam daerah pajak akan dikenakan PPN sebesar 10%.

2. Tarif tetap, tarif berupa jumlah yang tetap (sama) terhadap berapapun jumlah yang dikenai pajak yang terutang tetap.

Contoh : Besar tarif bea materai untuk cek dan bilyet giro dengan nilai berapapun adalah Rp. 1.000,- sekarang naik sejak tanggal 1 Mei 2000 menjadi Rp.3.000,- dan

Rp.6.000,-3. Tarif Progresif, persentase tarif yang digunakan semakin besar bila jumlah yang dikenal pajak semakin besar.

Contoh : pasal 17 UU.PPh tahun 1995.

Lapisan penghasilan Kena Pajak (PKP) Tarif - Sampai dengan Rp.25.000.000,- 10% - Rp. 25.000.000,- – Rp.50.000.000,- 15%

- diatas Rp.50.000.000,- 30%

Menurut kenaikan persentase Tarif Progresif dibagi :

a. Tarif Progresif Progresif, kenaikan persentase semakin besar.

b. Tarif Progresif Tetap, kenaikan persentase tetap.

c. Tarif Progresif Degresif, kenaikan persentase semakin kecil.

Dengan demikian, tarif pajak menurut pasal 17 UU.PPh tersebut diatas termasuk Tarif Progresif Progresif.

4. Tarif Degresif, persentase tarif yang digunakan semakin kecil bila jumlah yang dikenai pajak semakin besar.

(16)

Referensi : UU. No.7 tahun 1983 sebagaimana telah diubah menjadi UU. No. 10 tahun 1994 dan diteruskan dengan UU. No. 26 tahun 2000

FAKULTAS EKONOMI

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL ”VETERAN” JAKARTA

POKOK BAHASAN

KEBIJAKAN DAN TEKNIS PEMOTONGAN PPh PASAL 21

ADIYAS, SE, MM.

A. PENGERTIAN PAJAK PENGHASILAN (PPh)

Pajak Penghasilan (PPh) mengandung 2 pengertian. Pertama mengenai arti pajak itu sendiri dan kedua arti penghasilan. Pengertian pajak secara bebas sebagai suatu kewajiban kenegaraan berupa pengabdian serta peran aktif Warga Negara dan anggota masyarakat untuk membiayai keperluan Negara yang berupa Pembangunan Nasional yang pelaksanaannya diatur dalam UU dan Peraturan-peraturan untuk tujuan kesejahteraan bangsa dan negara.

Sedangkan Penghasilan adalah jumlah uang yang diterima atas usaha yang dilakukan orang perorangan, badan dan bentuk usaha lainnya yang dapat digunakan untuk aktivitas ekonomi seperti mengkonsumsikan dan/atau menimbun serta menambah kekayaan.

Menurut Pasal 4 ayat 1 UU.PPh No.10 Tahun 1994, penghasilan yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomi yang diterima/diperoleh oleh wajib pajak, baik berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang

2

MODUL PERTEMUAN II & III

Perpajakan (3 SKS)

(17)

dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan wajib pajak (WP).

Jadi pengertian Pajak Penghasilan (PPh) adalah suatu pungutan resmi yang ditunjukkan kepada masyarakat yang berpenghasilan atau/atas penghasilan yang diterima diperoleh dalam tahun pajak untuk kepentingan negara dan masyarakat dalam hidup berbangsa dan bernegara sebagi suautu kewajiban yang harus dilaksanakannya.

Dengan kata lain jika penghasilan yang diterima bukan merupakan tambahan kemampuan ekonomis atau tidak dapat menambah kekayaan WP, maka pengahasilan tersebut adalah penghasilan bukan objek pajak.

B. SUBJEK PAJAK

Azas yang berkaitan dengan subjek pajak adalah :

1. Azas Domisili yaitu suatu azas pemungutan pajak berdasarkan domisili/tempat tinggal subjek pajak.

2. Azas Sumber, yaitu azas pemungutan pajak berdasarkan sumber penghasilan yang diperoleh oleh subjek pajak.

3. Azas Kebangsaan, yaitu azas pemungutan pajak berdasarkan kewarganegaraan subjek pajak.

Pengertian Subjek Pajak menurut UU.No. 10 tahun 1994 pasal 2 ayat 1,2,3 dan 4, tentang PPh adalah orang pribadi, warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan, badan dan bentuk usaha tetap.

Kewajiban pajak subjektif orang pribadi/badan/ warisan dimulai dan berakhir pada saat :

(18)

- Orang pribadi dilahirkan, berada atau berniat untuk bertempat tinggal di Indonesia dan berakhir pada saat meninggal dunia atau meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya.

- Badan didirikan atau berkedudukan di Indonesia dan berakhir pada saat dibubarkan atau tidak lagi berkedudukan di Indonesia.

- Timbulnya warisan dan berakhir pada saat warisan tersebut selesai dibagi.

Sedangkan yang tidak tergolong sebagai Subjek Pajak adalah :

- Badan Perwakilan Negara Asing

- Pejabat-pejabat perwakilan diplomatik dan konsulat atau pejabat-pejabat lain dari negara asing dan orang-orang yang diperbantukan

- Organisasi-organisasi internasional yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan.

- Pejabat-pejabat perwakilan organisasi internasional yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan.

C. OBJEK PAJAK

Secara teoritis objek pajak adalah keadaan-keadaan, peristiwa-peristiwa atau perbuatan-perbuatan apa saja yang selayaknya dapat dikenakan pajak.

Sedangkan objek pajak dalam undang-undang no.10 tahun 1994 pasal 4 ayat 1 dan 2, PPh adalah setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh WP, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan WP yang bersangkutan dengan nama dan dalam bentuk apapun. Secara singkat dapat dikatakan bahwa objek pajak tidak lain adalah penghasilan yang diterima oleh WP.

(19)

D. PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 (PPh.21)

Sistem pemungutan pajak di Indonesia, khususnya pajak penghasilan, sekarang berlaku sistem self assessment. Dalam sistem ini masyarakat diberi kepercayaan dan tanggung jawab yang lebih besar untuk menghitung, memperhitungkan, membayar dan melaporkan sendiri besarnya jumlah pajak yang terutang. Yang termasuk dengan masyarakat disini adalah mereka yang termasuk dalam kategori besar berikut :

1. Kategori I adalah mereka yang wajib mengisi dan menyampaikan SPT Tahunan PPh pasal 21 (form 1721).

2. Kategori II adalah mereka yang wajib mengisi dan menyampaikan SPT Tahunan PPh WP Perseorangan (Form 1770).

3. Kategori III adalah mereka yang wajib mengisi dan menyampaikan SPT Tahunan PPh WP Badan (Form 1771).

Disamping penghasilan yang terkena pemotongan PPh pasal 21 diatas, berikut ini adalah penghasilan yang tidak dipotong PPh pasal 21 :

a. Penerimaan dalam bentuk natura.

b. Iuran pensiun yang dibayarkan kepada dana pensiun yang pendiriannya disahkan Menkeu, dan penyelenggara Taspen serta iuran tabungan hari tua atau tunjangan hari tua kepada badan penyelenggara Taspen Jamsostek yang dibayar oleh pemberi kerja.

c. Kenikmatan berupa pajak yang ditanggung pemberi kerja.

1. Tahapan Dan Istilah Dalam Menghitung PPh Pasal 21 :

Dalam melakukan perhitungan besarnya utang pajak PPh pasal 21, berapa tahapan dan istilah berikut ini perlu dipahami dan dimengerti dengan baik.

(20)

Penghasilan Bruto :

Yaitu seluruh penghasilan yang diterima oleh WP sebelum dikurangi dengan pengurangan-pengurangan yang diperkenankan oleh UU, berupa biaya jabatan, iuran pensiun dan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP).

Contoh :

Diketahui seorang karyawan mendapatkan gaji pokok Rp. 750.000,- tunjangan kesejahteraan keluarga Rp. 100.000,- tunjangan kemahalan Rp. 150.000,- tunjangan jabtan Rp. 100.000,- menempati rumah berikut mobil dinas yang dinilai sebulannya Rp. 400.000,- dan mendapatkan iuran asuransi kecelakaan dan asuransi kematian Rp. 25.000,-. Diketahui juga karyawan tersebut memiliki 1 orang anak dan istrinya tidak bekerja. Maka penghasilan Bruto karyawan tersebut dapat dihitung sebagai berikut :

- Gaji Rp.

750.000,-- Tunjangan kesejahteraan Rp.

100.000,-- Tunjangan kemahalan Rp.

150.000,-- Tunjangan jabatan Rp.

100.000,-- Iuran asuransi kecelakaan & kematian Rp.

25.000,-Total Penghasilan Bruto Rp. 1.125.000,-

Catatan :

Nilai rumah dinas dan kenderaan tidak dimasukkan dalam penghasilan bruto karyawan, karena disisi lain perusahaan tidak memperlakukan natura tersebut sebagai salah satu unsur biaya perusahaan, sehingga natura tersebut bagi karyawan yang menerimanya bukan merupakan penghasilan.

Penghasilan Neto :

Penghasilan neto adalah penghasilan bruto dikurangi dengan biaya jabatan, iuran pensiun dan tunjangan hari tua. Ketetapan mengenai

(21)

besarnya Biaya Jabatan, Iuran Pensiun dan Tunjangan Hari Tua diatur sebagai berikut :

- Biaya Jabatan ditetapkan 5% dari penghasilan bruto, dengan setinggi-tingginya Rp. 648.000,- setahun atau Rp. 54.000,- sebulan

- Iuran Pensiun ditetapkan 5% dari penghasilan bruto, dengan setinggi-tingginya Rp. 216.000 setahun atau Rp. 18.000,- sebulan.

- Tunjangan Hari Tua pengaturannya sama dengan penetapan iuran pensiun, namun demikian tidak tertutup kemungkinan bagi pemberi kerja untuk menetapkan secara nominal, sepanjang tidak melebihi nilai maksimum seperti yang ditetapkan untuk besarnya Iuran Pensiun diatas.

- Khusus untuk penerima Pensiun, penetapn besarnya penghasilan netonya dilakukan dengan cara penghasilan Bruto (PB) dikurangi dengan iuran pensiun dengan ketetapan yang sama dengan yang diatas.

Contoh

Dengan soal yang sama pada contoh diatas, maka untuk mencari besarnya ppenghasilan neto (PN) adalah sebagai berikut :

- Gaji Rp.

750.000,-- Tunjangan kesejahteraan Rp.

100.000,-- Tunjangan kemahalan Rp.

150.000,-- Tunjangan jabatan Rp.

100.000,-- Iuran asuransi kecelakaan & kematian Rp.

25.000,-Total Penghasilan Bruto Rp. 1.125.000,-

Pemotongan/Pengurangan :

(22)

56.000,-- Biaya jabatan yang diperkenankan = Rp.

54.000,-- Iuran Pensiun yang diperkenankan = Rp.

18.000,-- THT 1% x Rp. 750.000,- = Rp. 7.500,- +

Jumlah potongan = Rp. 79.000,

Penghasilan Neto (PN) = Rp.

1.045.500,-E. PENGHASILAN KENA PAJAK (PKP) DAN PENGHASILAN TIDAK KENA PAJAK (PTKP)

1. Penghasilan Kena Pajak untuk WP orang Pribadi :

Dalam rangkaian mencari besarnya utang pajak adalah penghasilan kena pajak (PKP). Untuk mendapatkan besarnya Penghasilan Kena Pajak (PKP) adalah dengan cara mengurangi Penghasilan Neto (PN) dengan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP). Pengaturan mengenai besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) telah mengalami perubahan sebanyak empat kali, karena disesuaikan dengan perubahan harga kebutuhan pokok yang meningkat, sedangkan nilai uang menurun (inflasi). Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada uraian berikut ini :

Departemen Keuangan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Pajak

Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) :

I. s/d 1989 2. 1990-94 3.1995-98 4. 1999-04 5. 2005 6. 2006 7. 2009

- Diri WP Pribadi

- Tambahan WP kawin

- Tambahan seorang istri

960.000 480.000 960.000 1.440.000 720.000 1.440.000 1.728.000 864.000 1.728.000 2.880.000 1.440.000 2.880.000 12.000.0 00 1.200.00 13.000.000 1.200.000 13.200.000 15.840.000 1.320.000 15.840.000

(23)

yang penghasilan digabung penghasilan suami

- Tambahan untuk setiap anggota keluarga sedarah & keturunan, anak angkat yang tanggungan maksimal 3 anak. 480.000 720.000 864.000 1.440.000 0 12.000.0 00 1.200.00 0 1.200.000 1.320.000

Penghasilan Kena Pajak (PKP) Pasal 17 : Tarif Lama : ( Pasal 17, UU PPh 1983) Tarif Baru : ( Ps. 17 UU no. 10,1994) 0 s/d Rp. 10 jt = 15 % 10 jt - Rp. 50 jt = 25 % diatas Rp. 50 jt = 35 % 0 s/d Rp. 25 jt = 10 % 25 jt - Rp. 50 jt = 15 % diatas Rp. 50 jt = 30 %

Cara Perhitungan Pajak Terutang :

Misalkan Pajak Terutang nilainya Rp. 80 juta Tarif lama : 15 % x Rp. 10 juta = Rp. 1.000.000 25 % x Rp. 40 juta = Rp. 10.000.000 35 % x Rp. 30 juta = Rp. 10.500.000 + Total = Rp. 22.000.000 Tarif Baru : 10 % x Rp. 25 juta = Rp. 2.500.000 15 % x Rp. 25 juta = Rp. 3.750.000 30 % x Rp. 30 juta = Rp. 9.900.000 + Total = Rp. 15.250.000

2. Menghitung Pajak Terutang :

Langkah terakhir untuk mengetahui berapa besarnya utang pajak adalah dengan cara mengalikan besarnya Penghasilan Kena Pajak (PKP) dengan tarif pajak yang berlaku. Untuk memperjelas apa yang

(24)

mengenai perhitungan PPh-21 khusus Wajib Pajak (WP) Orang Pribadi sebagai berikut :

Penghasilan Bruto (PB) Rp. xxxx Penghasilan lainnya yang tidak boleh

dikurangikan dari Penghasilan Bruto Rp. xxxx + Jumlah Penghasilan Bruto (PB) Rp. xxxx

Pengurangan-Pengurangan :

Biaya jabatan 5 % x PB maks. Rp. 648.000 (1.296.000) Iuran Pensiun 5 % x PB maks Rp. 216.000 ( 432.000) T.H.T. 5 % x PB maks Rp. 216.000 ( 432.000)

Jumlah pengurangan Rp xxxx

Penghasilan Neto (PN) Rp. xxxx

Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) :

Diri WP ……….

Tambahan status kawin ....…….

Tambahan tanggungan ……….

Jumlah P T K P Rp. xxxx

Penghasilan Kena Pajak ( P K P ) Rp. xxxx Hutang Pajak = PKP/tahun x tarif pajak PPh pasal 17 = Rp. xxxx (Pajak Progressif) 0 s/d Rp. 25 jt x 10 % = Rp. xxxx 25 jt - Rp. 50 jt x 15 % = Rp. xxxx diatas Rp. 50 jt x 30 % = Rp. xxxx + Hutang Pajak PPh-21 = Rp. xxxx Contoh :

(25)

Dengan soal yang sama pada contoh sebelumnya, maka untuk mencari Penghasilan Kena Pajak, yaitu Total Penghasilan Bruto (PB) dikurangi Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP). Selanjutnya Pajak terutang PPh-21 dapat dihitung :

Total Penghasilan Bruto (PB) = Rp. 1.125.000,- Total Penghasilan Neto (PN) sebulan = Rp. 1.045.500,-Total Penghasilan Neto (PN) setahun = Rp.

12.546.000,-Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) :

Diri Wajib Pajak (WP) = Rp. 1.728.000 Tambahan status kawin = Rp. 864.000 Tambahan tanggungan = Rp. 864.000 +

Total PTKP = Rp.

3.465.000,-Total Penghasilan Kena Pajak ( P K P ) = Rp. 9.090.000,-Pajak Terutang PPh-21 /tahun = 10% x 9.090.000 = Rp. 909.000,-Pajak Terutang PPh-21 /bulan = Rp. 909.000 = Rp. 75.741,67

12

Jadi Pajak Terutang PPh-21 /bulan = Rp.

75.742,-KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK Nomor : KEP-259/PJ/2001

Tentang

Pajak Penghasilan Pasal 21 atas Penghasilan yang diterima oleh Pekerja sampai dengan sebesar Upah Minimum Propinsi (UMP)

Atau Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK)

(26)

Dipersamakan dengan Pengenaan PPh Pasal 21 atas Penghasilan Pekerja

s.d. UMR yakni ditanggung Pemerintah

TARIF PAJAK ATAS PENGHASILAN KENA PAJAK BAGI WAJIB PAJAK DALAM NEGERI

(UU RI Nomor 17 Tahun 2000)

PKP > 0 s.d. 25 juta Tarif 5 % PKP > 25 juta s.d. 50 juta Tarif 10% PKP > 50 juta s.d. 100 juta Tarif 15% PKP > 100 juta s.d. 200 juta Tarif 25% PKP > 200 juta Tarif 35%

Penghasilan tidak kena pajak untuk WP Dalam Negeri Rp.

2.880.000,-Contoh :

Penghitungan Pajak Terutang Untuk Wajib Pajak Orang Pribadi

Jumlah Penghasilan Kena Pajak Rp. 300.000.000,00 Pajak Penghasilan yang terutang :

5 % x Rp. 25.000.000,00 = Rp. 1.250.000,00 Berlaku 01 Januari 2001

(27)

10 % x Rp. 25.000.000,00 = Rp. 2.500.000,00 15 % x Rp. 50.000.000,00 = Rp. 7.500.000,00 25 % x Rp. 100.000.000,00 = Rp. 25.000.000,00 35 % x Rp. 100.000.000,00 = Rp. 35.000.000,00 (+)

Rp. 71.250.000,00

TARIF PAJAK ATAS PENGHASILAN KENA PAJAK BAGI WAJIB PAJAK DALAM NEGERI DAN BUT

(UU RI Nomor 17 Tahun 2000)

PKP > 0 s.d. 50 juta Tarif 10 % PKP > 50 juta s.d. 100 juta Tarif 15 % PKP > 100 juta s.d. 200 juta Tarif 30 %

Tidak diberikan pengurangan PTKP

TARIF PAJAK PENGHASILAN (PPh) WP Pribadi (WP OP) ( UU NO.36 TAHUN 2008 )

(1)Tarif Pajak yang diterapkan atas PKP bagi : a. WP Orang Pribadi dalam negeri adalah sbb :

NO LAPISAN PENGHASILAN KENA PAJAK TARIF PAJAK 1. 0 s.d Rp 50.000.000,- 5% 2. Diatas Rp 50 juta s.d Rp 250 juta 15%

(28)

3. Diatas Rp 250 juta s.d Rp 500 juta 25% 4. Diatas Rp 500 juta 30% b. Pajak Badan dalam negeri dalam Bentuk Usaha Tetap (BUT) adalah sebesar 28% (dua puluh delapan)

Referensi : Pasal 21 UU.PPh, Kep. Dirjen Pajak No.2 Tahun 199

FAKULTAS EKONOMI

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL ”VETERAN” JAKARTA

POKOK BAHASAN

KEBIJAKAN DAN TEKNIS PEMOTONGAN PPh PASAL 22

ADIYAS, SE, MM.

A. PENDAHULUAN

PPh Pasal 22 merupakan pembayaran PPh dalam tahun berjalan yang dipungut sehubungan dengan pembayaran atas penyerahan barang dan kegiatan usaha dibidang lain.

Dasar Hukum pemungutan PPh Pasal 22 :

- Pasal 22 UU No. 10 tahun 1994

- Keputusan Menkeu No. 599/KMK 04/1994, tanggal 21 Desember 1994.

Pemungutan PPh Pasal 22 :

a. Bank Devisa dan Dirjen Bea dan Cukai, atas impor barang

b. Dirjen anggaran, bendaharawan pemerintah (pusat dan daerah), BUMN dan BUMD yang melakukan pembayaran

3

MODUL PERTEMUAN IV

Perpajakan (3 SKS)

(29)

atas pembelian barang dan dananya berasal dari belanja negara dan/atau daerah

c. Badan usaha yang bergerak dibidang industri semen, rokok, kertas, baja dan otomatif atas hasil penjualannya di dalam negeri, yang ditunjuk oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak. Termasuk pemungut PPh pasal 22 atas penjualan semen dalam negeri adalah : Distributor Tunggal/Distributor Utama Semen Produksi : PT. Semen Cibinong, PT. Semen Indocement, PT. Semen Nusantara.

d. Pertamina dan Badan Usaha selain Pertamina yang bergerak dibidang BBM jenis Premix dan gas, atas penjualan hasil produksinya kepada para penyalur dan agennya.

e. Badan urusan logistik (BULOG), atas penyerahan gula pasir dan tepung terigu kepada para penyalur dan/atau agennya.

B. SUBJEK YANG DIKENAKAN PAJAK

Yang merupakan subjek dari pemungutan PPh 22 adalah : a. Importir

b. Rekaman Pemerintah

c. Konsumen semen, rokok, kertas, baja dan otomatif

d. Para penyalur dan agen pertamina dan badan usaha selain pertamina yang bergerak dibidang BBM jenis premix dan gas

e. Para penyalur dan agen BULOG.

C. OBJEK PEMUNGUTAN PAJAK

Yang merupakan objek pemungutan pajak adalah PPh 22 adalah: a. Impor barang.

(30)

D. DASAR PEMUNGUTAN a. Nilai Impor.

b. Harga jual lelang. c. Harga pembelian.

E. PENGECUALIAN PPh PASAL 22

Yang di kecualikan dari pemungutan PPh pasal 22 adalah :

a. Impor barang-barang yang dibebaskan dari bea masuk yang dilakukan kedalam kawasan berikat dan Entrepot Produksi untuk tujuan Ekspor(EPTE) berdasarkan ketentuan peraturan perundangan-undangan yang berlaku.

b. Impor barang–barang untuk pameran atau keperluan lainnya yang dipergunakan di Indonesia bersifat sementara dan setelah keperluan barang dimaksud diekspor kembali, misalnya impor mobil untuk pameran atau reli dan setelah pameran atau reli selesai, mobil tersebut diekspor kembali.

c. Pembayaran atas penyerahan barang ( bukan merupakan jumlah yang dipecah-pecah ) yang jumlahnya kurang dari Rp. 500.000,-. d. Impor barang-barang dan/atau penyerahan barang-barang yang

berdasarkan peraturan perundang-undangan tidak terhutang. PPh pengecualian ini harus dinyatakan dengan Surat Keterangan Bebas Pajak PPh Pasal 22 yang diterbitkan oleh Dirjen Pajak .

F. TARIF PEMUNGUTAN a. Atas Impor

(31)

a. yang menggunakan Angka Pengenal Importer (API), tarif pemungutannya sebesar 2,5 % dari nilai impor.

b. Yang tidak menggunakan API, tarif pemungutannya 7,5 % dari nilai impor.

c. Yang tidak dikuasai, tarif pemungutannya sebesar 7,5 % dari harga lelang.

b. Atas pemberian barang yang dibiayai dengan APBN atau APBD tarif pemungutannya sebesar 1,5% dari harga pembelian.

c. Atas penjualan hasil produksi atau penyerahan barang yang dilakukan oleh:

a. Badan usaha yang bergerak dibidang industri semen, rokok, kerta baja, dan otomotif, yang ditunjukan oleh Kepala Pelayanan Pajak. b. Pertamina dan badan usaha selain pertamina yang bergerak

diubidang BBM jenis Premix dan gas.

c. Bulog. Tarif pemungutannya ditentukan berdasar ketentuan yang ditetapkan pleh Dirjen Pajak ; Pemungutan PPh Pasal 22 atas penyerahan barang atau penjualan hasil produksi dari Pertamina dan badan usaha selain Pertamina yang bergerak dibidang BBM jenis Premix dan gas dan BULOG bersifal final.

d. Atas Penjualan Premix :

0,25 % dari penjualan untuk SPBU Pertamina dan 0,3% dari penjualan untuk SPBU swasta.

e. Atas Penyaluran gula pasir dan terigu dari Bulog :

1. Rp. 380,-/ kuintal untuk penjualan gula pasir kepada penyalur. 2. Rp. 270,-/ kuintal untuk penjualan gula pasir kepada grosir.

3. Rp. 650,-/ kuintal untuk penjualan gula pasir kepada pembeli lain. 4. Rp. 53,-/ kuintal untuk penjualan terigu kepada penyalur.

5. Rp. 38,-/ kuintal untuk penjualan kepada grosir. 6. Rp. 91,-/ kuintal untuk penjualan kepada pembeli lain.

(32)

f. Atas penjualan kendaraan bermotor, semen, rokok, kertas, besi beton dan baja lembaran lapis seng :

a. 0,45 % x DPP, PPN, untuk penjualan kendaraan bermotor. b. 0,25 % x DPP, PPN, untuk penjualan semen.

c. 0,1 % x DPP, PPN, untuk penjualan rokok. d. 0,1 % x DPP, PPN, untuk penjualan kertas. e. 0,3 % x DPP, PPN, untuk penjualan besi beton.

f. 0,2 % x DPP, PPN, untuk penjualan baja lembaran lapis seng.

g.

Nilai Impor adalah nilai berupa uang yang digunakan sebagai dasar

perhitungan bea masuk. Nilai impor dihitung sebagai berikut :

Nilai Impor : Cost Insurance and Freight (CIF + bea masuk + pungutan pabean lainnya (kalau ada).

G. KEWAJIBAN PEMUNGUTAN PPh PASAL 22

Kewajiban-kewajiban pemungutan PPh pasal sebagai berikut : 1. Memungut PPh Pasal 22 :

a. Untuk impor barang yang tidak diberikan penundaan/pembebasan bea masuk.

b.

Untuk impor barang yang diberikan penundaan/pembebasan bea masuk pada sat pembayaran penyelesaian impor untuk dipakai (PIUD).

c. Untuk pembayaran barang yang dananya dari APBN/APBD pada saat pembayaran.

d. Untuk penjualan hasil produksi Pertamina dan hasil produksi badan-badan usaha penyediaan premix dan gas, serta penyerahan gula pasir dan terigu oleh Bulog pada saat penerbitan surat perintah pengeluaran barang (D.O).

(33)

e. Untuk penjualan semen oleh Distributor Utama/tunggal pada saat penjualan.

2.

Memberikan Bukti Pemungutan PPh Pasal 22 :

Dikecualikan dari kewajiban tersebut diatas adalah Pertamina, Bulog dan badan Usaha lainnya penyedia Premix karena pemungutannya bersifat final.

3.

Khusus dalam penjualan rokok, menerbitkan dan nota retur dalam hal terjadi retur penjualan rokok dan atas retur tersebut tidak dapat diganti dengan rokok yang sama baik fisik maupun jumlah harganya.

4.

Menyetor PPh Pasal 22, selambat-lambatnya 20 hari setelah

berakhirnya masa pajak. Khusus untuk PPh Pasal 22 yang dipungut Dirjen Bea dan Cukai selambat-lambatnya 1 hari setelah pemungutan pajak dilakukan.

5.

Melaporkan pemungutan PPh Pasal 22, selambat-lambatnya 20 hari setelah berakhirnya masa pajak. Khusus untuk PPh Pasal 22 yang dipungut Dirjen Bea dan Cukai dan Bendaharawan pelaporan dilakukan selambat-lambatnya 7 hari setelah penyetoran pajak.

H. PPh PASAL 22 BENDAHARAWAN

Sebagai objek pemungutanPPh Pasal 22 adalah penyerahan barang dan jasa yang dibiayai dari APBN/APBD, sepanjang tidak termasuk sebagai penghasilan yang dikenakan pemotongan pasal 21, 23, dan 26. WP yang masuk dalam kategori diatas dapat berupa Badan maupun Perorangan yang pada prinsipnya merupakan Rekanan Pemerintah yang menerima pembayaran untuk penyerahan barang dan jasa yang dibiayai dari APBN/APBD.

(34)

a. Pemungutan PPh-22 Bendaharawan terjadi pada saat pembayaran atau penyerahan barang dan jasa yang dilakukan oleh Dirjen Anggaran, Bendaharawan rutin dan proyek baik pusat maupun daerah, serta badan lain yang melakukan pembayaran untuk barang dan jasa dari belanja negara maupun belanja daerah.

b. dasar pemungutan adalah Penghasilan Neto dari Penyerahan barang dari/ atau jasa, dimana Penghasilan Neto dihitung berdasarkan norma Perhitungan yang besarnya 6 % dari harga barang dan jasa.

c. Tarif pemungutan PPh-22 pada umumnya adalah 25 % dari Penghasilan Neto, sehingga pemungutan dihitung sebagai berikut:

25% X Penghasilan Neto, menjadi 25 % X 6 % X harga barang / jasa

atau

Tarif = 1,5% X Harga / Nilai Pembelian barang

d. Cara menghitung PPh-22 Bendahawan adalah sebagai berikut: Jika dalam harga/nilai pembelian barang atau jasa sudah termasuk Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan/atau Pajak Penjualan barang Mewah (PPn BM), maka nilai PPN dan PPnBM harus dikeluarkan terlebih dahulu. Dengan kata lain, untuk menghitung PPh-22 Bendaharawan, harga/nilai pembelian barang yang digunakan sebagai dasar pengenaan pajak adalah harga/nilai barang sebelum PPN dan PPnBM, hal ini dilakukan untuk menghindari pengenaan pajak berganda.

e. Hal-hal yang dikecualikan dalam pemungutan PPh-22 adalah :

- Untuk pembayaran atas penyerahan barang (bukan jumlah yang dipecah-pecah) yang meliputi jumlah pembayaran kurang dari nilai Rp

500.000,-- Untuk pembayaran atas pembelian bahan bakar minyak, listrik, gas, air minum, benda-benda Pos, telepon. Pengecualian ini dinyatakan syah jika diterbitkan dalam Surat Keterangan Bebas Pajak Penghasilan Pasal 22 oleh Dirjen Pajak.

(35)

Contoh Soal PPh–22 Bendaharawan :

PT. Politek melakukan penjualan kepada beberapa instansi pemerintah, dengan nilai sebagai berikut :

a. Kepada Instansi Pemerintah A, harga barang sudah termasuk PPh – 22 sebesar Rp.30 juta (pengertian soal ini sama dengan jumlah uang yang diterima oleh PT. Polietk setelah dipotong PPh-22 Rp.30 juta.

b. Kepada instansi Pemerintah B, harga barang dengan nilai sudah termasuk PPN sebesar Rp.110 juta

c. Kepada Instansi Pemerintah C, harga barang dengan nilai sudah termasuk PPN dan PPn BM tariff 35 % sebesar Rp.150 juta.

Jawaban 1 :

Harga barang /jasa termasuk PPh-22 = Rp. 30.000.000,00 PPh-22 = 1,5 x 30.000.000,- = Rp. 456.852,79 +

98,5

Harga barang sebelum PPh-22 = Rp. 30.456.852,79 Pembuktian :

Harga penyerahan barang = Rp. 30.456.852,79 Penghasilan neto 6% x 30.456.852,79 = Rp. 1.872.411,17 PPh-22. = 25% x 1.872 411,17 = Rp. 456.852,79 -Jumlah uang yang diterima oleh PT.Politek = Rp. 30.000.000,00 Jawaban 2 :

Harga barang termasuk PPn = Rp. 110.000.000,00 PPn = 10/110 x Rp.110.000.000 = Rp. 10.000.000,00 Harga barang sebelum PPN = Rp. 100.000.000,00 PPh-22 = 1,5% x Rp.100.000.000 = Rp. 1.500.000,00 Jumlah uang yang diterima PT.Politek = Rp. 98.500.000,00

(36)

Jawaban 3 :

Harga barang termasuk PPh dan

PPnBM 35% = Rp. 150.000.000,00

PPN = 10/145 x 150.000.000 = Rp. 10.344.827,59 PPn BM = 35/145 x 150.000.000 = Rp. 36.206.896,65 – Harga barang sebelum PPN dan PPnBM = Rp. 103.448.275,90 PPh-22 = 1,5% x 103.448.275,90 = Rp. 1.551.724,10 – Jumlah uang yang diterima oleh PT.Politek = Rp. 101.896.551,80 Keterangan :

PPh-22 dipungut pada saat pelaksanaan pembayaran oleh Bendaharawan atau penyerahan barang rekanan. Penyetoran dapat dilakukan di Bank Persepsi atau Kantor Pos dengan menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP), yang sekaligus merupakan bukti pemungutan PPh pasal 22.

I. PPh PASAL 22 IMPOR

Yang menjadi objek pemungutan PPh-22 Impor adalah Penghasilan Netto dan pemasukan barang ke dalam daerah Pabean yang dilakukan oleh :

- Importir yang memiliki Angka Pengenal Impor (API), Angka Pengenal Impor Sementara (APIS) dan Angka Pengenal Impor Terbatas (APIT).

- Importir yang tidak memiliki Angka Pengenal Impor. 1. Mekanise Pemungutan :

a. Pemungutan PPh-22 Impor terjadi pada saat pembayaran bea masuk.

b. Jika pembayaran bea masuk ditunda atau dibebaskan, maka PPh-22 terutang dan dilunasi pada saat

(37)

penyelesaian dokumen pemberitahuan impor untuk dipakai (PIUD).

c. Dasar perhitungan PPh-22 Impor adalah Pengenalan Neto dari Pemasukan Barang atau Nilai Impor.

d. Penghasilan Neto bagi pemegang Angka Pengenal Impor (API) adalah 10% dari Nilai Impor dan Penghasilan Neto bagi yang tidak memiliki Angka Pengenal Impor adalah 30% dari Nilai Impor.

e. Nilai Impor adalah nilai berupa uanng yang menjadi dasar perhitungan bea masuk yaitu: Cost Insurance and Freight (CIF) ditambah dengan Bea Masuk dan pungutan lainnya yang `pabean di bidang Impor.

f. Tarif PPh-22 pada umumnya adalah 25%, sehingga:

- Untuk Importir yang memiliki API: 25% x 10% x Nilai Impor.

- Untuk Importir yang tidak memiliki API: 25% x 30% x Nilai Impor.

- Atas Impor yang tidak dikuasai: 25% x 30% x Harga Jual Lelang.

2. Sekilas Tentang Kegiatan Impor dan Perdagangan Luar Negeri : Impor adalah : Suatu kegiatan memasukan dari negara yang satu

kedaerah pabean negara lainnya dengan memandang peraturan-peraturan yang berlaku bagi negara yang saling berhubungan dalam kegiatan perdagangan luar negeri. Pelaksanaan kegiatan perdagangan yang memasukan barang dan jasa kedalam negeri dinamakan Importir yang sudah meiliki API dan Importir yang tidak memiliki API.

(38)

Disamping Importir yang sudah terdaftar sebagai Importir, ada juga yang dikenal dengan sebutan Indentor, yaitu Badan atau perorangan yang memiliki dana dan meminta jasa Importir untuk mengimporkan barang yang diinginkan dengan fee yang akan diberikan kepada Importir.

Pada dasarnya setiap orang dapat menjadi importir, asal memenuhi syarat-syarat yang sudah ditetapkan, seperti berikut ini:

a. Memiliki NPWP b. Memiliki SIUPP

c. Memiliki rekening Koran (R/K) di Bank Devisa

d. Jika memungkinkan memiliki Angka Pengenal Impor (API)

e. Sebaiknya dapat menunjukkan bukti adanya hubungan dagang dengan luar negeri.

3. Importir dan Angka Pengenal Impor (API) :

API tidak lain adalah Kartu pengenal atau identitas yang sebaiknya dimiliki oleh setiap Perusahaan yang melakukan kegiatan Impor. Importir yang sudah memenuhi syarat-syarat diatas, maka akan mendapatkan APIS (Angka Pengenal Impor Sementara) yang memiliki masa berlaku sampai 2 tahun.

Selama 2 tahun Importir sekurang-kurangnya dapat melakukan kegiatan Impor sebanyak 4 kali dengan pencapaian nilai transaksi sekurang-kurangnya US $100,000,- tanpa melakukan pembatalan perjanjian Impor, kecuali dalam keadaan terpaksa.

Bagi Perusahaan Asing dibidang Industri yang didirikan dalam rangka Penanaman Modal Asing (PMA) dan perusahaan asing domestik dibidang produksi dapat memiliki Angka Pengenal Impor Terbatas (APIT). Importir dengan APIT dapat melakukan kegiatan impor untuk

(39)

mesin-mesin, suku cadang, bahan/peralatan bangunan, bahan baku/bahan penolong yang digunakan untuk proses produksi sendiri. 4. Contoh soal PPh-22 Impor :

Impor lampu hias dari Italia tiba di pelabuhan Tanjung Priok, dengan nilai FOB = US $ 10,000 (kurs Rp.2400). Tarif Bea masuk dan Bea masuk tambahan yang berlaku saat itu masing-masing 5% dan 1%. PPnBM 20%, PPN 10%, Biaya tambang asal Eropa sebesar 5%, dengan asuransi = 0,5% Penegenal Impor (API) = 2,5%

Untuk mencari besarnya Nilai Impor (C&F/CIF + BM + BMT), terlebih dahulu harus diketahui besarnya Bea Masuk, sebagai berikut :

Bea Masuk = 5% x (C&F/ /CIF)

Bea Masuk Tambahan = 1% x (C&F/ /CIF)

PPN = 10% x (C&F/CIF+BM+

BMT)

PPnBm = 20% x Nilai Impor

PPh pasal 22 = 2,5 % x Nilai Impor

Catatan :

- Persentase Bea Masuk, dapat dilihat dari buku tariff Bea Masuk Indonesia.

- Persentase Bea Masuk Tambahan, dapat dilihat pada Surat Keputusan Menkeu, RI yang berkenaan dengan Bea Masuk Tambahan.

- C&F adlah kependekan dari Cost and Freight, yang digunakn apabila asuransi dibayar di dalam negeri.

- CIF adalah kependekan dari Cost Insurance and Freight, yang digunakan apabila asuransi dibayar di luar negeri.

- Persentase mengenai Biaya Tambang ( Freight ) dapat dilihat pada Daftar Biaya Tambang.

(40)

- FOB adalah kependekan dari Freight on Board, yang sama dengan harga berdasarkan nilai kurs dalam mata uang negara pengimpor.

FOB = US $ 10.000 Nilai Kurs Rp 2.400 = Rp 24.000.000

Sehingga CIF = Rp 24.000.000

Freight asal Eropa = 5 % x FOB

= 5 % x Rp 24.000.000 = Rp. 1.200.000 Insurance = 0,5% x C&F = 0,5% x ( 24.000.000 + 1.200.000 ) = Rp 126.000 C I F = 24.000.000 + 1.200.000 + 126.000 = Rp. 25.326.000 Bea Masuk = 5 % x Rp 25.326.000 = Rp 1.266.300

Bea Masuk Tambahan = 1 % x Rp 25.326.000 = Rp 253.260

Nilai Impor = CIF + Bea Masuk + Bea Masuk Tambahan

= 25.326.000 + 1.266.300 + 253.260 = Rp 26.845.560

PPN = 10 % x Rp 26.845.560 = Rp 2.684.556

PPnBM = 20 % x Rp 26.845.560

PPh pasal 22 = 2,5% x Rp 26.845.560 = Rp 671.139 Yang dibayar di Bank Devisa :

Bea masuk = Rp 1.266.300 Bea Masuk Tambahan = Rp 253.260

PPN = Rp 2.684.556

PPn BM = Rp 5.369.112 PPh Pasal 22 = Rp 671.139 + Jumlah yg dibayar = Rp 1

(41)

Referensi : UU No.10 tahun 1994 yang diperbaharui dengan UU No.30 tahun 2008 , Kep. Dirjen Pajak No.KEP-147/KMK.04/95

FAKULTAS EKONOMI

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL ”VETERAN” JAKARTA

POKOK BAHASAN

KEBIJAKAN DAN TEKNIS PEMOTONGAN PPh PASAL 23

ADIYAS, SE, MM.

A. PENDAHULUAN

PPh-23 jika disimpulkan adalah pajak atas penghasilan sehubungan dengan penghasilan dalam tahun takwim melalui pemungutan pihak ketiga, berdasarkan tariff atau kalkulasi penetapan pajak yang harus dibayar oleh WP. Yang dimaksud pihak ketiga adalah setiap orang atau badan yang diwajibkan untuk memotong PPh-23, seperti : Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), Badan Pemerintah, WP Badan Dalam Negeri seperti PT, Firma, CV dan Koperasi, Pemungut Pajak yang telah disetujui dari Dirjen Pajak. Pemungutan atau Pemotongan PPh Pasal 23

Pemotong PPh-23 adalah pihak-pihak yang membayarkan penghasilan yang terdiri atas :

4

MODUL PERTEMUAN V

Perpajakan (3 SKS)

(42)

2. Subjek Pajak badan dalam negri. 3. Penyelenggara kegiatan.

4. Bentuk usaha tetap.

5. Perwakilan perusahaan luar negeri lainnya.

6. Orang pribadi sebagai WP dalam negeri yang telah mendapat penunjukkan dari Dirjen Pajak untuk memotong pajak PPh-23 sesuai Keputusan DJP no. KEP-50/PJ/1994, maka WP orang pribadi dalam negeri yang sebagai pemotong PPh-23 meliputi :

a. Akuntan, arsitek, dokter, notaries, Pajak Pembuat Akta Tanah (PPAT), kecuali PPAT tersebut adalah Camat, pengacara dan konsultan, yang melakukan pekerjaan bebas.

b. Orang pribadi yang menjalankan usaha yang menyelenggarakan pembukuan.

B. SUBJEK PEMUNGUTAN PAJAK

Yang dikenakan pemungutan atau pemotongan adalah WP dalam negeri atau bentuk usaha tetap yang memperoleh penghasilan yang berasal dari modal, penyerahan jasa atau penyelenggara kegiatan selain yang telah dipotong pajak sebagaimana dalam Pasal-23.

C. OBJEK PEMUNGUTAN PAJAK

Objek dari pemungutan PPh Pasal 23 adalah : 1. Dividen

2. Bunga, termasuk premium, diskonto dan imbalan sehubungan dengan jaminan pengembalian hutang.

3. Royalti

4. Hadiah dan penghargaan selain yang telah dipotong pajak sebagai mana dimaksud dalam pasal 21

(43)

6. Imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa kontruksi, jasa konsultan dan jasa lain selain yang telah dipotong pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21

7. Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta.

D. PENGECUALIAN PPh PASAL 23

Yang tidak dikenakan pemungutan PPh Pasal 23 antara lain : 1. Penghasilan yang dibayar atau terutang kepada bank

2. Sewa yang dibayarkan atau terutang sehubungan denggan sewa guna usaha dengan hak opsi

3. Dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh PT sebagai WP dalam negeri, koperasi, yayasan atau organisasi sejenis, BUMN atau BUMD dari penyertaan modal pada badan usaha yang didirikan & bertempat kedudukan di Indonesia

4. Bunga obligasi yang diterima perusahaan reksadana

5. Penghasilan yang diterima atau diperoleh perusahaan modal adventura berupa bagian laba dari badan pasangan usaha yang didirikan dan menjalankan usaha atau kegiatan di Indonesia, dengan syarat badan pasangan usaha tersebut :

a. Merupakan perusahaan kecil, menengah atau menjalankan kegiatan dalam sektor usaha yang ditetapkan Menkeu RI

b. Sahamnya tidak terdaftar di bursa efek di Indonesia 6. Sisa Hasil Usaha (SHU) koperasi yang dibayarkan oleh koperasi

kepada anggotanya

7.Bunga simpanan yang tidak melebihi batas yang ditetapkan oleh Menkeu yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggotanya berdasarkan Keputusan Menkeu No. 605/KMK 04/1994, batas seluruh bunga simpanan yang tidak dipotong PPh-23 adalah

(44)

dan Kep. Menkeu No. 520/KMK.04/1998, Tgl 18 Desember 1998 adalah tidak melebihi Rp. 240.000,- setiap bul

E. DASAR PEMOTONGAN PPh PASAL 23 Ada 2 dasar pemotongan, yaitu :

1. Dari jumlah bruto, untuk penghasilan berupa : a. Dividen

b. Bunga, termasuk premium, diskonto dan imbalan sehubungan dengan jaminan pengembalian hutang

c. Royalti

d. Hadiah dan penghargaan selain yang telah dipotong pajak sebagaimana dimaksud dengan PPh-21

2. Dari perkiraan penghasilan neto, untuk penghasilan berupa :

a. Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta

b. Imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan dan jasa lain selain yang telah dipotong pajak sebagaimana dimaksud dalam PPh-21.

F. TARIF PEMOTONGAN PPh PASAL 23

1. 15 % dari jumlah bruto atas penghasilan berupa : a. Dividen

b. Bunga, termasuk premium, diskonto dan imbalan sehubungan dengan jaminan pengembalian hutang

c. Royalti

d. Hadiah dan penghargaan selain yang telah dipotong pajak sebagaimana dimaksud dengan PPh-21.

(45)

a. Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta

b. Imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan dan jasa lain selain yang telah dipotong pajak sebagaimana dimaksud dalam PPh-21.

G. PERHITUNGAN PERKIRAAN PENGHASILAN NETO

1. Sewa penggunaan harta bagi WP orang pribadi. Perkiraan penghasilan neto sebesar 80 % dari jumlah bruto.

2. Sewa penggunaan harta bagi WP Badan dan BUT. Perkiraan penghasilan neto sebesar 40 % dari jumlah bruto.

3.Imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen dan jasa konsultan. Perkiraan penghasilan neto sebesar 40 % dari jumlah bruto.

4.Imbalan sehubungan dengan jasa perancang bangunan, interior dan pertamanan, akuntansi dan pembukuan, pembersihan dan pembasmian hama & penebangan hutan. Perkiraan penghasilan neto sebesar 40 % dari jumlah bruto.

5. Imbalan sehubungan dengan jasa konstruksi atau pemborong bangunan Perkiraan penghasilan neto sebesar 10 % dari jumlah bruto.

Contoh Pembayaran Deviden :

Pada suatu kesempatan, Dodon membayarkan Rp. 2.000.000,- untuk mobil perusahaan. Harga yang dibayarkan tersebut sesuai dengan nilai sisanya, sedangkan harga pasar dari mobil tersebut Rp. 10.000.000,-.

Dodon merupakan pemegang saham pada perusahaan tersebut. Dari kasus ini besarnya deviden terselubung adalah Rp. 8.000.000,

(46)

(PPh-PPh-23 = 15% x Rp. 8.000.000,- = Rp. 1.200.000,-H. PEMOTONGAN PPh PASAL 23 ATAS BUNGA DITETAPKAN

SEBAGAI BERIKUT :

- Dipotong PPh sebesar 15 % dari jumlah bruto (final), atas bunga dan diskonto yang terutang atau dibayarkan kepada penerima penghasilan baik orang pribadi maupun badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap.

- Dipotong PPh sebesar 20 % dari jumlah bruto (final), atas sesuai tarif yang ditetapkan dalam perjanjian penghindaran pajak berganda (tax treaty), atas bunga dan diskonto yang terutang atau dibayarkan kepada WP luar negeri, baik orang pribadi maupun badan selain bentuk usaha tetap.

(47)

Referensi : Kep. Dirjen Pajak No.KEP-50/PJ./1994; KEP-Menkeu No.650/KMK.04/1994; UU.No.10 tahun 1994; Kep. Dirjen Pajak No.KEP-10/PJ./95

FAKULTAS EKONOMI

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL ”VETERAN” JAKARTA

POKOK BAHASAN

KEBIJAKAN DAN TEKNIS PEMOTONGAN PPh PASAL 24

ADIYAS, SE, MM.

A. PENDAHULUAN

Untuk mendapatkan penghasilan baik dari maupun luar negeri, negara mengantisipasi bagaimana cara pemungutan pajak yang berkenan dengan pengadilan yang diterima dari dalam maupun dari luar negeri oleh WP dalam negeri. Dalam UU no. 7 tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, yang telah diubah terakhir kalinya dengan UU No.10 tahun 1993, ditentukan bahwa WP dalam negeri dikenakan Pajak Penghasilan atas seluruh penghasilan dimanapun penghasilan tersebut diterima atau diperoleh, baik di Indonesia maupun penghasilan tersebut diterima di luar Indonesia.

Dalam pelaksanaan pemungutannya harus dihindari masalah terjadinya pemungutan pajak berganda. Karena seperti diketahui bahwa setiap negara diluar Indonesia juga memiliki sistem pemungutan pajaknya

5

MODUL PERTEMUAN VI

Perpajakan (3 SKS)

(48)

penghasilan dan luar Indonesia, secara otomatis juga dipotong pajak diluar Indonesia atas penghasilan yang diterimanya sesuai dengan ketentuan dari masing-masing negara pemberi kerja.

Untuk mengatasi adanya pemungutan pajak berganda, maka dalam pasal 24 ini diatur pemungutannya dengan menggunakan Metode Kredit Terbatas (Ordinary Credit Method), yaitu dengan cara menetapkan batas maksimum kedit pajak atas pajak yang sudah dibayarkan atau terutang di luar negeri terhadap pajak terutang di Indonesia.

Mekanisme sederhana dalam pengenaan PPh-24 itu adalah adanya penggabungan penghasilan yang diperoleh baik di dalam negeri maupun luar negeri pada tahun pajak yang sama. Penggabungan penghasilan tersebut adalah penggabungan antara Penghasilan Kena Pajak (PKP) dari dalam negeri dan PKP dari luar negeri dan bukan penghasilan kotornya, hal ini penting untuk menjaga agar tidak terjadi salah pengertian dan perhitungan lebih lanjut.

Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pemotongan PPh Pasal 24, yaitu :

a. Jumlah pajak yang terutang atas penghasilan yang diperoleh diluar negeri dapat dikreditkan terhadap pajak terutang atas seluruh penghasilan dengan ketentuan dimana setinggi-tinggi sama dengan jumlah pajak yang terutang di luar negeri, tetapi tidak boleh melebihi jumlah yang dihitung menurut perbandingan antara penghasilan darai luar negeri terhadap seluruh PKP dikalikan dengan jumlah pajak yang terutang pada seluruh PKP, atau dengan rumus :

Penghasilan Luar Negeri

X Pajak Terutang Pengahsilan Kena Pajak

(49)

Besarnya PKP didapat dari menjumlahkan seluruh penghasilan baik dari dalam negeri maupun luar negeri dan jumlah pajak terutang dapat dicari dengan mengalihkan PKP dengan tarif progresif.

b. Jika usaha dalam negeri mengalami kerugian, maka setinggi-tingginya pajak sama dengan pajak uang terutang atas seluruh PKP dalam hal ini PKP lebih kecil dari penghasilan luar negeri. c. Metode perhitungan diatas juga digunakan untuk menghitung pajak yang penghasilannya bersumber dari beberapa negara.

d. Jika terjadi kerugian diluar negeri, kerugian ini tidak diperhitungkan dalam menghitung besarnya PKP melainkan penghasilan dari luar negeri pada tahun-tahun berikutnya dapat dikonpensasikan dengan kerugian tersebut.

e. Jika kredit pajak diluar negeri melebihi jumlah yang sudah ditetapkan, maka untuk hal ini tidak ada restitusinya, dengan kata lain jumlah kelebihan kredit pajak tersebut tidak dapat diperhitungkan dengan pajak penghasilan yang terutang dalam tahun berikutnya.

f. Pembetulan-pembetulan yang diperlukan oleh WP harus menggunakan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) untuk tahun pajak yang bersangkutan.

g. Penetapan PKP pada situasi dimana terjadi kerugian usaha didalam negeri, maka kerugian tersebut langsung diperhitungkan untuk menentukan besarnya PKP.

h. Besarnya kredit maksimum atas penghasilan luar negeri ditetapkan dengan melihat perbandingan terkecil antara jumlah pajak yang dibayarkan diluar negeri dengan hasil perhitungan menurut pada point 1 yang diatas.

(50)

1. Pada tahun pajak 1995, PT. Triasta di Jakarta menerima penghasilan dari beberapa negara sebagai berikut :

- Dari Australia sebesar Rp. 2 M, dimana tarif pajak yang berlaku sebesar 40% (Rp. 800 juta).

- Dari Philipina sebesar Rp. 1 M, dimana tarif pajak yang berlaku sebesar 30% (Rp. 300 juta).

- Dari Singapura sebesar Rp. 2,5 M, dimana tarif pajak yang berlaku sebesar 25% (Rp. 625 juta).

- Dari Indonesia sebesar Rp. 3,5 M.

Penetapan kredit pajak dihitung dengan cara berikut : Laba di Australia Rp. 2 M Laba di Philipina Rp. 1 M

Laba di Singapura Rp. 2,5 M

Rugi di New Zealand Rp.(tidak ikompensasikan) + Jumlah PKP luar negeri Rp. 5,5 M

PKP dalam negeri Rp. 3,5 M +

Jumlah Penghasilan Kena Pajak (PKP) Rp. 9 M PPh terutang, menurut tarif pasal 17 :

10 % X Rp. 25.000.000 = Rp. 2.500.000 15 % X Rp. 25.000.000 = Rp. 3.750.000 30 % X Rp. 8.950.000.000 = Rp. 2.685.000.000 +

Jumlah PPh terutang = Rp. 2.691.250.000

Batas maksimum kredit yang diperkenankan untuk masing-masing negara :

Untuk Australia : Rp. 2 M

(51)

X Rp. 2.691.250.000 = Rp. 598.055.556 (Rp. 800 juta) Rp. 9 M Untuk Philipina : Rp. 1 M X Rp. 2.691.250.000 = Rp. 299.027.778 (Rp. 300 juta) Rp. 9 M Untuk Singapura : Rp. 2,5 M X Rp. 2.691.250.000 = Rp. 747.567.445 (Rp. 625 juta) Rp. 9 M

Jumlah kredit pajak terutang dengan memperhatikan ketetapan mengenai Batas Kredit Maksimum, maka maksimum kredit pajak yang dapat dikreditkan adalah sebesar perbandingan terkecilnya. Untuk Australia Rp 598.055.556,- Philipina Rp 299.027.778 dan Singapura yang terkecilnya Rp

(52)

625.000.000,-Referensi : UU.No.10 tahun 1994; KEP-Menkeu No.640/KMK.04/1994; diubah menjadi UU.No.36 tahun 2008

FAKULTAS EKONOMI

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL ”VETERAN” JAKARTA

POKOK BAHASAN :

KEBIJAKAN DAN TEKNIS PERHITUNGAN PENILAIAN PERSEDIAAN, PENJUALAN DAN PENGALIHAN HARTA

ADIYAS, SE, MM.

A. PENDAHULUAN

Persediaan adalah barang yang dimiliki untuk dijual atau untuk diproses selanjutnya dijual. Berdasarkan pengertian di atas maka perusahaan jasa tidak memiliki persediaan, perusahaan dagang hanya memiliki persediaan barang dagang sedang perusahaan industri memiliki 3 jenis persediaan yaitu persediaan bahan baku, persediaan barang dalam proses dan persediaan barang jadi (siap untuk dijual).

6

MODUL PERTEMUAN IX

Perpajakan (3 SKS)

(53)

Dalam laporan keuangan, persediaan merupakan hal yang sangat penting karena baik laporan Rugi/Laba maupun Neraca tidak akan dapat disusun tanpa mengetahui nilai persediaan. Kesalahan dalam penilaian persediaan akan langsung berakibat kesalahan dalam laporan Rugi/Laba maupun neraca. Dalam perhitungan Rugi/Laba nilai persediaan (awal & akhir) mempengaruhi besarnya Harga Pokok Penjualan (HPP).

HPP = Persediaan awal + Pembelian bersih – Persediaan akhir Dalam penilaian persediaan barang hanya diperbolehkan menggunakan harga perolehan. Metode yang dapat dipergunakan untuk melakukan penilaian persedian dan pemakaian persediaan dalam rangka perhitungan harga pokok menurut pajak adalah :

- Metode rata-rata

- Metode FIFO (first-in first-out)

B. PENILAIAN PERSEDIAAN DAN PEMAKAIAN PERSEDIAAN

Penggunaan metode penilaian pemakaian persediaan harus dilakukan secara taat azas, artinya apabila Wajib Pajak memilih salah satu cara penilaian pemakaian persediaan untuk menghitung harga pokok tersebut, maka untuk tahun-tahun selanjutnya harus digunakan cara yang sama, hal ini juga dilakukan terhadap sekuritas.

Contoh Perhitungan :

- Persediaan awal = 100 unit (@ Rp. 9,-)

- Pembelian = 100 unit (@ Rp. 12,-)

- Pembelian = 100 unit (@ Rp. 11,25)

- Penjualan / dipakai = 100 unit

- Penjualan / dipakai = 100 unit

1. Perhitungan harga pokok penjualan dan nilai persediaan dengan metode rata-rata :

(54)

1. 100 x 9,- = Rp. 900,-2. 100 x 12,- = Rp.1.200,- 200 x 10,5 = Rp.1.200,-3. 100 x 11,25 = RP.1.125,- 300 x 10,75 = Rp.3.225,-4. 100 x 10,75 = Rp.1.075,-200 x 10,75 = Rp.2.150,-5. 100 x 10,75 = Rp.1.075,- 100 x 10,75 = Rp.1.075

2. Perhitungan harga pokok penjualan dan nilai persediaan dengan metode FIFO :

NO PEMBELIAN PENJUALAN/ PEMAKAIAN SISA/ PERSEDIAAN

1. 100 x 9,- = Rp. 900,-2. 100 x 12,- = Rp.1.200,-100 x 9,- = Rp. 900,- 100 x 12,- = Rp.1.200,-3. 100 x 11,25 = RP.1.125,-100 x 9,- = Rp. 900,- 100 x 12,- = Rp.1.200,-100 x 11,25 = RP.1.125,-4. 100 x 9,- = Rp.900,-100 x 12,- = Rp.1.200,-100 x 11,25 = RP.1.125,-5. 100 x 12,- = Rp.1.200,- 100 x 11,25 =

(55)

RP.1.125,-Pernilaian persediaan juga diberlakukan terhadap Wajip Pajak pedagang Valuta Asing. Hal ini diatur dengan Surat Edaran Dirjen Pajak No. SE-52/ PJ.42/1999 tanggal 17 November 1999 :

1. Sesuai SK Direksi Bank Indonesia No. 31/171/Kep/Dir Tanggal 17 Desember 1998, yaitu :

a. Pedagang Valuta Asing (PVA) adalah bank bukan bank devisa atau perusahaan yang telah mendapat izin untuk melakukan jual beli uang kertas asing (UKA) dan pembelian

traveller’s cheque (TC)

b. Penetapan kurs jual beli UKA diserahkan kepada PVA sesuai dengan perkembangan pasar

c. PVA diwajibkan menyampaikan laporan bulanan, laporan tahunan dan laporan khusus kepada Bank Indonesia

2. Wajib Pajak badan yang bergerak di bidang usaha PVA wajib menyelenggarakan pembukuan (Pasal 28 UU KUP)

3. Penilaian persediaan dan pemakaian persediaan untuk perhitungan harga pokok valuta asing sebagai barang dagangan bagi Wajib Pajak yang bergerak di bidang usaha PVA adalah berdasarkan harga perolehan valuta asing tersebut yang dihitung secara rata-rata atau FIFO dan harus dilakukan secara taat azas

C. PENJUALAN DAN PENGALIHAN HARTA

Untuk melakukan penilaian harta dalam rangka menghitung penghasilan sehubungan dengan penggunaan harta dalam perusahaan, menghitung laba/rugi apabila terjadi penjualan atau pengalihan harta dan penghitungan penghasilan dari penjualan barang dagangan dapat dikelompokan menjadi :

- Harga perolehan / penjualan dalam hal terjadi jual beli harta

(56)

- Harga perolehan / penjualan dalam hal terjadi tukar menukar harta

- Harga perolehan / penjualan dalam hal terjadi pengalihan hartadalam rangka likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan atau pengambilalihan usaha

- Harga perolehan / penjualan dalam hal terjadi pengalihan harta karena hibah, bantuan atau sumbangan dan warisan

- Harga perolehan / penjualan dalam hal terjadi pengalihan harta termasuk setoran tunai yang diterima oleh badan sebagai pengganti penyertaan modal

1. Harga perolehan/penjualan dalam hal terjadi jual beli hartal

Harga perolehan atau harga penjualan dalam hal terjadi jual beli harta ditentukan sebagai berikut :

Yang tidak dipengaruhi hubungan istimewa

a. Bagi pihak pembeli, harga perolehan harta adalah harga sesungguhnya yang dibayar, dalam hal ini termasuk harga beli dan biaya yang dikeluarkan dalam rangka memperoleh harta tersebut, seperti bea masuk, biaya pengangkutan dan biaya pemasangan.

b. Bagi penjual, harga penjualan adalah harga sesungguhnya diterima

Yang dipengaruhi hubungan istimewa

a. Bagi pihak pembeli, harga perolehan harta adalah harga jumlah seharusnya yang dikeluarkan

b. Bagi pihak penjual, harga penjualan harta adalah harga yang seharusnya diterima

Gambar

Tabel : Masa Manfaat & Tarif Penyusutan Harta Berwujud :
Tabel : Masa Manfaat & Tarif Amortisasi Harta tak Berwujud :

Referensi

Dokumen terkait

Kertas kerja ini mencoba mengetengahkan proses manajemen PDAM Kabupaten Cirebon; khususnya berkaitan dengan pengelolaan hulu-ke- hilir dan pemanfaatan sumber daya

Ananda dapat menyanyikan lagu dengan intonasi yang benar secara mandiri (BSB) b. Ananda dapat menyanyikan lagu dengan intonasi yang benar

Sebelum masuknya agama di Dairi, orang Pakpak sebagai penduduk asli saat itu masih memeluk agama suku atau animisme (Purba, 1998; 36-37).. Secara historis, penduduk Desa

Merujuk pada segmentasi target market JOIN di atas, corporate identity JOIN yang telah ada kurang mampu untuk dapat memposisikan JOIN sebagai suatu lembaga pendidikan anak usia

Di dalam tubuh kita terdapat sel- sel yang jumlahnya triliunan dan mereka bertawaf di dalam tubuh, dan jika diberikan makanan (cara dan dzatnya haram) maka tawafnya

Hal tersebut sesuai perjanjian perdagangan (sale’s contract) yang telah disepakati antara eksportir dengan importir. Sedangkan PT Mekar Cargo akan mendapatkan fee atau

Dengan ini diharapkan minyak kepayang yang dihasilkan oleh masyarakat desa di sekitar wilayah KPHP dapat dipasarkan ke masyarakat luas.. PENGELOLAAN BIJI KEPAYANG

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pelaksanaan kebijakan moneter yang dilakukan oleh The Federal Reserve AS terhadap pergerakan suku bunga Bank Indonesia (BI 7 Days Repo),