• Tidak ada hasil yang ditemukan

USM KEBERMAKNAAN HIDUP KAUM GAY USIA DEWASA MADYA SKRIPSI. Oleh: MASTHA MARLINA F

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "USM KEBERMAKNAAN HIDUP KAUM GAY USIA DEWASA MADYA SKRIPSI. Oleh: MASTHA MARLINA F"

Copied!
168
0
0

Teks penuh

(1)

i USM

KEBERMAKNAAN HIDUP KAUM GAY USIA DEWASA MADYA

SKRIPSI Oleh: MASTHA MARLINA F.131.13.0181 FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS SEMARANG SEMARANG 2019

(2)
(3)
(4)

iv

PERSEMBAHAN

Kupersembahkan Skripsi ini untuk:

Semua pihak yang selalu susah payah memberian doa,

dukungan, dan kelancaran sehinngga aku dapat menyelesaikan

(5)

v MOTTO

(6)

vi

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Kebermaknaan Hidup Kaum Gay Usia Dewasa Madya”. Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada :

1. Dr. Lucia Rini Sugiarti, S.Psi., M.Si., Psikolog., selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas Semarang.

2. Agung Santoso Pribadi, S.Psi., M.Psi., Psikolog., selaku Dosen Pembimbing terima kasih atas berbagai bentuk bantuan yang diberikan kepada penulis, sehingga skripsi ini terselesaikan.

3. Anna Dian Savitri, S.Psi., M.Si., Psikolog., selaku Ketua Program Studi S1 Fakultas Psikologi Universitas Semarang sekaligus Dosen Penguji yang telah berkenan memberikan masukan, sehingga skripsi ini dapat menjadi lebih baik. 4. Purwaningtyastuti, S.Psi., M.Si., Psikolog., selaku Dosen Penguji yang telah

berkenan memberikan masukan, sehingga skripsi ini dapat menjadi lebih baik. 5. Rekan-rekan gay di Medan dan di Jakarta yang telah berpartisipasi dalam

penelitian, terima kasih atas bantuan yang diberikan sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik.

6. Seluruh Dosen Fakultas Psikologi Universitas Semarang, terima kasih telah bersedia memberikan ilmunya kepada penulis.

7. Seluruh staf Tata Usaha Fakultas Psikologi Universitas Semarang, terima kasih.

(7)
(8)

viii ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kebermaknaan hidup homoseksual pada kaum gay usia dewasa madya dan faktor-faktor yang memengaruhi kebermaknaan hidup homoseksual pada kaum gay usia dewasa madya. Metode utama yang digunakan adalah metode wawancara dan sebagai metode pelengkap, yaitu observasi. Subjek dalam penelitian ini adalah tiga orang

gay dan berusia 40-60 tahun atau dewasa madya. Teknik pengambilan sampel

dalam penelitian ini adalah purposive sampling. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kaum gay usia dewasa madya telah dapat menunjukkan kebermaknaan hidup. Kaum gay usia dewasa madya, sangat memperhatikan hubungan yang terjalin antara diri pribadi dengan lingkungan. Kemampuan dalam menjalin hubungan baik tersebut dapat menumbuhkan rasa puas dan bermakna dalam kehidupan yang dijalani kaum gay usia dewasa madya. Kebermaknaan hidup yang dimiliki kaum gay usia dewasa madya ditandai dengan nilai-nilai daya cipta/kreatif (creative values), nilai penghayatan (experiental values), nilai-nilai bersikap (attitudinal values), dan harapan. Faktor yang memengaruhi kebermaknaan hidup homoseksual pada kaum gay usia dewasa madya, antara lain faktor kehidupan keagamaan/ spiritualitas/ibadah, hati nurani, pekerjaan, keindahan, cinta pada sesama, pengalaman, bertindak positif, dan pengakraban hubungan.

(9)

ix ABSTRACT

This study aims to determine the meaningfulness of homosexual life in gay middle adulthood and the factors that influence the meaningfulness of homosexual life in gays of middle adulthood. The main method used is the interview method and as a complementary method, namely observation. The subjects in this study were three gay people and aged 40-60 years or middle-aged adults. The sampling technique in this study was purposive sampling. The results of the study show that gay adult middle age can show the meaning of life. Gays of middle adulthood, are very concerned about the relationship between personal self and the environment. The ability to establish good relations can foster a sense of satisfaction and meaning in the lives of gay adults. The significance of life owned by gay adults is characterized by creative values, experiential values, attitudinal values, and expectations. Factors that influence the meaningfulness of homosexual life in gays of middle adulthood include religious life / spirituality / worship, conscience, work, beauty, love for others, experience, acting positively, and intimacy of relationships.

(10)

x DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL DALAM ... i

HALAMAN PERNYATAAN ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv HALAMAN MOTO ... v KATA PENGANTAR ... vi ABSTRAK ... viii ABSTRACT ... ix DAFTAR ISI ... x

DAFTAR TABEL ... xiv

DAFTAR GAMBAR ... xv

DAFTAR LAMPIRAN ... xvi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Perumusan Masalah ... 9

C. Tujuan Penelitian ... 10

D. Manfaat Penelitian ... 10

1. Manfaat Teoritis ... 10

2. Manfaat Praktis ... 11

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kebermaknaan Hidup ... 12

(11)

xi

2. Aspek-aspek Kebermaknaan Hidup ... 14

3. Faktor-faktor yang Memengaruhi Kebermaknaan Hidup ... 18

B. Gangguan Identitas Gender (gender identity disorder) ... 24

C. Orientasi Seksual ... 24

D. Homoseksual ... 25

E. Gay ... 26

F. Dewasa Madya ... 28

G. Kebermaknaan Hidup Kaum Homoseksual Gay Usia Dewasa Madya ... 29

H. Kerangka Berpikir ... 31

BAB III METODE PENELITIAN A. Metode Penelitian Kualitatif ... 32

B. Fokus Penelitian ... 33

C. Subyek Penelitian ... 33

D. Metode Pengumpulan Data ... 34

1. Wawancara ... 34 2. Observasi ... 36 E. Rancangan Penelitian... 36 1. Persiapan Penelitian... 36 2. Pelaksanaan Penelitian ... 37 F. Keabsahan Data ... 38

G. Metode Analisis Data ... 40

(12)

xii

BAB IV PELAKSANAAN DAN HASIL PENELITIAN

A. Orientasi Kancah Penelitian ... 44

B. Pra Penelitian ... 46

C. Pelaksanaan Penelitian ... 47

D. Hasil Temuan Penelitian ... 48

1. Subjek Penelitian 1 ... 49 2. Subjek Penelitian 2 ... 65 3. Subjek Penelitian 3 ... 76 4. Informan Penelitian 1 ... 85 5. Informan Penelitian 2 ... 91 6. Informan Penelitian 3 ... 96 E. Pemetaan Konsep... 100 F. Verifikasi Data ... 101 G. Pembahasan ... 114 BAB V PENUTUP A. Simpulan ... 120

1. Kebermaknaan Hidup Kaum Gay Usia Dewasa Madya ... 120

2. Faktor-faktor yang Memengaruhi Kebermaknaan Hidup Kaum Gay Usia Dewasa Madya ... 121

B. Saran ... 121

1. Bagi Kaum Gay Usia Dewasa Madya ... 121

(13)

xiii

3. Bagi Peneliti Lain ... 122 DAFTAR PUSTAKA ... 123 LAMPIRAN ... 125

(14)

xiv

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

Tabel 1. Rincian Jadwal Pelaksanaan Penelitian ... 50

Tabel 2. Unit Makna dan Makna Psikologis pada Subjek Penelitian 1 ... 64

Tabel 3. Unit Makna dan Makna Psikologis pada Subjek Penelitian 2 ... 77

Tabel 4. Unit Makna dan Makna Psikologis pada Subjek Penelitian 3 ... 86

Tabel 5. Unit Makna dan Makna Psikologis pada Informan Penelitian 1 ... 92

Tabel 6. Unit Makna dan Makna Psikologis pada Informan Penelitian 2 ... 94

Tabel 7. Unit Makna dan Makna Psikologis pada Informan Penelitian 3 ... 101

(15)

xv

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

Gambar 1. Kerangka Penelitian ... 31 Gambar 2. Peta Konsep Keterhubungan Antar Unit Makna ... 103

(16)

xvi

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman

Lampiran A. Pedoman Wawancara ... 126

Lampiran B. Hasil Wawancara dengan Subyek Penelitian ... 130

Lampiran C. Hasil Wawancara dengan Informan Penelitian ... 153

Lampiran D. Informed Concern ... 161

(17)

1

A. Latar Belakang Masalah

Individu dalam menentukan pasangan hidup, masing-masing orang mempunyai kecenderungan yang disebut orientasi seksual. Orientasi seksual terbagi menjadi heteroseksual (ketertarikan terhadap lawan jenis), homoseksual (ketertarikan terhadap sesama jenis) dan biseksual (ketertarikan terhadap lawan jenis dan sesama jenis. Homoseksual merupakan salah satu kelainan seksual berupa disorientasi terhadap pasangan seksualnya; pada pria disebut gay dan pada perempuan disebut lesbian (Oetomo, dalam Pontoh, dkk, 2015: 900-901). Ada banyak faktor yang diduga menjadi pengaruh penyimpangan seksual pada seseorang, baik itu dari luar maupun dalam diri seseorang termasuk pengalaman masa kanak-kanak, khususnya interaksi antara anak dan orang tua (Semiun, dalam Pontoh, dkk, 2015: 901). Kaum homoseksual termasuk dalam kaum deviant, atau disebut juga dengan kelompok yang menyimpang. Dimana dengan perilaku yang menyimpang membuat sebagian besar komunitas bahkan individu homoseksual sulit untuk berinteraksi dengan masyarakat luas (Akbar dan Sihabudin, dalam Yogestri & Prabowo, 2014: 200).

Keberadaan kaum minoritas dalam masyarakat Indonesia khususnya yang berhubungan dengan orientasi seksual kaum gay berasal dari penetrasi budaya barat yang pada awalnya terbentuk dan berkembang di masyarakat dari sikap penerimaan dan penolakan masyarakat umum terhadap keberadaan kaum

(18)

2

homoseksual merupakan hal yang relatif baru di Indonesia. Berbeda dengan keberadaan kaum waria atau transgender/trasnvestite yang relatif lokal dan telah ada di masyarakat Indonesia dalam kurun waktu yang cukup lama. Kaum gay, lesbi atau waria atau yang sekarang lebih populer dengan istilah LGBT (Lesbian,

Gay, Bisexual and Transgender) merupakan kaum minoritas dan umumnya tidak

diterima oleh masyarakat karena utamanya tidak sesuai dengan moral dan ajaran agama di Indonesia. Terbukanya ruang publik di era transisi demokrasi terutama semenjak munculnya era Reformasi di tahun 1998 memberikan semakin memberikan ruang bagi setiap warga negara untuk menampilkan identitasnya, termasuk kaum gay dan lesbian. Selain itu, munculnya beberapa asosiasi untuk mewadahi kaum ini juga mulai bermunculan, sebut saja beberapa organisasi yang tidak saja mewadahi tapi juga peduli kepada pemenuhan hak-hak kaum LGBT, seperti GAYa Nusantara dan Indonesian Gay Society yang berdiri di era 1980s atau Arus Pelangi yang berdiri lebih mutakhir pada tahun 2006.Di semarang, juga terdapat organisasi Semarang Gay Community (SGC). Kebanyakan anggota dari SGC berusia antara 20-40 tahun yaitu telah memasuki umur dewasa awal.

Keberadaan kaum gay juga mulai diakui semenjak dideklarasikannya Hak Asasi Manusia (HAM) 1945 yang menjamin hak mendasar kemanusiaan seperti hak untuk hidup dan lain sebagainya, maka keberadaan homoseksual mulai diakui. Pada tahun 1994 semakin dipertegas dengan International conference of

Population and Development (ICPD) yang berisi 12 butir tentang hak kesehatan

reproduksi dan seksual. Bahkan pada akhir 2006 di Yogyakarta, 29 ahli hukum internasional merumuskan 29 prinsip hak-hak manusia yang terkait dengan

(19)

orientasi dan identitas gender. Prinsip-prinsip ini dikenal dengan Yogyakarta

Principles.

Namun, orientasi seksual yang lazim ada dalam masyarakat adalah heteroseksual, sedangkan homoseksual oleh masyarakat dianggap sebagai penyimpangan orientasi seksual. Orientasi seksual disebabkan oleh interaksi yang kompleks antara faktor lingkungan, kognitif, dan biologis. Menurut Jose, dkk

(dalam Yogestri & Prabowo, 2014: 200), meskipun perubahan sosial dan hukum di beberapa negara telah menyebabkan penerimaan besar pada keragaman seksual, stigma yang terkait dengan homoseksualitas masih berperan penting dalam penyebab penyesuaian psikososial pada kaum homoseksual. Apalagi di Indonesia yang masih memiliki latar belakang adat ketimuran dan kental dengan norma-norma sosial yang mengikat, sehingga masyarakatnya akan memberikan sanksi sosial kepada individu yang berperilaku menyimpang, seperti perilaku homoseksual dengan cara menghina hingga mengucilkan.

Menurut Lopez, dkk (dalam Yogestri & Prabowo, 2014: 200) kondisi tersebut menjadi permasalahan utama bagi kaum homoseksual. Kaum homoseksual merasakan bahwa posisi kaum homoseksual adalah kaum minoritas. Dalam kondisi tertekan seperti itu dapat menimbulkan kecemasan sosial (social

anxiety) pada kaum homoseksual. Kaum homoseksual merasakan ketakutan

ditolak dan didiskriminasi. Penelitian internasional menunjukkan bahwa anak muda homoseksual menunjukkan kecenderungan lebih besar untuk depresi dan mengalami kecemasan. Risiko lain yang terkait dengan permasalahan ini adalah perilaku menyakiti diri sendiri (self injuring behaviour), dan keinginan bunuh diri.

(20)

Hasil penelitian Jose, et al. (2012: 9) di Spanyol diketahui bahwa remaja homoseksual menunjukkan tingkat depresi yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan remaja heteroseksual. Kaum homoseksual tersebut dapat digolongkan dalam dua jenis. Seorang perempuan yang memiliki ketertarikan terhadap perempuan disebut lesbian, sedangkan seorang laki yang tertarik dengan laki-laki disebut gay, sehingga dapat dikatakan baik gay maupun lesbian sama-sama merasakan kondisi tertekan (dalam Yogestri & Prabowo, 2014: 201).

Kondisi tertekan yang dialami kaum gay tidak terlepas dari karakteristik usia. Salah satu tahap perkembangan yang penuh dengan permasalahan adalah tahap usia dewasa. Hurlock membagi masa dewasa menjadi tiga, yaitu masa dewasa dini (18-40 tahun), masa dewasa madya (40-60 tahun) dan masa dewasa lanjut/usia lanjut (60 tahun sampai kematian). Masa dewasa dini merupakan periode penyesuaian diri terhadap pola-pola kehidupan baru dan harapan-harapan sosial baru. Orang dewasa muda diharapkan memainkan peran baru, seperti peran suami/isteri, orang tua dan pencari nafkah, dan mengembangkan sikap-sikap baru, keinginan-keinginan dan nilai-nilai baru sesuai dengan tugas-tugas baru ini. Penyesuaian diri ini menjadikan periode ini suatu periode khusus dan sulit dari rentang hidup seseorang. Bagi kaum gay, ketidakmampuan dalam memainkan peran baru, terutama peran dalam kehidupan berumah tangga dapat membawa permasalahan tersendiri, yaitu munculnya perasaan tidak bermakna dalam menjalani kehidupan.

Sebagaimana penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Wardani dan Septiningsih (2016: 37) yang menunjukkan bahwa pada tahap masa dewasa

(21)

madya individu mengalami permasalahan kesepian. Penelitian tersebut dilakukan pada 3 (tiga) orang tahap perkembangan middle age (masa dewasa pertengahan) yang masih melajang atau belum pernah menikah atau belum memiliki pasangan hidupyang ada di Purwokerto. Dari hasil penelitian ini ditemukan bahwa ketiga informan dengan jenis kelamin 2 pria dan 1wanita, masing-masing informan memiliki beberapa tipe kesepian yang berbeda. Selain itu, ditemukan tipe kesepian yang sama yang dialami oleh ketiga informan penelitian, yaitu tipe kesepian emosional dan tipe kesepian kognitif. Hal ini berarti menunjukkan bahwa ketiga informan memiliki masalah yang sama yaitu bersumber pada tipe kesepian emosional dan kognitif. Ketiga informan membutuhkan kasih sayang tetapi tidak mendapatkannya karena tidak ada figur kasih sayang yang intim dari lawan jenis atau dari keluarga serta hanya memiliki sedikit teman untuk berbagi pikiran atau mencurahkan segala perasaan yang terpendam. Berdasarkan hasil penelitian tersebut dapat diketahui bahwa tuntutan untuk dapat menjalani kehidupan berumah tangga bagi individu yang berada dalam tahap perkembangan usia dewasa madya, termasuk kaum gay dapat membawa dampak bagi munculnya perasaan tidak bermakna dalam menjalani kehidupan. Apalagi, kaum gay dihadapkan pada stigma negatif yang diberikan masyarakat sebagi kaum yang aneh dan membawa pengaruh negatif bagi lingkungan.

Makna hidup merupakan suatu yang dirasakan penting, benar, berharga, serta memberikan nilai khusus bagi seseorang dan layak dijadikan tujuan hidup. Kebermaknaan hidup ini, menurut Bastaman (dalam Ritonga, 2006:1), merupakan hasrat yang paling mendasar pada manusia. Seseorang yang gagal atau sulit

(22)

menemukan makna hidupnya, maka akan merasa frustrasi dan hidupnya terasa hampa. Individu gagal mencapai makna hidup yang berarti karena tidak menyadari bahwa semua pengalaman hidupnya mempunyai potensi yang dapat dikembangkan lebih luas. Ketika pengalaman hidup itu bernilai negatif maka individu hanya bisa merasakan kesedihan saja. Padahal kesedihan itu kelak ternyata bermanfaat besar dalam mengembangkan kepribadiannya. Sedangkan Sidiq menyatakan, pencapaian kebermaknaan hidup dapat diartikan lebih luas sebagai usaha manusia untuk dapat mengaktualisasikan diri yang bertujuan untuk mendapatkan pengakuan dalam lingkungannya secara bebas tanpa harus terpilah-pilah oleh struktur sosial dan hal ini merupakan hak asasi setiap manusia. Proses pencarian jati diri ini akan sampai pada penemuan kebermaknaan hidup (Cahyono, 2014).

Peneliti telah melakukan pengambilan data awal melalui wawancara pada tanggal 3-4 November 2018 terhadap dua orang gay yang berada pada tahap usia dewasa madya, yaitu D ( 48 tahun) dan C.H (49 tahun). Kedua orang gay tersebut memiliki latar belakang yang berbeda satu sama lain, baik dari segi keluarga, pekerjaan, hingga penyebab keduanya menjadi gay. “D” saat ini bekerja di salon miliknya sendiri yang merupakan salon yang dirintis sejak lama berawal dari hobinya berdandan (KB/S1P1/B.2). “D” mulai menyadari adanya gangguan orientasi seksual gay sejak SMP. Terdapat konflik batin dalam diri “D” dikarenakan “D” pertama kali jatuh cinta kepada seseorang yang ternyata adalah laki-laki. Akan tetapi, hal yang mendasari keputusan “D” menjadi seorang gay adalah sebuah kejujuran (KB/S1P1/B.55-65). “D” yang merasa berbeda dengan

(23)

laki-laki pada umumnya, memberanikan diri untuk mengakuinya di depan keluarga ataupun teman-temannya. Apalagi, orangtua “D” yang tergolong sibuk tidak begitu memperhatikan perkembangan dari “D”. kondisi tersebut berlanjut hingga akhirnya “D” terjerumus lebih dalam menjadi gay karena memiliki teman-teman yang juga mengalami gangguan orientasi seksual gay. Seiring berjalannya waktu, orangtua “D” mulai menyadari adanya keanehan yang ditunjukkan “D”. orangtua “D”, terutama sosok ayah menanyakan hal tersebut kepada “D” hingga akhirnya “D” terbuka dan orangtua dapat menerima hal tersebut (KB/S1P1/B.77-92). Kegigihan yang ditunjukkan “D” dalam mengatasi berbagai pandangan negatif orang lain, menjadikan “D” dapat merasakan kebermaknaan hidup. Selain itu, “D” meskipun sebagai sosok yang kurang agamis, sedikit demi sedikit belajar agama dan mendekatkan diri kepada Tuhan. Hal tersebut menjadikan “D” menyadari bahwa Tuhan telah mengatur segala sesuatu yang akan terjadi pada manusia, namun manusia juga harus dapat menunjukkan kegigihan dalam menghadapi setiap tantangan kehidupan (KB/S1P1/B.102-106).

Lain halnya dengan “D”, “C.H” (49 tahun) memiliki masa lalu yang kurang menyenangkan. Latar belakang “C.H” menjadi seorang gay dikarenakan pada masa lalu “C.H” menjadi korban pelecehan seksual oleh pamannya (KB/S2P1/B.3-12). Semenjak kejadian tersebut, “C.H” memendam kemarahan yang mendalam terhadap pamannya. Rasa benci kepada paman yang telah memperkosanya mendorong “C.H” melakukan hal yang sama kepada lelaki-lelaki lain agar juga merasakan rasa sakit yang dialaminya (KB/S2P1/B.15-19). Berawal dari kejadian tersebut pula, “C.H” memutuskan untuk keluar dari rumah dan

(24)

berusaha agar bisa mencapai kesuksesan dan tidak menggantungkan diri kepada orangtuanya. “C.H” sosok pekerja keras, dan setia terhadap pasangannya meskipun seringkali hanya dimanfaatkan oleh pasangannya. Meskipun pergi meninggalkan rumah akan tetapi “C.H” tetap menjalin komunikasi dengan keluarga. Ketidakbermaknaan hidup dirasakan oleh “C.H” terutama dalam hal pasangan hidup, karena “C.H” menganggap setiap pasangan yang dimilikinya hanya mengejar uang yang dimilikinya (KB/S2P1/B.25-38).

Kaum gay yang belum merasakan kebermaknaan hidup merasa tertekan dengan berbagai pandangan negatif terhadap gay. Kaum gay pun merasa malu dan rendah diri ketika berada di lingkungan sosial karena belum memiliki pasangan hidup. Kaum gay juga merasa bahwa meskipun dirinya menunjukkan kepedulian terhadap orang lain, namun orang lain tetap mengasingkannya. Kaum gay merasa tidak percaya diri dengan kondisinya, membutuhkan dukungan dari orang-orang disekitarnya. Stigma dan diskriminasi yang bisa dialami dari keluarga dan masyarakat ataupun stigma dan diskriminasi terhadap diri dan keluarganya menjadikan kaum gay menyalahkan diri sendiri. Kaum gay juga merasakan ketakutan dengan kematian yang sewaktu-waktu dapat menjemput seseorang, padahal kaum gay merasa tidak memiliki kesiapan.

Kebermaknaan hidup adalah harapan dan keyakinan kuat seseorang untuk bisa bersatu dengan orang-orang yang dicintainya, adanya sesuatu yang harus dituntaskan di masa depan (Frankl dalam Boeree, 2004: 387). Individu yang menghayati hidupnya bermakna menunjukkan kehidupan yang dijalani penuh dengan semangat, optimis, tujuan hidup jelas, kegiatan yang dilakukan lebih

(25)

terarah dan lebih disadari, mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan, luwes dalam bergaul tetapi tidak terbawa atau kehilangan identitas diri, tabah apabila dihadapkan pada suatu penderitaan dan menyadari bahwa ada hikmah di balik penderitaan serta mencintai dan menerima cinta. Kenyataannya, belum semua gay mampu merasakan kebermaknaan hidup meskipun telah memasuki masa usia dewasa madya.

Berdasarkan dari uraian latar belakang permasalahan yang telah penulis uraikan diatas, penulis tertarik untuk mengangkat judul “Kebermaknaan Hidup Homoseksual pada Kaum Gay Usia Dewasa Madya.”

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian pada latar belakang, maka permasalahan yang timbul dapat dirumuskan sebagai berikut:

1. Bagaimana kebermaknaan hidup homoseksual pada kaum gay usia dewasa madya?

Pengambilan keputusan menjadi gay merupakan keputusan yang berat dan membutuhkan berbagai pertimbangan-pertimbangan tertentu. Selain itu, pengambilan keputusan menjadi gay juga membutuhkan suatu proses dan besarnya dorongan yang dapat membuat tekad individu menjadi gay semakin kuat. Peneliti akan berusaha untuk mengetahui kebermaknaan hidup homoseksual pada kaum gay usia dewasa madya dikarenakan keputusan menjadi gay dapat berdampak pada kebahagiaan yang dirasakan individu.

(26)

2. Faktor-faktor apa saja yang memengaruhi kebermaknaan hidup homoseksual pada kaum gay usia dewasa madya?

Kebermaknaan hidup dapat terwujud karena beberapa faktor yang memengaruhinya. Peneliti akan mencari tahu faktor-faktor apa saja yang memengaruhi kebermaknaan hidup homoseksual pada kaum gay usia dewasa madya dengan melakukan wawancara terhadap subjek penelitian dan informan penelitian. Adapun pedoman wawancara disusun berdasarkan faktor-faktor yang memengaruhi kebermaknaan hidup.

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana kebermaknaan hidup homoseksual pada kaum gay usia dewasa madya dan faktor-faktor yang memengaruhi kebermaknaan hidup homoseksual pada kaum gay usia dewasa madya.

D. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan memiliki manfaat sebagai berikut : 1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan, informasi, wacana, terutama bagi pengembangan teori Psikologi Perkembangan, Psikologi Sosial, dan Psikologi Kepribadian juga sebagai referensi bagi penelitian selanjutnya.

(27)

2. Manfaat Praktis

Hasil penelitian diharapkan dapat dipergunakan sebagai bahan masukan bagi kaum gay usia dewasa madya, pihak keluarga dan masyarakat pada umumnya dalam rangka memahami kebermaknaan hidup homoseksual pada kaum

(28)

12

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

E. Kebermaknaan Hidup

1. Pengertian Kebermaknaan Hidup

Pencapaian kebermaknaan hidup dapat diartikan lebih luas sebagai usaha manusia untuk dapat mengaktualisasikan diri yang bertujuan untuk mendapatkan pengakuan dalam lingkungannya secara bebas tanpa harus terpilah-pilah oleh struktur sosial dan hal ini merupakan hak asasi setiap manusia. Proses pencarian jati diri ini akan sampai pada penemuan kebermaknaan hidup (Cahyono, 2014). Kebermaknaan merupakan hasrat yang paling mendasar pada manusia. Ketika seseorang gagal atau sulit menemukan makna hidupnya, maka akan merasa frustrasi dan hidupnya terasa hampa. Individu gagal mencapai makna hidup yang berarti karena tidak menyadari bahwa semua pengalaman hidupnya mempunyai potensi yang dapat dikembangkan lebih luas. Ketika pengalaman hidup itu bernilai negatif maka individu hanya bisa merasakan kescdihan saja. Padahal kesedihan itu kelak ternyata bermanfaat besar dalam mengembangkan kepribadian (Ritonga, 2006: 1).

Makna hidup adalah hal-hal yang dianggap sangat penting dan berharga serta memberikan nilai khusus bagi seseorang, sehingga layak dijadikan tujuan dalam kehidupan (the purpose in life). Bila hal itu berhasil dipenuhi akan

(29)

menyebabkan seseorang merasakan kehidupan yang berarti dan pada akhirnya akan menimbulkan perasaan bahagia (happiness), merasa berguna, berharga dan berarti (meaningful). Makna hidup ternyata ada pada kehidupan itu sendiri, dan dapat ditemukan dalam setiap keadaan yang menyenangkan dan tak menyenangkan, keadaan bahagia, dan penderitaan (Bastaman, 2007: 45-46).

Kebermaknaan hidup adalah alasan orang untuk hidup melalui kemampuannya untuk berdiri tegak dalam kondisi apapun tanpa menanyakan bagaimana caranya (Frederick dalam Boeree, 2004: 386-387). Kebermaknaan hidup adalah harapan dan keyakinan kuat seseorang untuk bisa bersatu dengan orang-orang yang dicintainya, adanya sesuatu yang harus dituntaskan di masa depan (Frankl dalam Boeree, 2004: 387). Motivasi hidup manusia yang utama adalah mencari makna. Ini berbeda dengan psikoanalisa yang memandang manusia adalah pencari kesenangan atau juga pandangan psikologi individual bahwa manusia adalah pencari kekuasaan. Makna hidup adalah sesuatu yang dianggap penting, benar dan didambakan serta memberikan nilai khusus bagi seseorang. Untuk tujuan praktis makna hidup dianggap identik dengan tujuan hidup. Makna hidup setidaknya memiliki beberapa karakteristik sebagaimana dijelaskan oleh Bastaman (2005), yaitu sebagai berikut:

a. Unik dan personal

Unik dan personal adalah apa yang dianggap berarti oleh seseorang belum tentu berarti bagi orang lain, bahkan apa yang dianggapnya bermakna pada saat ini mungkin berbeda dalam waktu yang berbeda. Jadi, unik dan personal

(30)

merupakan makna yang bersifat khusus bagi individu dan mungkin khusus utuk satu kurun waktu.

b. Spesifik dan konkrit

Spesifik dan konkrit artinya makna hidup dapat ditemukan dalam pengalaman dan kehidupan nyata sehari-hari dan tidak selalu harus dikaitkan dengan tujuan-tujuan idealistik, prestasi-prestasi akademis yang tinggi atau hasil-hasil renungan filosofis yang kreatif. Persitiwa sehari-hari pun dapat memberikan makna kehidupan seseorang.

c. Memberikan pedoman dan arah

Memberikan pedoman dan arah artinya makna hidup yang ditemukan oleh seseorang akan memberikan pedoman dan arah terhadap kegiatan-kegiatan yang dilakukannya.

Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa kebermaknaan hidup adalah sesuatu yang dianggap penting, benar dan didambakan serta memberikan nilai khusus bagi seseorang, sehingga layak dijadikan tujuan dalam kehidupan (the purpose in life).

2. Aspek-aspek Kebermaknaan Hidup

Makna hidup dapat ditemukan dalam kehidupan itu sendiri, betapapun buruknya kehidupan tersebut. Makna hidup tidak saja dapat ditemukan dalam keadaan-keadaan yang menyenangkan, tetapi juga dalam penderitaan sekalipun, selama kita mampu melihat hikmah-hikmahnya. Ada bidang kegiatan yang secara potensial mengandung nilai-nilai yang memungkinkan seseorang menemukan makna hidup dalamnya apabila nilai-nilai itu diterapkan dan dipenuhi (Bastaman

(31)

2007: 46-47). Oleh karena itu individu dapat menemukan makna hidupnya dengan merealisasikan nilai-nilai yang ada yaitu :

a. Nilai-nilai Daya Cipta atau Kreatif (Creative Values)

Nilai-nilai kreatif dapat direalisasikan dalam bekerja dan berkarya serta melaksanakan tugas dengan keterlibatan dan tanggung jawab penuh pada pekerjaan. Sebenarnya pekerjaan hanyalah merupakan sarana yang dapat memberikan kesempatan untuk menemukan dan mengembangkan makna hidup. Makna hidup bukan terletak pada pekerjaan melainkan pada sikap dan cara kerja yang mencerminkan keterlibatan pribadi pada pekerjaannya. Berbuat kebajikan dan melakukan hal-hal yang bermanfaat bagi lingkungan termasuk usaha merealisasikan nilai-nilai kreatif (Bastaman, 2007: 195).

b. Nilai-nilai Penghayatan (Experiential Values)

Nilai-nilai penghayatan yaitu keyakinan dan penghayatan akan nilai-nilai kebenaran, kebajikan, keindahan, keadilan, keimanan, keagamaan, cinta kasih dan nilai-nilai lain yang dianggap berharga. Menghayati dan meyakini suatu nilai dapat menjadikan seseorang berarti hidupnya. Dalam hal ini cinta kasih merupakan nilai yang sangat penting dalam mengembangkan hidup bermakna. Mencintai seseorang berarti menerima sepenuhnya keadaan yang dicintai seperti apa adanya serta benar-benar memahami kepribadiannya dengan penuh pengertian. Dengan jalan mengasihi dan dikasihi, seseorang akan merasakan hidupnya sarat dengan pengalaman-pengalaman penuh makna dan membahagiakan (Bastaman, 2007: 195-196).

(32)

Nilai dalam bersikap berarti menerima dengan tabah dan mengambil sikap yang tepat terhadap penderitaan yang tak dapat dihindari lagi setelah berbagai upaya dilakukan secara optimal tetapi tak berhasil mengatasinya. Mengingat peristiwa tragis ini tak dapat dielakkan lagi, maka sikap menghadapinya yang perlu diubah. Dengan mengubah sikap diharapkan beban mental akibat musibah mengurang, bahkan dapat memberikan pengalaman berharga bagi penderita yang dalam bahasa sehari-hari disebut hikmah. Penderitaan memang dapat memberikan makna apabila penderita mampu mengatasinya dengan baik, sekurang-kurangnya dapat menerima keadaannya setelah upaya maksimal dilakukan tetapi tetap tidak berhasil mengatasi. Optimisme dalam menghadapi musibah ini tersirat dalam ungkapan-ungkapan seperti “makna dalam derita”

(meaning in suffering) dan “Hikmah dalam musibah” (Blessing in disquise)

(Bastaman, 2007: 196).

Frankl menyebut nilai ketiga, yaitu nilai-nilai bersikap (attitudinal values) sebagai nilai yang paling tinggi, dengan merealisasikan nilai bersikap ini berarti individu menunjukkan keberanian dan kemuliaan menghadapi penderitaannya itu memiliki makna pada dirinya. Ketika menderita karena sesuatu, individu bergerak kedalam menjauhi sesuatu itu. Membentuk suatu jarak di antara kepribadiannya dan sesuatu itu. Selama individu menderita suatu keadaan yang tidak semestinya ada atau terjadi, individu akan berada di dalam tegangan antara apa yang sesungguhnya terjadi di satu pihak dan apa yang semestinya terjadi di lain pihak, sehingga individu tersebut akan dapat mempertahankan pandangannya kepada hal yang ideal. Jadi, penderitaan

(33)

menurut Frankl memiliki makna ganda, membentuk karakter sekaligus membentuk kekuatan dan ketahanan diri. Menurut Frankl pula bahwa esensi suatu nilai bersikap terletak pada cara seseorang secara ikhlas dan tawakal menyerahkan dirinya pada suatu keadaan yang tidak bisa dihindarinya. Yaitu menerima dengan penuh ketabahan, kesabaran dan keberanian segala bentuk penderitaan yang tidak mungkin dielakkan lagi.

d. Harapan (Hope)

Harapan adalah keyakinan akan terjadinya hal-hal baik atau perubahan yang menguntungkan di kemudian hari. Harapan memberikan sebuah peluang dan solusi serta tujuan baru yang menjanjikan yang dapat menimbulkan semangat dan optimisme. Orang yang berpengharapan selalu menunjukkan sikap positif terhadap masa depan, penuh percaya diri, dan merasa optimis dapat meraih kehidupan yang lebih baik. Pengharapan mengandung makna hidup karena adanya keyakinan akan terjadinya perubahan yang lebih baik, ketabahan menghadapi keadaan buruk saat ini dan sikap optimis menyongsong masa depan (Bastaman, 2007: 50-51).

Frankl (dalam Bastaman, 2005) menyatakan bahwa terdapat tiga aspek penting dalam makna hidup, yaitu:

a. Makna kerja

Makna hidup bukanlah untuk dipertanyakan tetapi untuk direspon, karena individu bertanggung jawab atas hidupnya sendiri. Jawaban tidak cukup hanya diberikan dalam kata-kata tetapi yang utama adalah dengan berbuat dan melakukan. Begitu pentingnya suatu pekerjaan akan terlihat paling jelas ketika

(34)

pekerjaan tersebut secara keseluruhan hilang dari kehidupanseseorang yang kemudian menjadi penganggur. Suatu telaah psikologi atas para penganggur telah sampai pada sebuah konsep unemployment neurosis, yaitu gangguan emosi dengan apatisme sebagai simptom yang paling mencolok.

b. Makna penderitaan

Penderitaan memberikan suatu makna bila individu menghadapi dengan sikap tepat situasi tragis yang tidak dapat dihindari. Hanya bilamana suatu keadaan sungguh-sungguh tidak bisa diubah dan individu tidak lagi memiliki peluang untuk merealisasi nilai kreatif, maka saatnyalah untuk merealisasi nilai-nilai bersikap.

c. Makna cinta

Eksistensi manusia didasari oleh keunikan dan keistimewaan individu tersebut. Cinta berarti mengalami hidup bersama orang lain dalam segala keunikan dan keistimewaannya. Cinta meliputi penerimaan penuh akan nilai-nilai, tanpa kontribusi maupun usaha dari yang dicintai, cinta membuat pencinta menerima segala keunikan dan keistimewaan orang yang dicintainya.

Berdasarkan uraian tersebut diketahui bahwa aspek-aspek kebermaknaan hidup adalah nilai-nilai daya cipta atau kreatif (creative values), nilai-nilai penghayatan (experiential values), nilai-nilai bersikap (attitudinal values), dan harapan (hope). Aspek-aspek tersebut akan digunakan sebagai dasar penyusunan pedoman wawancara untuk mengungkap kebermaknaan hidup homoseksual pada kaum gay usia dewasa madya.

(35)

3. Faktor-faktor yang Memengaruhi Kebermaknaan Hidup

Bastaman (2005) memodifikasi metode untuk menemukan makna hidup yang dikembangkan oleh Crumbaugh menjadi “Panca Cara Temukan Makna” yang digunakan dalam menyusun program pelatihan melatih diri mengembangkan pribadi, yaitu:

a. Pemahaman pribadi, dengan mengenali kelebihan-kelebihan dan kelemahan-kelemahan diri secara objektif, baik yang potensial maupun yang sudah teraktualisasi. Dengan demikian akan memperjelas gambaran mengenai diri sendiri yang diistilahkan dengan konsep diri.

b. Bertindak positif, dengan cara membiasakan diri melakukan tindakan-tindakan yang baik dan bermanfaat, sehingga akan memberi dampak positif pula terhadap perkembangan pribadi dan kehidupan sosial.

c. Pengakraban hubungan, dengan membina hubungan yang akrab dengan orang lain sehingga dihayati sebagai hubungan yang dekat, mendalam, saling percaya dan saling memahami.

d. Pendalaman tri nilai, dengan berusaha memahami dan memenuhi tiga macam nilai hidup, yaitu:

1) Nilai-nilai Kreatif (creative Value)

Bekerja dan berkarya serta melaksanakan tugas dengan keterlibatan dan tanggung jawab penuh pada pekerjaan. Sebenarnya pekerjaan hanya merupakan sarana yang dapat memberikan kesempatan untuk menemukan dan mengembangkan makna hidup. Makna hidup bukan terletak pada pekerjaan, melainkan sikap dan cara kerja yang mencerminkan keterlibatan

(36)

pribadi pada pekerjaan. Yang terpenting dalam aktivitas kerja bukan lingkup atau luasnya pekerjaan, melainkan bagaimana seseorang bekerja sehingga orang tersebut mampu mengisi penuh lingkaran aktivitasnya. Berbuat kebajikan dan melakukan hal-hal yang bermanfaat bagi lingkungan termasuk usaha merealisasi nilai-nilai kreatif.

2) Nilai-nilai penghayatan (Experiental Value)

Nilai-nilai penghayatan mencoba memahami, meyakini dan menghayati berbagai nilai yang ada dalam kehidupan, seperti kebenaran, keindahan, kasih sayang, kebajikan dan keimanan. Kegiatan yang berkaitan dengan nilai penghayatan, yakni meyakini kebenaran dalam kitab suci, merasakan keakraban dalam keluarga, menjalankan ritual keagamaan. Nilai-nilai penghayatan ini akan menimbulkan rasa bahagia, kepuasan, ketentraman dan perasaan diri bermakna.

3) Nilai-nilai Bersikap (Attitudinal Value)

Setiap perjalanan hidup individu, pasti mendapat keadaan yang menyedihkan, kondisi-kondisi tragis atau peristiwa mengenaskan. Esensi nilai bersikap terletak pada cara seseorang yang dengan ikhlas dan tawakkal menyerahkan diri pada keadaan yang tidak dapat dihindari. Dalam keadaan ini hanya sikap yang dapat diubah dan bukan peristiwa itu sendiri. Dengan mengambil sikap yang tepat, maka beban pengalaman-pengalaman tragis yang dialami berkurang, bahkan mungkin peristiwa tersebut memberikan pelajaran berharga dan menimbulkan makna yang berarti bagi individu yang bersangkutan.

(37)

e. Ibadah

Individu dengan melaksanakan perintah Tuhan dan mencegah diri dari melakukan hal-hal yang dilarang-Nya menurut ketentuan agama. Ibadah yang dilaksanakan dengan khusyu’ dapat menimbulkan perasaan tentram, mantap dan tabah. Manusia secara hakiki mampu menemukan makna hidupnya dengan mendekatkan diri pada agama serta mendapatkan ketenangan menghadapi persoalan-persoalan hidup dengan lebih bijaksana.

Faktor-faktor yang memengaruhi penemuan makna hidup pada individu, menurut Frankl (2003) adalah sebagai berikut:

a. Kehidupan keagamaan/spiritualitas

Menurut Frankl, makna hidup sering ditemukan dalam kehidupan keagamaan spiritualitasnya, bahwa manusia tidak akan menjadi bermoral karena memiliki kesadaran yang baik, tetapi demi untuk sebuah sebab dimana dia akan memberikan komitmen dirinya demi Tuhannya. Makna juga bisa merupakan persoalan filsafat hidup yaitu suatu kesadaran yang baik adalah dasar yang paling baik sebagai moralitas yang benar.

b. Hati nurani

Menurut Frankl, hati nurani adalah semacam spiritualitas alam bawah sadar yang sangat berbeda dari insting-insting alam bawah sadar lainnya. Hati nurani adalah inti dari keberadaan manusia dan merupakan sumber integritas personal individu. Menjadi manusia adalah menjadi bertanggung jawab, bertanggung jawab secara eksistensial, tertanggung jawab terhadap keberadaannya sendiri di atas dunia (Frankl, dalam Boeree 2004). Frankl mengartikan hati nurani

(38)

sebagai pemahaman yang bersifat pra-reflektif dan kearifan hati atau sesuatu yang sensitif dibanding kesensitifan rasio (Frankl, dalam Boeree 2004). Hati nurani itulah yang memberi makna pada hidup yang dijalani.

c. Pekerjaan

Manusia dapat menemukan makna hidup dalam aktifitas kerja, yang penting bukanlah lingkup dan luasnya, melainkan bagaimana seseorang bekerja sehingga dapat memenuhi lingkaran aktifitasnya tersebut. Sebenarnya pekerjaan hanyalah merupakan sarana yang dapat memberikan kesempatan untuk menemukan dan mengembangkan makna hidup. Makna hidup bukan terletak pada pekerjaan melainkan pada sikap dan cara kerja yang mencerminkan keterlibatan pribadi pada pekerjaannya (Bastaman, 2007: 195-196).

d. Keindahan

Individu dapat menemukan makna hidup melalui sikap menerima atau menyerahkan diri kepada kehidupan dan dapat dilakukan dengan jalan menyukai dan menghayati kehidupan.

e. Cinta pada sesama

Cinta juga dapat menjadikan orang yang mengalaminya mampu melihat nilai-nilai kehidupan. Kemampuan melihat nilai-nilai-nilai-nilai inilah yang membuat batin seseorang menjadi kaya. Memperkaya batin itu sendiri adalah salah satu unsur yang membentuk makna hidup. Cinta kasih merupakan nilai yang sangat penting dalam mengembangkan hidup bermakna. Mencintai seseorang berarti menerima sepenuhnya keadaan yang dicintai seperti apa adanya serta

(39)

benar-benar memahami kepribadiannya dengan penuh pengertian. Dengan jalan mengasihi dan dikasihi, seseorang akan merasakan hidupnya sarat dengan pengalaman-pengalaman penuh makna dan membahagiakan (Bastaman, 2007: 195-196).

f. Pengalaman

Pengalaman memiliki makna yang cukup vital. Pengalaman bertindak menjaga manusia dari apatis atau memelihara psikis. Pengalaman juga dapat membuat seseorang matang, lebih kaya dan lebih kuat. Mengingat peristiwa tragis ini tak dapat dielakkan lagi, maka sikap menghadapinyalah yang perlu diubah. Dengan mengubah sikap diharapkan beban mental akibat musibah mengurang, bahkan dapat memberikan pengalaman berharga bagi penderita yang dalam bahasa sehari-hari disebut hikmah. Penderitaan memang dapat memberikan makna apabila penderita mampu mengatasinya dengan baik, sekurang-kurangnya dapat menerima keadaannya setelah upaya maksimal dilakukan tetapi tetap tidak berhasil mengatasi. Optimisme dalam menghadapi musibah ini tersirat dalam ungkapan-ungkapan seperti “makna dalam derita” (meaning

in suffering) dan “Hikmah dalam musibah” (Blessing in disquise) (Bastaman,

2007:196).

Berdasarkan uraian di atas, faktor-faktor yang memengaruhi kebermaknaan hidup adalah kehidupan keagamaan/spiritualitas/ibadah, hati nurani, pekerjaan, keindahan, cinta pada sesama, pengalaman, bertindak positif, dan pengakraban hubungan.

(40)

F. Gangguan Identitas Gender (gender identity disorder)

Sebagian orang tidak bahagia dengan jenis kelaminnya. Individu merasa bahwa dirinya terperangkap dalam tubuh yang keliru dan ingin berubah menjadi jenis kelamin lain. Inilah yang disebut dengan gangguan identitas gender (gender

identity disorder) (Boeree, 2008: 164). Sementara itu, Oltmanns & Emery

menyatakan bahwa sebagian orang sangat yakin bahwa anatomi dan identitas gender memiliki perasaan yang kuat bahwa dirinya adalah perempuan yang terjebak dalam tubuh seorang laki-laki. Bagi perempuan, pola sebaliknya berlaku. DSM-IV-TR mengkategorikan perasaan tidak nyaman dengan seks anatomis sendiri sebagai gangguan identitas gender. Hal ini juga disebut transeksualisme atau disforia gender (Oltmanns & Emery, 2013: 115). Para penderita gangguan identitas gender tidak secara harafiah percaya bahwa dirinya adalah anggota lawan jenis. Alih-alih, penderita gangguan identitas gender merasa bahwa, kecuali anatomi fisiknya lebih seperti gender lain (Oltmanns & Emery, 2013: 115).

G. Orientasi Seksual

Orientasi seksual terbagi menjadi heteroseksual (ketertarikan terhadap lawan jenis), homoseksual (ketertarikan terhadap sesama jenis) dan biseksual (ketertarikan terhadap lawan jenis dan sesama jenis (Pontoh, dkk, 2015:902). Ada banyak faktor yang diduga menjadi pengaruh penyimpangan seksual pada seseorang, baik itu dari luar maupun dalam diri seseorang termasuk pengalaman

(41)

masa kanak-kanak, khususnya interaksi antara anak dan orang tua (Semiun, dalam Pontoh, dkk, 2015:901).

Pola asuh orang tua merupakan hal yang berperan penting dalam menentukan sikap dan tingkat anak. Dalam sebuah wawancara dengan seorang

gay, dapat diperoleh kesimpulan sementara bahwa pengalaman masa kanak-kanak

yang tidak menyenangkan dengan perlakuan orang tua yang terlalu keras maupun orang tua yang tidak peduli terhadap anaknya telah menjadi pendorong yang kuat bagi munculnya penyimpangan seksual.Anak-anak ini kemudian bergabung dalam komunitas gay dimana mereka merasa lebih diterima (Hurlock dalam Pontoh, dkk, 2015:901).

H. Homoseksual

Homoseksual merupakan salah satu kelainan seksual berupa disorientasi

terhadap pasangan seksualnya; pada pria disebut gay dan pada perempuan disebut

lesbian (Oetomo dalam Pontoh, dkk, 2015:901). Homoseksual sendiri mengalami

beberapa fase dalam hidupnya sebelum dirinya mengikrarkan menjadi

homoseksual. Menurut (Soetjiningsih, 2004) sebelum seseorang mengidentifikasi

dirinya secara seksual, individu melalui tiga tahapan yaitu (1) sensitisasi dimana individu mengalami perasaan yang berbeda (orientasi seksual), (2) Kebingungan identitas (identity confusion) seseorang memiliki ketertarikan lebih kuat dengan sesama jenis daripada lawan jenis, biasanya pada fase ini remaja yang diidentifikasi sebagai homoseksual akan mempunyai kecenderungan yang kuat terhadap penyalahgunaan drug, alkohol, depresi bahkan suicide, (3) Asumsi

(42)

identitas (identity assumption), Pada tahap ini remaja mulai menerima dirinya sebagai homoseksual (lesbian) yang terjadi pada remaja akhir (usia 18-21 tahun) dan mulai coming out, (4) komitmen (commitment), remaja homoseksual (lesbian) sampai pada dewasa dini akan menyadari dan menerima dirinya serta masyarakat lebih mengenal sebagai homoseksual (lesbian) (Kusuma, 2012: 7).

Homoseksualitas adalah rasa ketertarikan romantis dan/atau seksual atau

perilaku antara individu berjenis kelamin atau gender yang sama. Sebagai orientasi seksual, homoseksualitas mengacu kepada pola berkelanjutan atau disposisi untuk pengalaman seksual, kasih sayang, atau ketertarikan romantis terutama atau secara eksklusif pada orang dari jenis kelamin sama. Istilah umum dalam homoseksualitas yang sering digunakan adalah lesbian untuk perempuan pecinta sesama jenis dan gay untuk pria pecinta sesama jenis (Zuhra, 2012:1). Istilah homoseksualitas mengacu kepada pasangan laki-laki dan perempuan yang menyukai sesama jenisnya, sehingga untuk laki-laki adalah homo atau gay dan perempuan adalah lesbian (Reksodirdjo, 2011: 6).

Berdasarkan uraian tersebut diketahui bahwa homoseksual adalah salah satu kelainan seksual berupa disorientasi terhadap pasangan seksualnya; pada pria disebut gay dan pada perempuan disebut lesbian

I. Gay

Gay umumnya mengacu pada homoseksualitas laki-laki, tetapi dapat

digunakan secara luas untuk merujuk kepada semua orang LGBT. Dalam konteks seksualitas, lesbian, hanya merujuk pada homoseksualitas perempuan. Kata

(43)

"lesbian" berasal dari nama pulau Yunani Lesbos, di mana penyair Sapfo banyak sekali menulis tentang hubungan emosionalnya dengan wanita muda (Zuhra, 2012:7-8). Menurut Akbar dan Sihabudin (2011), kaum homoseksual termasuk dalam kaum deviant, atau disebut juga dengan kelompok yang menyimpang. Dimana dengan perilaku yang menyimpang membuat sebagian besar komunitas bahkan individu homoseksual sulit untuk berinteraksi dengan masyarakat luas (dalam Yogestri & Prabowo, 2014: 200).

Hasil penelitian Jose, et al. (2012) di Spanyol diketahui bahwa remaja

homoseksual menunjukkan tingkat depresi yang lebih tinggi jika dibandingkan

dengan remaja heteroseksual. Kaum homoseksual tersebut dapat digolongkan dalam dua jenis. Seorang perempuan yang memiliki ketertarikan terhadap perempuan disebut lesbian, sedangkan seorang laki yang tertarik dengan laki-laki disebut gay, sehingga dapat dikatakan baik gay maupun lesbian sama-sama merasakan kondisi tertekan (dalam Yogestri & Prabowo, 2014: 201).

Khusus untuk pasangan sesama laki-laki, sebenarnya istilah gay pun tidak cocok digunakan, karena secara lingustik, kata gay sendiri mengacu kepada seseorang yang ramah dan ceria. Dalam masyarakat barat, dalam hal ini Prancis, jangan terlalu kaget apabila ada yang mengatakan Moi, je suis gai karena artinya adalah Saya adalah orang yang ceria. Untuk mengatakan bahwa saya adalah penyuka sesama laki-laki, maka digunakan istilah Moi, je suis homo atau Moi, je

suis pede (Reksodirdjo,2011:6).

Berdasarkan uraian tersebut diketahui bahwa gay adalah salah satu kelainan seksual, yaitu penyuka sesama laki-laki.

(44)

J. Dewasa Madya

Desmita (2012: 234) menyatakan bahwa masa dewasa merupakan masa perkembangan dimana kemampuan fisik mencapai puncaknya. Masa dewasa madya berlangsung antara usia 40-45 tahun. Masa dewasa madya berlangsung antara usia 40-65 tahun. Bagi banyak orang, masa dewasa madya (paruh baya) dipenuhi dengan tanggung jawab berat serta peran yang banyak dan sulit, menjalankan rumah tangga, departemen, atau bisnis, anak yang sudah siap meninggalkan rumah, dan merawat orangtua yang sudah lanjut usia ataupun memulai karir baru. Umumnya ini adalah tanggung jawab dan peran yang kebanyakan orang dewasa dalam usia paruh baya merasa mampu untuk menanganinya, tetapi seringkali mengorbankan waktu luang. Pada saat yang sama, banyak individu yang berada pada masa dewasa madya telah mencapai tujuannya dan membesarkan anak-anaknya, memiliki perasaan bebas dan kemandirian meningkat. Banyak yang mengalami perasaan berhasil dan tidak memiliki kendala di dalam pekerjaan dan hubungan sosial yang memuncak, bersamaan dengan kesadaran yang lebih realistis akan keterbatasannya dan kekuatan luar yang tidak bisa dikendalikan (Lachman, dalam Papalia, dkk, 2009: 222).

Hurlock (2009: 320) menyatakan bahwa pada umumnya usia madya atau usia setengah baya dipandang sebagai masa usia antara 40-60 tahun. Masa tersebut pada akhirnya ditandai oleh adanya perubahan-perubahan jasmani dan mental. Pada usia 60 tahun biasanya terjadi penurunan kekuatan fisik, sering pula

(45)

diikuti oleh penurunan daya ingat. Oleh karena usia madya merupakan periode yang panjang dalam rentang kehidupan manusia, biasanya usia tersebut dibagi-bagi ke dalam dua subdibagi-bagian, yaitu usia madya dini yang membentang dari usia 40-50 tahun dan usia madya lanjut yang berbentang antara usia 50-60 tahun. Selama usia madya lanjut, perubahan fisik dan psikologis yang pertama kali mulai selama 40-an awal menjadi lebih kelihatan.

Berdasarkan uraian tersebut diketahui bahwa masa dewasa madya adalah tahap perkembangan individu yang berlangsung antara usia 40-60 tahun yang ditandai dengan perkembangan fisik mencapai puncaknya, memiliki perasaan bebas dan kemandirian.

K. Kebermaknaan Hidup Kaum Homoseksual Gay Usia Dewasa Madya

Salah satu deviasi orientasi seksual (yaitu gay) dewasa ini semakin marak dibicarakan, khususnya di kalangan masyarakat. Akan tetapi, secara mayoritas masyarakat Indonesia masih homofobia (anti terhadap homoseksual). Berbagai ejekan dan penolakan kerapkali dialaami oleh gay. Hal tersebut menyebabkan sebagian dari gay merasa tidak nyaman dengan keadaan dirinya, perasaan cemas, tertekan, rendah diri dan menarik diri yang dapat menghalangi kesempatan dalam berkarir maupun berprestasi, bahkan mereka merasa takut untuk mengungkapkan diri (coming out) di tengah-tengah masyarakat. Berbagai penolakan dari masyarakat terhadap kaum homoseksual gay dapat mengakibatkan kurangnya kebermaknaan hidup yang dirasakan kaum homoseksual gay.

(46)

Kebermaknaan hidup adalah alasan orang untuk hidup melalui kemampuannya untuk berdiri tegak dalam kondisi apapun tanpa menanyakan bagaimana caranya (Frederick dalam Boeree, 2004: 386-387). Kebermaknaan hidup adalah harapan dan keyakinan kuat seseorang untuk bisa bersatu dengan orang-orang yang dicintainya, adanya sesuatu yang harus dituntaskan di masa depan (Frankl dalam Boeree, 2004: 387). Apabila kaum gay berhasil menemukan makna hidup akan menyebabkan kehidupan menjadi bermakna yang pada akhirnya menimbulkan kebahagiaan (happiness). Hal lainnya yang perlu dicapai untuk menemukan makna hidup yaitu memiliki tujuan dalam hidup, namun apabila hal tersebut tidak tercapai dan tidak terpenuhi menyebabkan kehidupan kaum gay dirasa tidak bermakna (meaningless).

Penelitian terdahulu yang dilakukan Sidiq, dkk (2012: 9) menunjukkan bahwa pria homoseksual menemukan makna hidupnya setelah menerima dan membuka diri (coming out) bahwa dirinya adalah pria homoseksual, karena sudah mendapatkan jawaban atas jati diri dan orientasi seksual serta identitasnya dengan melakukan penghayatan sehingga dapat merasakan kebahagiaan. Partisipan pertama dan partisipan ketiga menemukan makna hidupnya dengan saling berbagi pengalaman hidup dan memberi dukungan kepada teman-teman yang memiliki masalah hidup yang sama (teman sehati) sehingga menjadi suatu bentuk pembelajaran bagi dirinya. Partisipan kedua menemukan makna hidupnya dengan membentuk komunitas Y sebagai tempat penguatan teman-teman yang memiliki masalah hidup yang sama, kemudian partisipan kedua juga menjadi aktivis bagi kaum Homoseksual (Gay dan

Lesbian), Biseksual, Transgender yang memperjuangkan segala sesuatu hal berkaitan

(47)

Kebermaknaan hidup pada kaum homoseksual gay bukanlah hal yang mudah untuk dicapai, dikarenakan terdapat berbagai faktor yang memengaruhinya. Baik dari kehidupan spiritualitas, pemahaman pribadi, bertindak positif, pekerjaan, cinta dan pengalaman sangat menentukan kebermaknaan hidup yang dirasakan kaum homoseksual gay. Ketidakmampuan menemukan kebermaknaan hidup pada kaum homoseksual gay dapat membawa dampak bagi kehidupan, seperti adanya perasaan fustrasi, hampa, tidak bermakna, tanpa tujuan, tanpa arah, bosan dan apatis.

L. Kerangka Penelitian Gambar 1 Kerangka Berpikir Kebermaknaan Hidup Kaum Gay Menolak Gambaran Kebermaknaan Hidup

1. Nilai-nilai daya cipta 2. Nilai-nilai penghayatan 3. Nilai-nilai bersikap 4. Harapan (hope)

Faktor yang Berpengaruh 1. Kehidupan keagamaan/

spiritualitas/ibadah 2. Hati nurani

3. Pekerjaan 4. Keindahan

5. Cinta pada sesama 6. Pengalaman

7. Bertindak positif, dan pengakraban hubungan

(48)

32 BAB III

METODE PENELITIAN

A. Metode Penelitian Kualitatif

Metode penelitian merupakan salah satu unsur terpenting dalam penelitian ilmiah. Penggunaan metode penelitian yang tepat dapat memberikan pengaruh yang cukup besar pada suatu permasalahan yang muncul dalam penelitian. Metode penelitian yang tepat dapat memperoleh hasil penelitian yang lebih dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Sehubungan dengan hal itu, maka penelitian mengenai kebermaknaan hidup homoseksual pada kaum gay usia dewasa madya menggunakan metode penelitian kualitatif.

Penelitian kualitatif bertitik tolak pada paradigma fenomenologis yang objektivitasnya dibangun atas rumusan tentang situasi tertentu bagaimana yang dihayati oleh individu atau kelompok sosial tertentu dan relevan dengan tujuan penelitian. Dalam metode penelitian kualitatif ini menggunakan pendekatan kualitatif fenomenologis yaitu mencoba menjelaskan atau mengungkap makna konsep atau fenomena pengalaman yang didasari oleh kesadaran yang terjadi pada beberapa individu. Dalam penelitian kualitatif ini pengolahan data bersifat deskriptif yang diperoleh dari hasil wawancara bebas terpimpin, observasi non partisipan, dan catatan lapangan.

Menurut Moleong (2005: 6) metode penelitian kualitatif yaitu penelitian yang menghasilkan prosedur analisis yang tidak menggunakan prosedur analisis statistik atau cara kuantifikasi lainnya. Penelitian kualitatif didasarkan pada upaya

(49)

membangun pandangan mereka yang diteliti rinci dibentuk dengan kata-kata gambaran holistik dan rumit. Peneliti kualitatif cenderung mengumpulkan datanya melalui kontak terus menerus dengan orang dalam setting alamiah.

B. Fokus Penelitian

Kebermaknaan hidup adalah sesuatu yang dianggap penting, benar dan didambakan serta memberikan nilai khusus bagi seseorang, sehingga layak dijadikan tujuan dalam kehidupan (the purpose in life). Adapun kebermaknaan hidup homoseksual pada kaum gay usia dewasa madya diukur dengan mendasarkan pada aspek-aspek kebermaknaan hidup, yaitu nilai-nilai daya cipta atau kreatif (creative values), nilai penghayatan (experiential values), nilai-nilai bersikap (attitudinal values), dan harapan (hope).

Sementara itu secara teorotis telah diungkap faktor-faktor yang memengaruhi kebermaknaan hidup homoseksual pada kaum gay usia dewasa madya, yaitu kehidupan keagamaan/spiritualitas/ibadah, hati nurani, pekerjaan, keindahan, cinta pada sesama, pengalaman, bertindak positif, dan pengakraban hubungan.

C. Subjek Penelitian

Subjek penelitian merupakan seseorang atau sesuatu yang mengenainya ingin diperoleh keterangan. Sejalan dengan pendapat-pendapat di atas, maka

(50)

bahwa subjek penelitian adalah individu, benda atau organisme yang dijadikan sumber informasi yang dibutuhkan dalam pengumpulan data penelitian.

Subjek dalam penelitian ini memiliki ciri-ciri sebagai berikut: 1. Homoseksual pria yang juga disebut gay

2. Berusia 40-60 tahun atau dewasa madya.

Herdiansyah (2010: 106) menyatakan bahwa dalam penelitian kualitatif, teknik sampling yang sangat umum digunakan adalah teknik purposive sampling. Peneliti memilih subjek penelitian dan lokasi penelitian dengan tujuan untuk mempelajari atau untuk memahami permasalahan pokok yang diteliti. Subjek penelitian dan lokasi penelitian yang dipilih disesuaikan dengan tujuan penelitian.

D. Metode Pengumpulan Data

Banister et al (dalam Herdiansyah, 2010: 7) mendefinisikan “metode kualitatif” sebagai suatu metode untuk menangkap dan memberikan gambaran terhadap suatu fenomena, sebagai metode untuk mengeksplorasi fenomena, dan sebagai metode untuk memberikan penjelasan dari suatu fenomena yang diteliti. Dengan demikian data yang diperlukan dalam penelitian ini bukanlah data yang bersifat angka-angka statistik, tapi lebih berupa kata-kata ataupun dokumen-dokumen.

Beberapa teknik pengumpulan data dalam penelitian ini yaitu: 1. Wawancara

Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu. Percakapan itu dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara (interviewer) yang mengajukan

(51)

pertanyaan dan terwawancara (interviewee) yang memberikan jawaban atas pertanyaan itu (Moleong, 2005: 186).

Teknik wawancara yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik wawancara langsung yaitu adanya komunikasi dilakukan secara pribadi sehingga dapat mengumpulkan informasi yang dipandang bersifat rahasia dari sudut

interviewee. Bentuk wawancara yang digunakan dalam penelitian ini adalah

wawancara bebas terpimpin yaitu menggunakan pedoman wawancara yang dipersiapkan sebelum mengajukan pertanyaan dan mencantumkan pokok-pokok penting yang akan ditanyakan dan dikembangkan sesuai dengan masalah penelitian, sehingga informasi yang digali secara mendalam atau secara maksimal sesuai dengan keperluan penelitian.

Wawancara bebas terpimpin termasuk dalam kategori in-depth interview, yaitu wawancara yang pelaksanaannya lebih bebas bila dibandingkan dengan wawancara terstruktur. Tujuan dari wawancara jenis ini adalah untuk menemukan permasalahan secara lebih terbuka, dimana pihak yang diajak wawancara diminta pendapat dan ide-idenya (Sugiyono, 2010: 233). Guna mempermudah dan memperlancar dalam proses wawancara digunakan tape recorder yang berfungsi untuk merekam seluruh pembicaraan antara interviewee dan interviewer selama proses wawancara berlangsung dimana penggunaan tape recorder ini harus seijin dari interviewee supaya dikemudian hari tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Wawancara dilakukan dengan mengajukan beberapa pertanyaan yang telah disusun peneliti sebelum proses wawancara berlangsung. Wawancara

(52)

dilakukan terhadap homoseksual gay usia dewasa madya yang telah bersedia menjadi responden penelitian dan sesuai dengan karakteristik penelitian.

2. Observasi

Observasi digunakan untuk mengamati perilaku yang tampak pada subjek penelitian dan disusun secara sistematik. Observasi dalam penelitian ini menggunakan observasi non partisipan (non-participant observation), dimana dalam suatu penelitian, peneliti tidak terlibat secara langsung dengan aktivitas orang-orang yang sedang diamati, namun hanya sebagai pengamat independen (Sugiyono, 2010: 145). Observasi dalam penelitian ini merupakan metode penunjang untuk mendapatkan data-data yang tidak diperoleh melalui wawancara. Pelaksanaan observasi dilakukan pada saat-saat tertentu, seperti ketika pelaksanaan wawancara dan saat keseharian subjek dalam berinteraksi dengan lingkungan sekitar. Peneliti sebagai pengamat akan melakukan pencatatan, menganalisis dan selanjutnya dapat membuat kesimpulan dari hasil observasi.

E. Rancangan Penelitian

1. Persiapan Penelitian

Tahap yang dilakukan peneliti sebelum melaksanakan penelitian adalah : a. Menyusun rancangan penelitian

Rancangan penelitian dibuat sebelum penelitian akan dilaksanakan. Sebelum pemberitahuan terlebih dahulu peneliti melakukan studi pustaka yang berkaitan dengan judul penelitian yaitu kebermaknaan hidup homoseksual pada kaum

(53)

gay usia dewasa madya. Selanjutnya peneliti menentukan metoode yang tepat

untuk penelitian, yaitu peneliti menggunakan metode kualitatif. b. Memilih lapangan penelitian

Sebelum melakukan penelitian peneliti terlebih dahulu memilih tempat penelitian dimana subjek yang akan dijadikan sebagai subjek penelitian itu ada. c. Memilih dan menyiapkan sumber

Pemilihan narasumber yang tepat untuk mencari informasi atau data sangatlah penting karena dalam sebuah penelitian, narasumber atau subjek penelitian harus sesuai dengan masalah yang akan diteliti.

d. Menyiapkan perlengkapan penelitian

Pelaksanaan penelitian tidak lepas dari perlengkapan penelitian yang menunjang dari pelaksanaan penelitian. Adapun perlengkapan penelitian yang diperlukan adalah perelengkapan alat tulis untuk mencatat, tape recorder untuk mempermudah wawancara dan menyimpan informasi.

2. Pelaksanaan Penelitian

Pelaksanaan penelitian diawali dengan perkenalan dan pendekatan dengan subjek penelitian agar dapat terjalin kerjasama yang baik antara peneliti dan subjek peneliti. Kemudian dilakukan wawancara terhadap subjek penelitian, hal ini dimaksudkan agar dapat memperoleh data data dari subjek yang akan diteliti.

(54)

F. Keabsahan Data

Menurut Lincoln dan Guba (dalam Moleong 2005: 324) terdapat empat kriteria yang digunakan dalam pemeriksaan tingkat kepercayaan terhadap hasil penelitian, yaitu; kredibilitas (validitas internal), transferabilitas (validitas eksternal), dependabilitas (reliabilitas), dan konfirmabilitas (objektivitas). Keabsahan data dalam penelitian ini diantaranya sebagai berikut

1. Kredibilitas (validitas internal)

Kredibilitas menjadi istilah yang paling banyak dipilih untuk mengganti konsep validitas internal, dimaksudkan untuk merangkum bahasan menyangkut kualitas penelitian kualitatif. Kredibilitas studi kualitatif terletak pada keberhasilannya mencapai maksud mengeksplorasi masalah atau mendeskripsikan situasi, proses, kelompok sosial, atau pola interaksi yang komplek. Penelitian kualitatif yang dilakukan oleh peneliti menggunakan beberapa teknik untuk mencapai kredibilitas, diantaranya:

a. Keterlibatan langsung di lapangan penelitian

Instrumen utama dalam penelitian kualitatif adalah peneliti itu sendiri. Keikutsertaan peneliti sangat menentukan dalam pengumpulan data karena kehadiran dan peran peneliti di lapangan sangat menentukan kualitas dan kuantitas data yang sedang dikumpulkan.

1) Perpanjangan keikutsertaan

Perpanjangan keikutsertaan akan memungkinkan peningkatan derajat kepercayaan data yang dikumpulkan. Harus cukup waktu untuk betul-betul mengenal suatu lingkungan, mengadakan hubungan baik dengan

(55)

orang-orang di sana, mengenal kebudayaan lingkungan, dan mengecek kebenaran informasi.

Perpanjangan keikutsertaan juga dapat membangun kepercayaan para subyek terhadap peneliti dan juga kepercayaan diri peneliti sendiri sehingga mereka dapat memberikan informasi sebenar-benarnya dan bukan informasi yang mereka duga akan menyenangkan hati peneliti atau dengan sengaja memberikan keterangan yang salah.

2) Ketekunan pengamatan

Pengamatan yang terus-menerus atau kontinu membantu peneliti agar dapat memperhatikan sesuatu secara lebih cermat, terinci, dan mendalam. Apa saja harus dianggap penting terutama pada taraf permulaan. Lambat laun peneliti dapat membedakan hal-hal yang bermakna dan tidak bermakna untuk memahami gejala tertentu. Melalui pengamatan yang kontinu peneliti akan dapat memberikan deskripsi yang cermat dan terinci mengenai apa yang diamatinya.

b. Triangulasi

Tujuan triangulasi ialah mengecek kebenaran data tertentu dengan membandingkannya dengan data yang diperoleh dari sumber lain, pada berbagai fase penelitian lapangan, pada waktu yang berlainan, dan sering dengan menggunakan metode yang berlainan. Denzim (dalam Moleong, 2005: 330) membedakan empat macam triangulasi sebagai teknik pemeriksaan yang memanfaatkan penggunaan sumber, metode, penyidik dan teori. Penjelasan

(56)

masing-masing triangulasi menurut Patton, dkk (dalam Moleong, 2005: 330-331) adalah sebagai berikut:

1) Triangulasi sumber berarti membandingkan dan mengecek balik derajat kepercayaan suatu informasi yang diperoleh melalui waktu dan alat yang berbeda dalam penelitian kualitatif.

2) Triangulasi metode, meliputi pengecekan derajat kepercayaan penemuan hasil penelitian beberapa teknik pengumpulan data dan pengecekan derajat kepercayaan beberapa sumber data dengan metode yang sama.

3) Triangulasi penyidik adalah pemanfaatan pengamat lain untuk membantu mengurangi kemelencengan dalam pengumpulan data.

4) Triangulasi teori berdasarkan anggapan bahwa fakta tidak dapat diperiksa derajat kepercayaannya dengan satu atau lebih teori.

Pada penelitian ini lebih lanjutnya menggunakan triangulasi metode, terdapat dua strategi, yaitu pengecekan derajat kepercayaan penemuan hasil penelitian beberapa teknik pengumpulan data dan pengecekan derajat kepercayaan beberapa sumber data dengan metode yang sama.

G. Metode Analisis Data

Herdiansyah (2010: 158) mengungkapkan bahwa inti dari analisis data, baik dalam penelitian kualitatif maupun kuantitatif adalah mengurai dan mengolah data mentah menjadi data yang dapat ditafsirkan dan dipahami secara lebih spesifik dan diakui dalam suatu perspektif ilmiah yang sama, sehingga hasil dari analisis data yang baik adalah data olah yang tepat dan dimaknai sama atau relatif

Gambar

Gambar  Halaman
Gambar 2 Peta Konsep Keterhubungan Antar Unit Makna Kehidupan Kaum Gay Usia

Referensi

Dokumen terkait

Kesimpulan : Masalah keperawatan utama pada kasus ini adalah Ketidakefektifan Perfusi Jaringan Serebral, Hambatan mobilitas fisik, Hambatan komunikasi verbal, Evaluasi, dari

Berdasarkan hasil pengujian Skrining Aktivitas Antibakteri Ekstrak Daun cempedak (Artocarpus champeden L) menunjukkan bahwa ekstrak etil asetat dapat menghambat 4

Untuk para pemuka agama atau para penceramah di daerah tersebut agar memberikan pengetahuan khususnya mengenai larangan nikah, yang mana yang dilarang dan mana yang

Metode pengukuran arah kiblat dengan alat bantu Google Earth di tanah kosong, yaitu: (1) Pengukuran arah kiblat dengan menghubungkan show ruler dari Kakbah

Kemampuan tumbuh kembali hutan mangrove Cikiperan Cilacap sangat baik, meskipun ada beberapa jenis dalam kondisi kritis.. Dengan melihat kondisi hutan mangrove

Dalam rangka revitalisasi dan reorganisasi kelembagaan perangkat daerah di Kabupaten Parigi Moutong serta dalam upaya untuk lebih mengefektifkan penyelengggaran

Konsekuensi logis dari tingginya harga-harga faktor produksi adalah tidak saja nilai-nilai pemanfaatan faktor produksi tersebut rendah, tetapi juga pendapatan

untuk mengumpulkan data sesuai dengan jadwal penelitian yang