• Tidak ada hasil yang ditemukan

ARAHAN LOKASI PENGEMBANGAN KARAMBA JARING APUNG DI DANAU TOBA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "ARAHAN LOKASI PENGEMBANGAN KARAMBA JARING APUNG DI DANAU TOBA"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

ARAHAN LOKASI PENGEMBANGAN KARAMBA JARING APUNG

DI DANAU TOBA

Lukman, Syahroma H. Nasution, dan I. Ridwansyah Pusat Penelitian Limnologi – LIPI

ABSTRAK

Konsepsi penataan ruang perairan danau adalah upaya untuk menjamin keberlangsungan pembangunan dan kelestarian lingkungan danau dan kawasan sekitarnya, yaitu melalui peningkatan kualitas ruang meliputi kegiatan perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang serta pengendalian pemanfaatannya. Kegiatan budiaya ikan pada karamba jaring apung (KJA) di perairan Danau Toba yang pertama kali dicoba pada tahun 1988, pada saat ini telah cukup meluas dan melibatkan berbagai kelompok masyarakat. Tercatat 50 desa/dusun yang memiliki KJA, yaitu milik masyarakat 5.158 unit, milik Perusahaan Modal Asing (PMA) 4 lokasi dengan KJA berukuran besar dan satu lokasi dengan 72 unit berukuran kecil. Karena kecenderungan aktivitas KJA yang terus meningkat, pengendalian pemanfaatan ruang perairan untuk pengembangannya perlu dilakukan baik melalui penetapan daya dukung perairan untuk budidaya maupun penetapan ruang-ruang yang dapat dimanfaatan untuk KJA tersebut. Telah dilakukan pengamatan wilayah-wilayah perairan di sekeliling Danau Toba, untuk menetapkan alokasi ruang untuk pengembangan KJA dihubungkan dengan faktor-faktor yang menjadi kriteria pembatasnya. Penetapan daya dukung untuk setiap wilayah dan kriteria pembatas pengembangan KJA mengacu pada dokumen-dokumen terdahulu. Pengamatan dilakukan pada bulan Agustus dan Oktober 2013 terhadap 19 perairan teluk di Danau Toba, dengan melakukan pengukuran beberapa parameter kualitas air yaitu suhu, kecerahan, DO, pH, kelimpahan klorofil a, kadar hara dan kadar bahan organik.

Kata kunci: Danau Toba, karamba jaring apung (KJA), arahan ruang, kualitas air

PENDAHULUAN

Konsepsi penataan ruang perairan danau adalah upaya untuk menjamin keberlangsungan pembangunan dan kelestarian lingkungan danau dan kawasan sekitarnya, yaitu melalui peningkatan kualitas ruang meliputi kegiatan perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang serta pengendalian pemanfaatannya (Haeruman, 1999). Penetapan bahwa kawasan sekitar danau sebagai kawasan perlindungan setempat adalah untuk melindungi danau dari berbagai usaha dan/atau kegiatan yang dapat mengganggu kelestarian fungsi danau (PP No. 47 Tahun 1997). Kegiatan budidaya ikan pada karamba jaring apung (KJA) di perairan Danau Toba yang pertama kali dicoba pada tahun 1988 (Dharma, 1988), pada saat ini telah cukup meluas dan melibatkan berbagai kelompok masyarakat. Karamba jaring apung merupakan suatu cara budidaya ikan yang dilakukan di badan air tergenang, yaitu membesarkan ikan di dalam wadah-wadah yang dilayangkan di dalam air yang diselubungi semua sisi dan dasarnya oleh suatu bahan jaring yang mana pertukaran air relatif bebas dan limbah dari aktivitas budidaya dapat lepas ke perairan sekitarnya (Asmawi, 1986; Schmitttou, 1991).

(2)

Intensitas pengembangan KJA di perairan Danau Toba saat ini sudah cukup tinggi, dan tersebar di seluruh wilayah perairan. Dokumen dari Badan Pelaksana Badan Koordinasi Pengelolaan Kawasan Ekosistem Danau Toba (Sitompul dkk., 2007) mengemukakan bahwa lokasi-lokasi KJA telah tersebar di 50 desa/dusun, yaitu milik masyarakat 5.158 unit, milik Perusahaan Modal Asing (PMA) 4 lokasi dengan KJA berukuran besar dan satu lokasi dengan 72 unit KJA berukuran kecil. Produksi ikan dari KJA ini untuk tahun 2010 tercatat mencapai 47.478 ton, yang terdiri dari ikan nila (45.437 ton) dan ikan mas (2.041 ton) dengan nilai produksi secara keseluruhan mencapai Rp. 722,5 milyar (Anonim, 2011).

Kontroversi pengembangan KJA di Danau Toba banyak menyita perhatian masyarakat, terkait pertimbangan antara kebutuhan sosial ekonomi dan kelestarian lingkungan, antara pencapaian produksi dan daya dukung perairan, serta antara kepentingan budidaya dan keindahan perairan. Namun suatu hal yang pasti, pengembangan KJA di suatu perairan akan bernilai positif selama memperhatikan aspek keseimbangan ekologisnya, berada dalam batas kapasitas dayadukungnya dan memperhatikan pula kepentingan masyarakat yang ada. Peningkatan KJA yang berlebihan akan menimbulkan dampak yang buruk pada masa yang akan datang. Kebijakan pemanfaatan perairan Danau Toba untuk pengembangan budidaya ikan dengan KJA harus memperhatikan daya dukungnya dengan penetapan lokasi dan luasan yang tidak mengancam kegiatan yang telah ada yaitu aktivitas pariwisata.

Untuk itu diperlukan arahan penetapan lokasi KJA untuk setiap kabupaten di wilayah Toba dengan memperhatikan aspek-aspek kondisi kualitas air serta kondisi pemanfaatan lain di wilayah itu. Arahan penetapan lokasi KJA juga merujuk pada kriteria yang dikemukakan oleh Lukman (2013).

METODOLOGI

Kegiatan survey dilaksanakan pada bulan Agustus 2013 (Stasiun [(Sta] 1 .s.d Sta 3; Sta. 16 s.d Sta. 19) dan pada bulan Oktober 2013 (Sta. 4 s.d Sta. 15) yang tersebar di tepian perairan Danau Toba (Gambar 1). Lokasi-lokasi tersebut mewakili perairan kabupaten-kabupaten Simalungun (6 lokasi), Toba Samosir (5 lokasi), Tapanuli Utara (1 lokasi), Humbang Hasundutan (1 lokasi), Samosir (4 lokasi), dan Dairi (2 lokasi). (Tabel 1).

(3)

Gambar 1. Peta stasiun pengukuran kualitas air di Danau Toba

Parameter oksigen terlarut (DO; Dissolved Oxygen), suhu dan pH diukur secara langsung (in situ), untuk parameter Total Nitrogen (TN), Total Fosfor (TP), kebutuhan oksigen kimiawi (COD; Chemical Oxygen Demand), dan klorofil a dilakukan dengan pengambilan contoh air untuk kemudian dianalisis di laboratorium (Tabel 2). Parameter suhu, pH dan DO dan suhu diukur dengan WQC (Water Quality Checker) [HORIBA] tipe U-10, sedangkan analisis TN, TP, dan COD menggunakan spektrofotometer (Greenberg dkk., 1992). Parameter penunjang lainnya adalah tingkat kecerahan yang diukur dengan keping Sechi. Pengambilan air untuk menggunakan Van Dorn Sampler. Untuk analisis klorofil, contoh air sebanyak 250 ml disaring dengan Whatman Glass Microfiber Filter (GFF) dan diawet dengan MgCO3.

Total Fosfor ditetapkan melalui dektruksi contoh air dengan K2S2O8 dalam keadaan asam, senyawaan Nitrogen (TN), ditetapkan dengan dektruksi contoh air menggunakan asam borat dalam keadaan basa dengan metode brucin. Kadar COD dianalisis dengan menggunakan metode dekstruksi dikromat. Analisis klorofil a menggunakan spektrofotometri (Greenberg dkk.,.1992).

Tabel 1. Posisi geografis stasiun-stasiun pengambilan contoh

Stasiun Lokasi Koordinat Kabupaten

Sta. 1 Ujung Saribu 02o54,147' LU Simalungun

98o33,452' BT

Sta. 2 Gaol 02o52,861' LU Simalungun

98o37,463' BT

Sta. 3 Halaotan 02o50,534' LU Simalungun

(4)

Sta. 4 Tanjung Unta 02o46,154' LU Simalungun 98o48,419’ BT

Sta. 5 Sipolha 02o 44’08,5” LU Simalungun

98o51,447’ BT

Sta. 6 Panahatan 02o42,192' LU Simalungun

98o54,913' BT

Sta. 7 Sigapiton 02o35,973' LU Toba Samosir

98o55,662' BT

Sta. 8 Sirungkungan 02o34,037' LU Toba Samosir

98o57,198' BT

Sta. 9 Pangaloan 02o33,492' LU Toba Samosir

98o58,908' BT

Sta. 10 Jonggi Nihuta 02o32,890' LU Toba Samosir

98o29,626' BT

Sta. 11 Hinalang 02o19,337' LU Toba Samosir

99o00,017' BT

Sta. 12 Muara Nauli 02o20,416' LU Tapanuli Utara

98o54,266' BT

Sta. 13 Timpar 02o21,147' LU Humbang Hasundutan

98o49,391' BT

Sta. 14 Holbung 02o23,999' LU Samosir

98o48,463' BT

Sta. 15 Lumbannahor 02o26,163' LU Samosir

98o47,113' BT

Sta. 16 Boho 02o 33,035' LU Samosir

98o40,063' BT

Sta. 17 Tulas 02o38,131' LU Samosir

98o38,064' BT

Sta. 18 Binagara 02o44.283' LU Dairi

98o34,667' BT

Sta. 19 Paropo 02o51.312' LU Dairi

98o31,467' BT

HASIL

Pada Tabel 2 memperlihatkan kondisi kualitas air penciri alami pada lokasi pengembangan Karamba Jaring Apung (KJA), sedangkan untuk mengetahui kondisi kualitas air penciri karena pengaruh antrofogenik pada lokasi yang diamati dapat dilihat pada Tabel 4. Luasan teluk, luas areal KJA di Danau Toba dan alokasi jumlah KJA yang dapat ditanam dapat dilihat pada Tabel 5.

(5)

Tabel 2. Kondisi kualitas air penciri alami pada lokasi yang diamati

Stasiun Lokasi Suhu (oC) pH DO (mg/L) Kecerahan (m)

Sta. 1 Ujung Saribu 26,1 8,21 7,10 7,4

Sta. 2 Gaol 25,4 7,86 7,03 8,8

Sta. 3 Halaotan 25,2 8,61 7,03 8,0

Sta. 4 Tanjung Unta 24,9 7,45 6,31 9,5

Sta. 5 Sipolha 25,2 7,84 6,57 8,2 Sta. 6 Panahatan 25,6 8,00 7,12 6,3 Sta. 7 Sigapiton 25,6 8,12 7,36 7,1 Sta. 8 Sirungkungan 25,2 8,19 7,17 9,0 Sta. 9 Pangaloan 25,9 8,17 7,01 9,5 Sta. 10 Jongginihuta 26,0 8,18 7,07 8,7 Sta. 11 Hinalang 24,9 7,72 6,66 9,0

Sta. 12 Muara Nauli 25,2 7,93 6,63 8,4

Sta. 13 Timpar 25,3 7,89 7,44 8,0 Sta. 14 Holbung 25,6 8,42 6,50 11,5 Sta. 15 Lumbannahor 26,4 8,44 7,30 9,5 Sta. 16 Boho 25,0 7,70 5,86 3,5 Sta. 17 Tulas 26,9 8,60 7,52 7,0 Sta. 18 Binagara 26,4 8,45 7,30 7,7 Sta. 19 Paropo 26,3 8,34 7,15 7,4

Tabel 4. Kondisi kualitas air penciri pengaruh antrofogenik pada lokasi yang diamati

Stasiun Lokasi TN (mg/L) TP (mg/L) COD (mg/L) Klorofil a (mg/M3)

1 Ujung Saribu 0,102 0,022 35,454 0,916 2 Gaol 0,122 0,041 32,424 1,010 3 Halaotan 0,154 0,018 30,909 2,047 4 Tanjung Unta 0,329 0,013 118,788 1,407 5 Sipolha 0,270 0,013 80,909 2,378 6 Panahatan 0,238 0,019 102,121 1,620 7 Sigapiton 0,302 0,015 86,970 1,010 8 Sirungkungan 0,374 0,012 108,182 0,583 9 Pangaloan 0,250 0,013 91,515 0,795 10 Jongginihuta 0,257 0,019 111,212 0,443 11 Hinalang 0,275 0,013 97,576 2,018 12 Muara Nauli 0,303 0,020 106,667 0,825 13 Timpar 0,263 0,013 91,515 1,008 14 Holbung 0,080 0,031 29,394 1,195 15 Lumbannahor 0,075 0,022 30,909 0,611 16 Boho 0,173 0,012 40,000 2,474 17 Tulas 0,127 0,025 29,394 1,407 18 Binagara 0,133 0,038 33,939 0,397 19 Paropo 0,092 0,018 38,485 1,407

(6)

Tabel 5. Luasan teluk, luas areal KJA di Danau Toba dan alokasi jumlah KJA yang dapat ditanam

No Teluk Luas Teluk

(ha)

Luas

Area untuk KJA * (ha)

Proporsi (%) Alokasi ∑ KJA** 1 584.7 166.0 8.8 919 2 358.7 83.6 4.4 460 3 78.3 37.7 2.0 209 4 150.8 53.0 2.8 293 5 92.4 27.6 1.5 157 6 259.7 86.6 4.6 481 7 131.8 39.9 2.1 219 8 111.0 48.0 2.5 261 9 123.0 55.4 2.9 303 10 87.6 44.8 2.4 251 11 85.8 0.0 0.0 0 12 122.6 52.0 2.8 293 13 56.6 25.3 1.3 136 14 21.0 0.6 0.0 0 15 59.7 18.3 1.0 104 16 13.6 0.0 0.0 0 17 19.2 0.0 0.0 0 18 165.6 95.7 5.1 533 19 197.2 55.5 2.9 303 20 275.5 135.0 7.2 752 21 1264.5 320.4 17.0 1776 22 106.3 38.5 2.0 209 23 98.9 2.1 0.1 10 24 1004.6 374.1 19.8 2068 25 151.5 17.7 0.9 94 26 52.1 4.0 0.2 21 27 199.9 89.5 4.7 491 28 34.4 16.0 0.8 84 5907.1 1887.3 10426

*) Pertimbangan dengan luasan littoral yang tidak boleh dimanfaatkan KJA

**) Pertimbangan berdasarkan dayadukung untuk KJA (Lukman & Hamdani, 2011)

DISKUSI

Kondisi Kualitas Air

Kondisi kualitas air Danau Toba menunjukkan suhu air pada stasiun-stasiun yang diamati berkisar antara 24,9 – 26,9oC, pH antara 7,45 -8,61, oksigen terlarut antara 5,86 -7,53 mg/L, dan kecerahan perairan antara 3,5 – 11,5 m (Tabel 2). Kisaran suhu pada umumnya sejalan dengan kondisi atmosfir, dan kadang-kadang dipengaruhi oleh waktu pengukuran. Kondisi suhu di perairan Danau Toba relatif tidak menunjukan perubahan yang signifikan. Berdasarkan laporan

(7)

Lukman (2011), di wilayah littoral Danau Toba kondisi suhu pada pengukuran Oktober 2009 di permukaan perairan berada pada kisaran 25,5 – 26,0oC dan pada kedalaman 40 m suhu hanya menurun hingga 24,5-25,0oC.

Karakteristik pH perairan Danau Toba yang cenderung alkalin tampaknya terkait dengan daerah tangkapan(DTA) Danau Toba yang beberapa dintaranya merupakan wilayah batuan karst (kapur). Pada umumnya perairan alkalin berada di daerah karst, yang aliran airnya banyak melarutkan komponen kalsium (Ca), sebagaimana sungai-sungai pada kawasan karst di Barat Laut Slovenia yang memiliki pH bervariasai antara 7,7 – 8,0 (Mori & Bracelj, 2006).

Sementara itu kadar oksigen terlarut yang terukur menunjukkan kondisi sangat layak untuk kehidupan biota perairan, terutama ikan (>3,0 mg/L) (Alabaster & Lloyd, 1981), dan menunjukkan kondisi alami dalam arti belum menunjukkan adanya pengaruh dari pencemaran organik. Mengacu pada Peraturan Pemerintah nomor 82 tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air, kondisi perairan berdasarkan kadar oksigen terlarutnya (> 6 mg/L), kecuali di Stasiun 16 wilayah Boho, menunjukkan mutu air kelas I.

Sebagai acuan status tropik teluk-teluk Danau Toba yang diamati adalah mengikuti Peraturan Menteri (Permen) Lingkungan Hidup No. 28/2009 dalam Anonim (2009), sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 3.

Tingkat kecerahan perairan (> 4 m), pada umumnya menunjukkan perairan dengan status trofik mesotrof, bahkan di Stasiun 14 memiliki tingkat kecerahan yang tinggi (> 10 m) yang mencirikan status perairan oligotrof. Tingkat kecerahan terendah (3,5 m) tercatat di Stasiun 16 yang tampaknya terkait dengan adanya komponen humus yang masuk melalui aliran sungai.

Parameter kualitas air yang menjadi ciri pengaruh antrofogenik (Tabel 4) merupakan kondisi sebagai dampak adanya pengaruh manusia, seperti kadar TN, TP, COD dan kelimpahan klorofil. Parameter tersebut dapat menujukkan tingkat status tropik dan kelas kualitas airnya.

Tabel 3. Kriteria status trofik perairan danau berdasarkan beberapa parameter kualitas air

Status Trofik Kadar

rata-rata Total N (mg/L) Kadar rata-rata Total P (mg/L) Kadar rata-rata Chlorofil (mg/L) Kecerahan rata-rata (m) Kisaran kadar TP (mg/m3)* Oligotrof < 0,650 < 0,010 < 0,002 > 10 3,0 – 17,7 Mesotrof > 0,750 < 0,030 < 0,005 > 4 10,9 – 95,6 Eutrof < 1,900 < 0,100 < 0,015 > 2,5 16,2 – 386 Hipereutrof > 1,900 > 0,100 > 0,200 < 2,5 750 – 1.200

Sumber: Peraturan Menteri LH No. 28/2009 dalam Anonim (2009); *) Vollenweider & Kerekes (1980) Berdasarkan kriteria kadar TN pada umumnya lokasi-lokasi yang diamati mencirikan perairan oligotrof (< 0,650 mg/L), sedangkan berdasarkan kadar TP sebagian lokasi berada pada kondisi mesotrof (0,01 – 0,03 mg/L), tiga lokasi menunjukkan kondisi eutrof (0,03 – 0,1 mg/L) yaitu Sta. 2, Sta. 15 dan Sta. 18. Sementara itu lokasi Sta. 8 dan Sta. 16 berada pada kondisi mesotrof ringan atau sedikit di atas kondisi oligotrof (Pertimbangan penulis). Berdasarkan kadar klorofil, sebagian besar stasiun yang diamati berada pada kondisi oligotrof (< 0,002 mg/L atau <2 mg/M3), hanya empat stasiun yang berada pada kondisi mesotrof (> 0,002 mg/L atau > 2 mg/M3). Berdasarkan tingkat COD, sebagian besar stasiun yang diamati memiliki kualitas air kelas III (kadar COD 25 – 50 mg/L) dan kelas IV (kadar COD antara 50 – 100 mg/L).

(8)

Skenario Penetapan Lokasi-lokasi KJA di Danau Toba

Terdapat dua skenario penetapan lokasi KJA di Danau Toba: i) Memperhatikan teluk-teluk yang tersebar di seluruh tepian danau, dengan ketentuan bahwa yang mengembangkan KJA adalah masyarakat setempat (Gambar 2; Tabel 5) (Lukman 2012); ii) Mempertimbangkan karakteristik ekologis dan pemanfaatan ruang danau, baik yang telah ada maupun potensi yang dapat dikembangkan (Lukman, 2013), dan iii) Memperhatikan kondisi kualitas air saat ini. Alokasi jumlah KJA tersebut berbasis pada proporsi luasan perairan teluk, dengan tanpa memperhatikan faktor lain seperti pemanfaatan yang telah ada maupun kondisi lingkungannya.

Gambar 2. Sebaran teluk-teluk di Danau Toba (Sumber: Lukman, 2012)

Beberapa faktor ekologis dan penggunaan ruang perairan menjadi kriteria untuk penetapan lokasi KJA (Lukman, 2013), adalah: i) Faktor hidromorfometri dan pola aliran massa air di perairan Danau Toba; ii) Di luar wilayah littoral danau; iii) Pertimbangan panjang garis pantai setiap kabupaten; iv) Luas lahan pertanian setiap kabupaten; v) Mempertimbangkan jumlah penduduk lokal; vi) Di luar wilayah in take air minum utama; vii) Di luar wilayah aktivitas bisnis dan pelabuhan; viii) Di luar wilayah/kawasan wisata dan potensi wisata; dan ix) Di luar wilayah reservat ikan. Pada makalah ini, tidak semua kriteria tersebut diperhatikan.

Faktor Pertimbangan dalam Penetapan Lokasi KJA

Mengingat yang menjadi pencemar utama dari kegiatan KJA dan yang sangat menentukan status tropik perairan adalah komponen TP, maka pada makalah ini status tropik yang menjadi pertimbangan adalah berdasarkan TP (Gambar 3).

(9)

Telah dikemukakan sebelumnya bahwa, sebagian besar status tropik teluk-teluk yang diamati pada kondisi mesotrofik, kecuali stasiun 2, 14 dan 18 dengan status eutropik dan stasiun 8 dan 16 dengan kriteria oligotrof (mesotrofik rendah).

Sementara itu satu faktor yang menjadi pembatas pengembangan KJA adalah kawasan wisata (Gambar 4), baik yang sudah berlangsung maupun wilayah yang memiliki potensi. Lokasi-lokasi kawasan wisata ini merupakan pembatas utama karena dampak dari kegiatan KJA akan merusak sistem perairan, terutama dampak penyuburan perairan yang dapat mendorong terjadinya

blooming plankton.

(10)

Gambar 4. Peta sebaran kawasan wisata dan potensi wisata di Danau Toba Sumber: Lukman (2013) basis data Sitompul dkk., (2007)

Penatapan Kelas-kelas lokasi untuk Pengembangan KJA

Memperhatikan faktor-faktor kualitas air, perkiraan sirkulasi massa air dan pemanfaatan kawasan baik yang sudah ada saat ini maupun potensi pemanfaatan di masa yang akan datang, maka telah disusun kelas (grading) dari stasiun-stasiun yang diteliti untuk kawasan pengembangan KJA (Tabel 6).

Beberapa lokasi memiliki potensi yang cukup baik seperti Sta. 3 (Halaotan) dan Sta. 4 (Tanjung Unta), tetapi karena merupakan wilayah pariwisata maka kelas potensinya menjadi rendah atau dihindari (III). Sementara itu untuk perairan-perairan dengan status eutrofik, seperti Stasiun 2 (Gaol) dan Stasiun 14 (Holbung) pengembangan KJA harus sangat dibatasi (II).

Pengembangan KJA ini sebaiknya mengelompok, dengan lokasi yang ditetapkan oleh setiap pemerintah kabupaten di wilayah Danau Toba, sehingga dalam pengelolaan perairan maupun pengendaliannya lebih mudah.

Tabel 6. Penetapan kelas-kelas lokasi potensi pengembangan KJA di Danau Toba

Sta. Lokasi Kondisi Perairan Pemanfaatan di sekitar

lokasi Kelas Lokasi KJA Status Tropik1) Kelas Air2) Perkiraan sirkulasi massa air

Saat ini3) Potensi4)

1 Ujung Saribu Mesotrofik III Rendah Ta Wisata III

2 Gaol Eutrofik III Baik Ta Ta II

3 Halaotan Mesotrofik III Baik Wisata Ta III

4 Tanjung Unta Mesotrofik IV Baik Wisata; KJA

Ta III

(11)

6 Panahatan Mesotrofik IV Baik Wisata Ta IV

7 Sigapiton Mesotrofik IV Rendah Ta Ta II

8 Sirungkungan Oligotrof IV Baik KJA Ta I

9 Pangaloan Mesotrofik IV Rendah Ta Reservat III

10 Jongginihuta Mesotrofik IV Rendah Ta Ta II

11 Hinalang Mesotrofik IV Baik Wisata Reservat III

12 Muara Nauli Mesotrofik IV Baik Wisata Ta IV

13 Timpar Mesotrofik IV Baik KJA Ta I

14 Holbung Eutrofik III Baik Ta Ta II

15 Lumbannahor Mesotrofik III Baik Ta Ta I

16 Boho Oligotrof III Rendah Ta Ta IV

17 Tulas Mesotrofik III Baik Ta Reservat III

18 Binagara Eutrofik III Baik Wisata Reservat III

19 Paropo Mesotrofik III Baik Ta Reservat III

1)

Berdasarkan kadar TP; 2) Berdasarkan tingkat COD; 3) Keberadaan wisata mengacu pada Gambar 4; 4) Kriteria reservat terdapat aliran sungai (Pada saat ini belum ditetapkan wilayah reservat di perairan Danau Toba); Ta : Tidak ada data/informasi

Kriteria kelas lokasi KJA: I = Layak; II = Terbatas; III = Dihindari; IV = Tidak layak

Salah satu pertimbangan pengembangan KJA di Danau Toba menurut Lukman (2013) adalah penduduk lokal terkait dengan sangat terbatasnya potensi sumber daya alam di kawasan Danau Toba, seperti sempitnya ketersediaan lahan pertanian dan rendahnya potensi sumberdaya alam lainnya. Dengan demikian fokusi pengembangan ekonomi masyarakat akan tertuju kepada potensi perairan, diantaranya pengembangan KJA. Masyarakat lokal yang kemampuan aksesibilitas kepada pemanfaatan sumberdaya lain sangat rendah, harus mendapat prioritas dalam pengembangan KJA.

Diluar desa/dusun yang memiliki aktivitas bisnis/wisata dan potensi wisata di wilayah Danau Toba, terdapat 120 desa/dusun yang tidak memiliki dan tidak berpotensi aktivitas wisata. Untuk memberikan peluang masyarakat memiliki mata pencaharian, maka desa/dusun tersebut yang harus dipertimbangkan menjadi lokasi-lokasi untuk pengembangan KJA. Desa/dusun tersebut dapat menjadi acuan untuk penetapan lokasi-lokasi pengembangan KJA, dengan tetap memperhatikan kriteria dan batasan-batasan lainnya.

UCAPAN TERIMAKASIH

Penulis mengucapkan terimakasih kepada Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia sebagai lembaga pelaksana kegiatan penelitian. Terima kasih juga Penulis ucapkan kepada Kepala Pusat Penelitian Limnologi-LIPI yang telah memberikan kesempatan untuk melakukan kegiatan penelitian ini. Terima kasih kepada Kepala Pusat Penelitian Geoteknologi-LIPI dimana kegiatan penelitian ini masuk ke dalam kegiatan Tematik di Puslit ini. Tak lupa terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu terlaksananya kegiatan penelitian dan pembuatan makalah ini.

(12)

DAFTAR PUSTAKA

Alabaster, J. S. and R. Lloyd, 1981, Water Quality Criteria for Freshwater Fish, FAO, Butterworth, London, 361 p

Anonim, 2009. Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 29 Tahun 2009, tentang Daya Tampung Beban Pencemaran Air danau dan/atau Waduk. Kementerian Negara Lingkungan Hidup. 22 hal.

Anonim, 2011. Statistik Perikanan Budidaya Provinsi Sumatera Utara Tahun 2010. Laporan Tahunan. Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Sumatera Utara. 148 hal.

Asmawi, S. 1986. Pemeliharaan Ikan Dalam Karamba. PT Gramedia Jakarta. 82 hal.

Dharma, L. 1988. Percobaan Pemeliharaan Ikan Mas dalam Jaring Terapung di Ambarita-Danau Toba, Sumatera Utara. Bull. Penel. Perik. Darat, 7(2): 32 – 40.

Greenberg, A. E., L. S. Clesceri, and A. D. Eaton (ed.). 1992. Standard methods for the examination of water and waste water, 18th edition. APHA-AWWA-WEF.

Haeruman, H. J. 1999. Kebijakan Pengelolaan Danau dan Waduk Ditinjau dari Aspek Tata Ruang. Prosiding Semiloka Nasional Pengelolaan dan Pemanfaatan Danau dan Waduk. PPLH-IPB, Ditjen Bangda Depdagri, Ditjen Pengairan, Kantor Meneg. Lingkungan Hidup. Hal.I:1- 9.

Lukman, 2011. Ciri Wilayah Eufotik Perairan Danau Toba. Prosiding Seminar Nasional Hari Lingkungan Hidup 2011. “Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Hidup berbasis Kearifan Lokal. PPLH –LPPM Unsoed, Ikatan Ahli Lingkungan Hidup Indonesia. Tema II. Konservasi Sumberdaya Alam dan Lingkungan. Hal. 130 - 139

Lukman dan A. Hamdani, 2011. Estimasi Daya Dukung Perairan Danau Toba Sumatera Utara untuk Pengembangan Budidaya Ikan dengan Karamba Jaring Apung. Limnotek, 18(2): 59 -67

Lukman, 2012. Pertimbangan-pertimbangan dalam Pengembangan Karamba Jaring Apung di Danau Toba (Bahan Presentasi) (Tidak dipublikasikan)

Lukman, 2013. Danau Toba. Karakteristik Limnologis dan Mitigasi Ancaman Lingkungan dari Pengembangan Karamba Jaring Apung. LIPI Press

Mori, N., and A. Bracelj, 2006. Macroinvertebrate Communities of Karst Springs of Two Rivers Catchments in the Southern Limestone Alps (the Julian Alps, NW Slovenia). Aquatic Ecology, Vol. 40: 69 - 83

Schmittou, H. R. 1991. Budidaya Keramba. Suatu Metode Produksi Ikan di Indonesia. Proyek Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan, Indonesia – Auburn University International Center for Aquaculture. 126 hal.

Sitompul, R., L.U. Sitanggang, H.D. Putra, Roswita, R. Sagala, dan D. Y. Mulyati, 2007. Profil Pantai dan Perairan Danau Toba. BPBPEKDT, Medan.

Vollenweider, R.A and J. Kerekes. 1980. The Loading Concept as Basis for Controlling Eutrophication Phylosophy and Preliminary Result of the OECD Programme on Eutrophication. Eutrophication of Deep Lakes. Proceedings of a Seminar held in Gjovic, Norway, June 1978. Pergamon Press, Oxford, New York. p. 5

Gambar

Tabel 1.  Posisi geografis stasiun-stasiun pengambilan contoh
Tabel 4.  Kondisi kualitas air penciri pengaruh antrofogenik pada lokasi yang diamati
Tabel 5.  Luasan teluk, luas areal KJA di Danau Toba dan alokasi jumlah KJA yang dapat ditanam  No Teluk  Luas Teluk
Tabel 3. Kriteria status trofik perairan danau berdasarkan beberapa parameter kualitas air  Status Trofik  Kadar
+4

Referensi

Dokumen terkait

Dari hasil percobaan yang dilakukan, dapat diambil kesimpulan bahwa: 1. Worstation dan Server dapat saling terhubung jika dikonfigurasi dengan benar. Web browser di workstation

informasi alat berat yang akan disewakan tersedia atau tidak tersedia harus di. informasikan terlebih dahulu ke

Hasil pengujian dengan teknik Wilcoxon Match Pairs menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan pada perilaku personal hygiene anak pra sekolah TK ABA

Penulisan skripsi ini penulis memilih judul: PENERAPAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA MENURUT PASAL 340 KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA (STUDI KASUS

Melihat apa yang sudah dilakukan oleh TWI dalam mengelola wakaf uang sudah sesuai dengan tujuan dan fungsi harta benda wakaf karena dikelola dengan produktif yang manfaatnya

[r]

menyembah selain Allah, dan berbuat baiklah kepada ibu bapak, kaum kerabat, anak-anak yatim, dan orang-orang miskin, serta ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia,

In addition to predictable chapters such as those discussing genetics, obesity, physical activity, cardiovas- cular disease etc., novel aspects of insulin resistance are