• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGAWASAN HAKIM KONSTITUSI DALAM SISTEM PENGAWASAN HAKIM MENURUT UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA RI 1945

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENGAWASAN HAKIM KONSTITUSI DALAM SISTEM PENGAWASAN HAKIM MENURUT UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA RI 1945"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

Titik Triwulan Tutik

Fakultas Syari’ah IAIN Sunan Ampel Surabaya E-mail: tt_titik@yahoo.com

Abstract

This research is normative legal research. The objective of this research is firstly to clarify whether the essence of constitutional court’s judges is not included in the term of judge in the 1945 constitution and Law number 24 2003 on judicial commission. Secondly, to know how model designs of controlling judges of constitutional court are after the issuance of Constitutional court’s decision Number 005/PUU-IV/2006. The conclusion of research are the judges of constitutional court are regular judges bound to all judge regulations in Indonesia, because Indonesian constitution does not recognize different typologies of judges, the note of PAH I BP MPR that formulated amendment of the 1945 constitution the discussion surrounding the typologies of judges never took place; and the legal scholars, generally tend to generalize judges to include judges of constitutional courts. The control of constitutional court necessary to adopt integrated control system, that is internal control is done by Constitutional Court and external supervision mechanism conducted by external independent department, it is Judicial Commission.Based on those findings, in implementing an integrated supervision mechanism of Constitutional Court’s Judges an amendment to the 1945 Constitution is recommended and revising the Law number 22 of 2004 on Judicial Commission and law number 24 of 2003 on Constitutional Court is urgently needed.

Key words: control on justice of Constitutional Court, the system of judge control, an integrated supervision mechanism

Abstrak

Penelitian ini adalah penelitian hukum normatif. Tujuan dari penelitian adalah untuk mengetahui mengapa Hakim mahkamah konstitusi tidak termasuk dalam pengertian hakim menurut UUD 1945 dan UU No. 24 Tahun 2003 tentang Komisi Yudisial dan untuk mengetahui desains model pengawasan hakim mahkamah konstitusi pasca putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa hakim mahkamah konstitusi termasuk dalam kategori hakim yang didasarkan pada argument bahwa UUD 1945 tidak mengenal kategorisasi hakim dan hasil pembahasan rapat PAH I BP MPR tentang amandemen UUD 1945 tidak pernah membedakan makna hakim, serta para ahli hukum umumnya berpendapat bahwa makna hakim adalah semua hakim termasuk di dalamnya adalah hakim mahkamah konstitusi. Pengawasan terhadap hakim mahkamah konstitusi perlu mengadopsi sistem pengawasan terpadu, dimana pengawasan internal dilakukan oleh mahkamah konstitusi dan pengawasan eksternal dilakukan oleh lembaga independen yaitu Komisi Yudisial. Dalam rangka mewujudkan sistem pengawasan terpadu terhadap hakim mahkamah konstitusi, perlu dilakukan amandemen UUD 1945 dan segera mungkin melakukan revisi terhadap UU No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial dan UU No. 24 Tahun 2003

Kata kunci: pengawasan hakim mahkamah konstitusi, sistem pengawasan hakim, sistem pengawasan terpadu.

Pendahuluan

Hakim memiliki posisi penting dengan gala kewenangan yang dimilikinya, misalnya se-orang hakim dapat mengalihkan hak kepemilik-an seseorkepemilik-ang, mencabut kebebaskepemilik-an warga ne-gara, menyatakan tidak sah tindakan

sewe-nang-wenang pemerintah terhadap masyarakat, bahkan memerintahkan penghilangan hak hidup seseorang.1 Wewenang dan tugas hakim yang

1

Dudu Duswara Machmudin, “Peranan Keyakinan Hakim

dalam Memutus suatu Perkara di Pengadilan”, Varia

(2)

besar demikian oleh karenanya harus dilaksana-kan dalam rangka menegakdilaksana-kan hukum, kebe-naran, dan keadilan sesuai kode etik tanpa pan-dang bulu dengan tidak membeda-bedakan orang seperti diatur dalam lafal sumpah se-orang hakim, di mana setiap se-orang sama kedu-dukannya di depan hukum (equality before the

law) dan hakim.2 Kewenangan hakim yang sa-ngat besar tersebut di satu sisi menuntut tang-gungjawab yang tinggi, sehingga putusan pe-ngadilan yang diucapkan dengan irah-irah “De-mi Keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” mengandung arti bahwa kewajiban mene-gakkan kebenaran dan keadilan itu wajib diper-tanggungjawabkan secara horizontal kepada manusia, dan secara vertikal dipertanggung-jawabkan kepada Tuhan Yang Maha Esa.3

Hakim untuk dapat melaksanakan semua fungsinya secara efektif, membutuhkan keper-cayaan dari masyarakat dan pencari keadilan, karena dengan adanya kepercayaan itulah pe-ngadilan dapat menyelesaikan perkara melalui jalur hukum dengan baik.4 Kepercayaan terha-dap lembaga peradilan tidaklah muncul dengan sendirinya, tetapi harus melalui berbagai pem-buktian bahwa badan peradilan dan hakim sungguh-sungguh menjunjung tinggi hukum ser-ta menegakkan kebenaran dan keadilan secara benar dan konsisten.5 Oleh karenanya, dalam rangka menegakkan hukum dan keadilan itu ha-kim sebagai pelaksana utama dari fungsi peng-adilan, harus mempunyai komitmen, tekad, dan semangat dalam membersihkan badan peradil-an dari segala bentuk penyalahgunaperadil-an wewe-nang dan dalam rangka memulihkan kewibawa-an badkewibawa-an peradilkewibawa-an serta upaya memulihkkewibawa-an

2

JWM Engels, “Negara Hukum dan Hukum Negara: Les Quatres Saisons”, Terjemahan Tristam P. Mulyono,

Jur-nal ProJustitia Vol. XVIII No. 1 Januari 2002, Fakultas

Hukum Universitas Parahyangan, hlm. 7-20. Lihat Juga Martha Pigome“Implementasi Prinsip Demokrasi dan Nomokrasi dalam Struktur Ketatanegaraan RI Pasca Amandemen 1945”, Jurnal Dinamika Hukum, Vol. 11 No. Me1 2001, hlm 323-335

3 Ketua Mahkamah Agung RI, “Pedoman Perilaku Hakim”,

Varia Peradilan, No. 252 Oktober 2006, hlm. 5-31

4 Charles Simabura, “Membangun Sinergis dalam Peng-awasan Hakim”, Jurnal Konstitusi, Vol. VII No. 2 Juli 2009, hlm. 43-62

5

Muchlis, “Hubungan Komisi Yudisial dengan Mahkamah Agung dalam Pengawasan Hakim”, Jurnal Suloh, Vol. VI No. 2 Agustus 2008, hlm.130

percayaan masyarakat kepada hakim. Salah satu hal penting yang disorot masyarakat untuk mempercayai hakim adalah perilaku hakim yang bersangkutan, baik dalam menjalankan tugas yudisialnya maupun dalam kesehariannya.6

Praktik penyalahgunaan wewenang di lembaga peradilan, disebabkan oleh banyak faktor antara lain dan terutama adalah tidak efektifnya pengawasan internal (fungsional) pe-rilaku hakim pada badan peradilan.7 Menurut Mas Achmad Santosa, lemahnya pengawasan in-ternal tersebut disebabkan oleh beberapa fak-tor, antara lain: kualitas dan integritas peng-awas yang tidak memadai; proses pemeriksaan disiplin yang tidak transparan; belum adanya kemudahan bagi masyarakat yang dirugikan untuk menyampaikan pengaduan, memantau proses serta hasilnya (ketiadaan akses).8

Selain ketiga hal tersebut, menurut Ah-mad Ashar, bahwa tidak efektifnya pengawas-an internal disebabkpengawas-an oleh dua faktor.

Perta-ma, semangat membela sesama korps (esprit de corps) yang mengakibatkan penjatuhan

hu-kuman tidak seimbang dengan perbuatan. Se-tiap upaya untuk memperbaiki suatu kondisi yang buruk pasti akan mendapat reaksi dari pihak yang selama ini mendapatkan keuntungan dari kondisi yang buruk itu. Kedua, tidak ter-dapat kehendak yang kuat dari pimpinan

6 Lihat Berchah Petoewas, “Kewenangan Komisi Yudisial dalam Rangka Pengawasan Hakim Guna Melaksanakan Amanat UUD 1945”, Jurnal Hukum Adil, Vol. I No. 3 Desember 2010, hlm. 219-229.

7 Ada 2 (dua) aspek yang terkait dengan permasalahan keberadaan lembaga peradilan ini: Pertama, lembaga peradilan telah menjadi lembaga yang diyakini sangat korup (judicial corruption) dan penuh dengan praktik-praktik yang sangat mencederai nilai-nilai keadilan seperti perdagangan perkara (mafia peradilan). Lihat A. Ahsin Thohari, “Desains Konstitutsional Komisi Yudisial dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia”, Jurnal

Le-gislasi Indonesia, Vol. VII No. 1 Maret 2010, hlm. 60-80. Kedua, Pengawasan kepada para hakim termasuk hakim

agung yang dilakukan oleh Mahkamah Agung (MA) telah memunculkan berbagai permasalahan pada diri hakim, termasuk Hakim Agung. Permasalahan ini berkenaan dengan integritas dan kepribadian para hakim pada umumnya. Mahkamah Agung RI, 2003, Cetak Biru

Pem-baruan Mahkamah Agung RI, Jakarta: Kerjasama

Mahka-mah Agung RI dengan LeIP, The Asia Foundation, USAID & Kemitraan, hlm. 93.

8 Mas Achmad Santosa dalam Malik, ”Perspektif Fungsi Pengawasan Komisi Yudisial Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 005/PUU-IV/2006”, Jurnal

Hu-kum Vol. 1 No. 2 Desember 2007, Universitas Bung Hatta, hlm. 22-34

(3)

baga penegak hukum untuk menindaklanjuti ha-sil pengawasan internal terhadap hakim, se-hingga membuka peluang bagi hakim yang ter-bukti melakukan pelanggaran hukum dan kode etik untuk mendapat ’pengampunan’ dari pim-pinan badan peradilan yang bersangkutan (tidak dikenakan sanksi sebagaimana mestinya).9

Kegagalan sistem pengawasan internal hingga saat ini belum dapat diatasi oleh ling-kungan lembaga peradilan, walaupun pada waktu yang bersamaan juga dilaksanakan kon-sep peradilan satu atap (one roof system) khu-susnya pada lingkungan Mahkamah Agung (MA). Kondisi demikian justru menimbulkan kekha-watiran terjadinya monopoli kekuasaan,10 se-hingga mendorong lahirnya gagasan ke arah pembentukan lembaga independen yang berada di luar MA, yang dapat mengimbangi agar tidak terjadi monopoli kekuasaan pada lembaga ter-sebut. Dalam rangka merealisasikan gagasan tersebut dibentuklah Komisi Yudisial (selanjut-nya disebut KY) yang diharapkan menjadi

ex-ternal auditor, yang dapat mengimbangi

pelak-sana kekuasaan kehakiman.11

Kedudukan yuridis lembaga KY ditentu-kan dalam Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 setelah perubahan:12

9 Ahmad Ashar, ”Kewenangan Komisi Yudisial dalam Pe-ngangkatan Hakim Agung Berdasarkan pada UU Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial”, Jurnal DAHA, Vol. I No. 42 Januari 2009, hlm. 1-13

10 Dian Rosita, “Mengkaji Ulang Konsep Rule of Law dalam Pembaharuan Peradilan d Indonesia”, Jurnal Konstitusi Vol. I No. 1 November 2008, Mahkaham Konstitusi RI, hlm. 6-20. Lihat juga Ayudya Widawati, “Seleksi Hakim Agung 2008, Mencari Hakim Agung yang Profesional, Berkualitas, Berintegritas, Akuntabel dan Transparan dalam Rangka Menegakkan Prinsip Check and Balances Kekuasaan Kehakiman di Indonesia”, Jurnal Hukum Vol. VII No. 1 Juni 2008, Fakultas Hukum UI, hlm. 27-36 11 Lihat Astriyani, “Mewujudkan Komisi Yudisial yang Ideal

utuk Menjaga dan Menegakkan Kehormatan serta Keluhuran Martabat Hakim”, Jurnal Hukum Vol. III No. 8 Mei 2004, Fakultas Hukum UI Teropong, hlm. 30-42. Se-mentara ini pengawasan perilaku hakim yang dilakukan Ketua Muda Urusan Pengawasan dan Pembinaan (TUADA WASBIN) dipandang belum berhasil. Lihat juga Nurul Chotidjah, “Dinamika Implementasi Kewenangan Mah-kamah Agung dan Komisi Yudisial setelah Amandemen Undang-Undang Dasar 1945”, Jurnal Ilmu Hukum Litigasi Vol. IX No. 3 2008, Fakultas Hukum Universitas Pasun-dan, hlm. 299-313

12 Lihat mengenai kedudukan Komis Yudisial ini yang cukup unik dalam A. Ahsin Thohari, “Kedudukan Komisi-Komisi Negara dalam Struktur Ketatanegaraan Indonesia”, Jurnal Hukum Jentera, Vol. III No. 12 April-Juni 2006, hlm. 38. Lihat juga, Zainal Arifin Mochtar

bahwa Komisi Yudisial bersifat mandiri,

mempunyai kewenangan pokok mengusul-kan pengangkatan Hakim Agung, juga memiliki wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku ha-kim. Dengan frasa ”dalam rangka men-jaga dan menegakkan kehormatan, kelu-huran martabat, serta perilaku hakim

Menurut Mahkamah Konstitusi (MK), da-lam batas-batas tertentu dapat diartikan seba-gai pengawasan, yaitu pengawasan terhadap in-dividu fungsionaris hakim lembaga peradilan.13 Operasionalisasi ketentuan Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 ini dijabarkan dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Keha-kiman (UUKK 2004) dan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial (UUKY 2004).

Permasalahan muncul ketika aspek pe-ngawasan KY sebagaimana telah disebutkan di atas dalam perspektif MA, dianggap telah me-masuki wilayah pengawasan MA. Menurut MA, pengawasan KY selama ini yang memanggil be-berapa Hakim Agung, dalam hubungan dengan perkara yang telah diadilinya telah mengakibat-kan terganggunya hak konstitusional Hakim Agung yang dijamin kemerdekaannya oleh UUD 1945, selain itu juga menghancurkan indepen-densi Hakim Agung dan hilangnya kebebasan hakim dalam mengadili.14 Berdasarkan alasan tersebut KY dianggap telah memasuki wilayah pengawasan MA yang meliputi teknis yudisial peradilan, puncaknya 31 hakim agung pada 10 Maret 2006 mengajukan permohonan terhadap peninjauan atas UUKY 2004 dan UUKK 2004 terhadap UUD 1945) ke MK dengan registrasi Nomor 005/PUU-IV/2006.

dan Iwan Satriawan, “Efektivitas Sistem Penyelesaian Pejabat Komisi Negara di Indonesia”, Jurnal Konstitusi, Vol. VI No. 3 September 2009, hlm. 145

13 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006 tentang Uji Materiil Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial dan Undang-Undang No. 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman terhadap UUD 1945 dalam Yanis Maladi, “Benturan Asas Nemo Judex Indoneus In Propria Causa dan Asas Ius Curita No-vit: Telaah Yuridis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006”, Jurnal Konstitusi, Vol. VII No. 2 2010, hlm. 10.

14

Permohonan Perkara Nomor 005/PUU-IV/2006 Perbaik-an TPerbaik-anggal 29 Maret 2006, dalam Mukhlis, loc. cit.

(4)

Mahkamah Konstitusi melalui Amar Pu-tusan Nomor 005/PUU/IV-2006, menyatakan beberapa hal. Pertama, permohonan para Pe-mohon menyangkut perluasan pengertian hakim menurut Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 yang me-liputi hakim konstitusi bertentangan dengan UUD 1945. Dengan demikian, hakim konstitusi tidak termasuk dalam pengertian hakim yang perilaku etiknya diawasi oleh KY. Pengawasan KY terhadap hakim Mahkamah Konstitusi akan mengganggu dan memandulkan MK sebagai lembaga pemutus sengketa kewenangan konsti-tusional lembaga negara. Kedua, permohonan para Pemohon menyangkut pengertian hakim menurut Pasal 24B ayat (1) UUDNRI 1945 tidak cukup beralasan. Oleh karena itu, permohonan para pemohon sepanjang menyangkut hakim agung tidak terdapat cukup alasan untuk me-ngabulkannya. MK tidak menemukan dasar konstitusionalitas dihapuskannya pengawasan KY terhadap hakim agung. Ketiga, menyangkut fungsi pengawasan, MK berpendapat bahwa segala ketentuan dalam UUKYyang menyangkut pengawasan dinyatakan bertentangan dengan UUDNRI 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat karena terbukti menimbulkan ketidakpastian hukum (rechtsonzekerheid).

Amar putusan Mahkamah Konstitusi No. 005/PUU-IV/2006 secara subtansial membatal-kan beberapa pasal antara lain Pasal 1 angka 5, Pasal 20, Pasal 21, Pasal 22 ayat (1) huruf e dan ayat (5), Pasal 23 ayat (2), ayat (3), dan ayat (5), Pasal 24 ayat (1), dan Pasal 25 ayat (3) dan ayat (4) Undang-Undang Republik Indonesia No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial (Lem-baran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 89, Tambahan Lembaran Negara Repu-blik Indonesia Nomor 4415), serta Pasal 34 ayat (3) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 8, Tambahan Lembaran Negara Re-publik Indonesia Nomor 4358), karena berten-tangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mem-punyai kekuatan hukum mengikat; Pembatalan terhadap pasal-pasal dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2004

ten-tang Komisi Yudisial dan Undang-Undang Repu-blik Indonesia Nomor 4 Tahun 2004 tentang Ke-kuasaan Kehakiman ini, mengakibatkan terjadi-nya kekosongan hukum (rechtsvacum) yang ber-fungsi sebagai dasar pijakan lembaga pengawas hakim konstitusi untuk melaksanakan penga-wasan, sehingga diperlukan secepatnya pem-bentukan terhadap aturan hukum yang berkait-an dengberkait-an fungsi pengawasberkait-an terhadap hakim konstitusi.

Permasalahan

Berdasarkan paparan latar belakang di atas isu sentral dalam penelitian ini adalah mnengenai alasan-alasan Hakim Konstitusi tidak termasuk dalam Lingkup Pengawasan Komisi Yudisial. Dari isu sentral tersebut melahirkan dua isu hukum sebagai berikut. Pertama, Apa-kah pengertian Hakim Mahkamah Konstitusi ti-dak termasuk dalam pengertian hakim menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indone-sia Tahun 1945 dan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial; dan kedua, Lembaga manakah yang berwenang melakukan pengawasan terhadap Hakim Konstitusi dalam konteks pengawasan hakim Pascaputusan Mah-kamah Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006?

Metode Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian hu-kum normatif (dogmatic),15 yang ditujukan un-tuk menemukan dan merumuskan argumentasi hukum, melalui analisis terhadap pokok per-masalahan. Pendekatan (approach) yang digu-nakan dalam penelitian ini ada empat jenis yai-tu: pendekatan historis (historical approach), pendekatan perundang-undangan (statute

ap-proach); pendekatan perbandingan (compara-tive approach), pendekatan konsep (conceptual approach), dan pendekatan kasus (case

15 Menurut J. Gijssel, Kajian Dogmatik hukum berfokus pada hukum positif, antara lain: (1) mempelajari aturan hukum dari segi teknis; (2) berbicara tentang hukum; (3) bicara hukum dari segi hukum; dan (4) bicara problem yang konkret. Lihat J. Gijssel dalam Philipus M. Hadjon, “Pengkajian Ilmu Hukum Dogmatik (Nor-matif)”, Jurnal Yuridika Vol. IX No. 6, November-De-sember 1994, Fakultas Hukum Universitas Airlangga.

(5)

ach).16 Dipergunakan lebih dari satu pendekat-an dalam penelitipendekat-an ini adalah untuk saling me-lengkapi antara satu pendekatan dengan pen-dekatan lainnya.

Langkah-langkah penelitian yang dilaku-kan adalah menghimpun bahan-bahan hukum baik bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder yang berkaitan dengan topik peneliti-an. Terhadap bahan hukum sekunder semuanya dicatat dengan menggunakan sistem kartu (card

system). Kartu-kartu disusun berdasarkan pokok

permasalahan penelitian dan sistematika penu-lisan yang telah dirumuskan. Semua hasil pene-litian yang diperoleh dari bahan-bahan hukum tersebut di atas dicari hubungannya antar satu dengan lainnya dengan menggunakan penalaran deduktif dan induktif untuk menghasilkan pro-posisi dan konsep baik berupa definisi, deskripsi maupun klasifikasi sebagai hasil penelitian.

Pembahasan

Kerangka Konseptual

Kebebasan hakim pada lembaga peradil-an hakikatnya merupakperadil-an benteng (safeguard) dari rule of law.17 Prinsip tersebut juga dianut secara universal sebagaimana tercermin dalam

Basic Principles on the Independence of the Ju-diciary yang diadopsi oleh the Seventh United Nations Congress on the Prevention of Crime and the Treatment of Offenders, di Milan dari

26 Agustus sampai dengan 6 September 1985, dan disahkan dengan Resolusi Majelis Umum PBB Nomor 40/32 tanggal 29 November 1985 dan Nomor 40/146 tanggal 13 Desember 1985.

Independensi hakim pada lembaga pera-dilan hakekatnya merupakan prasyarat yang

16 Terry Hutchinson, Researching and Writing in Law, Lawbook. Co., Pyrmont-NSW-Sydney, 2002, hlm. 29. Lihat juga Peter Mahmud Marzukki, “Jurisprudence As Sui Generis Discipline”, Jurnal Hukum Yuridika Vol. XVII No. 4 Juli 2002, FH Universitas Airlangga Surabaya, hlm. 309-310

17 Tentang Konsep Negara Hukum ini dapat dibaca secara lengkap dalam Sri Soemantri, “Sistem Pemerintahan Republik Indonesia”, Jurnal Mimbar Hukum Vol. X No. 3 Nopember 2002, hlm. 190; Yance Arizona, “Konstitusi dalam Intaian Neoliberalisme”, Jurnal Konstitusi Vol. I No. 1 November 2008, Mahkamah Konstitusi RI, hlm. 27; R.M. Ananda B. Kusuma, “Teori Konstitusi dan UUD 1945”, Jurnal Konstitusi, Vol. III No. 2 Mei 2006, hlm. 152; dan Abdul Latif, “Pilpres dalam Perspektif Koalisi Multipartai”, Jurnal Konstitusi, Vol. VI No. 3 September 2009, hlm. 25-26

kok bagi terwujudnya cita negara hukum dan merupakan jaminan bagi tegaknya hukum dan keadilan.18 Prinsip ini melekat sangat dalam dan harus tercermin dalam proses, pemeriksa-an dpemeriksa-an pengambilpemeriksa-an keputuspemeriksa-an atas setiap per-kara dan terkait erat dengan independensi pe-ngadilan sebagai institusi peradilan yang ber-wibawa, bermartabat, dan terpercaya.19

Menurut Mahkamah Konstitusi, Indepen-densi hakim dan pengadilan terwujud dalam ke-merdekaan hakim, baik sendiri-sendiri maupun sebagai institusi, dari pelbagai pengaruh yang berasal dari luar diri hakim berupa intervensi yang bersifat mempengaruhi secara langsung berupa bujuk rayu, tekanan, paksaan, ancam-an, atau tindakan balasan karena kepentingan politik atau ekonomi tertentu dari pemerintah atau kekuatan politik yang berkuasa, kelompok atau golongan tertentu, dengan imbalan atau janji imbalan berupa keuntungan jabatan, ke-untungan ekonomi, atau bentuk lainnya.

Kemerdekaan hakim sangat berkaitan erat dengan sikap tidak berpihak atau sikap im-parsial hakim, baik dalam pemeriksaan mau-pun dalam pengambilan keputusan. Hakim yang tidak independen tidak dapat diharapkan ber-sikap netral atau imparsial dalam menjalankan tugasnya.20 Demikian pula lembaga peradilan yang tergantung pada organ lain dalam bidang tertentu dan tidak mampu mengatur dirinya secara mandiri juga akan menyebabkan sikap yang tidak netral dalam menjalankan tugasnya. Kemerdekaan tersebut juga memiliki aspek yang berbeda. Kemerdekaan fungsional,

18 A.V. Dicey menentukan tiga tolok ukur dari keberadaan negara hukum (rule of law) yaitu: (1) supremasi hukum (supremacy of law); (2) persamaan dihadapan hukum (equality before the law); dan (3) konstitusi yang ber-dasarkan pada hak-hak perorangan (the constitution

based on individual rights). Lihat Denny Indrayana,

“Negara Hukum Indonesia Pasca Soeharto: Transisi Me-nuju Demokrasi vs Korupsi”, Jurnal Konstitusi Vol. 1 No. 1 Juli 2004, Mahkamah Konstitusi RI, hlm. 101. Lihat ju-ga Bambang Heryanto, “Refleksi Politik Hukum Pelang-garan Hak Asasi Manusia di Indonesia”, Jurnal Ilmu

Hukum Yuridika Vol. 17 No. 4 Juli-Agustus 2002,

Fakul-tas Hukum UniversiFakul-tas Airlangga, hlm. 334

19 A. Ahsin Thohari, “Jalan Terjal Konstitusionalisme Indonesia”, Jurnal Konstitusi Vol. 1 No. 1 Juli 2004, Mahkamah Konstitusi RI, hlm. 161

20

P. Wignjosumarto, “Peran Hakim Agung dalam Pene-muan Hukum dan Penciptaan Hukum pada Era Refor-masi dan TransforRefor-masi”, Varia Peradilan, No. 251 Okto-ber 2006, hlm. 69

(6)

ngandung larangan bagi cabang kekuasaan yang lain untuk mengadakan intervensi terhadap ha-kim dalam melaksanakan tugas justisialnya. Na-mun demikian kemerdekaan tersebut tidak per-nah diartikan mengandung sifat yang mutlak, karena dibatasi oleh hukum dan keadilan.21

Kemerdekaan hakim dimaksud juga diar-tikan bahwa hakim bebas memutus sesuai de-ngan nilai yang diyakininya melalui penafsiran hukum,22 walaupun putusan yang didasarkan pada penafsiran dan keyakinan demikian mung-kin berlawanan dengan mereka yang mempu-nyai kekuasaan politik dan administrasi (asas

resjudicata facit jus).23 Jika putusannya tidak sesuai dengan keinginan pihak yang berkuasa, hal itu tidak dapat dijadikan alasan untuk me-lakukan tindakan pembalasan terhadap hakim baik secara pribadi maupun terhadap kewena-ngan lembaga peradilan ("... when a decision

adverse to the beliefs or desires of those with political power, can not affect retribu-tion on the judges personally or on the po-wer of the court").24

Kemerdekaan hakim harus dimaknai te-tap dalam batas-batas yang ditentukan oleh hu-kum dan dalam rangka menerapkan huhu-kum se-cara adil (fair). Dalam pandangan John Fere-john, independensi peradilan adalah sebuah konsep yang relatif, bukan absolut. Selengkap-nya, Ferejohn menyatakan:

21 Lihat M. Laica Marzuki, “Kesadaran Berkonstitusi dalam Kaitan Konstitusionalisme”, Jurnal Konstitusi, Vol. VI No. 3 September 2009, hlm. 31. Lihat juga Didik Widi-trismiharto, “Pengutan Fungsi Pengawasan Komisi Yudi-sial Berada di Persimpangan Jalan: Sebuah Kajian ten-tang Reformasi Peradilan”, Jurnal Yustika, Vol. X No. 2 Desember 2007, hlm. 309-321. Juga lihat dalam M. Laica Marzuki, “Paradigma Kedaulatan Rakyat dalam Perubahan Undang-Undang dasar 1945”, Jurnal Legislasi

Indonesia, Vol. VII No. 1 Maret 2010, hlm. 139

22

Tentang interpretasi hukum oleh hakim ini dapat dibaca dalam Soewoto, “Metode Interpretasi Hukum Terhadap Konstitusi”, Jurnal Hukum Yuridika Vol. V No. 1 Janua-ri-Februari 1990, FH Universitas Airlangga, hlm. 31-32; Wijayanto Setiawan, “Peran Hakim Agung dalam Pene-muan Hukum (Rechtsvinding) dan penciptaan Hukum (Rechtsschepping) pada Era Reformasi dan Transforma-si”, Jurnal Perspektif Hukum Vol. VII No. 2 November 2007, FH Univ. Hang Tuah Surabaya, hlm. 88-89 23 Manfred Simon, “The Role of Judges in a Rapidly

Changing Society”, dalam Simon Shetreet, and J. Deschenes (eds), 1985, Judicial Independence: The

Contemporary Debate, Dordrecht: Martinus Nijhoff

Publisher, hlm. 554 24

Theodore L. Becker dalam Herman Schwartz (2003) sebagaimana dikutip dalam Ibid.

”One definitional problem is that judicial independence is a relative, not an abso-lute, concept. The following definition of ‘dependency’ highlights the relative na-ture of judicial independence: in [A] per-son or institution [is] … dependent … [if] unable to do its job without relying on some other institution or group.”

(Satu definisi bahwa independensi per-adilan adalah relatif, tidak absolut, kon-septual. Berdasarkan definisi tersebut, maka independensi bersift relative di mana seseorang atau institusi dikatatakan dependen jika dalam bekerja tidak ber-gantung dari institusi atau kelompok lain).25

Berdasarkan pendapat tersebut, independensi peradilan adalah keadaan di mana peradilan dapat atau sanggup menjalankan tugasnya tan-pa memiliki ketergantungan tan-pada pihak lain. Relativitas konsep independensi peradilan ini akhirnya memang selalu memicu perdebatan yang pada akhirnya diterjemahkan secara ber-beda-beda di setiap negara.

Independensi peradilan dalam perkemba-ngannya harus bersanding dengan konsep lain yang harus berdampingan secara harmonis, yakni akuntabilitas publik (public

accounta-bili-ty). International Bar Association Code of

Mini-mum Standards of Judicial Independence dalam angka 33 menentukan

It should be recognised that judicial in-dependence does not render the judges free from public accounttability, howe-ver, the press and other institutions should be aware of the potential conflict between judicial independence and ex-cessive pressure on judges

(harus diakui bahwa independensi per-adilan tidak dengan sendirinya membe-baskan hakim dari akuntabilitas publik, meski demikian, tekanan dan intervensi lembaga lain berpotensi melahirkan

25 John Ferejohn, “Independent Judges, Dependent Judiciary: Explaining Judicial Independence,” 72

Southern California Law Review 353 (1999) sebagaimana dikutip The Asia Foundation, Oktober 2003, Judicial Independence Overview and

Country-Level Summaries, Asian Development Bank Judicial

Independence Project, RETA No. 5987, submitted by The Asia Foundation, hlm. 2.

(7)

flik antara independensi peradilan dan tekanan terhadap hakim).26

Berdasarkan ketentuan di atas, maka indepen-densi kekuasaan kehakiman atau peradilan itu memang tidak boleh diartikan secara absolut. Salah satu rumusan penting konferensi Interna-tional Commission of Jurist menggarisbawahi bahwa "Independence does not mean that the

judge is entitled to act in an arbitrary manner”

(independensi tidak berarti bahwa hakim tanpa dasar untuk bertindak). Oleh karena itu, sejak awal munculnya gagasan mengubah UUD 1945 telah muncul kesadaran bahwa sebagai pengim-bang inde-pendensi dan untuk menjaga kewiba-waan kekuasaan kehakiman, perlu diadakan pe-ngawasan eksternal yang efektif di bidang etika kehakiman seperti beberapa negara, yaitu de-ngan dibentuknya Komisi Yudisial.27

Menurut Paulus E. Lotulung, batasan atau rambu-rambu yang harus diingat dan diperhati-kan dalam implementasi kebebasan itu adalah terutama aturan-aturan hukum itu sendiri.28 Ketentuan-ketentuan hukum, baik segi prose-dural maupun substansial atau materiil merupa-kan batasan bagi kekuasaan kehakiman agar da-lam melakukan independensinya tidak melang-gar hukum, dan bertindak sewenang-wenang. Hakim adalah subordinated pada hukum dan ti-dak dapat bertinti-dak contra legem. Selanjut-nya, harus disadari bahwa kebebasan dan in-dependensi tersebut diikat pula dengan per-tanggungjawaban atau akuntabilitas, di mana keduanya pada dasarnya merupakan dua sisi koin mata uang yang sama. Tidak ada

26 International Bar Association, 22nd October 1982,

International Bar Association Code of Minimum Standards of Judicial Independence, The Jerussalem

Approved Standards of the 19th IBA Biennial Conference held on Friday dalam A. Ahsin Thohari, 2010, loc. cit. 27 Jimly Asshiddiqie, “Pemilihan Langsung Presiden dan

wakil Presiden”, Jurnal Hukum Vol. XXVII No. 51 2004, Fakultas Hukum UII Yogyakarta, hlm. 12. Lihat juga Saldi Isra, “Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006: Isi, Implikasi dan Masa Depan Komisi Yudisial”, Jurnal Ilmiah Hukum Legality Vol. XV No. 1 2007, Fakultas Hukum Universitas Muhammadyah Malang, hlm. 40

28 Paulus E. Lotulung, Kebebasan Hakim dalam Sistem

Penegakan Hukum, Makalah disampaikan dalam Seminar

Pembangunan Hukum Nasional VIII, diselenggarakarn oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia RI), Denpasar, 14 -18 juli 2003, hlm. 7

an mutlak tanpa tanggung jawab. Dengan per-kataan lain dapat dipahami bahwa dalam kon-teks kebebasan hakim haruslah diimbangi de-ngan pasade-ngannya yaitu akuntabilitas peradil-an (judicial accountability).29

Wujud akuntabilitas publik dalam penga-wasan, bahwa walaupun hakim sebagai peme-gang kekuasaan kehakiman haruslah indepen-den, tetapi independensi tersebut tidak boleh menjadikan hakim sebagai pelaku yang tidak terkontrol. Menurut Lintong O. Siahaan, pada prinsipnya peran hakim dalam memutuskan perkara dapat diuji melalui tiga hal, yaitu

social change, despuite dan statement.

Berda-sarkan parameter tersebut, dalam menjalankan kewenangannya hakim termasuk juga hakim konstitusi memiliki kebebasan yudisial dalam memutus sengketa, meski demikian ia bukanlah corong undang-undang (la bouche de la loi) yang hanya sekedar menuangkan dari apa yang ada dalam aturan hukum,30 tetapi ia memiliki kompetensi perilaku, yang meliputi perilaku secara individu (personal) maupun perilaku yu-disial. Kompe-tensi hakim tersebut merupakan

the authority of judges judicial behaviour

(ke-mandirian perilaku hakim dalam kekuasaan yu-disial). Dengan kedudukan ini hakim menikmati otonomi yang tinggi dan tanpa batas, meski demikian hakim sebagai pelaku kekuasaan ke-hakiman, tidak bisa dibiarkan begitu saja men-jalankan fungsi kekuasaan yudisial tanpa pe-ngontrol dan pengimbang dari lembaga ekster-nal. Alasannya, hal ini dapat melahirkan ke-kuasaan yudisial yang absolut (tirani yudisial), yaitu suatu format ketatanegaraan (pranata sosial) yang sama buruknya dengan tirani ek-sekutif dan tirani legislatif dimana kekuasaan yudisial dengan otoritasnya dapat menciptakan sah terhadap hal yang tidak sah (necessitas

fa-cit liticum qoad atau non est liticum), meski

demikian mereka tidak dapat tersentuh oleh cara apapun dan lembaga manapun, termasuk

29 Lihat Nurhasan, “Sistem Politik Peradilan Indonesia, Ha-kim dan Komisi Yudisial dalam Mewujudkan Penegakkan Hukum yang Efektif dan Efisien, Jurnal Ilmu HUkum

Litigasi Vol. IX No. 3 2008, Fakultas Hukum Universitas

pasundan, hlm. 251 30

Lintong O. Siahaan, “Peran Hakim dalam Pembaharuan Hukum di Indonesia”, Jurnal Hukum dan Pembangunan, Tahun Ke-36 No. 1 Januari-Maret 2006, hlm. 36

(8)

oleh lembaga yang berwenang dalam melaksa-nakan pengawasan.31 Menurut Oemar Seno Adji, kebebasan hakim tidak berarti bahwa ia bebas di dalam menentukan kerangka umum dan prin-sip-prinsip dasar daripada kegiatan peradilan dan organisasinya, tetapi suatu kebebasan ha-rus berdampingan dengan dua perkara, yaitu

factuele virjheid, dan persoonlijke vrijheid.32 Paulus E. Lotulung berpendapat, untuk mewujudkan independensi hakim, maka setiap independensi perlu diimbangi dengan tanggung-jawab dalam bentuk akuntabilitas dan transpa-ransi. Oleh sebab itu hakim akan memperoleh kepercayaan publik jika mampu menjalankan independensinya yang dibarengi dengan 2 dua langkah yang saling terkait erat, yaitu pengelo-laan administrasi; dan pengawasan (control).33

Berdasarkan pendapat tersebut, dapat disimpulkan, bahwa kemerdekaan hakim di satu sisi, haruslah diimbangi dengan akuntabilitas di sisi lain. Keduanya, kemerdekaan dan akuntabi-litas bagaikan dua sisi mata uang. Kedua unsur tersebut hadir bersamaan, tidak berdiri sendiri, karena itu harus dikatakan bahwa tidak ada ke-bebasan tanpa akuntabilitas. Paulus E. Lotulung selanjutnya mengatakan:

Perlunya independensi tidak berarti bah-wa hakim tidak dapat dikritik atau di-awasi. Sebagai keseimbangan dari inde-pendensi, selalu harus ada terdapat akun-tabilitas dan tanggungjawab untuk men-cegah ketidakadilan. Mekanisme penga-wasan itu harus dikembangkan oleh lem-baga peradilan itu sendiri dan masyarakat dalam pengertian untuk menjamin akun-tabilitas seorang hakim.34

Berdasarkan kenyataan tersebut, maka kebera-daan lembaga pengawas hakim yang mandiri, dan bebas dari campur tangan lembaga lain

31 Hugo Black (Hakim Agung Amerika Serikat), pernah mengatakan, ”There can be no equal justice where the

kind of trial a man gets depends on the amount of money he has”.Lihat Saharuddin Daming, “Wabah The

Dark Juctice dan Tirani Peradilan”, Koran Tempo,

Se-lasa 26 April 2011. Lihat juga Nurul Chotidjah, “Eksis-tensi Komisi Yudisial dalam Mewujudkan Kekuasaan Kehakiman yang Merdeka”, Jurnal Ilmu Hukum Syiar

Madani Vol. XII No. 2 Juli 2010, hlm. 170

32

Oemar Seno Adji, 1985, Peradilan Bebas Negara Hukum. Jakarta: Erlangga, hlm. 109

33

Paulus E. Lotulung, Op. Cit., hlm. 18 34

Ibid.

mutlak diperlukan dalam rangka menegakkan kehormatan, menjaga keluhuran martabat ser-ta perilaku hakim dalam rangka mewujudkan pemerintahan yang baik dan bersih (good

governance).35

Berbagai Konsep Hakim Konstitusi Menurut Aturan Hukum

Konsep Hakim Konstitusi Menurut UUD 1945

Pasal 24 B ayat (1) UUD 1945 menentukan Komisi Yudisial bersifat mandiri yang ber-wenang mengusulkan pengangkatan ha-kim agung dan mempunyai wewenang lain

35

James W. McElhaney, ”Judges and Magistrates, Litiga-tion, Attorneys, Trial Preparation”, ABA Journal

Chica-go, No. 94 January 2007, hlm. 22

INDEPENDENSI HAKIM (Grand Theory) KONTROL PERILAKU (Middle-range LEMBAGA KONTROL PERILAKU (Applied Theory)

Independensi Imparsial Akuntabilitas

Di dalam peradilan

Di luar peradilan

PENGAWASAN HAKIM KONSTITUSI DALAM SISTEM PENGAWASAN HAKIM MEURUT UUD 1945

Internal Eksternal Oleh lembaga di dalam struktur Organisasi Oleh lembaga di luar struktur Organisasi Hakim di LP & Hakim Agung Hakim Konstitus i KY MKMK? MA Hakim di LP & Hakim Agung Hakim Konstitus i MK? MKH

(9)

dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.

Tidak ada tafsiran pada tingkat konstitusi ber-kaitan dengan makna hakim dalam kalimat “da-lam rangka menjaga dan menegakkan kehor-matan, keluhuran martabat, serta perilaku “ha-kim”, artinya UUDNRI 1945 tidak menjelaskan hakim mana yang dimaksud dengan “hakim“ dalam ketentuan Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 tersebut, tetapi MK menerjemahkan “hakim“ dalam ketentuan tersebut excluding Hakim Konstitusi. Putusan MK Nomor 005/PUU-IV/ 2006, tanggal 23 Agustus 2006, tidak memasuk-kan Hakim Konstitusi dalam lingkup pengawa-san Komisi Yudisial (selanjutnya disebut KY), karena menurut MK pengertian hakim menurut Pasal 24B ayat (1) UUDNRI 1945 tidak termasuk Hakim Konstitusi, hal ini dengan beberapa per-timbangan. Pertama, secara sistematis perumu-san ketentuan mengenai KY tidak berkaitan de-ngan ketentuan mengenai MK (pasal tentang KY ditempatkan lebih dahulu daripada pasal ten-tang MK); kedua, fungsi pengawasan terhadap perilaku Hakim Konstitusi dilakukan oleh Maje-lis Kehormatan; ketiga, makna hakim Konstitusi berbeda dengan Hakim biasa, karena hakim konstitusi pada dasarnya bukan hakim sebagai profesi tetap, tetapi hakim karena jabatannya;

keempat, dalam keseluruhan mekanisme

pemi-lihan dan pengangkatan para Hakim Konstitusi yang diatur dalam UUD 1945 tidak terdapat ke-terlibatan peran KY sama sekali; dan kelima, secara subtantif, jika perilaku hakim Konstitusi menjadi obyek pengawasan KY, maka kewena-ngan MK sebagai pemutus kewenakewena-ngan konstitu-sional lembaga negara menjadi terganggu dan terjebak ke dalam pihak yang tidak dapat bersi-kap imparsial.36

MK memiliki pendapat berbeda tentang Hakim Agung. Menurut MK, bahwa dari perspek-tif spirit of the constitution hakim agung ter-masuk dalam makna hakim, sehingga

36 Lihat Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial dan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman terhadap Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945. loc.cit.

wasannya menjadi aspek pengawasan KY, hal ini dengan beberapa pertimbangan. Pertama, dari konteks sosial yang lebih luas, pengertian umum dan prinsip konstitusi hakim agung ter-masuk dalam kategori hakim; kedua, mekanis-me pengangkatan hakim agung mekanis-melibatkan ke-beradaan KY, sehingga KY memiliki peran untuk tetap menjaga integritas dan kualitas perilaku-nya; ketiga, secara faktual Hakim Agung meru-pakan anggota Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI) dan bahwa hakim agung adalah hakim, tidak pernah dipersoalkan.37

Jika ditelaah pendapat MK tersebut ter-dapat ketidakkonsistensian dan mengandung kelemahan, karena konstitusi secara tegas me-ngatakan, bahwa kekuasaan kehakiman dilaku-kan oleh MA dan MK. Dengan demikian sebagai konsekuensi kekuasaan kehakiman, hakim kons-titusi tidak dapat dikeluarkan dari definisi ha-kim menurut Pasal 24B ayat (1) UUD 1945. Oleh karena kekuasaan kehakiman dilaksanakan oleh hakim dalam semua lingkungan peradilan, maka konsekuensinya hakim konstitusi termasuk da-lam pengertian hakim. Selain itu dada-lam risalah perubahan UUD 1945, tidak pernah disebutkan bahwa hakim konstitusi tidak termasuk dalam pengertian hakim, dan ketentuan perundang-undangan tidak memisahkan pengertian hakim berdasarkan ruang lingkup, sehingga semua ha-kim dalam ranah kekuasaan kehaha-kiman terma-suk hakim konstitusi harus dimaksudkan seba-gai hakim.

Konsep Hakim Konstitusi Menurut Undang-Undang

Konsep Hakim Konstitusi dalam konteks Indonesia, secara yuridis diatur dalam undang-undang yang terkait dengan kekuasaan kehaki-man, yaitu Undang-undang tentang Kekuasaan Kehakiman, dan Undang-undang tentang Mah-kamah Konstitusi serta Undang-Undang tentang Komisi Yudisial.

Konsep Hakim Konstitusi Menurut Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman

37 Ibid.

(10)

Undang-Undang yang mengatur mengenai Ke-kuasaan Kehakiman dalam Sistem Ketata-negaraan Indonesia, secara historis kronologis meliputi Undang-Undang No. 19 Tahun 1948 tentang Susunan dan Kekuasaan Badan-Badan Kehakiman dan Kejaksaan, Undang-Undang No. 19 Tahun 1964 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan–Ketentu-an Pokok KekuasaKetentuan–Ketentu-an KehakimKetentuan–Ketentu-an (UUKK 1970) yang telah diubah dengan Undang-Undang No. 35 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan– Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman (UUKK 1999), Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 ten-tang Kekuasana Kehakiman (UUKK 2004) dan Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Ke-kuasaan Kehakiman (UUKK 2009).

UUKK 2004 secara eksplisit tidak men-definisikan apa itu Hakim Konstitusi. Pasal 12 yang mengatur tentang MK hanya menyebutkan mengenai tugas dan wewenang dari MK. Bagai-mana dengan ‘Makna Hakim Konstitusi dalam Konteks Makna Hakim’? Sebagaimana juga da-lam UUKK 1970, dada-lam UUKK 2004 juga terda-pat Bab khusus yang mengatur mengenai Hakim dan Kewajibannya, yaitu dalam Bab IV Hakim dan Kewajibannya.

UUKK 2004 mengatur mengenai kekuasa-an kehakimkekuasa-an serta mencoba meletakkkekuasa-an prin-sip-prinsip dasar kekuasaan kehakiman. Kekua-saan Kehakiman pada dasarnya merupakan sua-tu cabang kekuasaan Negara yang dibedakan dengan cabang kekuasaan Negara lainnya, yaitu eksekutif dan legislatif. Dalam kekuasaan ke-hakiman, Hakim merupakan komponen utama yang diperlukan untuk dapat menjalankan ke-kuasaan ini. Istilah Hakim merupakan istilah yang khas dalam kekuasaan ini yang membeda-kan dengan lembaga penyelesaian sengketa lainnya, seperti mediasi, arbitrase maupun yang lainnya. Meskipun hakim terbagi dalam beberapa lingkungan peradilan maupun mah-kamah, namun ditinjau dari sudut fungsi, hing-ga simbol-simbol, seperti penggunaan tohing-ga, pa-lu, posisi ruang sidang dan dan lain sebagainya pada prinsipnya tidak ada perbedaan yang mendasar antara hakim pada Mahkamah Agung

serta peradilan di bawahnya dengan hakim pada Mahkamah Konstitusi.

Berdasarkan ketentuan tersebut, ditinjau dari undang-undang yang mengatur mengenai Kekuasaan Kehakiman kecuali UUKK 2009, terli-hat jelas bahwa dalam ketentuan UU tersebut tidak pernah membedakan pengertian hakim sehingga yang dimaksud dengan hakim adalah seluruh hakim mulai dari hakim pada tingkat pertama hingga Hakim Agung serta Hakim Kons-titusi setelah unsur pranata MK ini dibentuk.

Konsep Hakim Konstitusi dalam Undang-Undang Mahkamah Konstitusi

Konsep Hakim Konstitusi menurut Un-dang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UUMK 2003) yang telah diubah berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahka-mah Konstitusi (UUMK 2011) hanya terdapat da-lam satu Pasal, yaitu Pasal 5 yang menentukan bahwa Hakim Konstitusi adalah pejabat Negara. UUMK 2003 maupun UUMK 2011 tidak menjelas-kan apa yang dimaksud dengan pejabat Negara itu? Istilah pejabat Negara dapat ditemukan da-lam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 ten-tang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme Bab I Ketentuan Umum Pasal 1 ang-ka 1, bahwa Pe-nyelenggara Negara adalah pejabat Negara yang menjalankan fungsi eksekutif, legislatif, atau yudisial ….”.

Selain itu istilah hakim semata dalam UUMK 2003 hanya terdapat dalam Pasal 45 ayat (1) Bagian Ketujuh tentang Putusan yang me-netapkan: “Mahkamah Konstitusi memutus per-kara berdasarkan Undang-Undang Dasar Repu-blik Indonesia Tahun 1945 sesuai dengan alat bukti dan keyakinan hakim.” Dari ketentuan Pasal tersebut, jelas istilah hakim pada konteks keyakinan hakim digunakan untuk menunjuk pengertian Hakim Konstitusi. Ketentuan itu ju-ga dapat dilihat, jika ditinjau kembali pada proses pembahasan UUMK 2003 pada Rapat Pansus UUMK 2003 terdapat aspirasi untuk me-masukkan hakim konstitusi dalam makna hakim

(11)

menurut Pasal 24B UUD 1945. Hal ini sebagai-mana dikemukakan oleh Jimly Asshiddiqie:

“... ketika RUUMK sedang dibahas oleh DPR dan pemerintah, tim ahli Pemerintah menyarankan agar ha-kim konstitusi juga ditentukan se-bagai hakim yang diawasi oleh Ko-misi Yudisial dengan menafsirkan kata ‘hakim’ dalam Pasal 24B UUD 1945 secara luas. Akan tetapi, semua anggota Pansus UUMK yang sebagian besar adalah mantan anggota Panitia Ad Hoc BP MPR yang terlibat dalam perumusan ketentuan Pasal 24A, Pasal 24B, dan Pasal 24C UUD 1945, semua menolak karena alasan bah-wa hal itu bertentangan dengan maksud UU 1945.”38

Berdasarkan risalah tersebut, jelaslah bahwa memang sejak semula ada keinginan untuk me-masukkan hakim konstitusi dalam makna ‘ha-kim’ sebagaimana ketentuan Pasal 24B UUDNRI 1945, meski hal ini kemudian tidak diakomo-dasi dalam ketentuan pasal-pasal dalam UUMK 2003.

Konsep Hakim Konstitusi Menurut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003 tentang Komisi Yudisial

Konsep dan perumusan Hakim Konstitusi hanya include dalam Konteks Makna Hakim da-lam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003 ten-tang Komisi Yudisial diatur pada Pasal 1 angka 5 yang menentukan bahwa Hakim adalah hakim Agung dan hakim pada badan peradilan di se-mua lingkungan peradilan yang berada di ba-wah Mahkamah Agung serta hakim Mahkamah Konstitusi.

Perluasan makna hakim yang menyang-kut pengertian Hakim Konstitusi dalam konteks Pasal 1 angka 5 UUKY 2004 pada dasarnya me-rupakan tafsir terhadap Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 berdasarkan risalah-risalah sidang PAH BP MPR RI. Hal sebagaimana dikemukakan oleh Fajrul Falaakh:

Persoalan makna kata ‘hakim’ dalam ke-tentuan konstitusi tersebut, tidak ada pe-nafsiran resmi pada tingkat konstitusi, karena tidak terdapat penjelasan dalam

38

Jimly Asshiddiqie, 2010, Perkembangan dan Konsolidasi

Lembaga Negara Pasca Reformasi, Jakarta: Sinar

Grafika, hlm. 113

UUD 1945. Dua sumber utama yang dapat digunakan sebagai pembantu untuk me-mahami adalah Risalah Sidang MPR dan bahan sosialisasi hasil-hasil amandemen konstitusi. Masalah ini telah dipahami melalui tiga metode penafsiran konsti-tusi: semantik, historis (original intent), dan struktural. Penafsiran semantik me-mahami kata hakim sebagai-mana ditulis-kan, sehingga ketentuan anak kalimat ke dua Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 memang mencakup semua hakim. Ini digunakan dalam bahan sosialisasi hasil-hasil aman-demen oleh MPR. Pemahaman ini pula yang kemudian muncul dalam UU No. 4/2004 tentang Kekuasaan Kehakiman maupun dalam UUKY.39

Berdasarkan risalah-risalah sidang PAH BP MPR RI terdapat keinginan agar kompetensi KY mencakup semua hakim, termasuk promosi dan mutasi hakim, maupun merekomendasikan pe-ngangkatan hakim MK, namun terdapat pula ke-inginan yang terbatas. Usulan dengan caku-pan luas ini tidak direkomendasi. Jadi, ada yang menginginkan terbatas (hakim agung saja) dan ada yang menginginkan cakupan yang luas (se-mua hakim), tetapi tidak terdapat catatan ten-tang pihak yang tidak ingin mencakup hakim agung. Kesimpulannya, kata ‘hakim’ yang ber-sifat umum disetujui namun hanya mengenai ‘wewenang lain dalam rangka menjaga dan me-negakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.” Ketentuan ini selanjut-nya yang dirumuskan dalam Pasal 1 angka 5 UUKY 2004, bahwa hakim adalah Hakim Agung dan Hakim pada badan peradilan di semua ling-kungan peradilan yang berada di bawah Mah-kamah Agung serta Hakim Konstitusi”.

Lembaga Pengawas Hakim Konstitusi Menurut Putusan Mahkamah Konstitusi No. 005/PUU-IV/2006

MK dalam amar Putusan Mahkamah Kons-titusi Nomor 005/PUU-IV/2006 tentang Uji Ma-teriil Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 Tentang Komisi Yudisial dan Undang-Undang

39

Mohammad Fajrul Falakh, “Beberapa Pemikiran untuk Revisi UU Komisi Yudisial”, dalam Komisi Yudisial, tth,

Bunga Rampai Refleksi Satu tahun Komisi Yudisial RI,

(12)

Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Keha-kiman terhadap UUDNRI 1945, menyatakan:

Pengertian hakim menurut Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 yang meliputi Hakim Kons-titusi terbukti bertentangan dengan UUD 1945 … Dengan demikian Hakim Konstitusi tidak termasuk pengertian hakim yang perilaku etiknya diawasi oleh Komisi Yu-disial. Pengawasan terhadap pelaksana-an kode etik Hakim Konstitusi dilakukpelaksana-an oleh Majelis Kehormatan yang tersendiri sesuai dengan keten-tuan Pasal 23 UUMK sebagai pelak-sanaan Pasal 24C ayat (6) UUD 1945.

Jika mencermati secara seksama keten-tuan UUD 1945 secara tegas mengatakan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi.40 Dengan de-mikian sebagai pelaksana kekuasaan kehakim-an, Hakim Konstitusi tidak dapat dikeluarkan dari definisi hakim menurut Pasal 24B ayat (1) UUD 1945. Pasal 24 ayat (2) menentukan

Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh se-buah Mahkamah Agung dan badan per-adilan di bawahnya dalam lingkungan pe-radilan umum, lingkungan pepe-radilan aga-ma, dan lingkungan peradilan militer, serta lingkungan peradilan tata usaha ne-gara dan oleh Mahkamah Konsti-tusi.” Ketentuan ini dipertegas kembali dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, yang menentu-kan bahwa Mahkamah Konstitusi adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan Penegasan kedudukan MK diatur kembali dalam Pasal 2 Un-dang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang menentukan bahwa Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu

40 Model pemisahan demikian tidak dikenal di negara-ne-gara yang menganut sistem Anglo Saxon seperti di Ame-rika dan Australia. Di Australia tugas dan wewenang MK

include dalam tugas dan wewenang MA, sehingga MA di

negara ini juga berfungsi sebagai Guardian of

Constitu-tional. T. Wijayanta, “Tinjauan Yuridis tentang

Mahka-mah Agung dan High Court od Australia dalam Kaitannya dengan Penegakkan Hukum (Rule of Law)”, Jurnal

Mimbar Hukum Vol. X No. 3 Nopember 2002, Fakultas

Hukum Universitas Gadjah Mada, hlm. 181. Lihat juga Deni Bram, “Tinjauan Teori Hukum Kehadiran Mah-kamah Konstitusi di Indonesia”, Jurnal Themis, Vol. II No. 1 Oktober 2007, hlm. 88

lembaga negara yang melakukan kekuasaan ke-hakiman yang merdeka untuk menyelenggara-kan peradilan guna menegakmenyelenggara-kan hukum dan keadilan.

Berdasarkan konstruksi hukum demikian, menurut penulis karena kekuasaan kehakiman dilaksanakan oleh hakim dalam semua lingkung-an peradillingkung-an maka tidak tepat mengataklingkung-an bahwa hakim konstitusi tidak termasuk dalam pengertian hakim, bahkan dalam risalah pe-rubahan UUD 1945, tidak pernah disebutkan bahwa hakim konstitusi tidak termasuk dalam pengertian hakim, dan ketentuan perundang-undangan tidak memisahkan pengertian hakim berdasarkan ruang lingkup, sehingga semua ha-kim dalam ranah kekuasaan negara termasuk hakim konstitusi haruslah dimaksudkan sebagai hakim. Makna inilah yang kemudian diadopsi dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 22 Ta-hun 2004 tentang Komisi Yudisial. Artinya, ba-hwa perluasan ‘makna hakim’ yang menyang-kut pengertian Hakim Konstitusi dalam konteks Pasal 1 angka 5 UUKY pada dasarnya meru-pa-kan tafsir terhadap Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 berdasarkan risalah-risalah sidang PAH BP MPR RI. Berdasarkan risalah-risalah sidang PAH BP MPR RI terdapat keinginan agar kompetensi KY mencakup semua hakim, termasuk promosi dan mutasi hakim, maupun merekomendasikan pe-ngangkatan hakim MK, namun terdapat pula ke-inginan yang ter-batas. Dengan demikian hakim konstitusi ju-ga merupakan hakim yang meka-nisme penga-wasannya dilakukan oleh KY.

Permasalahan kedua menyangkut kedudu-kan hukum dari MKMK, bahwa MKMK merupakedudu-kan lembaga ad hoc, artinya apakah lembaga ad

hoc layak melakukan pengawasan terhadap

lembaga yang bersifat permanen sebagaimana MK? Harjono mengatakan, bahwa fungsi men-jaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim tidak bisa di-lakukan oleh lembaga ad hoc. Ini adalah fungsi yang bersifat permanen, sehingga dibutuhkan lembaga yang juga permanen ...41.

41

Harjono, “Lembaga Negara dalam UUD 1945”, Jurnal

Konstitusi, Vol. IV No. 2 Juni 2007, hlm. 101-113. Lihat

juga M. Agus Santoso, “Peran Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dalam Menjalankan Fungsi Pengawasan”, Jurnal

(13)

Berdasarkan pendapat tersebut, menu-rut penulis untuk membangun mekanisme peng-awasan terhadap perilaku Hakim Konstitusi di-perlukan lembaga independen, mandiri dan bersifat permanen hal ini dikarenakan fungsi tersebut bersifat permanen. Selain itu untuk menjaga integritas dan mempertahankan per-forma kelembagaan yang lebih baik diperlu-kan mekanisme pengawasan terpadu yang melibat-kan lembaga di luar MK, sebagaimana memelibat-kanis- mekanis-me pengawasan di lembaga MA.

Lembaga Pengawas Hakim Konstitusi dalam Sistem Pengawasan Hakim Menurut UUD 1945

Pengawasan terhadap perilaku hakim konstitusi adalah mutlak adanya dan merupa-kan harga mati yang tidak dapat ditawar lagi. Menafikan pengawasan terhadap hakim konsti-tusi dan meniadakan peran lembaga eksternal seperti Komisi Yudisial yang secara konstitusio-nal memiliki kewenangan atas hal tersebut da-lam pengawasan hakim konstitusi merupakan langkah mundur dalam membangun puncak lembaga peradilan sebagai institusi dengan prinsip clean government dan good governance. Mahkamah Konstitusi dalam Cetak Biru Membangun Mahkamah Konstitusi Bab IV Mewu-judkan Akuntabilitas dan Transparansi Mahka-mah Konstitusi bagian B Tujuan Strategis Mah-kamah Konstitusi menyatakan:

MK memiliki peran strategis dalam sistem ketatanegaraan, yang tercermin pada ke-wenangan-kewenangan yang dimilikinya ... untuk itu menjadi penting bagi MK, memberikan pengawasan terhadap inte-gritas dan perilaku hakim kepada pihak eksternal yang memiliki kewenangan un-tuk itu. Komisi Yudisial, secara yuridis memiliki kewenangan untuk mengawasi hakim baik di lingkungan peradilan umum maupun MK.42

Terkait dengan kedudukan Komisi Yudi-sial selaku pengawas eksternal Hakim Kons-titusi tersebut, Jimly Asshiddiqie menyatakan:

Dari ketentuan mengenai Komisi Yudisial ... dapat dipahami bahwa jabatan hakim

Hukum Ius Quita Iustum Vol. XVIII No. 4 Oktober 2011,

FH UII Yogyakarta, hlm. 614 42

Mahkamah Konstitusi RI, 2006, Cetak Buru Membangun

Mahkamah Konstitusi, Jakarta: Mahkamah Konstitusi RI,

hlm. 121

dalam konsepsi UUD 1945 dewasa ini ada-lah jabatan kehormatan yang perlu dijaga dan ditegakkan kehormatannya oleh sua-tu lembaga yang juga bersifat mandiri, yaitu Komisi Yudisial yang merupakan pe-ngembangan lebih lanjut ide pembentuk-an Majelis Kehormatpembentuk-an Hakim Agung ypembentuk-ang ditarik ke luar ... oleh karena itu, keber-adaan lembaga Komisi Yudisial ini diben-tuk tersendiri di luar Mahkamah Agung, sehingga subyek yang diawasinya dapat diperluas ke semua hakim, termasuk hakim konstitusi dan hakim di seluruh Indonesia.43

Selanjutnya Jimly Asshiddiqie, juga mengata-kan:

“... Berdasarkan penafsiran harfiah, ha-kim konstitusi pun pula dimasukkan ke dalam pengertian hakim yang diawasi menurut ketentuan Pasal 24B ayat (1) UUD 1945. Oleh karena itulah UUKY me-nganut pengertian yang terakhir ini, yaitu menafsirkan kata ‘hakim’ dalam Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 secara luas se-hingga mencakup seluruh hakim dalam lingku-ngan MA dan semua hakim pada MK .... Dengan demikian, KY berfungsi sebagai lembaga pengawas MK, melalui kewenangannya untuk menjaga dan me-negakkan kehormatan, keluhuran marta-bat, serta perilaku para hakim konstitusi sebagaimana mestinya”44.

M. Laica Marzuki juga menyatakan:

“Konstitusi memberikan kewenangan ke-pada Komisi Yudisial guna menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran mar-tabat serta perilaku hakim ... Hal dimak-sud berkaitan dengan kewenangan Komisi melaku-kan pengawasan terhadap perila-ku hakim ... Kewenangan pengawasan de-mikian juga berlaku terhadap peri-laku-perilaku Hakim Konstitusi ...”45

Berdasarkan ketentuan Cetak Biru MK dan pendapat para ahli hukum tersebut, jelaslah bahwa pada dasarnya MK membuka diri

43 Jimly Asshiddiqie, 2005, Kedudukan Mahkamah

Kons-titusi dalam Struktur Ketatanegaraan Indonesia, dalam

Mahkamah Konstitusi, Bunga Rampai Mahkmah

Kons-titusi RI, Jakarta: Setjen dan Kepaniteraan Mahkamah

Konstitusi RI, hlm. 35 44

Ibid., h. 38 45

M. Laica Marzuki, “Komisi Yudisial dan Relevansinya dengan Kekuasaan Kehakiman”, Jurnal Konstitusi, Vol. VI No. 2 2006, hlm. 86

(14)

dap mekanisme pengawasan eksternal terhadap integritas dan perilaku hakim dan secara eks-plisit melegitimasi keberadaan KY sebagai lem-baga pengawas Hakim selain Majelis Kehormat-an MK dKehormat-an kontrol masyarakat. Dalam konteks yang lebih luas, dalam hal ini memberi sinyal bahwa “subyek yang diawasi KY dapat diperluas ke semua hakim, termasuk hakim konstitusi”, sehingga perilaku Hakim Konstitusi termasuk yang diawasi Komisi Yudisial46.

Membandingkan keberadaan lembaga pe-ngawasan hakim konstitusi di negara-negara yang konstitusinya mengadakan lembaga terse-but khususnya di negara-negara Eropa. Keten-tuan mengenai keberadaan lembaga pengawa-san Hakim Konstitusi berbeda-beda di setiap negara yang konstitusinya mengadakan lemba-ga tersebut. Setidaknya terdapat tilemba-ga model utama yang berlaku di Eropa dalam hubungan antara Hakim Konstitusi sebagai unsur yang ada dalam lembaga peradilan, Komisi Yudisial atau lembaga serupa lainnya dan para pejabat yang berwenang. Pertama, model Eropa Utara. Mo-del Eropa Utara memberikan wewenang yang luas kepada Komisi Yudisial, termasuk kewe-nangan dalam bidang penganggaran, logistik, kontrol, pengawasan, pengangkatan, tindalan disipliner, perekrutan dan aspek lain yang ber-kaitan dengan lembaga peradilan (seperti peng-awasan terhadap administrasi peradilan, ke-uangan pengadilan, manajemen perkara, bah-kan sampai dengan manajemen pengadilan (se-perti perumahan hakim, pendidikan hakim dan sebagainya). Model ini dianut oleh negara Swe-dia, Irlandia dan Denmark. Kedua, Model Eropa Selatan. Menurut model ini kewenangan Komisi Yudisial hanya untuk memberikan nasehat da-lam pengangkatan hakim dan pegawai pengadil-an serta kewenpengadil-angpengadil-an untuk mengambil tinda-kan disipliner terhadap hakim. Contoh model ini adalah negara Italia, Perancis, Spanyol, Por-tugal dan Swiss. Ketiga, model tak terbagi

(un-divided model). Model ini tidak ada lembaga

46 Lihat mengenai perbandingan keberadaan Komisi Yudi-sial dalam sistem ketatanegaraan di beberapa negara pada James Podgers, “To Make Survive of Judical Com-mission”, ABA Journal Chicago, Vol. 82 Oktober 2002, hlm. 112. Lihat Juga Titik Triwulan Tutik, “Kedudukan dan Fungsi Komisi Yudisial sebagai Lembaga Negara dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia”,

Jurnal Ilmu Hukum Yuridika Vol. 21 No. 4 Juli-Agustus

2006, Fakultas Hukum Uiversitas Airlangga, hlm. 367

perantara seperti Komisi Yudisial dalam hal pe-ngelolaan pengadilan, melainkan pepe-ngelolaan- pengelolaan-nya diserahkan kepada badan pemerintah yang berwenang. Model tak terbagi dianut oleh Be-landa dan Jerman47.

Konstitusi Afrika Selatan meletakkan ke-dudukan Komisi Yudisial (Judicial Service

Com-mision) di Afrika Selatan di luar Bab tentang

Kekuasaan Kehakiman48, dan secara fungsi me-miliki kewenangan yang lebih luas dari KY di Indonesia. Komisi ini memiliki fungsi membe-rikan advis (rekomendasi) kepada Presiden da-lam pengangkatan dan pemberhentian Ketua dan Wakil Ketua MK, Ketua dan wakil Ketua MA, dan hakim di semua lembaga peradilan.49 Penutup

Simpulan

Ada dua simpulan yang dapat diutarakan berdasarkan pembahasan di atas. Pertama, UUD 1945 secara rinci tidak memberikan penje-lasan mengenai hakim mana saja yang dimak-sud dalam makna hakim Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 dalam kalimat ”dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran marta-bat, serta perilaku hakim”, tetapi berdasarkan Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di ba-wahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan pera-dilan militer, lingkungan perapera-dilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi, maka istilah hakim adalah keseluruhan hakim yang menjalankan fungsi Kekuasaan Kehakim-an; pembedaan jenis-jenis hakim hanyalah di-maksudkan untuk membedakan fungsi dari ma-sing-masing jenis hakim tersebut, untuk Hakim Agung fungsinya adalah untuk menjalankan Ke-kuasaan Kehakiman di tingkat Mahkamah Agung, Hakim Tinggi menjalankan Kekuasaan Kehakiman di tingkat Pengadilan Tinggi (Ban-ding); Hakim Negeri menjalankan Kekuasaan

47 Wim Voermans, 2002, Raden voor de rachtspraak in

laden van de Europese Unie. Terj. Adi Nugroho dan M.

Zaki Hussein, Komisi Yudisial di Beberapa Negara Uni

Eropa, Jakarta: LeIP, hlm. 7

48 M. Busyro Muqoddas, “Komisi Yudisial dalam Bingkai Sistem Ketatanegaraan RI”, Jurnal Mejelis, Vol. I (1) Agustus 2009, hlm. 118

49

Article 174 (3) dan (6); Article 177 ayat (3); dan Artikel 178 ayat (5) Kostitusi Afrika Selatan dalam Ibid.

(15)

Kehakiman di Pengadilan Tingkat I, Hakim Konstitusi menjalankan Kekuasaan Kehakiman yang menjadi ruang lingkup Mahkamah Kons-titusi dan hakim Ad Hoc menjalankan Kekuasa-an KehakimKekuasa-an pada bidKekuasa-ang-bidKekuasa-ang tertentu, de-ngan demikian hakim konstitusi adalah juga ha-kim. Kedua, merujuk pada Aturan Peralihan UUD 1945, menyatakan Mahkamah Konstitusi dibentuk selambat-lambatnya pada 17 Agustus 2003 dan sebelum dibentuk segala kewenangan-nya dilakukan oleh Mahkamah Agung. Dengan demikian, karena Hakim Agung menjalankan tugas sebagai Hakim Konstitusi atau dengan kata lain Hakim Agung bertindak sebagai Hakim Konstitusi, sehingga karena Hakim Agung ter-masuk dalam pengertian hakim, maka Hakim Konstitusi dalam kontek ini juga termasuk da-lam pengertian hakim.

Mekanisme pengawasan hakim konstitusi yang hanya mengadopsi Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi, memiliki kelemahan jika di-andingkan dengan mekanisme pengawasan ha-kim menurut UUDNRI 1945, karena mekanisme pengawasan hakim pada dasarnya melibatkan 2 (dua) lembaga pengawas, yaitu pengawas inter-nal dan pengawas eksterinter-nal yang melibatkan lembaga di luar struktur organisasi. Lembaga pengawas hakim yang mandiri, dan bebas dari campur tangan lembaga lain mutlak diperlukan dalam rangka menegakkan kehormatan, menja-ga keluhuran martabat serta perilaku hakim da-lam rangka mewujudkan pemerintahan yang baik dan bersih (good governance).

Saran

Mewujudkan sistem pengawasan peradil-an terpadu yperadil-ang memiliki legitimasi yperadil-ang kuat ke masa depan, MPR harus melakukan aman-demen UUDRI 1945 khususnya Bab Kekuasaan Kehakiman dengan melakukan beberapa hal.

Pertama, menyatakan secara eksplisit dalam

konstitusi bahwa yang dimaksud hakim meliputi hakim pada lembaga peradilan di bawah MA, hakim agung pada MA dan hakim konstitusi pa-da MK. Kedua, menata kembali sistematika lembaga yang terkait kekuasaan kehakiman de-ngan sistematika pasal tentang MA, pasal ten-tang MK, dan baru pasal tenten-tang KY, sehingga secara yuridis filosofis KY memiliki keterkaitan langsung dengan lembaga MA dan MK. Ketiga,

menyatakan secara eksplisit dalam pasal-pasal-nya bahwa KY merupakan lembaga yang memi-liki wewenang lebih luas tidak sekedar sebagai lembaga yang memiliki kewenangan untuk me-laksanakan rekrutmen, dan pengawasan terha-dap hakim, hakim agung dan hakim konstitusi tetapi juga melakukan mutasi, pelatihan, pro-mosi dan kebijakan tentang anggaran lembaga peradilan.

Daftar Pustaka

Adji, Oemar Seno. 1985. Peradilan Bebas

Ne-gara Hukum. Jakarta: Erlangga;

Arizona, Yance. “Konstitusi dalam Intaian Neo-liberalisme”. Jurnal Konstitusi. Vol. I. No. 1 November 2008. Jakarta: Mahka-mah Konstitusi RI;

Ashar, Ahmad. ”Kewenangan Komisi Yudisial dalam Pengangkatan Hakim Agung Berda-sarkan pada UU Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial”. Jurnal DAHA, Vol. I No. 42. Januari 2009. Kediri: Uni-versitas Pawiyatan Daha;

Asshiddiqie, Jimly. “Pemilihan Langsung Presi-den dan wakil PresiPresi-den”. Jurnal Hukum. Vol XXVII. No. 51 2004. Yogyakarta: FH UII;

---. 2005. Kedudukan Mahkamah Konstitusi

dalam Struktur Ketatanegaraan Indone-sia. dalam Mahkamah Konstitusi, Bunga Rampai Mahkmah Konstitusi RI, Jakarta:

Setjen dan Kepaniteraan Mahkamah Kons-titusi;

---. 2010. Perkembangan dan Konsolidasi

Lembaga Negara Pasca Reformasi.

Jakar-ta: Sinar Grafika;

Astriyani. “Mewujudkan Komisi Yudisial yang Ideal utuk Menjaga dan Menegakkan Ke-hormatan serta Keluhuran Martabat Ha-kim”. Jurnal Hukum, Vol. III No. 8. Mei 2004. Jakarta: Fakultas Hukum UI;

Bram, Deni. “Tinjauan Teori Hukum Kehadiran Mahkamah Konstitusi di Indonesia” Jurnal

Themis. Vol. II. No. 1. Oktober 2007.

Ja-karta: FH Universitas Pancasila;

Chotidjah, Nurul. “Dinamika Implementasi Ke-wenangan Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial setelah Amandemen Undang-Undang Dasar 1945”. Jurnal Ilmu Hukum

Litigasi. Vol. IX. No. 3. 2008. Bandung:

Fakultas Hukum Universitas Pasundan; ---. “Eksistensi Komisi Yudisial dalam

Referensi

Dokumen terkait

Hasil karakterisasi menggunakan spektrofotometer FTIR pada ekstrak n-heksana mengandung gugus fungsi yang memiliki kemiripan dengan golongan senyawa steroid..

kamera live shoot merupakan sebuah teknik dimana cara menggunakan kamera dengan yang merekan apa yang terjadi saat itu, dan nantinya akan digabungkan dengan animasi

Model pembelajaran Class-Wide Peer Tutoring (CWPT) adalah model pembelajaran aktif berpasangan yang melibatkan dua orang siswa untuk saling menyampaikan

[r]

Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Hidayat tentang identifikasi residu pestisida klorpirifos dan profenofos pada bawang merah (allium

Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Li Ching yang mengemukakan bahwa pada orang dengan obesitas, peningkatan kadar asam urat dan kejadian gout berhubungan dengan

Tindak lanjut yang harus dipertimbangkan oleh UPI Kampus Tasikmalaya adalah : (1) membuat dan mendukung program pembinaan guru-guru sekolah dasar melalui kegiatan Lesson

Ketika mempersiapkan teks pada komputer itu menarik untuk menggunakan banyak variasi dari jenis tulisan, tetapi untuk komunikasi yang baik adalah untuk membatasi