• Tidak ada hasil yang ditemukan

Oleh : Nadia Ayu Fadhilah NIM :

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Oleh : Nadia Ayu Fadhilah NIM :"

Copied!
155
0
0

Teks penuh

(1)

DETIK.COM Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)

Oleh :

Nadia Ayu Fadhilah NIM : 11160510000044

PROGRAM STUDI JURNALISTIK

FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF

HIDAYATULLAH JAKARTA 1442 H/2020 M

(2)
(3)
(4)
(5)

iv ABSTRAK Nama : Nadia Ayu Fadhilah

Judul : Analisis Wacana Kritis Pemberitaan Penyandang Disabilitas Mental (PDM) Di Detik.Com

Penyandang Disabilitas Mental (PDM) sering kali dipandang sebagai kelompok yang berbahaya, cenderung melakukan kekerasan, meresahkan masyarakat, dan berbeda dengan manusia pada umumnya. Media massa juga kerap menampilkan stigma buruk terhadap PDM dalam pemberitaan. Bahkan, selain digambarkan sebagai kelompok marjinal yang berbahaya, PDM juga sering dijadikan objek dalam berita, baik objek belas kasihan maupun objek hiburan. Salah satu media online yang pemberitaannya memarjinalisasi dan menstigmakan PDM secara buruk adalah Detik.com.

Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap bagaimana marjinalisasi dilakukan Detik.com dalam pemberitaannya terhadap PDM. Penelitian ini menggunakan teori analisis wacana model Theo Van Leeuwen. Dalam wacana Van Leeuwen, ia memusatkan perhatiannya pada bagaimana aktor dimarjinalkan posisinya melalui proses eksklusi (pengeluaran aktor) dan inklusi (pemasukan aktor).

Paradigma yang digunakan adalah paradigma kritis, yaitu paradigma yang beranggapan bahwa media didominasi oleh kelompok dominan dalam masyarakat yang menjadi sarana untuk meneguhkan kelompok dominan sekaligus memarjinalkan kelompok yang tidak dominan. Pendekatan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara observasi teks berita, wawancara, dan dokumentasi.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa Detik.com melakukan marjinalisasi dalam pemberitaan seputar PDM. Hal ini terlihat dari bagaimana cara Detik.com memberitakannya, mulai dari pemberian label yang buruk, pemberian identitas PDM sebagai kelompok yang tidak diinginkan secara sosial, serta memojokkan posisi PDM melalui kata, kalimat, informasi dan cara bercerita dalam pemberitaan. Hal ini ditemukan dari keempat berita Detik.com yang dianalisis dengan metode analisis wacana model Theo Van Leeuwen.

(6)

v

Kata kunci : Penyandang Disabilitas Mental (PDM), Marjinalisasi, Stigma, Stereotipe, Theo Van Leeuwen, Detik.com.

(7)

vi

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya kepada penulis sehingga peneliti dapat menyelesaikan penelitian skripsi dengan judul “Analisis Wacana Kritis Pemberitaan Penyandang Disabilitas Mental (PDM) di Detik.com”.

Skripsi ini merupakan kontribusi yang peneliti lakukan sebagai mahasiswa Program Studi Jurnalistik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta sekaligus sebagai syarat memperoleh gelar Sarjana Sosial (S.Sos). Banyak pihak yang berpartisipasi dalam proses penelitian serta mendukung peneliti untuk menyelesaikan karya akhir ini. Oleh karena itu, peneliti ingin mengucapkan terima kasih kepada:

1. Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof. Dr. Hj. Amany Burhanuddin Umar Lubis, Lc. M.A.

2. Dekan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi, Suparto, M.Ed., Ph.D; Wakil Dekan I Bidang Akademik, Dr. Siti Napsiah, MSW; Wakil Dekan II Bidang Administrasi, Dr. Sihabudin Noor, M.Ag; serta Wakil Dekan III Bidang Kemahasiswaan, Cecep Castrawijaya, M.A.

3. Ketua Program Studi Jurnalistik, Kholis Ridho, M.Si dan Sekretaris Program Studi Jurnalistik, Dra. Hj. Musfirah Nurlaily, M.A.

(8)

vii

4. Dosen pembimbing, Dr. Rubiyanah, M.A., yang telah mengarahkan, serta memberikan kritik dan saran terhadap penelitian ini.

5. Seluruh dosen Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi yang telah memberikan ilmunya kepada peneliti.

6. HRD Detik.com, Nanang Supriyatna dan pihak Detik.com lainnya yang telah memfasilitasi dan membantu peneliti untuk melakukan wawancara.

7. Narasumber penelitian : Redaktur Biro Jawa Timur Fatichatun Nadiroh, Redaktur Pelaksana Biro Jawa Barat Erna Mardiana, Redaktur Pelaksana Biro Makassar Noval Dhwinuari, dan Redaktur Detikfood Devi Setya Lestari yang telah berkenan meluangkan waktu untuk diwawancarai.

8. Orang tua tercinta, Ayahanda Mohamad Ngumar S.Pd dan Ibunda Sri Rahayu S.Pd yang tidak pernah berhenti memberikan banyak kasih sayang, dukungan serta doa bagi penulis untuk menyelesaikan penulisan skripsi ini. 9. Adik satu-satunya, Muhammad Faisal Aziz yang selalu

bersedia menjadi teman diskusi.

10. Keluarga besar UKM Bahasa-FLAT, baik kakak-kakak maupun teman-teman angkatan 2016 yang telah membersamai selama berproses di UKM.

11. Teman-teman LPM Journoliberta dan abang-abang JL yang telah mengajarkan banyak hal seputar jurnalistik, serta tidak pernah bosan untuk memberikan masukan.

(9)

viii

12. Crusita Maharani dan Annisa Karlina yang selalu membantu dan mensupport peneliti dalam proses mengerjakan skripsi; Lulu Mujadidah, Aulia Fikriani, Devi Permata, Wanda Saphira, dan teman-teman jurnalistik angkatan 2016 yang telah menemani selama masa perkuliahan.

13. Teman-teman Alumni Daarul Rahman 3 Angkatan 5 : Rahma Iqbalia, Tasya, Tania, Syafiq, dan teman-teman lain yang selalu menemani dan menyemangati peneliti dalam setiap situasi dan kondisi.

14. Teman-teman Sweet Kontrakan, Nauroh Nadzifah, Putri Sulistianingrum dan Dinda Pertiwi yang telah menembersamai selama kurang lebih tiga tahun. Semoga kesuksesan selalu menyertai kalian.

15. Terakhir, peneliti ingin mengucapkan terima kasih kepada diri sendiri yang selalu mau berjuang dalam situasi apapun. So proud of you!

Peneliti menyadari karya ilmiah ini berpotensi memiliki kekurangan, baik dari segi penulisan, tata bahasa, analisis, dan lainnya. Namun, peneliti berharap karya ilmiah ini dapat berkontribusi dalam Ilmu Jurnalistik.

Jakarta, 22 Oktober 2020

(10)

ix DAFTAR ISI

LEMBAR PERNYATAAN ... i

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

LEMBAR PENGESAHAN ... iii

ABSTRAK ... iv KATA PENGANTAR ... vi DAFTAR ISI ... ix DAFTAR TABEL ... xi BAB I PENDAHULUAN ... 1 A. Latar Belakang ... 1 B. Batasan Masalah... 7 C. Rumusan Masalah ... 7

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 8

E. Tinjauan Kajian Terdahulu ... 9

F. Metodologi Penelitian ... 11

G. Sistematika Penulisan ... 16

BAB II KAJIAN PUSTAKA ... 19

A. Landasan Teori ... 19

1. Media Dalam Perspektif Kritis ... 19

2. Teori Wacana Kritis ... 21

3. Analisis Wacana Model Theo van Leeuwen ... 24

4. Media dan Kelompok Marjinal ... 30

5. Jurnalisme Online ... 34

6. Penyandang Disabilitas Mental ... 37

B. Kerangka Berpikir ... 40

BAB III GAMBARAN UMUM LATAR PENELITIAN ... 42

(11)

x

B. Visi dan Misi Detik.com ... 44

C. Penghargaan Detik.com ... 45

D. Struktur Redaksi ... 45

E. Situs-Situs Detik.com ... 52

BAB IV DATA DAN TEMUAN PENELITIAN ... 55

A. Analisis Teks Pemberitaan ... 55

1. Analisis Berita 1 ... 55

2. Analisis Berita 2 ... 59

3. Analisis Berita 3 ... 62

4. Analisis Berita 4 ... 66

BAB V PEMBAHASAN ... 73

BAB VI SIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN ... 90

A. Simpulan ... 90

B. Implikasi ... 91

C. Saran ... 92

DAFTAR PUSTAKA ... 94

(12)

xi

DAFTAR TABEL

Tabel 1.1 Pemberitaan Marjinalisasi Penyandang Disabilitas

Mental di Detik.com ... 14

Tabel 3.1 Susunan Redaksi Detik.com ... 45

Tabel 3.2 Susunan Redaksi Biro Daerah Detik.com ... 50

Tabel 3.3 Struktur Keredaksian Detik.com ... 51

Tabel 4.1 Analisis Teks Berita 1 Berjudul “Saat Orang Gangguan Jiwa Rekam e-KTP, Minta Bakso Jumbo Hingga Tertawa Sendiri” ... 55

Tabel 4.2 Analisis Teks Berita 2 Berjudul “Aksi Polisi Lumpuhkan Pria Berpisau di Sukabumi ... 59

Tabel 4.3 Analisis Teks Berita 3 Berjudul “Keluarga Soal Pemobil Teriak Kafir : Pernah Dirukiah Lalu Muntah Ulat”... 62

Tabel 4.4 Analisis Teks Berita 4 Berjudul “Banjir Pujian! Driver Ojol Beri Makan Orang Dengan Gangguan Jiwa” ... 66

(13)

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Penyandang Disabilitas Mental (PDM) merupakan salah satu kelompok rentan yang masih menerima stigma berat di masyarakat, bahkan dalam level keluarga sekalipun. Mereka dianggap berbahaya, berbeda dengan manusia pada umumnya hingga harus dipasung, diisolasi, dibuang, atau dikonsentrasikan pada tempat-tempat khusus untuk ditampung agar mereka tidak mengganggu masyarakat lainnya.

Salah satu penelitian tentang PDM oleh Komnas HAM, yaitu hasil penelitian Putriyani dan Sari (2016:4) tentang stigma masyarakat terhadap PDM di Kabupaten Aceh Besar menunjukkan bahwa 73,5% responden beranggapan bahwa PDM itu berbahaya, 75% responden beranggapan bahwa PDM cenderung melakukan kekerasan, 70,6% beranggapan bahwa PDM mengganggu orang lain, 64,1% beranggapan bahwa PDM itu menakutkan sehingga harus dijauhi.1

Data tersebut menunjukkan bahwa masih banyak stigma buruk yang diberikan kepada PDM. Stigma buruk ini merupakan perilaku diskriminatif yang sering dilakukan

1 M.Felani Budi Hartanto dan Isnenningtyas Yulianti, HAM

Penyandang Disabilitas Mental di Panti Rehabilitasi Sosial (Jakarta: Komisi

(14)

masyarakat terhadap PDM. Masyarakat masih sering kali beranggapan bahwa PDM adalah kelompok yang berbahaya, cenderung melakukan kekerasan dan kericuhan, meresahkan masyarakat, serta berbagai stigma buruk lainnya.

Di samping berbagai stigma negatif, PDM juga kerap dijadikan objek hiburan atau bahan lelucon di ruang publik. Menurut Dr. Munawar Yusuf, dosen FKIP dan Psikologi Universitas Sebelas Maret, anak-anak penyandang disabilitas, termasuk tunagrahita (keterbelakangan mental) sering menjadi bahan tertawaan saat mereka melakukan sesuatu. Padahal mereka adalah individu yang memiliki hak untuk dihormati dan disamakan kedudukannya.2

Hal tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Negara Republik Indonesia Pasal 28 I ayat 2 menyebutkan bahwa setiap orang berhak bebas atas perlakuan diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang diskriminatif. Maka dari itu, PDM sebagai warga Indonesia sekaligus kaum marjinal memiliki hak untuk tidak mendapat perilaku diskriminatif, termasuk marjinalisasi dalam kehidupan bermasyarakat.

Dalam Al-Qur‟an juga disebutkan bahwa Allah SWT. menyampaikan larangan mendiskriminasi kaum disabilitas. Ayat ini disampaikan dalam surat An-Nur ayat 61 yang berbunyi :

2(https://sahabatkeluarga.kemdikbud.go.id/laman/index.php?r=tpost/x

view&id=249900345), Paradigma Keliru tentang Penyandang Disabilitas, diakses pada 31 Agustus 2020.

(15)

ٰٰٓى َلَع

لََو

َ

ٌ۬ جَرَح ِضيِرَۡلۡٱ ىَلَع َلََو ٌ۬ جَرَح ِجَرۡعَ ۡلۡٱ ىَلَع َلََو ٌ۬ جَرَح ٰىَمۡعَ ۡلۡٱ ىَلَع َسۡيَّل

ُيُب ۡو

أ ۡم ُڪِٕٮ

َ

اَبا َء ِتىُيُب ۡو

ٰٓ

أ ۡم ُڪِتىُيُب ۢن ِم

َ

ْاىُلُكۡأَت نَأ ۡم ُڪ ِسُفهَأ

ۡو

أ ۡم ُكِت

َ

ـ َه َّم

ٰ

أ ِتى

ُ

ۡم ُڪِت

ٰ

ـ َّم َع ِتىُيُب ۡو

أ ۡم ُڪ ِم

َ

ـ َم ۡع

ٰ

أ ِتىُيُب ۡو

َ

أ ۡم ُڪِتٲَى َخ

َ

أ ِتىُيُب ۡو

َ

أ ۡم ُڪِهٲَى ۡخِإ ِتىُيُب

َ

ۡم ُڪ ِقي ِد َص ۡو

أ ۤۥ ُه َحِتا َف َّم مُت ۡڪ

َ

َلَم اَم ۡوَأ ۡم ُڪِتٰـَلٰـَخ ِتىُيُب ۡوَأ ۡمُكِلٲَىۡخَأ ِتىُيُب ۡوَأ

(١٦)……… Tidak ada halangan bagi orang buta, tidak [pula] bagi orang pincang, tidak [pula] bagi orang sakit, dan tidak [pula] bagi dirimu sendiri, makan [bersama-sama mereka] di rumah kamu sendiri atau di rumah bapak-bapakmu, di rumah ibu-ibumu, di rumah saudara-saudaramu yang laki-laki, di rumah saudaramu yang perempuan, di rumah saudara bapakmu yang laki-laki di rumah saudara bapakmu yang perempuan, di rumah saudara ibumu yang laki-laki di rumah saudara ibumu yang perempuan, di rumah yang kamu miliki kuncinya atau di rumah kawan-kawanmu ……… (QS. An-Nur (24):61)

Ayat ini secara eksplisit menegaskan kesetaraan sosial antara penyandang disabilitas dan mereka yang bukan penyandang disabilitas. Maka dari itu, penyandang disabilitas termasuk PDM harus diperlakukan secara sama dan diterima secara tulus tanpa diskriminasi dalam kehidupan sosial.3 Dari penafsiran tersebut semakin memperjelas bahwa Islam mengecam sikap dan tindakan

3

(https://islam.nu.or.id/post/read/83401/pandangan-islam-terhadap-penyandang-disabilitas), Pandangan Islam Terhadap Penyandang Disabilitas, diakses pada 31 Agustus 2020

(16)

diskriminatif terhadap para penyandang disabilitas. Terlebih diskriminasi yang berdasarkan kesombongan dan jauh dari akhlaqul karimah.

Salah satu faktor yang dapat mempengaruhi sikap marjinalisasi masyarakat terhadap PDM adalah media massa. Media massa memiliki peran yang cukup besar terhadap tindakan masyarakat kepada PDM mengingat media massa dipandang sebagai jendela yang memungkinkan khalayak melihat apa yang terjadi atau sebagai sarana untuk mengetahui sebuah peristiwa (window on event and experiences).4

Ironisnya media massa seringkali melakukan misinterpretasi dalam pemberitaan. Penggambaran PDM di media massa diidentikkan dengan pengganggu, pembuat onar dan keributan, hingga menjadi bahan tertawaan. Hal ini tentunya akan berpotensi mempengaruhi cara pandang pembaca yang merupakan khalayak masyarakat dalam memandang kelompok tersebut.

Paul Hunt dalam studinya pada tahun 1991, mencatat ada 10 jenis stereotip yang digambarkan media terhadap penyandang disabilitas : Orang cacat yang dikasihani atau menyedihkan, objek keingintahuan atau kekerasan, ancaman kejahatan, sebagai atmosfer, bahan tertawaan, musuh terburuknya sendiri, sebagai beban sosial, sebagai nonseksual, dan tidak dapat berpartisipasi dalam kehidupan

4 Denis McQuail, Mass Communication Theories, Fourth Edition

(17)

sehari-hari.5 Dr. Naveed Saleh, penulis isu kesehatan Amerika Serikat, menyebutkan bahwa penggambaran media tentang orang-orang yang menderita penyakit mental sering mengarah pada stigmatisasi atau remeh-temeh.6

Dari penjelasan di atas, dapat dilihat bahwa media sering kali menggambarkan kelompok penyandang disabilitas, khususnya PDM, dengan stigma dan stereotip yang buruk. Penggambaran seperti inilah yang mengakibatkan ruang informasi, wawasan dan pemahaman masyarakat terhadap persoalan disabilitas, khususnya disabilitas mental sangat terbatas. Secara tidak langsung, pemberitaan tersebut dapat menyebabkan PDM diturunkan derajatnya sebagai masyarakat kelas bawah yang tidak setara dengan masyarakat pada umumnya.

Perlindungan terhadap kelompok marjinal/ minoritas dalam media sudah dijamin dalam Pedoman Perilaku Penyiaran–Standar Program Siaran (P3-SPS) Pasal 15 ayat 1 dan 2 (P3SPS KPI, 2009) yang memuat tentang kewajiban memperhatikan dan melindungi hak dan kepentingan kelompok masyarakat minoritas dan marjinal.7 Terlebih PDM merupakan kelompok marjinal dengan karakteristik tertentu yang memiliki kekhususan. Jadi seharusnya media

5 (http://www.disabilityplanet.co.uk/critical-analysis.html). Media

Representation of Disabled People Diakses pada 29 Agustus 2020

6 (https://www.verywellmind.com/mental-health-stigmas-in-mass-

media-4153888), How the Stigma of Mental Health is Spread by Mass Media diakses pada 30 Agustus 2020

7 (www.kpi.go.id). Pedoman Perilaku Penyiaran–Standar Program

(18)

memberitakan PDM dengan lebih humanis, bukan malah memarjinalisasi PDM dalam teks pemberitaan.

Dalam penelitian ini penulis meneliti pemberitaan seputar PDM di Detik.com, salah satu media daring terbesar di Indonesia. Peneliti meyakini bahwa media daring dengan dukungan teknologi digital dan internet dapat membuat potensi penyebaran suatu wacana lebih masif. Dengan kemajuan teknologi internet yang semakin cepat, masyarakat dapat mengakses setiap berita kapanpun dan dimanapun. Hal itu, juga mendorong cepat dan luasnya penyebaran suatu wacana yang dibuat media massa.

Jika wacana pemberitaan stigma negatif terhadap kelompok tertentu, termasuk PDM dipublikasikan di media daring, pandangan negatif tentang kelompok PDM akan semakin meluas. Hal tersebut tentunya sangat mengkhawatirkan, karena wacana dengan stigma negatif terhadap kelompok PDM dapat menimbulkan sikap diskriminatif masyarakat terhadap kelompok tersebut.

Dalam melihat teks pemberitaan yang diproduksi oleh media, teks tidak bisa dipandang sebagai sesuatu yang netral, tetapi menyangkut konteks di mana bahasa dipakai untuk tujuan dan praktik tertentu termasuk praktik memarjinalkan suatu kelompok. PDM sebagai bagian dari kelompok marjinal merupakan salah satu kelompok yang sering mengalami marjinalisasi dalam wacana pemberitaan.

Berdasarkan alasan di atas, maka penulis tertarik untuk meneliti permasalahan ini dengan judul “Analisis

(19)

Wacana Kritis Pemberitaan Penyandang Disabilitas Mental (PDM) di Detik.com”. Alasan penulis memilih isu ini adalah adanya keresahan terkait penggambaran dalam pemberitaan yang memarjinalisasi PDM. Berita dengan konten tersebut seharusnya lebih humanis dan adil.

Selain itu, penelitian secara spesifik tentang pemberitaan PDM di media massa, baik jurnal maupun skripsi di Indonesia masih sangat minim. Mayoritas dari refrensi akademis tentang isu disabilitas di media massa masih seputar disabilitas secara umum. Sedangkan isu PDM secara spesifik dibahas dalam penelitian seputar kesehatan, sosial dan HAM. Hal inilah yang kemudian menjadi keistimewaan dari penelitian ini.

B. Batasan Masalah

Dalam pemberitaan Penyandang Disabilitas Mental (PDM) terdapat banyak persoalan, meliputi pemberitaan media yang timpang, memojokkan, dan kurang tepat. Ketimpangan ini bisa juga karena media menganggap kelompok PDM kurang memiliki nilai dalam berita tersebut. Berangkat dari kompleksnya persoalan ketimpangan PDM dalam ruang media, maka peneliti membatasi penelitian ini dalam konteks bagaimana teks pemberitaan tentang PDM diproduksi oleh media.

C. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang dan batasan masalah yang dikemukakan, maka rumusan masalah dalam penelitian ini

(20)

adalah bagaimana wacana marjinalisasi Penyandang Disabilitas Mental (PDM) diproduksi dalam media online?

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Berangkat dari rumusan masalah yang sudah tersaji, tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana wacana marjinalisasi Penyandang Disabilitas Mental (PDM) diproduksi dalam media online.

2. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut : a. Manfaat Akademis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan wawasan mengenai bagaimana kelompok marjinal, khususnya Penyandang Disabilitas Mental (PDM), digambarkan dalam media daring melalui perspektif kritis. Melalui penelitian ini, penulis berharap dapat memberikan refrensi bagi peneliti-peneliti selanjutnya mengenai penggambaran kelompok marjinal dalam ruang media.

b. Manfaat Praktis

Secara praktis, penulis ingin menyuarakan mengenai ketidakadilan penggambaran Penyandang Disabilitas Mental (PDM) di ruang media, mengingat PDM merupakan kelompok marjinal dengan karakteristik tertentu. Penulis berharap penelitian ini

(21)

dapat mengurangi normalisasi sikap diskriminasi masyarakat dan pelabelan buruk terhadap PDM. Karena sikap tersebut akan semakin menyulitkan PDM untuk hidup sebagai manusia yang setara dalam kehidupan.

E. Tinjauan Kajian Terdahulu

a. Skripsi karya Angga Bima Suharto, mahasiswa Jurnalistik Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dengan judul “Analisis Wacana Pemberitaan “Setelah Murka Mega” Majalah Sindo Weekly Edisi 16-22 April 2015”. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan analisis wacana kritis model Theo van Leeuwen sebagai metode penelitiannya. Persamaan dengan penelitian ini adalah keduanya menggunakan analisis wacana model Theo Van Leeuwen, sedangkan perbedaannya terletak pada objek penelitian. Skripsi karya Angga menggunakan objek pemberitaan majalah yang mengangkat isu politik, sedangkan penulis menggunakan berita media online dengan mengangkat isu Penyandang Disabilitas Mental (PDM).

b. Skripsi karya Hanan Siti Noor Rachmawati, mahasiswi Konsentrasi Broadcasting Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta dengan judul “Penerimaan Penonton Terhadap Diskriminasi Difabel Tuli dalam Film Silenced (Studi pada Deaf Art

(22)

Community dan MM Kine Klub UMY)”. Persamaan dengan penelitian ini adalah keduanya menyoroti isu para penyandang disabilitas di media, dan perbedaannya terletak pada objek penelitian. Skripsi karya Hanan menggunakan objek berupa film, sedangkan penulis menggunakan media daring sebagai objek penelitian. c. Skripsi karya Anisa Indriani, mahasiswi Jurnalistik UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta dengan judul “Analisis Wacana Kematian Terduga Teroris Siyono di Media Indonesia dan Republika”. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan menggunakan analisis wacana kritis model Theo van Leeuwen sebagai metode penelitiannya. Penulis menggunakan penelitian tersebut sebagai refrensi dalam penyajian penelitian, terutama pemarjinalan aktor dalam media.

d. Jurnal karya Bonardo Marulitua A, Staf pengajar Prodi Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Komunikasi, Universitas Kristen Satya Wacana. Jurnal ini merupakan bagian dari Jurnal Cakrawala ISSN 1693 6248 halaman 327-349 dengan judul “Komodifikasi, Disabilitas dan Televisi”. Persamaan jurnal tersebut dengan penelitian ini adalah keduanya mengangkat isu tentang bagaimana penyandang disabilitas ditampilkan dalam media. Perbedaannya adalah jurnal karya Bornado lebih menyorot kepada isu penyandang disabilitas sebagai alat komoditas media, sedangkan penulis menyoroti

(23)

bagaimana wacana yang digunakan oleh media massa dalam memberitakan PDM.

e. Jurnal karya Nadine Alvira Apny dan Nurul Hasfi, Mahasiswa Departemen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Diponegoro dengan judul “Framing Pemberitaan Isu Disabilitas dalam Media Online Suaramerdeka.com”. Persamaan dengan penelitian ini adalah keduanya mengangkat isu tentang bagaimana penyandang disabilitas ditampilkan dalam media. Perbedaannya adalah penelitian milik Nadine menggunakan metode analisis framing Zhondang Pan dan Gerald Kosicki, sedangkan penelitian ini menggunakan analisis wacana Theo Van Leeuwen.

F. Metodologi Penelitian 1. Paradigma Penelitian

Penelitian ini menggunakan paradigma kritis yaitu suatu paradigma yang beranggapan bahwa media hanya dimiliki dan didominasi oleh kelompok dominan dalam masyarakat, dan menjadi sarana untuk meneguhkan kelompok dominan sekaligus memarjinalkan dan meminggirkan kelompok minoritas.8 Oleh karena itu, penelitian media dalam perspektif ini diarahkan untuk membongkar kenyataan palsu yang telah diselewengkan oleh kelompok dominan.

8

(24)

Alasan penulis menggunakan paradigma kritis adalah paradigma ini menjadi landasan berpikir dalam analisis wacana berupa keterlibatan media massa dengan struktur sosial. Penelitian ini bertujuan untuk melihat bagaimana posisi PDM dimarjinalkan dalam berita dengan mengkritisi melalui wacana, sehingga paradigma kritis sangat sesuai untuk penelitian ini.

2. Pendekatan Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif yaitu suatu metodologi yang menggunakan metode penalaran induktif dan percaya akan banyaknya perspektif yang dapat diungkapan. Dalam pendekatan kualitatif, setting sosial dapat menghasilkan suatu pengetahuan dan pemahaman pengetahuan sosial adalah suatu proses ilmiah yang sah (legimate).9

Pendekatan Kualitatif pada penelitian ini bersifat deskriptif. Menurut Jalaludin Rahmat, penelitian deskriptif ditujukan untuk :

a. Mengumpulkan informasi aktual secara rinci yang melukiskan gejala yang ada.

b. Mengidentifikasikan masalah atau memeriksa kondisi dan praktek-praktek yang berlaku.

c. Membuat perbandingan atau evaluasi.

d. Menentukan apa yang dilakukan orang lain dalam menghadapi masalah yang sama dan belajar dari

9

Emzir, Metodologi Penelitian Analisis Data, (Jakarta: PT. RAJAGRAFINDO PERSADA, 2010) h. 2

(25)

pengalaman mereka untuk menetapkan rencana dan keputusan pada waktu yang akan datang.10 Upaya yang dapat dilakukan dalam analisis ini adalah bekerja dengan data, mengorganisasikan data, kemudian memilah-milah menjadi satuan yang bisa dikelola, apa yang penting, dan dapat dipelajari.

3. Subyek dan Objek Penelitian

Subjek penelitian ini praktisi media online, yaitu empat orang redaktur media online Detik.com : Fatichatun Nadiroh dari Biro Jawa Timur, Erna Mardiana dari Biro Jawa Barat, Noval Dhwinuari Antony dari Biro Makassar, dan Devi Setya Lestari dari Detikfood.

Adapun objek penelitiannya adalah pemberitaan tentang Penyandang Disabilitas Mental (PDM) dalam media Detik.com sepanjang tahun 2019 dan 2020 yang dibatasi dengan empat judul pemberitaan. Keempat pemberitaan tersebut adalah sebagai berikut :

Tabel 1.1

Pemberitaan Marjinalisasi Penyandang Disabilitas Mental (PDM) di Detik.com

Tanggal Berita Judul Berita

15 April 2019 Saat Orang Gangguan Jiwa Rekam e-KTP , Minta Bakso Jumbo Hingga Tertawa Sendiri

10

Jalaluddin Rakhmat, Metode Penelitian Komunikasi, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2007) h. 25

(26)

30 Desember 2019 Aksi Polisi Lumpuhkan Pria Berpisau di Sukabumi 26 Februari 2020 Keluarga soal Pemobil

Teriak Kafir: Pernah Dirukiah Lalu Muntah Ulat 05 Maret 2020 Banjir Pujian! Driver Ojol

Beri Makanan Orang Gangguan Jiwa

Pemilihan media online Detik.com berdasarkan pantauan peneliti yang menemukan bahwa media tersebut merupakan salah satu media yang cukup intens memberitakan kelompok disabilitas mental. Selain itu, Detik.com merupakan salah satu media dengan pembaca yang cukup tinggi menempati peringkat pertama sebagai situs dengan rujukan tertinggi dan menempati posisi kelima dengan traffic sources sebesar 31%.11

4. Waktu dan Tempat Penelitian

Waktu penelitian dilakukan pada bulan Maret – September 2020. Penelitian ini dilakukan saat pandemi Covid-19 sedang berlangsung di seluruh dunia, termasuk Indonesia, sehingga peneliti melakukan wawancara jarak jauh via daring melalui aplikasi Google Meet.

5. Teknik Pengumpulan Data

a. Studi Teks/Dokumen

11 (https://www.alexa.com/siteinfo/detik.com #section_competition).

(27)

Penulis mengamati teks pemberitaan marjinalisasi Penyandang Disabilitas Mental (PDM) dalam pemberitaan seputar PDM di Detik.com. Penulis juga mengamati dan mengumpulkan data dari berbagai sumber, seperti dokumen atau sumber-sumber tertulis dari bahan-bahan kepustakaan yang berkaitan dengan objek penelitian. Dokumen tersebut dapat berupa jurnal, penelitian terdahulu, buku-buku, hingga berbagai bahan bacaan yang berkaitan dengan penelitian.

b. Wawancara

Wawancara adalah pengumpulan data dengan mengajukan pertanyaan secara langsung kepada responden, dan jawaban-jawaban responden dicatat atau direkam dengan alat perekam.12 Peneliti melakukan wawancara dengan redaktur pelaksana dari setiap berita yang diteliti untuk melakukan beberapa klarifikasi sebagai tambahan data dan melakukan eksplorasi terhadap isu marjinalisasi Penyandang Disabilitas Mental (PDM) dalam pemberitaan yang dilakukan oleh Detik.com.

6. Teknik Analisis Data

Teknik analisis data dalam penelitian ini menggunakan analisis wacana kritis model Theo van Leeuwen yang membagi perhatian analisisnya menjadi

12Irawan Soehartono, Metode Penelitian Sosial Suatu Teknik

Penelitian Bidang Kesejahteraan Sosial dan Ilmu Sosial Lainnya, (Bandung:

(28)

dua, yaitu proses pengeluaran (exclusion) dan pemasukan (inclusion). Tahap pertama adalah penetapan subjek dan objek penelitian. Dalam tahapan ini, peneliti berhadapan dengan isi media sebagai subjek penelitian yang menjadi tempat penggalian atau pengungkapan ideologi dari objek yang direpresentasikan.

Tahap kedua, setelah peneliti menetapkan fokus teks yang diteliti, peneliti melakukan analisis dengan mengidentifikasi elemen wacana yang muncul tentang permasalahan ideologi yang telah dirumuskan dan mengkategorikannya sesuai dengan landasan teori atau fenomena yang ditemukan.

Pada tahap ketiga, peneliti melakukan interpretasi terhadap temuan-temuan mengenai elemen wacana, frame, atau kode-kode yang menunjukkan representasi ideologi, atau perjuangan ideologi atau dominasi ideologi.13 Berdasarkan data yang didapat dari tiga tahap tersebut kemudian dianalisis dengan melewati tiga tahapan analisis data dalam penelitian deskriptif kualitatif, yaitu (1) pereduksian data, (2) penyajian data, dan (3) penarikan simpulan/pembuktian.

G. Sistematika Penulisan

Penulisan dalam skripsi ini terdiri dari enam bab yang masing-masing babnya memiliki sub-bab dengan sistematika penulisan sebagai berikut :

13 Udi Rusadi, Kajian Media: Isu Ideologis dalam Perspektif, Teori

(29)

BAB I PENDAHULUAN

Memuat tentang: Latar Belakang Masalah, Rumusan Masalah, Batasan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Tinjauan Pustaka, Metode Penelitian, dan Sistematika Penulisan.

BAB II KAJIAN PUSTAKA

Pada bab ini peneliti menjelaskan landasan teori yang digunakan dalam memaparkan kasus yang diteliti. Bab ini meliputi teori Media dalam Perspektif Kritis, Teori Wacana Kritis, Analisis Wacana model Theo Van Leeuwen, Media dan Kelompok Marjinal, Jurnalisme Online, hingga pengertian Penyandang Disabilitas Mental (PDM). Pada bab ini juga membahas tentang kerangka berpikir dari teori yang sudah dipaparkan.

BAB III GAMBARAN UMUM

Bagian ini menjelaskan tentang profil subjek penelitian seperti: Sejarah, Visi dan Misi, Penghargaan, Struktur Redaksional, serta Situs-situs di Detik.com

BAB IV DATA DAN TEMUAN PENELITIAN

Pada bab ini, penulis menguraikan temuan data berupa teks pemberitaan mengenai Penyandang Disabilitas Mental (PDM) di Detikcom yang mengarah kepada marjinalisasi terhadap PDM dan mengkategorikannya dengan tabel berdasarkan teori analisis wacana model Theo Van Leeuwen.

(30)

Dalam bab ini menjelaskan tentang hasil analisis teks berita yang ditemukan menggunakan teori analisis wacana model Theo Van Leeuwen dan interpretasi dari hasil analisis data yang sudah ditemukan.

BAB VI SIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN

(31)

19 BAB II

KAJIAN PUSTAKA A. Landasan Teori

1. Media Dalam Perspektif Kritis

Paradigma kritis mempunyai pandangan bagaimana berita diproduksi dan bagaimana kedudukan wartawan dan media bersangkutan dalam proses produksi berita.1 Eriyanto dalam bukunya menjelaskan bagaimana media dan berita dilihat dari paradigma kritis melalui empat aspek.2

Aspek pertama adalah fakta. Menurut kaum kritis, berita adalah hasil dari pertarungan wacana antara berbagai kekuatan, baik ekonomi, politik maupun sosial dalam masyarakat yang selalu melibatkan pandangan serta ideologi wartawan atau media. Pandangan kritis juga berpendapat bahwa berita tidak mungkin merupakan cermin dan refleksi dari realitas, karena berita yang terbentuk hanya cerminan dari kekuatan dominan.

Aspek kedua adalah posisi media. Pada aspek ini, paradigma kritis melihat media bukan hanya alat dari kelompok dominan, tetapi juga memproduksi ideologi dominan. Dalam paradigma ini, media dipandang sebagai

1 Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media,

(Yogyakarta: LkiS Yogyakarta, 2009), h. 31

2

Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media, h. 32-46

(32)

wujud dari pertarungan ideologi antara kelompok-kelompok yang ada dalam masyarakat. Media bukan sarana netral yang menampilkan kekuatan dan kelompok dalam masyarakat secara apa adanya, tetapi kelompok dan ideologi yang dominan itulah yang akan tampil dalam pemberitaan.

Aspek selanjutnya adalah posisi wartawan. Paradigma kritis beranggapan bahwa aspek etika, moral, dan nilai-nilai tertentu tidak mungkin dihilangkan dari pemberitaan media. Menurut paradigma ini, wartawan bukanlah robot yang meliput apa adanya. Hal ini karena terdapat moral dalam banyak hal yang berarti terdapat keberpihakan kepada satu kelompok atau nilai tertentu yang tidak bisa dipisahkan dalam mengkonstruksi realitas. Pandangan ini juga melihat wartawan dan kerja jurnalistik yang dilakukannya tidak dapat dilepaskan dari sistem kelas. Media merupakan bagian dari praktik sistem kelas dan kerja jurnalistik yang tidak dapat dilepaskan dari bagian kelas yang ada (elit dan tidak dominan). Oleh karena itu, kerja jurnalistik tidak bisa dipandang semata sebagai kerja professional, tetapi harus dipandang sebagai bagian dari praktik kelas.

Aspek terakhir adalah hasil liputan. Pandangan kritis melihat bahwa hasil dari liputan suatu pemberitaan mencerminkan ideologi wartawan serta kepentingan sosial, ekonomi maupun politik tertentu. Pandangan ini juga melihat bahwa hasil liputan tidaklah objektif, karena

(33)

wartawan adalah bagian dari kelompok atau struktur sosial tertentu yang lebih besar. Dalam penggunaan bahasa peliputan, bahasa menunjukkan bagaimana kelompok sendiri diunggulkan dan memarjinalkan kelompok lain.

2. Teori Wacana Kritis

Analisis wacana dapat dipahami sebagai suatu kajian yang meneliti bahasa yang digunakan secara alamiah, baik dalam bentuk lisan maupun tulisan. Secara ringkas, analisis wacana yang menggunakan paradigma kritis menekankan pada kumpulan kekuatan yang terjadi pada proses produksi dan reproduksi makna.3 Individu tidak bisa dianggap sebagai subjek netral yang dapat menafsirkan suatu peristiwa karena cara pandang seseorang sangat dipengaruhi oleh kekuatan sosial yang ada pada masyarakat.

Menurut Norman Fairlough dan Ruth Wodak, analisis wacana kritis melihat wacana sebagai bentuk dari praktik sosial. Praktik wacana bisa jadi menampilkan efek ideologi, di mana ia dapat memproduksi dan mereproduksi hubungan kekuasaan yang tidak imbang antar kelas sosial. Melalui wacana, keadaan yang rasis, seksis, atau ketimpangan dari kehidupan sosial dipandang sebagai suatu kewajaran.4

3Aris Badara, Analisis Wacana : Teori, Metode dan Penerapannya

pada Wacana Media, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2012), h. 20

(34)

Fairlough dan Wodak juga berpendapat bahwa analisis wacana kritis menyelidiki bagaimana kelompok sosial yang saling bertarung dan mengajukan versinya masing-masing melalui bahasa.5 Analisis wacana menggunakan bahasa dalam teks sebagai analisis utamanya, namun bahasa yang dianalisis bukan semata dari aspek kebahasaan, tetapi menghubungkan dengan konteks. Konteks di sini berarti bahasa itu dipakai untuk tujuan dan praktik tertentu, temasuk di dalamnya praktik kekuasaan.

Eriyanto dalam bukunya menjelaskan karakteristik analisis wacana kritis yang ia rangkum dari tulisan Teun A. van Dijk, Fairclough, dan Wodak, diantaranya:6

a. Tindakan

Wacana dipahami sebagai sebuah tindakan. Pemahaman semacam ini mengasosiasikan wacana sebagai bentuk interaksi. Maka dari itu, ada beberapa konsekuensi bagaimana wacana harus dipandang. Pertama, wacana dipandang sebagai sesuatu yang bertujuan, apakah untuk mempengaruhi, menjebak, dan sebagainya. Kedua, wacana dipahami sebagai sesuatu yang diekspresikan secara sadar.

b. Konteks

Analisis wacana kritis mempertimbangkan konteks dari wacana, seperti latar, situasi, peristiwa

5

Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media, h. 7

6

(35)

dan kondisi. Wacana dipandang, diproduksi, dimengerti, dan dianalisis pada suatu konteks tertentu. Titik tolak dari analisis wacana adalah bahasa tidak bisa dimengerti sebagai mekanisme internal dari linguistik semata, bukan juga suatu objek yang diisolasi dalam ruang tertutup. Namun bahasa dipahami dalam konteks secara keseluruhan.

c. Historis

Salah satu aspek penting untuk bisa mengerti teks adalah dengan menempatkan wacana dalam konteks historis tertentu. Oleh karena itu, pada waktu melakukan analisis perlu tinjauan untuk mengerti

mengapa wacana yang berkembang atau

dikembangkan seperti itu, mengapa bahasa yang dipakai seperti itu, dan sebagainya.

d. Kekuasaan

Analisis wacana kritis juga mempertimbangkan elemen kekuasaan. Setiap wacana yang muncul dalam teks, percakapan, atau apapun tidak dipandang sebagai sesuatu yang alamiah, wajar, dan netral, tetapi merupakan bentuk dari pertarungan kekuasaan. Konsep kekuasaan adalah salah satu kunci hubungan antara wacana dengan masyarakat.

e. Ideologi

Ideologi juga konsep yang sentral dalam analisis wacana yang bersifat kritis, karena teks, percakapan, dan lainnya adalah bentuk dari praktik ideologi atau

(36)

pencerminan dari ideologi tertentu. Teori-teori klasik tentang ideologi di antaranya mengatakan bahwa ideologi dibangun oleh kelompok dominan dengan bertujuan untuk memproduksi dan melegitimasi dominasi mereka.

Berbagai ahli menganalisis teks media melalui aspek mikro dari teks, seperti kata, kalimat, gambar, hingga proposisi sebagai alat untuk melihat struktur yang lebih besar (pertarungan kekuasaan). Dalam analisis wacana kritis, terdapat sedikitnya lima model analisis yang dapat digunakan sebagai metode untuk menganalisis teks pemberitaan. Model analisis tersebut merupakan pandangan dari beberapa ahli, yaitu Roger Flower,dkk, Theo Van Leeuwen, Sara Mills, Teun A. van Djik dan Norman Fairclough.

3. Analisis Wacana Model Theo van Leeuwen

Theo van Leeuwen memperkenalkan model analisis wacana untuk mengetahui bagaimana seseorang atau kelompok dimarjinalkan posisinya dalam suatu wacana. Dalam pandangan Theo, kelompok dominan lebih memegang kuasa dalam menafsirkan peristiwa yang terjadi dan berdampak pada pemaknaan secara buruk kepada kelompok yang tidak dominan.

Analisis Theo van Leeuwen secara umum menampilkan bagaimana pihak-pihak atau aktor ditampilkan dalam pemberitaan. Ada dua fokus dalam metode analisis ini, pertama proses pengeluaran

(37)

(Eksklusi) untuk menganalisis apakah dalam suatu teks berita, ada kelompok atau aktor yang dikeluarkan dalam pemberitaan, dan bagaimana strategi wacana yang digunakan untuk itu.

Kedua adalah proses pemasukan (Inklusi). Jika Eksklusi berhubungan dengan pertanyaan bagaimana proses suatu kelompok dikeluarkan dari teks pemberitaan, maka Inklusi berbicara tentang bagaimana masing-masing pihak ditampilkan lewat pemberitaan.7 Untuk lebih jelasnya mengenai proses eksklusi dan inklusi akan dijabarkan sebagai berikut :

a. Eksklusi

Eksklusi adalah proses pengeluaran aktor dalam suatu berita. Proses ini secara disadari atau tidak dapat melegitimasi suatu pemahaman tertentu. Seperti tidak adanya pihak yang dilibatkan atau bisa juga berguna untuk melindungi suatu aktor atau kelompok tertentu. Strategi eksklusi dapat diuraikan menjadi tiga, yaitu:

 Pasivasi

Salah satu bagian dari dari eksklusi adalah dengan menggunakan kalimat pasif. Pada dasarnya ini adalah proses bagaimana satu kelompok atau aktor tertentu tidak dilibatkan dalam suatu wacana.8 Biasanya penggunaan kalimat pasif diawali dengan imbuhan di- pada awal kalimat.

7 Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media, h. 171 8

(38)

 Nominalisasi

Salah satu bagian eksklusi yang merupakan strategi untuk menghilangkan kelompok aktor sosial tertentu bisa juga melalui nominalisasi. Strategi ini berkaitan dengan pengubahan kata kerja (verba) menjadi kata benda (nomina). Nominalisasi tidak membutuhkan subjek, karena nominalisasi pada dasarnya merupakan proses mengubah kata kerja yang bermakna tindakan atau kegiatan menjadi kata benda yang bermakna peristiwa.9

Hubungannya dengan wacana pada media, Eriyanto berpendapat bahwa redaksi umumnya sering kali dan lebih senang memberitahukan suatu peristiwa dalam bentuk nominal dibandingkan dengan bentuk tindakan, mengingat bentuk nominal umumnya lebih menyentuh emosi khalayak.

 Penggantian Anak Kalimat

Penggantian subjek dapat dilakukan dengan menggunakan anak kalimat yang sekaligus berfungsi sebagai pengganti aktor.10 Alih-alih menghemat kalimat dan menganggap bahwa semua asumsi pembaca akan sama, tapi justru akan menyembunyikan aktor.

9 Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media, h. 176 10

(39)

b. Inklusi

Menurut van Leeuwen, strategi wacana yang digunakan untuk menampilkan sesuatu, seseorang atau kelompok (inklusi) di dalam teks. Hadirnya peristiwa atau kelompok lain selain yang diberitakan bisa menjadi penanda yang baik bagaimana suatu kelompok atau peristiwa direpresentasikan dalam teks.

 Diferensiasi – Indeferensiasi

Penggunaan strategi wacana ini dapat diidentifikasi melalui bagaimana suatu kelompok atau peristiwa direpresentasikan dalam teks.11 Penghadiran kelompok yang disudutkan dibandingkan dengan menghadirkan kelompok yang lebih dominan dengan wacana yang lebih baik, sehingga kelompok yang tidak dominan akan terlihat buruk dan terpinggirkan.

 Objektivasi – Abstraksi

Menurut van Leeuwen, penyebutan dalam bentuk abstraksi seringkali berkaitan dengan pertanyaan apakah aktor sosial disebutkan dengan memberikan petunjuk yang jelas ataukah yang ditampilkan adalah abstraksi.12 Misalnya, ketika wartawan menyebutkan jumlah massa pada suatu peristiwa demonstrasi, wartawan dapat menunjuk angka yang jelas, atau membuat abstraksi seperti

11

Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media, h.179

12

(40)

puluhan, ratusan, bahkan ribuan. Penyebutan dalam bentuk abstraksi biasanya tidak hanya disebabkan oleh ketidaktahuan wartawan mengenai informasi yang jelas, tetapi merupakan strategi wartawan untuk menampilkan sesuatu.

 Nominasi – Kategorisasi

Strategi nominasi – kategorisasi berkaitan dengan bagaimana cara aktor digambarkan dalam sebuah wacana. Apakah ditampilkan apa adanya atau dikategorikan (agama, status, bentuk fisik, dsb).13 Kategori yang ditonjolkan dalam pemberitaan dapat menunjukkan representasi bahwa suatu tindakan tertentu menjadi ciri khas yang selalu hadir sesuai dengan kategori bersangkutan. Bagaimana kategori dipakai oleh wartawan dapat menunjukkan hendak dibawa ke mana berita tersebut.

 Nominasi – Identifikasi

Strategi nominasi – identifikasi hampir mirip dengan kategorisasi. Keduanya berbicara mengenai bagaimana suatu kelompok, peristiwa atau tindakan didefinisikan. Perbedaannya terletak pada penambahan anak kalimat sebagai penjelas.14 Penambahan anak kalimat menentukan arah pembicaraan. Biasanya penambahan anak kalimat

13 Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media, h.182 14 Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media, h.184

(41)

diarahkan kepada wacana yang buruk, sehingga akan mempengaruhi persepsi khalayak.

 Determinasi – Indeterminasi

Dalam pemberitaan sering kali aktor atau peristiwa disebutkan secara jelas, tetapi bisa juga disebutkan tidak jelas (anonim). Anonimitas dapat terjadi karena wartawan belum mendapatkan bukti yang cukup untuk menuliskannya, sehingga lebih aman untuk menulis secara anonim.15 Dengan membentuk anonimitas dapat menimbulkan kesan yang berbeda ketika berita tersebut diterima oleh khalayak.

 Asimilasi – Individualisasi

Asimilasi – Individualisasi adalah sebuah strategi wacana yang berkaitan dengan pertanyaan apakah aktor sosial yang diberitakan ditunjukkan dengan jelas kategorinya atau tidak.16 Ketika dalam pemberitaan yang disebutkan adalah komunitas atau kelompok sosial yang ditempatkan oleh aktor, itulah yang disebut asimilasi.

 Asosiasi – Disosiasi

Strategi ini berhubungan dengan pertanyaan apakah aktor atau suatu pihak ditampilkan sendiri ataukah dihubungkan dengan

15

Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media, h.186

16

(42)

kelompok lain yang lebih besar.17 Strategi ini ingin melihat apakah suatu peristiwa atau aktor sosial dihubungkan dengan peristiwa lain atau kelompok lain yang lebih luas untuk mendapatkan makna yang lebih luas.

4. Media dan Kelompok Marjinal

Dalam kehidupan sosial, marjinal adalah suatu kondisi dimana suatu masyarakat terpinggirkan dengan hidup terisolasi karena mereka diangap tidak mampu ataupun tidak diberikan ruang untuk mengakses sumber daya. Masyarakat yang terpinggirkan mencakup mereka yang lahir di sebuah kota metropolitan dengan tingkat pendidikan dan kesehatan yang buruk, taraf hidup yang rendah serta akses layanan yang terbatas.18

Kelompok marjinal ternyata tidak hanya terpinggirkan dalam kehidupan sosial, namun juga dalam pemberitaan media. Media berperan dalam membentuk persepsi masyarakat, termasuk bagaimana masyarakat memberikan makna pada kelompok marjinal. Penggambaran yang dilakukan oleh media seringkali menggiring persepsi masyarakat dan kemudian menciptakan stigma tertentu.

Salah satu kelompok marjinal yang kerap distigmakan secara buruk oleh media adalah Penyandang

17

Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media, h.189

18 Sultoni Fikri,Marjinalisasi Masyarakat Miskin Atas Hak Kesehatan

di Kota Surabaya, (http://repository.unair.ac.id), diakses pada 7 September

(43)

Disabilitas Mental (PDM). Dalam pemberitaan, media sering menggambarkan PDM sebagai kelompok yang berbahaya, tidak dapat diprediksi, dan tidak diinginkan secara sosial.19

Menurut riset yang didanai oleh Ford Foundation Indonesia dan dikerjakan oleh Centre for Innovation Policy and Governance (CIPG) Jakarta berkolaborasi dengan HIVOS Kantor Regional Asia Tenggara, materi yang ditampilkan oleh media massa umumnya berada di luar konteks. Aspek yang dimunculkan di dalam media melulu berfokus pada dramatisasi kelompok disabilitas.

Pokok perhatian dalam pemberitaan hampir selalu diarahkan pada kelompok disabilitas yang sengsara dan perlu dikasihani. Aspek heroik, penuh rasa syukur, serta aspek positif lain sebagai manusia jarang sekali diliput. Jika media terus-menerus menyodorkan aspek negatif ini kepada publik, maka tidak mengherankan apabila publik tidak pernah melihat kekuatan di balik segala kekurangan para penyandang disabilitas.20

Riset ini juga menemukan bahwa orang-orang penyandang disabilitas, termasuk PDM, dipotret dengan cara yang sangat stereotipikal di dalam media. Stereotip yang paling umum adalah menjadi korban, subjek yang

19 Brian Smith. Mental Illness Stigma in the Media. (The Review : A

Journal of Undergraduate Student Research 16, 2015), (https://fisherpub.sjfc. edu/cgi/viewcontent), diakes pada 1 Agustus 2020.

20 Yanuar Nugroho, dkk. Media dan Kelompok Rentan di Indonesia:

Empat Kisah, (Jakarta : Centre for Innovation Policy and Governance, 2013),

(44)

lemah, tak berdaya, dan hanya mampu mengemis empati. Stereotip terhadap PDM dapat ditemukan pula di dalam acara komedi yang menggunakan karakter PDM dan menempatkan karakter itu dalam situasi yang menggelikan. Dengan mencermati setiap bentuk potret yang memarjinalisasi kelompok PDM, terindikasi bahwa media hanya menghadirkan sebuah ranah publik semu bagi kelompok marjinal. Media terkesan mengejar laba dengan selalu menempatkan penyandang disabilitas sebagai obyek belas kasihan maupun tertawaan dari pada mengangkat martabat PDM dengan menghadirkan potret yang lebih humanis dan adil.

Ada beberapa strategi pemakaian bahasa yang digunakan media sebagai strategi wacana marjinalisasi, yaitu: 21

a. Penghalusan makna (Eufemisme)

Eufimisme banyak dipakai untuk menyebut tindakan kelompok dominan kepada masyarakat bawah sehingga dalam banyak hal bisa menipu, terutama menipu masyarakat bawah. Misalnya, pemindahan pedagang di pasar disebut dengan kata “relokasi”, atau kasus pemecatan dinamai dengan “pemutus hubungan kerja”.

b. Pemakaian bahasa pengasaran (Disfemisme)

Disfemisme merupakan kebalikan dari Eufimisme, yaitu menggunakan bahasa pengasaran

21

(45)

yang dapat mengakibatkan realitas menjadi kasar. Umumnya digunakan untuk menyebut tindakan yang dilakukan masyarakat bawah. Pemakaian kata kasar seperti “pencaplokan”, “penyerobotan” membuat realitas perilaku menjadi kasar.

c. Labelisasi

Labeling merupakan perangkat bahasa yang digunakan oleh kelas dominan untuk menundukkan orang yang berada di kelas bawah. Sebutan “penggarap liar” untuk petani misalnya, mengasosiasikan di benak khalayak bahwa para petani penggarap sawah adalah liar dan melanggar hukum.22 Pemakaian label ini tidak hanya membuat posisi kelompok atau kegiatan menjadi buruk, tetapi juga memiliki kesempatan bagi mereka yang memproduksinya untuk melakukan tindakan tertentu. Misalnya, karena petani adalah “penggarap liar”, maka wajar jika mendapatkan tuntutan tertentu. d. Stereotipe

Stereotipe adalah penyamaan kata yang menunjukkan sifat-sifat negatif atau positif (umumnya negatif) untuk orang, kelas, atau perangkat tindakan. Stereotipe adalah praktik representasi yang mengggambarkan sesuatu dengan penuh prasangka, konotasi yang negatif dan bersifat subjektif.23 Misalnya, wanita cantik harus berkulit putih. Stereotipe

22 Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media, h.126 23

(46)

bahwa wanita cantik adalah yang berkulit putih tentu akan meminggirkan wanita yang tidak berkulit putih menjadi tidak cantik.

5. Jurnalisme Online

Sejak dunia internet berkembang pesat, jurnalistik lewat dunia maya juga ikut berkembang. Biasanya, jurnalistik di dunia maya disebut jurnalisme online. Di Amerika dan Eropa, jurnalisme ini telah menjadi pesaing yang sangat ketat bagi jurnalistik media cetak, khususnya koran dan majalah. Bahkan banyak koran gulung tikar karena para pembaca lebih memilih berita yang disajikan melalui dunia maya.

Jurnalisme online memiliki karakteristik yang berbeda dengan produk jurnalistik lainnya. Dikutip dari James C.Foust, Online Journalism: Principle and Practices of News for The Web [2005] (Dalam Romli ; 2013), karakteristik jurnalisme online adalah sebagai berikut:24

Unlimited Space : Terdapat rentetan informasi tanpa

batas. Jadi, artikel dan berita yang dibuat dapat sepanjang dan sedetail mungkin karena tidak adanya batasan ruang.

24 Romli, A. S. M. Jurnalistik Online -- Pengertian, Definisi, dan

Karakteristik. (Komunikasi UIN Bandung. Program Studi Jurnalistik dan

Humas., 2013), (https://komunikasi.uinsgd.ac.id/jurnalistik-online-istilah-definisi-dan-karakteristik/). Diakses pada 15 Oktober 2020.

Brian Smith. Mental Illness Stigma in the Media. (The Review : A Journal of Undergraduate Student Research 16, 2015), (https://fisherpub.sjfc. edu/cgi/viewcontent.cgi?article=1150&context=ur). Diakes pada 1 Agustus 2020.

(47)

Audience Control : Memungkinkan khalayak untuk (reader, user, visitor) bisa dengan lebih leluasa memilih berita/informasi.

Nonlienarity : Setiap berita berdiri sendiri sehingga

kalayak atau pembaca tidak perlu membaca secara berurutan.

Storage and Retrieval : Memungkinkan khalayak atau

pembaca untuk dapat mengakses berita kapanpun dan dimanapun karena berita telah terarsipkan.

Immediacy : Terdapat kemampuan untuk

menyampaikan berita atau informasi dengan cepat dan langsung.

Multimedia Capability : Terdapat banyak variasi dalam

hal penyajian berita. Bentuk sajian berita dapat berupa teks, suara, gambar, video, dan komponen lainnya sekaligus.

Interactivity : Adanya kemampuan untuk terjadinya

interaksi langsung antara redaksi (wartawan) dengan audiens, seperti melalui kolom komentar dan social media sharing.

Media online memiliki sejumlah keunggulan, diantaranya yaitu25 :

 Berita-berita yang disampaikan jauh lebih cepat, bahkan setiap beberapa menit bisa di-update. Faktor kecepatan inilah yang tidak diperoleh lewat media

25 Zaenuddin HM, The Journalist, Bacaan Wajib Wartawan,

(48)

cetak dan membuat media online sangat dibutuhkan bagi mereka yang ingin mengetahui perkembangan dunia setiap saat.

 Untuk mengakses berita yang disajikan tidak hanya dapat dilakukan lewat komputer dan laptop yang terpasang internet, tetapi lewat ponsel pintar (smartphone), sehingga lebih mudah dan praktis. Tidak heran jika kalangan professional yang sibuk dan membutuhkan berita aktual memilih berlangganan media online.

Pembaca media online dapat memberikan tanggapan atau komentar secara langsung terhadap berita yang disukai maupun berita yang tidak disukai dengan mengetik di kolom komentar yang disediakan. Lewat media online, pembaca bisa langsung berinteraksi dengan pembuat berita ataupun khalayak pembaca lainnya.

Di Indonesia perkembangan jurnalisme online dapat dilihat dengan munculnya berbagai situs berita. Jika media online dikelola dengan sangat baik dan professional, boleh jadi akan menyaingi, bahkan menggusur media cetak. Apalagi saat ini masyarakat Indonesia lebih marak menggunakan internet. Kenyataan ini juga berdampak pada membesarnya minat kalangan muda untuk berkarir di dunia jurnalistik media online.

(49)

6. Penyandang Disabilitas Mental

a. Pengertian Penyandang Disabilitas Mental

Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas Pasal 1 mendefinisikan penyandang disabilitas sebagai berikut: “Setiap orang yang mengalami keterbatasan fisik, intelektual, mental, dan/atau sensorik dalam jangka waktu lama yang dalam berinteraksi dengan lingkungan dapat mengalami hambatan dan kesulitan untuk berpartisipasi secara penuh dan efektif dengan

warga negara lainnya berdasarkan kesamaan hak.” 26

Pengertian Penyandang Disabilitas Mental (PDM) disebutkan dalam Penjelasan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2016 Tentang Penyandang Disabilitas Pasal 4 Ayat (1) Huruf c yang menyebutkan bahwa maksud dari Penyandang Disabilitas Mental atau PDM adalah terganggunya fungsi pikir, emosi, dan perilaku, antara lain:

a) Psikososial di antaranya skizofrenia, bipolar, depresi, anxietas, dan gangguan kepribadian;

b) Disabilitas perkembangan yang berpengaruh pada kemampuan interaksi sosial di antaranya autis dan hiperaktif.

26 (http://pug-pupr.pu.go.id/), Undang-Undang Republik Indonesia

Nomor 8 Tahun 2016 Tentang Penyandang Disabilitas, diakses Pada 24 April 2020

(50)

Pengertian lain dari PDM adalah Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) yang dalam jangka waktu lama mengalami hambatan dalam interaksi dan partisipasi di masyarakat berdasarkan kesetaraan dengan yang lainnya.27 ODGJ juga dipahami sebagai orang yang mempunyai masalah fisik, mental, sosial, pertumbuhan dan perkembangan, dan/atau kualitas hidup sehingga memiliki resiko mengalami gangguan jiwa.

Biasanya, ODGJ mengalami gangguan dalam pikiran, perilaku, dan perasaan yang termanifestasi dalam bentuk sekumpulan gejala dan/ atau perubahan perilaku yang bermakna, serta dapat menimbulkan penderitaan dan hambatan dalam menjalankan fungsi orang sebagai manusia.

b. Klasifikasi Penyandang Disabilitas Mental

Penyandang Disabilitas Mental atau Gangguan jiwa dapat diklasifikasikan pada tiga fase28, yaitu: a) Fase Akut

Penyandang disabilitas mental pada fase akut ditandai dengan:

 Gejala agitasi yang terlihat dari adanya kecemasan yang disertai dengan kegelisahan motorik, peningkatan respons terhadap stimulus

27

(https://mediadisabilitas.org/uraian/ind/disabilitas-mental.)

Penyandang Disabilitas Mental. diakses pada 2 Juni 2020

28 Yazfinedi, Konsep, Permasalahan, Dan Solusi Penyandang

(51)

internal atau eksternal, peningkatan aktivitas verbal atau motorik yang tidak bertujuan.

 Sensitivitas sosialnya menurun dan impulsifitasnya meningkat. Tindakan ini dapat disebabkan oleh adanya waham atau halusinasi yang berbentuk perintah yang menyuruh ODS (Orang Dengan Skizofrenia) melakukan tindakan tertentu.

 Perilaku agresif meningkat yakni sikap melawan secara verbal atau kekerasan fisik yang ditujukan kepada benda atau orang lain. Risiko perilaku agresif akan semakin meningkat dengan penyalahgunaan alkohol, kepribadian antisosial, tidak mempunyai pekerjaan, dan gangguan neurologi serta riwayat kekerasan sebelumnya. b) Fase Stabilisasi

Penyandang disabilitas mental fase stabilitasi ditandai dengan:

 Tidak mampu mengelola gejala kejiwaannya dengan baik.

Rentan terhadap pemicu kekambuhan (stresor).

Membutuhkan pemantauan dalam minum obat c) Fase Pemeliharaan

Fase pemeliharaan ditandai dengan:

Mulai patuh dalam meminum obat.

 Minim terhadap resiko kekambuhan atau stresor yang memicu kekambuhan.

(52)

 Siap mengikuti kegiatan rehabilitasi sosial dengan pemantauan berkala dari psikiatrik dan perawat kesehatan jiwa.29

B. Kerangka Berpikir

Penyandang Disabilitas Mental (PDM) merupakan kelompok rentan yang sering kali menerima stigma negatif dalam masyarakat. Mereka sering kali dianggap sebagai „sampah masyarakat‟ yang menyulitkan, membuat onar, serta mengganggu orang lain. Stigma buruk kepada PDM inilah yang kemudian mebuat PDM kesulitan mendapatkan hak-haknya dalam hidup di tengah-tengah masyarakat.

Mirisnya, keberadaan media massa yang merupakan sarana informasi malah semakin memojokkan PDM. Salah satu media massa yang sering memberitakan PDM, yaitu Detik.com cenderung melakukan marjinalisasi terhadap PDM. Dalam pemberitaannya, Detikcom menarasikan PDM sebagai tokoh pembuat keributan, berbahaya, hingga objek lucu yang pantas menjadi bahan tertawaan.

Peneliti akan menggunakan metode analisis wacana Theo Van Leeuwen untuk menemukan bentuk marjinalisasi terhadap PDM dalam teks pemberitaan Detikcom. Theo van Leeuwen memperkenalkan model analisis wacana untuk mengetahui bagaimana seseorang atau kelompok dimarjinalkan posisinya dalam suatu wacana.

29 Yazfinedi, Konsep, Permasalahan, Dan Solusi Penyandang

(53)

Secara umum, analisis Theo van Leeuwen menampilkan bagaimana pihak- pihak atau aktor ditampilkan dalam pemberitaan. Ada dua fokus dalam analisis ini, pertama proses pengeluaran (exclusion) dan proses pemasukan (inclusion). Untuk lebih jelasnya diilustrasikan dalam bagan berikut :

Pemberitaan Penyandang Disabilitas Mental (PDM) Media Online

Detik.com

Analisis Wacana Kritis model Theo Van Leeuwen

Eksklusi

1. Apakah ada aktor

(seseorang/kelompok sosial) yang dihilangkan atau disembunyikan dalam pemberitaan.

2. Bagaimana strategi yang dilakukan untuk

menyembunyikan atau menghilangkan aktor sosial tersebut.

Inklusi

1. Dari aktor sosial yang disebut dalam berita, bagaimana mereka ditampilkan? Dan dengan strategi apa

pemarjinalan/pengucilan dilakukan?

(54)

42 BAB III

GAMBARAN UMUM LATAR PENELITIAN A. Sejarah Detik.com

Detikcom didirikan Agranet Multicitra Siberkom (Agrakom), yang berdiri sejak Oktober 1995. Nama Agrakom penting disebut, karena perusahaan penyedia jasa konsultasi, pengembangan, dan pengelolaan web ini punya peran dalam pengembangan beberapa situs media besar di Indonesia saat itu.

Berbeda dengan media daring yang tayang sebelumnya, Detikcom (Detik.com) lahir bukan oleh media yang sudah terbit dalam versi cetak. Penggagasnya adalah empat sekawan di balik Agrakom: Budiono Darsono, Yayan Sopyan, Abdul Rahman, dan Didi Nugrahadi. Tayang untuk pertama kalinya pada 9 Juli 1998. Uniknya, konsep awal Detikcom sempat ditawarkan kepada media lain yang merupakan klien Agrakom.

Menurut penuturan Abdul Rahman, konsep yang digagas Budiono Darsono itu adalah sebuah media baru yang mengoptimalkan internet, mampu memberikan informasi secepat mungkin, tak seperti koran yang harus ditulis, disunting, dan dicetak sebelum terbit. Abdul yang juga mantan wartawan Tempo, menyebutnya sebagai Timeline, penyajian berita bersambung ala breaking news stasiun

(55)

televisi berita seperti CNN, atau yang biasa diterapkan pada kantor-kantor berita.1

Pemicu lain yang melahirkan Detikcom, adalah situasi sosial politik di Indonesia pada 1998 yang sedang panas. Gerakan Reformasi yang juga dipantau media internasional, menjadi sumber berita yang nyaris tak ada habisnya. Budiono, sebelumnya pewarta di Tabloid Detik, tergugah untuk membuat laporan cepat lewat internet.

Budiono dkk pun mengeksekusi sendiri gagasan tersebut. Situs beralamat di Detik.com inipun muncul dengan format berita baru. Dalam ingatan para pendiri, Budiono menulis berita yang bersumber dari televisi, atau dari siaran radio agar Detikcom bisa terbit. Jika Budiono sedang keluar kantor, maka Detikcom tidak bisa memperbarui beritanya.

Demi kecepatan menerbitkan berita, Detikcom kemudian memang tidak selalu mengikuti pakem baku jurnalistik, melengkapi berita dengan unsur 5W + 1H. Cukup dengan 3W: What, When, dan Where, informasi disajikan untuk pembaca. Pemutakhiran informasi dilakukan melalui artikel berikutnya. Konsep inilah yang membuat Detikcom saat itu melenggang nyaris tanpa saingan. Masih menurut Abdul Rahman, Detikcom sempat melewati rekor kunjungan situs Kompas Online pada Agustus 1999.

Dalam catatan Kompas, sebulan setelah Detikcom tayang di internet, kunjungannya mencapai 15.000 klik per

1 (https:lokadata.id/artikel/para-pengukir-sejarah-media-daring-indo

nesia), Para Pengukir Sejarah Media Daring Indonesia, diakses pada 9 Juni 2020

(56)

hari. Satu tahun kemudian, jumlah pembacanya melesat menjadi 50.000. Pencapaian yang luar biasa mengingat jumlah pengguna internet saat itu. Detikcom layak disebut sebagai pelopor media daring di Indonesia, bahkan di dunia. Capaian tersebut tak mungkin diabaikan dari catatan sejarah perkembangan media daring Indonesia.

Pada 3 Agustus 2011, CT Corp mengakusisi Detik.com. Mulai tanggal itulah secara resmi Detikcom berada di bawah Trans Corp. Pemilik CT Corp, Chairul Tanjung membeli Detikcom secara total dengan nilai US$60 juta atau sekitar Rp521-540 miliar.2 Setelah diambil alih, jajaran direksi diisi oleh pihak-pihak dari Trans Corp sebagai perpanjangan tangan CT Corp di ranah media.

B. Visi dan Misi Detik.com3

1. Visi

Menjadi tujuan utama orang Indonesia untuk mendapatkan content dan layanan digital, baik internet maupun seluler.

2. Misi

a. Memiliki komitmen yang tinggi untuk memberikan kepuasan kepada pelanggan.

2

(https://www.lensaindonesia.com/2011/08/04/detikcom-resmi-dibeli-chairul-tanjung-terjual-rp-540-miliar.html), Detikcom Resmi Dibeli Chairul

Tanjung Transcorp Rp 540 Miliar, diakses pada 19 November 2020.

3

Data detik.com dalam Skripsi Eva Agustina Ariastiarini : “Kebijakan Redaksional Detikcom Pada Penentuan Isu di Kanal “Hoax or

Not” ”, (Jakarta : Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Syarif

(57)

b. Membeirkan kesejahteraan kepada karyawan dan menjadi tempat yang baik untuk berkarir.

c. Memberikan hasil optimal yang berkesinambungan bagi pemegang saham.

3. Core Values (Nilai-Nilai Perusahaan) a. Cepat dan Akurat

b. Kreatif dan Inovatif c. Integritas

d. Kerja sama e. Independen

C. Penghargaan Detik.com

Selama dalam perjalanannya, Detik.com telah menyabet berbagai penghargaan. Diantaranya yaitu :

1. Top 3 Most Powerful Media/Entertainment Brand In Indonesia dalam penghargaan Brand Asia 2017

2. Penghargaan Adam Malik Award 2018

3. Universitas Indonesia (UI) Awarding Night 2019 4. Media Online Mitra Humas Polri Terbaik Tahun 2019 5. Media Daring Pendorong Keterbukaan Informasi Publik

dari Komisi Informasi Pusat 2019

D. Struktur Redaksi

Berikut adalah susunan keredaksian Detik.com4

Tabel 3.1

Susunan Redaksi Detik.com Direktur Konten Alfito Deannova Ginting

4

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil wawancara terhadap 2 (dua) orang orang petugas administrasi jurusan serta 2 (dua) dosen pembimbing akademik ternyata diperoleh kesimpulan bahwa terdapat

Berdasarkan hasil penelitian ini ternyata hara N, P, K, dan bahan organik menjadi pembatas pertumbuhan tanaman jagung di tanah Inceptisols dari Sukabumi karena kadar

Berdasarkan hasil pengujian dari sampel 1400 data yang diucapkan oleh 9 orang pria dan 5 orang wanita pengenalan angka terisolasi dengan menggunakan ekstraksi

Berdasarkan hasil wawancara terhadap 2 (dua) orang orang petugas administrasi jurusan serta 2 (dua) dosen pembimbing akademik ternyata diperoleh kesimpulan bahwa terdapat

Berdasarkan hasil penelitian dan analisis yang telah penulis lakukan mengenai pengaruh latar belakang pendidikan orang tua dan perilaku keberagamaan orang tua

Berdasarkan hasil wawancara dengan informan penelitian dapat diketahui bahwa landasan dari program rehabilitasi korban perdagangan orang adalah Perda Kota Sukabumi Nomor

Berdasarkan hasil penelitian yang telah diperoleh diatas ternyata masih banyak keluarga yang memiliki pengetahuan rendah dalam merawat klien gangguan jiwa yang

Hasil analisis menunjukkan bahwa berdasarkan asumsi ketidakbebasan antara peristiwa perkawinan dan kelahiran, ternyata selang kelahiran anak pertama juga mendekati