• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Perbandingan monomer AM dan Crosslinker MBAM pada Pembuatan Keramik Berpori Secara Gelcasting Dengan Bahan Dasar Lumpur Lapindo

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Pengaruh Perbandingan monomer AM dan Crosslinker MBAM pada Pembuatan Keramik Berpori Secara Gelcasting Dengan Bahan Dasar Lumpur Lapindo"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

Pengaruh Perbandingan monomer AM dan Crosslinker MBAM pada Pembuatan Keramik Berpori Secara Gelcasting Dengan Bahan Dasar Lumpur Lapindo The Influence of Ratio AM Monomer and MBAM Crosslinker on Synthesis of

Porous Ceramic by Gelcasting Method Using Lapindo Mud as Raw Material

Suriati Eka Putri

Jurusan Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri Makassar

eputekaputri@gmail.com ABSTRAK

Telah dilakukan penelitian mengenai pembuatan keramik berpori secara gelcasting dengan bahan dasar Lumpur Lapindo. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah metode gelcasting dapat digunakan untuk membuat keramik berpori dengan bahan dasar lumpur Lapindo dengan mengkaji pengaruh perbandingan monomer AM dan crosslinker MBAM. Keramik berpori dengan bahan dasar Lumpur Lapindo (clay A) dibandingkan dengan clay yang pada umumnya digunakan dalam proses pembuatan keramik (clay B).Bahan dasar clay A yang digunakan diekstraksi terlebih dahulu menggunakan akuades. Adonan keramik terdiri dari 3 jenis yaitu keramik mentah gelcasted bahan dasar clay A, keramik bahan dasar clay B, dan keramik dengan variasi perbandingan AM:MBAM bahan dasar clay A. Serbuk keramik dimasukkan sedikit demi sedikit ke dalam larutan premix yang berisi campuran AM dan MBAM, kemudian dihomogenkan dan ditambahkan inisiator APS dan katalis TEMED. Setelah itu adonan dimasukkan ke dalam cetakan dan dikeringkan di udara bebas kemudian disintering. Hasil penelitian menunjukkan bahwa metode gelcasting dapat digunakan dalam pembuatan keramik berpori dengan bahan dasar lumpur Lapindo, namun menghasilkan badan keramik yang retak. Warna keramik yang dihasilkan merah kecoklatan sedangkan clay B berwarna kuning kecoklatan.

Kata kunci: keramik berpori, gelcasting, lumpur Lapindo

ABSTRACT

The research on synthesis of porous ceramic by gelcasting method using Lapindo mud as raw material has been done. The aim of this research was to determine whether gelcasting method can be used to make porous ceramics using Lapindo Mud as raw material reviewing the influence of monomer and crosslinker ratio AM:MBAM. Porous ceramic using Lapindo mud (clay A) compared with the clay that generally used in the manufacture of ceramics (clay B). The clay A raw material is extracted with aquadest. The ceramic dough consist of clay A gelcasted ceramic, clay B ceramic, and clay A ceramic with AM:MBAM variation. Powder ceramic is dispersed dropwise into premix solution containing the AM and MBAM mixture, homogenized and inserted with APS initiator and TEMED catalyst. The dough is then molded, dried and sintering. The results showed that gelcasting method can be used on synthesis of porous ceramic using Lapindo mud as raw material but produces a cracked ceramic body. The resulting ceramic color brownish red while clay B brownish yellow.

(2)

PENDAHULUAN

Pemanfaatan material berpori baik sebagai adsorben maupun sebagai pengemban katalis saat ini mengalami perkembangan yang sangat pesat. Salah satu jenis material berpori yang banyak digunakan adalah keramik. Menurut Jinlong et al. (2011) saat ini yang sedang dikembangkan adalah optimasi kehandalan keramik berpori. Keramik berpori dapat digunakan misalnya dalam bidang industri sebagai pengemban katalis (Kiyoshi et al., 2009), bidang kesehatan sebagai penyokong tulang buatan (Delecrin et al., 2000), dan bidang pangan sebagai media amobilisasi bakteri dalam pembuatan ragi (Janiszyn et al., 2007). Produk-produk tersebut di Indonesia sampai saat ini berupa produk jadi yang diperoleh dari luar negeri. Dengan demikian, dalam rangka peningkatan penggunaan produksi dalam negeri sejalan dengan perkembangan teknologi, maka sangat perlu dilakukan pengembangan keramik berpori yang berorientasi pada pemanfaatan bahan alam yang terdapat di Indonesia.

Salah satu contoh bahan alam yang dapat digunakan sebagai bahan baku dalam pembuatan keramik adalah alumina silika yang terkandung pada bauksit. Alternatif lain pemanfaatan kandungan alumina silika adalah menggunakan limbah yang berupa lumpur. Menurut Aristianto (2006), kandungan lumpur Lapindo adalah SiO2, Al2O3, Fe2O3, TiO2, CaO, MgO, Na2O, K2O, dan SO2 dengan kandungan alumina (Al2O3) sebesar 18,27% dan silika (SiO2) sebesar 60%.

Teknik-teknik tradisional telah dikembangkan untuk membuat keramik berpori, misalnya dry-pressing (Harefa, 2009), ekstrusi (Mongkolkachit et al., 2010), dan slip casting (Ramlan (2009), Tjitro et al. (2008), Tambunan (2008)).

Namun, metode ini memiliki beberapa kendala misalnya membutuhkan tekanan yang besar, menggunakan cetakan yang harus berpori, dan metode pembuatan yang cukup rumit. Gelcasting merupakan suatu metode baru yang digunakan dalam mengembangkan pembuatan keramik berpori. Metode gelcasting memiliki beberapa keuntungan jika dibandingkan dengan metode lainnya yaitu teknik pembuatan yang cukup mudah dilakukan dengan biaya yang cukup murah, menghasilkan porositas yang tinggi, penggunaan zat aditif organik lebih sedikit, dan cetakan yang digunakan dapat divariasikan. Namun, metode ini sulit menghasilkan ukuran pori yang homogen (Jinlong et al., 2011).

Gelcasting merupakan metode yang berdasarkan pada proses polimerisasi in situ pembentukan makromolekul bersama dengan partikel keramik. Slurry yang digunakan dalam proses gelcasting dapat menghasilkan kepadatan yang tinggi. Pada metode ini digunakan monomer yang akan dipolimerisasikan dan berfungsi sebagai template pori dengan jumlah kurang dari 40% berat dari padatan kering (Guangyao et al., 2000).

Menurut Janney et al. (1998) salah satu bahan murni yang digunakan dalam pembuatan keramik berpori secara gelcasting yaitu menggunakan AM yang akan membentuk gel dalam pelarut air. Monomer yang digunakan dalam gelcasting harus memiliki beberapa sifat yaitu, harus larut dalam air dan memiliki ikatan vinil. Selain monomer, bahan lain yang digunakan dalam metode gelcasting adalah crosslinker dan inisiator. Omatete et al. (1997) mengemukakan bahwa crosslinker dibutuhkan jika monomer organik yang digunakan hanya memiliki satu ikatan rangkap yang ketika

(3)

berpolimerisasi akan membentuk polimer yang linier.

Pada penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui apakah metode gelcasting dapat digunakan untuk membuat keramik berpori dengan bahan dasar alumina silica yang berasal dari bahan alam lumpur Lapindo yang akan dibandingkan dengan produk keramik bahan dasar clay yang pada umumnya digunakan pada proses pembuatan keramik. Proses polimerisasi menggunakan monomer AM dan crosslinker MBAM dengan inisiator APS dan katalis TEMED.

METODE PENELITIAN A. Bahan

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari lumpur Lapindo yang berupa bongkahan dan lumpur cair (clay A) dan clay yang berasal dari pabrik keramik Dinoyo Malang (clay B). Clay A yang digunakan diambil di Desa Siring Kecamatan Porong Kabupaten Sidoarjo dengan koordinat 07o 31,480’ LU dan 112o 42,274’ LS, terletak 2,7 m dari pinggir tanggul dan jarak dari pusat semburan panas 1,5 km dengan kedalaman 75 cm. Bahan kimia yang digunakan yaitu akrilamid (AM) 40%, metilen bis akrilamid (MBAM), ammonium persulfat (APS) dan tetrametilendiamin (TEMED) 99%.

B. Metoda

Sampel clay A dan clay B dihomogenkan, dikeringkan di dalam oven pada suhu 110 oC selama ± 24 jam. Kemudian sampel ditumbuk halus di dalam mortar dan diayak dengan ayakan berukuran 40 mesh untuk clay A dan 60 mesh untuk clay B. Serbuk yang digunakan adalah sampel yang lolos saringan ayakan. Sampel kering kemudian diekstraksi dengan akuades sebanyak 6 kali dan ditambahkan

NaAl(SO4)2.12H2O pada ekstraksi kelima dan keenam.Padatan setengah basah hasil ekstraksi dipanaskan pada suhu 110 oC sampai berat konstan, padatan kering kemudian digerus dan diayak sehingga diperoleh serbuk clay A dan clay B.

Selanjutnya serbuk clay A dan clay B dikarakterisasi kandungan oksida logam menggunakan XRF dan kandungan mineral menggunakan XRD (sinar-X dengan sumber radiasi Cu dan rentang sudut 2θ mulai 5o

hingga 90o). Adonan keramik terdiri dari adonan keramik mentah gelcasted dengan bahan dasar clay A (adonan I), adonan keramik dengan bahan dasar clay B (adonan II), dan adonan keramik variasi perbandingan monomer AM dan crosslinker MBAM dengan bahan dasar clay A (adonan III). Sebanyak 2,8 g sampel clay untuk masing-masing adonan dimasukkan sedikit demi sedikit ke dalam campuran monomer AM 40% dan crosslinker MBAM 2%. Jumlah monomer dan crosslinker tiap adonan berbeda 2,9 mL AM 40% dan 3,1 mL MBAM 2% untuk adonan I dan II, untuk adonan III digunakan perbandingan berat AM:MBAM sebesar 6 : 1, 12 : 1, 18 : 1, dan 24 : 1.

Suspensi yang dihasilkan dihomogenkan selama 20 menit dalam mortar, kemudian ditambahkan 40 μL APS 10% dan 20 μL TEMED 99%. Setelah itu, dimasukkan dalam cetakan silinder dengan diameter 1,9 cm dan tinggi 1,6 cm dan dibiarkan 24 jam hingga sampel dapat dikeluarkan dari cetakan. Cetakan dibuka, sampel keramik yang dihasilkan selanjutnya dikeringkan selama 2 hari di udara bebas.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Preparasi sampel dilakukan untuk mengurangi kandungan kontaminan yang berupa garam klorida dan logam terlarut

(4)

dalam sampel clay A yang berdasarkan penelitian sebelumnya bahwa keberadaan kontaminan ini berpengaruh terhadap kekerasan keramik. Salah satu cara untuk mengurangi kadar garam klorida dan logam terlarut adalah dengan ekstraksi menggunakan akuades. Sebelum diekstraksi, sampel clay A dikeringkan pada suhu 110 oC selama ± 24 jam untuk menghilangkan kandungan air. Pengeringan ini perlu dilakukan untuk mempermudah proses pengecilan ukuran butiran pada saat penggerusan dan pengayakan karena clay bersifat plastis. Kemudian sampel dihaluskan dan diayak dengan ayakan 40 mesh. Sampel yang digunakan berupa serbuk yang lolos ayakan 40 mesh. Proses pengeringan dan pengayakan juga dilakukan untuk sampel clay B dengan menggunakan ayakan 60 mesh.

Tabel 1. Hasil Pemisahan Ekstraksi Sampel

Clay A Menggunakan Akuades Tahapan

ekstraksi Hasil

I Supernatan dan endapan dapat dipisahkan

II Supernatan dan endapan dapat dipisahkan

III Supernatan dan endapan dapat dipisahkan

IV Supernatan dan endapan dapat dipisahkan

V Supernatan dan endapan tidak dapat dipisahkan VI Supernatan dan endapan

tidak dapat dipisahkan Sampel clay A hasil preparasi kemudian diekstraksi menggunakan akuades. Kondisi optimum ekstraksi serbuk clay A sebanyak 6 kali ekstraksi dengan 5 mL akuades per ekstraksi untuk satu gram clay A kering, dengan lama pengocokan

30 menit. Hasil pemisahan untuk tiap ekstraksi ditunjukkan pada Tabel 1.

Pada ekstraksi kelima dan keenam tidak dapat dipisahkan antara endapan dan supernatan karena sudah terbentuk koloid. Hal ini diduga pada ekstraksi kelima dan keenam K dan Ca semakin larut dalam air (dibuktikan dengan berkurangnya kadar K dan Ca setelah ekstraksi hasil analisa dengan XRF pada Tabel 2) sehingga muatan positif pada clay A semakin berkurang yang ditandai dengan semakin mengecilnya ukuran butiran clay. Selain itu, juga diduga terbentuk koloid anionik Fe(OH)3 (dibuktikan dengan berkurangnya kadar Fe setelah ekstraksi hasil analisa dengan XRF pada Tabel 2). Dengan demikian untuk memisahkan supernatan dan endapan koloid yang terbentuk harus didestabilisasi dengan penambahan suatu kaogulan yang mengandung situs positif yaitu dengan penambahan tawas NaAl(SO4)2.12H2O). Clay A yang telah diekstraksi kemudian dipanaskan pada suhu 110 oC kemudian dihaluskan dengan mortar dan diayak dengan ayakan 60 mesh.

Tabel 2. Hasil Analisa Kandungan Oksida

Logam Clay A Menggunakan XRF

Jenis Logam Kadar Oksida Logam (%) Clay A sebelum ekstraksi Clay A setelah ekstraksi Al 15,00 14,00 Si 40,10 45,60 K 3,98 3,86 Ca 5,46 4,79 Fe 28,80 25,90

Hasil analisa menggunakan XRF pada Tabel 2, menunjukkan bahwa terjadi pengurangan kadar K, Ca, dan Fe setelah dilakukan ekstraksi. Kadar K, Ca, dan Fe

(5)

masing-masing 0,12%, 0,67%, dan 2,9%. Kandungan oksida logam dalam clay A lebih besar dibandingkan dalam clay B. Kandungan oksida logam terbesar dalam clay A adalah Fe sebesar 25,90% sedangkan pada clay B hanya sebesar 5,82%. Adanya oksida logam Fe ini sangat berpengaruh terhadap warna dan kekerasan.

Hasil analisa kandungan mineral pada clay A dan clay B menggunakan XRD ditunjukkan pada Tabel 3. Berdasarkan kandungan mineral lumpur Lapindo yang ditunjukkan pada Tabel 3, dapat disimpulkan bahwa lumpur Lapindo layak digunakan sebagai bahan baku keramik. Kandungan mineral clay A sebelum ekstraksi sama dengan kandungan mineral setelah ekstraksi, yaitu mengandung mineral kaolin, kuarsa, piropilit, dan feldspar. Clay B sebagai bahan dasar keramik pada umumnya juga menunjukkan kandungan mineral yang sama, tetapi mengandung mineral zeolit. Perbedaan kandungan mineral dalam bahan dasar clay A dan clay B diduga akan mempengaruhi kekerasan keramik.

Tabel 3. Hasil Analisa Kandungan Mineral

pada Clay A dan Clay B Menggunakan XRD

Clay A Clay B Kaolin Kaolin Kuarsa Kuarsa Piropilit Piropilit Feldspar Feldspar - Zeolit

Pada penelitian ini digunakan serbuk lumpur Lapindo sebagai bahan dasar keramik yang berfungsi sebagai matriks sedangkan polimer yang diharapkan berperan sebagai template pori adalah poliakrilamid yang diikatsilangkan dengan MBAM. Serbuk lumpur Lapindo didispersikan ke dalam larutan premix kemudian ditambahkan inisiator dan

katalis yang selanjutnya dicetak. Di dalam cetakan campuran membentuk gel yang menunjukkan terjadinya polimerisasi in situ.

Gel terbentuk karena adanya ikatan silang antara poliakrilamid dan crosslinker MBAM. Crosslinker berperan sebagai pengikat rantai poliakrilamid hasil polimerisasi yang masih linier sehingga membentuk struktur tiga dimensi. Struktur ini diperlukan agar terbentuk fasa ruah yang berperan sebagai cetakan untuk membentuk pori dalam badan keramik. Selain monomer dan crosslinker juga digunakan inisiator yang berperan memicu terbentuknya radikal. Proses polimerisasi yang berlangsung pada poliakrilamid adalah polimerisasi anionik yang terdiri dari tahap inisiasi, propagasi, dan terminasi. Pada penelitian ini digunakan inisiator APS karena monomer AM mengandung

gugus amida ( C

O

NH2). Hal ini berdasarkan Cowie (1991) yang mengemukakan bahwa jenis monomer yang mengandung substituen –CN, -COOR, -CONH2 hilangnya elektron pada ikatan rangkap dua dengan bantuan spesi anion. Pemutusan homolitik pada inisiator APS menghasilkan radikal anion SO4-●.

Lama terbentuknya gel dalam cetakan berbeda untuk tiap variasi

perbandingan AM:MBAM yang

ditunjukkan pada Tabel 4. Pengamatan dilakukan dengan cara menekan fluida yang terdapat dalam cetakan.

Perbedaan waktu pembentukan gel ini dipengaruhi oleh besarnya solid loading dan diduga berhubungan dengan waktu dibutuhkan dalam pelepasan air dari badan keramik membentuk gel. Semakin cepat pembentukan gel, maka semakin besar solid loading. Berdasarkan

(6)

Tabel 4. solid loading optimum terjadi pada perbandingan 18 : 1.

Tabel 4. Pengaruh Perbandingan AM:MBAM Terhadap Lama Pembentukan Gel dalam Cetakan

Perbandingan AM:MBAM Lama terbentuknya gel (menit) 6 : 1 120 12 : 1 60 18 : 1 10 24 : 1 20 (6 : 1) (12 : 1) (18:1) (24 : 1) Clay A (6 : 1) (12 : 1) (18 : 1) (24 : 1) Clay B

Gambar 1. Penampakan badan keramik

sebelum (atas) dan setelah (bawah) sintering dengan bahan dasar clay A dan clay B

Sifat fisik keramik berpori yang menjadi bahan kajian dalam pembahasan ini adalah bentuk badan keramik sebelum

dan setelah sintering dengan bahan dasar clay A untuk setiap perbandingan AM:MBAM. Badan keramik yang dihasilkan selanjutnya dibandingkan dengan badan keramik bahan dasar clay B. Tampilan badan keramik sebelum dan setelah sintering ditunjukkan pada Gambar 1. Perbedaan sifat fisik badan keramik berpori sebelum dan setelah sintering ditunjukkan pada Tabel 5.

Viskositas adonan keramik meningkat seiring dengan meningkatnya perbandingan jumlah monomer dan crosslinker. Pada perbandingan 6 : 1 dan 12 : 1 badan keramik mengalami retak sedangkan perbandingan 18 : 1 dan 24 : 1 tidak ada retak, hal ini diduga dipengaruhi oleh besarnya viskositas adonan kermaik yang berpengaruh terhadap besarnya solid loading, semakin besar nilai solid loading kemungkinan retak semakin kecil karena jarak antar partikel keramik semakin dekat. Hal ini berdasarkan persamaan Woodcocl yang ditunjukkan pada persamaan (Barnes dalam Yu et al., 2009). h d = ( 1 3πϕ

+

5 6 ) 1/2 – 1 dimana h merupakan jarak antara partikel lumpur Lapindo dalam slurry; d merupakan diameter partikel; ϕ merupakan solid loading. Selain itu, juga didukung oleh Yu et al. (2009) yang menyatakan bahwa besarnya solid loading dipengaruhi oleh viskositas slurry yang akan mempengaruhi molding properties (sifat keramik pada saat pencetakan), misalnya keseragaman slurry, distribusi inner stress dan kemungkinan terjadinya retakan atau pecahnya badan keramik dan akhirnya akan berpengaruh terhadap kekerasan keramik setelah disintering.

(7)

Tabel 5. Sifat Fisik Badan Keramik Sebelum dan Setelah Sintering Perbandingan

AM:MBAM

Warna Keramik Bentuk Keramik

sebelum sintering setelah sintering sebelum sintering

setelah sintering

6 : 1 abu-abu kehitaman merah kecoklatan ada retak ada retak 12 : 1 abu-abu merah kecoklatan ada retak ada retak 18 : 1 abu-abu merah kecoklatan tidak retak ada retak 24 : 1 abu-abu merah kecoklatan tidak retak ada retak bahan dasar clay B Kuning kuning kecoklatan tidak retak tidak retak

Adapun warna badan keramik setelah sintering berwarna merah kecoklatan, hal ini diduga tingginya kadar logam Fe dalam bahan baku clay A yang ketika disintering logam Fe2+ teroksidasi menjadi Fe2O3. Warna badan keramik yang dihasilkan tidak homogen diduga karena tidak dilakukan kontrol terhadap udara yang mengalir ke dalam tanur. Badan keramik setelah sintering mengalami retak hal ini diduga karena besarnya kandungan logam dalam bahan dasar clay A yang diduga akan menghalangi proses pengikatan (interaksi) partikel antar mineral clay pada proses sintering.

KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa metode gelcasting dapat digunakan dalam pembuatan keramik berpori dengan bahan dasar lumpur Lapindo, namun menghasilkan badan keramik yang retak.

B. Saran

Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui faktor yang mempengaruhi bentuk badan keramik yang retak.

DAFTAR PUSTAKA

Aristianto, 2006. Pemeriksaan pendahuluan lumpur panas Lapindo Sidoarjo, Balai Besar Keramik Departemen Perindustrian, Bandung Delecrin, J., S. Takahashi, F. Gouin, dan

N. Passuti, 2000. A synthetic porous ceramic as a bone graft substitute in the surgical management of scoliosis, SPINE 25(5): 563-569

Guangyao, M., Huanting W., Wenjun Z., dan Xingqin L., 2000. Preparation of porous ceramics by gelcasting approach, Material Letters 45 (2): 224-22

Harefa, F.B., 2009. Pemanfaatan limbah padat pulp grits dan dregs dengan penambahan kaolin sebagai bahan pembuatan keramik konstruksi. Abstracts Research Gate

Janney, M.A., O.O. Ogbemi, C.A. Walls, S.D. Nunn, R.J. Ogle, dan G. Westmoreland, 1998. Development of low-toxicity gelcasting systems, Journal American Ceramics Society 81 (3): 581-91

Janiszyn, Z., E. Dziuba, T. Boruczkowski, J. Chmielewska, J.K. Rygielska, dan G. Rosiek, 2007. Application of porous ceramic as a support for immobilization of Saccharomyces cerevisiae yeast cells. Journal Food Nutrition Sciences 57 (4): 251-255

(8)

Jinlong, Y., Juanli Y., dan Yong H., 2011. Recent developments of ceramics, Journal of the European Ceramic Society pages 23

Kiyoshi, K. , Toshinori M., Takuji M., dan Young H.R., 2009. Preparation of ion exchange polymer and porous ceramic for direct methanol fuel cell, Department of Applied Chemistry, Tokyo Metropolitan University Minami-Ohsawa, Japan

Mongkolkachit, C., S. Wanakitti, dan P. Aungkavattana, 2010. Investigated of extruded porous alumina for high temperature construction, Journal of Metals, Materials and Minerals 20 (3): 123-125

Omatete, Ogbemi O., M.A. Janney, dan S.D. Nunn, 1997. Gelcasting: From laboratory development toward industrial production, Journal of the European Ceramic Society 17: 407-413

Ramlan, 2009. Pemanfaatan karet busa (spons) sebagai model cetakan pada pembuatan keramik berpori, Jurnal Penelitian Sains 12 (2B)

Tambunan, T.D., 2008. Pembuatan keramik berpori sebagai filter gas buang dengan aditif karbon aktif, Tesis Universitas Sumatera Utara Medan

Tjitro, S., J. Anggono dan D. Perdana, 2008. Peranan tepung jagung dan tepung tapioca dalam pembuatan keramik alumina berpori dengan proses slip casting, SNMI4 Riset Aplikatif Bidang Teknik Mesin dan Industri

Yu, J., Hongjie W., dan Jian Z., 2009. Neural network modeling and analysis of gel casting preparation of porous Si3N4 ceramics, Journal Ceramics International 35: 2943-2950

Gambar

Tabel  4.  solid  loading  optimum  terjadi  pada perbandingan 18 : 1.
Tabel 5. Sifat Fisik Badan Keramik Sebelum dan Setelah Sintering  Perbandingan

Referensi

Dokumen terkait

(2015), dalam penelitiannya Pengaruh Komitmen Organisasi, Budaya Kerja, Motivasi dan Iklim Organisasi terhadap Kepuasan Kerja dan Dampaknya pada Kinerja Dinas Kesehatan Kabupaten

tes ) yang menunjukan bahwa nilai probabilitas variabel motivasi belajar adalah sebesar 0.002 lebih kecil dari 0.05 (p<0.05), hal itu menyataka- kan bahwa terdapat

hidup di kawasan Taman Nasional Alas Purwo khususnya di sungai Segara Anakbelum banyak dilakukan, Oleh karena itudilakukan penelitian mengenai konsumsi oksigen oleh beberapa jenis

“Model Dan Analisis Antena Mikrostrip Patch Segi Empat Pencatuan Aperture-Coupled Dengan Gap Udara Di Antara Substrat Patch Dan Ground Plane Untuk Memperlebar

Setiap sesuatu yang memabukkan adalah termasuk khamar dan tidak menjadi soal tentang apa asalnya. Oleh karena itu jenis minuman apapun sejauh memabukan adalah

Studi pendahuluan menunjukkan bahwa siswa tunanetra kesulitan untuk belajar Fisika. Penelitian awal ini dilakukan dengan dua cara, pertama adalah dengan cara wawancara

Berdasarkan analisis perancangan sistem yang telah dilakukan maka dapat disimpulkan bahwa sistem pengelolaan persediaan yang dirancang untuk PT.Mutiara Motor adalah sebuah

Perangkat kurikulum dan pembelajaran disusun secara mandiri oleh sekolah melalui kerja tim yang terdiri dari Kepala Sekolah, guru, unsur komite sekolah dan/atau orang tua siswa