• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II LANDASAN TEORI"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

commit to user

14 BAB II

LANDASAN TEORI

Suatu penelitian memerlukan teori yang tepat agar sesuai dengan objek kajian, teori digunakan untuk mengetahui objek penelitian, maka dalam penelitian dibutuhkan teori pendekatan yang sesuai dengan objek yang akan dikaji. Menurut Pradopo (2010:120-121) karya sastra merupakan struktur yang bermakna mengingat bahwa karya sastra merupakan sistem tanda yang memiliki makna dan menggunakan bahasa sebagai mediumnya.

1. Pengertian Puisi dan Geguritan

Perkataan “puisi” berasal dari bahasa Yunani, yang juga dalam bahasa Latin poietes (Latin poeta). Asal katanya poieo atau poio atau poeo yang artinya membangun, menyebabkan, menimbulkan, menyair (Situmorang, 1983:10). Vincil C. Coulter (dalam Situmorang, 1983:11) memberi keterangan tentang puisi

poetry itu sebagai berikut : Kata poet berasal dari bahasa Greek (Yunani) yang

berarti membuat, mencipta (to make, to create). Di inggris kata poet ini lama sekali disebut maker.

Hudson (dalam Sutejo dan Kasnadi,2009:2) menyatakan bahwa puisi merupakan salah satu cabang sastra yang menggunakan kata-kata sebagai medium penyampaian untuk membuahkan ilusi dan imajinasi, seperti halnya lukisan yang menggunakan garis dan warna dalam menggambarkan gagasan pelukisnya.

Menurut Pradopo (2005:7) puisi itu mengekspresikan pemikiran yang membangkitkan perasaan yang merangsang imajinasi panca indra dalam susunan yang berirama. Semua itu merupakan sesuatu yang penting, yang direkam dan

(2)

commit to user

diekspresikan, dinyatakan dengan menarik dan memberi kesan. Pradopo menyimpulkan bahwa puisi itu merupakan rekaman dan interpretasi pengalaman manusia yang penting,digubah dalam wujud yang paling berkesan.

Altenbernd (dalam Pradopo, 2010:5-6) mengungkapkan bahwa puisi adalah pendramaan pengalaman yang bersifat penafsiran dalam bahasa berirama (as the interpretive dramatization of experience in metrical language). Dari pengertian-pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa puisi adalah karya sastra sebagai media untuk mengungkapkan pikiran dan perasaan pengarangnya yang menggunakan bahasa sebagai mediumnya berdasarkan pengalaman batin pengarangnya.

Kata geguritan berasal dari kata gurit yang artinya kidung/tembang, sedangkan geguritan berarti tembang yang berwujud purwakanthi (Poerwadarminta, 1939:157). Geguritan sendiri digunakan untuk menyebut puisi Jawa Modern. Dalam geguritan, pengarang bebas berekspresi tanpa terikat dengan konvensi-konvensi tertentu seperti pada tembang ataupun kidung.

Sutadi (1997:35) mengungkapkan bahwa puisi Jawa Modern dalam hal ini

geguritan ialah apa yang dikomunikasikan oleh penyairnya, bertumpu pada rasa

kemanusiawiannya, dengan memeras kemampuan dan daya guna kata-kata bahasa Jawa, mengacu pada kehidupan yang digumulinya dengan naugan kode bahasa dan budayanya, dalam orientasi mengindonesia, serta mengimbau keterlibatan penyambutan pada khalayaknya.

Perbedaan puisi Indonesia modern dengan geguritan (puisi Jawa Modern) adalah pada medium yang digunakan. Puisi Indonesia modern menggunakan

(3)

commit to user

bahasa Indonesia sebagai mediumnya sedangkan geguritan menggunakan bahasa Jawa sebagai mediumnya.

2. Struktur Puisi

Karya sastra termasuk puisi dalam hal ini geguritan merupakan sebuah struktur. Struktur karya sastra merupakan susunan unsur-unsur yang bersistem, yang antara unsur-unsurnya terjadi hubungan yang timbal balik, saling menentukan. Jadi, kesatuan unsur-unsur dalam sastra bukan hanya berupa kumpulan atau tumpukan hal-hal atau benda-benda yang berdiri sendiri-sendiri, melainkan hal-hal itu saling terikat, saling berkaitan, dan saling bergantung (Pradopo, 2005 : 118 – 119).

Abrams (dalam Burhan Nurgiyantoro,2005:36) menyatakan bahwa pendekatan struktural merupakan pendekatan yang menekankan pada hubungan antar unsurnya. Suatu karya sastra, fiksi atau puisi menurut kaum strukturalisme adalah suatu totalitas yang dibangun secara koherensif oleh berbagai unsur pembangunnya. Struktur karya sastra dapat diartikan sebagai susunan, penegasan, dan gambaran semua bahan serta bagian yang menjadi komponennya yang secara bersama membentuk kebulatan yang indah.

Penelitian ini menggunakan teori semiotika Riffattere. Teori semiotika merupakan teori mengenai tanda yang juga mengaplikasikan teori strukturalisme. Hawkes (dalam Pradopo, 2010:199-120) menyatakan bahwa strukturalisme itu pada dasarnya merupakan cara berfikir tentang dunia yang terutama berhubungan dengan tanggapan dan deskripsi struktur-struktur seperti tersebut diatas. Menurut pikiran strukturalisme dunia (karya sastra merupakan dunia yang diciptakan

(4)

commit to user

pengarang) lebih merupakan susunan hubungan daripada susunan benda-benda. Oleh karena itu, kodrat tiap unsur dalam struktur itu tidak mempunyai makna dengan sendirinya, melainkan maknanya ditentukan oleh hubungannya dengan semua unsur lainnya yang terkandung dalam struktur itu.

Struktur puisi memiliki koherensi atau pertautan erat antarunsur. Unsur -unsur tersebut tidak otonom, melainkan merupakan bagian dari situasi yang rumit dan dari hubungannya dengan bagian lain, unsur-unsur itu mendapatkan artinya (Culler dalam Pradopo, 2010:120)

Strukturalisme dinamik adalah strukturalisme dalam kerangka semiotik, yaitu dengan memperhatikan karya sastra sebagai sistem tanda (Pradopo, 2005:280). Pradopo mengungkapkan bahwa yang harus dikuak dalam sebuah sajak adalah arti bahasa dan suasana, perasaan, intensitas diri,arti tambahan (konotasi), daya rilis pengertian yang ditimbulkan tanda-tanda kebahasaan atau tanda-tanda lain yang ditimbulkan oleh konvensi sastra, misalnya tipografi, enjambemen, sajak, baris sajak, ulangan, dan lain-lain.

Hubungan bentuk, konsep dan acuan dalam semiotika C.S Pierce diungkapkan oleh Ogden dan Richards yang dikutip John Lyons (1968:44) sebagai berikut :

Makna (konsep)

Kata

Bentuk referen/acuan

Garis putus-putus di antara bentuk kata dan referen atau acuan menunjukkan bahwa hubungan diantara keduanya tidak langsung. Bentuk kata

(5)

commit to user

dihubungkan kepada referennya atau acuannya melalui makna konseptual yang mempunyai hubungan independen terhadap bentuk kata dan terhadap referen atau acuan.

Menganalisis puisi sebenarnya bertujuan untuk menemukan makna puisi. Dengan kata lain, menganalisis puisi adalah usaha untuk menangkap dan memberi makna kepada teks sastra, sebab karya sastra merupakan sistem tanda yang memiliki makna dan menggunakan bahasa sebagai mediumnya (Pradopo, 1995 : 120)

Michael Riffaterre tidak mengemukakan tentang struktur, sehingga dalam penelitian ini untuk membedah struktur menggunakan teori struktur Roman Ingarden. Analisis struktural dalam penelitian ini dilakukan dengan mengidentifikasi, mengkaji, dan mendeskripsikan unsur-unsur struktural dalam karya sastra puisi berdasarkan analisis strata norma Roman Ingarden. Analisi strata norma berupa lapis suara (sound stratum), lapis arti (units of meaning), lapis objek, latar dan pelaku, lapis dunia dan lapis metafisika dalam dua puluh enam guritan karya Irul S Budianto yaitu Ing Pucuking Sepi, Ing Antarane,

Marang Angin lan Ombak, Terminal, Tlaga lan Rembulan, Amsal Adohing Laku, Vertikal, Tali-tali ayat-Mu, Tembang Pamungkas, Sepi, Layang 1, Layang 2, Ngungak Korining Wengi, Gurit Wendi, Wis Daktemu, Dalan 1, Dalan 2, Grenjeting Kapercayan, Ritus Sedina-dina, Ana Ngendi Slira-Mu, Wit Pari, Suling, Ana Ing Urip, Wengi Iku, Silhuet, Meditasi.

Analisis strata norma dimaksudkan untuk mengetahui semua unsur (fenomena) karya sastra yang ada. Dengan demikian, akan dapat diketahui unsur-unsur pembentukannya dengan jelas. Namun analisis yang hanya

(6)

memecah-commit to user

mecah demikian, dapat berakibat mengosongkan makna karya sastra (T.S. Eliot via Sansom, 1960:155). Karena itu, analisis strata norma harus ditingkatkan ke analisis semiotik, karya sastra sebagai sistem tanda yang bermakna. Tiap-tiap fenomena atau unsur karya sastra itu mempunyai makna atau arti.

Dengan analisis strata norma dan semiotik, maka karya sastra atau puisi akan dapat didapatkan makna sepenuhnya dan dapat dipahami sebagai karya seni yang bernilai puitis (estetis) yaitu dengan mengingat fungsi estetik setiap fenomena atau unsur-unsur karya sastra puisi.

3. Religiositas

Religius berasal dari bahasa Latin Lerigare yang berarti mengikat. Religio berarti ikatan atau pengikatan, sehingga religius dapat diartikan sebagai keterikatan manusia terhadap Tuhan sebagai sumber ketentraman dan kebahagiaan (Dojosantoso, 1986:3).

Situasi kehidupan religius orang Jawa sangat majemuk. Banyak agama

yang dianut, baik agama pribumi maupun agama impor. Sebelum Hindusme dan Budhisme yang diimpor dari negeri India masuk, bahkan sejak masa pra sejarah, agaknya orang-orang Jawa telah menganut agama asli yang bercorak animistik-dinamistik (Masroer, 2004 : 19).

Quinque viae (panca marga untuk membuktikan adanya Tuhan) Thomas Aquinas berpangkal pada kenyataan, pada hal ikhwal dunia yang nampak, lalu dalam suatu penalaran yang dari sudut pandang logika tiada lubangnya, membeberkan, bahwa adanya dunia ini mustahil tanpa adanya seorang penggerak pertama, sebab musabab pertama mutlak ada dan uang mencakup ada itu secara

(7)

commit to user

paripurna, seorang pengatur tertinggi et hoc dicimus Deum, dan itulah yang kita namakan Tuhan ( Zoetmulder, 2000 : 5).

Agama lebih merujuk pada kebaktian kepada Tuhan dengan aturan dan hukum yang resmi. Religiositas merupakan kekuatan dan dorongan dari diri seseorang untuk memahami mengenai Ketuhanan. Pengalaman religius dapat diperoleh ketika manusia mampu menangkap simbol-simbol yang ada di sekitarnya.

Masyarakat Jawa dikenal sebagai masyarakat yang memiliki religiositas yang tinggi. Hal ini dilandasi dengan keyakinan bahwa di luar kekuatan dan kekuasaan manusia ada sumber kekuatan dan kekuasaan yang Maha hebat, ialah Pangeran ingkang Maha Agung (Dojosantosa, 1986:10). Wawasan hidup masyarakat Jawa mengarah kepada sikap keterikatan manusia kepada Tuhan sebagai sumber ketentraman dan kebahagiaan (Dojosantosa, 1986:15).

4. Strata norma puisi

Wellek (dalam Pradopo, 1990: 15) mengemukakan analisis strata norma menurut Roman Ingarden sebagai berikut : (1) Lapis norma pertama adalah lapis bunyi (sound stratum). Suara sebagai konvensi bahasa, disusun sedemikian rupa hingga menimbulkan arti. Sehingga suara itu tidak hanya sekadar suara tidak berarti. Dengan adanya suara-suara itu, akan bisa ditangkap artinya atau maksud dari puisi tersebut; (2) Lapis arti (unit of meaning), yaitu berupa rangkauan fonem, suku kata, kata, frase, dan kalimat. Semuanya merupakan satuan-satuan arti ; (3) Lapis yang berupa latar, pelaku, objek-objek yang dikemukakan, dan dunia pengarang yang berupa cerita atau lukisan ; (4) Lapis “dunia” yang dipandang dari

(8)

commit to user

titik pandang tertentu yang tak perlu dinyatakan, tetapi terkadung dalamnya

(implied) ; (5) Lapis metafisis, berupa sifat-sifat metafisis yang sublim, tragis,

mengerikan atau menakutkan, dan suci. Melalui sifat-sifat seni ini dapat memberikan renungan atau kontemplasi kepada pembaca.

5. Semiotika Michael Riffattere (Semiotika Puisi)

Model struktur semiotik muncul sebagai akibat ketidakpuasan terhadap kajian struktural. Jika struktural sekedar menitikberatkan aspek instrinsik, semiotik tak demikian halnya, karena paham semiotik mempercayai bahwa karya sastra memiliki sistem tersendiri (Endraswara, 2011:64). Kemudian muncul kajian struktural semiotik yang menghubungkan aspek-aspek struktur dengan tanda-tanda sekecil apapun.

Semiotik merupakan ilmu yang mempelajari hubungan antara sign (tanda-tanda) berdasarkan kode tertentu. Semiotik menurut de Saussure yaitu adanya hubungan antara penanda (signifiant) dan petanda (signifie) yang dalam karya sastra pun terdapat hubungan tersebut. Penanda adalah aspek formal atau bentuk tanda itu, sedangkan petanda adalah aspek makna atau konseptual dari penanda. Melalui semiotika karya sastra akan terpahami arti di dalamnya. Arti dalam pandangan semiotik adalah meaning of meaning disebut juga makan (significance).

Tanda-tanda dalam karya sastra telah ditata oleh pengarang sehingga ada sistem, konvensi, dan aturan-aturan tertentu. Tanpa memperhatikan hal-hal yang terkait dengan tanda, makna pemaknaan karya sastra tidaklah lengkap. Nuta (Endraswara, 2011:65) membagi tiga jenis sarana komunikasi, yaitu signals, sign,

(9)

commit to user

symbol. Signals adalah tanda-tanda yang merupakan elemen terendah, seperti

halnya sebuah stimulus pada sebuah binatang. Sign adalah tanda-tanda. Symbol adalah lambang yang bermakna. Ketiganya seringkali digunakan tidak secara terpisah dalam dunia sastra.

Pemberian makna melibatkan peranan teks pembaca a. Peranan pembaca dalam puisi

Peranan pembaca sangat penting karena karya sastra tak akan ada artinya tanpa adanya pembaca yang mengapresiasi dan mengkritik karya sastra tersebut. Dalam analisis semiotik yang ditekankan adalah sejauh mana peran pembaca menentukan karena mereka bertindak sebagai subjek pelaku yang menciptakan pertalian teks, penafsiran, dan interteks. Sedangkan sebagai objek mereka menginterpretasi tanda-tanda dalam puisi tersebut.

Pembaca mempunyai horison harapan sendiri, maka tiap pembaca akan memberikan makna yang berbeda dengan pembaca lain. Jausz menyatakan bahwa apresiasi pembaca pertama terhadap sebuah karya melalui tanggapan-tanggapan yang lebih lanjut dari generasi ke generasi (Pradopo, 1995:116) b. Peranan penulis dalam puisi

Kedudukan penulis dalam penafsiran karya sastra dikemukakan oleh Juhl melalui tiga dalih. Pertama, ada kaitan logis antara sebuah arti karya sastra dan niat penulisnya. Kedua, penulis yang nyata terlibat tanggungjawab atas proposisi yang diajukan dalam karyanya, jadi karya sastra antara sastra dan kehidupan. Ketiga, karya sastra mempunyai satu dan hanya satu arti saja. Apa yang diniatkan oleh kata-kata dipergunakan oleh penulis dalam karya sastranya

(10)

commit to user

adalah sesuatu yang dipikirkan sebelum penciptaan, niat justru terwujud dalam proses perumusan kalimat-kalimat yang dipakai dalam karya (Teeuw, 1984:177) c. Pembacaan heuristik dan hermeneutik

Pembacaan heuristik adalah pembacaan yang berdasarkan pada struktur bahasanya secara semiotik adalah berdasarkan konvensi sistem semiotik tingkat pertama. Dalam pembacaan ini karya sastra dibaca secara linear, sesuai dengan struktur bahasa sebagi sistem tanda semiotik tingkat pertama. Untuk menjelaskan arti bahasa bilamana perlu susunan kalimat dibalik seperti susunan bahasa secara normatif, diberi tambahan kata sambung (dalam kurung), kata-kata dikembalikan kedalam bentuk morfologinya yang normatif. Bilamana perlu, kalimat karya sastra diberi sisipan-sisipan arti kata atau sinonimnya, ditaruh dalam tanda kurung supaya artinya menjadi jelas (Pradopo, 1995:295).

Pembacaan hermeneutik adalah pembacaan ulang dari awal sampai akhir dengan penafsiran. Pembacaan ini adalah pemberian makna berdasarkan konvensi sastra (Pradopo, 1995:297)

d. Intertekstualitas (Hipogram)

Intertekstualitas juga berlaku pada puisi yang merupakan tanggapan terhadap karya sebelumnya. Tanggapannya bisa berupa penyimpangan atau meneruskan tradisi. Penyair meresapi, menyerap, dan kemudian mentransformasikan ke dalam puisi-puisinya. Mentranformasi adalah memindahkan sesuatu dalam bentuk atau wujud lain, yang pada hakikatnya sama (Pradopo, 1995:229). Istilah yang digunakan oleh Riffaterre yakni hipogram. Hipogram adalah teks yang menjadi latar penciptaan teks lain atau puisi yang

(11)

commit to user

menjadi latar penciptaan puisi yang lain atau disebut teks induk. Dalam interteks yang ditekankan adalah pemahaman dan pemberian makna teks tersendiri. e. Wacana puitik

Wacana puitik adalah kesepadanan yang ditentukan di antara kata dan teks, atau antara sebuah teks dengan teks lain. Menurut Riffaterre wacana tak langsung puisi disebabkan oleh tiga hal yaitu penggantian arti (displacing of

meaning), penyimpangan arti (distorting of meaning), dan penciptaan arti

(creating of meaning).

1. Penggantian arti (displacing of meaning)

Penggantian arti ini menurut Riffaterre disebabkan oleh penggunaan metafora dan metonimi dalam karya sastra. Metafora dan metonimi ini dalam arti luasnya untuk menyebut bahasa kiasan pada umumnya. Jadi, tidak terbatas pada bahasa kiasan metafora dan metonimi saja. Hal ini disebabkan oleh metafora dan metonimi itu merupakan bahasa kiasan yang sangat penting hingga dapat mengganti bahasa kiasan lainnya.

Pada umumnya kata-kata kiasan menggantikan arti sesuatu yang lain lebih-lebih metafora dan metonimi. Dalam penggantian arti suatu kata (kiasan) berarti yang lain tidak (tidak menurut arti sesungguhnya) (Pradopo, 1995:210). Metafora merupakan pergeseran dari suatu sifat ke dalam sifat lain berdasarkan asosiasi kaitan atau asosiasi perbandingan. Sedangkan metonimi merupakan kiasan pengganti nama.

2. Penyimpangan arti (distorting of meaning)

Penyimpangan arti merupakan penyimpangan bahasa secara evaluatif atau secara emotif dari bahasa biasa ditujukan untuk membentuk kejelasan,

(12)

commit to user

penekanan, hiasan, humor, atau sesuatu efek yang lain. Riffaterre (1978:2) mengemukakan bahwa penyimpangan arti disebabkan oleh tiga hal, yaitu pertama oleh ambiguitas, kedua oleh kontradiksi, dan ketiga oleh nonsense. Penyimpangan arti disebabkan oleh tiga hal yaitu :

a) Ambiguitas

Ambiguitas adalah keragu-raguan atau ketidakpastian dalam menafsirkan makna kata atau ungkapan dalam karya sastra karena adanya beberapa kemungkinan. Adanya ambiguitas ini akan memberikan arti sesuai dengan asosiasinya. Asosiasi ini mampu memberikan efek pada setiap pembaca berbeda-beda dikarenakan perbedaan pengalaman batin pembaca.

b) Kontradiksi

Kontradiksi adalah salah satu cara menyampaikan sesuatu dengan menggunakan pertentangan atau secara berlawanan. Hal ini disebabkan oleh paradoks dan ironi. Paradoks adalah semacam gaya bahasa yang mengandung pertentangan yang nyata dengan fakta-fakta yang ada. Paradoks dapat juga berarti semua hal yang menarik perhatian karena kebenarannya (Keraf, 2010:136). Ironi atau sindiran adalah suatu acuan yang ingin mengatakan sesuatu dengan makna atau maksud berlainan dari apa yang terkandung dalam rangkaian kata-katanya (Keraf,2010:143).

c) Nonsense

Nonsense adalah bentuk kata-kata yang secara linguistik tidak

mempunyai arti, sebab tidak terdapat pada kosa kata, karena hanya berupa rangkaian bunyi yang tidak terdapat dalam kamus. Akan tetapi dalam puisi

(13)

commit to user

mempunyai makna sesuai arti sastra berdasarkan konvensi sastra (Pradopo,1995:219).

3. Penciptaan arti (creating of meaning)

Penciptaan arti ditimbulkan melalui enjambement, homologue, dan tipografi (Riffaterre, 1978:2). Penciptaan arti ini merupakan konvensi kepuitisan yang berupa bentuk visual yang secara linguistik tidak mempunyai arti, tetapi menimbulkan makna di dalam puisi. Jadi, penciptaan arti ini merupakan organisasi teks di luar linguistik.

a) Simetri

Simetri yaitu keseimbangan berupa persejajaran antara bait-bait atau antara baris-baris dalam bait (Pradopo, 1995:220).

b) Rima

Rima merupakan pengulangan bunyi dalam puisi untuk musikalitas dan dalam mengulang bunyi ini penyair juga mempertimbangkan lambang bunyi. Dengan cara ini, pemilihan bunyi-bunyi mendukung perasaan dan suasana puisi (Waluyo, 2003:90). Rima dalam larik diperinci menjadi : aparliterasi, asonansi, desonansi, dan anafora.

(1) Aliterasi dimaksudkan sebagai runtutan konsonan dalam larik seperti : desir, hari, lari, berenang.

(2) Asonansi yaitu runtutan paroh suku kata terakhir dalam larik seperti : berjuang, pulang, berkubang.

(3) Desonansi adalah runtun ragangan konsonan kata dalam larik seperti : bolak-balik, compang-camping.

(14)

commit to user

(4) Anafora ialah runtun suku awal kata yang sama dalam larik, seperti :

bernyanyi, beria, berlupa.

Rima bisa juga dibedakan menjadi rima awal, rima tengah dan rima akhir, ketiga rima itu diperhatikan menjadi rima terus (a a a a), rima berpasangan (a a b b), rima bersilang (a b a b), rima berpeluk ( a b b a), dan rima putus (a a a b atau a b a c).

c) Homologues

Homologues tampak dalam sajak pantun. Misalkan makna yang mengeras (intensitas arti) dan kejelasan yang diciptakan oleh ulangan bunyi dan paralelisme (Pradopo, 1995:220). Penciptaan arti telah mencakup aspek formal puisi. Homologues tampak dalam bentuk sajak pantun yang berisi baris-baris yang sejajar, baik bentuk visual ataupun kata-katanya, persejajaran suara itu menyebabkan timbulnya arti yang sama.

d) Enjambemen

Enjambemen adalah pemutusan kalimat untuk diletakkan pada baris berikutnya. Pemutusan atau perlompatan kalimat ke baris berikutnya pada puisi ini berfungsi untuk membangun satuan kata atau kalimat yang menunjukkan satu kandungan tertentu, atau untuk memberi tekanan makna baris tersebut.

e) Tipografi

Salah satu ciri yang membedakan puisi dengan karya sastra lain pada bentuk tulisannya atau tata wajah. Melalui indera mata tampak bahwa puisi tersusun atas kata-kata yang membentuk larik-larik puisi. Larik-larik itu disusun ke bawah dan terikat dalam bait-bait.

(15)

commit to user

Banyak kata, larik maupun bait ditentukan oleh keseluruhan makna puisi yang ingin dituliskan penyair. Dengan demikian satu bait puisi bisa terdiri dari satu kata bahkan satu huruf saja. Dalam hal cara penulisannya puisi tidak selalu harus ditulis dari tepi kiri dan berakhir di tepi kanan seperti bentuk tulisan umumnya. Susunan penulisan dalam puisi disebut tipografi (Pradopo, 2005:210). f) Matriks, Model, dan Varian

Secara teoretis puisi merupakan perkembangan dari matriks menjadi model dan ditransformasikan menjadi varian-varian. Dalam menganalisis karya sastra (puisi) matriks diabstraksikan berupa satu kata, gabungan kata, bagian ka-limat atau kaka-limat sederhana (Salam, 2009:7). Matriks, model, dan varian-varian dikenali pada pembacaan tahap kedua.

Matriks bersifat hipotesis dan di dalam struktur teks hanya terlihat sebagai aktualisasi kata-kata. Matriks bisa saja berupa sebuah kata dan dalam hal ini tidak pernah muncul di dalam teks. Matriks selalu diaktualisasikan dalam varian-varian. Bentuk varian-varian tersebut diatur aktualisasi primer atau pertama, yang disebut sebagai model. Matriks, model, dan teks merupakan varian-varian dari struktur yang sama. Kompleksitas teks pada dasarnya tidak lebih sebagai pengembangan matriks. Dengan demikian, matriks merupakan motor atau generator sebuah teks, sedangkan model menentukan tata cara pemerolehannya atau pengembangannya.

Referensi

Dokumen terkait

Pendidikan karakter melalui musik merupakan salah satu cara yang memuat potensi besar dalam mendidik manusia di zaman sekarang, namun perlu diteliti lebih lanjut jenis musik

Potensi dan komposisi sapi Bali yang dapat dikeluarkan setiap tahun tanpa mengganggu populasi yang ada sebesar 13,11% setara dengan 354 ekor terdiri dari sisa replacement stock

20. Melakukan penyusunan rencana pelayanan asuhan keperawatan gigi dan mulut pada individu, kelompok dan masyarakat. 21. Melakukan

Agar validitas metode ini terjamin, maka akan diberikan suatu contoh kasus dari persamaan integral fuzzy Volterra dan membandingkan penyelesaian eksak dan

Sehingga dengan bercermin dari kisah orang Samaria yang baik hati, kita dapat melihat, memutuskan, dan menjalankan secara komperehensif perlakuan yang baik, tepat, dan sesuai

Penelitian dilakukan terhadap 2 kelompok mencit yaitu mencit yang tidak diinfeksi bakteri (normal) dan mencit yang diinfeksi bakteri Escherichia coli (E. coli)

Untuk memberikan gambaran yang jelas terhadap pembahasan, serta agar analisis menjadi terarah dan sesuai dengan masalah yang ada, maka penulis membatasi ruang lingkup

Bahasa Indonesia adalah Bahasa nasional Bangsa Indonesia. Sebagai bahasa nasional, Bahasa Indonesia berfungsi sebagai bahasa pemersatu berbagai bahasa daerah