• Tidak ada hasil yang ditemukan

POKOK-POKOK PEMIKIRAN TENTANG AGRIBISNIS BERBASIS PETERNAKAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "POKOK-POKOK PEMIKIRAN TENTANG AGRIBISNIS BERBASIS PETERNAKAN"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

POKOK-POKOK PEMIKIRAN TENTANG AGRIBISNIS BERBASIS PETERNAKAN

POKOK-POKOK

PEMIKIRAN TENTANG

AGRIBISNIS BERBASIS

PETERNAKAN

Pendahuluan

Dalam Pembangunan Jangka Panjang Tahap (PJPT) II salah satu tujuan utamanya adalah meningkatkan kualitas sumberdaya manusia Indonesia. Bank Dunia (1992) di dalam salah satu Iaporannya, “Indonesia: Growth, Infrastructure and Human

Resources,” menjelang sidang Consultative Forum for Goverment

of Indonesia (CGI) pertengahan 1992 lalu menyebutkan bahwa agenda pengembangan sumberdaya manusia menjadi bagian yang sangat penting untuk menciptakan pembangunan yang berkelanjutan di masa-masa yang akan datang. Pengembangan sumberdaya manusia yang maju dan mandiri juga menjadi tujuan pembangunan jangka panjang tahap kedua seperti digariskan dalam GBHN 1993/1998 dan REPELITA 1994/1995-1998/1999.

Jika di masa lalu jumlah sumberdaya manusia bisa menjadi salah satu keunggulan komparatif, maka pada masa yang akan datang jumlah saja tidak memadai lagi tetapi harus juga disertai dengan kualitas yang tinggi. Bahkan pada masa yang akan datang, kualitas sumberdaya manusia lebih dominan berpengaruh terhadap kemajuan (atau kemunduran) bangsa dibanding kekayaan sumberdaya alam.

(2)

Agribisnis Berbasis Peternakan

2

Bukti-bukti empiris menunjukkan bahwa kualitas sumberdaya manusia yang tinggi akan sangat menentukan kemajuan suatu bangsa. Untuk menghasilkan sumberdaya manusia yang berkualitas, peran pendidikan dan gizi, khususnya kecukupan protein hewani sangat menentukan. Ada korelasi yang tinggi antara kecukupan konsumsi protein hewani dengan tingkat kemajuan suatu bangsa. Sebagai gambaran, tingkat konsumsi protein asal ternak per kapita penduduk Indonesia tahun 1989 baru sekitar 2.85 gram, dan akhir tahun 1993 dinarapkan menjadi 3.74 gram/kapita/hari (daging 2.45, telur 0.82 dan susu 0.47). Sementara Singapura, Jepang, dan AS pada tahun 1987 masing-masing sudah mencapai 22.69; 53.50; dan 73 gram/kapita/hari.

Dengan ilustrasi semacam itu, tantangan pengembangan peternakan semakin berat. Langsung maupun tidak langsung, keberhasilan pembangunan peternakan akan berpengaruh pada kualitas sumberdaya manusia Indonesia. Tantangan ini akan semakin berat jika diingat bahwa sektor peternakan tidak hanya dituntut untuk meningkatkan jumlah produksi saja tetapi juga dituntut untuk menghasilkan produk yang berkualitas serta variasi yang makin beragam dan murah harganya, sehingga dapat dikonsumsi oleh masyarakat berpenghasilan rendah.

Keadaan dan Tantangan Peternakan

Pembahasan mengenai keadaan dan tantangan bidang peternakan tidak bisa terlepas dari subsektor lain yang erat kaitannya dengan sub-sektor peternakan, karena peternakan merupakan bagian dari sektor pertanian dan sektor lainnya. Dengan demikian, pertumbuhan dan perkembangan subsektor peternakan juga sangat tergantung dari pertumbuhan dan perkembangan sektor-sektor yang terkait dengan subsektor peternakan tersebut.

Mengamati pembangunan pertanian secara keseluruhan sejak awal berdirinya Republik Indonesia, maka masalah utama

(3)

yang dihadapi saat itu adalah kekurangan (shortage) produksi pertanian. Secara keseluruhan produksi pertanian mengalami hal serupa dan sebagai prioritas penanganan pada masa-masa itu adalah masalah kebutuhan pokok yaitu tanaman pangan, khususnya beras.

Keadaan itu berlangsung terus hingga awal Pelita I. Berbarengan dengan itu usaha peningkatan produksi pertanian mendapat prioritas utama dalam pembangunan nasional Indonesia. Sejalan dengan pembangunan pertanian maka pembangunan peternakan pun mendapat porsi untuk dikembangkan setelah tanaman pangan. Bahkan, dalam PJPT II ini peternakan diharapkan memberikan sumbangan pertumbuhan produk domestik bruto pertanian terbesar,yaitu sebesar 6.4%.

Masalah kelangkaan produksi pada awal Pelita I ini juga terjadi pada subsektor peternakan. Hampir semua jenis produk peternakan (telur, daging, susu serta hasil ikutannya seperti kulit, bulu dan tulang) jauh dari mencukupL Meskipun demikian, prioritas utama peningkatan produksi tetap saja pada sektor tanaman pangan, khususnya beras, Semua upaya (penyediaan infrastruktur: bendungan, saluran irigasi, jalan desa, jembatan; dan kelembagaan: koperasi, perkreditan, penyuluhan) ditujukan semata-mata untuk mencukupi kebutuhan pokok, yaitu beras.

Upaya ini sejalan dengan komposisi pola makan sebagian besar penduduk Indonesia, dimana makanan asal ternak menduduki urutan berikutnya setelah makanan asal tanaman pangan. Hal ini bisa dipahami karena biasanya orang lebih mementingkan makanan pokok (nasi) dan produk peternakan umumnya jauh lebih mahal dibandingkan dengan harga hasil tanaman pangan ataupun perikanan, sehingga permintaan produk peternakan hanya terjadi jika kebutuhan pangan pokok tercukupi dan/ atau ada peningkatan pendapatan. Pola dan kecenderungan ini tampaknya tidak hanya terjadi pada Indonesia saja tetapi juga terjadi pada banyak negara lain di dunia.

(4)

Agribisnis Berbasis Peternakan

4

Pergeseran Skala Usaha Peternakan

Dalam upaya memenuhi kebutuhan produk asal ternak, upaya jangka pendek yang dilakukan pada awal Pelita I hingga Pelita V adalah memacu peningkatan produksi melalui budidaya (hal ini tercermin dalam setiap tujuan pembangunan peternakan hingga pada PELITA V). Hasilnya adalah pertumbuhan produksi yang luar biasa untuk setiap jenis populasi ternak (Tabel 1 dan 2).

Dalam rangka memacu pertumbuhan produksi peternakan rakyat dengan skala usaha kecil turut berperan, Bahkan hingga saat ini skala usaha peternakan masih peternakan rakyat. Data Sensus Pertanian (BPS, 1983) menunjukkan bahwa jumlah rumah tangga (RT) yang bergerak dalam usaha perternakan adalah sekitar 4.5 juta RT dari 214 juta RT pertanian yang ada. Disamping itu digambarkan pula bahwa peternakan kita sebagian besar merupakan peternakan rakyat, yaitu masing-masing sapi potong 99,6%, kambing/domba 99.99%, kerbau 997%, sapi perah 91.1%, babi 96%, ayam ras petelur 82.4%, ayam bur as dan itik 100% (Soehadji, 1992).

Di masa yang akan datang perlu ada pengertian yang lebih tegas mengenai skala usaha peternakan rakyat sehingga skala usaha peternakan ini bisa terus didorong untuk mencapai tingkat yang ekonomis sehingga selain bisa mensejahterahkan peternaknya juga bisa dimanfaatkan sebagai sumber pendapatan daerah melalui retribusi ternak maupun pajak usaha. Pergeseran skala usaha ini penting sebagai salah satu prakondisi untuk mencapai skala industri peternakan.

(5)

Tahun Sapi Perah Sapi Potong Kerbau Kambing Domba Babi Kuda 1969 52 6447 2940 7544 3998 2878 642 1970 59 6137 2885 6336 3362 3169 692 1971 66 6245 2918 6943 3146 3382 665 1972 68 6286 2882 7189 2996 3350 693 1973 70 6389 2276 6665 3480 2622 636 r (%) 7.8 -0.2 -5.9 -2.5 2.8 1.6 -0.1 1974 86 6380 2415 6517 3403 2906 600 1975 90 6242 2432 6315 3374 2707 627 1976 87 6237 2284 6904 3603 2947 631 1977 91 6217 2292 7232 3864 2979 659 1978 93 6330 2312 8051 3611 2902 615 r (%) 2 0.2 -1 5.6 1.7 0.1 0.7 1979 94 6362 2342 7659 4071 3183 596 1980 103 6440 2457 7691 4124 3155 616 1981 113 6516 2488 7790 4177 3364 637 1982 140 6594 2513 7891 4231 3587 658 1983 198 8894 2398 10970 4789 4248 527 r (%) 21.2 9.62 -6 10.5 4.3 7.7 -2.5 1984 203 9236 2743 9025 4698 5112 659 1985 208 9318 3245 9629 4885 5560 668 1986 222 9432 3496 10738 5284 6216 715 1987 233 9510 3296 10392 5354 6339 658 1988 263 9776 3194 10606 5825 6484 675 r (%) 6.8 1.4 4.3 4.3 5.6 6.2 0.7 1989 288 10094 3244 10996 5910 6936 683 1990 306 10520 3282 11230 5928 7104 703 1991 367 10615 3378 11493 6182 7284 717 r (%) 13.1 2.6 2 2.2 2.3 2.5 3.5 Kenaikan 1969-1991 605.80% 64.60% 14.90% 62.30% 106.20% 153.10% 11.70% Tabel 1

Populasi Ternak Besar dan Kecil 1969-1991 (000 ekor)

Pergeseran skala usaha dari peternakan rakyat ke industri peternakan dapat dibagi menjadi tipe-tipe: sambilan, cabang

(6)

Agribisnis Berbasis Peternakan

6

usaha, usaha pokok, dan industri peternakan, Menurut Soehadji (1992), tipologi usaha ini dibagi berdasarkan skala usaha dan tingkat pendapatan peternak, dan diklasifikasikan ke dalam 4 kelompok berikut:

Tahun Sapi Perah Sapi Potong Kerbau Kambing Domba Babi Kuda

1969 52 6447 2940 7544 3998 2878 642 1970 59 6137 2885 6336 3362 3169 692 1971 66 6245 2918 6943 3146 3382 665 1972 68 6286 2882 7189 2996 3350 693 1973 70 6389 2276 6665 3480 2622 636 r (%) 7.8 -0.2 -5.9 -2.5 2.8 1.6 -0.1 1974 86 6380 2415 6517 3403 2906 600 1975 90 6242 2432 6315 3374 2707 627 1976 87 6237 2284 6904 3603 2947 631 1977 91 6217 2292 7232 3864 2979 659 1978 93 6330 2312 8051 3611 2902 615 r (%) 2 0.2 -1 5.6 1.7 0.1 0.7 1979 94 6362 2342 7659 4071 3183 596 1980 103 6440 2457 7691 4124 3155 616 1981 113 6516 2488 7790 4177 3364 637 1982 140 6594 2513 7891 4231 3587 658 1983 198 8894 2398 10970 4789 4248 527 r (%) 21.2 9.62 -6 10.5 4.3 7.7 -2.5 1984 203 9236 2743 9025 4698 5112 659 1985 208 9318 3245 9629 4885 5560 668 1986 222 9432 3496 10738 5284 6216 715 1987 233 9510 3296 10392 5354 6339 658 1988 263 9776 3194 10606 5825 6484 675 r (%) 6.8 1.4 4.3 4.3 5.6 6.2 0.7 1989 288 10094 3244 10996 5910 6936 683 1990 306 10520 3282 11230 5928 7104 703 Tabel 1

(7)

1991 367 10615 3378 11493 6182 7284 717

r (%) 13.1 2.6 2 2.2 2.3 2.5 3.5

Kenaikan 1969-1991

605.80% 64.60% 14.90% 62.30% 106.20% 153.10% 11.70%

Keterangan:

(1) Peternakan sebagai usaha sambilan

Petani yang mengusahakan berbagai macam komoditi pertanian terutama tanaman pangan, dimana ternak sebagai usaha sambilan untuk mencukupi kebutuhan sendiri (subsistence), dengan tingkat pendapatan dari ternak kurang dari 30%.

(2) Peternakan sebagai cabang usaha

Petani peternak yang mengusahakan pertanian campuran

(mixed farming) dengan ternak sebagai cabang usaha tani

dengan tingkat pendapatan dari budidaya peternakan 30-70% (semi kornersial atau usaha terpadu).

(3) Peternakan sebagai usaha pokok

Peternak mengusahakan ternak sebagai usaha pokok dan komoditi pertanian lainnya sebagai usaha sambilan (single

comodity) dengan tingkat pendapatan dari ternak sekitar

70% sampai 100%.

(4) Peternakan sebagai usaha industri

Peternak sebagai usaha industri, mengusahakan komoditas ternak secara khusus (specialized farming) dengan tingkat pendapatan 100% dari usaha peternakan (komoditi pillhan).

Di masa yang akan datang skala usaha peternakan rakyat ini perlu ditingkatkan ke arah peternakan sebagai usaha pokok, sehingga bisa mensejahterakan peternaknya yang sekaligus dapat mendorong pemberantasan masyarakat tertinggal. Kondisi ini diperlukan sebagai landasan bagi peternakan untuk bergeser menjadi skala industri peternakan tangguh.

(8)

Agribisnis Berbasis Peternakan

8

Proyeksi Agribisnis Berbasis Peternakan

Keberhasilan pembangunan untuk meningkatkan pendapatan per kapita dari US$ 70 pada tahun 1967 hingga US$ 600 pada tahun 1992, dan sekitar US$ 660 pada saat ini, langsung maupun tak langsung turut mempengaruhi permintaan akan hasil ternak.

Sejalan dengan itu, jika efisiensi budidaya peternakan dittngkat-kan maka akan dicapai harga yang iebih murah, kualitas yang lebih baik dan keragaman produk yang tinggi. Pada saat yang sama jika terjadi peningkatan pendapatan (daya beli), maka akan meningkatkan permintaan produk peternakan. Permintaan yang selalu meningkat inilah yang secara langsung memacu kegiatan di subsektor peter-nakan dan yang kemudian menyebabkan keadaan dan tantangan peternakan juga berkembang. Jika pada masa lalu permintaan hanya pada segi kuantitas saja, maka dimasa yang akan datang permintaan itu juga mencakup berbagai derajat kualitas dan tingkat pengolahan.

Di negara yang sedang berkembang seperti Indonesia, produksi peternakan memiliki nilai elastisitas permintaan terhadap perubahan pendapatan (income elasticity of demand) yang besar. Artinya, semakin meningkat pendapatan seseorang maka akan diikuti dengan meningkatnya permintaan akan produk peternakan. Selain itu, kesadaran gizi yang semakin baik akibat pendidikan dasar dan menengah yang semakin Iuas juga telah menyebabkan permintaan produk-produk peternakan juga semakin meningkat.

Sejalan dengan itu, perkembangan sektor lain seperti industri jasa boga (catering), pariwisata, hotel, dan restoran juga turut memacu permintaan produk-produk peternakan. Meskipun masih sedikit, permintaan produk-produk peternakan untuk memenuhi kebutuhan ekspor yang cenderung meningkat iuga turut mendorone tumbuhnva subsektor peternakan.

(9)

Subsektor peternakan tidak hanya dituntut untuk meningkatkan produksinya saja karena dalam berbagai komoditas ada indikator berlebih (telur dan daging ayam ras serta susu) pada tingkat harga, kualitas, dan taraf produksi tertentu (terutama dalm bentuk segar). Hal ini sering ditunjukkan dengan turunnya harga telur atau daging ayam pada hari-hari tertentu. Keadaan ini sebenarnya merupakan keberhasilan karena sudah bisa memecahkan masalah kekurangan produksi (masalah generasi I), tetapi keberhasilan ini juga menimbulkan masalah baru (masalah generasi II).

Karena itu saat ini, masalahnya bukan hanya pada peningkatan produksi saja tetapi juga cara menghasilkan produk-produk peternakan dengan efisien (murah) pada taraf produksi tertentu (segar, baku, olahan atau hasil industri).

Selain itu, pada masa yang akan datang tujuan pembangunan peternakan bukan hanya untuk meningkatkan permintaan dengan cara menciptakan pasar (create demand) dan meningkatkan daya beli (karena efisiensi produksi serta harga produk yang murah, jumlah pembeli akan meningkat) tetapi tujuan akhirnya adalah meningkatkan pendapatan peternaknya. Untuk itu perlu mendorong peternak agar tetap mampu bersaing baik pada skala lokal, regional, nasional maupun internasional.

Dengan memahami masalah tersebut maka peternak juga tidak boleh hanya berhenti berusaha dalam tingkat usaha budidaya ternak (pn-farm business) atau penghasil bahan baku, kecuali dengan mutu produksi tinggi dan tingkat harga yang memadai melalui cara yang efisien.

Jika memungkinkan, (menguntungkan), peternak harus didorong agar beternak sampai ke tingkat yang lebih tinggi dari sekedar penghasil bahan baku. Untuk itu budidaya peternakan pada tingkat yang lebih tinggi lagi (off-farm business) seperti usaha pasca panen, pengolahan, pengemasan, dan pemasaran perlu mendapat prioritas penanganan di masa-masa yang akan datang (PJPT II).

(10)

Agribisnis Berbasis Peternakan

10

Upaya mendorong peternakan agar berusaha hingga pada taraf di luar budidaya peternakan (off-farm) adalah karena pendapatan terbesar usaha peternakan sebenarnya ada pada taraf diluar budidaya peternakannya dibandingkan di dalam budidaya peternakannya (bandingkan pendapatan pabrik rokok vs petani cengkeh, pabrik ban vs petani crumb rubber, peternak sapi perah vs pabrik pengolah susu, peternakan sapi daging vs pabrik sosis, ataupun peternak ayam vs pengolah produknya). Konkritnya, pendapatan usaha peternakan terbesar akan diperoleh dari kegiatan usaha di luar budidaya.

Nilai tambah pada tingkat budidaya peternakan yang lebih rendah dibandingkan tingkat di luar budidaya peternakan

(off-farm) ini tidak hanya berlaku di Indonesia saja tetapi juga di

Amerika Serikat. Pendapatan petani pada taraf usaha tani hanya 30% sementara di luar usaha taninya mencapai 70%-nya (Downey and Erickson, 1990; Cramer and Jensen, 1991).

Dengan memahami berbagai tantangan tersebut di atas, maka pertama-tama perlu ada semacam reorientasi wawasan peternakan. Wawasan peternakan yang semula hanya dititikberatkan pada budidaya ternak dalam menghadapi PJPT II harus diubah dan diperluas (Djarsanto, 1992). Cara pandang peternakan yang semata-mata hanya dirujukan untuk meningkatkan produksi juga harus diperluas.

Pada masa yang akan datang cara pandang peternakan sebagai budidaya ternak perlu diperluas menjadi industri biologis peternakan yang mencakup empat aspek, yaitu: (1) peternak sebagai subyek yang harus ditingkatkan pendapatan dan kesejahterannya, (2) ternak sebagai obyek yang harus ditingkatkan produksi dan produktivitasnya, (3) lahan sebagai basis ekologi budidaya yang harus dilestarikan, serta (4) teknologi dan pengetahuan sebagai alat untuk meningkatkan efisiensi perlu selalu diperbahanii serta disesuaikan dengan kebutuhan (Wardojo/1990; Djarsanto, 1992).

(11)

Dengan wawasan tersebut maka cara pandang peternakan sebagai kegiatan budidaya (on-fann activities) perlu diperlebar. Unsur budidaya dalam upaya untuk meningkatkan produksi ternak perlu dikebelakangkan, sementara pandangan peternakan yang membatasi pada level budidaya peternakan juga diperluas menjadi sistem agribisnis.

Dengan memandang peternakan menjadi sistem agribisnis maka secara lengkap lingkup kegiatannya mencakup subsistem: (1). budidaya/production, (2). pengadaan sapronak/input factors, (3). industri pengolahan/processing, (4). pemas&ran/marketing, dan (5). jasa-jasa kelembagaan/supporting institution (Saragih dan Krisnamurthi, 1992). Kelima subsistem harus dipandang sebagai satu kesatuan pandangan yang harus ditangani serta dibina secara simultan dan komprehensif.

Dengan memandang peternakan sebagai sistem agribisnis yang utuh dan tidak terpisah-pisah, maka persoalan peternakan menjadi lebih luas lagi dan cara penanganannya pun perlu lebih terintegrasi, terkoordinasi dan komprehensif. Dalam sistem agribisnis berbasis peternakan, masalah budidaya

(production),praktis tidak menjadi kendala yang berarti. Pada

PJP I rnasalah budidaya praktis sudah dapat diatasL Kini, yang perlu lebih diperhatikan adalah pengernbangan agribisnis berbasis peternakan di tingkat luar budidaya peternakan. Hal ini mencakup penanganan subsistem pemasaran, industri (pemotongan, penyimpanan, pengepakan, standarisasi, pengolahan) dan pengembangan subsistem jasa-jasa kelembagaan penunjang.

Industrialisasi Berbasis Peternakan

Pada PJPT II ini sudah saatnya bagi peternakan untuk masuk dalam industri, dimana beberapa komoditi peternakan seperti ternak ayam ras sudah menunjukkan perannya dalam PJPT I sebagai suatu industri peternakan yang handal Beberapa komoditi lain, mungkin sudah memasuki separoh

(12)

Agribisnis Berbasis Peternakan

12

dari perkembangan ternak ayam ras, namun masih banyak yang perlu dibenahi untuk masuk dalam proses industri, karena komoditi peternakan memiliki tingkat keragaman yang tinggi Untuk itu perlu memiliki perspektif pembangunan peternakan baru dimasa datang dimana tujuan pembangunan peternakan pada Pelita VI telah dirumuskan sebagai berikut:

1. Meningkatkan kesejahteraan peternak, lewat peningkatan pendapatan yang diperoleh melalui peningkatan kualitas dan produktivitas sumberdaya masyarakat peternak.

2. Meningkatkan produksi ternak untuk memenuhi kebutuhan konsumsi dalam negeri yang terjangkau masyarakat penyediaan bahan industri dan ekspor.

3. Meningkatkan kualitas pangan dan gizi masyarakat lewat diversifikasi produk bahan pangan hewani asal ternak. 4. Mengembangkan agribisnis peternakan untuk mendorong

peningkatan pendapatan dan perluasan kesempatan kerja dan berusaha di pedesaan.

5. Optimalisasi pemanfaatan sumberdaya alam untuk memperoleh manfaat bagi peningkatan produksi ternak dengan tetap memperhatikan kelestarian Iingkungan. Hal di atas merupakan tujuan dari subsektor peternakan untuk masuk kedalam proses industri pertanian yang berbasis peternakan. Pembangunan peternakan harus tetap diarahkan untuk meningkatkan pendapatan petani peter nak, mendorong diversifikasi pangan, perbaikan mutu gizi masyarakat, dan mengembangkan ekspor.

Jika diamati pada Pelita VI ada perbedaan tujuan pembangunan peternakan dibandingkan dengan Pelita-Pelita sebelumnya. Perbedaan itu tekanannya ada pada situasi dan kondisi yang tidak sama antara PJPT I dan PJPT II. Jika pada

(13)

PJPT I tekanan ada pada budidaya (on-farm business/business

oriented) peternakan maka pada PJPT II tekanannya ada pada

pengembangan agribisnis secara utuh. Dalam pengembangan agribisnis maka sudah saatnya subsektor peternakan mengembangkan agroindustri yang berbasis peternakan.

Dengan dipenuhinya tujuan pembangunan peternakan di atas, maka subsektor peternakan sudah dapat dikatakan siap untuk industrialiasi. Dalam pelaksanaannya, industrialisasi peternakan memerlukan piranti dasar Trilogi Peternakan: Bibit, Pakan, Manajemen (Breeding, Feeding dan Management) yang seiring, Dalam pengertian yang lebih tegas, masalah bibit, pakan, dan sistem pengelolaan harus selalu memenuhi tuntutan pasar (tersedia sesuai dengan kebutuhan, dalam jumlahr kualitas dan waktu yang diperlukan). Dengan kata Iain, perlu beberapa prasyarat yang harus dipenuhi oleh peternakan menuju industrialisasi. Prasyarat tersebut secara garis besar mengacu pada Trilogi Peternakan sebagai landasan bagi industrialisasi peternakan yang meliputi semua kondisi dari hulu sampai hllir.

Prasyarat Industrialisasi Berbasis Peternakan

Era industrialisasi yang disepakati pada PJPT II mau tidak mau juga akan dihadapi oleh sektor pertanian termasuk subsektor peternakan. Beberapa ciri dalam era industri ini ialah adanya budaya industri, Budaya industri ini sangat mementingkan kemampuan perencanaan, pelaksanaan, dan pengendalian sumberdaya alam serta manusia secara rasional, berkualitas tinggi, efektif dan efisien serta dengan jadwal waktu yang ketat (Soeharto, 1993).

Selanjutnya, untuk mewujudkan budaya industri jelas membutuhkan wawasan baru, kebiasaan baru dan ketrampilan baru, yang perlu dimiliki tidak hanya aparat birokrat yang terlibat dalam pembangunan peternakan tetapi juga pada para peternaknya. Khusus bagi peternaknya jelas membutuhkan berbagai jenis pendidikan dan pelatihan tambahan untuk memasuki era industrialisasi peternakan.

(14)

Agribisnis Berbasis Peternakan

14

Dalam terminologi yang lebih tegas, era industrialisasi akan memerlukan keteraturan, keseragaman, kesinambungan serta ketepatan waktu penyediaan suatu produk, sejak dalam bentuk bahan mentah hingga dikonsumsi oleh konsumen akhir. Hal ini hanya bisa dicapai jika budaya industri juga disadari dan diterapkan oleh semua pihak yang berkaitan dengan produk-produk pertanian termasuk peternakan.

Dalam kaitan menuju era industrialisasi berbasis peternakan ini harus ada kesadaran dari: (1) konsumen (lokal/ domestik/internasional, sebagai penarik yang menimbulkan permintaan), (2) aparat birokrasi (sebagai pencipta-pendorong iklim berkembangnya budaya industri), dan (3) peternak, produseninput peternakan, dan jasa kelembagaan (sebagai pelaku yang harus senantiasa mernenuhi kebutuhan konsumen yang selalu meningkat/beragam baik dari kuantitas maupun kualitas).

Di bidang peternakan, prasyarat keteraturan, keseragaman, kesinambungan serta ketepatan waktu penyediaan produk ini harus dipe-nuhi pada setiap subsistem agribisnisnya. Dengan kata Iain, subsistem budidaya, pengadaan sapronak, industri pengolahan, pemasaran, dan jasa-jasa kelembagaan, harus bisa memenuhi prasyarat itu.

Kelima subsistem itu harus dipandang sebagai satu kesatuan pandangan yang harus ditangani serta dibina secara simultan dan komprehensif sehingga pada akhimya akan diperoleh produk peternakan yang teratur, seragam, berkesinambungan serta tepat waktu. Semua ini hanya bisa terjadi jika setiap subsistem juga memenuhi prasyarat industrialisasi.

Khusus menyangkut subsektor peternakan ada beberapa hal yang perlu diperhatikan untuk menuju era industrialisasi Di bidang budidaya hal itu menyangkut penyediaan bibit pakan dan sistem pengelolaan, Pada beberapa jenis komoditi produk asal ternak (seperti telur dan daging ay am ras, susu, serta daging

(15)

sapi asal bibit impor), tampaknya sudah mengarah pada era industrialisasi.

Pada budidaya ternak ayam ras, sapi perah, dan sapi daging, masalah keteraturan, keseragaman dan kesinambungan sudah terjadi di tingkat penyediaan bibit, pakan dan pembakuan sistem manajemen. Diantara ketiga jenis ternak tersebut, tampaknya hanya ayam ras yang sudah mendekati kesempurnaan prasyarat industri. Sedangkan pada ternak sapi perah dan sapi potong terutama masalah bibit sering menjadi kendala.

Faktor Iain yang perlu diperhatikan untuk menuju era industrialisasi adalah penentuan adanya jenis produk yang menjadi unggulan. Dimana produk peternakan yang dihasilkan tidak hanya kompetetif di pasar domestik tetapi juga di pasar internasional. Masalah ini penting untuk mengantisipasi sistiin perdagangan pasca perundingan “Marakes” dimana menurut ketentuan “World Trade Organization” (WTO/GATT), setiap negara diminta untuk membuka pasarnya terhadap produk negara lain, tak terkecuali untuk produk peternakan.

Pelajaran yang diperoleh dari serbuan produk hortikultura impor (terutama buah) mungkin bisa menjadi contoh menarik. Saat ini Indonesia tampak tidak berdaya menghadapi masuknya berbagai jenis buah impor (durian, jeruk, anggur, apel, led, kiwi, dll.) karena memang buah-buahan itu tidak hanya relatif lebih murah tetapi yang jelas jenis buah itu memiliki persyaratan industri. Jika tidak hati-hati maka kasus serbuan buah impor bisa terjadi pada berbagai produk peternakan. Berkaitan dengan kecenderungan (trend) dan pola konsumsi penduduk berpenghasilan tinggi dan penduduk negara-negara sangat maju (konsumsi daging dan telur yang rendah kolesterol, bebas bahan kimia, dan bebas residu obat-obatan), ada baiknya sejak dini Indonesia mempelajari, meneliti dan mengembangkan berbagai jenis ternak lokal yang secara spesifik inemiliki prospek untuk memenuhi kebutuhan konsumen itu.

(16)

Agribisnis Berbasis Peternakan

16

Secara umum ternak lokal memenuhi persyaratan yang diinginkan oleh konsumen negara maju tetapi untuk menyesuaikan dengan pola industri masih memerlukan waktu yang panjang. Dalam kaitan ternak lokal (ayam buras, kambing, domba, sapi, kerbau, rusa) masalah bibit, pakan dan sistem manajemen yang baku masih menjadi kendala yang cukup serius khususnya di tingkat peternak, terutama jika dibandingkan dengan ternak lain (ayam ras, sapi daging dan perah eks- impor).

Dalam rangka industrialisasi berbasis peternakan maka sejak awal sudah mulai dikaji, dan diteliti secara inendalam, intensif dan komprehensif tentang skala usaha yang ekonomis untuk setiap subsistem agribisnis (pakan dan bibit, budidaya, pengolahan/ rumah potong) sehingga dalam pelaksanaan di lapang tercipta pola-pola kemitraan (PIR, Kontrak Manajemen, Bapak-Anak Angkat, Kepemilikan Bersaina antara peternak dan pengusaha) yang serasi antar pelaku (pengusaha kecil, pengusaha menengah dan pengusaha besar).

Penelitian diatas juga diarahkan untuk mengamati keterkaitan antar subsistem agribisnis berbasis peternakan- Dalam kaitan ini subsistem input produksi (pakan, bibit, obat-obatan), produksi (budidaya), pengolahan (pemotongan), dan pemasaran harus dilihat dalam satu aspek kesatuan pandang. Keterkaitan itu harus dilihat dalam suatu kesatuan bisnis peternakan. Selain itu penelitian juga diarahkan untuk menentukan jenis-jenis ternak unggulan (lokal maupun ras) di setiap wilayah Indonesia baik dalam rangka kebutuhan pasar lokal, domestik maupun pasar internasional.

Sedangkan untuk memenuhi tuntutan budaya industri maka sudah perlu dipikirkan menghasilkan peternak-peternak kecil dan menengah generasi baru yang tidak saja memenuhi basis pendidikan dasar peternakan yang kuat (sarjana peternakan dan dokter hewan) tetapi juga memiliki basis kewirausahaan

(enterpreneurship) yang kuat serta didukung oleh lembaga

(17)

Pengembangan subsektor peternakan harus dimulai dari perubahan cara pandang terhadap peternakan itu sendirL Jika selama ini peternakan hanya dipandang dari aspek budidaya pada tingkat budidaya peternakan saja, maka pada era industrialisasi peternakan harus dilihat secara keseluruhan sebagai suatu konsep agribisnis dimana agroindustri berbasis peternakan sebagai sektor pemimpin.

(18)

Agribisnis Berbasis Peternakan

Referensi

Dokumen terkait

digunakan untuk driver motor DC daya besar tergantung dari relay

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, maka ditarik beberapa kesimpulan pada pengujian pengaruh kualitas produk, citra merek dan layanan purna jual

Dari hasil uji t di atas, dapat disimpulakan bahwa biaya kualitas yang terdiri dari biaya pencegahan, biaya deteksi atau penilaian, biaya kegagalan internal, dan

- Kamsiam leng thusia pen zong mai thei, kamsia zang leng thu gina lo khat zong kihau thei.. - Mi hoih

Percobaan ini bertujuan mengetahui pengaruh penggunaan naungan yang berbeda serta kombinasi pemberian zat pemacu tumbuh benzylaminopurine dengan zat penghambat tumbuh

Pada kesempatan ini perkenankanlah penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Ni Putu Luhur Wedayanti, S.S.,M.Hum selaku pembimbing pertama dan I Nyoman Rauh

Verifier 3.4.2. Implementasi kegiatan identifikasi. Papua Satya Kencana telah melakukan kegiatan inventarisasi dan identifikasi terhadap jenis-jenis flora dan fauna

- Penataan layout denah baru akan ditempatkan pada lokasi baru yang berbeda sama sekali dengan denah Angkringan awal, hal ini disebabkan kurangnya data yang didapatkan dari