• Tidak ada hasil yang ditemukan

Strategi Penanganan Korupsi Di Negara-Negara Asia Pasifik

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Strategi Penanganan Korupsi Di Negara-Negara Asia Pasifik"

Copied!
119
0
0

Teks penuh

(1)

STRATEGI PENANGANAN

STRATEGI PENANGANAN

KORUPSI

KORUPSI

DI NEGARA

DI NEGARA

-

-

NEGARA ASIA PASIFIK

NEGARA ASIA PASIFIK

LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA

PUSAT KAJIAN ADMINISTRASI INTERNASIONAL

JAKARTA 2007

(2)

Strategi Penanganan Korupsi

Di Negara-Negara Asia Pasifik

LAPORAN KAJIAN

LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA

PUSAT KAJIAN ADMINISTRASI INTERNASIONAL

2007

(3)

Sambutan

Kepala Lembaga Administrasi Negara

emberantasan korupsi merupakan salah satu agenda penting dari pemerintah dalam rangka penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Pemberantasan korupsi juga merupakan agenda di tingkat regional dan internasional. Lembaga-lembaga internasional turut menegaskan komitmennya untuk bersama-sama memerangi korupsi. Salah satu penghambat kesejahteraan negara berkembang pun disinyalir akibat dari praktek korupsi yang eksesif, baik yang melibatkan aparat di sektor publik, maupun yang melibatkan masyarakat yang lebih luas. Indikasi tetap maraknya praktek korupsi di negara ini dapat terlihat dari tidak kunjung membaiknya angka persepsi korupsi Indonesia. Beberapa survey yang dilakukan oleh lembaga independen internasional juga membuktikan fakta yang sama, walaupun dengan bahasa, instrumen atau pendekatan yang berbeda. Situasi ini jelas memprihatinkan banyak pihak.

Terkait dengan hal di atas, Lembaga Administrasi Negara yang diamanatkan untuk mengembangkan sistem administrasi negara melalui kajian dan penelitian telah melakukan kajian tentang Strategi Penanganan Korupsi di Beberapa Negara Asia Pasifik. Kajian ini memfokuskan pada studi perbandingan mengenai strategi pemberantasan korupsi di beberapa negara Asia Pasifik yaitu Singapura, Hong Kong, dan India.

Beberapa pelajaran penting dapat dipetik dari pengalaman ketiga negara dalam memerangi korupsi yang akut. Hal ini karena ketiga negara juga pernah mengalami kondisi korupsi yang sangat buruk. Singapura dan Hong Kong adalah contoh sukses pemeberantasan korupsi yag efektif. Hal ini tidak lepas dari coverage wilayah yang relatif kecil (city concern), sehingga mereka mempunyai banyak kemudahan. India sendiri memang tidak sesukses Singapura maupun Hong Kong, namun mempunyai karakteristik geografis, populasi, sosial ekonomi yang mirip dengan Indonesia. Sehingga mempunyai hambatan yang relatif sama. Namun ketiga

(4)

negara menekankan pentingnya good will dan political will dari semua pihak untuk bersama-sama terlibat dalam upaya pemberantasan korupsi.

Berdasarkan studi perbandingan dengan ketiga negara tersebut di atas, kajian ini memberikan rekomendasi kebijakan untuk bahan pertimbangan bagi konsep pengembangan strategi pemberantasan korupsi di Indonesia agar terselenggara lebih efektif, transparan, dan akuntabel.

Kami mengucapkan terima kasih dan penghargaan kepada tim peneliti dari Pusat Kajian Administrasi Internasional (PKAI) LAN atas kerja keras yang telah dilakukan sehingga kajian ini dapat diselesaikan dengan baik dan diharapkan dapat terus ditingkatkan di masa-masa mendatang.

Semoga kajian ini dapat memberikan masukan yang berharga bagi semua pihak, khususnya para penyelenggara negara dalam membangun strategi pemberantasan korupsi yang komprehensif dan efektif.

Jakarta, Desember 2007 Lembaga Administrasi Negara

Kepala

(5)

Kata Pengantar

uji syukur kehadirat Allah SWT, atas rahmat dan hidayah-Nya sehingga Kajian Strategi Penanganan Korupsi di Beberapa Negara Asia Pasifik dapat diselesaikan sesuai dengan jadwal yang direncanakan. Laporan ini merupakan hasil akhir kegiatan kajian yang dilakukan oleh Pusat Kajian Administrasi Internasional Lembaga Administrasi Negara mengenai strategi penanganan korupsi di Singapura, Hong Kong, India, dan Indonesia yang membahas aspek kebijakan dan perundangan, kelembagaan dalam pemberantasan korupsi, dan pencegahan tindak korupsi.

Dengan ini Lembaga Administrasi Negara menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada Duta Besar dan Perwakilan Pemerintah Indonesia di Singapura, India, dan Hong Kong atas segala bantuan dan dukungan yang telah diberikan sehingga kajian ini dapat berjalan dengan baik.

Ucapan terima kasih dan penghargaan juga disampaikan kepada segenap nara sumber yang telah memberikan data dan informasi mengenai strategi penanganan korupsi baik di Singapura, India, Hong Kong, dan tentunya di Indonesia.

Semoga hasil kajian ini dapat memberikan manfaat khususnya bagi lembaga-lembaga yang berkompeten dengan pemberantasan korupsi di Indonesia, dan masyarakat luas pada umumnya. Kami menyadari bahwa laporan ini masih terdapat banyak kekurangan. Oleh sebab itu kami sangat mengharapkan masukan, kritik dan saran dari berbagai pihak demi terwujudnya laporan penelitian yang lebih baik.

Jakarta, Desember 2007

Deputi Bidang Penelitian dan Pengembangan Administrasi Pembangunan dan Otomasi Administrasi Negara

Drs. Desi Fernanda, M.Soc.Sc

(6)

Executive Summary

emberantasan korupsi di Indonesia pada dasarnya sudah dilakukan sejak empat dekade silam. Sejumlah perangkat hukum sebagai instrumen legal yang menjadi dasar proses pemberantasan korupsi di Indonesia juga telah disusun sejak lama. Namun efektivitas hukum dan pranata hukum yang belum cukup memadai menyebabkan iklim korupsi di Indonesia tidak kunjung membaik. Hal ini setidaknya dibuktikan dengan berbagai indeks korupsi yang diselenggarakan oleh berbagai lembaga independen yang berbeda, dengan metode dan variabel yang juga berbeda, namun menghasilkan hasil pengukuran yang relatif sama, yaitu menempatkan Indonesia di ranking paling bawah. Berdasarkan studi yang dilakukan

Transparency International, Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia tahun 2006

adalah 2,4 dan menempati urutan ke-130 dari 163 negara. Sebelumnya, pada tahun 2005 IPK Indonesia adalah 2,2, tahun 2004 (2,0) serta tahun 2003 (1,9). Bahkan berdasarkan hasil survei dikalangan para pengusaha dan pebisnis oleh lembaga konsultan Political and Economic Risk Consultancy (PERC) yang berbasis di Hong Kong, Indonesia kembali dinilai sebagai negara paling terkorup di Asia pada awal tahun 2004 dan 2005. Hasil survey PERC menyatakan bahwa Indonesia merupakan negara yang paling korup di antara 12 negara Asia. Predikat negara terkorup diberikan karena nilai Indonesia hampir menyentuh angka mutlak 10 dengan skor 9,25 (nilai 10 merupakan nilai tertinggi atau terkorup). Sedangkan pada tahun 2005 Indonesia masih termasuk dalam tiga teratas negara terkorup di Asia.

“Prestasi” korupsi yang telah dicapai Indonesia disamping merugikan secara langsung bagi pertumbuhan perekonomian dan pemerataan pembangunan nasional, berdampak negatif bagi masuknya investasi asing ke Indonesia, juga melunturkan citra dan martabat bangsa di dunia internasional.

Dalam menangani masalah korupsi, Indonesia dapat dikatakan tertinggal dibandingkan dengan negara-negara lain di kawasan Asia Pasifik. Masing-masing negara pada prinsipnya mempunyai tantangan dan persoalan tersendiri dalam

(7)

menghadapi korupsi, mengingat korupsi memiliki beragam modus dan bentuknya seiring dengan makin kompleksnya administrasi birokrasi. Hal ini menyebabkan strategi pemberantasan korupsi yang ditempuh oleh setiap negara memiliki karakteristik tersendiri dan tingkat efektivitas yang berbeda pula.

Terkait dengan hal tersebut, kajian ini dilaksanakan dengan tujuan untuk mengidentifikasi dan mendeskripsikan strategi pemberantasan korupsi yang dilakukan oleh beberapa negara di Asia Pasifik yang meliputi pendekatan-pendekatan yang dilakukan dalam menangani masalah korupsi guna memberikan rekomendasi kebijakan yang dapat diterapkan Pemerintah Indonesia tentang penanganan korupsi.

Negara-negara yang dijadikan lokus dalam penelitian ini adalah Singapura, Hong Kong, India dan tentunya Indonesia. Alasan pemilihan negara-negara tersebut adalah bahwa Singapura dan Hong Kong dapat dikatakan sebagai model yang ideal (role model) dalam memberantas korupsi. Kedua negara tersebut berhasil menekan angka korupsi ke tingkat minimal dan dikategorikan sebagai negara terbersih di Asia. Sementara itu, meskipun pemberantasan korupsi di India relatif tertinggal dibandingkan dengan Singapura dan Hong Kong namun penanganan masalah korupsi di India relatif lebih baik dibandingkan dengan Indonesia. Selain itu kondisi geografis dan demografi India yang memiliki kesamaan dengan Indonesia menjadi salah satu alasan lain dalam pemilihan lokus.

Dari hasil temuan, diperoleh sejumlah data dan informasi yang mencakup: gambaran umum korupsi di masing-masing negara; kebijakan dan perundangan pemberantasan korupsi; kelembagaan dalam pemberantasan korupsi; dan strategi pencegahan tindak korupsi. Selanjutnya beberapa kesimpulan dan rekomendasi mengenai strategi pemberantasan korupsi disampaikan berdasarkan analisis data dan informasi yang didapat.

Sejumlah pemikiran yang dapat disimpulkan adalah bahwa strategi pemberantasan korupsi harus dibangun didahului oleh adanya itikad kolektif, yaitu semacam kemauan dan kesungguhan (willingness) dari semua pihak untuk bersama-sama tidak memberikan toleransi sedikitpun terhadap perilaku korupsi. Perilaku korupsi harus dicitrakan dan diperlakukan sebagai perilaku kriminal, sama halnya dengan tindak kriminal lainnya, yang memerlukan penanganan secara hukum. Di samping itu, keberhasilan penanganan korupsi di negara-negara lain juga

(8)

dipengaruhi oleh keberadaan lembaga anti korupsi yang kuat dalam menangani pencegahan dan pemberantasan korupsi. Sebagai contoh, Singapura dan Hong Kong hanya memiliki satu lembaga anti korupsi yang memiliki kewenangan penuh untuk menyelidiki dan mengajukan tuntutan kasus-kasus korupsi.

Oleh karena itu, dalam mewujudkan sebuah strategi yang efektif, dibutuhkan pemenuhan prasyarat sebagai berikut :

1. Didorong oleh keinginan politik serta komitmen yg kuat dan muncul dari kesadaran sendiri

2. Menyeluruh dan seimbang

3. Sesuai dengan kebutuhan, ada target, dan berkesinambungan 4. Berdasarkan pada sumber daya dan kapasitas yang tersedia 5. Terukur

6. Transparan dan bebas dari konflik kepentingan

Berkenaan dengan political will serta komitmen yang harus dibangun, maka perlu menegaskan kembali political will pemerintah, diantaranya melalui :

… Penyempurnaan UU Anti Korupsi yang lebih komprehensif, mencakup kolaborasi kelembagaan yang harmonis dalam mengatasi masalah korupsi … Kontrak politik yang dibuat pejabat publik

… Pembuatan aturan dan kode etik PNS … Pembuatan pakta integritas

… Penyederhanaan birokrasi (baik struktur maupun jumlah pegawai)

Penyempurnaan UU Anti Korupsi ini selain untuk menjawab dinamika dan perkembangan kualitas kasus korupsi, juga untuk menyesuaikan dengan instrumen hukum internasional. Saat ini isu korupsi tidak lagi dibatasi sekat-sekat negara, namun telah berkembang menjadi isu regional bahkan internasional. Hal ini tidak lepas dari praktek korupsi yang melibatkan perputaran dan pemindahan uang lintas negara.

Adanya kewenangan yang jelas dan tegas yang diberikan oleh suatu lembaga anti korupsi juga menjadi kunci keberhasilan strategi pemberantasan korupsi. Tumpang tindih kewenangan di antara lembaga-lembaga yang menangani masalah korupsi menyebabkan upaya pemberantasan korupsi menjadi tidak efektif dan efisien.

(9)

Strategi pemberantasan korupsi harus juga bersifat menyeluruh dan seimbang. Ini berarti bahwa strategi pemberantasan yang parsial dan tidak komprehensif tidak dapat menyelesaikan masalah secara tuntas.

Berkenaan dengan hal itu maka, strategi pemberantasan korupsi harus dilakukan secara adil, dan tidak ada istilah “tebang pilih” dalam memberantas korupsi. Di samping itu penekanan pada aspek pencegahan korupsi perlu lebih difokuskan dibandingkan aspek penindakan. Upaya pencegahan (ex ante) korupsi dapat dilakukan, antara lain melalui:

… Menumbuhkan kesadaran masyarakat (public awareness) mengenai dampak destruktif dari korupsi, khususnya bagi PNS.

… Pendidikan anti korupsi

… Sosialisasi tindak pidana korupsi melalui media cetak & elektronik … Perbaikan remunerasi PNS

Adapun upaya penindakan (ex post facto) korupsi harus memberikan efek jera, baik secara hukum, maupun sosial. Selama ini pelaku korupsi, walaupun dapat dijerat dengan hukum dan dipidana penjara ataupun denda, namun tidak pernah mendapatkan sanksi sosial.

… Hukuman yang berat ditambah dengan denda yang jumlahnya signifikan. … Pengembalian hasil korupsi kepada negara.

… Tidak menutup kemungkinan, penyidikan dilakukan kepada keluarga atau kerabat pelaku korupsi.

Strategi pemberantasan korupsi harus sesuai kebutuhan, target, dan berkesinambungan. Strategi yang berlebihan akan menghadirkan inefisiensi sistem dan pemborosan sumber daya. Dengan penetapan target, maka strategi pemberantasan korupsi akan lebih terarah, dan dapat dijaga kesinambungannya. Dalam hal ini perlu adanya komisi anti korupsi di daerah (misalnya KPK berdasarkan wilayah) yang independen dan permanen (bukan ad hoc).

Selain itu strategi pemberantasan korupsi haruslah berdasarkan sumber daya dan kapasitas. Dengan mengabaikan sumber daya dan kapasitas yang tersedia, maka strategi ini akan sulit untuk diimplementasikan, karena daya dukung yang tidak seimbang. Dalam hal ini kualitas SDM dan kapasitasnya harus dapat ditingkatkan,

(10)

terutama di bidang penegakan hukum dalam hal penanganan korupsi. Peningkatan kapasitas ini juga dilakukan melalui jalan membuka kerjasama internasional.

Keterukuran strategi merupakan hal yang tidak bisa dikesampingkan. Salah satu caranya yaitu membuat mekanisme pengawasan dan evaluasi atas setiap tahapan pemberantasan korupsi dalam periode waktu tertentu secara berkala. Selain itu juga, dalam rangka penyusunan strategi yang terukur, perlu untuk melakukan survei mengenai kepuasan masyarakat atas usaha pemberantasan korupsi yang telah dilakukan pemerintahan.

Terakhir adalah bahwa sebuah strategi pemberantasan memerlukan prinsip transparan dan bebas konflik kepentingan. Transparansi ini untuk membuka akses publik terhadap sistem yang berlaku, sehingga terjadi mekanisme penyeimbang. Warga masyarakat mempunyai hak dasar untuk turut serta menjadi bagian dari strategi pemberantasan korupsi. Saat ini optimalisasi penggunaan teknologi informasi di sektor pemerintah dapat membantu untuk memfasilitasinya. Strategi pemberantasan juga harus bebas kepentingan golongan maupun individu, sehingga pada prosesnya tidak ada keberpihakan yang tidak seimbang. Semua strategi berjalan sesuai dengan aturan yang berlaku dan objektif.

Instrumen strategi pemberantasan lain yang menjadi bagian dari elemen masyarakat adalah pers. Transparansi dapat difasilitasi dengan baik dengan adanya dukungan media massa yang memainkan peranannya secara kuat. Dengan adanya kebebasan pers, maka kontrol masyarakat dapat semakin ditingkatkan lagi.

(11)

Daftar Isi

Hal

SAMBUTAN KEPALA LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA ………. i

KATA PENGANTAR ……….. iii

EXECUTIVE SUMMARY ……… iii

Daftar Isi ……….. ix

Daftar Tabel ……… xi

Daftar Gambar ……….. xii

Daftar Grafik ……….. xiii

BAB I : PENDAHULUAN ……… 1 A. Latar Belakang ………. 1 B. Rumusan Masalah ………. 4 C. Ruang Lingkup ………. 5 D. Tujuan ……….. 5 E. Jadwal ……….. 5 F. Metodologi Penelitian ……….. 5

BAB II : GAMBARAN UMUM KORUPSI ……….. 9

A. Memahami Korupsi ……….. 9

B. Peta Korupsi Dunia dan Regional ………. 16

C. Korupsi di Beberapa Negara ………. 27

1. Singapura ………. 27

2. Hong Kong ……….. 29

3. India ……… 32

4. Indonesia ………. 36

BAB III : KEBIJAKAN DAN PERUNDANGAN PEMBERANTASAN KORUPSI ……….. 38

A. Singapura ……… 41

B. Hong Kong ………. 45

C. India ……….. 48

(12)

BAB IV : KELEMBAGAAN DALAM PEMBERANTASAN KORUPSI ………… 57

A. Singapura ……… 54

B. Hong Kong ………. 62

C. India ……….. 66

D. Indonesia ……… 71

BAB V : STRATEGI PENCEGAHAN TINDAK KORUPSI ………. 80

A. Singapura ……… 82

B. Hong Kong ………. 88

C. India ……….. 91

D. Indonesia ……… 93

BAB VI : REKOMENDASI KEBIJAKAN .………. 97

A. Masalah dalam Strategi Kebijakan Penanganan Korupsi di Indonesia ………. 97

B. Alternatif Strategi Kebijakan Penanganan Korupsi ………. 98

C. Policy Action dalam Perumusan Strategi Kebijakan Penanganan Korupsi di Indonesia ………. 100

(13)

Daftar

Tabel

Hal Tabel 1.1 Operasionalisasi dan Output Tiap Tahap Kegiatan ……… 7 Tabel 2.1 Daftar Peringkat Pengambil Aset Negara Terbesar versi Stolen

Asset Recovery Innitiatives (StAR) Bank Dunia & PBB ... 19 Tabel 2.2 Indeks Penyuapan Beberapa Negara ... 23 Tabel 2.3 Perbandingan Profil 4 Negara dalam Penanganan Korupsi ... 26 Tabel 3.1 Perbandingan Beberapa Istilah dalam Perundangan Indonesia

dengan UNCAC ... 53 Tabel 3.2 Terpidana Koruptor dan Uang Pengganti ... 54 Tabel 4.1 Indikator Kinerja CPIB Singapura ... 59 Tabel 4.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Keberhasilan dan Kegagalan

Suatu Lembaga Anti Korupsi ... 76 Tabel 4.3 Kelebihan dan Kelemahan dari Pembentukan Lembaga Anti

Korupsi ... 77 Tabel 5.1 Instrumen Pencegahan Korupsi per Sektor ... 81 Tabel 5.2 Strategi Pemberantasan Korupsi di Indonesia ... 93

(14)

Daftar Gambar

Hal

Gambar 2.1 Peta Indeks Persepsi Korupsi (IPK) di Seluruh Dunia ... 17

Gambar 4.1 Struktur Organisasi CPIB Singapura ... 61

Gambar 4.2 Struktur Organisasi ICAC Hongkong ... 65

Gambar 4.3 Struktur Organisasi CBI India ……… 69

Gambar 4.4 Struktur Central Vigilance Commission (CVC) India ……… 71

Gambar 4.5 Struktur Organisasi KPK Indonesia ……… 74

Gambar 5.1 Strategi Anti Korupsi Singapura ……… 83

Gambar 5.2 Keterkaitan antara Korupsi dengan Perbaikan Remunerasi Pegawai Negeri ……… 87

(15)

Daftar Grafik

Hal

Grafik 2.1 Peringkat Korupsi Beberapa Negara Asia ... 20

Grafik 2.2 Sektor Terlibat Kasus Penyuapan ... 24

Grafik 2.3 Wilayah yang Terkena Dampak Kasus Penyuapan ... 25

Grafik 2.4 Kecenderungan Korupsi di Singapura ……….. 28

Grafik 2.5 Kecenderungan Korupsi di Hong Kong ……… 30

Grafik 2.6 Laporan Korupsi Hong Kong ... 31

Grafik 2.7 Kecenderungan Korupsi di India ... 33

Grafik 2.8 Kecenderungan Korupsi di Indonesia ... 36

(16)

Bab I

Pendahuluan

A. LATAR BELAKANG

alah satu isu atau masalah yang paling krusial untuk dipecahkan oleh bangsa dan pemerintah Indonesia adalah masalah korupsi. Hal ini disebabkan semakin lama tindak pidana korupsi di Indonesia ini semakin sulit untuk diatasi. Maraknya korupsi di Indonesia disinyalir terjadi di semua bidang dan sektor pembangunan. Apalagi setelah ditetapkannya pelaksanaan otonomi daerah, berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang diperbaharui dengan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004, disinyalir korupsi menyebar bukan hanya terjadi pada tingkat pusat tetapi juga meluas ke tingkat daerah dan bahkan menembus ke tingkat pemerintahan yang paling kecil di daerah.

Dari penjabaran di atas, dapat dikatakan bahwa korupsi di Indonesia bukan hanya suatu fenomena tetapi sudah menjadi kultur yang sudah mengakar ke seluruh lapisan masyarakat. Dengan demikian, dapat dibayangkan betapa sulitnya menangani korupsi di Indonesia. Hal ini seperti mengobati penyakit kulit yang sudah mengakar sampai jauh ke bawah kulit dan bahkan ke daging; sulit menyembuhkannya kecuali diobati sampai ke akar-akarnya.

Pemerintah Indonesia sebenarnya tidak tinggal diam dalam mengatasi praktik-praktik korupsi. Upaya pemerintah dilaksanakan melalui berbagai kebijakan yang berupa peraturan perundang-undangan dari yang tertinggi yaitu Undang-Undang Dasar 1945 sampai dengan Undang-Undang tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Selain itu pemerintah juga membentuk komisi-komisi yang berhubungan langsung dengan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi seperti Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

(17)

Kebijakan Pemerintah Indonesia dalam hal pemberantasan korupsi adalah : 1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, khususnya pasal 21

dan pasal 5 (ayat 1)

2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana 3. Ketetapan MPR Nomor XI Tahun 1998

4. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaran Pemerintahan yang bersih dan bebas dari praktik KKN

5. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

6. Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi 7. Dibentuknya Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN)

tahun 2001 berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999

8. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPTPK)

9. Dibentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tahun 2003 berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 junto Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 junto Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002

10. Dibentuknya Tim Pemberantas Korupsi dan lain-lainnya.

Upaya pencegahan praktik korupsi juga dilakukan di lingkungan eksekutif atau penyelenggara negara, dimana masing-masing instansi memiliki Internal Control

Unit (unit pengawas dan pengendali dalam instansi) yang berupa inspektorat. Fungsi

dari inspektorat ini adalah mengawasi dan memeriksa penyelenggaraan kegiatan pembangunan di instansinya masing-masing, terutama pengelolaan keuangan negara, agar supaya kegiatan pembangunan berjalan secara efektif, efisien dan ekonomis sesuai sasaran. Di samping pengawasan internal ada juga pengawasan dan pemeriksaan kegiatan pembangunan yang dilakukan oleh instansi eksternal yaitu Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Badan Pengawas Keuangan Pembangunan (BPKP).

Selain lembaga internal dan eksternal, lembaga swadaya masyarakat (LSM) juga ikut berperan dalam melakukan pengawasan kegiatan pembangunan, terutama

(18)

kasus-kasus korupsi yang dilakukan oleh penyelenggara negara. Beberapa LSM yang aktif dan gencar mengawasi dan melaporkan praktik korupsi yang dilakukan penyelenggara negara antara lain adalah Indonesian Corruption Watch (ICW),

Government Watch (GOWA), dan Masyarakat Tranparansi Indonesia (MTI).

Dilihat dari upaya-upaya pemerintah dalam memberantas praktik korupsi di atas sepertinya sudah cukup memadai baik dilihat dari segi hukum dan peraturan perundang-undangan, komisi-komisi, lembaga pemeriksa baik internal maupun eksternal, bahkan keterlibatan LSM. Namun pada kenyataannya praktik korupsi bukannya berkurang malah meningkat dari tahun ke tahun. Bahkan Indonesia kembali dinilai sebagai negara paling terkorup di Asia pada awal tahun 2004 dan 2005 berdasarkan hasil survei dikalangan para pengusaha dan pebisnis oleh lembaga konsultan Political and Economic Risk Consultancy (PERC). Hasil survey lembaga konsultan PERC yang berbasis di Hong Kong menyatakan bahwa Indonesia merupakan negara yang paling korup di antara 12 negara Asia.1 Predikat negara

terkorup diberikan karena nilai Indonesia hampir menyentuh angka mutlak 10 dengan skor 9,25 (nilai 10 merupakan nilai tertinggi atau terkorup). Sedangkan pada tahun 2005 Indonesia masih termasuk dalam tiga teratas negara terkorup di Asia.

Peringkat negara terkorup setelah Indonesia, berdasarkan hasil survey yang dilakukan PERC, yaitu: India (8,9), Vietnam (8,67), Thailand, Malaysia dan China berada pada posisi sejajar di peringkat keempat yang terbersih. Sebaliknya negara yang terbersih tingkat korupsinya adalah Singapura (0,5) disusul Jepang (3,5), Hong Kong, Taiwan dan Korea Selatan. Untuk tahun 2006 posisi Indonesia “naik” satu peringkat dibandingkan dengan Filipina.2

Perubahan yang dilakukan China dan Thailand sungguh mengesankan, yaitu mampu mengubah reputasi negara yang bergelimang korupsi menjadi negara yang rendah korupsinya. India dan Vietnam juga mulai melakukan perbaikan melalui keinginan politik tinggi dalam mempersempit ruang korupsi. China selama satu dasawarsa terakhir melancarkan perang besar dengan korupsi. Para pejabat yang terbukti melakukan tindak pidana korupsi tidak segan-segan dibawa ke tiang

1 Kompas, 4 Maret 2004 2 Kompas, 14 Maret 2007

(19)

gantungan. Tindakan ini cukup efektif mengurangi praktik korupsi di kalangan pejabat.

Sementara Thailand juga melakukan kampanye pemberantasan korupsi secara serius. Sektor perpajakan dan pengadilan yang dianggap rawan korupsi dan kolusi dijadikan prioritas dalam target kampanye melawan korupsi. Hasilnya mengesankan. Kemajuan dalam kampanye korupsi membawa dampak positif dalam berbagai bidang kehidupan, termasuk kesanggupan membayar hutang luar negeri. Selama lima tahun Thailand mampu mencicil 50 milyar dollar AS utangnya.

Upaya penanganan korupsi yang sistematis dan berkelanjutan di negara-negara tersebut tampak begitu kontras dengan realitas yang terjadi di Indonesia. Berdasarkan studi yang dilakukan Transparency International, Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia tahun 2006 adalah 2,4 dan menempati urutan ke-130 dari 163 negara. Sebelumnya, pada tahun 2005 IPK Indonesia adalah 2,2, tahun 2004 (2,0) serta tahun 2003 (1,9).3 Hal ini menunjukkan bahwa penanganan kasus korupsi

di Indonesia masih sangat lambat dan belum mampu membuat jera para koruptor. Oleh karena itu sangatlah menarik untuk mengkaji lebih lanjut tentang strategi yang dilakukan negara-negara tersebut dalam menangani korupsi, sehingga bisa menjadi negara yang rendah tingkat korupsinya. Sehubungan dengan hal tersebut, maka Pusat Kajian Administrasi Internasional Lembaga Administrasi Negara Republik Indonesia memandang perlu untuk melakukan kajian lebih jauh tentang strategi penanganan korupsi di negara-negara Asia Pasifik, sebagai bahan masukan untuk memperkuat (revitalize) penanganan korupsi yang diterapkan di Indonesia.

B. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dirumuskan suatu permasalahan, yaitu: bagaimanakah strategi penanganan korupsi yang dilakukan di beberapa negara Asia Pasifik? Khususnya negara-negara yang berhasil mengatasi masalah korupsi sehingga dapat memperbaiki indeks persepsi korupsi yang menjadi tolok ukur korupsi suatu negara.

(20)

C. RUANG LINGKUP 1. Fokus

Kajian ini membahas tentang strategi penanganan korupsi di negara-negara Asia Pasifik dengan fokus pada pendekatan penanganan korupsi yang dilakukan yang mencakup aspek kebijakan, kelembagaan dan pencegahan.

2. Lokus

Kajian dilakukan di Indonesia dan beberapa negara Asia Pasifik (Singapura, Hong Kong dan India), dimaksudkan untuk mendapatkan data dan informasi tentang strategi penanganan korupsi pada masing-masing negara.

D. TUJUAN

Kajian ini bertujuan untuk:

1. Mengidentifikasi pendekatan-pendekatan yang dilakukan oleh beberapa negara Asia Pasifik dalam menangani masalah korupsi.

2. Memberikan rekomendasi kebijakan yang dapat diterapkan Pemerintah Indonesia tentang penanganan korupsi.

E. JADWAL

Pelaksanaan kegiatan kajian ini dilaksanakan selama 12 (dua belas) bulan pada tahun anggaran 2007.

F. METODOLOGI PENELITIAN 1. Metode Kajian

Kajian strategi penanganan korupsi di negara-negara Asia Pasifik menggunakan metode deskriptif komparatif. Metode tersebut dipilih karena kajian ini akan mendeskripsikan obyek penelitian yaitu penanganan korupsi di beberapa negara

(21)

terpilih di kawasan Asia Pasifik secara komprehensif dan kemudian akan dibandingkan (komparasi) satu sama lain untuk mendapatkan suatu kesimpulan. Kajian ini bertujuan untuk menyampaikan, menganalisis, mengklasifikasi, dan membandingkan strategi penanganan korupsi yang dilakukan oleh pemerintah di sejumlah negara terpilih.

Rangkaian kegiatan yang dilakukan terkait dengan kajian, antara lain adalah melakukan observasi awal, mencari sumber informasi yang berkaitan dengan topik strategi penanganan korupsi baik di dalam maupun luar negeri, menyusun riset desain, melakukan pengumpulan data lapangan di dalam dan luar negeri, menganalisis data dan informasi yang diperoleh dari lapangan, serta menyajikannya di dalam sebuah laporan kajian.

2. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang diadopsi dalam kajian ini adalah melalui studi literatur, dokumentasi, dan focus group discussion (FGD). Teknik ini memiliki kelebihan untuk memperoleh data dan informasi yang bersifat kualitatif. Instrumen penelitian yang digunakan adalah panduan wawancara (interview guidelines) yang digunakan pada saat pencarian data lapangan di dalam maupun di luar negeri. Panduan wawancara tersebut meliputi indikator-indikator atau besaran-besaran yang menjadi fokus dalam kajian strategi penanganan korupsi.

FGD dilakukan dengan mengundang para ahli/pakar yang terkait penerapan strategi penanganan korupsi untuk memperoleh data dan informasi empirik dari pengalaman negara-negara yang berhasil atau pun gagal menangani korupsi.

3. Analisis Data

Setelah dilakukan pengumpulan data lapangan, maka data tersebut diolah dan dianalisis dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Pendekatan ini dipilih karena diperlukan analisis yang lebih mendalam untuk dapat mengungkap latar belakang sesungguhnya dari fenomena-fenomena yang sedang diteliti atau dikaji. Dalam hal ini fenomena tersebut adalah strategi penanganan korupsi yang dilakukan oleh beberapa negara Asia Pasifik. Pemikiran logis (professional judgement), induksi dan evaluasi juga digunakan dalam pemberantasan korupsi.

(22)

4. Tahapan Kegiatan

Pelaksanaan kegiatan kajian terdiri dari beberapa tahapan dan merupakan suatu proses yang berlangsung selama 1 (satu) tahun anggaran. Pada setiap tahapan diharapkan menghasilkan output yang dapat dicapai dan terukur oleh tim pelaksana kegiatan. Untuk mempermudah pelaksanaan kegiatan kajian maka proses tersebut dapat dijabarkan dalam suatu operasionalisasi kegiatan kajian sebagai berikut.

Tabel 1.1

Operasionalisasi dan Output Tiap Tahap Kegiatan

No Tahapan Kegiatan yang dilakukan Output

1. Pengumpulan data awal dan studi literatur

− Mengumpulkan data awal dan literatur yang berkaitan dengan strategi penanganan korupsi

− Terkumpulnya data awal dan literatur yang berkaitan dengan penanganan korupsi 2. Penyusunan riset

desain

− Menyusun riset desain dan rencana penelitian

− Tersusunnya riset desain dan instumen penelitian strategi penanganan korupsi di beberapa negara Asia Pasifik

3. Pengiriman surat dan korespondensi

− Mengirimkan surat dan korespondensi ke instansi-instansi di dalam maupun luar negeri yang menjadi lokus kajian

− Terkirimnya surat dan korespondensi baik ke dalam maupun luar negeri yang menjadi lokus kajian

4. Pengumpulan data lapangan ke sejumlah instansi dalam dan luar negeri

− Melakukan kunjungan lapangan dan pencarian data penelitian di beberapa daerah dan

− Tersedianya data dan informasi mengenai strategi penanganan korupsi dari pencarian

(23)

negara yang menjadi lokus penelitian

data lapangan di sejumlah daerah dan negara.

5. Pembuatan laporan kajian sementara

− Mengolah, menganalisis, dan menyajikan hasil penelitian lapangan − Menyusun hasil analisa

data lapanan sebagai bahan pembuatan laporan akhir − Tersusunnya laporan sementara kajian strategi penanganan korupsi di beberapa negara Asia Pasifik

6. Ekspose laporan kajian sementara

− Memaparkan hasil laporan sementara pada forum LAN

− Terkumpulnya berbagai masukan baik kritik maupun saran untuk penyempurnaan laporan kajian. 7. Penyempurnaan laporan sementara menjadi laporan akhir − Merevisi laporan sementara berdasarkan hasil ekspose − Tersusunnya laporan akhir kajian strategi penanganan korupsi di beberapa negara Asia Pasifik 8. Pencetakan dan penyerahan laporan akhir − Mencetak dan menyerahkan laporan akhir − Tercetaknya laporan akhir kajian strategi penanganan korupsi di beberapa negara Asia Pasifik

(24)

Bab II

Gambaran Umum Korupsi

A. MEMAHAMI KORUPSI

orupsi bukanlah merupakan barang yang baru dalam sejarah peradaban manusia. Fenomena ini telah dikenal dan menjadi bahan diskusi bahkan sejak 2000 tahun yang lalu ketika seorang Perdana Menteri Kerajaan India bernama Kautilya menulis buku berjudul Arthashastra. Demikian pula dengan Dante yang pada tujuh abad silam juga menulis tentang korupsi (penyuapan) sebagai tindak kejahatan. Tidak ketinggalan seorang Shakespeare juga menyinggung korupsi sebagai sebuah bentuk kejahatan. Sebuah ungkapan terkenal pada tahun 1887 mengenai korupsi dari sejarahwan Inggris, Lord Acton, yaitu “power tends to corrupt, absolute

power corrupts absolutely”, menegaskan bahwa korupsi berpotensi muncul di mana

saja tanpa memandang ras, geografi, maupun kapasitas ekonomi.

Beberapa negara di Asia memiliki beragam istilah korupsi yang pengertiannya mendekati definisi korupsi. Di China, Hong Kong dan Taiwan, korupsi dikenal dengan nama yum cha, atau di India terkenal dengan istilah baksheesh, atau di Filipina dengan nama lagay dan di Indonesia atau Malaysia memiliki padanan kata yaitu suap. Semua istilah memiliki pengertian yang variatif, namun pada umumnya merujuk pada kegiatan ilegal yang berlaku di luar sistem formal. Tidak semua istilah ini secara spesifik mendefinisikan diri sebagai sebuah pengertian hukum dari praktik korupsi. Istilah-istilah ini juga belum memberikan gambaran mendalam mengenai dampak luas dari praktik korupsi. Istilah lokal yang dianggap paling mendekati pengertian korupsi secara mendalam adalah yang berlaku di Thailand, yaitu istilah

gin muong, yang secara literal berarti nation eating. Pengertian dari istilah ini

menunjukkan adanya kerusakan yang luar biasa besar terhadap kehidupan suatu bangsa akibat dari adanya perilaku praktik korupsi.

(25)

Dalam norma umum di masyarakat maupun norma khusus semisal perundangan, istilah korupsi memiliki beragam pengertian. Perbedaan pengertian ini menyebabkan implikasi hukum dan sosial yang berbeda pula di masyarakat.

Sebuah tindakan korupsi yang merugikan keuangan negara boleh jadi secara norma sosial dianggap oleh masyarakat sebagai tindakan wajar dan tidak melanggar. Ini karena pandangan dan pemahaman suatu masyarakat terhadap perbuatan korupsi berbeda dengan masyarakat lainnya. Oleh karenanya suatu masyarakat dapat menilai suatu perbuatan termasuk dalam praktik korupsi, namun tidak demikian halnya dengan masyarakat lain, terlebih dalam masyarakat yang permisif dan patronialistik.

Terlepas dari perbedaan pemahaman ini, sebenarnya terdapat ciri khas/atribut yang melekat pada tindakan korupsi, yang membedakannya dengan yang lain. Dari segi bahasa, kata korupsi berasal dari bahasa latin yaitu corruptio. Kata ini sendiri memiliki kata kerja corrumpere yang berarti busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalikkan atau menyogok.4

Dalam Wordnet Princenton Education, korupsi didefinisikan sebagai “lack of

integrity or honesty (especially susceptibility to bribery); use of a position of trust for dishonest gain.”5 Selanjutnya dalam Kamus Collins Cobuild arti dari kata corrupt

adalah “someone who is corrupt behaves in a way that is morally wrong, especially

by doing dishonesty or illegal things in return for money or power.”6 Sedangkan

dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Edisi Ketiga, Balai Pustaka, 597:2001)7,

korupsi adalah penyelewengan atau penyalahgunaan uang negara (perusahaan dsb) untuk keuntungan pribadi atau orang lain.

Sementara itu, Direktur Transparency International India, secara lebih sederhana mendefinisikan korupsi sebagai ”the use of public office for private gain”. Jadi segala tindakan penggunaan barang publik untuk kepentingan pribadi adalah termasuk kategori korupsi. Transparency International sendiri sebagai lembaga internasional yang sangat menaruh perhatian terhadap korupsi di negara-negara di dunia dan menyoroti korupsi yang dilakukan oleh birokrasi, mendefinisikan korupsi

4 Komisi Pemberantasan Korupsi, Pahami Dulu, Baru Lawan! hal 7

5 dalam LAN (2006), Kajian tentang Pola Korupsi di Lingkungan Instansi Pemerintah, Laporan Akhir

Penelitian

6 dalam Eris Yustiono (2005), Revitalisasi Isu-Isu Strategis Manajemen Sumber Daya Manusia

Sebagai Salah Satu Upaya Meminimalisir Korupsi, Jurnal Ilmu Administrasi Vol 2 No. 3 hal 274

(26)

sebagai perilaku pejabat publik, baik politikus maupun pegawai negeri yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengan dirinya, dengan cara menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka. Pengertian ini lebih dilatarbelakangi karena korupsi yang dilakukan oleh birokrasi memiliki dampak dan pengaruh negatif yang besar dan signifikan terhadap pembangunan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan masyarakat secara nasional. Jika dibandingkan dengan korupsi yang dilakukan oleh para pelaku bisnis ataupun masyarakat.

Pendapat dari beberapa pakar mengenai korupsi juga dapat dijelaskan seperti Juniadi Suwartojo (1997) menyatakan bahwa korupsi adalah tingkah laku atau tindakan seseorang atau lebih yang melanggar norma-norma yang berlaku dengan menggunakan dan/atau menyalahgunakan kekuasaan atau kesempatan melalui proses pengadaan, penetapan pungutan penerimaan atau pemberian fasilitas atau jasa lainnya yang dilakukan pada kegiatan penerimaan dan/atau pengeluaran uang atau kekayaan, penyimpanan uang atau kekayaan serta dalam perizinan dan/atau jasa lainnya dengan tujuan keuntungan pribadi atau golongannya sehingga langsung atau tidak langsung merugikan kepentingan dan/atau keuangan negara/masyarakat. Sementara Brooks8 memberikan pengertian korupsi yaitu: “Dengan sengaja

melakukan kesalahan atau melalaikan tugas yang diketahui sebagai kewajiban, atau tanpa hak menggunakan kekuasaan, dengan tujuan memperoleh keuntungan yang sedikit banyak bersifat pribadi.” Selanjutnya Alfiler9 menyatakan bahwa korupsi

adalah: “Purposive behavior which may be deviation from an expected norm but is

undertake nevertheless with a view to attain materials or other rewards.”

Bahkan Klitgaard membuat persamaan sederhana untuk menjelaskan pengertian korupsi sebagai berikut :

C = M + D – A di mana:

„ C = Corruption / Korupsi

8 dalam Alatas, (1987), Korupsi: Sifat, Sebab, dan Fungsi, Jakarta, LP3ES

9 dalam Ledivina V. Carino, (1986), Bureaucratic Corruption in Asia: Causes Consequences and

(27)

„ M = Monopoly / Monopoli

„ D = Discretion / Diskresi / keleluasaan „ A = Accountability / Akuntabilitas

Persamaan di atas menjelaskan bahwa korupsi hanya bisa terjadi apabila seseorang atau pihak tertentu mempunyai hak monopoli atas urusan tertentu serta ditunjang oleh diskresi atau keleluasaan dalam menggunakan kekuasaannya, sehingga cenderung menyalahgunakannya, namun lemah dalam hal pertanggung jawaban kepada publik (akuntabilitas).

Beberapa pengertian di atas menyoroti korupsi sebagai perilaku merugikan yang dilakukan oleh seseorang atau beberapa pihak dan tidak secara eksplisit disebutkan apakah dari unsur birokrasi, swasta, maupun masyarakat. Karena pada dasarnya tindakan korupsi bukan saja terjadi di sektor pemerintahan tetapi juga dalam dunia bisnis dan bahkan dalam masyarakat.10

Dari beberapa pendapat di atas, dapat dikatakan bahwa korupsi bukan saja dilakukan oleh kalangan birokrat, tetapi juga kalangan di luar birokrasi. Arti maupun pendefinisian tindakan korupsi juga memiliki berbagai sudut pandang yang cukup berbeda. Namun demikian, suatu tindakan dapat dikategorikan korupsi—siapa pun pelakunya—apabila memenuhi unsur-unsur:11

1. Suatu pengkhianatan terhadap kepercayaan.

2. Penipuan terhadap badan pemerintah, lembaga swasta atau masyarakat umumnya.

3. Dengan sengaja melalaikan kepentingan umum untuk kepentingan khusus. 4. Dilakukan dengan rahasia, kecuali dengan keadaan dimana orang-orang

berkuasa atau bawahannya menganggapnya tidak perlu. 5. Melibatkan lebih dari satu orang atau pihak.

6. Adanya kewajiban dan keuntungan bersama dalam bentuk uang atau yang lain.

10 lihat The World Bank Policy Paper (2000), Anticorruption in Transition, A Contribution to the

Policy Debate, Washington DC

(28)

7. Terpusatnya kegiatan (korupsi) pada mereka yang menghendaki keputusan yang pasti dan mereka yang dapat mempengaruhinya.

8. Adanya usaha untuk menutupi perbuatan korup dalam bentuk-bentuk pengesahan hukum.

9. Menunjukkan fungsi ganda yang kontradiktif pada mereka yang melakukan korupsi.

Oleh karena itu, tim peneliti menyimpulkan bahwa korupsi dapat diartikan sebagai tindakan dan perilaku yang menyimpang atau melanggar aturan, norma, dan etika dengan menyalahgunakan kekuasaan yang dimiliki, mengingkari amanat yang diemban untuk kepentingan memperkaya diri sendiri, kerabat ataupun orang lain

Korupsi yang terjadi dalam birokrasi tentunya mendapat perhatian dan penekanan tersendiri dalam kajian ini. Karena pada kasus korupsi, birokrasi atau pemerintah memiliki peranan ganda yaitu sebagai pelaku dan pemberantas korupsi itu sendiri. Sementara dunia usaha dan masyarakat berperan sebagai pelaku dan korban. Kasus-kasus korupsi yang menjadi sorotan banyak pihak baik dalam maupun luar negeri adalah korupsi yang terjadi di tubuh birokrasi. Selain berakibat luas dan destruktif terhadap pembangunan ekonomi serta masyarakat secara umum, korupsi dalam birokrasi pada umumnya berskala luas dengan jumlah (nominal) yang besar dan melibatkan pejabat negara, elit politik maupun pegawai negeri. Sedangkan kasus-kasus korupsi pada sektor bisnis, pada umumnya berskala kecil dan hanya berdampak pada perusahaannya sendiri.

Dalam studi yang dilakukan oleh Transparency International Indonesia, praktik-praktik korupsi dapat diidentifikasi meliputi

1. manipulasi uang negara, 2. praktik suap dan pemerasan, 3. politik uang, dan

4. kolusi bisnis.

Di Indonesia, untuk kategori manipulasi uang negara, sektor yang paling korup ialah pengadaan barang dan jasa mencakup konstruksi, pekerjaan umum, perlengkapan militer, dan barang jasa pemerintah. Untuk kasus suap dan pemerasan,

(29)

korupsi terbesar terjadi di kepolisian, sektor peradilan, pajak dan bea cukai, serta sektor perijinan. Korupsi juga terjadi di kalangan politisi (anggota DPR dan partai politik), serta pada praktik kolusi dalam bisnis. Untuk kasus kolusi bisnis, korupsi terbesar terjadi di tubuh militer, kepolisian, dan pegawai pemerintah lewat koperasi dan yayasan.

Dari segi aktornya, pelaku korupsi terbagi menjadi aparat pemerintah, pelaku sektor bisnis, dan warga masyarakat. Secara tradisional, pelaku korupsi biasanya hanya menyangkut pemerintah atau aparat birokrasi dengan warga. Namun demikian kecenderungan saat ini menunjukkan adanya peningkatan kontribusi atas tingkatan korupsi dari pelaku di sektor bisnis.

Pada dasarnya praktik korupsi dapat dikenal dalam berbagai bentuk umum sebagai berikut :

1. bribery (penyuapan),

2. embezzlement (penggelapan/pencurian), 3. fraud (penipuan),

4. extortion (pemerasan), dan 5. favouritism (favoritisme).

Kelima bentuk ini secara konsep seringkali overlapping satu sama lain, di mana masing-masing istilah digunakan secara bergantian. Untuk lebih mudah dalam membedakan satu konsep dengan yang lainnya, Amundsen (2000) menjelaskan masing-masing pengertian konsep secara detail. Penyuapan didefinisikan sebagai “Bribery is the payment (in money or kind) that is given or taken in a corrupt

relationship”. (Amundsen, 2000: 2). Jadi penyuapan adalah pembayaran (dalam

bentuk uang atau sejenisnya) yang diberikan atau diambil dalam hubungan korupsi. Sehingga esensi korupsi dalam konteks penyuapan adalah baik tindakan membayar maupun menerima suap. Beberapa istilah yang memiliki kesamaan arti dengan penyuapan adalah kickbacks, gratuities, baksheesh, sweeteners, pay-offs, speed

money, grease money. Jenis-jenis penyuapan ini adalah pembayaran untuk

memuluskan atau memperlancar urusan, terutama ketika harus melewati proses birokrasi formal. Dengan penyuapan ini pula maka kepentingan perusahaan atau bisnis dapat dibantu oleh politik, dan menghindari tagihan pajak serta peraturan

(30)

mengikat lainnya, atau memonopoli pasar, ijin ekspor/impor dsb. Lebih lanjut Amundsen menjelaskan bahwa penyuapan ini juga dapat berbentuk pajak informal, ketika petugas terkait meminta biaya tambahan (under-the-table payments) atau mengharapkan hadiah dari klien, serta bentuk donasi bagi pejabat atau petugas terkait.

Sedangkan penggelapan atau embezzlement didefinisikan sebagai “embezzlement is theft of public resources by public officials, which is another form

of misappropiation of public funds” (Amundsen, 2000, 3). Jadi ini merupakan

tindakan kejahatan menggelapkan atau mencuri uang rakyat yang dilakukan oleh pegawai pemerintah atau aparat birokrasi. Penggelapan ini juga bisa dilakukan oleh pegawai di sektor swasta.

Biasanya kasus korupsi selalu melibatkan dua pihak, yaitu aparat (yang menerima suap) dan warga (yang memberi suap). Namun demikian dalam kacamata hukum, penggelapan juga merupakan tindakan pidana korupsi, walaupun jenis korupsi ini tidak melibatkan warga masyarakat secara langsung, karena penggelepan hanya dilakukan oleh satu pihak saja, yaitu aparat. Penggelapan adalah salah satu bentuk korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan yang menjadi modus korupsi di negara paling korup, melibatkan pemegang kekuasaan hak monopoli. Kasus penggelapan paling banyak ditemukan adalah dalam bentuk memproteksi kepentingan bisnis mereka dengan menggunakan kekuatan politik. Di beberapa negara lain modus yang terjadi seperti upaya menasionalisasi perusahaan asing, hak properti dan hak monopoli, serta mendistribusikannya ke kelompok/golongan yang dekat dengan kekuasaan.

Adapun fraud atau penipuan diartikan sebagai “fraud is an economic crime

that involves some kind of trickery, swindle or deceit (Amundsen, 2000: 3). Fraud

adalah kejahatan ekonomi yang berwujud kebohongan, penipuan, dan perilaku tidak jujur. Jenis korupsi ini merupakan kejahatan ekonomi yang terorganisir dan melibatkan pejabat. Dari segi tingkatan kejahatan, istilah fraud ini merupakan istilah yang lebih populer dan juga istilah hukum yang lebih luas dibandingkan dengan

bribery dan embezzlement. Dengan kata lain fraud relatif lebih berbahaya dan

(31)

pejabat/instansi dalam menutupi satu hal kepada publik yang berhak mengetahuinya merupakan contoh dari jenis kejahatan ini.

Bentuk korupsi lainya adalah extortion atau pemerasan yang didefinisikan sebagai ”extortion is money and other resources extracted by the use of coercion,

violance or the threats to use force” (Amundsen, 2000: 4). Korupsi dalam bentuk

pemerasan adalah jenis korupsi yang melibatkan aparat yang melakukan pemaksaan atau pendekatan koersif untuk mendapatkan keuntungan sebagai imbal jasa atas pelayanan yang diberikan. Pemerasan ini dapat berbentuk “from below” atau “from

above”. Sedangkan yang dimaksud dengan “from above” adalah jenis pemerasan

yang dilakukan oleh aparat pemberi layanan terhadap warga

B. PETA KORUPSI DUNIA DAN REGIONAL

Saat ini fenomena korupsi terjadi di hampir semua negara, baik negara maju maupun negara berkembang. Namun demikian, di negara berkembang, tingkat korupsi cenderung tinggi dibandingkan dengan negara maju. Peta Indeks Persepsi Korupsi berikut menjelaskan distribusi geografis korupsi di seluruh dunia.

Pada Tabel 2.1, Indeks Persepsi Korupsi (IPK) masing-masing negara digambarkan dalam warna. Biru adalah negara-negara yang tingkat korupsinya paling kecil (9-10). Merah tua merupakan negara dengan tingkat korupsi terparah (1-1,9). Sedangkan warna-warna lain berada di antaranya (2-8,9) Namun sebagian besar negara-negara berkembang berada pada tingkat korupsi sedang sampai dengan parah (2-2,9), termasuk Indonesia (warna merah). Dari gambar di atas juga dapat diketahui bahwa gejala umum menunjukkan bahwa tingkat korupsi relatif berbanding lurus dengan tingkat kemiskinan.

(32)

Gambar 2.1

Peta Indeks Persepsi Korupsi (IPK) di Seluruh Dunia

Sumber: Transparency International (2006)

Korupsi juga menciptakan ketidak seimbangan dan ketidak adilan di masyarakat, sehingga korupsi sebenarnya merupakan persoalan yang kritis. Hal ini tidak lain karena praktik korupsi sangat mempengaruhi kinerja ekonomi dan pembangunan suatu negara. Pada masa lalu, rendahnya kesejahteraan dituding sebagai faktor dan akar penyebab korupsi. Perilaku korup dianggap ”menguntungkan” dalam kondisi penghasilan yang rendah. Suap menjadi suplemen pendapatan dan secara esensial akan terjadi ”trickle-down effect”. Namun saat ini, hipotesis ini banyak diragukan oleh kalangan. Banyak variabel lain yang dianggap potensial sebagai penyebab munculnya praktik korupsi, seperti nilai, budaya, perilaku, lingkungan sosial, pranata hukum dan sebagainya.

Namun demikian, satu hal yang tidak diragukan bahwa daya rusak korupsi terhadap ekonomi global sangatlah besar. Seperti yang diestimasi oleh Bank Dunia bahwa pada tahun 2003 saja, untuk biaya suap yang dibayarkan (tidak termasuk penggelapan atau bentuk korupsi lainnya) pada aktivitas ekonomi mencapai USD 1 triliun.

Di Indonesia, perhatian terhadap isu korupsi kembali menemukan momentumnya ketika era transparansi dan akuntabilitas menjadi wacana publik.

(33)

Kesadaran masyarakat akan hukum dan situasi politik, sosial dan ekonomi yang membaik, mendorong kesadaran akan pentingnya transparansi dan akuntabilitas publik. Kesadaran publik akan pentingnya memberantas korupsi juga meningkat seiring dengan meningkatnya kesadaran mereka akan hak dasar sebagai warga negara. Apalagi fakta menyebutkan bahwa Indonesia memiliki rapor korupsi yang tidak kunjung membaik.

Momentum perhatian terhadap isu korupsi ini juga diperkuat dengan situasi euforia otonomi dan semangat desentralisasi yang justru kontra produktif terhadap upaya pemberantasan korupsi secara nasional. Penelitian Bank Dunia pada tahun 2007 mengenai korupsi di tingkat daerah menunjukkan fakta bahwa desentralsasi menyuburkan korupsi di tingkat lokal. Hal ini terjadi karena adanya desentralisasi keuangan, politik dan hubungan antara lembaga pemerintah di tingkat lokal yang ditandai dengan kuatnya kedudukan lembaga legislatif dibanding lembaga eksekutif12.

Potret Indonesia dalam peta korupsi di dunia sangatlah mencolok. Sebagai contoh adalah hasil pemeringkatan korupsi oleh TI dan skor korupsi oleh PERC yang menghasilkan kesimpulan buruknya kinerja pemberantasan korupsi di Indonesia, Yang paling baru, misalnya, pada rilis Bank Dunia dan PBB (September 2007) yang memprakarsai pengembalian aset melalui program Stolen Asset Recovery Innitiatives (StAR), mantan Presiden Soeharto didudukkan di peringkat pertama sebagai pengambil aset negara terbesar di dunia, dengan estimasi aset yang diambil sekitar USD 15 - 35 milyar. Hal ini sangat bertolak belakang dengan kondisi status hukumnya di Indonesia, karena pada saat bersamaan, kasus sengketa Soeharto dengan Majalah Time terkait laporan harta kekayaan Soeharto, justru pada tingkatan kasasi di Mahkamah Agung dimenangkan oleh pihak Soeharto.

Dalam daftar peringkat pengambil aset negara terbesar yang dirilis Bank Dunia dan PBB ini, seluruhnya berasal dari negara berkembang atau negara dengan kapasitas ekonomi yang rendah, yaitu dari kawasan Asia Tenggara, Afrika, Amerika Latin dan Eropa Timur.

(34)

Terlepas dari nuansa politis diluncurkannya prakarsa ini, berkenaan dengan program pengembalian aset ini, Sekjen PBB Ban Ki-Moon13 menegaskan bahwa

”Every 100 million dollars recovered could fund full vaccinations for 4 million

children, provide water connections for some 250,000 households, or fund treatment for over 600,000 people with HIV/AIDS for a full year”. Ini berarti bahwa

dari setiap USD 100 juta yang dikembalikan, hasilnya bisa untuk membiayai vaksinasi untuk 4 juta orang anak, juga menyediakan saluran air bersih untuk 250.000 kepala kelurga (KK) atau penanganan/perawatan lebih dari 600.000 orang yang mengidap HIV/AIDS selama satu tahun penuh. Dengan demikian bisa dibayangkan betapa nilai manfaat dari pengembalian aset ini sangatlah besar. Dengan asumsi USD 10 milyar saja yang bisa kembali, maka nilai kemanfaatan yang bisa dinikmati oleh Indonesia maupun negara-begara lain yang menjadi korban korupsi akan sangat menakjubkan.

Tabel 2.1

Daftar Peringkat Pengambil Aset Negara Terbesar

versi StAR (Stolen Asset Recovery Innitiatives) Bank Dunia & PBB

No Nama Terduga Negara Estimasi Aset Tahun

1 H.M. Soeharto Indonesia USD 15 – 35 Milyar 1967 – 1988 2 Ferdinand Marcos Filipina USD 5 – 10 Milyar 1972 – 1986 3 Mobutu Sese Seko Zaire USD 5 Milyar 1965 – 1997 4 Sani Abacha Nigeria USD 2 – 5 Milyar 1993 – 1998 5 Slobodan/Milosevic Serbia USD 1 Milyar 1989 – 2000 6 Jean Claude Duvalier Haiti USD 300 – 800 juta 1971 – 1986 7 Alberto Fujimori Peru USD 600 juta 1990 – 2000 8 Pavio Lazarenko Ukraina USD 114 – 200 juta 1996 – 1997 9 Arnoldo Areman Nikaragua USD 100 juta 1997 – 2002 10 Joseph Estrada Filipina USD 70 – 80 juta 1998 – 2001

Sumber : Diolah dari Kompas online, 18 September 2007

13 Dalam Artikel ”Rekor Koruptor ”Top Markotop” oleh M. Fadjroel Rachman di Kompas, 20

(35)

Di tingkat regional pun, posisi Indonesia mendapat tempat yang sangat kontras dengan peringkat paling bawah. Peringkat yang dikeluarkan oleh beberapa lembaga independen yang berbeda dengan variabel dan metode pengukuran yang berbeda, namun menunjukkan adanya konsistensi hasil pengukuran.

Grafik berikut merupakan pemeringkatan negara hasil pengolahan oleh

Political and Economy Risk Consultancy (PERC)—sebuah lembaga independen yang

berbasis di Hong Kong—menunjukkan peringkat korupsi negara-negara di Asia berdasarkan perhitungan skor, sebagai berikut:

Grafik 2.1

Peringkat Korupsi Beberapa Negara Asia

Sumber : PERC, Corruption in Asia, 2006

Rentang skor dari nol sampai 10, di mana skor nol adalah mewakili posisi terbaik, sedangkan skor 10 merupakan posisi skor terburuk. Ini merupakan survey tahunan yang dilakukan oleh PERC untuk menilai kecenderungan korupsi di Asia dari tahun ke tahun. Dalam hal ini PERC bertanya kepada responden untuk menilai kondisi di mana mereka bekerja sekaligus juga untuk menilai kondisi negara asalnya

(36)

masing-masing. Metode ini digunakan agar dapat menghasilkan data perbandingan antar negara (cross-country comparison), sehingga survey ini dapat dimanfaatkan untuk mengevaluasi bagaimana persepsi terhadap suatu negara berubah seiring waktu.

Kabar baik yang didapatkan dari survey PERC tahun 2006 ini adalah persepsi ekspatriat terhadap korupsi adalah membaiknya penanganan korupsi di banyak negara-negara Asia. Dengan kata lain, iklim bisnis di Asia menuju ke iklim yang sehat yang ditandai dengan berkurangya praktik korupsi. Kesimpulan ini didapatkan setelah membandingkan dari tahun ke tahun untuk pertanyaan survey yaitu ”how big

is the problem of corruption in terms of its being a feature influencing the overall business environment?”. Skor yang didapat dari 10 negara (dari 12 negara yang

disurvey), menunjukkan adanya perbaikan.

Sayangnya perbaikan iklim bisnis pada tingkat regional ini tidak didukung oleh iklim di tingkat nasional. Dari daftar peringkat di atas diketahui bahwa Indonesia menempati urutan terbawah dari 13 negara yang diukur. Data PERC ini ternyata sejalan dengan hasil survey Transparency International, sehingga menegaskan validitas buruknya kondisi korupsi di Indonesia.

Grafik di atas juga menunjukkan adanya kecenderungan negara dengan kemapanan ekonomi lebih baik, mempunyai tingkat korupsi yang rendah. Sehingga semakin renda kapasitas ekonomi suatu negara, potensi korupsinya juga semakin besar. Konsistensi ini juga terlihat pada peta distribusi IPK di dunia yang dihasilkan oleh TI, di mana, wilayah yang IPK nya tinggi, lebih banyak terletak pada negara-negara yang secara ekonomi mapan. Walaupun hipotesis ini masih perlu pengujian lebih lanjut, namun secara umum yang terlihat mengindikasikan adanya konsistensi tersebut.

Selain CPI atau Corruption Perception Index, TI juga menerbitkan Bribe

Payer Index (BPI) yaitu adalah indeks lain yang dikembangkan untuk mengukur

tingkat penyuapan yang dilakukan oleh perusahaan yang beroperasi di luar negeri. BPI ini dilakukan pada 30 negara yang termasuk pemimpin ekspor yang terkemuka di dunia.

Rentang skala 1 sampai dengan 10, di mana skala 1 menunjukkan bahwa penyuapan adalah biasa, sementara skala 7 menunjukkan bahwa penyuapan tidak

(37)

pernah terjadi. Hasil dari perhitungan rata-rata kemudian dikonversi ke rentang skor 1 – 10. Indonesia “beruntung” tidak termasuk dalam list, bukan karena tidak terdapat praktik suap-menyuap, namun karena kapasitas ekonomi Indonesia tidak sebesar ke 30 negara di atas. 30 negara di atas adalah negara-negara yang secara akumulatif mewakili 82% kapasitas ekspor dunia. Berdasarkan data tersebut, Diane Mak membagi negara-negara tersebut dalam 4 cluster, yaitu:

1. Cluster 1: Switzerland, Sweden, Australia, Austria, Canada, UK, Germany, Netherlands, Belgium, USA, Japan

2. Cluster 2: Singapore, Spain, United Arab Emirates, France, Portugal, Mexico 3. Cluster 3: Hong Kong, Israel, Italy, South Korea, Saudi Arabia, Brazil, South

Africa, Malaysia

4. Cluster 4: Taiwan, Turkey, Russia, China, India.

Dengan pengelompokan ini, maka cluster 1 merupakan kelompok negara dengan kebiasaan praktik penyuapan yang paling sedikit, atau hampir tidak terjadi, sementara cluster 4 mewakili negara dengan kondisi praktik suap yang parah dan dianggap biasa dalam aktivitas bisnis.

Adapun kalau dilihat dari segi sektor, maka terdapat 7 sektor yang paling sering terlibat dalam kasus praktik penyuapan. Sektor-sektor tersebut adalah:

1. kepolisian,

2. pelayanan/perijinan, 3. peradilan,

4. pelayanan medis, 5. pendidikan,

6. pendapatan umum dan 7. pajak.

(38)

Tabel 2.2

Indeks Penyuapan Beberapa Negara

(39)

Grafik 2.2

Sektor terlibat kasus Penyuapan

Sumber : TI Global Corruption Barometer, 2006.

TI menemukan bahwa kepolisian merupakan sektor yang paling rawan, sementara pajak merupakan sektor yang paling aman dari dari ketujuh sektor terhadap praktik penuapan. Gambaran sektor ini tidak mencerminkan gambaran masing-masing negara, namun merupakan agregasi dari seluruh negara yang disurvey. Oleh karenanya terdapat variasi ranking sektor pada masing-masing negara.

Ranking sektor ini tidak menunjukkan besarnya nominal nilai uang yang berputar dalam praktik korupsi di masing-masing sektor. Sedangkan dari segi distribusi wilayah, diketahui bahwa ternyata benua Afrika merupakan kawasan yang paling banyak mencatat praktik penyuapan ini, sementara wilayah Uni Eropa merupakan wilayah yang dinyatakan relatif paling bersih. Posisi Asia Pasifik terletak di ranking 4 dari 7 wilayah yang dikelompokkan. Grafik berikut secara rinci menunjukkan masing-masing posisi wilayah.

Polisi Pelayanan

Perijinan Peradilan/ Hukum Pelayanan Medis Pendidikan Sistem Pekerjaan Umum Pendapatan Pajak

Prose n ta se R e sp on den Pembaya r Sua p

(40)

Grafik 2.3

Wilayah yang terkena dampak kasus Penyuapan

Sumber : TI Global Corruption Barometer, 2006.

Memperhatikan data-data sekunder di atas, maka sangat wajar kalau banyak suara yang pesimis mengenai prospek pemberantasan korupsi di Asia, khususnya di Indonesia. Korupsi di Asia bukan sesuatu yang tidak mungkin diberantas. Bahkan korupsi juga bukan merupakan bagian dari budaya Asia atau negara-negara berkembang. Hal ini telah dibuktikan dengan baik oleh Singapura dan Cili yang secara agresif berhasil memberantas korupsi, sehingga menempatkan mereka menjadi negara dengan kategori jauh lebih bersih melebihi negara-negara Eropa Barat seperti Perancis dan Spanyol.

Sehubungan dengan kepentingan penelitian ini, maka dipilih 3 negara yang mewakili profil korupsi yang terbaik yaitu Singapura dan Hon Kong, serta profil korupsi yang lemah yaitu India. Pemilihan ini lokus ini didasarkan pada beberapa pertimbangan penting. Pemilihan Singapura dan Hong Kong lebih di dasarkan pada fakta bahwa kedua negara termasuk paling sukses dalam upaya pemberantasan korupsi. Sedangkan pemilihan India adalah atas dasar pertimbangan kemiripan struktur pemerintahan dan cakupan (coverage) wilayah yang relatif sama luasnya.

Total Sampel Afrika Amerika Latin NIS Asia Pasifik Eropa Amerika Utara UE +

Prose n ta se R e sp on den Pembaya r Sua p

(41)

Sehingga ada asumsi bahwa kompleksitas pemasalahan yang dihadapi relatif juga sama. Pertimbangan lain yang tidak kalah pentingnya bahwa India dicatat oleh PERC telah menghasilkan kemajuan besar dalam upaya pemberantasan korupsi ini.

Berikut ini adalah perbandingan umum masing-masing sampel negara yang menjadi lokus kajian ini.

Tabel 2.3

Perbandingan Profil 4 Negara dalam Penanganan Korupsi

Kelembagaan Tahun Perundangan Cakupan

Peringkat di Asia (2006) Singapura CPIB 1952 2 UU Skala kota/lokal 1 Hong Kong ICAC 1974 3 UU Skala kota/lokal 3

India CBI*, CVC 1963,1964 5 UU Skala nasional 8 Indonesia KPK,

Kepolisian, Kejaksaan

2002 7 UU Skala nasional 13

Sumber : Diolah dari berbagai sumber

Dalam perbandingan di atas, dapat diketahui bahwa Singapura merupakan pionir dalam upaya pemberantasan korupsi. Sejak didirikannya Corrupt Practices Investigation Bureau (CPIB) pada tahun 1952, Singapura kini telah mencatatkan diri sebagai negara paling bersih korupsi di tingkat Asia, dan bahkan di dunia pun Singapura diakui secara internasional.

Sementara Hong Kong menandai permulaan perjuangan pemberantasan korupsi dengan membentuk lembaga independen ICAC pada tahun 1974. Hong Kong harus melewati kompromi politik antar lembaga terkait, terutama bagi beberapa lembaga yang diduga melakukan praktik korupsi, untuk memuluskan strategi pemberantasan korupsinya. Dalam waktu singkat Hong Kong meraih hasil yang sangat maju, sehingga berhasil masuk kategori wilayah paling bersih di Asia setelah Singapura dan Jepang.

Perlu diperhatikan bahwa terdapat persamaan profil antara Singapura dan Hong Kong di mana keduanya memiliki wilayah teritori yang kecil, seukuran kota.

(42)

Fokus pemberantasan korupsi pada kedua negara menjadi lebih baik karena cakupan yang kecil atau “city concern”. Kondisi geografis ini menguntungkan keduanya dalam melakukan percepatan pemberantasan korupsi, karena daya jangkau yang lebih cepat.

Sebagai negara di Asia yang berprestasi dalam hal pemberantasan korupsi, Singapura dan Hong Kong boleh jadi merupakan contoh yang ideal. Namun apabila memperhatikan variabel lain yang membedakan karakteristik kedua negara dengan negara-negara lainnya maka Singapura dan Hong Kong menjadi terlalu jauh untuk dijadikan benchmark dalam memberantas korupsi. Sebagai contoh, kondisi luas wilayah geografis Indonesia yang puluhan kali lebih besar dari Singapura dan Hong Kong, tentu akan memunculkan kompleksitas permasalahan di lapangan yang jauh lebih rumit.

India sebagai negara dengan wilayah daratan yang luas, mempunyai karakteristik permasalahan yang mirip dengan Indonesia. Kondisi geografis menyebabkan struktur pemerintahan di India juga bertingkat, disesuaikan dengan kebutuhan distribusi kekuasaan pada jenjang vertikal dari pusat ke daerah (negara bagian) dan horizontal, mencakup seluruh wilayah pada tataran level pemerintahan yang sama. Indonesia dengan kondisi yang relatif sama juga mempunyai profil dan struktur pemerintahan yang berjenjang.

C. KORUPSI DI BEBERAPA NEGARA 1. SINGAPURA

Sejarahnya Singapura mulai menjadi koloni Inggris sejak tahun 1819. Pada tahun 1963 bergabung dengan Federasi Malaysia, namun dua tahun kemudian memisahkan diri dari Malaysia dan menjadi merdeka. Singapura dikenal sebagai salah satu negara paling sejahtera di dunia dengan jaringan perdagangan internasional yang kuat, terutama didukung oleh adanya aktivitas pelabuhan Singapura yang termasuk pelabuhan paling sibuk di dunia. Kondisi ekonomi yang sangat bagus dicerminkan oleh Gross Domestic Product (GDP) per kapita yang menyamai atau setara dengan negara-negara Eropa Barat.

(43)

Singapura menganut tipe pemerintahan republik parlementer, dengan dukungan konstitusi 3 Juni 1959, yang sudah diamandemen pada tahun 1965. Struktur pemerintah Singapura adalah sebagai berikut:

1. Kepala Negara adalah Presiden

2. Kepala Pemerintahan adalah Perdana Menteri yang dibantu oleh Senior Minister dan Minister Mentor.

Sedangkan kelembagaan legislatif Singapura menganut Parlemen Unikameral, dengan jumlah kursi 84 buah, dihasilkan dari pemilihan umum untuk masa periode 5 tahun. Sebagai tambahan tersedia 9 kursi untuk calon anggota legislatif yang dinominasikan, dan 3 kursi untuk pihak oposan yang kalah, yang ditunjuk sebagai anggota non-konstituen (nonconstituency members).

Grafik 2.4

Kecenderungan Korupsi di Singapura

Sumber : PERC, Corruption in Asia, 2006

Berdasarkan laporan PERC, Singapura adalah salah satu negara yang secara konsisten sebagai negara paling bersih korupsi di level Asia. Konsistensi ini ditunjukkan oleh grafik berikut ini, di mana skor yang dimiliki Singapura selalu berada di atas skor rata-rata Asia selama kurun waktu 10 tahun terakhir.

(44)

Singapura adalah negara dengan kinerja pemberantasan korupsi terbaik di Asia, bahkan termasuk yang terbaik di dunia. Dengan skor yang mendekati angka absolut 0, Singapura mencatatkan diri sebagai negara dengan konsistensi pemberantasan korupsi yang paling baik. Grafik di atas bahkan membuktikan bahwa skor yang dimiliki oleh Singapura berada jauh di atas rata-rata skor Asia.

2. HONG KONG

Wilayah Hong Kong berada di bawah pemerintahan kolonial Inggris pada tahun 1841, dan setahun kemudian secara resmi dilepaskan oleh Cina. Berdasarkan perjanjian antara Cina dengan Inggris pada tanggal 19 Desember 1984, Hong Kong berubah status dan nama resmi menjadi the Hong Kong Special Administrative

Region (SAR) of China mulai tanggal 1 Juli 1997. Pada perjanjian ini, Cina

menjanjikan formula “one country, two system”, yang berimplikasi bahwa sistem ekonomi sosialis Cina tidak akan diberlakukan di Hong Kong, serta Hong Kong akan menikmati otonomi yang sangat luas, mencakup banayk kewenangan kecuali urusan luar negeri dan pertahanan sampai dengan 50 tahun ke depan.

Hong Kong berlokasi di wilayah Asia Timur, berbatasan langsung dengan Cina dan Laut Cina Selatan, dengan total luas 1.092 km persegi. Sampai dengan Juli 2007 diperkirakan populasi penduduk di Hong Kong mencapai 6.980.412 jiwa dengan struktur demografi 13% usia di bawah 14 tahun, 74% usia produktif antara 15 – 64 tahun, serta 12,9% untuk usia pensiun yaitu 65 tahun ke atas.

Penyelenggaraan pemerintahan Hong Kong didukung oleh konstitusi mini (Basic Law) yang telah disetujui oleh China’s National People’s Congress pada Maret 1990. Secara formal struktur lembaga eksekutif terdiri atas :

1. Kepala Negara adalah Presiden Cina

2. Kepala Pemerintah adalah Chief Executive, yang dipilih oleh 800 anggota komisi pemilihan untuk setiap periode 5 tahunan,

3. Kabinet yaitu Executive Council yang terdiri dari 14 anggota resmi dan 15 anggota tidak resmi.

Sedangkan lembaga legislatif dikenal dengan nama LEGCO atau Legislative

(45)

Berdasarkan laporan PERC, kondisi penanganan korupsi di Hong Kong relatif stabil. Walaupun ada penurunan sedikit dalam 2 tahun erakhir, namun penurunan ini tidak signifikan, karena kecenderungan penuruan ini juga terjadi pada skor rata-rata Asia.

Grafik 2.5

Kecenderungan Korupsi di Hong Kong

Sumber : PERC, Corruption in Asia, 2006

Sama halnya dengan Singapura, kinerja pemberantasan korupsi di Hong Kong tergolong sangat baik. Dalam 10 tahun terakhir, skor yang di capai Hong Kong selalu berada di atas skor rata-rata Asia. Capaian ini menempatkan Hong Kong sebagai salah satu wilayah yang paling bersih korupsi di Asia.

Namun demikian terdapat data menarik dari ICAC mengenai kecenderungan pelaku korupsi di Hong Kong, yang meningkat dari segi jumlah, maupun dari sektor-sektor di mana para pelaku itu berasal.

Grafik di bawah menunjukkan kecenderungan praktik korupsi di Hong Kong adalah meningkat dalam kurun 30 tahun lebih. Apabila diperhatikan pada tahun 1974–1978 terjadi penurunan praktik korupsi. Berdasarkan keterangan informan, pada periode tersebut terjadi resistensi yang hebat dari beberapa pihak terhadap upaya pemberantasan korupsi di Hong Kong oleh ICAC. Akhirnya, karena situasinya menjadi deadlock, maka diputuskan untuk dilakukan pengampunan massal kepada

Gambar

Grafik berikut merupakan pemeringkatan negara hasil pengolahan oleh  Political and Economy Risk Consultancy (PERC)—sebuah lembaga independen yang  berbasis di Hong Kong—menunjukkan peringkat korupsi negara-negara di Asia  berdasarkan perhitungan skor, seba
Gambar 4.3 Struktur Organisasi CBI India

Referensi

Dokumen terkait

Bank Perkreditan Rakyat didefinisikan oleh Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 sebagai bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan atau

Proses adsorpsi lebih banyak digunakan karena memiliki banyak keuntungan diantaranya bersifat ekonomis dan tidak menimbulkan efek samping yang beracun dan sangat

SKPD,namun RPIJM merupakan dokumen teknis operasional pembangunan bidang Cipta Karya yang berisikan rencana investasi sesuai kebutuhan dan kemampuan daerah. RPIJM

penulisan Laporan Akhir ini tepat pada waktunya yang berjudul “ Prosedur Reservasi Tiket Pesawat Domestik Sriwijaya Air di PT Sky Manari Wisata Tour dan

Berdasarkan masalah penelitian dan hipotesis-hipotesis yang dikembangkan dalam penelitian ini yang telah diuji dengan SEM, justifikasi konsep penelitian ini membuktikan

Masukkan adaptor sekat pada kabel pemasangan bagian depan yang disediakan melalui lubang-lubang pada setiap siku dan kunci dari depan dengan menggunakan perangkat keras yang

disimpulkan bahwa profitabilitas berpengaruh signifikan terhadap kebijakan deviden dan leverage berpengaruh signifikan terhadap kebijakan deviden serta growth

Penelitian ini bertujuan untuk menguji pengaruh profitabilitas, struktur modal, ukuran perusahaan dan pertumbuhan penjualan terhadap nilai perusahaan pada perusahaan