• Tidak ada hasil yang ditemukan

SINTESIS TETRA ETIL ETILEN DIFOSFONAT SEBAGAI SENYAWA PERANTARA LIGAN RADIOFARMAKA TETROFOSMIN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "SINTESIS TETRA ETIL ETILEN DIFOSFONAT SEBAGAI SENYAWA PERANTARA LIGAN RADIOFARMAKA TETROFOSMIN"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

SINTESIS TETRA ETIL ETILEN DIFOSFONAT SEBAGAI

SENYAWA PERANTARA LIGAN RADIOFARMAKA

TETROFOSMIN

Arysca Wisnu Satria, Aang Hanafiah Wangsaatmaja

Sekolah Tinggi Teknologi Nuklir-BATAN

Pusat Teknologi Nuklir Bahan dan Radiometri-BATAN Email untuk korespondensi: arysca.wisnu.s@mail.ugm.ac.id

ABSTRAK

SINTESIS TETRA ETIL ETILEN DIFOSFONAT SEBAGAI SENYAWA PERANTARA LIGAN RADIOFARMAKA TETROFOSMIN. Penelitian ini bertujuan untuk mensintesis senyawa perantara

tetrofosmin sebagai sediaan subtitusi produk impor melalui serangkaian tahap proses. Tahap pertama adalah mensintesis senyawa 1,2-dibromo etana sebagai bahan baku untuk tahap kedua. Dibromo etana disintesis dengan cara mereaksikan brom cair dengan gas etilen yang dihasilkan dari oksidasi etanol dengan asam fosfat pekat pada suhu 210 °C. Proses kedua digunakan untuk memproduksi tetra etil etilen difosfonat. Prosesnya melibatkan fraksinasi-destilasi campuran dibromo etana dengan trietil fosfit pada suhu 145-150 °C. Residu dari proses tersebut selanjutnya di-fraksinasi-vakum pada suhu 160 °C, tekanan 1 mmHg untuk mengambil produknya. Produk dari tahap kedua ini selanjutnya digunakan untuk tahap ketiga (sintesis 1,2-difosfino etana) dengan proses reduksi menggunakan Litium Aluminium Hidrida (LiAlH4). Karakterisasi

dari masing-masing tahap dilakukan dilakukan dengan instumen Spektrofotometer Fourier Transform Infra Red (FT-IR) untuk mengetahui gugus fungsional penyusun senyawa sebagai parameter keberhasilan. Hasil pengujian menunjukkan keberhasilan sintesis hanya sampai pada sintesis tetra etil etilen difosfonat. Besarnya yield atau rendemen dari tahap pertama adalah 84,47%, sedangkan untuk tahap kedua adalah 24,51%.

Kata kunci : Sintesis, Tetrofosmin, FT-IR

ABSTRACT

THE SYNTHESIS OF TETRA ETHYL ETHYLENE DIPHOSPHONATE AS AN INTERMEDIATE RADIOPHARMACEUTICAL COMPOUND OF TETROFOSMIN LIGAND. This

study aims to synthesize of intermediate compound of tetrofosmin as substitute of imported product through a series of processing stages. The first stage was directed to synthesize 1,2-dibromo ethane as a raw material for the second stage. Dibromo ethane was synthesized by reacting liquid bromine with ethylene which produced from the oxidation of ethanol with concentrated phosphoric acid at 210 °C. The second stage was used to produce tetra ethyl ethylene diphosphonate (phosphorane). This process involved fractionation-distillation a mixture of dibromo ethane and triethyl phosphite at 145-150 °C. Afterward, the residues were vacuum-fractionazed at 160 °C, pressure 1 mmHg to take the product. The product of this second stage would be used for the third stage (synthesis of 1,2-diphosphino ethane) with a reduction process using Lithium Aluminum Hydride (LiAlH4). The characterization of each stage were subjected to determine

compiler clusters of compound as success parameters. These were carried out by Fourier Transform Infra Red (FT-IR) Spectrophotometer instrument. The results showed that the success of the synthesize process was achieved only at the preparation of tetra ethyl ethylene diphosphonate. The yield of first stage ethane is 84,47%, while for the second is 24,51%.

(2)

ISSN 1978-0176

PENDAHULUAN

Pembangunan kesehatan merupakan upaya untuk memenuhi salah satu hak dasar rakyat, yaitu hak untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang bermutu, seperti yang diamanatkan dalam Undang-undang Dasar 1945 pasal 28 dan Undang-Undang-undang nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan. Dalam Sistem Kesehatan Nasional (SKN), di bidang obat, menegaskan arti penting pendekatan iptek dalam membangun kemandirian.(1)

Di bidang riset kedokteran, penggunaan zat-zat radioaktif akhir-akhir ini semakin berkembang dengan pesat. Perkembangan di Indonesia ini cukup beralasan jika ditinjau dari berbagai segi, dan mempunyai prospek di masa mendatang, mengingat potensi pengadaan dan aplikasinya di berbagai bidang, khususnya di bidang kedokteran nuklir.

Untuk tujuan diagnosis, pemeriksaan kedokteran nuklir dapat dilakukan dengan mudah dan akurat, yaitu prosedur non-invasif, sedangkan untuk tujuan terapi, pengobatan dengan radiasi sering menjadi pilihan apabila pengobatan cara konvensional mengalami kegagalan.(2)

Hampir seluruh organ dalam tubuh dapat didiagnosis dengan teknik kedokteran nuklir. Penggunaan radiofarmaka untuk pencitraan dan diagnosis fungsi jantung, radiofarmaka Teknesium-99m metoksi isobutil isonitril (99mTc-MIBI) dan Teknesium-99m tetrofosmin (99mTc-tetrofosmin) sering dijadikan sediaan unggulan.

TEORI

Sediaan 99mTc-MIBI dan 99mTc-tetrofosmin sebagai Radiofarmaka untuk Myocardial Perfusion Imaging

Baru-baru ini, beberapa 99mTc-senyawa kationik isonitril telah dikembangkan assessment infark perfusion. Teknesium-99m dipilih karena murah dan foton gamma yang dipancarkan 140 keV yang sesuai untuk pencitraan (imaging) kamera gamma. 99mTc-methoxy isobutyl isonitril (99m Tc-MIBI) adalah salah satu sediaan yang menjanjikan.(3) 99mTc-MIBI atau sering disebut juga

99m

Tc-sestamibi adalah radiofarmasi bertanda 99mTc sebagai agen infark myocardial.(4)

Senyawa tetrofosmin (1,2-bis [di-{2-ethoxyethyl} phosphino] ethane) adalah gugus ligan berkelat dua yang termasuk ke dalam kelompok diphosphines.(5) Dalam bidang kedokteran nuklir, tetrofosmin digunakan sebagai radiofarmaka untuk pencitraan jantung.(6) Melalui proses penandaan (labeling) dengan Teknesium, sediaan yang dihasilkan ini menjadi sediaan baru sebagai pengganti 99mTc-MIBI.(5)

Pada MIBI, penandaan dengan Teknesium harus dilakukan dengan pemanasan. Dalam penggunaannya, penyuntikkan pertama dilakukan kepada pasien dalam keadaan istirahat dan pada fase kedua pasien diberikan “beban”, baik dengan berolahraga di atas treadmill atau pemberian obat yang berefek farmakologi. Obat disuntikkan di puncak stress, kemudian pencitraan dilakukan. Sementara itu, pada penandaan tetrofosmin, dapat dilakukan tanpa proses pemanasan sehingga lebih memudahkan bagi operator di rumah sakit untuk menyiapkannya. Inilah salah satu kelebihan sediaan 99m

Tc-tetrofosmin. Oleh karena itu, melihat peluang penggunaannya ke depan yang akan lebih memudahkan dan relatif lebih praktis, penelitian pembuatan sediaan yang terakhir ini perlu dilakukan. Di sisi lain sediaan 99mTc-tetrofosmin ini memang belum diproduksi di dalam negeri. Penelitian untuk penyediaan sediaan ini pun masih sangat minim, apalagi dengan bebagai larangan dan pembatasan bahan-bahan kimia impor.

Sintesis Senyawa Tetrofosmin

Proses sintesis tetrofosmin secara umum terbagi dalam tiga tahapan. Tahap pertama, dilakukan sintesis tetra etil etilen difosfonat (fosforan) dari trietil fosfit dan 1,2-dibromo etana. Kedua, reduksi fosforan dengan LiAlH4 sehingga diperoleh senyawa 1,2-difosfino etana. Tahap terakhir, reaksi adisi etil vinil eter pada senyawa 1,2-di(fosfino) etana.(7) Secara umum tiap tahapan reaksi sintesis tersebut diperlihatkan seperti pada gambar persamaan di bawah ini :

(3)

Gambar 2. Sintesis 1,2-difosfino etana

Gambar 3. Sintesis Tetrofosmin

Salah satu senyawa yang patut menjadi perhatian dalam reaksi tahap pertama ini adalah senyawa 1,2-dibromo etana (BrC2H4Br). Permasalahan dari senyawa ini adalah tidak dijual di pasaran karena alasan keamanan.(8,9) Oleh karena itu, secara mandiri dalam penelitian ini harus dilaksanakan sintesis sebelum melaksanakan ketiga tahapan proses tersebut.

Untuk mensintesis senyawa dibromo etana (sering disebut juga dibromo etilen) sebagai bahan dasar tahap pertama, secara teoritis persamaan reaksinya adalah berikut:

Namun demikian, kegiatan penelitian ini lebih difokuskan pada pembuatan senyawa perantara, yaitu sintesis tetra etil etilen difosfonat.

METODE Bahan

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah etanol absolut, asam fosfat pekat, dan brom buatan E-Merck untuk sintesis 1,2-dibromo etana.

Sintesis tetra etil etilen difosfonat (fosforan) dilakukan dengan proses destilasi dari hasil tahap pertama yang direaksikan dengan senyawa trietil fosfit. Bahan utama yang diperlukan adalah trietil fosfit buatan Aldrich.

Hasil tetra etil etilen difosfonat selanjutnya direduksi dengan LiAlH4 untuk mendapatkan senyawa 1,2-difosfino etana. Bahan-bahan yang diperlukan, yaitu : LiAlH4 dan dietil eter buatan E-Merck, gas nitrogen, larutan HCl 6N, dan Na2SO4.

Alat

Peralatan yang dibutuhkan dalam sintesis tahap pertama adalah labu leher tiga 500 ml, corong tetes 50 ml, termometer, dua buah botol trapping, sebuah elemeyer dengan outlet, kran gelas (stop cock) dan pipa-pipa kaca penghubung berserta selang penghubungnya. Labu leher tiga 500 ml, kolom fraksinasi (Figrid column), kondersor, termometer, labu penampung, dan elemeyer trapping kosong untuk tahap kedua. Labu leher tiga 2 L, corong tetes 500 ml, temometer dan pipa masukan gas nitrogen, kondensor, labu kosong, dan dua buah elemeyer trapping untuk tahap ketiga.

Peralatan pendukung lain untuk prosesnya sendiri adalah heater and stire plate, magnetic stirrer, pompa vakum, pompa sirkulasi air pendingin dan statif.

Cara Kerja

1. Sintesis 1,2-dibromo etana

Ke dalam botol trapping kedua (paling akhir), dimasukkan larutan NaOH 1 N sampai kira-kira pipa masukan tercelup tepat pada permukaan atas larutan. Tujuh mililiter brom dimasukkan ke dalam elemeyer dan 10 ml aquadest pada permukaan atasnya agar brom tidak menguap. Selanjutnya pada masing-masing botol trapping didinginkan dengan es batu pada bagian luarnya, sedangkan pada elemeyer berisi brom hanya dengan air saja.

Labu utama diisi dengan 20 ml etanol absolut kemudian dilanjutkan dengan 40 ml asam fosfat pekat. Campuran reaktan perlahan-lahan dipanaskan sambil diaduk sampai suhu 230 °C, kemudian alkohol absolut mulai diteteskan dari corong dengan kecepatan rata-rata satu tetes per detik.

Bagian stop cock (lihat gambar) ditutup bila gas etilen sudah mulai terbentuk dan dibuka kembali bila terjadi arus balik pada labu yang

(4)

ISSN 1978-0176

antara 250-300 °C untuk memberikan kondis gas yang konstan dan optimum. Operasi dihentikan bila brom telah berubah warna menjadi pirang dan agak bening.

2. Sintesis tetra etil etilen difosfonat (fosforan) Ke dalam labu leher tiga (labu utama) dimasukkan 314 gram (1,89 mol) trietil fosfit dan 200 gram (1,05 mol) dibromo etana. Campuran dipanaskan pada suhu 145-150 °C selama 1,5-2 jam dengan kecepatan pengadukan sedang.

Proses dijalankan sampai etil bromida yang menetes pada labu penampung tidak ada lagi. Setelah dingin, diambil hasil etil bromida yang tertampung kemudian disisihkan untuk dilanjutkan proses fraksinasi-vakum dari sisa residu yang ada pada labu utama.

Elemeyer trapping ditambahkan pada ujung kondensor dan dihubungkan ke pompa vakum. Proses fraksinasi dilakukan terhadap sisa residu pada tekanan 1 mmHg. Pemanasan dilakukan secara bertahap untuk mengambil beberapa fraksi produk. Produk tetra etil etilen difosfonat diambil dari fraksinasi suhu 160 °C. 3. Sintesis 1,2-difosfino etana

Sebelum proses dijalankan, disiapkan dry ice untuk pendinginan. Kedua elemeyer trapping diisi dengan air brom untuk menangkap gas yang keluar dari proses reduksi nantinya. Pipa masukan gas nitrogen dihubungkan dengan selangnya dan dialirkan gas nitrogen dengan kecepatan perlahan.

Ke dalam labu utama, dimasukkan campuran 40 gram LiAlH4 (1,05 mol) dalam 1 liter eter, kemudian ditutup kembali dan didinginkan dengan dry ice pada sisi luarnya, suhu 0 °C. Campuran 100 gram (0,33 mol) tetra etil etilen difosfonat dan 180 ml eter ditambahkan melalui corong tetes secara perlahan-lahan sambil diaduk dengan magnetic stirer. Kecepatan rata-rata satu tetes per detik, atau proses selama 3 jam.

Setelah proses selesai, campuran diamkan selama semalam pada suhu kamar. Hari berikutnya dilakukan poses hidrolisis (menggunakan rangkaian alat yang sama) dengan penambahan 800 ml asam klorida 6 N tetes demi tetes sambil diaduk dengan magnetic stirer.

Setelah proses hidrolisis selesai, dua lapisan yang terbentuk dipisahkan dengan corong pisah dan diambil lapisan eternya. Eter yang terpisahkan ditampung dalam eleyemer kemudian ditambahkan Na2SO4 untuk menyerap

air dan didiamkan semalam dalam kondisi tertutup rapat.

Hari berikutnya lapisan eter yang telah disaring, difosfino etana diambil menggunakan rangkaian alat fraksinasi-destilasi pada suhu 109°C.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Sintesis tahap pertama, prosesnya dilakukan dengan mereaksikan brom dan gas etilen hasil oksidasi etanol dengan asam fosfat pekat pada suhu 210 °C. Dalam proses ini asam fosfat pekat bertindak juga sebagai katalisator.

H3PO4

CH3-CH2-OH (l) 210 °C CH2=CH2 (g)

CH2=CH2 (g) + Br2 (l) Br CH2CH2 Br (l)

Gambar 4. Unit peralatan sintesis 1,2-dibromo etana

Unit alatnya ditunjukkan pada Gambar 4. Pada labu utama (tempat pembentukan gas etilen [kode 1]) menggunakan labu leher tiga yang terhubung dengan kolom refluks. Kontak etanol absolut dengan asam fosfat pekat panas menghasilkan gas etilen dengan tekanan yang cukup besar. Oleh karena itu, digunakan kolom refluks untuk mengurangi tekanan yang berlebihan dalam labu utama dan mengembalikan pereaksi yang tidak bereaksi sempurna.

Trapping pertama berfungsi untuk menjebak sisa etanol yang tidak teroksidasi menjadi etilen. Proses penjebakannya dilakukan dengan botol kosong yang diturunkan suhunya menggunakan es batu pada sisi luarnya. Melalui cara ini, etanol yang tidak bereaksi akan mencair kembali, sedang gas etilen yang terbentuk akan dialirkan ke labu berikutnya. Trapping kedua berupa botol yang diisi larutan NaOH 1 N dimana pipa masukan harus mengenai permukaan atas larutannya. Trapping ini berfungsi untuk menangkap brom yang terdesak keluar dari elemeyer sebelumnya karena proses airasi oleh gas etilen. Diharapkan brom tidak keluar

(5)

bebas ke lingkungan tetapi bereaksi terlebih dahulu dengan larutan NaOH sesuai persamaan:

Br2(g) + 2 Na+(aq) → 2 NaBr (aq)

(larutan kekuningan) Pada bagian lain, yaitu stop cock (kode 5) berfungsi sebagai pembuang gas-gas lain yang tidak terlalu penting pada saat awal pemanasan. Karena itu, selama pemanasan awal, kondisinya harus dibuka terlebih dahulu sampai gas etilen dihasilkan, dan baru kemudian dapat ditutup.

Proses karakterisasi awal terhadap produk hasil sintesis dilakukan dengan mengambil beberapa perbandingan sifat fisikanya terlebih dahulu. Langkah awal ini diambil untuk membandingkan produk yang diharapkan (1,2-dibromo etana) dengan data standar dan isomernya (1,1-dibromo etana) berdasarkan referensi pustaka, serta sebagai data pendukung untuk karakterisasi sifat kimia selanjutnya. Hasil dari perbandingan antara sampel produk dan data standar ditunjukkan pada Tabel 1.

Tabel 1. Perbandingan Data Fisika Sampel Produk Dengan Referensi Standar 1,2-Dibromo Etana dan

1,1-Dibromo Etana.

Karakterisasi selanjutnya dilakukan dengan mempertimbangkan sifat kimianya, yaitu menggunakan instrumen spektrofotometer FT-IR merek IR Prestige-21 Shimazdu. Hasil pengukuran spektrum serap inframerah antara sampel dan standar 1,2-dibromo etana dapat dilihat pada Gambar 5.

Gambar 5. Gambar Penggabungan Spektrum Serapan Infamerah Sampel

dan Standar 1,2-Dibromo Etana

Dari gambar tersebut telihat ada kesamaan serapan inframerah antara sampel dan standarnya pada beberapa bilangan gelombang. Kesamaan pertama yang dapat diidentifikasi adalah pada bilangan gelombang 586,36 cm-1, kesamaan kedua pada 1436,97 cm-1 dan ketiga pada 2954-2978 cm-1. Identifikasi terhadap kesamaan pertama spektrum tersebut merupakan daerah serapan untuk ikatan tekuk C-Br (510-660 cm-1), sedang untuk kesamaan kedua dan ketiga adalah daerah serapan untuk ikatan tekuk C-H (1350-1470 cm-1) dan ulur C-H (2850-3000 cm-1).

Sementara itu, dari gambar tersebut di atas terlihat juga adanya ketidaksamaan serapan spektrum inframerah antara sampel dan standarnya, yaitu pada bilangan gelombang 1734,01 cm-1. Dari literatur menunjukkan bahwa pada daerah tersebut adalah daerah serapan aldehid (1720-1740 cm-1) dan kemungkinan lain adalah serapan untuk ikatan C=C ulur. Temuan senyawa aldehid dimungkinkan karena ada sebagian alkohol yang teroksidasi oleh asam fosfat, dan terbawa oleh gas etilen sehingga bercampur dengan produk dibromo etana. Sedang untuk senyawa karbon ikatan rangkap dua, kemungkinan berasal dari sisa gas etilen yang bercampur dengan produk dan belum keluar terbebas ke atmosfir, atau dengan kata lain larut dalam dibromo etana.

Kebutuhan bahan untuk proses sintesis ini adalah 80 ml asam fosfat pekat dan 40 ml etanol absolut. Sementara itu, jumlah etanol yang dimasukkan setelah terjadi pembentukan etilen tidak terhitung karena dalam tahap ini yang dipakai sebagai pereaksi pembatasnya adalah brom.

Hasil perhitungan, menunjukkan 100 ml brom (densitas 3,12 g/ml, BM = 159,32 g/mol) dihasilkan 1,2-dibromo etana sebanyak 150 ml (densitas 2,067 g/ml, BM = 187,86 g/mol), atau menghasilkan yield sebesar 84,47%. Hasil sebesar ini belum maksimal karena dari proses pemurnian ada sedikit residu yang tidak bisa diambil, sehingga curah residu tersebut diasumsikan sebagai limbah yang tak bisa diproses lagi.

Jika ditinjau ulang masalah prosesnya ternyata menghasilkan beberapa senyawa samping. Pada proses oksidasi etanol sendiri ternyata tidak semua etanol dapat habis bereaksi sehingga harus diambil dengan memberikan trapping pendinginan sebelum mereaksikan ges etilen dengan brom cair. Sementara itu, pada reaksi utamanya (airasi etilen pada brom) menunjukkan dua reaktan tersebut tidak dapat bereaksi secara simultan. Ada sebagian dari kedua reaktan yang terbebas keluar menuju labu yang berisi larutan NaOH. Adanya sebagian reaktan yang tidak bereaksi inilah yang mempengaruhi besarnya yield atau rendemen.

Sintesis tahap kedua, dilakukan dengan mereaksikan dibromo etana dengan trietil fosfit.

(6)

ISSN 1978-0176

Reaksi dijalankan dengan proses destilasi-fraksinasi pada suhu 145-150 °C selama 2 jam. Skema reaksi

diperlihatkan pada Gambar 6 dan unit peralatan sintesisnya diperlihatkan pada Gambar 7.

Gambar 6. Skema Reaksi Sintesis Tetra Etil Etilen Difosfonat

Gambar 7. Unit Peralatan Sintesis Tetra Etil Etilen Difosfonat

Labu utama (kode 1) adalah tempat reaksi antara trietil fosfit dan dibromo etana dengan pemanasan. Kolom fraksinasi digunakan untuk memisahkan produk yang disintesis. Pada ujung kondensor dipasang labu yang didinginkan pada sisi luarnya untuk menampung etil bromida sebagai hasil samping dari reaksi ini (kode 2). Setelah etil bromida habis menetes, campuran reaktan yang ada pada labu utama didinginkan kembali pada suhu kamar.

Proses selanjutnya adalah fraksinasi-vakum dari residu yang ada pada labu utama dengan menggunakan kolom Figrid, pada tekanan 1 mmHg dan suhu 160 °C. Fraksinasi dilakukan sesuai teori dimana dimungkinkan adanya fraksi lain yang tidak sempurna bereaksi dengan dibromo etana. Fraksi-fraksi ini harus diambil berdasarkan karakteristik titik didih yang berbeda, yaitu:

Gambar 8. Unit Peralatan Fraksinasi-Vakum Tetra Etil Etilen Difosfonat

Gambar rangkaian alatnya dapat dilihat pada Gambar 8. Penggunaan elemeyer kosong (kode 3) pada proses ini lebih ditujukan sebagai pengaman agar fraksi produk yang tertampung dalam labu tidak mudah keluar dan ikut terserap pompa vakum.

Spektrum serap analisis spektrofotometri FT-IR hasil sintesis menggunakan dibromo etana hasil eksperimen dan standar pembanding dapat dilihat pada Gambar 9.

Gambar 9. Gambar Penggabungan Spektrum Infamerah Tetra Etil Etilen Difosfonat

Hasil Sintesis Menggunakan Dibromo Etana Hasil Sintesis dan Standar Pabrik

Hasil gabungan kedua gambar tersebut, terlihat bahwa kedua spektrogram memiliki kesamaan untuk daerah-daerah serapan infra merahnya, walaupun pada beberapa titik

(7)

kesamaannya memiliki perbedaan jumlah puncak. Daerah serapan 2902,87-2981,95 cm-1 dan 1388,75-1477,47 cm-1 adalah daerah serapan karakteristik senyawa karbon untuk ikatan ulur H dan tekuk C-H. Sementara itu, untuk indentifikasi senyawa tetra etil etilen difosfonat ada pada daerah serapan 1247,94-1255,66 cm-1 dan 920,05-1029,99 cm-1. Kedua daerah tesebut menunjukkan karakteristik untuk daerah serapan ikatan fosfonat (1230-1260 cm-1) dan ikatan P-O-R (900-1050 cm-1).

Hasil yang tidak diharapkan justru terdapat pada 3479,58-3483,44 cm-1 yang merupakan daerah serapan O-H. Ada dua kemungkinan penyebab fenomena seperti ini. Pertama, kedua senyawa tetra etil etilen difosfonat tersebut benar-benar mengandung air. Perlakuan untuk menyerap sisa air dari hasil sintesis sebenarnya sudah dilakukan dengan menambahkan serbuk Na2SO4, tetapi hasilnya juga belum memuaskan seperti yang ditunjukkan oleh gambar di atas. Adanya gugus pengganggu ini kemungkinan karena kontaminasi dari luar, baik pada saat proses karena menggunakan pendingin maupun kebersihan labu penampung yang digunakan. Permasalahan seperti ini sebenarnya dapat diabaikan karena konsentrasi airnya sangat kecil dan reaksi tahap berikutnya (tahap 3) juga berhubungan dengan air untuk menghidrolisis sisa pereduktornya.

Penyebab kedua kemungkinan berasal dari pembentukan ikatan hidrogen antar molekulnya. Jika ditinjau dari bentuk molekulnya cukup beralasan karena gugus fosfonat yang cenderung elektropositif dapat menarik hidrogen dari ikatan karbonnya.

Reaktan yang dibutuhkan adalah 100 ml trietil fosfit dan 32 ml dibromo etana. Dengan menggunakan dibromo etana hasil sintesis

sebelumnya, diperoleh fraksi terakhir tetra etil etilen difosfonat (pada suhu 160°C) sebanyak 20 ml.

Analisis perhitungan terhadap produk yang dihasilkan, diperoleh yield atau rendemen sebesar 24,51%. Hasil sebesar ini memang cukup rendah jika ditinjau untuk proses sintesis bahan. Namun untuk sintesis senyawa yang akan digunakan dalam dunia farmasi sebagai obat, hasil seperti ini cukup bagus mengingat sintesis untuk bahan baku obat atau obatnya sendiri biasanya dihasilkan dalam jumlah yang sedikit.

Jika ditinjau ulang reaksi pembentukan produknya, akan dihasilkan dua senyawa samping, yaitu dietil etilen fosfonat (fraksi I) dan dietil etilen fosfonat bromida (fraksi II) yang memiliki titik didih dibawah tetra etil etilen difosfonat. Hal ini yang cukup mempengaruhi besarnya yield disamping dari segi kesempurnaan prosesnya. Adanya reaktan yang tidak habis bereaksi juga akan mengurangi jumlah yield yang didapat.

Fraksinasi awal sangat menentukan jumlah produk yang didapat. Etil bromida yang belum terambil semua dalam proses tersebut juga dapat mengganggu pada proses fraksinasi-vakum berikutnya. Walaupun etil bromida dapat dipisahkan dari produk pada proses fraksinasi-vakum, namun adanya sedikit senyawa samping tersebut akan mempengaruhi reaksi (seperti pada Gambar 6) bergeser ke kiri sehingga mengurangi jumlah yield.

Pada sintesis tahap selanjutnya (tahap ketiga) dilakukan dengan mereduksi hasil sintesis sebelumnya (tetra etil etilen difosfonat) dengan reduktor LiAlH4. Proses reduksi dijalankan dengan medium dietil eter dan harus didinginkan karena reaksinya yang sangat eksotermis. Pendinginan dilakukan dengan menggunakan dry ice (es kering) yang telah disiapkan sebelumnya.

Gambar 10. Skema Reaksi Sintesis 1,2-Difosfino Etana

Proses pembutan difosfino etana dilaksanakan dalam sistem yang bebas oksigen karena sifat produknya yang mudah menyala. Oleh karena itu diperlukan gas nitrogen untuk mengisi sistem yang ada. Kecepatan pemasukan nitrogen dibuat dengan kecepatan sedang, yaitu sekitar 0,5 kgf/cm2.

Gambar 11. Unit Peralatan Sintesis 1,2-Difosfino Etana

(8)

ISSN 1978-0176

Untuk keamanan, selama pengerjaan sintesis tahap ini harus benar-benar preventif. Alat pelindung diri (APD) harus dipersiapkan terlebih dahulu sebelum prosesnya dimulai. Karena reaksi pada proses ini menghasilkan gas yang berbau menusuk, maka harus dipastikan sistem bekerja dalam ruangan yang terkungkung rapat, diminimalisir agar tingkat bahaya yang keluar sekecil mungkin.

Proses pendinginan dilaksanakan setelah reaktan pertama (campuran LiAlH4 dalam dietil eter) dimasukkan. Reaktan kedua (campuran tetra etil etilen difosfonat dalam dietil eter) dimasukkan setelah suhu dalam labu utama tercapai 0 °C. Pemasukan dilakukan tetes demi tetes sampai semuanya habis atau dijalankan maksimal selama selang waktu 3 jam proses.

Kebutuhan reaktan yang dipakai dalam tahapan ini adalah 66,5 ml (69,13 gram) tetra etil etilen difosfonat, 27,65 gram LiAlH4, 124,4 ml eter untuk pelarut tetra etil etilen difosfonat, dan 691,3 ml eter untuk pelarut reduktornya.

Hari berikutnya proses dilanjutkan dengan hidrolisis campuran yang ada dalam labu utama. Proses ini dimaksudkan untuk melarutkan sisa reduktor menjadi (ion) garam-garam yang larut dalam air. Dengan memberikan larutan asam klorida 6 N, maka garam-garam tersebut terhidrolisis menjadi garam LiAlCl4 yang larut dalam air.

LiAl(OH)4 + 4 HCl → LiAlCl4 + H2O LiAl(OC2H5)4 + 4 HCl → LiAlCl4 + C2H5OH LiAlCl4 + H2O → Li+ + Al3+ + 4Cl-

Gambar 12. Unit Peralatan Hidrolisis 1,2-Difosfino Etana

Unit peralatan proses hidrolisis ditunjukkan pada Gambar 12. Larutan asam klorida 6 N dimasukkan melalui corong tetes sebelah kiri. Karena reaksi antara asam klorida yang cukup pekat dengan sisa garam reduktor menghasilkan panas, maka penetesan dan pengadukan dijalankan secara perlahan-lahan. Suhu dijaga agar kenaikan tidak terlalu tinggi sehingga dapat mengurangi jumlah eter yang keluar karena menguap.

Proses hidrolisis menghasilkan dua lapisan zat cair, yaitu lapisan eter yang ada di atas dan lapisan air yang ada di bagian bawah. Senyawa difosfino etana praktis tidak larut dalam air, sehingga lapisan eter mudah dipisahkan untuk mengambil produknya. Setelah eter terpisahkan dan ditampung dalam elemeyer, Na2SO4 ditambahkan secukupnya untuk mengikat sisa air yang terbawa dalam eter. Hari berikutnya baru dapat dilanjutkan proses fraksinasi produk.

Fraksinasi dijalankan dalam lingkungan bebas oksigen, yaitu dengan menambahkan gas nitrogen. Trapping air brom tetap diberikan pada ujung rangkaian alat untuk menangkap gas-gas racun sehingga tidak keluar bebas ke lingkungan. Rangkaian alat fraksinasi produk difosfino etana ditunjukkan pada Gambar 13.

Gambar 13. Unit Peralatan Fraksinasi Produk 1,2-Difosfino Etana

Permasalahan besar mulai muncul pada tahap ini. Hasil difosfino etana yang diharapkan hanya diperoleh sedikit sekali di dalam residunya, kurang dari 5 ml. Pengambilan produk dilakukan dengan bantuan pemvakuman sistem sehingga produk dapat diambil semua tanpa meninggalkan residu. Tentu saja langkah ini diambil dengan asumsi bahwa sisa residu dari fraksinasi eter sebelumnya, benar-benar senyawa difosfino etana.

Dari kebutuhan reaktan tetra etil etilen difosfonat sebanyak 66,5 ml diperoleh senyawa yang diduga difosfino etana hanya sebanyak 2 ml.

Gambar 14. Gambar Spektrum Serapan Inframerah Dari Produk Sintesis Tahap Ketiga

(9)

Proses karakterisasi produk menggunakan instrumen FT-IR menghasilkan kurva serapan seperti yang ditunjukkan pada Gambar 14. Karena karakteristik utama dari senyawa difosfino etana adalah pada ikatan antara P-H, inilah yang utama untuk dicari. Ikatan P-H yang memilki daerah serapan karakteristik pada rentang 2280-2440 cm-1, pada pengukuran produk ini tidak dapat ditemukan, tidak ada satu pun serapan peak yang muncul pada daerah tersebut.

Karakteristik lain justru muncul mengidikasikan adanya gugus fosfonat dan gugus fosfat pada bilangan gelombang 1246,02 cm-1 dan 1186,22 cm-1. Hal ini menunjukkan bahwa ikatan P=O belum putus padahal ikatan P-O-R seperti dalam tetra etil etilen difosfonat telah putus. Di sinilah permasalahannya, senyawa difosfino etana yang diharapkan terbentuk, tidak terjadi sempurna. Proses reduksi memang berhasil memutus ikatan eter P-OR tetapi tidak bisa menggantinya dengan atom H menjadi P-H, kemudian reduksi juga belum berhasil mengambil oksigen sehingga gugus P=O masih ada.

Permasalahan yang terakhir tersebut sekali lagi adalah dugaan dengan melihat gugus fungsional dari senyawanya. Analisis lain yang sebenarnya dapat digunakan untuk mengetahui hasil produk secara tepat adalah spektometri massa. Dengan metode ini sampel suatu senyawa dapat ditentukan massa molekulnya secara tepat sehingga dapat diketahui jenis senyawanya. Akan tetapi, karena penjelasan sebelumnya dimana jumlah produk ini sangat sedikit, terpaksa analisis ini tidak bisa dilaksanakan.

Ketidakberhasilan upaya sintesis tahap ketiga ini dapat disebabkan karena prosesnya yang belum tepat dan optimum. Faktor pendinginan yang kurang stabil, penjagaan dari kebocoran dan pemberian tekanan nitrogen yang terlalu besar dapat menyebabkan senyawa difosfino etana tidak terbentuk atau bisa saja terbentuk namun dalam jumlah yang kecil. Proses hidrolisis mungkin juga dapat menjadi satu salah satu penyebab.

Jika ditinjau dari mekanisme reaksi seperti pada Gambar 10, belum putusnya ikatan P=O dari hasil identifikasi spektrofotometer FT-IR mungkin berasal dari reduktornya. Karena untuk memutus ikatan P=O dibutuhkan energi yang lebih besar, perlu bahan reduktor yang lebih banyak atau perlakuan proses yang lebih kuat. Secara perbandingan reaktan sudah tidak perlu dikaji lagi karena reduktor yang ditambahkan sudah berlebih. Fenomena yang ada pada proses justru memperlihatkan masih banyak reaktan LiAlH4 yang tidak habis bereaksi. Tinjauan lain mungkin berasal dari perlakuan proses, yaitu dibutuhkan pengadukan yang kuat agar ikatan tersebut dapat putus. Dengan pendinginan dan pengadukan pelan mungkin kurang

bisa memutus ikatannya sehingga proses kontak antar reaktan perlu dijalankan dengan kondisi yang agak cepat untuk memberikan energi yang kuat.

Dari kesemua tahapan sintesis sampai senyawa perantara, hasil yang dapat dipertanggungjawabkan adalah sintesis pertama dan kedua. Sintesis 1,2-dibromo etana dan tetra etil etilen difosfonat dapat dibuktikan dengan instrumen spektrofotometer FT-IR yang menunjukkan gugus-gugus fungsional penyusunnya. Sementara itu, percobaan sintesis 1,2-difosfino etana tidak menunjukkan hasil yang diharapkan.

Berbagai kendala yang ditemui, setidaknya dapat dijadikan pengalaman berharga bagaiman suatu penelitian harus dilakukan, dimulai dari perencanaan, penyiapan alat atau prosedur, dan atau pelaksanaan kegiatan hingga penulisan naskah.

KESIMPULAN

Berdasarkan penelitian yang telah dilaksanakan, maka dapat disimpulkan :

1. Telah diperoleh senyawa perantara tetrofosmin, yaitu tetra etil etilen difosfonat (fosforan) dengan data analisis FT-IR sesuai yang diharapkan.

2. Sintesis tahap pertama, yaitu pembuatan 1,2-dibromo etana menghasilkan yield sebesar 84,47%. Karakterisasi terhadap produk menggunakan instrumen spektrofotometer FT-IR, memastikan hasil sintesisnya tepat dan menunjukkan gugus-gugus penyusunnya. Prosedur sintesisnya dilakukan dengan cara mereaksikan brom cair dengan gas etilen yang dihasilkan dari oksidasi etanol dengan asam fosfat pekat pada suhu 210 °C.

3. Sementara itu, untuk sintesis tahap kedua, yaitu pembuatan tetra etil etilen difosfonat (fosforan) menghasilkan yield sebesar 24,51%. Karakterisasi menggunakan instrumen spektrofotometer FT-IR juga menunjukkan adanya gugus-gugus penyusun senyawa tersebut. Prosedur sintesis senyawa ini dilaksanakan dengan cara mem-fraksinasi-destilasi campuran 1,2-dibromo etana dan trietil fosfit pada suhu 145-150 °C selama dua jam. Residu dari proses tersebut selanjutnya diproses fraksinasi-vakum pada suhu 160 °C, tekanan 1 mmHg untuk mengambil fraksi terakhirnya, yaitu tetra etil etilen difosfonat. 4. Sedangkan ketidakberhasilan sintesis tahap

ketiga, faktor utamanya terletak pada proses. Pada sintesis 1,2-difosfino etana walaupun sudah menyesuaikan dengan prosedur sesuai referensi, tetapi belum bisa menghasilkan kondisi yang optimum, sehingga produk yang diharapkan tidak terbentuk.

(10)

ISSN 1978-0176

SARAN

Saran yang dapat diberikan dari penelitian ini adalah perlu adanya penelitian lebih lanjut untuk memperbaiki proses sintesis senyawa perantara ini agar diperoleh yield yang lebih besar disertai dengan penyederhanaan prosedur.

UCAPAN TERIMA KASIH

Ucapan terima kasih penulis haturkan kepada Prof. Dr. Aang Hanafiah Ws. yang telah memberikan ide penelitiannya sebagai bahan penelitian serta arahan dan bimbingan selama penelitian berlangsung sampai dengan penulisan ini.

DAFTAR PUSTAKA

1. Lampiran II Keputusan Menteri Riset dan Teknologi, No 193/M/Kp/IV/2010 tentang Agenda Riset Nasional 2010-2014, halaman 110-111.

2. MUKLIS A., Pengantar Teknologi Nuklir, Penerbit Rineka Cipta, Jakarta (1997) 152-154. 3. NURLAILA Z., I. DARUWATI, Reevaluasi MIBI sebagai Ligan 99mTc-MIBI untuk Pencitraan Myocardial, Prosiding Seminar Nasional Sains dan Teknologi Nuklir, PTNBR-BATAN, Bandung (2007).

4. WIKIPEDIA, situs ensiklopedia bebas, Teknesium-99m-Sestramibi, diakses tanggal 22 Februari 2010.

5. WIKIPEDIA, situs ensiklopedia bebas, Teknesium-99m-Tetrofosmin, diakses tanggal 22 Februari 2010.

6. J. DUCAN KELLY et.all., Technetium-99m-Tetrofosmin as a New Radiopharmaceutical for Myocardial Perfusion Imaging,. J. Nucl. Med. 1993, 34: 222-227.

7. R. GORDON REID, GEOFFRE T. WOOLLEY and LEWIS R. CANNING, The Syhthesis of 14C-Tetrofosmin, a Compound Vital to the Development of Myoview, Poster of 7th Symposium of The International Isotope Society, 18-22 June 2000, Dresden, Germany. 8. LAMPIRAN II PERATURAN PEMERINTAH

REPUBLIK INDONESIA NO 74 TAHUN 2001 Tentang Pengelolaan Bahan Berbahaya dan Beracun.

9. PERATURAN MENTERI PERTANIAN Nomor : 01/Permentan/OT.140/ 1/2007

Tentang Daftar Bahan Aktif Pestisida yang Dilarang dan Pestisida Terbatas.

10. http:/en.wikipedia.org/wiki/1,1-dibromoethane, diakses tanggal 19 Februari 2010, pukul 06:41. 11. http:/en.wikipedia.org/wiki/1,2-dibromoethane,

Gambar

Gambar 2. Sintesis 1,2-difosfino etana
Gambar 4. Unit peralatan sintesis 1,2-dibromo etana
Tabel 1.  Perbandingan Data Fisika Sampel Produk  Dengan Referensi  Standar 1,2-Dibromo Etana dan
Gambar 6. Skema Reaksi Sintesis Tetra Etil Etilen Difosfonat
+3

Referensi

Dokumen terkait

Laporan pendapat kewajaran ini disusun sesuai dengan SPI seperti yang ditetapkan oleh MAPPI, dimana pendekatan yang diaplikasikan sesuai dengan standar penilaian

Pada paragraf terdahulu telah dijelaskan bahwa yang memahami istilah-istilah asing dalam surat menyurat bisnis formal berbahasa Inggris, sebagian besar adalah pengusaha Mebel

[r]

In case of perfect logical gates the number of 1-s in OR-holding neuron can be com- puted like measure theory predicts: n[OR(input1, input2)] = n[inputl] + n[input2] −

Pembangunan yang tidak merata dan terpusat pada beberapa sektor ekonomi di beberapa wilayah dengan sumber daya yang tinggi menyebabkan tingkat ketimpangan

Alasan intoleransi terhadap kaum homoseksual tidak hanya berdasarkan perbedaan orientasi dan gaya hidup mereka, stigma yang paling berbahaya terhadap mereka adalah

10 Penipuan dengan skema ini semakin sulit dibedakan oleh masyarakat sebab mereka hadir dengan menggunakan kedok bisnis yang sah dan diakui seperti pemasaran berjenjang

Meskipun pemerintah terus mengalami kerugian dari aktivitas pembangunan PASTY, pedagang satwa, pedagang tanaman hias, pedagang makanan dan pengelola parkir mengalami